Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN

LAPORAN PENDAHULUAN PADA PASIEN DENGAN FRAKTUR


COSTAE DI RUANG EDELWIS RSD dr. SOEBANDI JEMBER

Oleh:
Lilik Maesaroh, S.Kep
NIM 192311101234

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
JEMBER
2020
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL.........................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN..............................................................................ii
DAFTAR ISI......................................................................................................iii
BAB 1. KONSEP DASAR PENYAKIT..........................................................1
1.1 Anatomi Fisiologi...........................................................................1
1.2 Definisi Penyakit............................................................................2
1.3 Epidemiologi..................................................................................3
1.4 Etiologi...........................................................................................5
1.5 Klasifikasi.......................................................................................4
1.6 Patofisiologi....................................................................................7
1.7 Manifestasi Klinis...........................................................................8
1.8 Pemeriksaan Penunjang..................................................................8
1.9 Penatalaksanaan..............................................................................9
1.10 Komplikasi....................................................................................12
1.11 Clinical Pathway...........................................................................13
BAB 2. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN............................................14
2.1 Pengkajian......................................................................................14
2.2 Diagnosa.........................................................................................17
2.3 Intervensi........................................................................................18
2.4 Evaluasi..........................................................................................22
2.5 Discharge Planning.........................................................................22
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................23

iii
BAB 1. KONSEP DASAR PENYAKIT

A. KONSEP DASAR PENYAKIT


1.1 Anatomi Fisiologi
Tulang rusuk atau iga (costae) adalah tulang panjang yang melengkung
dan membentuk rongga rusuk. Tulang rusuk melindungi dada (thorax), paru-
paru, jantung, hati, dan organ dalam lainnya di rongga dada. Manusia (baik
pria dan wanita) memiliki 24 tulang rusuk (12 pasang). Tulang rusuk manusia
terdiri atas tiga bagian, yaitu 7 pasang tulang sejati yakni tulang rusuk yang
ujungnya bertemu di dada. Bagian yang kedua adalah 3 pasang tulang rusuk
palsu, yakni tulang rusuk yang ujungnya melekat pada tulang rusuk di atasnya.
Bagian yang ketiga yaitu 2 pasang tulang rusuk melayang, yakni tulang rusuk
yang tidak bertemu ujungnya dan tidak melekat pada rusuk di atasnya.
Tulang Rusuk dibagi menjadi 3 bagian yaitu tulang rusuk palsu, tulang rusuk
sejati dan tulang rusuk melayang :
a) Tulang Rusuk Palsu
Tulang rusuk palsu berjumlah 3 pasang, tulang rusuk ini memiliki
ukuran sangat pendek dibanding tulang rusuk sejati, tulang ini
berhubungan langsung dengan ruas tulang bagian belakang sedangkan
ketiga ujung tulang depan disatukan oleh tulang rawan yang kemudian
melekat pada satu titik ditulang dada.
b) Tulang Rusuk Sejati
Tulang rusuk sejati berjumlah 7 pasang, tulang rusuk ini berada di
bagian belakang yang berhubungan langsung dengan ruas tulang
belakang sedangkan ujung depannya berhubungan dengan bagian
tulang dada dengan perantara yang dibantu tulang rawan.
c) Tulang Rusuk Melayang

Tulang rusuk melayang berjumlah 2 pasang, tulang rusuk ini sama seperti
tulang sejati berada di bagian paling belakang yang berhubungan dengan
bagian ruas-ruas tulang belakang tapi ujung depannya bebas atau tidak
terhubung dengan bagian tulang lainnya.
1.2 Fungsi Tulang Rusuk

 Sebagai pelindung organ-organ penting seperti jantung, hati dan paru-


paru.
 Untuk membantu pernafasan saat otot-otot interkostal mengangkat dan
menurunkan tulang rusuk, memfasilitasi dan menghembuskan nafas.
Selain itu, memiliki kerangka sebagai kerja otot dada, punggung, dan
perut juga korset bahu atas dapat menempel, diafragma juga melekat
pada batas bawah tulang rusuk. Tanpa tulang rusuk maka kita tidak bisa
bernafas dengan lancar dan tanpa tulang rusuk tidak ada pelindung bagi
organ penting yang ada pada tubuh kita (Keller dkk, 2018).

