Anda di halaman 1dari 55

LAPORAN PENDAHULUAN

PASIEN DENGAN “FRAKTUR PELVIS”

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Keperawatan Medikal Bedah

DISUSUN OLEH:

ADELLIA PUTRI

201910461011069

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2020
BAB I

KONSEP TEORI

1.1 Anatomi & Fisiologis Pelvis

Pelvis dibentuk oleh tulang coxae, sacrum, dan coccygis, yang masing-masing

tulang dihubungkan oleh ligamentum. Dinding pelvis dibentuk oleh tulang dan

ligament yang sebagian diantaranya dilapisi oleh otot beserta fascia dan peritoneum

parietal. Pelvis memiliki dinding anterior, posterior, lateral, dan juga mempunyai

dinding inferior atau dasar pelvis. Dinding anterior pelvis adalah dinding yang paling

dangkal, dan dibentuk oleh permukaan posterior korpus os pubis, rami pubicum, dan

sympisis pubis. Dinding posterior pelvis luas dan dibentuk oleh os.sacrum, dan os.

Coccygis serta musculus piriformis dan fasia pelvis parietalis yang meliputinya.

Dinding lateralis pelvis dibentuk oleh sebagian os.coxae dibawah aperture pelvis

superior, membrane obturatoria, ligamentum sakrotuburale, dan ligamentum

sakrospinale, serta musculus obturatorius internus beserta fascia yang meliputinya.

Os.coxae (tulang panggul) terdiri atas os ilium yang terletak di superior, os ischium

yang terletak di posterior dan inferior, dan os pubis yang terletak di anterior dan

inferior. Pada permukaan luar os coxae terdapat lekukan dalam, acetabulum, yang

bersendi dengan kaput femoralis (Sjamsuhidayat & Jong. 2015).

Dibelakang acetabulum terdapat incisura besar, incisura ischiadica major yang

dipisahkan dari incisura ischiadica minor oleh spina ischiadica. Os ilium yang

merupakan bagian atas os coxae yang rata, mempunyai crista iliaca yang berjalan

diantara spina iliaka anterior superior dan spina iliaka posterior superior. Dibawah

kedua spina ini terdapat spina iliaca anterior inferior, dan spina iliaca posterior

inferior. Os ischii merupakan bagian inferior dan posterior os coxae dan mempunyai
spina ischiadica dan tuber ishiadicum. Os pubis merupakan bagian anterior os coxae

dan mempunyai corpus ossis pubis, ramus superior ossis pubis, dan ramus inferior

ossis pubis. Pada bagian bawah coxae terdapat lubang besar, foramen obturatorum

yang dibatasi oleh bagian-bagian os ischium dan os pubis. Foramen obturatoum

ditutupi oleh membrane obturatoria. Fascia pelvis dibentuk oleh jaringan ikat dan

dilanjutkan ke atas sebagai fascia yang membatasi dinding abdomen. Dibawah, fascia

melanjut sebagai fascia perinea. Fascia pelvis dibagi menjadi fascia pelvis parietalis,

dan fascia pelvis visceralis. Fascia pelvis parietalis membatasi dinding-dinding pelvis

dan diberi nama sesuai dengan otot yang dilapisinya (Sjamsuhidayat & Jong. 2015).

Gambar 1. Anatomi Pelvis

Fascia pelvis viseralis merupakan jaringan ikat longgar yang meliputi dan

menyokong semua visceral pelvis. 3 Plexus sacralis terletak pada dinding posterior

pelvis di depan musculus piriformis.plexus ini dibentuk dari rami anterior nervi

lumbales IV dan V serta nervi anterior nervi sacrales I, II, III, IV. Sebagian nervus

lumbalis IV bergabung dengan nervus lumbalis V untuk membentuk truncus

lumbosacralis. Truncus lumbosacralis berjalan turun kedalam pelvis dan bergabung


dengan nervus sacrales waktu nervus sacrales keluar dari foramina sacralia anterior.

Cabang-cabang plexus sacralis yang menuju ke ekstremitas inferior antara lain :

nervus ischiadicus, nervus gluteus superior, nervus gluteus inferior, saraf untuk

musculus quadratus femoris, saraf untuk musculus obturatorius internus, nervus

cutaneus femoris posterior. Cabang-cabang plexus sacralis untuk otot-otot pelvis,

visceral pelvis, dan perineum antara lain : nervus pudendus, saraf untuk musculus

piriformis, nervus splanchnicus pelvicus, nervus cutaneus perforans. 3 Plexus

lumbalis memiliki cabang-cabang antara lain : truncus lumbosacralis, dan nervus

obturatorius (Sjamsuhidayat & Jong. 2015).

Truncus lumbosacralis dibentuk dari sebagian ramus anterior nervus lumbalis

4 yang muncul dari sisi medial musculus psoas major dan bergabung dengan ramus

anterior nervus lumbalis 5. Nervus obturatorius yang merupakan cabang dari plexus

lumbalis ini muncul dari sisi medial musculus psoas major didalam abdomen dan

mengikuti truncus lumbosacralis kebawah masuk kedalam pelvis. Nervus

obturatorius ini terbagi 2 menjadi cabang anterior dan posterior yang berjalan melalui

canalis obturatorius dan masuk ke regio aduktor tungkai atas (Sjamsuhidayat & Jong.

2015).

Gambar 2. Sisi Lateral Tulang Innomunatum


1.2 Pengertian

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang ditandai oleh rasanyeri,

pembengkakan, deformitas, gangguan fungsi, pemendekan, dan krepitasi. Fraktur

adalah terputusnya jaringan tulang/tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh

ruda paksa. Sehingga fraktur pelvis dapat dikatakan sebagai trauma tulang rawan

pada pelvis yang disebabkan oleh ruda paksa, misal : kecelakaan, benturan hebat

yang ditandai oleh rasa nyeri, pembengkakan, deformitas, dan lain-lain. Fraktur

pelvis merupakan 5 % dari seluruh fraktur. 2/3 trauma pelvis terjadi akibat

kecelakaan lalu lintas. 10% diantaranya disertai trauma pada alat-alat dalam rongga

panggul seperti uretra, buli-buli, rektum serta pembuluh darah (Khair, 2014)

Fraktur pelvis berhubungan dengan injuri arteri mayor, saluran kemih

bagian bawah, uterus, testis, anorektal dinding abdomen, dan tulang belakang.

Dapat menyebabkan hemoragic (pelvis dapat menahan sebanyak ±4 liter darah)

dan umumnya timbul manifestasi klinis seperti hipotensi, nyeri dengan penekanan

pada pelvis, perdarahan peritoneum atau saluran kemih. Fraktur pelvis

berkekuatan-tinggi merupakan cedera yang membahayakan jiwa. Perdarahan luas

sehubungan dengan fraktur pelvis relatif umum namun terutama lazim dengan

fraktur berkekuatan-tinggi. Kira-kira 15–30% pasien dengan cedera pelvis

berkekuatan-tinggi tidak stabil secara hemodinamik, yang mungkin secara langsung

dihubungkan dengan hilangnya darah dari cedera pelvis. Perdarahan merupakan

penyebab utama kematian pada pasien dengan fraktur pelvis, dengan keseluruhan

angka kematian antara 6-35% pada fraktur pelvis berkekuatan-tinggi rangkaian

besar (Khair, 2014).


1.3 Etiologi

Dalam Khair (2014), etiologi fraktur pelvis antara lain:

1. Trauma langsung: benturan pada tulang dan mengakibatkan fraktur pada

tempat tersebut.

2. Trauma tidak langsung: bilamana titik tumpul benturan dengan terjadinya

fraktur berjauhan.

3. Proses penyakit: kanker dan riketsia.

4. Compresion force: klien yang melompat dari tempat ketinggian dapat

mengakibatkan fraktur kompresi tulang belakang.

5. Muscle (otot): akibat injuri/sakit terjadi regangan otot yang kuat sehingga

dapat menyebabkan fraktur (misal; elektrik shock dan tetani).

1.4 Manifestasi Klinis

Fraktur panggul sering merupakan bagian dari salah satu trauma multipel

yang dapat mengenai organ-organ lain dalam panggul. Keluhan berupa gejala

pembengkakan, deformitas serta perdarahan subkutan sekitar panggul. Penderita

datang dalam keadaan anemia dan syok karena perdarahan yang hebat (Khair, 2014).

Pengkajian awal yang perlu dilakukan adalah riwayat kecelakaan sehingga

luasnya trauma tumpul dapat diperkirakan. Sedangkan untuk trauma penetrasi,

pengkajian yang perlu dilakukan adalah posisi masuknya dan kedalaman. Klien dapat

menunjukkan trauma abdomen akut. Pada kedua tipe trauma terjadi hemoragi baik

baik internal maupun eksternal. Jika terjadi rupture perineum, manifestasi peritonitis

berisiko muncul,seluruh drainase abdomen perlu dikaji untuk mengetahui isi drainase

tersebut (Khair, 2014).


