Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH KEPERAWATAN

FRAKTUR PELVIS

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Stase Gawat Darurat/Kritis

Oleh

Anita Dwi Febriana


19650123

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONOROGO
2020
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontuinitas jaringan tulang yang
menyebabkan trauma patah tulang secara langsung. Akibat trauma pada tulang tergantung
pada jenis trauma, kekuatan dan arahnya. Trauma tajam atau trauma tumpul yang kuat dapat
mernyebabkan tulang patah dengan luka terbuka sampai tulang yang disebut patah tulang
terbuka. Patah tulang di dekat sendi atau mengenai sendi dapat menyebabkan patah tulang
disertai lukasi sendi yang disebut fraktur dislokasi, sedangkan trauma tumpul dapat
menyebabkan fraktur tertutup yaitu apabila tidak ada luka yang menghubungkan fraktur
dengan udara luar atau permukaan kulit.

Fraktur pada pelvis terjadi akibat trauma tumpul dan berhubungan dengan angka
mortalitas antara 6%-50%. Walaupun hanya tejadi 5% trauma, penderita biasanya penderita
mempunyai angka ISS (Injury Severity Score) yang tinggi dan sering juga terdapat trauma
mayor di organ lain, karena kekuatan yang dibutuhkan untuk terjadinya fraktur pelvis cukup
signifikan. Pada pasien dengan trauma pelvis dapat terjadi hemodinamik yang tidak stabil,
dan dibutuhkan tim dari berbagai disiplin ilmu. Status hemodinamik awal pada pasien
dengan fraktur pelvis adalah actor prediksi utama yang dihubungkan dengan
kematianTrauma multiple biasanya terjadi pada pasien dengan fraktur pelvis, hipotensi yang
terjadi belum tentu berasal dari fraktur pelvis yang terjadi.

Fraktur pelvis mempunyai 4 daerah potensial perdarahan hebat, yaitu: permukaan


tulang yang fraktur, trauma pada arteri di pelvis, trauma pada plexus venosus pelvis, sumber
dari luas pelvis. Dalam penanganan fraktur pelvis, selain penanganan fraktur juga
penanganan untuk komplikasinya yang menyertainya yang dapat berupa perdarahan besar,
rupture kandung kemih atau cidera uretra.

Berdasarkan penjelasan diatas penulis akan menguraiakan tentang penanganan


secara gawat darurat/kritis pada pasien dengan fraktur pelvis
1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana konsep penyakit fraktur pelvis ?

2. Bagaimanakah penanganan secara gawat darurat/kritis pada pasien dengan fraktur pelvis
sesuai dengan jurnal?

1.3 Tujuan

1.Mengidentifikasi konsep penyakit fraktur pelvis

2. Mengidentifikasi penanganan secara gawat darurat/kritis pada pasien dengan fraktur pelvis
BAB 2

KONSEP TEORI

A. Pengertian
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang ditandai oleh rasanyeri,
pembengkakan, deformitas, gangguan fungsi, pemendekan, dan krepitasi. Fraktur adalah
terputusnya jaringan tulang/tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa.
Sehingga fraktur pelvis dapat dikatakan sebagai trauma tulang rawan pada pelvis yang
disebabkan oleh ruda paksa, misal : kecelakaan, benturan hebat yang ditandai oleh rasa
nyeri, pembengkakan, deformitas, dan lain-lain.
Fraktur pelvis berhubungan dengan injuri arteri mayor, saluran kemih bagian bawah,
uterus, testis, anorektal dinding abdomen, dan tulang belakang. Dapat menyebabkan
hemoragic (pelvis dapat menahan sebanyak ±4 liter darah) dan umumnya timbul manifestasi
klinis seperti hipotensi, nyeri dengan penekanan pada pelvis, perdarahan peritoneum atau
saluran kemih. Fraktur pelvis dimana perdarahan paling sering terjadi adalah serum atau
ilium, ramus pubis bilateral, separasi dari simfisis pubis, dan dislokasi dari artikilasio
sakroiliaka (Michael Eliastam et al, 1998:220)
Fraktur pelvis berkekuatan-tinggi merupakan cedera yang membahayakan jiwa.
Perdarahan luas sehubungan dengan fraktur pelvis relatif umum namun terutama lazim
dengan fraktur berkekuatan-tinggi. Kira-kira 15–30% pasien dengan cedera pelvis
berkekuatan-tinggi tidak stabil secara hemodinamik, yang mungkin secara langsung
dihubungkan dengan hilangnya darah dari cedera pelvis. Perdarahan merupakan penyebab
utama kematian pada pasien dengan fraktur pelvis, dengan keseluruhan angka kematian
antara 6-35% pada fraktur pelvis berkekuatan-tinggi rangkaian besar.
B. Anatomi dan fisiologi Pelvis