1.2 Definisi Penyakit


Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang
dan tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh trauma secara langsung
(kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian). Fraktur pada Costae/iga
merupakan fraktur yang sering terjadi akibat trauma tumpul pada dinding toraks.
Trauma tajam lebih jarang mengakibatkan fraktur iga, oleh karena luas
permukaan trauma yang sempit, sehingga gaya trauma dapat melalui sela iga.
Fraktur iga sering terjadi pada iga IV-X. Dan sering menyebabkan kerusakan
pada organ intra toraks dan intra abdomen (Brunicardi, 2006).
Fraktur pada iga VIII-XII sering menyebabkan kerusakan pada hati dan
limpa. Perlu di curigai adanya cedera neurovaskular seperti pleksus brakhialis
dan arteri atau vena subklavia, apabila terdapat fraktur pada iga I-III maupun
fraktur klavikula (Brunicardi, 2006).
Penatalaksanaan (Brunicardi, 2006):
a) Fraktur yang mengenai 1 atau 2 iga tanpa adanya penyulit/kelainan lain:
konservatif dengan anti nyeri.
b) Fraktur di atas 2 iga perlu di curigai adanya kelainan lain seperti: edema paru,
hematotoraks,dan pneumotoraks.

1.3 Epidemiologi
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat pada tahun 2011-2012
terdapat 5,6 juta orang meninggal dunia dan 1,3 juta orang menderita fraktur
akibat kecelakaan lalu lintas. Berdasarkan hasil riset oleh Badan Penelitian dan
Pengembangan Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2007, di
Indonesia terjadi kasus fraktur yang disebabkan oleh cedera antara lain karena
jatuh, kecelakaan lalu lintas dan trauma benda tajam atau tumpul. Dari 45.987
peristiwa terjatuh yang mengalami fraktur sebanyak 1.775 orang atau 3,8%, dari
20.829 kasus kecelakaan lalu lintas, yang mengalami fraktur sebanyak 1.770
orang atau 8,5%, dari 14.127 trauma benda tajam/tumpul yang mengalami fraktur
sebanyak 236 orang atau 1,7%. Prevalensi kasus fraktur meningkat dari 7,5%
tahun 2007 menjadi 8,2% pada tahun 2013.

1.4 Etiologi
Penyebab fraktur secara fisiologis merupakan suatu kerusakan jaringan
tulang yang diakibatkan dari kecelakaan, tenaga fisik, olahraga dan trauma.
Menurut Nurafif dan Kusuma ( 2015), etiologi fraktur adalah sebagai berikut :
a. Cedera Traumatik merupakan cedera yang terjadi pada tulang yang
disebabkan oleh:
1. Trauma langsung/ direct trauma, yaitu trauma yang terjadi secara
langsung terhadap tulang sehingga tulang patah secara spontan
(misalnya benturan, pukulan yang mengakibatkan patah tulang).
2. Trauma tidak langsung/ indirect trauma, yaitu trauma yang terjadi
secara tidak langsung yang terkena ke daerah yang lebih jauh dari daerah
fraktur (misalnya penderita jatuh dengan lengan dalam keadaan ekstensi
dapat terjadi fraktur pada pegelangan tangan.
3. Trauma Tembus. Penyebab trauma tembus yang sering menimbulkan
fraktur costa : Luka tusuk dan luka tembak.
b. Trauma patologis, yaitu suatu kerusakan tulang yang terjadi akibat
proses penyakit dimana dengan trauma dapat mengakibatkan fraktur,
hal ini dapat terjadi pada berbagai keadaan diantaranya: tumor tulang,
osteomielitis, scurvy (penyakit gusi berdarah) serta rakhitis
c. Fraktur baban atau fraktur kelelahan terjadi pada orang- orang yang
baru saja menambah tingkat aktivitas mereka, seperti baru di terima
dalam angkatan bersenjata atau orang- orang yang baru mulai latihan
lari.
1.5 Klasifikasi
Fraktur dapat dibagi berdasarkan beberapa klasifikasi, antara lain yaitu
(Nurafid & Kusum, 2015):
A. Berdasarkan Sifat Fraktur
1) Fraktur tertutup (closed) : bila tidak terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih dikarenkan kulit
masih utuh. Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang
berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan lunak
sekitarnya.
Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan
subkutan.
Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian
dalam dan pembengkakan.
Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata ddan
ancaman sindroma kompartement.
1) Fraktur terbuka (opened, compound) : Fraktur yang tulangnya patah
menembus otot dan kulit sehingga memungkinkan untuk terjadi infeksi
dimana kuman dari luar masuk ke dalam luka sampai ke tulang yang
patah. Derajat patah tulang terbuka dibagi menjadi 3, yaitu:
a) Derajat I
- Luka <1 cm
- Kerusakan jaringan lunak sedikit, tak ada tanda luka remuk
- Kontaminasi minimal
b) Derajat II
- Laserasi >1 cm
- Kerusakan jaringan lunak, namun tidak luas
- Fraktor kominutif sedang
- Kontaminasi sedang
c) Derajat III
- Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi struktur kulit,
otot, neurovascular serta kontaminasi derajat tinggi
- Jaringan lunak yang menutupi fraktur tulang adekuat
- Kehilangan jaringan lunak dengan fraktur tulang yang terpapar atau
kontaminasi massif
- Luka pada pembuluh arteri/saraf arteri yang harus diperbaiki tanpa
melihat kerusakan jaringan lunak
B. Berdasarkan Komplit dan Ketidak komplitan Fraktur
1) Fraktur Komplet : patah pada seluruh garis tulang dan biasanya
mengalami pergeseran (dari yang normal),
2) Fraktur tidak komplit/inkomplit : hanya patah pada sebagian dari garis
tengah tulang.
C. Berdasarkan Bentuk dan Jumlah Garis Patah
1) Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan
saling berhubungan.
2) Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi
tidak berhubungan.
3) Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi
tidak pada tulang yang sama.