Bilas abdomen umumnya dilakukan untuk mengkaji adanya perdarahan

diseluruh abdomen yang mengalami luka, dengan cara memasukkan cairan kristaloid

ke dalam rongga peritoneum diikuti dengan paracentesis (rainase isi abdomen).Catat

dan dokumentasikan warna dan jumlah drainase (Khair, 2014).

1.5 Klasifikasi

Dalam menilai klasifikasi maka hal yang paling penting adalah stabilitas

panggul, apakah bersifat stabil atau tidak stabil, karena hal ini penting dalam

penanggulangan serta prognosis (Khair, 2014).

1. Kalsifikasi menurut Tile, berdasarkan integritas kompleks sakroiliaca

posterior

1) Tipe A : Fraktur stabil, kompleks sakroiliaca intak (Tipe A termasuk

fraktur avulsi atau fraktur yang mengenai cincin panggul)

a. Tipe A1 : fraktur panggul tidak mengenai cicin panggul

b. Tipe A2 : stabil, terdapat pergeseran cincin yang minimal dari fraktur


2) Tipe B: Fraktur tidak stabil, umumnya trauma disebabkan oleh adanya

rotasi eksternal ataupun internal yang mengakibatkan gangguan parsial

kompleks sacroiliac posterior. 7

a. Tipe B1 : open book.

a) Stage 1 : symphisiolisis < 2,5 cm, terapi bed rest

b) Stage 2 : symphisiolisis > 2,5 cm, terapi OREF

c) Stage 3 : bilateral lessio, terapi OREF

b. - Tipe B2 : kompresi lateral/ipsilateral

c. - Tipe B3 : kompresi lateral/kontralateral

Tipe B mengalami rotasi eksterna yang mengenai satu sisi panggul (open

book), atau rotasi interna atau kompresi lateral yang dapat menyebabkan

fraktur pada ramus isiopubis pada satu atau kedua sisi disertai trauma

pada bagian posterior tetapi simpisis tidak terbuka (closed book)

3) Tipe C : Fraktur tidak stabil, akibat adanya trauma yang terjadi secara

rotasi dan vertical.


a. Tipe C1 : unilateral

b. Tipe C2 : bilateral

c. Tipe C3 : disertai fraktur acetabulum

Terdapat disrupsi ligament posterior pada satu atau kedua sisi disertai

pergeseran dari salah satu sisi panggul secara vertical, mungkin juga

disertai fraktur asetabulum.

2. Klasifikasi menurut Key dan Conwell.

1) Fraktur pada salah satu tulang tanpa adanya disrupsi cincin.

a. Fraktur avulsi

a) Spina iliaka anterior superior

b) Spina iliaka anterior inferior

c) Tuberositas isium

b. Fraktur pubis dan isium

c. Fraktur sayap ilium

d. Fraktur sacrum

e. Fraktur dan dislokasi tulang koksigeus

2) Keretakan tunggal pada cincin panggul

a. Fraktur pada kedua ramus ipsilateral

b. Fraktur dekat atau subluksasi simfisis pubis

c. Fraktur dekat atau subluksasi sendi sakro-iliaka

3) Fraktur bilateral pada cincin panggul

a. Fraktur vertical ganda dan atau dislokasi pubis

b. Fraktur ganda dan atau dislokasi (Malgaigne)

c. Fraktur multiple yang hebat


4) Fraktur asetabulum

a. Tanpa pergeseran

b. Dengan pergeseran

3. Klasifikasi menurut Young, berdasarkan mekanisme trauma, terbagi menjadi

4 yaitu: kompresi lateral, kompresi anteroposterior, pergeseran vertical, atau

kombinasi.

4. Klasifikasi lain.

1) Fraktur isolasi dan fraktur tulang ischium dan tulang pubis tanpa

gangguan pada cincin.

a. Fraktur ramus isiopubis superior

b. Fraktur ramus isiopubis inferior

c. Fraktur yang melewati acetabulum

d. Fraktur sayap ilium

e. Avulsi spina iliaka anterior-inferior

2) Fraktur disertai robekan pada cincin

5. Klasifikasi berdasarkan stabilitas dan komplikasi.

1) Fraktur avulsi

2) Faktur stabil

3) Fraktur tidak stabil

4) Fraktur dengan komplikasi

1.6 Patofisologi

Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas

untuk menahan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang

dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan
rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. Setelah terjadi fraktur, periosteum dan

pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang

membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan

terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan

ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi

terjadinya respon inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan

leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari

proses penyembuhan tulang nantinya. Trauma biasanya terjadi secara langsung pada

panggul karena tekanan yang besar atau karena jatuh dari ketinggian. Pada orang tua

dengan osteoporosis dan osteomalasia dapat terjadi fraktur stress pada ramus pubis

(Khair, 2014).
1.7 Patway

Jatuh, hantaman, kecelakaan, dll Trauma tidak langsung Osteoporosis, osteomielitis,


(Trauma Langsung) keganasan, dll

Tekanan pada tulang


Kondisi patologis

Tidak mampu meredam energy Tulang rapuh


yang terlalu besar

Tidak mampu menahan


Fraktur
berat badan

Pergeseran fragmen tulang

Merusak jaringan sekitar Nyeri akut Prosedur pembedahan

Kurang terpapar
Trauma Deformitas informasi mengenai
Menembus Pelepasan mediator
kulit inflamasi arteri/ vena prosedur pembedahan

Gangguan
vasodilatasi Perdarahan Ancaman kematian
luka fungsi
tidak
terkontrol
Peningkatan aliran
Gangguan Gangguan Krisis situasional
darah
integritas kulit/ mobilitas fisik
Kehilangan
jaringan volume cairan
Peningkatan Ansietas
tekanan kalpiler
Resiko
Kebocoran cairan ke Hipovolemia
intersitial

Edema

Menekan pembuluh
darah perifer

Perfusi perifer
tidak efektif
1.8 Komplikasi

Dalam Khair (2014), disebutkan bahwa komplikasi fraktur pelvis antara lain:

1. Komplikasi segera

1) Trombosis vena ilio femoral : sering ditemukan dan sangat berbahaya.

Berikan antikoagulan secara rutin untuk profilaktik.

2) Robekan kandung kemih : terjadi apabila ada disrupsi simfisis pubis atau

tusukan dari bagian tulang panggul yang tajam.

3) Robekan uretra : terjadi karena adanya disrupsi simfisis pubis pada

daerah uretra pars membranosa.

4) Trauma rektum dan vagina

5) Trauma pembuluh darah besar yang akan menyebabkan perdarahan

masif sampai syok.

6) Trauma pada saraf :

a. Lesi saraf skiatik : dapat terjadi pada saat trauma atau pada saat

operasi. Apabila dalam jangka waktu 6 minggu tidak ada perbaikan,

maka sebaiknya dilakukan eksplorasi.

b. Lesi pleksus lumbosakralis : biasanya terjadi pada fraktur sakrum

yang bersifat vertikal disertai pergeseran. Dapat pula terjadi

gangguan fungsi seksual apabila mengenai pusat saraf.

2. Komplikasi lanjut

1) Pembentukan tulang heterotrofik : biasanya terjadi setelah suatu trauma

jaringan lunak yang hebat atau setelah suatu diseksi operasi. Berikan

Indometacin sebagai profilaksis.

2) Nekrosis avaskuler : dapat terjadi pada kaput femur beberapa waktu

setelah trauma.
3) Gangguan pergerakan sendi serta osteoartritis sekunder : apabila terjadi

fraktur pada daerah asetabulum dan tidak dilakukan reduksi yang akurat,

sedangkan sendi ini menopang berat badan, maka akan terjadi

ketidaksesuaian sendi yang akan memberikan gangguan pergerakan serta

osteoartritis dikemudian hari.

4) Skoliosis kompensator

1.9 Pemeriksaan Penunjang

Menurut Pratama (2011), pemeriksaan penunjang fraktur pelvis antara lain:

1. Pemeriksaan laboratorium

1) Pemeriksaan serial hemoglobin dan hematokrit, tujuannya untuk

memonitor kehilangan darah yang sedang berlangsung.

2) Pemeriksaan urin, untuk menilai adanya gross hematuria dan atau

mikroskopik.

3) Kehamilan tes ditunjukkan pada wanita usia subur untuk mendeteksi

kehamilan serta pendarahan sumber potensial (misalnya, keguguran,

abrupsio plasenta).

