Closed Fraktur 1/3 Distal os Tibia dan 1/3 Proximal os Fibula Sinistra
Post Reduksi Tertutup Fraktur 1/3 Distal os Tibia dan 1/3 Proximal os
Fibula Sinistra
Oleh:
Novia Heriza, S.Ked
2011901030
Pembimbing:
dr. Am Dasmar, Sp.B
Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan karunianya serta
memberikan nikmat kesehatan dan kesempatan sehingga penulis dapat
menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Closed Fraktur 1/3 Distal os Tibia
dan 1/3 Proximal os Fibula Sinistra; Post Reduksi Tertutup Fraktur 1/3
Distal os Tibia dan 1/3 Proximal os Fibula Sinistra”. Shalawat beriringkan
salam kepada Nabi Muhammad SAW, serta keluarga dan sahabatnya yang telah
membawa umat manusia ke alam yang penuh ilmu pengetahuan.
Terimakasih kami ucapkan kepada dosen pembimbing yang telah
membimbing sehingga kami dapat mencapai tujuan pembelajaran dan
menyelesaikan laporan kasus ini. kami menyadari bahwa dalam pembuatan
laporan kasus ini masih banyak kekurangan. Untuk itu penulis mengharapkan
saran dan masukan dari pembimbing ataupun dari rekan mahasiswa/i untuk
kesempurnaan pembuatan laporan kasus ini.
ii
DAFTAR ISI
iii
3.7 Tatalaksana .................................................................................................. 35
3.10 Follow-up................................................................................................... 36
iv
DAFTAR GAMBAR
v
BAB I
PENDAHULUAN
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
7
terdapat lekukan yang lebar dan kasar untuk bersendi dengan fibula. Musculi dan
ligamenta penting yang melekat pada tibia.6
Os Fibula
Fibula adalah tulang lateral tungkai bawah yang langsing. Tulang ini tidak
ikut berartikulasi pada articulatio genus, tetapi di bawah, tulang ini membentuk
malleolus lateralis dari articulatio talocruralis. Tulang ini tidak berperan dalam
menyalurkan berat badan, tetapi merupakan tempat melekat otot-otot. Fibula
mempunyai ujung atas yang melebar, corpus, dan ujung bawah.
Ujung atas, atau caput fibulae, ditutupi oleh processus styloideus. Bagian ini
mempunyai facies articularis untuk bersendi dengan condylus lateralis tibie.
Corpus fibulae panjang dan langsing. Ciri khasnya adalah mempunyai empat
margines dan empat facies. Margo medialis atau margo interosseus memberikan
tempat perlekatan untuk membrana interossea.
Ujung bawah fibula membentuk malleolus lateralis yang berbentuk segitiga
dan terletak subkutan. Pada facies medialis dari malleolus lateralis terdapat facies
articularis yang berbentuk segitiga untuk bersendi dengan aspek lateral os talus.
8
Di bawah dan belakang facies articularis terdapat lekukan yang disebut fossa
malleolaris. Ossa dan ligamenta penting yang melekat pada fibula6.
9
garis patah spiral
fraktur kompresi
fraktur avulse
10
4. Berdasarkan Bergeser - tidak bergeser (displaced-undisplaced) 7,8
Fraktur undisplaced (tidak bergeser) : garis patah komplit tetapi kedua
fragmen tidak bergeser. Periosteumnya masih utuh.
Fraktur displaced (bergeser) : terjadi pergeseran fragmen-fragmen
fraktur yang juga disebut dislokasi fragmen.
o Dislokasi ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah
sumbu dan overlapping)
o Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut)
o Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling
menjauhi).
5. Berdasarkan Terbuka – Tertutup 7,8
Fraktur tertutup : bila tidak ada luka yang menghubungkan fraktur
dengan udara luar atau permukaan kulit.
Fraktur terbuka : bila terdapat luka yang menghubungkan tulang yang
fraktur dengan udara luar atau permukaan kulit.
Klasifikasi fraktur terbuka berdasarkan Gustilo;
a. Tipe I : Fraktur terbuka dengan luka kulit kurang dari 1 cm dan
bersih. Kerusakan jaringan minimal,biasanya dikarenakan
tulang menembus kulit dari dalam. Konfigurasi fraktur
simple,transvers atau simple oblik.
b. Tipe II : Fraktur terbuka dengan luka lebih dari 1 cm, tanpa ada
kerusakan jaringan lunak, kontusio ataupun avulsi yang luas.
konfigurasi fraktur berupa kominutif sedang dengan kontaminasi
sedang.
c. Tipe III : Fraktur terbuka dengan kerusakan jaringan lunak yang
luas, kontaminasi berat, biasanya disebabkan oleh trauma yang
hebat, dengan konfigurasi fraktur kominutif.
Tipe IIIa : Fraktur segmental atau sangat kominutif
penutupan tulang dengan jaringan lunak cukup adekuat.
Tipe IIIb : trauma sangat berat atau kehilangan jaringan
lunak yang cukup luas , terkelupasnya daerah periosteum
11
dan tulang tampak terbuka , serta adanya kontaminasi yang
cukup berat.