5
D. Berdasarkan Posisi Fragmen
1) Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap tetapi
kedua fragmen tidak bergeser dan periosteum masih utuh.
2) Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang
juga disebut lokasi fragmen
E. Berdasarkan Bentuk Garis Fraktur dan Hubungannya dengan Mekanisme
Trauma
1) Fraktur transversal : fraktur sepanjang garis tengah tulang,
2) Fraktur green stick : fraktur yang salah satu sisi tulang patang sedang
satu sisi lainnya membengkok,
3) Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut
terhadap sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasi juga,
4) Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang
disebabkan trauma rotasi,
5) Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau
traksi otot pada insersinya pada tulang,
6) Fraktur kompresi : dengan tulang mengalami kompresi atau tulang ke
belakang,
7) Fraktur depresi : fraktur yang tulang fragmen tulangnya mendorong ke
dalam, biasa pada tulang tengkorang atau tulang wajah,
8) Fraktur patologik : fraktur yang terjadi pada daerah tulang oleh ligamen
atau tendon pada daerah perlekatannya

6
Gambar 3. Jenis-jenis Patah Tulang atau Fraktur

1.6 Patofisiologi
Sewaktu tulang patah akan mengalami perdarahan biasanya terjadi di sekitar
tempat patah ke dalam jaringan lunak di sekitar tulang tersebut, jaringan lunak
juga biasanya mengalami kerusakan. Reaksi perdarahan biasanya timbul hebat
setelah fraktur. Sel- sel darah putih dan sel anast berakumulasi menyebabkan
peningkatan aliran darah ketempat tersebut, aktivitas osteoblast terangsang dan
terbentuk tulang baru umatur yang disebut callus. Bekuan fibrin direabsorbsi dan
sel- sel tulang baru mengalami remodeling untuk membentuk tulang sejati.
Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut syaraf yang berkaitan dengan
pembengkakan yang tidak di tangani dapat menurunkan asupan darah ke
ekstrimitas dan mengakibatkan kerusakan syaraf perifer. Bila tidak terkontrol
pembengkakan akan mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah
total dan berakibat anoreksia mengakibatkan rusaknya serabut syaraf maupun
jaringan otot. Komplikasi ini di namakan sindrom compartment. Trauma pada
tulang dapat menyebabkan pasien merasa nyeri, iritasi kulit karena penekanan,
serta hilangnya kekuatan otot yang menyebabkan pasien harus imobilasi yang
akan berdampak pada nerkuangnya kemampuan perawatan diri.

