Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN

“FRAKTUR TIBIAFIBULA”

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik

Departemen Surgikal di Ruang 20 RSUD Dr. Saiful Anwar Malang

OLEH:

HANIK PURNOMOWATI

180070300111037

Kelompok 3B

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2018
FRAKTUR TIBIA FIBULA ATAU FRAKTUR CRURIS

a. Pengertian
Cruris berasal dari bahasa latin crus atau cruca yang berarti tungkai
bawah yang terdiri dari tulang tibia dan fibula. Fraktur cruris adalah
terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya, terjadi
pada tulang tibia dan fibula. Fraktur terjadi jika tulang mendapatkan stress
yang lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya.
Fraktur pada shaft (batang) tibia dan fibula yang sering disebut fraktur
cruris merupakan fraktur yang sering terjadi dibandingkan dengan fraktur pada
tulang panjang lainnya.Periosteum yang melapisi tibia agak tipis terutama
pada daerah depan yang hanya dilapisi kulit sehingga tulang ini mudah patah
dan biasanya fragmen frakturnya bergeser karena berada langsung dibawah
kulit sehingga sering juga ditemukan fraktur terbuka.

Fraktur cruris merupakan suatu istilah untuk patah tulang tibia dan fibula
yang biasanya terjadi pada bagian proksimal (kondilus), diafisis atau
persendian pergelangan kaki.

b. Etiologi
Penyebab fraktur diantaranya adalah sebagai berikut:
1) Trauma
Jika kekuatan langsung mengenai tulang maka dapat terjadi patah pada
tempat yang terpapar, hal ini juga mengakibatkan kerusakan pada
jaringan lunak disekitarnya. jika kekuatan tidak langsung mengenai tulang
maka dapat terjadi fraktur pada tempat yang jauh dari tempat yang
terkena dan kerusakan jaringan lunak ditempat fraktur mungkin tidak ada.
Fraktur karena trauma dapat dibagi menjadi 2 yaitu:
a. Trauma langsung. Benturan pada tulang mengakibatkan ditempat
tersebut.
b. Trauma tidak langsung. Titik tumpu benturan dengan terjadinya
fraktur berjauhan.
2) Fraktur akibat kecelakaan atau tekanan.
Tulang juga bisa mengalami otot-otot yang berada disekitar tulang
tersebut tidak mampu mengabsorpsi energi atau kekuatan yang
menimpanya.
3) Spontan
Terjadi tarikan otot yang sangat kuat seperti olah raga.
4) Fraktur Patologis
Adalah suatu fraktur yang secara primer terjadi karena adanya proses
pelemahan tulang akibat suatu proses penyakit atau kanker yang
bermetastase atau osteoporosis.

c. Patofisiologi
Terlampir

d. Klasifikasi Fraktur
Ada 2 tipe dari fraktur cruris yaitu :
1) Fraktur intra capsuler: yaitu dalam tulang sendi panggul dan captula
a. Melalui kapital fraktur
b. Hanya dibawah kepala femur
c. Melalui leher dari femur
2) Fraktur Ekstra capsuler
a. Terjadi diluar sendi dan kapsul melalui trokanter cruris yang lebih
besar atau yang lebih kecil pada daerah intertrokanter
b. Terjadi di bagian distal menuju leher cruris tetapi tidak lebih dari 2
inchi di bawah trokanter terkecil

e. Tanda dan gejala


Adapun manifestasi pada fraktur cruris antara lain sebagai berikut:
1) Nyeri terus-menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai
alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antarfragmen
tulang.
2) Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai menyebabkan
deformitas (terlihat maupun teraba) ekstremitas yang bisa diketahui
dengan membandingkan ekstremitas normal. Ekstremitas tak dapat
berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada
integritas tulang tempat melengketnya otot.
3) Pada fraktur tulang panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya
karena kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur.
Fragmen sering saling melingkupi satu sama lain sampai 2,5-5 cm (1-2
inchi).
4) Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu
dengan lainnya. Uji krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan
lunak yang lebih berat.
5) Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai
akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur.
6) Adanya perubahan fungsi atau penurunan fungsi pada tulang yang
mengalami fraktur

f. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada kasus fraktur antara lain
sebagai berikut:
1)  Foto Rontgen
Untuk mengetahui lokasi fraktur dan garis fraktur secara langsung dan
Mengetahui tempat atau tipe fraktur. Biasanya diambil sebelum dan
sesudah serta selama proses penyembuhan secara periodik. 
2) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
3) Artelogram bila ada kerusakan vaskuler
4) Tekhnik lain
a. Tomografi
Menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain tertutup
yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur
yang kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur
lain juga mengalaminya.
b. Myelografi
Menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah di
ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma.
c. Arthrografi
Menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda paksa.
d. Computed Tomografi-Scanning
Menggambarkan potongan secara transversal dari tulang dimana
didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.

g. Penatalaksanaan
Prinsip penanganan fraktur meliputi rekognisi, traksi, reduksi imobilisasi dan
pengembalian fungsi dan kekuatan normal dengan rehabilitasi.
1) Rekognasi
Pergerakan relatif sesudah cidera dapat mengganggu suplai
neurovascular ekstremitas yang terlibat. Karena itu begitu diketahui
kemungkinan fraktur tulang panjang, maka ekstremitas yang cedera harus
dipasang bidai untuk melindunginya dari kerusakan yang lebih parah.
Kerusakan jaringan lunak yang nyata dapat juga dipakai sebagai petunjuk
kemungkinan adanya fraktur, dan dibutuhkan pemasangan bidai segera
dan pemeriksaan lebih lanjut. Hal ini khususnya harus dilakukan pada
cidera tulang belakang bagian servikal, di mana contusio dan laserasio
pada wajah dan kulit kepala menunjukkan perlunya evaluasi radiografik,
yang dapat memperlihatkan fraktur tulang belakang bagian servikal
dan/atau dislokasi, serta kemungkinan diperlukannya pembedahan untuk
menstabilkannya.
2) Reduksi
Dalam penatalaksanaan fraktur dengan reduksi dapat dibagi menjadi 2
yaitu:
a. Reduksi Tertutup/ORIF (Open Reduction Internal Fixation)
Reduksi fraktur (setting tulang) berarti mengembalikan fragment tulang
pada kesejajarannya dan rotasi anatomis. Reduksi tertutup, traksi,
dapat dilakukan untuk mereduksi fraktur. Metode tertentu yang dipilih
bergantung sifat fraktur, namun prinsip yang mendasarinya tetap
sama.Sebelum reduksi dan imobilisasi fraktur, pasien harus disiapkan
untuk menjalani prosedur dan harus diperoleh izin untuk melakukan
prosedur, dan analgetika diberikan sesuai ketentuan. Mungkin perlu
dilakukan anesthesia. Ekstremitas yang akan dimanipulasi harus
ditangani dengan lembut untuk mencegah kerusakan lebih lanjut.
Reduksi tertutup pada banyak kasus, reduksi tertutup dilakukan
dengan mengembalikan fragment tulang ke posisinya (ujung-ujungnya
saling berhubungan) dengan manipulasi dan traksi manual.
b. Reduksi Terbuka/OREF (Open Reduction Eksternal Fixation)
Pada Fraktur tertentu dapat dilakukan dengan reduksi eksternal atau
yang biasa dikenal dengan OREF, biasanya dilakukan pada fraktur
yang terjadi pada tulang panjang dan fraktur fragmented. Eksternal
dengan fiksasi, pin dimasukkan melalui kulit ke dalam tulang dan
dihubungkan dengan fiksasi yang ada dibagian luar. Indikasi yang
biasa dilakukan penatalaksanaan dengan eksternal fiksasi adalah
fraktur terbuka pada tulang kering yang memerlukan perawatan untuk
dressings. Tetapi dapat juga dilakukan pada fraktur tertutup radius
ulna. Eksternal fiksasi yang paling sering berhasil adalah pada tulang
dangkal tulang misalnya tibial batang.
3) Traksi
Alat traksi diberikan dengan kekuatan tarikan pada anggota yang fraktur
untuk meluruskan bentuk tulang. Ada 2 macam yaitu:
a. Skin Traksi
Skin traksi adalah menarik bagian tulang yang fraktur dengan
menempelkan plester langsung pada kulit untuk mempertahankan
bentuk, membantu menimbulkan spasme otot pada bagian yang
cedera, dan biasanya digunakan untuk jangka pendek (48-72 jam).
b. Skeletal traksi
Adalah traksi yang digunakan untuk meluruskan tulang yang cedera
pada sendi panjang untuk mempertahankan bentuk dengan
memasukkan pins / kawat ke dalam tulang.
4) Imobilisasi Fraktur
Setelah fraktur di reduksi, fragment tulang harus diimobilisasi, atau
dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi
penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau
interna. Metode fiksasi eksternal meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi
kontinu, pin dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat
digunakan untuk fiksasi interna yang berperan sebagai bidai interna untuk
mengimobilisasi fraktur.