Tipe IIIc : Fraktur terbuka yang disertai dengan kerusakan
pembuluh darah tanpa memperhatikan derajat kerusakan
jaringan lunak.9,10
A1: spirale,
A2: oblique,
A3: transverse.
B type: more than 2 fracture fragments, but the main parts are still in
contact
12
B1: spirale,
B2: oblique,
B3: transverse.
C type: complex fracture type, the fracture fragments are not in contact to
each other
13
2.4 Patofisiologi Fraktur
Keparahan dari fraktur bergantung pada gaya yang menyebabkan fraktur.
Jika ambang fraktur suatu tulang hanya sedikit terlewati, maka tulang mungkin
hanya retak saja bukan patah. Jika gayanya sangat ekstrem, seperti tabrakan
mobil, maka tulang dapat pecah berkepingkeping. Saat terjadi fraktur, otot yang
melekat pada ujung tulang dapat terganggu. Otot dapat mengalami spasme dan
menarik fragmen fraktur keluar posisi. Kelompok otot yang besar dapat
menciptakan spasme yang kuat bahkan mampu menggeser tulang besar, seperti
femur. Walaupun bagian proksimal dari tulang patah tetap pada tempatnya,
namun bagian distal dapat bergeser karena faktor penyebab patah maupun spasme
pada otot-otot sekitar. Fragmen fraktur dapat bergeser ke samping, pada suatu
sudut (membentuk sudut), atau menimpa segmen tulang lain. Fragmen juga dapat
berotasi atau berpindah.11
Selain itu, periosteum dan pembuluh darah di korteks serta sumsum dari
tulang yang patah juga terganggu sehingga dapat menyebabkan sering terjadi
cedera jaringan lunak. Perdarahan terjadi karena cedera jaringan lunak atau cedera
pada tulang itu sendiri. Pada saluran sumsum (medula), hematoma terjadi diantara
fragmen-fragmen tulang dan dibawah periosteum. Jaringan tulang disekitar lokasi
fraktur akan mati dan menciptakan respon peradangan yang hebat sehingga akan
terjadi vasodilatasi, edema, nyeri, kehilangan fungsi, eksudasi plasma dan
leukosit. Respon patofisiologis juga merupakan tahap penyembuhan tulang.11
14
3. Memar
Memar terjadi karena perdarahan subkutan pada lokasi fraktur.
4. Spasme otot
Spasme otot involuntar berfungsi sebagai bidai alami untuk mengurangi
gerakan lebih lanjut dari fragmen fraktur.
5. Nyeri
Jika pasien secara neurologis masih baik, nyeri akan selalu mengiringi
fraktur, intensitas dan keparahan dari nyeri akan berbeda pada masing-
masing klien. Nyeri biasanya terus-menerus , meningkat jika fraktur
dimobilisasi. Hal ini terjadi karena spasme otot, fragmen fraktur yang
bertindihan atau cedera pada struktur sekitarnya.
6. Kehilangan fungsi
Hilangnya fungsi terjadi karena nyeri yang disebabkan fraktur atau karena
hilangnya fungsi pengungkit lengan pada tungkai yang terkena.
Kelumpuhan juga dapat terjadi dari cedera saraf.
7. Gerakan abnormal dan krepitasi
Manifestasi ini terjadi karena gerakan dari bagian tengah tulang atau
gesekan antar fragmen fraktur.
8. Perubahan neurovascular
Cedera neurovaskuler terjadi akibat kerusakan saraf perifer atau struktur
vaskular yang terkait. Klien dapat mengeluhkan rasa kebas atau kesemutan
atau tidak teraba nadi pada daerah distal dari fraktur10,11
15
Keluhan pasien berupa nyeri, pembengkakan, gangguan fungsi anggota gerak,
deformitas, kelainan gerak, krepitasi atau datang dengan gejala-gejala lain
Pemeriksaan Fisik
16
Menghilangkan dan mencegah sumber- sumber potensial kontaminasi.
Ketika semua hal diatas telah tercapai maka fraktur dapat direduksi dan
reposisi sehingga dapat mengoptimalisasi kondisi tulang untuk proses
persambungan tulang dan meminimilisasi komplikasi lebih lanjut.
Survey Primer
Setelah pasien sampai di UGD yang pertama kali harus dilakukan adalah
mengamankan dan mengaplikasikan prinsip ABCDE (Airway, Breathing,
Circulation, Disability Limitation, Exposure).
A : Airway, dengan kontrol servikal. Yang pertama harus dinilai adalah
kelancaran jalan nafas. Ini meliputi pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas oleh
adanya benda asing atau fraktus di bagian wajah. Usaha untuk membebaskan jalan
nafas harus memproteksi tulang cervikal, karena itu teknik Jaw Thrust dapat
digunakan. Pasien dengan gangguan kesadaran atau GCS kurang dari 8 biasanya
memerlukan pemasangan airway definitif.
B : Breathing. Setelah mengamankan airway maka selanjutnya kita harus
menjamin ventilasi yang baik. Ventilasi yang baik meliputi fungsi dari paru paru
yang baik, dinding dada dan diafragma. Beberapa sumber mengatakan pasien
dengan fraktur ektrimitas bawah yang signifikan sebaiknya diberi high flow
oxygen 15 l/m lewat non-rebreathing mask dengan reservoir bag.