7
1.7 Manifestasi Klinis
a. Nyeri
Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang di
imobilisasi, spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah
yang di rancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
b. Kehilangan fungsi
Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung
bergerak tidak alamiah bukan seperti normalnya, pergeseran fraktur
menyebabkan deformitas, ekstrimitas yang bias di ketahui dengan
membandingkan dengan ekstrimitas yang normal. Ekstrimitas tidak dapat
berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas
tulang tempat melekatnya otot.
c. Pemendekan ekstremitas
Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.Saat ekstrimitas
di periksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang yang dinamakan krepitus
yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan yang lainya.
d. Edema dan ecchymosis lokal
Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat dari
trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini biasanya baru terjadi
setelah beberapa jam atau hari setelah cedera (Padilla, 2012).
e. Hematotoraks
a. Pada WSD darah yang keluar cukup banyak dari WSD 
b. Gangguan pernapasan
f. Pneumothoraks  
a. Nyeri dada mendadak dan sesak napas 
b. Gagal pernapasan dengan sianosis 
c. Kolaps sirkulasi 
d. Dada atau sisi yang terkena lebih resonan pada perkusi dan suara napas yang
terdengar jauh atau tidak terdengar sama sekali pada auskultasi terdengar bunyi
klik (Ovedoff, 2002).
e. Jarang terdapat luka rongga dada, walaupun terdapat luka internal hebat seperti
aorta yang ruptur. Luka tikaman dapat penetrasi melewati diafragma dan
menimbulkan luka intra-abdominal.
1.8 Flail Chest
Menurut Sjamsuhidajat (2005), flail chest adalah area toraks yang melayang,
disebabkan adanya fraktur iga multipel berturutan lebih atau sama dengan 3 iga, dan
memiliki garis fraktur lebih atau sama dengan 2 pada tiap iganya. Akibatnya adalah
terbentuk area melayang atau flail yang akan bergerak paradoksal dari gerakan mekanik
pernapasan dinding toraks. Area tersebut akan bergerak masuk pada saat inspirasi dan
bergerak keluar pada saat ekspirasi.
Karakteristik (Brunicardi, 2006)
1) Gerakan "paradoksal" dari (segmen) dinding toraks saat inspirasi/ekspirasi; tidak terlihat
pada pasien dalam ventilator
2) Menunjukkan trauma hebat
3) Biasanya selalu disertai trauma pada organ lain (kepala, abdomen, ekstremitas)
Komplikasi utama adalah gagal napas, sebagai akibat adanya ineffective air movement,
yang seringkali diperberat oleh edema atau kontusio paru, dan nyeri. Pada pasien dengan
flail chest tidak dibenarkan melakukan tindakan fiksasi pada daerah flail secara eksterna,
seperti melakukan splint atau bandage yang melingkari toraks, oleh karena akan
mengurangi gerakan mekanik pernapasan secara keseluruhan (Brunicardi, 2006).

1.8 Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan rontgen : menentukan lokasi dan luasnya fraktur


b. Scan tulang, tonogram, scan CT/MRI : memperlihatkan fraktur, juga dapat digunakan
untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
c. Arteriogram : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai
d. Hitung darah lengkap : Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun
(perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada taruma multiple).
e. Kreatinin : trauma otot meningkat beban kreatinin untuk kliren ginjal
f. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi multiple
atau cedera hari.
g. Cek foto toraks berkala
Penatalaksanaan fraktur iga multipel yang disertai penyulit lain seperti: pneumotoraks
dan hematotoraks, diikuti oleh penanganan pasca operasi/tindakan yang adekuat
dengan analgetik, bronchial toilet, cek laboratorium dan foto toraks berkala, dapat
menghindari morbiditas dan mortalitas. (Sjamsuhidajat, 2005)
1.9 Penatalaksanaan
Manajemen awal untuk pasien trauma toraks tidak berbeda dengan pasien trauma
lainnya dan meliputi ABCDE, yaitu A: airway patency with care of cervical spine, B:
Breathing adequacy, C: Circulatory support, D: Disability assessment, dan E: Exposure
without causing hypothermia (Unsworth, 2015). Pemeriksaan primary survey dan
pemeriksaan dada secara keseluruhan harus dilakukan. Tujuannya adalah untuk
mengidentifikasi dan menangani kondisi yang mengancam nyawa dengan segera, seperti
obstruksi jalan napas, tension Pneumotoraks , pneuomotoraks terbuka yang masif,
hemotoraks masif, tamponade perikardial, dan flail chest yang besar. Begitu kondisi -
kondisi yang mengancam nyawa sudah ditangani, maka pemeriksaan sekunder dari kepala
hingga kaki yang lebih mendetail disertai secondary chest survey harus dilakukan.
Pemeriksaan ini akan fokus untuk medeteksi kondisi - kondisi berikut: kontusio
pulmonum, kontusi miokardial, disrupsi aortal, ruptur diafragma traumatik, disrupsi
trakeobronkial, dan disrupsi esofageal (Saaiq, et al., 2010; Lugo, et al., 2015).
Apnea, syok berat, dan ventilasi yang inadekuat merupakan indikasi utama untuk
intubasi endotrakeal darurat. Resusitasi cairan intravena merupakan terapi utama dalam
menangani syok hemorhagik. Manajemen nyeri yang efektif merupakan salah satu hal
yang sangat penting pada pasien trauma toraks.
Ventilator harus digunakan pada pasien dengan hipoksemia, hiperkarbia, dan
takipnea berat atau ancaman gagal napas. Ventilator juga diindikasikan pada pasien
dengan kontusio paru berat, hemotoraks atau penumotoraks, dan flail chest yang disertai
dengan gangguan hemodinamik (Saaiq, et al., 2010; Lugo, et al., 2015). Pasien dengan
tanda klinis tension Pneumotoraks harus segera menjalani dekompresi dengan
torakosentesis jarum dilanjutkan dengan torakostomi tube.
Foto toraks harus dihindari pada pasien - pasien ini karena diagnosis dapat
ditegakkan secara klinis dan pemeriksaan x - ray hanya akan menunda pelaksanaan
tindakan medis yang harus segera dilakukan. Tindakan lainnya seperti torakostomi tube,
torakotomi, dan intervensi lainnya dilakukan sesuai dengan kondisi pasien (Lugo, et al.,
2015).