2. Pemeriksaan Imaging

1) Radiografi, anteroposterior pelvis merupakan skrining test dasar dan

mampu menggambarkan 90% cedera pelvis. Namun, pada pasien

dengan trauma berat dengan kondisi hemodynamic tidak stabil

seringkali secara rutin menjalani pemeriksaan CT scan abdomen dan

pelvis, serta foto polos pelvis yang tujuannya untuk memungkinkan

diagnosis cepat fraktur pelvis dan pemberian intervensi dini.


2) CT-Scan, merupakan imaging terbaik untuk evaluasi anatomi panggul dan

derajat perdarahan pelvis, retroperitoneal, dan intraperitoneal. CT scan juga

dapat menegaskan adanya dislokasi hip yang terkait dengan fraktur acetabular.

3) MRI, pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi lebih jelas adanya fraktur pelvis

bila dibandingkan dengan radiografi polos (foto polos pelvis). Dalam satu

penelitian retrospektif, sejumlah besar positif palsu dan negatif palsu itu

dicatat ketika membandingkan antara foto polos pelvis dengan MRI.

4) Ultrasonografi, Sebagai bagian dari the Focused Assessment with Sonography

for Trauma (FAST), pemeriksaan pelvis seharusnya divisualisasikan untuk

menilai adanya pendarahan/cairan intrapelvic. Namun, studi terbaru

menyatakan ultrasonografi memiliki sensitivitas yang lebih rendah untuk

mengidentifikasi hemoperitoneum pada pasien dengan fraktur pelvis. Oleh

karena itu, perlu diingat bahwa, meskipun nilai prediksi positif mencatat

hemoperitoneum sebagai bagian dari pemeriksaan FAST yang baik,

keputusan terapeutik menggunakan FAST sebagai pemeriksaan skrining

mungkin terbatas.

5) Cystography, Pemeriksaan ini dilakukkan pada pasien dengan hematuria dan

urethra utuh.

1.10 Penatalaksanaan

Dalam Kurniawan (2012), disebutkan penatalaksanaan fraktur pelvis adalah

sebagai berikut:

1. Tindakan operatif bila ditemukan kerusakan alat – alat dalam rongga panggul
2. Stabilisasi fraktur panggul, misalnya:

1) Fraktur avulsi atau stabil diatasi dengan pengobatan konservatif seperti

istirahat, traksi, pelvic sling

2) Fraktur tidak stabil diatasi dengan fiksasi eksterna atau dengan operasi

yang dikembangkan oleh grup ASIF

Berdasarkan klasifikasi Tile:

1. Fraktur Tipe A: hanya membutuhkan istirahat ditempat tidur yang

dikombinasikan dengan traksi tungkai bawah. Dalam 4-6 minggu pasien akan

lebih nyaman dan bisa menggunakan penopang.

2. Fraktur Tipe B:

1) Fraktur tipe openbook

Jika celah kurang dari 2.5cm, diterapi dengan cara beristirahat ditempat

tidur, kain gendongan posterior atau korset elastis. Jika celah lebih dari

2.5cm dapat ditutup dengan membaringkan pasien dengan cara miring

dan menekan ala ossis ilii menggunakan fiksasi luar dengan pen pada

kedua ala ossis ilii.

2) Fraktur tipe closebook

Beristirahat ditempat tidur selama sekitar 6 minggu tanpa fiksasi apapun

bisa dilakukan, akan tetapi bila ada perbedaan panjang kaki melebihi

1.5cm atau terdapat deformitas pelvis yang nyata maka perlu dilakukan

reduksi dengan menggunakan pen pada krista iliaka.

3. Fraktur Tipe C

Sangat berbahaya dan sulit diterapi. Dapat dilakukan reduksi dengan traksi

kerangka yang dikombinasikan fiksator luar dan perlu istirahat ditempat tidur

sekurang – kurangnya 10 minggu. Kalau reduksi belum tercapai, maka


dilakukan reduksi secara terbuka dan mengikatnya dengan satu atau lebih plat

kompresi dinamis.
BAB II

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

1. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan

2.1.1 Pengkajian Keperawatan

Pengkajian kerupakan tahap awal dari proses keperawatan. Disini, semua

data-data dikumpulkan secara sistematis gunamenentukan status kesehatan klien

saat ini. Pengkajian dilakukan secara komperhensifterkiat dengan aspek biologis,

psikologis, social maupun spiritual klien. Tujuan pengkajian adalah mengumpulkan

informasi dan membuat data dasar klien. Metode utama yang dapat digunakan

dalam pengumpulan data adalah wawancara, observasi, dan pemeriksaan fisik serta

diagnostic.

1. Identitas klien: nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama,

suku/bangsa, pendidikan, pekerjaan, alamat, nomor register.

2. Riwayat kesehatan

a. Keluhan utama

Nyeri yang luar biasa pada daerah panggul, serta tidak bisa digerakkan.

b. Riwayat kesehatan sekarang

Pasien mengatakan nyeri pada daerah perut bagian bawah yaitu pelvis

atau panggul. Bisa mengalami pendarahan, laserasi, hematom, oedem dll

c. Riwayat kesehatan dahulu

Apakah klien pernah mengalami operasi sebelumnya jika itu pasien lansia

yang mengalami osteoporosis

d. Riwayat kesehatan keluarga

Apakah anggota keluarga ada yang mengalami jenis penyakit yang sama.
3. Pola fungsi kesehatan menurut Gordon

a. Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat

Adakah ada kebiasaan merokok, penggunaan obat-obatan, alkohol dan

kebiasaan olah raga (lama frekwensinya), karena dapat mempengaruhi

lamanya penyembuhan luka.

b. Pola nutrisi dan metabolisme

Klien biasanya akan mengalami gangguan pemenuhan nutrisi akibat nyeri

akut yang luar biasa dirasakan

c. Pola Eliminasi

Pada pola eliminasi urine akibat penurunan daya konstraksi kandung

kemih, rasa nyeri atau karena tidak biasa BAK ditempat tidur akan

mempengaruhi pola eliminasi urine. Pola eliminasi alvi akan mengalami

gangguan yang sifatnya sementara karena pengaruh anastesi sehingga

terjadi penurunan fungsi.

d. Pola aktifitas

Aktifitas dipengaruhi oleh keadaan dan malas bergerak karena rasa nyeri,

aktifitas biasanya terbatas karena harus bedrest berapa waktu lamanya

setelah pembedahan atau karena adanya hambatan mobilisasi yang mana

pasien fraktur pelvis akan sangat sulit bergerak.

e. Pola sensorik dan kognitif

Ada tidaknya gangguan sensorik nyeri, penglihatan serta pendengaran,

kemampuan berfikir, mengingat masa lalu, orientasi terhadap orang tua,

waktu dan tempat.


f. Pola Tidur dan Istirahat

Insisi pembedahan dapat menimbulkan nyeri yang sangat sehingga dapat

mengganggu kenyamanan pola tidur klien.

g. Pola Persepsi dan konsep diri

Penderita menjadi ketergantungan dengan adanya kebiasaan gerak segala

kebutuhan harus dibantu. Klien mengalami kecemasan tentang keadaan

dirinya sehingga penderita mengalami emosi yang tidak stabil.

h. Pola hubungan

Dengan keterbatasan gerak kemungkinan penderita tidak bisa melakukan

peran baik dalam keluarganya dan dalam masyarakat. penderita

mengalami emosi yang tidak stabil.

i. Pola Reproduksi seksual

Adanya larangan untuk berhubungan seksual setelah pembedahan selama

beberapa waktu.

j. Pola penanggulangan stress

Sebelum MRS : klien kalau setres mengalihkan pada hal lain.

Sesudah MRS : klien kalau stress murung sendiri, menutup diri

k. Pola tata nilai dan kepercayaan

Sebelum MRS : klien rutin beribadah, dan tepat waktu.

Sesudah MRS : klien biasanya tidak tepat waktu beribadah.

4. Pemeriksaan fisik ROS (review of system)

a. Kedaan umum : kesadaran, wajah tampak menyeringai, konjungtiva

anemis.

b. Sistem kardiovaskuler : umumya normal apabila tidak ada penyakit

terdahulu
c. Sistem respirasi : frekuensi nafas normal (16-20x/menit), dada simetris,

ada tidaknya sumbatan jalan nafas, tidak ada gerakan cuping hidung,

tidak terpasang O2, tidak ada ronchi, whezing, stridor apabila tidak

mengalami syok respiratori.

d. Sistem hematologi : terjadi peningkatan leukosit yang merupakan tanda

adanya infeksi dan pendarahan akibat trauma langsung.

e. Sistem urogenital : ada ketegangan kandung kemih dan keluhan sakit

pinggang serta tidak bisa mengeluarkan urin secara lancar karena adanya

trauma.

f. Sistem muskuloskeletal : ada kesulitan dalam pergerakkan karena fraktur

serta distensi otot yang terjadi.

g. Sistem Integumen : terdapat oedema pada daerah fraktur, hamatom,

turgor kulit menurun, sianosis, pucat.

h. Abdomen : terdapat nyeri berat tiba-tiba pada saat cidera (mungkin

teralokalisasi pada ara jaringan/kerusakan tulang yaitu pada bagian perut

bawah; dapat berkurang pada imobilisasi), ada nyeri akibat kerusakan

saraf.