C : Circulation. Ketika mengevaluasi sirkulasi maka yang harus diperhatikan di
sini adalah volume darah, pendarahan, dan cardiac output. Pendarahan sering
menjadi permasalahan utama pada kasus patah tulang, terutama patah tulang
terbuka. Patah tulang femur dapat menyebabkan kehilangan darah dalam paha 3 –
4 unit darah dan membuat syok kelas III. Menghentikan pendarahan yang terbaik
adalah menggunakan penekanan langsung dan meninggikan lokasi atau
ekstrimitas yang mengalami pendarahan di atas level tubuh. Pemasangan bidai
yang baik dapat menurunkan pendarahan secara nyata dengan mengurangi
gerakan dan meningkatkan pengaruh tamponade otot sekitar patahan. Pada patah
tulang terbuka, penggunaan balut tekan steril umumnya dapat menghentikan
pendarahan. Penggantian cairan yang agresif merupakan hal penting disamping
usaha menghentikan pendarahan.
17
D : Disability. menjelang akhir survey primer maka dilakukan evaluasi singkat
terhadap keadaan neurologis. yang dinilai disini adalah tingkat kesadaran, ukuran
dan reaksi pupil, tanda-tanda lateralisasi dan tingkat cedera spinal
E : Exposure. pasien harus dibuka keseluruhan pakaiannya, seiring dengan cara
menggunting, guna memeriksa dan evaluasi pasien. setelah pakaian dibuka,
penting bahwa pasien diselimuti agar pasien tidak hipotermia pemeriksaan
tambahan pada pasien dengan trauma muskuloskeletal seperti fraktur adalah
imobilisasi patah tulang dan pemeriksaan radiologi.
Imobilisasi Fraktur Tujuan Imobilisasi fraktur adalah meluruskan ekstrimitas yang
cedera dalam posisi seanatomis mungkin dan mencegah gerakan yang berlebihan
pada daerah fraktur. hal ini akan tercapai dengan melakukan traksi untuk
meluruskan ekstrimitas dan dipertahankan dengan alat imobilisasi. pemakaian
bidai yang benar akan membantu menghentikan pendarahan, mengurangi nyeri,
dan mencegah kerusakan jaringan lunak lebih lanjut.
Survey Sekunder
Bagian dari survey sekunder pada pasien cedera muskuloskeletal adalah
anamnesis dan pemeriksaan fisik. tujuan dari survey sekunder adalah mencari
cedera cedera lain yang mungkin terjadi pada pasien sehingga tidak satupun
terlewatkan dan tidak terobati.
Apabila pasien sadar dan dapat berbicara maka kita harus mengambil
riwayat AMPLE dari pasien, yaitu Allergies, Medication, Past Medical History,
Last Ate dan Event (kejadian atau mekanisme kecelakaan). Mekanisme
kecelakaan penting untuk ditanyakan untuk mengetahui dan memperkirakan
cedera apa yang dimiliki oleh pasien, terutama jika kita masih curiga ada cedera
yang belum diketahui saat primary survey, Selain riwayat AMPLE, penting juga
untuk mencari informasi mengenai penanganan sebelum pasien sampai di rumah
sakit.
Pada pemeriksaan fisik pasien, beberapa hal yang penting untuk dievaluasi
adalah:
kulit yang melindungi pasien dari kehilangan cairan dan infeksi, fungsi
neuromuskular status sirkulasi, integritas ligamentum dan tulang.
18
Cara pemeriksaannya dapat dilakukan dengan Look, Feel, Move.
Look, kita menilai warna dan perfusi, luka, deformitas, pembengkakan, dan
memar. Penilaian inspeksi dalam tubuh perlu dilakukan untuk menemukan
pendarahan eksternal aktif, begitu pula dengan bagian punggung. Bagian distal
tubuh yang pucat dan tanpa pulsasi menandakan adanya gangguan vaskularisasi.
Ekstremitas yang bengkak pada daerah yang berotot menunjukkan adanya crush
injury dengan ancaman sindroma kompartemen. Pada pemerikasaan
Feel, kita menggunakan palpasi untuk memeriksa daerah nyeri tekan, fungsi
neurologi, dan krepitasi.
Move, memeriksa Range of Motion dan gerakan abnormal. Pemeriksaan sirkulasi
dilakukan dengan cara meraba pulsasi bagian distal dari fraktur dan juga
memeriksa capillary refill pada ujung jari kemudian membandingkan sisi yang
sakit dengan sisi yang sehat. Jika hipotensi mempersulit pemeriksaan pulsasi,
dapat digunakan alat Doppler yang dapat mendeteksi aliran darah di ekstremitas.
Pada pasien dengan hemodinamik yang normal, perbedaan besarnya denyut
nadi, dingin, pucat, parestesi dan adanya gangguan motorik menunjukkan trauma
arteri. Selain itu hematoma yang membesar atau pendarahan yang memancar dari
luka terbuka menunjukkan adanya trauma arterial. Pemeriksaan neurologi juga
penting untuk dilakukan mengingat cedera muskuloskeletal juga dapat
menyebabkan cedera serabut syaraf dan iskemia sel syaraf. Pemeriksaan fungsi
syaraf memerlukan kerja sama pasien. Setiap syaraf perifer yang besar fungsi
motoris dan sensorisnya perlu diperiksa secara sistematik.