h. Komplikasi
1) Komplikasi awal
a) Kerusakan arteri : Pecahnya arteri karena trauma dapat ditandai
dengan tidak adanya nadi, CRT menurun, sianosis pada bagian
distal.
b) Sindrom kompartemen : Merupakan komplikasi yang serius yang
terjadi karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah
dalam jaringan parut. Hal ini disebabkan oleh edema atau
perdarahan yang menekan otot saraf dan pembuluh darah, atau
karena tekanan dari luar seperti gips dan pembebatan yang terlalu
kuat.
c) Fat Embolism Syndrome : Komplikasi serius yang sering terjadi
pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-se lemak
yang dihasilkan marrow kuning masuk ke aliran darah dan
menyebabkan kadar oksigen dalam darah menjadi rendah. Hal
tersebut ditandai dengan gangguan pernapasan, takikardi,
hipertensi, takipnea dan demam.
d) Infeksi : Sistem pertahanan tubuh akan rusak bila ada trauma pada
dan jaringan. Pada trauma ortopedi, infeksi dimulai pada kulit dan
masuk ke dalam. Hal ini biasanya terjadi pada kasus fraktur
terbuka, tetapi dapat juga karena penggunaan bagian lain dalam
pembedahan, seperti pin (ORIF & OREF) dan plat.
e) Syok : Syok terjadi karena kehilangan banyak darah dan
meningkatnya permeabilitas kapiler sehingga menyebabkan
oksigenasi menurun.
2) Komplikasi lanjut
a) Mal union adalah keadaan ketika fraktur menyembuh pada saatnya,
tetapi terdapat deformitas yang berbentuk angulasi pemendekan
atau union secara menyilang misalnya pada fraktur tibia-fibula.
b) Delayed union adalah merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi
sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung.
Hal ini terjadi karena suplai darah ke tulang menurun. Delayed
union adalah fraktur yang tidak sembuh setelah waktu tiga bulan
untuk anggota gerak atas dan lima bulan untuk anggota gerak
bawah.
c) Non union adalah fraktur yang tidak sembuh antara 6-8 bulan dan
tidak didapatkan konsolidasi sehingga terdapat pseudoartrosis
(sendi palsu). Pseudoartrosis dapat terjadi tanpa infeksi, tetapi
dapat juga terjadi bersama-sama infeksi
Patofisiologi Fraktur
Fraktur

Perubahan status Cedera sel Diskontuinitas Luka terbuka Reaksi peradangan


kesehatan fragmen tulang

Kurang
Degranulasi sel Terapi restrictif Lepasnya lipid Port de’ entri Gg. Integritas Edema
informasi
mast pada sum-sum kuman kulit
tulang