5. Pemeriksaan diagnostik

1) Radiografi: skrining test dasar dan mampu menggambarkan 90% cedera

pelvis.

2) CT-Scan: sebagai tes untuk menegaskan adanya dislokasi panggul yang

terkait dengan fraktur acetabular.

3) MRI: dapat mengidentifikasi lebih jelas adanya fraktur pelvis

4) Ultrasonografi, Sebagai bagian dari the Focused Assessment with

Sonography for Trauma (FAST), pemeriksaan pelvis seharusnya


divisualisasikan untuk menilai adanya pendarahan/cairan intrapelvic.

Namun, studi terbaru menyatakan ultrasonografi memiliki sensitivitas

yang lebih rendah untuk mengidentifikasi hemoperitoneum pada pasien

dengan fraktur pelvis. Oleh karena itu, perlu diingat bahwa, meskipun

nilai prediksi positif mencatat hemoperitoneum sebagai bagian dari

pemeriksaan FAST yang baik, keputusan terapeutik menggunakan FAST

sebagai pemeriksaan skrining mungkin terbatas.

5) Cystography, Pemeriksaan ini dilakukkan pada pasien dengan hematuria

dan urethra utuh.

6. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan apendisitis :

1. Nyeri Akut b/d agen pencedera fisik (trauma)

2. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan integritas struktur tulang

3. Gangguan integritas kulit b/d faktor mekanis (penekanan pada tonjolan

tulang dan/ gesekan)

4. Perfusi perifer tidak efektif b/d penurunan aliraj arteri dan/ vena

5. Ansietas b/d ancama terhadap kematian

6. Resiko hipovolemik b/d kehilangan cairan secara aktif


7. Rencana Tindakan dan Intervensi keperawatan

No. SDKI SLKI SIKI


1. Nyeri Akut b/d agen Setelah di lakukan tindakan MenajemenNyeri
pencedera fisik keperawatan selama 1x 24 jam, (1.08238)
(trauma) maka tingkat nyeri menurun Observasi
dengan kriteria hasil: 1. Identifikasi lokasi,
Kriteria hasil Kriteria karakteristik, durasi,
Keluhan nyeri Menurun frekuensi, kualitas,
Sikap meringis Menurun intensitas nyeri
Sikap protektif Menurun 2. Identifikasi skala nyeri
Kesulitan tidur Menurun 3. Identifikasi respon
Frekuensi nadi Membaik nyeri non verbal
4. Identifikasi faktor yang
memperberat dan
memperingan nyeri
5. Monitor keberhasilan
terapi komplementer
yang sudah diberikan
6. Monitor efek samping
penggunaan analgesik
Terapeutik
1. Berikan teknik
nonfarmakologis
untuk mengurangi rasa
nyeri (mis. TENS,
hipnosis, akupresur,
terapi musik,
biofeedback, terapi pijat,
aromaterapi, teknik
imajinasi terbimbing,
kompres
hangat/dingin, terapi
bermain)
2. Kotrol lingkungan
yang memperberat rasa
nyeri (mis. Suhu
ruangan, pencahayaan,
kebisingan)
3. Fasilitasi istirahat dan
tidur
4. Pertimbangkan jenis
dan sumber nyeri
dalam pemilhan
strategi meredakan
nyeri
Edukasi
1. Jelaskan penyebab,
periode, dan pemicu
nyeri
2. Jelaskan strategi
meredakan nyeri
3. Anjurkan
menggunakan
analgesik secara tepat
4. Ajarkan teknik
nonfarmakologis
untuk mengurangi rasa
nyeri
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian
analgesik, jika perlu

Pemberian analgesik
(1.08243)
Observasi
1. Identifikasi
karakteristik nyeri (mis.
Pencetus, pereda,
kualitas, lokasi,
intensitas, frekuensi,
durasi)
2. Identifikasi riwayatt
alergi obat
3. Monitor tanda-tanda
vital sebelum dan
sesudah pemberian
analgesik
4. Monitor efektifitas
analgesik
Terapeutik
1. Tetapkan target
efektifitas analgesik
untuk mengoptimalkan
respon pasien
2. Dokumentasikan
respon terhadap efek
analgesik dan efek
yang tidak diinginkan
Edukasi
1. Jelaskan efek terapi
dan efek samping
obat, jika perlu
Kolaborasi
1. Kolaborasikan
pemberian dosis dan
jenis analgesik, jika
perlu

2 Gangguan mobilitas Setelah di lakukan tindakan Dukungan mobilisasi


fisik b/d kerusakan keperawatan selama 1x 24 jam, (1.05173)
integritas struktur maka mobilitas fisik meningkat Observasi
tulang dengan kriteria hasil: 1. Identifikasi adanya
Kriteria hasil Kriteria nyeri atau keluhan fisik
Pergerakan Meningkat lainnya
ekstremitas 2. Identifikasi toleransi
Kekuatan otot Meningkat fisik melakukan
Rentag gerak Meningkat pergerakan
(ROM) 3. Monitor frekuensi
jantung dan tekanan
darah sebelum
memulai mobilisasi
4. Monitor kondisi
umum selama
melakukan mobilisasi
Terapeutik
1. Fasilitasi aktivitas
mobilisasi dengan alat
bantu (mis. Pagar
tempat tidur)
2. Fasilitasi melakukan
gerakan, jika perlu
3. Libatkan keluarga
untuk membantu
pasien dalam
meningkatkan
pergerakan
Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan
perosedur mobilisasi
2. Anjurkan melakukan
mobilisas inii
3. Anjurkan mobilisasi
sederhana yang harus
dilakukan (mis.
Duduk di tempat
tidur, duduk di sisi
ttempat tidur, pindah
dari tempat tidur ke
kursi).

3 Gangguan integritas Setelah di lakukan tindakan Perawatan integritas


kulit b/d faktor keperawatan selama 1x 24 jam, kulit (1.11353)
mekanis (penekanan maka integritas kulit/jaringan Observasi
pada tonjolan tulang meningkat dengan kriteria hasil: 1. Indentifikasi penyebab
dan/ gesekan) Kriteria hasil Kriteria gangguan integritas
Kerusakan Menurun kulit (mis. Perubahan
jaringan sirkulasi, perubahan
Kerusakan Menurun status nutrisi,
lapisan kulit
penurunan
kelembapan, suhu
lingkunga ekstrem,
penurunan mobilitas)
Terapeutik
1. Ubah posisi tiap 2 jam
2. Lakukan pemijatan
pada area poenonjolan
tulang, jika perlu
Edukasi
1. Anjurkan minum air
yang cukup
2. Anjurkan
meningkatkan asupan
nutrisi
3. Anjurkan
meningkatkan asupan
buah dan sayur
4 Perfusi perifer tidak Setelah di lakukan tindakan
Pemantauan cairan
efektif b/d keperawatan selama 1x 24 jam, (1.02079)
penurunan aliraj Observasi
maka perfusi perifer meningkat
arteri dan/ vena 1. Periksa sirkulasi perifer
dengan kriteria hasil: (mis. Nadi perifer,
Kriteria hasil Kriteria edema, pengisian
Denyut nadi Meningkat kapiler, warna, suhu,
perifer ankle brachial index)
Warna kulit pucat Menurun 2. Monitor panas,
Edema Menurun kemerahan, nyeri, atau
Pengisian kapiler Membaik bengkak pada
Akral Membaik ekstremitas
Turgor kulit Membaik
Terapeutik
1. Hindari pemasangan
infus atau pengambilan
darah pada ekstremitas
di area keterbatasan
perfusi
2. Hindari pengukuran
tekanan darah dan
pemasangan turniquet
pada area yang cedera
3. Lakukan pencegahan
infeksi
4. Lakukan hidrasi
Edukasi
1. Informasikan tangan
dan gejala darurat
yang harus dilaporkan
(mis. Rasa sakit yang
tidak hilang saat
istirahat, luka tidak
sembuh, hilangnya
rasa)