Tujuan penanganan fraktur selanjutnya adalah mencegah sumber – sumber
yang berpotensi berkontaminasi pada luka fraktur. Adapun beberapa cara yang
dapat dilakukan adalah mengirigasi luka dengan saline dan menyelimuti luka
fraktur dengan ghas steril lembab atau juga bisa diberikan betadine pada ghas.
Berikan vaksinasi tetanus dan juga antibiotik sebagai profilaksis infeksi.12
19
Penatalaksanaan Terapi pada Closed Fracture
Penatalaksanaan medis menurut Chaeruddin Rosjad, 1998. Sebelum
menggambil keputusan untuk melakukan penatalaksanaan definitive. Prinsip
penatalaksanaan fraktur ada 4 R yaitu:
Recognition : diagnosa dan penilaian fraktur Prinsip pertama adalah mengetahui
dan menilai keadaan fraktur dengan anamnesis, pemeriksaan klinis dan radiologi.
Pada awal pengobatan perlu diperhatikan : lokasi fraktur, bentuk fraktur,
menentukan tehnik yang sesuai untuk pengobatan, komplikasi yang mungkin
terjadi selama pengobatan.
Reduction : tujuannya untuk mengembalikan panjang & kesegarisan tulang.
Dapat dicapai yang manipulasi tertutup/reduksi terbuka progresi. Reduksi tertutup
terdiri dari penggunaan traksimoval untuk menarik fraktur kemudian
memanipulasi untuk mengembalikan kesegarisan normal/dengan traksi mekanis.
Reduksi terbuka diindikasikan jika reduksi tertutup gagal/tidak memuaskan.
Reduksi terbuka merupakan alat frusasi internal yang digunakan itu
mempertahankan dalam posisinya sampai penyembuhan tulang yang solid seperti
pen, kawat, skrup dan plat. Reduction interna fixation (orif) yaitu dengan
pembedahan terbuka kan mengimobilisasi fraktur yang berfungsi pembedahan
untuk memasukkan skrup/pen kedalam fraktur yang berfungsi untuk menfiksasi
bagian-bagian tulang yang fraktur secara bersamaan.
Retention : imobilisasi fraktur tujuannya mencegah pengeseran fregmen dan
mencegah pergerakan yang dapat mengancam union. Untuk mempertahankan
reduksi (ektrimitas yang mengalami fraktur) adalah dengan traksi. Traksi
merupakan salah satu pengobatan dengan cara menarik/tarikan pada bagian
tulang-tulang sebagai kekuatan dngan kontrol dan tahanan beban keduanya untuk
menyokong tulang dengan tujuan mencegah reposisi deformitas, mengurangi
fraktur dan dislokasi, mempertahankan ligamen tubuh/mengurangi spasme otot,
mengurangi nyeri, mempertahankan anatomi tubuh dan mengimobilisasi area
spesifik tubuh. Ada 2 pemasangan traksi yaitu : skin traksi dan skeletal traksi.
Rehabilitation : mengembalikan aktifitas fungsional seoptimal mungkin.
20
Prinsipnya, penatalaksaan dari closed fracture dilakukan dengan terapi
farmakologi dan non-farmakologi. Terapi non-farmakologi meliputi reduksi
Terdapat 2 cara untuk melakukan reduksi, yaitu closed dan open. Pada closed
reduction, diperlukan anestesi yang memadai dan relaxasi otot lalu dilakukan
three-fold manoeuvre: (1) bagian distal dari tungkai/ lengan ditarik pada garis
tulang; (2) seiring fragmen terlepas, mereka akan tereposisi kembali (dengan
membalikan arah awal dari gaya jika bisa diberikan); (3) alignment dibenarkna
pada setiap bidang. Hal ini paling efektif saat periosteum dan otot pada satu sisi
dari fraktur masih intak; jaringan lunak yang mengikatnya mencegah over-
reduction dan menstabilkan fraktur setelah direduksi.
21
beralih ke manoeuvres reduksi yang menghindari pajanan pada letak fraktur,
bahkan saat tujuannya untuk dilakukan internal atau external fixasi.
Operasi untuk reduksi fraktur dengan pengawasan langsung diindikasikan
jika: (1) saat closed reduction gagal, baik karena kesulitan mengontrol fragmen
atau karena jaringan lunak yang ada diantaranya; (2) saat terdapat fragmen
artikular besar yang membutuhkan posisi akurat atau (3) untuk traksi (avulsi)
fraktur dimana fragmen dibersamakan. Sebagai aturan, bagaimanapun, open
reduction hanyalah tahap pertama dari fixasi internal.
Hold reduction atau sering digunakan kata imobilisasi bertujuan untuk
mencegah displacement. Beberapa halangan gerak dibutuhkan untuk
penyembuhan jaringan lunak dan untuk memungkinkan gerakan bebas pada
bagian yang tidak terkena. Beberapa metode hold reduction adalah sebagai
berikut:
Continuous traction
Traksi dilakukan pada tungkai di bagian distal fraktur, supaya melakukan
suatu tarikan yang terus-menerus pada poros panjang tulang itu. Cara ini sangat
berguna untuk fraktur batang yang bersifat oblik atau spiral yang mudah bergeser
oleh kontraksi otot. Traksi tidak dapat menahan fraktur tetap diam; traksi dapat
menarik tulang panjang secara lurus dan mempertahankan panjangnya tetapi
reduksi yang tepat kadangkadang sukar dipertahankan. Dan sementara itu pasien
dapat menggerakkan sendi-sendinya dan melatih ototnya. Traksi cukup aman,
asalkan tidak berlebihan dan berhati-hati menyisipkan pen traksi.