Pada manusia dewasa, panggul terbentuk di punggung posterior (belakang)


olehsakrum dan tulang ekor (bagian ekor dari kerangka axial), lateral dan anterior oleh
sepasang tulang pinggul (bagian dari kerangka apendikularis). Pada manusia dewasa,panggul
normal terdiri dari tiga tulang besar dan tulang ekor (3-5 tulang). Namun,sebelum masa
pubertas tulang pinggul terdiri dari tiga tulang yang terpisah yaitu ilium, ichium, dan pubis
Tulang sacrum merupakan penghubung tulang belakang ke panggul dan juga menjadi tempat
yang memungkinkan bagi sepasang pinggul kita untuk melekat. Pelvis merupakan cincin
cekung berbentuk tulang yang menghubungkan kolomvertebral ke femurs. Fungsi utamanya
untuk menyangga berat tubuh bagian atas ketikakita sedang duduk, berdiri dan beraktivitas.
Fungsi sekundernya adalah untuk mengandung (pada wanita) ketika hamil dan
melindungi viscera pelvis dan abdominopelvic viscera (bagian inferior saluran kemih,organ
reproduksi internal). Tulang pinggul saling terhubung satu sama lain pada anterior pubis
symphysis,dan posterior dengan sacrum pada sendi sacroiliac untuk membentuk cincin
panggul. Cincin ini sangat stabil sehingga menyebabkan sedikitnya mobilitas/pergerakan.
Ligamen yang paling penting dari sendi sacroiliac adalah ligamen sacrospinous dan
sacrotuberous yang menstabilkan tulang pinggul pada sacrum dan mencegah promonotory
dari miring ke depan. Sendi antara sacrum dan tulang ekor, sacrococcygeal symphysis.
diperkuat oleh serangkaian ligamen. Ligamen sacrococcygeal anterior merupakan
perpanjangan dari anterior longitudinal ligament (ALL) yang berjalan di sisi anterior dari
badan vertebra.
Serat tidak teratur tersebut menyatu dengan periosteum. Setiap sisi panggul
terbentuk sebagai tulang rawan, yang mengeras sebagai tiga tulang utama yang tinggal
terpisah melalui masa kanak-kanak:: ilium, ichium, pubis. Saat kelahiran seluruh sendi
pinggul (area acetabulum dan bagian atas femur) masih terbuat dari tulang dan otot.
Gerakkan trunk/batang (bending forward) pada dasarnya adalah sebuah gerakan dari otot-otot
rektus, sementara flexi lateral (bending menyamping) dicapai oleh kontraksi obliques
bersama dengan lumborum kuadratus dan otot punggung intrinsic. Dasar panggul memiliki
dua fungsi: Salah satunya adalah untuk menutup ronggapanggul dan perut, serta menanggung
beban dari organ visceral, yang lain adalahuntuk mengontrol bukaan rektum dan organ
urogenital yang menembus dasar pangguldan membuatnya lebih lemah. Untuk melakukan
keduanya, dasar panggul terdiri daribeberapa lembar otot dan jaringan ikat.
a. Os Sacrum
Os sacrum terdiri dari lima vertebrae rudimenter yang bersatu membentuk tulang
berbentuk baji yang cekung kearah anterior. Pinggir atas atau basis ossis sacri bersendi
dengan vertebra lumbalis V. Pinggir inferior yang sempit bersendi dengan os coceygis. Di
lateral, os sacrum bersendi dengan kedua os coxae membentuk ar ticulation sacroiliaca.
Pinggir anterior dan atas vertebra sacralis pertama menonjol ke depan sebagai batas
posterior apertura pelvis superior, disebut promontorium os sacrum, yang merupakan
bagian penting bagi ahli kandungan untuk menentukan ukuran pelvis. Foramina
vertebralia bersama-sama membentuk canalis sacralis.
Canalis sacralis berisi radix anterior dan posterior nervi lumbales, sacrales, dan coccygeus
filum terminale dan lemak fibrosa.
b. Os Coccygis
Os coccygis berartikulasi dengan sacrum di superior. Tulang ini terdiri dari empat vertebra
rudimenter yang bersatu membentuk tulang segitiga kecil yang basisnya bersendi dengan
ujung bawah sacrum.Vertebra coccygea hanya terdiri atas corpus, namun vertebra pertama
mempunyai pr ocessus transverses rudimenter dan cornu coccygeum. Cornu adalah sisa
pediculus dan processus articularis superior yang menonjol ke atas untuk bersendi dengan
cornu sacrale.
c. Os inominatum (tulang panggul)
Tulang ini terdiri dari tiga bagian komponen, yaitu: ilium, iskium, dan pubis. Saat dewasa
tulang-tulang ini telah menyatu selurunya pada asetabulum.
•   Ilium:batas atas tulang ini adalah Krista ilika.
Krista iliaka berjalan ke belakang dari spina iliaka anterior superior menuju spina iliaka
posterior superior. Di bawah tonjolan tulang ini terdapat spina inferiornya. 
Permukaan aurikularis ilium disebut permukaan glutealis karena disitulah pelekatan
gluteus. Linea glutealis inferior, anterior, dan posterior membatasi pelekatan gluteike
tulang. Permukaan dalam ilium halus dan berongga membentuk
fosailiaka. Fosailiaka merupakan tempat melekatnya m. iliakus.
Permukaan aurikularis ilium berartikulasi dengan sacrum pada
sendi sakro iliaka (sendi sinovial). Ligamentum sakro iliakaposterior, interoseus, dan
anterior memperkuat sendi sakro iliaka. Linea iliopektinealis berjalan di sebelah anterior
permukaan dalam ilium dari permukaan aurikularis menuju pubis.
d. Os pubis terdapat di sebelah bawah dan depan dari tulang usus. Dengan tulang duduk,
tulang ini membatasi sebuah lubang dalam tulang panggul yang dinamakan Foramen
Obturator. Tangkai tulang kemaluan yang berhubungan dengan tulang usus disebut
Ramus Superior Ossis Pubis. Bagian yang berhubungan dengan tulang duduk disebut
Ramus Inferior Ossis Pubis. Ramus Inferior kanan dan kiri membentuk Arcus Pubis.
e. Iskum terdiri dari spina dibagian posterior yang membatasi isciadika mayor (atas) dan
minor bawah)