5. Ansietas b/d ancama Setelah dilakukan tindakan Reduksi ansietas(1.03121)


terhadap kematian 1x24jam, maka tingkat Ansietas ( Observasi
(L.03028) Menurun, dengan 1. Identifikasi saat tingkat
criteria hasil: ansietas berubah (mis.
Kriteria hasil Kriteria Kondisi, waktu, stresor)
Verbalisasi Menurun 2. Identifikasi kemampuan
kebingungan mengambil keputusan
Verbalisasi khawatir Menurun 3. Monitor tanda ansietas
akibat kondisi yang
dihadapi (verbal dan non verbal)
Perilaku gelisah Menurun Tercapeutik
Pola tidur Membaik 1. Ciptakan suasana
terapeutik untuk
menumbuhkan
kepercayaan
2. Gunakan pendekatan
yang tenang dan
meyakinkan
3. Motivasi
mengidentifikasikan
situasi yang memicu
kecemasan
4. Diskusi perencanaan
relistis tentang peristiwa
yang akan datang
Educkasi
1. Jelaskan prosedur,
termasuk sensasi yang
mungkin dialami
2. Informasikan secara
faktual mengenai
diagnosis, pengobatan,
dan prognodid
3. Anjurkan keluarga untuk
tetap bersama pasien,
jika perlu
4. Latih kegiatan
pengalihan untuk
mengurangi ketegangan
5. Latih teknik relaksasi

6. Resiko hipovolemia Setelah di lakukan tindakan Pemantauan cairan


b/d kehilangan keperawatan selama 1x 24 jam, (1.03121)
cairan secara aktif maka status cairan membaik Observasi
dengan kriteria hasil: 1. Monitor frekuensi
Kriteria hasil Kriteria dan kekuatan nadi
Kekuatan nadi Meningkat 2. Monitor frekuensi
Turgor kulit Menurun napas
Output urine Menurun 3. Monitor tekanan
Ortpnea Menurun darah
Dispnea Menurun
4. Monitor waktu
Paroxysmal Menurun
nocturnal dyspnea pengisian kapiler
(PND) 5. Monitor elastisitas
Edema anasarka Menurun atau turgor kulit
Edema perifer Menurun 6. Monitor jumlah,
Frekuensi nadi Membaik warna, dan berat jenis
Tekanan darah Membaik urine
Tekanan nadi Membaik 7. Monitor kadar
Membrane Membaik albumin dan protein
mukosa
total
Jugular venous Membaik
pressure(JVP) 8. Monitor
Kadar Hb Membaik hasilpemeriksaan
Kadar Ht Membaik serum
(mis.osmolaritas
serum, hamatokrit,
natrium, kalium,
BUN)
9. Monitor intake dan
output cairan
10. Identifikasikan tanda-
tanda hipovolemia
(mis. Frekuensi nadi
meningkat, nadi
teraba lemah, tekanan
darah menurun,
tekanan nadi
menyempit, turgor
kulit menurun,
membrane mukosa
kering, , hematokrit
meningkat, haus,
lemah, konsentrasi
urine meningkat,
berat badan menurun
dalam waktu singkat)
11. Identifikasi factor
risiko
ketidakseimbangan
cairan (mis. Prosedur
pembedahan mayor,
trauma/pendarahan,
luka bakar,
aferesis,obstruksi
intestinal, peradangan
pancreas, penyakit
ginjal dan
kelenjar,diafungsi
intestinal)
Terapeutik
1. Atur interval waktu
pemantauan sesuai
kondisi pasien
2. Dokumentasikan
hasil pemantauan
Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan
prosedur
pemantauan
2. Informasikan
hasilpemantauan,
jika perlu
BAB III

TINJAUAN KASUS PADA Ny. C

3.1 Pengkajian (04 juni 2019 pukul 07.30)

3.1.1 Identitas

Identitas pasien, meliputi:

Nama : Ny. C

Jenis kelamin : Perempuan

Usia : 64 Tahun

Agama : islam

Pekerjaan : pensiunan

Alamat : pande

Pendidikan terakhir : SMA

3.1.2 Keluhan Utama

1. Keluhan Utama saat masuk rumah sakit :

Pasien mengeluh nyeri pada perut bagian bawah atau sekitar panggul

2. Keluhan utama saat pengkajian :

Pasien mengeluh nyeri pada perut bagian bawah terutama pada panggul,

nyeri meningkat ketika bergerak kemudian menjalar kebelakang punggung

dengan skala 8, ada luka aberasi di sekitar tonjolan tulang panggul. Pada saat

dilakukan pemeriksaan palpasi pada sias kanan kiri, teraba krepitasi dan

pasien terlihat meringis saat dilakukan pemeriksaan pada area nyeri. Respirasi

: 28x/menit, N : 120x/menit, TD : 110/90.


3.1.3 Diagnosa Medis

Fraktur pelvis

3.1.4 Riwayat Kesehatan

1. Riwayat penyakit sekarang

Pasien riwayat KLL pada 03 juni 2019 pagi, kemudian langsung dibawa ke

UGD. waktu kecelakaan, ia terlempar dari becak sejauh 5m, ditemukan di

pinggiran pagar selokan. Mengeluh nyeri pada perut bagian bawah terutama

panggul, ada luka aberasi di sekitar tonjolan tulang panggul. Pasien

mengerang kesakitan.

2. Riwayat penyakit yang lalu

Riwayat trauma sebelumnya (-), Hipertensi (-), Penyakit jantung (-), DM

(-), Asma (-), Alergi (-) dan belum pernah menjalani operasi sebelumnya.

3. Riwayat kesehatan keluarga

Hipertensi (-), Penyakit jantung (-), DM (-), Asma (-), Alergi (-)

3.1.5 Riwayat keperawatan klien

1. Pola aktifitas sehati-hari (ADL)

1) Pola makan :

a. Di rumah : sebelum sakit biasanya pasien makan 2-3 kali dalam

sehari dan menghabiskan porsi makan yang disediakan dan

minum kurang lebih 1 L perhari.

b. Di rumah sakit : Pada saat dirumah sakit, pola nutrisi pasien

sama. Makan 3x sehari dan menghabiskan porsi makanan yang

disediakan, juga minum dengan jumlah yang cukup.


2) Pola eliminasi :

a. Di rumah : Pasien sebelum sakit BAB 1-2 kali dalam sehari

dengan konsistensi lembek dan BAK sebanyak 3-4 kali dalam

sehari

b. Di rumah sakit : saat ini pola eliminasi BAB dan BAK pasien

berkuarang karena pasien merasa kurang nyaman untuk

melakukannya ditempat tidur

3) Pola tidur :

a. Di rumah : pasien biasanya tidur siang 1-2 jam dan untuk tidur

malam biasa tidur selama 8 jam. Setelah sholat isya atau sekitar

jam 20.00 sampai shubuh jam 04.00

b. Di rumah sakit : Pasien sulit tidur karena nyeri yang dirasakan

sangat mengganggu.

4) Pola aktivitas dan latihan :

a. Di rumah : pasien mengatakan sebelum sakit selalu aktif dalam

kelompok dilingkungan kegiatan masyarakat seperti PKK,

Yasinan, dls

b. Dirumah sakit : Setelah sakit pasien lebih bnyak istrahat dan

tampak lemah berbaring diatas tempat tidur, untuk makan,

eliminasi dll pasien tergantung dengan anaknya

2. Konsep diri

1) Pola kognitif personal

Pasien merasa khawatir dan hanya tau jika keadaan yang dialaminya

akan membuat dia lumpuh, dan sulit bergerak bebas seperti

biasanya.
2) Pola persepsi diri atau konsep diri

Menurut pasien penyakit yang dideritanya adalah cobaan dari Tuhan

dan bukan kutukan ataupun diguna-guna. Akan tetapi pasien merasa,

cemas dan khawatir jika dirinya nanti tidak bisa berjalan dengan baik

lagi.

3) Pola peran

Saat ini pasien tidak dapat menjalankan perannya sebagai ibu rumah

tangga karena penyakit yang dideritanya.

4) Pola seksualitas dan reproduksi

Pasien memiliki 2orang anak dan 5 orang cucu, sedangkan suaminya

sudah meninggal.

5) Pola koping toleransi terhadap stres

Anak-anak dan cucunya selalu menemaninya, dan memberi

semangat, sehingga membuat ia merasa lebih

6) Pola sistem nilai kepercayaan

Pasien beragama islam, yang taat beragama. Pasien selalu mengikuti

sholat jamaah di masjid rumahnya dan selalu mengikuti kegiatan

keagamaan lainnya. bahkan pada saat sedang sakit sekarang ini ia

masih berusaha untuk tetap sholat, meskipun dengan keterbatasan

gerak.