Internal fixation
Pada fixasi internal, fragmen tulang dapat diperbaiki dengan screw, metal
plate yang ditopang screw, long intramedullary rod atau nail (dengan atau tanpa
locking screw), circumferential band atau kombinasi dari semua ini. Jika dipasang
dengan benar, fixasi internal dapat menopang fraktur dengan aman sehingga gerak
dapat dimulai dengan gerak yang dapat dimulai dini, kekaukan dan edema dapat
dicegah. Walaupun begitu, perlu diingat bahwa fraktur belum menyatu namun
gerak dapat dilakukan karena adanya jembatan metal dan dalam hal ini
unprotected weighbearing masih belum aman dilakukan.
22
Risiko dari fixasi internal yang paling besar adalah sepsis. Resiko infeksi
bergantung pada: (1) pasien – jaringan yang terkena, luka kotor dan pasien yang
tidak fit tidaklah aman dilakukan fixasi internal; (2) ahli bedah; (3) fasilitas.
Indikasi dari internal fixasi yang paling utama adalah:
Fraktur yang tidak dapat direduksi selain dengan operasi
Fraktur yang tidak stabil dan cenderung dapat redisplace setelah
dilakukannya reduksi (contohnya fraktur pada tengah batang dari lengan
atas dan fraktur displaced pergelangan kaki). Juga termasuk fraktur yang
mungkin ditarik oleh gerakan otot (seperti fraktur transverse dari patella
atau olecranon).
Fraktur yang menyatu secara butuk dan lambat, terutama fraktur dari leher
femur
Fraktur patologis dimana penyakit tulang menghambat penyembuhan
Fraktur multiple dimana fixasi dini (baik dengan fixasi internal ataupun
external) menurunkan resiko komplikasi dan late multisystem organ failure
Fraktur pada pasien dengan kesulitan perawatan seperti pasien dengan
paraplegia, cedera yang banyak dan lansia.
Tipe dari fixasi internal:
Intergragmentary screws
Intramedullary nails
23
Gambar 7. Internal Fixasi
External fixation
Fraktur dapat ditopang dengan transfixing screw atau tensioned wires yang
melewati tulang keatas dan kebawah dari fraktur dan terpasang ke external frame.
Indikasi fixasi external:
Fraktur yang berhubungan dengan kerusakan jaringan lunak yang buruk
(termasuk fraktur terbuka) atau yang terkontaminasi, dimana fixasi internal
berisiko dan akses berulang dibutuhkan untuk inspeksi luka, dressing atau
bedah plastik.
Fraktur disekitar sendi yang butuh internal fixasi namun jaringan lunaknya
terlalu bengkak untuk operasi yang aman disini, bentangan fixasi external
memberikan stabilitas sampai kondisi jaringan lunak membaik.
Pasien dengan cedera multiple, terutama jika ada fraktur femur bilateral,
fraktur pelvis dengan perdarahan hebat, dan dengan tungkai dan cedera yang
berhubungan dengan dada atau kepala.
Fraktur yang tidak menyambung, yang bisa dipotong atau dikompresi;
terkadang ini dikombinasikan dengan pemanjangan tulang untuk mengganti
segmen yang dipotong.
24
Fraktur yang terinfeksi, dimana fixasi internal tidak memungkinkan
25
(superficial) dan masuk ke dalam tulang. Selain itu proses infeksi juga
bisa disebabkan oleh penggunaan alat seperti pin dan screw sewaktu
melakukan operasi atau pembedahan.
o Fat Embolism Syndrome (FES): ini adalah komplikasi yang serius dan
sering terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena
sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke dalam
aliran darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah
dan ditandai dengan gangguan pernafasan, takikardi, hipertensi,
takipnea dan demam.
o Kerusakan arteri: Hal ini ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT
menurun, cyanosis di bagian distal, hematoma yang melebar, dan
dingin pada ekstremitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi
splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi dan
pembedahan.
o Shock: Shock terjadi karena kehilangan terlalu banyak darah dan
meningkatnya permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan
menurunnya oksigenasi. ini biasa terjadi pada fraktur. 13
Komplikasi Lanjut
o Nonunion: ini merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan
membentuk sambungan yang sempurna, kuat dan stabil setelah 6-9
bulan. Nonunion ditandai dengan adanya pergerakan yang berlebihan
pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis.