1.10 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada kasus fraktur adalah sebagai berikut :
a. Malunion adalah tulang patah telah sembuh dalam posisi yang tidak seharusnya.
b. Delayed union adalah kegagalan fraktur berkonsolidasi (bergabung) sesuai dengan
waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung.
c. Non union adalah kegagalan fraktur berkonsolidasi dan memproduksi sambungan
yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan.
d. Syok hipovolemik. Kondisi ini terjadi akibat adanya perdarahan berlebih, pada
pasien trauma akibat fraktur pada tulang pelvis, femur, atau fraktur lain dengan jenis
fraktur terbuka.
e. Compartment syndrom merupakan komplikasi yang terjadi karena terjebaknya otot,
tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini disebabkan oleh udema
atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh darah. Tanda-tanda
sindrom kompartemen dikenal dengan 5P yaitu :
- Pain (nyeri lokal),
- Pallor (pucat bagian distal),
- Pulsessness (tidak ada denyut nadi, perubahan nadi, perfusi yang tidak baik dan
CRT > 3 detik pada bagian distal kaki),
- Paraestesia (tidak ada sensasi),
- Paralysis (kelumpuhan tungkai) (Evelyn, 2015).
1.11 Clinical Pathway

Trauma langsung Trauma tidak langsung Kondisi patologis

Fraktur

Pergeseran fragmen
Diskontinuitas tulang tulang

Perubahan jaringan
sekitar Nyeri Akut Ansietas

Pergeseran fragmen Spasme otot Laserasi kulit dan


tulang jaringan

Peningkatan tekanan
Deformitas kapiler
Post de entry
kuman Putus
Pelepasan histamin
Gangguan fungsi vena
muskuloskeletal
Risiko
Protein plasma Infeksi
hilang Perdarahan
Gangguan
Mobilitas Fisik
Oedema Kehilangan cairan

Tidak mampu ke
Penekanan
kamar mandi Risiko Syok
Pembuluh darah

Defisit Perawatan
diri:Mandi Penurunan perfusi
jaringan

Perfusi Perifer Tidak


Efektif
BAB 2. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

2. KONSEP ASUHAN
KEPERAWATAN 2.1 Pengkajian
a) Identitas Pasien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan,
alamat, status perkawinan, suku bangsa, nomor rekam medis, tanggal
masuk rumah sakit dan diagnosa medis.
b) Keluhan Utama
Identifikasi adanya nyeri pada lokasi fraktur atau tidak
c) Riwayat Penyakit Sekarang
Kaji kronologi terjadinya trauma yang menyebabkan patah tulang costae,
bagaimana mekanisme terjadinya, pertolongan apa yang sudah di
dapatkan, apakah sudah berobat ke dukun patah tulang.
d) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada beberapa keadaan, klien yang pernah berobat ke dukun patah tulang
sebelumnya sering mengalami mal-union. Penyakit tertentu seperti kanker
tulang atau menyebabkan fraktur patologis sehingga tulang sulit
menyambung. Selain itu, klien diabetes dengan luka di kaki sangat
beresiko mengalami osteomielitis akut dan kronik serta penyakit diabetes
menghambat penyembuhan tulang.
e) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan patah tulang adalah salah
satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti osteoporosis yang sering
terjadi pada beberapa keturunan dan kanker tulang yang cenderung
diturunkan secara genetik.
f) Pola Kebiasaan
1) Pola Nutrisi
Umumnya pola nutrisi pasien tidak mengalami perubahan, namun ada
beberapa kondisi dapat menyebabkan pola nutrisi berubah, seperti
nyeri yang hebat, dampak hospitalisasi terutama bagi pasien yang