C. Etiologi
1. Fraktur pelvis dapat disebabkan karena jatuh, kecelakaan, kendaraan bermotor atau cidera
remuk. Pada orang tua dengan osteoporosis atau osteomalasia dapat terjadi stress ramus
pubis (Helmi, 2012)
2. Trauma langsung: benturan pada tulang menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya
kekerasan mengakibatkan fraktur terbuka dengan garis patah melintan atau miring pada
tempat tersebut.
3. Trauma tidak langsung: bilamana titik tumpul benturan dengan terjadinya fraktur
berjauhan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran
vektor kekerasan
4. Proses penyakit: kanker dan riketsia.
5. Compresion force: klien yang melompat dari tempat ketinggian dapat mengakibatkan
fraktur kompresi tulang belakang.
6. Muscle (otot): akibat injuri/sakit terjadi regangan otot yang kuat sehingga dapat
menyebabkan fraktur. Kekuatan berupa pemuntiran, penekukan, kombinasi dari
ketiganya penarikan dan penekanan.

D. Manifestasi Klinis
1. Pada cidera tipe A pasien tidak mengalami syock berat tetapi merasa nyeri bila berusaha
berjalan. Terdapat nyeri tekan local tetapi jarang terdapat kerusakan pada viscera pelvis.
Foto polos pelvis dapat memperlihatkan fraktur.
2. Pada cidera tipe B dan C pasien mengalami syock berat, sangat nyeri dan tidak dapat
berdiri, tidak dapat BAK. Mungkin terdapat darah di meatus eksternus. Nyeri tekan dapat
bersifat local tetapi meluas dan usaha menggerakkan satu atau kedua ossis ilii akan sangat
nyeri.
3. Fraktur pelvis sering merupakan bagian dari salah satu trauma multipel yang dapat
mengenai organ-organ lain dalam panggul. Keluhan berupa gejala pembengkakan,
deformitas serta perdarahan subkutan sekitar panggul. Penderita datang dalam keadaan
anemia dan syok karena perdarahan yang hebat.
4. Nyeri
5. Kehilangan fungsi
6. Deformitas, nyeri tekan, dan bengkak
7. Perubahan warna dan memar
8. Krepitasi
E. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan radiologis:
a. Setiap penderita trauma panggul harus dilakukan pemeriksaan radiologis dengan
prioritas pemeriksaan rongent posisi AP.
b. Pemeriksaan rongent posisi lain yaitu oblik, rotasi interna dan eksterna bila keadaan
umum memungkinkan.
2. Pemeriksaan urologis dan lainnya:
a. Kateterisasi
b. Ureterogram
c. Sistogram retrograd dan postvoiding
d. Pielogram intravena
e. Aspirasi diagnostik dengan lavase peritoneal
3. Tomografi, CT Scan, MRI (jarang)