Ini juga disebabkan karena aliran darah yang kurang.
o Malunion: ini merupakan suatu keadaan dimana tulang yang patah
telah sembuh dalam posisi yang tidak seharusnya, membentuk sudut
atau miring. Contoh yang khas adalah patah tulang paha yang dirawat
dengan traksi, dan kemudian diberi gips untuk imobilisasi dimana
kemungkinan gerakan untuk rotasi dari fragmen-fragmen tulang yang
patah kurang diperhatikan. Akibatnya, sesudah gips dibuang ternyata
anggota tubuh bagian distal memutar ke dalam atau ke luar, dan
26
penderita tidak dapat mempertahankan posisi tubuhnya dalam posisi
netral.
o Delayed Union: ini merupakan suatu keadaan di mana kegagalan
fraktur untuk berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang dibutuhkan
tulang untuk menyambung. ini disebabkan karena penurunan suplai
darah ke tulang. 13
Infeksi merupakan komplikasi yang jarang terjadi pada fraktur tertutup, dengan
insidensi kurang dari 1%. Fiksasi intramedulla umumnya dapat ditoleransi dengan
baik, tetapi dapat dipersulit oleh nonunion, malunion, dan kegagalan implan.
Nyeri lutut anterior tidak jarang terjadi setelah tibial nailing, sebuah pengamatan
yang harus disampaikan kepada pasien sejak dini selama perawatan. Meskipun
penyebab pasti nyeri lutut tidak diketahui, hal itu dapat menyebabkan gangguan
fungsional yang substansial. Dalam satu penelitian, 33,7% pasien melaporkan
nyeri saat istirahat, 57% dengan berlari, dan 92% dengan berlutut 15.
27
2.10 Penyembuhan Fraktur
Proses penyembuhan pada tulang terdiri atas lima fase, yaitu 16 :
1. Fase Hematoma
Apabila terjadi fraktur pada tulang panjang, maka pembuluh darah kecil
yang melewati kanalikuli dalam sistem Haversian mengalami robekan
pada daerah fraktur dan akan membentuk hematoma di antara kedua sisi
fraktur. Hematoma yang besar diliputi oleh periosteum. Periosteum akan
terdorong dan dapat mengalami robekan akibat tekanan hematoma
sehingga dapat terjadi ekstravasasi darah ke dalam jaringan lunak.
Osteosit dengan lakunanya yang terletak beberapa milimeter dari daerah
fraktur akan kehilangan darah dan mati, yang akan menimbulkan suatu
daerah cincin avaskuler tulang yang mati pada sisi-sisi fraktur segera
setelah trauma.
28
3. Fase Pembentukan Kalus
Sel yang berkembang biak memiliki potensi krondrogenik dan osteogenik.
Apabila diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk
tulang dan dalam beberapa keadaan juga kartilago. Populasi sel sekarang
juga mencakup osteoklas (mungkin dihasilkan pembuluh darah baru) yang
mulai membersihkan tulang yang mati. Massa sel yang tebal, dengan
pulau-pulau tulang yang immatur dan kartilago, membentuk kalus atau
bebat pada permukaan periosteal dan endosteal. Sementara tulang fibrosa
yang immature (atau anyaman tulang) menjadi lebih padat, gerakan pada
tempat fraktur semakin berkurang dan pada empat minggu setelah cedera,
fraktur menyatu.
29
Gambar 12. Fase Konsolidasi
5. Fase Remodelling
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama
beberapa bulan, atau bahkan beberapa tahun, pengelasan kasar ini dibentuk
ulang oleh proses resorpsi dan pembentukan tulang yang terus
menerus.lamela yang lebih tebal diletakkan pada tempat yang tekanannya
tinggi, dinding-dinding yang tidak dikehendaki dibuang, rongga sumsum
dibentuk. Akhirnya, dan terutama pada anakanak tulang akan memperoleh
bentuk yang mirip bentuk normalnya.
30
BAB III
LAPORAN KASUS
3.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Nyeri pada kaki kiri sejak pagi tadi
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poli bedah RSUD Bangkinang dengan keluhan nyeri
pada kaki kiri sejak 2 jam SMRS. Nyeri diikuti dengan sulit
menggerakkan kaki kiri. Tidak terdapat luka terbuka disekitar kaki. Pasien
post jatuh dari tempat tidur dengan kronologi paisen jatuh terduduk dan
bertumpu pada kaki kiri. Demam(-) Mual (-), muntah (-), sakit kepala (-)
nyeri saat menarik nafas (-), nyeri ulu hati (-), pingsan (-), Kejang (-)
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien belum pernah menderita hal yang sama, riwayat operasi (-)
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga yang menderita hal yang sama seperti pasien
Riwayat Pengobatan
Pasien belum pernah berobat untuk keluhan saat ini
31
3.3 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Umum