14
merupakn pengalaman pertama masuk rumah sakit.
2) Pola Eliminasi
Pasien dapat cenderung mengalami gangguan eliminasi BAB seperti
konstipasi dan gangguan eliminasi urine akibat adanya program
eliminasi dilakukan ditempat tidur.
3) Pola Istirahat
Umumnya kebutuhan istirahat atau tidur pasien tidak mengalami
perubahan yang berarti, namun ada beberapa kondisi dapat
menyebabkan pola istirahat terganggu atau berubah seperti timbulnya
rasa nyeri yang hebat dan dampak hospitalisasi.
4) Pola Aktivitas
Umumnya pasien tidak dapat melakukan aktivitas (rutinitas)
sebagaimana biasanya, yang hampir seluruh aktivitas dilakukan
ditempat tidur. Hal ini dilakukan karena ada perubahan fungsi anggota
gerak serta program immobilisasi, untuk melakukan aktivitasnya
pasien harus dibantu oleh orang lain, namun untuk aktivitas yang
sifatnya ringan pasien masih dapat melakukannya sendiri.
5) Personal Hygiene
Pasien masih mampu melakukan personal hygienenya, namun harus
ada bantuan dari orang lain, aktivitas ini sering dilakukan pasien
ditempat tidur.
6) Riwayat Psikologis
Biasanya dapat timbul rasa takut dan cemas terhadap fraktur, selain itu
dapat juga terjadi ganggguan konsep diri body image, jika terjadi
atropi otot kulit pucat, kering dan besisik. Dampak psikologis ini
dapat muncul pada pasien yang masih dalam perawatan dirumah sakit.
Hal ini dapat terjadi karena adanya program immobilisasi serta proses
penyembuhan yang cukup lama.
7) Riwayat Spiritual
Pada pasien post operasi fraktur riwayat spiritualnya tidak mengalami
gangguan yang berarti, pasien masih tetap bisa

15
bertoleransi terhadap agama yang dianut, masih bisa mengartikan
makna dan tujuan serta harapan pasien terhadap penyakitnya.
8) Riwayat Sosial
Dampak sosial adalah adanya ketergantungan pada orang lain dan
sebaliknya pasien dapat juga menarik diri dari lingkungannya karena
merasa dirinya tidak berguna (terutama kalau ada program amputasi).
g. Pemeriksaan Fisik
1) B1 (Breathing)
Pre operasi: pada pemeriksaan sistem pernafasan terjadi perubahan pola
nafas/ pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada
riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru, atau karena
adanya trauma pada toraks.
Post operasi: biasanya terjadi reflek batu tidak efektif sehingga terjadi
penurunan akumulasi sekret. Bisa terjadi apneu, lidah ke belakang akibat
general anastesi, RR meningkat karena nyeri.
2) B2 (Blood)
Pre operasi: dapat terjadi peningkatan tekanan darah, peningkatan nadi
dan respirasi karena nyeri, peningkatan suhu tubuh karena terjadi infeksi
terutama pada fraktur terbuka.
Post operasi: dapat terjadi peningkatan tekanan darah, peningkatan nadi
dan respirasi karena nyeri, peningkatan suhu tubuh karena terjadi infeksi
terutama pada proses pembedahan.
3) B3 (Brain)
Pre operasi: tingkat kesadaran biasanya compos mentis.
Post operasi: dapat terjadi penurunan kesadaran akibat tindakan anastesi,
nyeri akibat pembedahan.
4) B4 (Bladder)
Pre operasi: biasanya klien fraktur tidak mengalami kelainan pada sistem
ini.
Post operasi: terjadi retensi urin akibat general anastesi.
5) B5 (Bowel)
Pre operasi: pemenuhan nutrisi dan bising usus biasanya normal, pola
defekasi tidak ada kelainan.
Post operasi: penurunan gerakan peristaltic akibat general anastesi.
6) B6 (Bone)
Pre operasi: adanya deformitas, nyeri tekan pada daerah trauma.
Post operasi: gangguan mobilitas fisik akibat pembedahan.