F. Penatalaksanaan
1. Tindakan operatif bila ditemukan kerusakan alat – alat dalam rongga panggul
2. Stabilisasi fraktur panggul, misalnya:
a. Fraktur avulsi atau stabil diatasi dengan pengobatan konservatif seperti istirahat,
traksi, pelvic sling
b. Fraktur tidak stabil diatasi dengan fiksasi eksterna atau dengan operasi yang
dikembangkan oleh grup ASIF
3. Berdasarkan klasifikasi Tile:
1. Fraktur Tipe A: hanya membutuhkan istirahat ditempat tidur yang dikombinasikan
dengan traksi tungkai bawah. Dalam 4-6 minggu pasien akan lebih nyaman dan bisa
menggunakan penopang.
2. Fraktur Tipe B:
1. Fraktur tipe open book
Jika celah kurang dari 2.5cm, diterapi dengan cara beristirahat ditempat tidur, kain
gendongan posterior atau korset elastis. Jika celah lebih dari 2.5cm dapat ditutup
dengan membaringkan pasien dengan cara miring dan menekan ala ossis ilii
menggunakan fiksasi luar dengan pen pada kedua ala ossis ilii.
2. Fraktur tipe close book
Beristirahat ditempat tidur selama sekitar 6 minggu tanpa fiksasi apapun bisa
dilakukan, akan tetapi bila ada perbedaan panjang kaki melebihi 1.5cm atau
terdapat deformitas pelvis yang nyata maka perlu dilakukan reduksi dengan
menggunakan pen pada krista iliaka.
3. Fraktur Tipe C
Sangat berbahaya dan sulit diterapi. Dapat dilakukan reduksi dengan traksi kerangka
yang dikombinasikan fiksator luar dan perlu istirahat ditempat tidur sekurang –
kurangnya 10 minggu. Kalau reduksi belum tercapai, maka dilakukan reduksi secara
terbuka dan mengikatnya dengan satu atau lebih plat kompresi dinamis.
4. Military Antishock Trousers
Military antishock trousers (MAST) atau celana anti syok militer dapat
memberikan kompresi dan imobilisasi sementara terhadap cincin pelvis dan
ekstremitas bawah melalui tekanan berisi udara. Pada tahun 1970an dan 1980an,
penggunaan MAST dianjurkan untuk menyebabkan tamponade pelvis dan
meningkatkan aliran balik vena untuk membantu resusitasi. Namun, penggunaan
MAST membatasi pemeriksaan abdomen dan mungkin menyebabkan sindroma
kompartemen ekstermitas bawah atau bertambah satu dari yang ada. Meskipun masih
berguna untuk stabilisasi pasien dengan fraktur pelvis, MAST secara luas telah
digantikan oleh penggunaan pengikat pelvis yang tersedia secara komersil.
5. Pengikat dan Sheet Pelvis
Kompresi melingkar mungkin siap dicapai pada keadaan pra rumah-sakit dan
pada awalnya memberikan keuntungan stabilisasi selama pengangkutan dan resusitasi.
Lembaran terlipat yang dibalutkan secara melingkar di sekeliling pelvis efektif secara
biaya, non-invasif, dan mudah untuk diterapkan. Pengikat pelvis komersial beragam
telah ditemukan. Tekanan sebesar 180 N tampaknya memberikan efektivitas
maksimal. Sebuah studi melaporkan pengikat pelvis mengurangi kebutuhan transfusi,
lamanya rawatan rumah sakit, dan mortalitas pada pasien dengan cedera APC (gambar
4).
Gambar 4. Ilustrasi yang mendemonstrasikan aplikasi alat kompresi melingkar pelvis
(pengikat pelvis) yang tepat, dengan gesper tambahan (tanda panah) untuk
mengontrol tekanan
Rotasi eksterna ekstremitas inferior umumnya terlihat pada orang dengan fraktur