Keadaan Umum : Komposmentis tampak sakit sedang
GCS : E:4 V:5 M:6
Tekanan Darah : 110/80 mmHg
Frekuensi Nadi : 85x/menit
Frekuensi Napas : 20x/menit
Suhu : 36,5˚C
SpO2 : 98%
Status Generalisata
Kepala : Normocephal
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil bulat,
isokor ditengah diameter 2mm, refleks cahaya (+/+)
Telinga : Bentuk normal, sekret (-), darah (-), membran timpani
intak
Hidung : Bentuk normal, sekret (-), darah (-)
Mulut : Gusi berdarah (-), bibir kering, lidah kotor (-)
Leher : Simetris, trakea lurus ditengah, tidak ada pembesaran
KGB
Paru
Inspeksi : Pengembangan dinding dada simetris
Palpasi : Fremitus taktil dikedua lapang paru sama
Perkusi : Sonor (+/+)
Auskultasi : Suara nafas vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Teraba ictus cordis di ICS V linea midclavicularis sinistra
Perkusi : Batas atas ICS II parasteral sinistra, batas kanan ICS IV
linea sternalis dextra, batas kiri ICS V linea midclavicularis
Auskultasi : Bunyi jantung S1 dan S2 reguler, gallop (-), mur-mur (-)
32
Abdomen
Inspeksi : Perut datar, masa (-), radang (-), bekas luka (-)
Auskultasi : Bising usus normal (+)
Perkusi : Timpani
Palpasi : Abdomen soepel,hepar lien tidak teraba, nyeri tekan (-),
nyeri lepas (-)
Ekstermitas : Akral hangat, CRT <2 detik, edem (-/-)
Status Lokalis (regio cruris sinistra)
o Look
Lokasi luka: cruris sinistra
Tampak sedikit lebam pada cruris sinistra
Bone expose (-)
Perdarahan (-)
Deformitas (+)
o Feel :
Nyeri (+),Nyeri tekan (+), krepitasi(+)
Sensibilitas: Baik
Pemeriksaan vascular: Akral hangat, CRT <2 dtk
Terjadi pemendekan tulang
o Move :
Gerakan aktif: Gerakan terbatas karena nyeri
Range of Movement: Gerakan terbatas karena nyeri
33
Rongen
3.5 Resume
Pasien datang ke poli bedah RSUD Bangkinang dengan keluhan nyeri pada
kaki kiri sejak 2 jam SMRS. Nyeri diikuti dengan sulit menggerakkan kaki kiri.
Tidak terdapat luka terbuka disekitar kaki. Pasien post jatuh dari tempat tidur
dengan kronologi paisen jatuh terduduk dan bertumpu pada kaki kiri. Demam(-)
Mual (-), muntah (-), sakit kepala (-) nyeri saat menarik nafas (-), nyeri ulu hati (-
), pingsan (-), Kejang (-). Pada pemeriksaan fisik status lokalis didapatkan Look:
lokasi luka: cruris sinistra, tampak sedikit lebam pada cruris sinistra, bone expose
(-), perdarahan (-), deformitas (+). Feel : nyeri (+),Nyeri tekan (+), krepitasi(+),
sensibilitas baik, pemeriksaan vascular: Akral hangat, CRT <2 dtk, terjadi
pemendekan tulang. Move : gerakan aktif: gerakan terbatas karena nyeri, range of
Movement: Gerakan terbatas karena nyeri.
34
3.6 Diagnosis Kerja
Closed Fraktur 1/3 Distal os Tibia dan 1/3 Proximal os Fibula Sinistra
Post Reduksi Tertutup Fraktur 1/3 Distal os Tibia dan 1/3 Proximal os Fibula
Sinistra
3.7 Tatalaksana
IVFD RL 28 TPM
Inj. Ceftriaxone 2x1
Inj. Ranitidine 3x1
Inj. Ketorolac 3x1
Rencana Terapi
Reduksi tertutup
3.9 Prognosis
Quo ad vitam : Bonam
Quo ad functionam : Bonam
35
3.10 Follow-up
Tanggal SOAP
15/12/2021 S: Nyeri pada kaki kiri
O: Kes : Composmentis
KU : Baik
TD : 110/70 mmHg
HR : 84 x/menit
RR : 20 x/menit
T : 36.50C
A: Closed Fraktur 1/3 Distal os Tibia dan 1/3 Proximal os
Fibula Sinistra
P: -IVFD RL 28 TPM
-Inj. Ceftriaxone 2x1
-Inj. Ranitidine 3x1
-Inj. Ketorolac 3x1
Rencana: Reduksi Tertutup
16/12/2021 S: Nyeri pada kaki kiri
O: Kes : Composmentis
KU : Baik
TD : 110/70 mmHg
HR : 84 x/menit
RR : 20 x/menit
T : 36.50C
A: Closed Fraktur 1/3 Distal os Tibia dan 1/3 Proximal os
Fibula Sinistra
P: -IVFD RL 28 TPM
-Inj. Ranitidine 3x1
-Inj. Ketorolac 3x1
Rencana: Reduksi Tertutup
36
17/12/2021 S: Nyeri pada kaki kiri
O: Kes : Composmentis
KU : Baik
TD : 110/70 mmHg
HR : 86 x/menit
RR : 19 x/menit
T : 36.20C
A: Post Reduksi Tertutup Fraktur 1/3 Distal os Tibia dan 1/3
Proximal os Fibula Sinistra
P: -IVFD RL 28 TPM
-Inj. Ranitidine 2x1
-Inj. Ketorolac 2x1
Pasien dibolehkan pulang
37
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien ini didiagnosis Closed Fraktur 1/3 Distal os Tibia dan 1/3 Proximal
os Fibula Sinistra dengan Klasifikasi OTA: Tipe A2 berdasarkan dari anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Berdasarkan anamnesis pasien, pasien anak dengan jenis kelamin laki-laki
umur 14 tahun, mengalami kecelakaan lalu lintas. Kecelakaan lalu lintas