2.2 Diagnosa Keperawatan


1) Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik (trauma)
2) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan muskuloskeletal
3) Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan imobilitas
4) Resiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan primer,
kerusakan kulit, trauma jaringan
5) Risiko syok berhubungan dengan perdarahan

17
2.3 Intervensi
No. Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Keperawatan (NOC) (NIC)
1. Nyeri Akut Setelah dilakukan tindakan perawatan selama 3x24 Manajemen nyeri
jam, diharapkan tingkat nyeri menurun dan kontrol Observasi
nyeri meningkat dengan kriteria hasil: 1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
termasuk lokasi, karakteristik, durasi frekuensi
Kontrol nyeri ,kualitas, intensitas atau beratnya nyeri dan faktor
Skala Keterangan pencetus
Indikator
Awal Akhir skala 2. Observasi adanya petunjuk nonverbal mengenai
Kemampuan 2 5 1. Menurun ketidaknyamanan
menggunakan 2. Cukup Kolaborasi
teknik non- menurun 3. Pastikan perawatan analgesik bagi pasien dilakukan
farmakologis 3. Sedang dengan pemantauan ketat
4. Cukup Terapeutik
meningkat 4. Ajarkan teknik relaksasi dan distraksi untuk
5. Meningkat mengatasi nyeri
Teknik relaksasi
Tingkat nyeri Edukasi
Skala Keterangan 5. Gambarkan rasionalisasi dan manfaat relaksasi serta
Indikator Awal Akhir skala jenis relaksasi yang tersedia.
Nyeri yang 3 5 1. Meningkat Terapeutik
dilaporkan 2. Cukup 6. Tunjukkan dan praktikkan teknik relaksasi pada klien
Ekspresi nyeri 3 5 meningkat 7. Dorong pengulangan teknik praktik relaksasi
wajah 3. Sedang Evaluasi dan dokumentasi respon terhadap terapi
Tidak bisa 3 5 4. Cukup relaksasi
beristirahat menurun

18
5. Menurun
2. Gangguan Setelah dilakukan tindakan perawatan selama 3x24 Dukungan mobilisasi
Mobilitas Fisik jam, diharapkan mobilitas fisik meningkat dengan Observasi
kriteria hasil: 1. Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya
2. Identifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan
Mobilitas fisik
3. Monitor tekanan darah sebelum memulai mobilisasi
Skala Keterangan
Indikator Awal Akhir skala Terapeutik
Pergerakan 3 5 1. Menurun 4. Fasilitasi melakukan pergerakan
ekstremitas 2. Cukup 5. Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam
Kekuatan otot 3 5 menurun meningkatkan pergerakan
3. Sedang 6. Instruksikan klien/keluarga cara melakukan latihan
4. Cukup ROM aktif atau pasif
meningkat
Edukasi
5. Meningkat
7. Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi Ajarkan
Rentang gerak 3 5 mobilisasi sederhana yang harus dilakukan (mis,
(ROM) duduk ditempat tidur, duduk di sisi tempat tidur,
pindah dari tempat tidur ke kursi).
8. Jelaskan pada klien dan keluarga mengenai manfaat
dan tujuan melakukan latihan sendi

3. Perfusi perifer Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 Perawatan Sirkulasi
tidak efektif jam diharapkan perfusi perifer tidak efektif teratasi Observasi
dengan kriteria hasil 1. Periksa sirkulasi perifer
Perfusi Perifer 2. Identifikasi faktor risiko gangguan perifer
Skala 3. Monitor panas, kemerahan, nyeri, atau bengkak
Indikator Keterangan skala
Awal Akhir pada ekstremitas

19
Edema perifer 3 5 1. Memburuk Terapeutik
Tekanan darah 2. Cukup 4. Monitor TTV
Akral memburuk 5. Lakukan pencegahan infeksi
Nyeri 3 5 3. Sedang Edukasi
ekstremitas 4. Cukup 6. Anjurkan meminum obat sesuai anjuran dokter
Pengisian 3 5 membaik
kapiler 5. Membaik