pelvis disposisi, dan gaya yang beraksi melalui sendi panggul mungkin berkontribusi
pada deformitas pelvis. Koreksi rotasi eksternal ekstremitas bawah dapat dicapai
dengan membalut lutut atau kaki bersama-sama, dan hal ini dapat memperbaiki
reduksi pelvis yang dapat dicapai dengan kompresi melingkar.
6. Fiksasi Eksternal
Fiksasi Eksternal Anterior Standar
Beberapa studi telah melaporkan keuntungan fiksasi eksternal pelvis emergensi pada
resusitasi pasien yang tidak stabil secara hemodinamik dengan fraktur pelvis tidak
stabil. Efek menguntungkan fiksasi eksternal pada fraktur pelvis bisa muncul dari
beberapa faktor. Imobilisasi dapat membatasi pergeseran pelvis selama pergerakan dan
perpindahan pasien, menurunkan kemungkinan disrupsi bekuan darah. Pada beberapa
pola (misal, APC II), reduksi volume pelvis mungkin dicapai dengan aplikasi fiksator
eksternal. Studi eksperimental telah menunjukkan bahwa reduksi cedera pelvis “open
book” mengarah pada peningkatan tekanan retroperitoneal, yang bisa membantu
tamponade perdarahan vena. Penambahan fraktur disposisi dapat meringankan jalur
hemostasis untuk mengontrol perdarahan dari permukaan tulang kasar.
C-Clamp
Fiksasi pelvis eksternal standar tidak menyediakan stabilisasi pelvis
posterior yang adekuat. Hal ini membatasi efektivitas pada pola fraktur yang
melibatkan disrupsi posterior signifikan atau dalam kasus-kasus dimana ala ossis
ilium mengalami fraktur. C-clamp yang diaplikasikan secara posterior telah
dikembangkan untuk menutupi kekurangan ini. Clamp memberikan aplikasi gaya
tekan posterior tepat melewati persendian sacroiliaca. Kehati-hatian yag besar harus
dilatih untuk mencegah cedera iatrogenik selama aplikasi; prosedur umumnya harus
dilakukan dibawah tuntunan fluoroskopi. Penerapan C-clamp pada regio trochanter
femur menawarkan sebuah alternatif bagi fiksasi eksternal anterior standar untuk
fiksasi sementara cedera APC.
7. Angiografi
          Eksplorasi angiografi harus dipertimbangkan pada pasien dengan
kehilangan darah berkelanjutan yang tak dapat dijelaskan setelah stabilisasi fraktur
pelvis dan infus cairan agresif. Keseluruhan prevalensi pasien dengan fraktur pelvis
yang membutuhkan embolisasi dilaporkan <10%. Pada satu seri terbaru, angiografi
dilakukan pada 10% pasien yang didukung sebuah fraktur pelvis. Pasien yang lebih tua
dan yang memiliki Revised Trauma Score lebih tinggi paling sering mengalami
angiografi. Pada studi lain, 8% dari 162 pasien yang ditinjau ulang oleh penulis
membutuhkan angiografi. Embolisasi dibutuhkan pada 20% pola cedera APC, cedera
VS, dan fraktur pelvis kompleks, namun hanya 1,7% pada cedera LC. Eastridge dkk
melaporkan bahwa 27 dari 46 pasien dengan hipotensi persisten dan fraktur pelvis
yang sama sekali tak stabil, termasuk cedera APC II, APC III, LC II, LC III dan VS,
memiliki perdarahan arteri aktif (58,7%). Miller dkk menemukan bahwa 19 dari 28
pasien dengan instabilitas hemodinamik persisten diakibatkan oleh pada fraktur pelvis
menunjukkan perdarahan arteri (67,9%). Pada studi lain, ketika angiografi dilakukan,