merupakan penyebab fraktur yang tersering yang dialami pasien. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Riswanda Noorisa dkk di RSUD Dr. Soetomo
Surabaya periode 1 Januari 2013 - 31 Desember 2016 yang berkunjung ke poli
orthopedi di RSUD Dr. Soetomo Surabaya pada tahun 2013 – 2016 didapatkan
bahwa kecelakaan lalu lintas dengan prevalensi 100 insiden (92%) dengan
dominasi rentang usia 15 -24. Selanjutnya, gambaran distribusi jumlah fraktur
berdasarkan jenis kelamin didapatkan hasil bahwa laki- laki merupakan mayoritas
pasien dengan insiden fraktur femur dengan jumlah 81 pasien (72%), dominasi
oleh kelompok usia 15 – 24 tahun. Pada wanita dengan jumlah 31 kasus (28%).15
Berdasarkan pemeriksaan fisik, untuk mendiagnosis pasien dengan
dicurigai fraktur diperlukan pemeriksaan fisik yang baik, pemeriksaan status
lokalis dapat membantu untuk menegakkan diagnosis, cara memeriksa status
lokalis pada pasien ortopedi di mula dari look, feel dan move. Untuk look yang
perlu diperhatikan apakah ada swelling, apakah ada deformitas, lihat warna kulit
bagian distal lokasi fraktur, dapat menentukan apakah fraktur terbuka atau
tertutup. Untuk feel dapat dinilai apakah ada nyeri tekan, krepitasi, bagaimana
pulsasi arteri di distal lokasi fraktur, suhu di distal okasi fraktur. Untuk move
dapat menilai gerakan aktif, pasif, dan Range Of Motion (ROM).
Pada pasien ini mengalami Closed Fraktur 1/3 Distal os Tibia dan 1/3
Proximal os Fibula Sinistra yang didapatkan dari pemeriksaan fisik yaitu, look
tampak asimetris, swelling, dan deformitas di cruris sinistra. Dari feel didapatkan
teraba hangat (+), nyeri tekan (+), CRT <2 detik, pulsasi a. tibialis posterior dan
a. dorsalis pedis (+/+) dan untuk move gerakan aktif dan pasif terbatas. Saat kaki
38
didorsofleksikan pasien mengeluhkan nyeri. Berdasarkan pemeriksaan
penunjang foto rontgen dapat menilai langsung struktur tulang, lokasi fraktur dan
jenis fraktur. Hasil pemeriksaan rontgen didapatkan adanya tampak adanya
diskontinuitas pada 1/3 Distal os Tibia dan 1/3 Proximal os Fibula Sinistra.
39
BAB V
KESIMPULAN
40
DAFTAR PUSTAKA
1. Nork SE. Femoral shaft fractures. Court-Brown CM, Heckman JD, McQueen
MM, et al, eds. Rockwood and Green's Fractures in Adults. 8th ed.
Philadelphia: Wolters Kluwer; 2015. Vol 2: 2149-228.
2. World Health Organization. Global Status Report On Road Safety.
Supporting a decade of Action. ISBN. 2013.
3. Norman, LG. Road Traffic Accidents Epidemiology, Control, and Prevention.
World Health Organization. 1962. hlm. 18-60.
4. Adnan, Rana Muhhamad. Irfan Zia, Muhhamad. Amin, Jahansaib. Khan,
Rafya. Ahmed, Saleem. Danish, KF. Frequency Of Femoral
Fractures;Comparison In Patients Less Than And More Than 40 Years of
Age..Professional Med J. 2012.19(1): 011-014.
5. Salminen, Sari. Femoral Shaft Fractures In Adults:Epidemiology, Fracture
Patterns, Nonunions, And Fatigue Fractures. Department of Orthopaedics and
Traumatology and the Department of Pediatric Surgery, University of
Helsinki. 2005.hlm.13-35.
6. Netter FH. Atlas of Human Anatomy. 4th ed. US: Saunders; 2006.
7. Rasjad C. 2009. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Yarsif Watampone: Jakarta.
8. Sjamsuhidajat R, Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi II. Jakarta: EGC.
2004.
9. Schrock, theodore. Ilmu Bedah ( handbook of surgery ) edisi 7. Penerbit buku
kedokteran EGC : jakarta.1995.
10. Price, Sylvia and Wilson, Lorraine. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit 6th Edition. EGC: Jakarta.2005
11. Kumar, Vinay at all. 2007. Buku Ajar Patologi. Ed.VII. EGC: Jakarta
12. Koval, kenneth.J. Handbook of Fracture, 3rd Edition. Lippincoot williams
and wilkins : California.2010.
13. Rasjad, C. Trauma: Dalam pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Edisi 2.
Makassar: Bintang Lamumpatue, 2003. Hal 370-1;455-62.
41
14. Kenneth AE, Kenneth JK, Joseph DZ. 2015. Handbook of fractures fifth
edition. Wolters Kluwer: New York.
15. Maxwell CP, Joseph B, Jaimo A. 2011. In Brief: Closed Tibial Shaft
Fractures. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3210280/#CR20.
16. Rahman S. Aspek biomolekuler dalam proses penyembuhan fraktur. Divisi
Ortopedi Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala,
RSUD dr.Zainoel Abidi: Banda Aceh,
42