Kurang
Pelepasan Gg. Mobilitas Resiko Infeksi Penekanan pada
penget Terabsorbsi
mediator fisik jaringan vaskuler
ahunan masuk kealiran
kimia
darah Nekrosis
Penurunan aliran
Oklusi arteri Jaringan paru
Korteks Nociceptor darah
Emboli paru
serebri

Resiko disfungsi
Medulla
Gangguan pertukaran Penurunan laju Luas permukaan neurovaskuler
Nyeri spinali
gas difusi paru menurun
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
a. Pengkajian
1. Pengumpulan Data
a. Anamnesa
1) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang
dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan
darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis.
2) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa
nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya
serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa
nyeri klien digunakan (PQRST):
a) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang
menjadi faktor presipitasi nyeri.
b) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau
menusuk.
c) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah
rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
d) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan
klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan
seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
e) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah
buruk pada malam hari atau siang hari
3) Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari
fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan
terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut
sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian
tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme
terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain
4) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur
dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung.
Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s
yang menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk
menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt
beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes
menghambat proses penyembuhan tulang
5) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang
merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti
diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan
kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik
6) Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang
dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon
atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga
ataupun dalam masyarakat
7) Pola-Pola Fungsi Kesehatan
a) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya
kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan
kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu,
pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan
obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme kalsium,
pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya
dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak.
b) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi
kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C
dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi
terhadap pola nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab
masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari
nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan
terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi
masalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga
obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
c) Pola Eliminasi
Perlu dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada
pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji
frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola
ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak
d) Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak,
sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien.
Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur,
suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta
penggunaan obat tidur
e) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua
bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu
banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah
bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada
beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur
dibanding pekerjaan yang lain
f) Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam
masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap
g) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul
ketidakutan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa
ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan
pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image)
h) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada
bagian distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul
gangguan.begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan.
Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur
i) Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan
hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan
keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu
juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak,
lama perkawinannya
j) Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya,
yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya.
Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif
k) Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan
beribadah dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini
bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien
b. Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk
mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini
perlu untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan
dimana spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi
lebih mendalam.
1) Gambaran Umum
Perlu menyebutkan:
a) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-
tanda, seperti:
(1) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah,
komposmentis tergantung pada keadaan klien.
(2) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang,
berat dan pada kasus fraktur biasanya akut.
(3) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik
fungsi maupun bentuk.
b) Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
(1) Sistem Integumen
Adakah erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat,
bengkak, oedema, nyeri tekan.
(2) Kepala
Adakah gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada
penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
(3) Leher
Adakah gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan,
reflek menelan ada.
(4) Muka
Apakah wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada
perubahan fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak
oedema.
(5) Mata
Adakah gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena
tidak terjadi perdarahan)
(6) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Adakah
lesi atau nyeri tekan.
(7) Hidung
Adakah deformitas, pernafasan cuping hidung.
(8) Mulut dan Faring
Adakah pembesaran tonsil, gusi terjadi perdarahan, mukosa
mulut tidak pucat.
(9) Thoraks
Adakah pergerakan otot intercostae, gerakan dada.
(10) Paru
(a) Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya
tergantung pada riwayat penyakit klien yang
berhubungan dengan paru.
(b) Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
(c) Perkusi
Adakah suara ketok sonor, tak ada redup atau suara
tambahan lainnya.
(d) Auskultasi
Adakah Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau
suara tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.
(11) Jantung
(a) Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung.
(b) Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
(c) Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
(12) Abdomen
(a) Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
(b) Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak
teraba.
(c) Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
(d) Auskultasi
Peristaltik usus normal  20 kali/menit.
(13) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada
kesulitan BAB.
2) Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama
mengenai status neurovaskuler. Pemeriksaan pada sistem
muskuloskeletal adalah:
(1) Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
(a) Cictriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan
seperti bekas operasi).
(b) Cape au lait spot (birth mark).
(c) Fistulae.
(d) Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau
hyperpigmentasi.
(e) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal
yang tidak biasa (abnormal).
(f) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
(g) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
(2) Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita
diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya
ini merupakan pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah,
baik pemeriksa maupun klien.Yang perlu dicatat adalah:
(a) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban
kulit.
(b) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau
oedema terutama disekitar persendian.
(c) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3
proksimal,tengah, atau distal).
Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang
terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga
diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat
benjolan perlu dideskripsikan permukaannya, konsistensinya,
pergerakan terhadap dasar atau permukaannya, nyeri atau tidak,
dan ukurannya.
(3) Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan
menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri
pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat
mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi
dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari
titik 0 (posisi netral) atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini
menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak.
Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif
c. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan”
menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3
dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2
proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu
diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk
memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya superposisi. Perlu
disadari bahwa permintaan x-ray harus atas dasar indikasi kegunaan
pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan.
Hal yang harus dibaca pada x-ray:
a) Bayangan jaringan lunak.
b) Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau
biomekanik atau juga rotasi.
c) Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
d) Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik
khususnya seperti:
(1) Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi
struktur yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus
ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak
pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga
mengalaminya.
(2) Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan
pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami
kerusakan akibat trauma.
(3) Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak
karena ruda paksa.
(4) Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan
secara transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur
tulang yang rusak.
2. Pemeriksaan Laboratorium
a) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.
b) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan
menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
c) Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase
(LDH-5), Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang
meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
3. Pemeriksaan lain-lain
a) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas:
didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi.
b) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan
pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
c) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang
diakibatkan fraktur.
d) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek
karena trauma yang berlebihan.
e) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi
pada tulang.
f) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur
b. Diagnosis keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul adalah sebagai berikut:
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera (terputusnya jaringan tulang, gerakan
fragmen tulang, edema dan cedera pada jaringan)
2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas struktur tulang
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan imobilitas fisik
4. Resiko infeksi berhubungan dengan trauma destruksi jaringan tulang
5. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan

c. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi dan Rasional
. Keperawatan Hasil
1. Nyeri akut NOC: pain level dan NIC:Pain Managament
berhubungan pain control 1.1 lakukan pengkajian nyeri
dengan agen Kriteria Hasil: secara komprehensif (lokasi,
cidera
- Pasien mampu karakteristik, durasi,
(terputusnya
jaringan mengontrol nyeri (tahu frekuensi, kualitas)
tulang, gerakan penyebab nyeri dan
mampu menggunakan Rasional : mengetahui skala
fragmen
tulang, edema tehknik nonfarmakologi nyeri yang dirasakan pasien
dan cedera untuk mengurangi 1.2 kontrol lingkungan pasien
pada jaringan) nyeri) yang dapat mempengaruhi
- Mampu mengenali nyeri nyeri seperti suhu ruangan,
(skala, intensitas, pencahayaan, dan kebisingan
frekuensi) Rasional : memberikan
Menyatakan rasa kenyamanan bagi pasien
nyaman setelah nyeri 1.3 ajarkan tentang tekhnik non
berkurang farmakologi seperti teknik
relaksasi nafas dalam

Rasional : mengalihkan rasa


nyeri yang dirasakan pasien
1.4 berikan analgetik untuk
mengurangi nyeri

Rasional : mengurangi rasa


nyeri pasien
1.5 tingkatkan istirahat
Rasional : manajemen energi
pasien
1.6 evaluasi keefektifan control
nyeri