3.1.6 Pemeriksaan Fisik

(Tanggal 04 pukul 08.00)

1. Keadaan umum : gelisah

2. Kesadaean : compos mentis (E.4 V.5 M.6)


3. Tanda – tanda vital

Saat pengkajian didapatkan hasil :

TD : 110/80 N : 120x/mnt S : 36,7oC RR : 28x/mnt

4. Pemeriksaan wajah :

1) Mata : simetris (+), oedem (-), peradangan (-), luka (-), benjolan (-),

konjungtiva (anemis)

2) Hidung : perdarahan (-), kotoran (-), pembengkakan (-), polip (-).

3) Mulut : lesi (-), bibir pecah (-), caries (-), pendarahan (-), abses (-), gigi

palsu (-), gingivitis (-).

4) Telinga : lesi (-), nyeri tekan (-), peradangan (-), penumpukan

serumen (-)

5. Pemeriksaan kepala dan leher :

1) Kepala : kesimetrisan (+), hidocepalus (-), luka (-), pendarahan (-),

trepanasi(-).

2) Leher : bentuk leher (simetris), peradangan (-), jaringan parut (-),

perubahan warna (-), masa (-).

6. Pemeriksaan thoraks / dada

1) Pemeriksaan paru

 Inspeksi : bentuk thoraks (normal chest), susunan ruas tulang

belakang (normal), pola nafas (meningkat), cianosis (-), batuk (-)

retraksi bantu otot pernafasan (normal).

 Palpasi : vocal fremitus (sama).

 Perkusi : area paru (sonor)


 Auskultasi : suara nafas vesikuler (bersih), asea bronchial (bersih),

bronkopnhemoni (-), egophoni (-), pectorliqui (-), suara

tambahan (-)

2) Pemeriksaan jantung

 Inspeksi : ictus cordis (-)

 Palpasi : dinding thorak teraba (normal), nadi meningkat

120x/menit

 Perkusi : batas jantung atas ( ICS II) batas bawah (ICS V) batas

kiri (ICS V mid clavikula sinistra) batas kanan (ICS IV mid

sinistra dextra)

 Auskultasi : Bj I ( tunggal), ( reguler) . Bj II ( tunggal), (reguler) .

bunyi jantung tambahan BJ III (-), gallop (-), murmur (-).

7. Pemeriksaan Abdomen

 Inspeksi : bentuk abdomen (datar) masa/ benjolan (-), kesimetrisan

(+), bayangan pembuluh darah (-).

 Auskultasi : frekuensi peristaltik usus normal

 Palpasi apendik: nyeri tekan (+), nyeri lepas (+), nyeri menjalar

kontralateral (+) dari abdomen bawah atau sekitar pinggul depan

kebelakang pinggul.

 Perkusi : tympani

8. Pemeriksaan genetal dan rektal

 Inspeksi : rambut pubis (besrih), lesi (-), benjolan (-), penymbatan (-),

hipospida (-), keputihan (-),


9. Pemeriksaan ekstermitas / muskuloskeletal

 Inspeksi : simetris (+), deformitas (+), fraktur (+), terpasang gips (-),

traksi (+).
5 5
 Palpasi odem kekuatan otot 0 2

10. Pemeriksaan fungsi neurologis

 Menguji tingkat kesadaran : mata 4, verbal 5, motorik 6 (compos

mentis)

 Memeriksa tanda-tanda rangsangan otak : penurunan kesadaran (-),

kejang (-), mual – muntah (-), nyeri kepala (-)

 Memeriksa fungsi motorik : otot kaki (asimetris), atropi (-), gerakan

tidak disadari (-).

3.1.7 Pemeriksaan penunjang

Dilakukan padatanggal 23 mei 2019

1. Labolaturium

Pemeriksaan hasil Satuan Normal

Hemoglobin 10,4 gr/dl L : 14-18

P : 12-16

Hematokrit 31 Vol% L : 40-50

P : 36-47

Trombosit 377 X 103 /mm 150-400

Leukosit 18,2 Rb/ul 5-10

Eritrosit 3,27 Jt/ul 4,4-5,9


2. Foto pelvis

3. Penatalaksanaan:

a. Pantau tanda vital

b. Bed rest dan immobilisasi

c. Terapi konservatif:

- Traksi kulit selama 1 bulan

3.2 Diagnosa Keperawatan

1. Nyeri Akut b/d agen pencedera fisik (trauma)

2. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan integritas struktur tulang

3. Gangguan integritas kulit b/d faktor mekanis (penekanan pada tonjolan

tulang dan/ gesekan)


3.3 Rencanna Tindakan dan Intervensi Keperawatan

No DATA SDKI SLKI SIKI


1 DS: Nyeri Akut b/d agen Setelahdilakukantindakan A. MANAJEMEN NYERI (1.08238)
P: pasien mengatakan pencedera fisik 1x24jam, maka Tingkat Nyeri Observasi
nyeri jika bergerak (trauma) d/d pasien (L.08066) Menurun, dengan 1. Identifikasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,
Q: nyeri dirasakan criteria hasil: intensitas nyeri
mengatakan nyeri di
meningkat dan Kriteria hasil Kriteria 2. Identifikasi skala nyeri
menjalar tulang panggul (pelvis), 3. Identifikasi respon nyeri non verbal
Keluhan nyeri Menurun
R: tulang panggul tampak meringis, Meringis Menurun 4. Identifikas pengaruh nyeri terhadap kualitas hidup
S: skala nyeri 8 (1-10) gelisah, sulit tidur dan Sikap protektif Menurun 5. Monitor keberhasilan komplementer yang sudah diberikan
T: nyeri tidak nadi meningkat Kesulitan tidur Menurun 6. Monitor efek samping penggunaan alagetik
bertahan lama dan (120x/mnt) Frekuensi nadi Membaik Terapeutik
bisa muncul tiba-tiba 1. Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa
jika ada pergerakan nyeri (akupresure, aromaterapi, terapi musik)
atau tekanan 2. Fasilitasi istrirahat tidur
DO: Edukasi
Pasien tampak 1. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicunyeri
meringis saat di 2. Jelaskan strategi meredakan nyeri
periksa tualng Kolaborasi
pelvisnya, sulit untuk 1. Kolaborasikan pemberian analgesic ranitidine dan ketorolac
tidur, gelisah, Nadi: B. PEMBERIAN ANALGESIK (1.08243)
120x/menit Observasi
1. Identifikasi riwayat alergi obat
2. Monitor TTV sebelum dan sesudah pemberian analgesic
3. Monitor efektifitas analgesik
Terapeutik
1. Tetapkan efektifitas analgesic untuk mengoptimalkan
respon pasien
2. Dokumentasikan respon terhadap efek analgesic dan efek
yang tidak di inginkan
Edukasi
1. Jelaskan kepada pasien dan keluarga pasien tentang efek
samping obat
Kolaboorasi
1. Kolaborasikan pemberian dosis dan jenis analgesic, jika
perlu

2 DS : Gangguan mobilitas Setelah di lakukan tindakan DUKUNGAN MOBILISASI (1.05173)


Sulit menggerakkan fisik b/d kerusakan keperawatan selama 1x 24 jam, Observasi
ekstremitas bawah integritas struktur maka mobilitas fisik 1. Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya
DO : kekuatan otot
tulang d/d sulit meningkat dengan kriteria 2. Identifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan
ekstremitas bawah
menurun, dan ROM menggerakkan hasil: 3. Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum
menurun ekstremitas, kekuatan Kriteria hasil Kriteria memulai mobilisasi
otot menurun, dan Pergerakan Meningkat 4. Monitor kondisi umum selama melakukan mobilisasi
ROM menurun ekstremitas Terapeutik
Kekuatan otot Meningkat 1. Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat bantu (mis. Pagar
Rentag gerak Meningkat tempat tidur)
(ROM) 2. Fasilitasi melakukan gerakan, jika perlu
3. Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam
meningkatkan pergerakan
Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan perosedur mobilisasi
2. Anjurkan melakukan mobilisas inii
3. Anjurkan mobilisasi sederhana yang harus dilakukan (mis.
Duduk di tempat tidur, duduk di sisi ttempat tidur, pindah
dari tempat tidur ke kursi).
3 DS :- Gangguan integritas Setelah di lakukan tindakan Perawatan integritas kulit (1.11353)
DO: kulit b/d faktor keperawatan selama 1x 24 jam, Observasi
Terdapat luka abrasi mekanis (penekanan maka integritas 1. Indentifikasi penyebab gangguan integritas kulit (mis.
pada tonjolan tulang
pada tonjolan tulang kulit/jaringan meningkat Perubahan sirkulasi, perubahan status nutrisi, penurunan
panggul
dan/ gesekan) d/d dengan kriteria hasil: kelembapan, suhu lingkunga ekstrem, penurunan mobilitas)
terdapatnya luka pada Kriteria hasil Kriteria Terapeutik
tonjolan tulang panggul Kerusakan Menurun 1. Ubah posisi tiap 2 jam
jaringan 2. Lakukan pemijatan pada area poenonjolan tulang, jika
Kerusakan Menurun perlu
lapisan kulit
Edukasi
1. Anjurkan minum air yang cukup
2. Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
3. Anjurkan meningkatkan asupan buah dan sayur

SDKI (PPNI, 2016), SLKI (PPNI, 2018), SIKI (PPNI, 2018).