4. Risiko infeksi Setelah dilakukan tindakan perawatan selama 2x24 Pencegahan infeksi
jam, diharapkan tingkat infeksi pasien menurun Observasi
dengan kriteria hasil: 1. Monitor tanda dan gejala infeksi
Tingkat infeksi 2. Monitor tanda-tanda vital
Skala Terapeutik
Indikator Keterangan skala
Awal Akhir 3. Berikan perawatan kulit pada area edema
Kemerahan 3 5 1. Meningkat 4. Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan
Nyeri 3 5 2. Cukup pasien dan lingkungan pasien
Bengkak 3 5 meningkat Edukasi
3. Sedang 5. Jelaskan tanda dan gejala infeksi
4. Cukup
6. Ajarkan cuci tangan dengan benar
menurun
7. Ajarkan cara memeriksa kondisi luka atau luka
5. Menurun
operasi

5. Risiko syok Setelah dilakukan tindakan perawatan selama 2x24 Pencegahan Syok
jam, diharapkan tingkat infeksi pasien membaik Observasi
dengan kriteria hasil: 1. Monitor status oksigen
Tingkat Syok 2. Monitor status cairan

20
Skala Terapeutik
Indikator Keterangan skala
Awal Akhir 3. Berikan oksigen untuk memperatahankan SO2
Saturasi 3 5 1. Memburuk 4. Pasang kateter urine untuk menilai produksi urine
oksigen 2. Cukup Edukasi
TTV memburuk 5. Jelaskan penyebab syok
Pengisian 3. Sedang 6. Anjurkan memperbanyak asupan cairan oral
darah kapiler 4. Cukup Kolaborasi
Akral dingin 3 5 membaik 7. Kolaborasi pemberian PRC
Pucat 3 5 5. Membaik
2.4 Evaluasi
1 . Kerusakan jaringan kulit tidak terjadi
2 . Mampu mengetahui tanda dan gejala infeksi
3 . TTV dalam batas normal (TD: 120/80, RR 16-20x/mnt, Nadi 80-100x/mnt,
Suhu 36,5-37,5oC)

4 . Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan teknik


nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri)
5 . Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri
6 . Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri)
7 . Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang

2.5 Discharge Planning


Selama dirawat di rumah sakit, pasien sudah dipersiapkan untuk perawatan
di rumah. Beberapa informai yang harus disiapkan/ diberikan kepada pasien dan
keluarga adalah:
a. Pengertian dari penyakit fraktur femur
b. Penjelasan tentang penyebab fraktur femur
c. Tanda dan gejala tentang fraktur femur, nyeri, dan risiko infeksi
d. Penjelasan tentang mobilisasi
e. Penjelasan tentang perawatan balutan/luka di rumah
f. Pasien dan keluarga dapat pergi ke rumah sakit/puskesmas terdekat apabila
ada keluhan
g. Keluarga harus mendorong pasien dalam menaati program pemulihan
kesehatan.

22
DAFTAR PUSTAKA

Bararah, T & Jauhar, M. 2013. Asuhan Keperawatan Panduan Lengkap Menjadi


Perawat Profesional Jilid I. Jakarta : Prestasi Pustaka.

Desiartama A. Aryana I.G.N.W. 2017. Gambaran Karakteristik Pasien Fraktur


Femur Akibat Kecelakaan Lalu Lintas Pada Orang Dewasa Di Rumah Sakit
Umum Pusat Sanglah Denpasar Tahun 2013. E-Jurnal Medika. 6(5).

Evelyn C. 2015. Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. Jakarta: Gramedia


Pustaka Utama.

Nurafif, A. H. dan H. Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan


Bersarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC NOC. Yogyakarta:
MediAction.

Keiler, J., Sidel, R., Wree, A. 2018. The femoral vein diameter and its correlation
with sex, age and body mass index – An anatomical parameter with
clinicalrelevance. The Journal of Venous Desease. 0(0): 1-12.

Moorhead, et all. 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC) Fifth Edition.


Mosby: Elsevier.

Padila. 2012. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Nuha Medika.

PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi dan Indikator


Diagnostik. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional
Indonesia
PPNI. 2017. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Definisi dan Tindakan
Keperawatan. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional
Indonesia
PPNI. 2017. Standar Luaran Keperawatan Indonesia Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional
Indonesia

Sagaran V.C, Menkes M, Rosfita R. 2017. Distribusi Fraktur Femur Yang


Dirawat Di Rumah Sakit Dr.M.Djamil Padang (2010-2012). Jurnal
Kesehatan Andalas. 6(3).

23

Anda mungkin juga menyukai