Rasional : mengevaluasi hasil


tindakan dan menentukan
intervensi lanjutan

2. Hambatan NOC: joint movement NIC:Exercise therapy


mobilitas fisik dan mobility level (ambulation)
berhubungan Kriteria Hasil: 2.1 monitor vital sign sebelum
dengan
- Peningkatan aktivitas dan sesudah latihan
kerusakan
integritas pasien Rasional : mengetahui
struktur tulang - Memperagakan kondisi pasien secara umum
penggunaan alat bantu 2.2 kaji kemampuan pasien
untuk mobilisasi dalam mobilisasi
Rasional : mengetahui
kemampuan pasien
2.3 dampingi dan bantu pasien
saat mobilisasi dan bantu
penuhi kebutuhan sehari hari
pasien (ADLS)
Rasional : mencegah
terjadinya cedera
2.4 berikan alat bantu jika pasien
membutuhkan
Rasional : memberikan
keamanan bagi pasien
2.5 ajarkan pasien bagaimana
mengubah posisi dan berikan
bantuan jika diperlukan
Rasional : mencegah cedera
pada pasien

3. Kerusakan NOC: tissue integrity NIC: Pressure Management


integritas kulit (skin and mocus 3.1 jaga kebersihan kulit agar
berhubungan membranes) tetap bersih dan kering
dengan
Kriteria Hasil: Rasional : menghindari
imobilitas fisik
- Tidak ada luka, lesi terjadinya infeksi
pada kulit 3.2 mobilisasi pasien setiap 2
- Perfusi jaringan baik jam sekali
- Integritas kulit yang Rasional : mencegah luka
baik bisa dipertahankan dekubitus
(sensasi, elastisitas, 3.3 monitor kulit aka adanya
temperature, hidrasi kemerahan
pigmentasi) Rasional : memantau tanda-
tanda infeksi
3.4 oleskan lotion atau minyak
pada daerah yang tertekan
Rasional : mencegah luka
dekubitus
3.5 monitor status niutrisi pasien
Rasional : membantu
pemulihan

4. Resiko infeksi NOC: immune status, NIC: Infection Control


berhubungan and risk control 4.1 monitor vital sign pasien
dengan trauma Kriteria Hasil: Rasional : mengetahui
destruksi - Klien bebas dari tanda
kondisi umum pasien
jaringan tulang dan gejala infeksi
4.2 batasi pengunjung
- Jumlah leukosit dalam
Rasional : mengurangi
batas normal
resiko infeksi
4.3 cuci tangan setiap sebelum
dan sesudah tindakan
keperawatan
Rasional : tindakan aseptik
untuk mencegah terjadinya
infeksi
4.4 pertahankan lingkungan
aseptic selama pemasangan
alat
Rasional : mengurangi resiko
infeksi
4.5 tingkatkan intake nutrisi
Rasional : meningkatkan
status imun pasien

5. Ansietas NOC: Anxiety self NIC: anxiety reduction


berhubungan control, coping 5.1 gunakan pendekatan yang
dengan
perubahan Kriteria Hasil: menenangkan
status - Pasien mampu
kesehatan Rasional : memberikan rasa
mengidentifikasi dan nyaman pada pasien
mengungkapkan gejala 5.2 jelaskan semua prosedur dan
cemas apa yang yang dirasakan
- Mengidentifikasi, selama prosedur
mengungkapkan dan
Rasional : menurunkan rasa
menunjukkan tekhnik cemas pasien
untuk mengontrol 5.3 dengarkan dengan penuh
cemas perhatian

Vital sign dalam batas Rasional : memberikan


normal penghargaan pada pasien
5.4 identifikasi tingkat
kecemasan
Rasional : mengetahui
tingkat cemas yang dirasakan
pasien
5.5 instruksikan pasien
menggunakan teknik
relaksasi
Rasional : mengurangi rasa
cemas pasien
Daftar pustaka

Mansjoer, Arif. dkk. 2002. Kapita Selekta Kedokteran Edisi ketiga Jilid 2. Jakarta:
Media Aesculapsis Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Marilynn, Doenges. 2007. Rencana Asuhan Keperawatan (Pedoman Untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien),Edisi 3. Jakarta:
EGC.

Nanda International. 2011. Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2012-


2014. Jakarta: EGC..

Price, Sylvia. 2006. PATOFISIOLOGI Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit


Edisi 6 Volume 2. Jakarta: EGC.

Smeltzer , Suzanna C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:


EGC.

Anda mungkin juga menyukai