3.4 Intervensi ASKEP berdasarkan Jurnal EBN dan analisa tindakan dari

YOUTUBE

1) Latihan Dasar Panggul (ROM Excercisse)

a. Journal: Lowth, Mary. 2017. What is the trauma?. Universitas Queen

Mary London.

Latihan dasar panggul ini dilakukan untuk menstabilkan panggul,

melatih dan memperkuat otot-otot tubuh termasuk kandung kemih

agar saluran kemih normal kembali sehingga aluran urin dapat

terkontrol. Latihan ini dilakukan 3x sehari setelah pemasangan kateter

dilepas.

Latihan ROM dapat menggerakkan persendian seoptimal dan seluas

mungkin sesuai kemampuan seseorang dan tidak menimbulkan rasa

nyeri pada sendi yang digerakkan. Adanya pergerakan pada persendian

akan menyebabkan terjadinya peningkatan aliran darah ke dalam

kapsula sendi. Ketika sendi digerakkan, permukaan kartilago antara

kedua tulang akan saling bergesekan. Kartilago banyak mengandung

proteoglikans yang menempel pada asam hialuronat yang bersifat

hidrophilik. Adanya penekanan pada kartilago akan mendesak air

keluar dari matriks sinovial. Bila tekanan berhenti maka air yang

keluar ke cairan sinovial akan ditarik kembali dengan membawa

nutrisi dari cairan.


Youtube: range of motion (fokus pada panggul hingga esktremitas

bawah)

(https:// youtu.be/H2xq5A7rhwA

Analisa tindakan:

Latihan sendi pangkal paha

a) Pasien dalam posisi telentang

b) Letakkan satu tangan perawat di bawah lutut pasien dan satu

tangan pada tumit.

c) Jaga posisi kaki pasien lurus, angkat kaki kurang lebih 8 cm dari

tempat tidur, gerakkan kaki menjauhi badan pasien

d) Gerakkan kaki mendekati badan pasien

e) Kembali ke posisi semula

f) Kemudian letakkan satu tangan perawat pada pergelangan kaki

dan satu tangan yang lain di atas lutut.

g) Putar kaki menjauhi perawat.

h) Putar kaki ke arah perawat

i) Kembali ke posisi semula

j) Hindari pengangkatan yang berlebihan pada kaki.

k) Lakukan pengulangan sebanyak.


Latihan sendi lutut

a) Pasien dalam posisi telentang

b) Satu tangan pe rawat di bawah

lutut pasien dan pegang tumit

pasien dengan tangan yang lain

c) Angkat kaki, tekuk pada lutut dan pangkal paha.

d) Lanjutkan menekuk lutut ke arah dada sejauh mungkin

e) Ke bawahkan kaki dan luruskan lutut dengan mengangkat kaki ke

atas

f) Instruksikan agar pasien tetap rileks

g) Pastikan gerakan yang diberikan berada pada midline yang benar

h) Perhatikan rentang gerak sendi yang dibentuk, apakah berada

dalam jarak yang normal atau terbatas.

i) Lakukan pengulangan sebanyak 10 Kali


Latihan sendi pergelangan kaki

a) Pasien dalam posisi telentang

b) Perawat memegang separuh bagian atas kaki pasien dengan satu

jari dan pegang pergelangan kaki dengan tangan satunya.

c) Putar kaki ke dalam sehingga telapak kaki menghadap ke kaki

lainnya (infersi)

d) Kembalikan ke posisi semula

e) Putar kaki keluar sehingga bagian telapak kaki menjauhi kaki yang

lain (efersi)

f) Kembalikan ke posisi semula

g) Kemudian letakkan satu tangan perawat pada telapak kaki pasien

dan satu tangan yang lain di atas pergelangan kaki. Jaga kaki lurus

dan rilek.

h) Tekuk pergelangan kaki, arahkan jarijari kaki ke arah dada pasien

(dorso fleksi).

i) Kembalikan ke posisi semula

j) Tekuk pergelangan kaki menjauhi dada pasien (plantar fleksi)

k) Kembalikan ke posisi semula


l) Instruksikan agar pasien tetap rileks

m) Lakukan

Latihan sendi jari-jari kaki

a) Pasien dalam posisi telentang

b) Perawat memegang pergelangan kaki pasien dengan satu tangan,

tangan lainnya membantu pasien membuat gerakan menekuk jari-

jari kaki dan kemudian meluruskan jari-jari kaki pasien.

c) Tangan perawat membantu melebarkan jari-jari kaki pasien

kemudian merapatkan kembali.

d) Instruksikan agar pasien tetap rileks

e) Lakukan pengulangan sebanyak 10 kali


2) Teknik distraksi

a. Journal: Holo, Ervatamia H., Batubarab, Sakti O., dan Bina, Maria Y. 2017.

Perbandingan Efektifitas Teknik Relaksasi Dan Teknik Distraksi Terhadap

Penurunan Intensitas Nyeri Pada Pasien Fraktur Di Ruangan Bedah Rsud Prof. Dr.

W. Z. Johannes Kupang. STIKes CHMK Kupang, Kupang. corresponding

author ervatamiaholo@gmail.com

P: penelitian ini bertujuan untuk mencari perbandingan efektifitas

antara teknik relaksasi dan teknik distraksi terhadap penurunan

intensitas nyeri pada pasien fraktur. I: Kelompok dibagi menjadi 2

kelompok yakni kelompok napas dalam dan distraksi musik yang

tingkat nyerinya diukur pre-post intervensi .O: Ada perbedaan rata-rata

antara intensitas nyeri pasien fraktur sebelum dan sesudah dilakukan

tindakan relaksasi (napas dalam), atau dengan kata lain pemberian

tindakan relaksasi dapat menurunkan nyeri pada pasien fraktur. Ada

perbedaan rata-rata antara intensitas nyeri pasien fraktur sebelum dan

sesudah dilakukan tindakan distraksi (mendengarkan musik), atau dengan

kata lain pemberian tindakan distraksi dapat menurunkan nyeri pada

pasien fraktur. Ada perbandingan intensitas nyeri pasien fraktur setelah

dilakukan teknik relaksasi dan distraksi. Akan tetapi teknik ini hanya

bisa diberikan pada tingkat nyeri dengan skala 1-6 saja.

Youtube: Teknik relaksasi dan distraksi

(https:// youtu.be/qlq0GgEkddo

Analisatindakan:

Relaksasi napas dalam:

a) Posisikan pasien duduk


b) Anjurkan pasien tarik napas dengan memberikan tekanan pada saat

inspirasi dan ekspirasi sebagai pemberi stimulus dan penunjuk arah

gerakan dan bisa dengan memberikan selendang yang dibalut

memutar untuk memberikan tekanan pada dada.

Distraksi music dipercaya dapat menurunkan tingkat nyeri. Berikut

cara memberikan terapi pada pasien:

1. Ucapkan salam

2. Perkenalkan diri dan jelaskan prosedur tindakan

3. Lakukan kontrak waktu dengan pasien

4. Atur posisi pasien rileks

5. Anjurkan pasien menutup mata

6. Putar musik dengan lembut

7. Berikan distraksi mendengar untuk menghantarkan pasien

agar lebih rileks lagi

8. Jika dirasa sudah cukup, minta pasien menggerakkan tangan

jika nyeri sudah berkurang sebelum membuka mata.

9. Ukur atau kaji nyeri pasien kembali

10. Berikan kesempatan pasien untuk bertanya

11. Ucapkan salam untuk mengakhiri tindakan


3) Asmaul Husna

Judul : Wulandini, Putri., Roza, Andalia., Safitri, Santi Riska. 2018.

Efektifitas Terapi Asmaul Husna Terhadap Penurunan Skala Nyeri

Pada Pasien Fraktur Di Rsud Provinsi Riau. Keperawatan Universitas

Abdurrab. Email: putri.wulandini@univrab.ac.id. Submitted :07-02-

2018, Reviewed:14-03-2018, Accepted:03-04-2018. DOI:

http://doi.org/10.22216/jen.v3i2.3116

P: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas terapi Asmaul

Husna pada pasien fraktur di ruangan Dahlia Rumah Sakit Umum

Daerah Arifin Achmad Provinsi Riau. I: Sampel pada penelitian ini

sebanyak 30 orang, 15 orang sampel untuk kelompok eksperimen yang

diberikan intervensi mendengarkan Asmaul Husna C: dan 15 orang

untuk kelompok kontrol tanpa intervensi. O: Alat ukur yang digunakan

adalah lembaran observasi dan diberikan terapi asmaul husna pada

kelompok eksperimen. Analisis yang digunakan adalah univariat dan

bivariat dengan uji T-test. Hasil uji T-test menunjukkan bahwa terdapat

perbedaan rata-rata terapi Asmaul Husna dengan nilai p=0,000 / p<5 %

(0,05). Jadi dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak. Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa terapi Asmaul Husna efektif untuk mengurangi skala

nyeri pada pasien fraktur.

Youtube: Asmaul Husna untuk menurunkan nyeri

(https://youtu.be/MFwdi3_K9ag)

Analisatindakan:

Pada video ini, terapi Asmaul Husna termasuk dalam terapi

mendengarkan musik yang efektif dmana dapat dapat menurunkan nyeri,


stress dan kecemasan. Terapi musik diberikan minimal 15 menit untuk

memberikan efek yang lebih efektif. Unsur-unsur yang terkandung dalam

musik termasuk yang mengandung spiritual seperti mendengarkan Al-

Qur’an, salah satu nya yaitu dengan mendengarkan Asmaul Husna yang

dapat diterapkan dengan nada-nada lembut. Prosedur mendengarkan

terapi Asmaul Husna, antara lain:

a) Perawat mencuci tangan sebelum masuk ke ruangan pasien

b) Ucapkan salam

c) Tanyakan keadaan pasien

d) Sampaikan maksud dan tujuan prosedur, serta kontrak waktu

dengan pasien

e) Dekatkan alat

f) Ukur skala nyeri pasien

g) Atur posisi pasien senyaman mungkin

h) Letakkan headphone pada kedua tangan pasien, anjurkan pasien

menutup mata

i) Putar Asmaul husna denganvolume lima atau volume sedang kurang

lebih sselama 15 menit. Berikan 1x sehari selama 2hari berturut-turut

j) Jika dirasa sudah cukup, ukur atau kaji nyeri pasien kembali

k) Berikan kesempatan pasien untuk bertanya

l) Merapikan alat

m) Ucapkan salam

n) Mencuci tangan
4) Pelvic binder

Journal: Hsu, Sheng-Der., Chen, Cheng-Jueng., Chou, Yu-Ching.,

Wang, Sheng-Hao., dan Chan, De-Chuan. 2017. Effect of Early Pelvic

Binder Use in the Emergency Management of Suspected Pelvic Trauma: A

Retrospective Cohort Study. International Journal Of Environmental

Reaserch And Public Health

P: bertujuan untuk mengevaluasi dampak penggunaan pelvic binder pada

trauma panggul, dibandingkan denganterapi konvensional. I: pemberian

pelvic binder O: pelvic binder sebaiknya diberikan dengan cepat pada pasien

fraktur pelvis

Youtube: Pemasangan Pelvic binder

(https:// youtu.be/RYWxoysL4mM)

Analisatindakan:

Pelvic binder untuk melakukan tamponade dari perdarahan pelvis,

terutama pada trauma dengan fraktur yang open book. Walaupun ada

resiko kecil secara teoritis bahwa elemen posterior akan terbuka

dengan teknik ini, namun pevic binder dirancang untuk memberikan

tekanan yang tetap pada elemen posterior sekaligus menutup

kerusakan diastase pada anterior. Harus dilakukan foto pelvis sebelum

dan sesudah pemasangan sebagai kontrol

a. Melakukan logroll pasien dengan bantuan perawat lain sebagai

tumpuan untuk menjaga kstabilan tulang panggul

b. Kemudian pasang tali pengait pasien dibagian depan

c. Evaluasi lebih lanjut reaksi pemasangan pelvic binder pada pasien


5) Perawatan luka

Journal: Homeyra Tahmasbi, Soghra Hasani. 2016. Effect of Benson’s

relaxation technique on the anxiety of patients undergoing coronary angiography: A

randomized control trial. Corresponding author: Department of Nursing,

Faculty of Medicine, Islamic Azad University, Sari Branch, Mazandaran,

Iran, Nursing Faculty of Medicine,Islamic Azad university, Sari Branch,

Mazandaran, Iran

P:. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh teknik relaksasi

Benson pada kecemasan pasien yang menjalani angiografi koroner. I: 35

pasien dalam kelompok intervensi diberikan teknik relaksasi Benson

pada 1 jam sebelum tindakan operasi. Tanda-tanda vital dan tingkat

kecemasan dicatat 30 menit sebelum relaksasi. Kemudian intervensi

teknik relaksasi benson dilakukan selama 20 menit. Posisikan pasien dan

lingkungan dengan tenang. Para pasien mendengarkan file audio

menggunakan headphone. Sesuai dengan instruksi yang diberikan, pasien

dengan tenang berbaring di tempat tidur dengan mata tertutup dan

terapies mulai mengatakan kata-kata santai berdasarkan preferensi

mereka (misalnya, tentang Tuhan atau cinta). Sementara itu, ajarkan

mereka menghirup napas atau tarik napas dalam lewat hidung, dan

menghembuskan napas melalui mulut, dan ulangi kata yang diinginkan

dalam pikiran mereka. Secara bersamaan. Kemudian pengukuran tanda-

tanda vital dan tingkat kecemasan kembali di ukur 30 menit setelah

intervensi. C: kelompok kontrol yang berjumlah 35 orang hanya

diberikan perawatan rutin atau perawatan biasa tanpa relaksasi. O:

Penggunaan teknik relaksasi Benson secara signifikan menurun


kecemasan pada kelompok intervensi (P = 0,0001). Namun, tidak ada

perbedaan signifikan yang diamati dalam tekanan sistolik darah, laju

pernapasan dan parameter detak jantung antara kelompok studi (P =

0,0001). Kesimpulan: Menurut hasil penelitian ini, menggunakan teknik

relaksasi Benson sebelum angiografi koroner mengurangi tingkat

kecemasan pada pasien. Oleh karena itu, teknik relaksaso ini dapat

digunakan sebagai terapi efektif tanpa efek samping untuk memberikan

dukungan mental bagi pasien sebelum prosedur invasif, seperti

angiografi.

P: Penelitian ini bertujuan untuk menerapkan metode pencegahan luka

decubitus pada pasien bedrest total melalui perawatan kulit. I: Desain

penelitian yang digunakan adalah Quasi Experiment dengan rancangan pre-

test and post test control group design. Pasien yang bed rest total diberikan

diberikan perlakuan berupa pengolesan nigella sativa oil sekitar 20 ml pada bagian

penonjolan tulang 1 kali sehari selama 7 hari. C: Pada kelompok kontrol

diberikan perawatan standar . O: Hasil penelitian mengenai efektivitas

Nigela Sativa Oil untuk mencegah terjadinya luka dekubitus pada pasien

tirah baring lama.

Youtube: Perubahan posisi pasien bedrest

(https://youtu.be/ H2xq5A7rhwA)

Ubah posisi setiap 2 jam jika tirah baring

Tindakan:

a. Menjaga privasi pasien

b. Merubah posisi dari terlentang ke miring


a) Menata beberapa bantal disebelah pasien

b) Memiringkan pasien kearah bantal disamping pasien

c) Menekukan kaki ke atas

d) Memastikan posisi pasien aman

c. Merubah posisi dari miring ke terlentang

a) Menata beberapa bantal disebelah klien

b) Menelentangkan klien kearah bantal yang disiapkan

c) Meluruskan kedua lutut

d) Memastikan posisi klien aman

d. Merapikan pasien
DAFTAR PUSTAKA

Khair, Masykur. 2014. Laporan Pendahuluan: Fraktur Pelvis. Program Pendidikan


Profesi Ners. Fakultas Ilmu Keperawatan. Universitas Islam Sultan Agung.
Semarang.

Kurniawan, Boby. 2012. Laporan Tugas Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Trauma
Pelvis. Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas
Gajah Mada Yogyakarta.

Permata, Adinda Dian. 2011. Makalah Kasus: Fraktur Pelvis. Program Studi Pendidikan
Dokter. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator


Diagnostik, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI
PPNI. 2016. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator
Diagnostik, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI
PPNI. 2016. Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator Diagnostik,
Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI
Sjamsuhidayat & Jong. 2015 .Buku Ajar Ilmu Bedah.Edisi 3.Jakarta:EGC

Smeltzer, S.C. 2013 Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Jakarta, EGC.

Anda mungkin juga menyukai