hal tersebut sukses menghentikan perdarahan arteri pelvis pada 86-100% kasus. Ben-
Menachem dkk menganjurkan “embolisasi bersifat lebih-dulu”, menekankan bahwa
jika sebuah arteri yang ditemukan pada angiografi transected, maka arteri tersebut
harus diembolisasi untuk mencegah resiko perdarahan tertunda yang dapat terjadi
bersama dengan lisis bekuan darah. Penulis lain menjelaskan embolisasi non-selektif
pada arteri iliaca interna bilateral untuk mengontrol lokasi perdarahan multipel dan
menyembunyikan cedera arteri yang disebabkan oleh vasospasme.
Angiografi dini dan embolisasi berikutnya telah diperlihatkan untuk
memperbaiki hasil akhir pasien. Agolini dkk menunjukkan bahwa embolisasi dalam 3
jam sejak kedatangan menghasilkan angka ketahanan hidup yang lebih besar secara
signifikan. Studi lain menemukan bahwa angiografi pelvis yang dilakukan dalam 90
menit izin masuk memperbaiki angka ketahanan hidup. Namun, penggunaan
angiografi secara agresif dapat menyebabkan komplikasi iskemik. Angiografi dan
embolisasi tidak efektif untuk mengontrol perdarahan dari cedera vena dan lokasi pada
tulang, dan perdarahan vena menghadirkan sumber perdarahan dalam jumlah lebih
besar pada fraktur pelvis berkekuatan-tinggi. Waktu yang digunakan pada rangkaian
angiografi pada pasien hipotensif tanpa cedera arteri mungkin tidak mendukung
ketahanan hidup.
8. Balutan Pelvis
Balutan pelvis dikembangkan sebagai sebuah metode untuk mencapai
hemostasis langsung dan untuk mengontrol perdarahan vena yang disebabkan fraktur
pelvis. Selama lebih dari satu dekade, ahli bedah trauma di Eropa telah menganjurkan
laparotomi eksplorasi yang diikuti dengan balutan pelvis. Teknik ini diyakini terutama
berguna pada pasien yang parah. Ertel dkk menunjukkan bahwa pasien cedera multipel
dengan fraktur pelvis dapat dengan aman ditangani menggunakan C-clamp dan
balutan pelvis tanpa embolisasi arteri. Balutan lokal juga efektif dalam mengontrol
perdarahan arteri.
          Akhir-akhir ini, metode modifikasi balutan pelvis – balutan retroperitoneal
– telah diperkenalkan di Amerika Utara. Teknik ini memfasilitasi kontrol perdarahan
retroperitoneal melalui sebuah insisi kecil (gambar 5). Rongga intraperitoneal tidak
dimasuki, meninggalkan peritoneum tetap utuh untuk membantu mengembangkan
efek tamponade. Prosedurnya cepat dan mudah untuk dilakukan, dengan kehilangan
darah minimal. Balutan retroperitoneal tepat untuk pasien dengan beragam berat
ketidakstabilan hemodinamik, dan hal ini dapat mengurangi angiografi yang kurang
penting. Cothren dkk melaporkan tidak adanya kematian sebagai akibat dari
kehilangan darah akut pada pasien yang tidak stabil secara hemodinamik persisten
ketika balutan langsung digunakan. Hanya 4 dari 24 yang bukan responden pada studi
ini membutuhkan embolisasi selanjutnya (16,7%), dan penulis menyimpulkan bahwa
balutan secara cepat mengontrol perdarahan dan mengurangi kebutuhan angiografi
emergensi.

Gambar 5. Ilustrasi yang mendemonstrasikan teknis pembalutan retroperitoneal.


A, dibuat sebuah insisi vertikal midline 8-cm. Kandung kemih ditarik ke satu sisi, dan
tiga bagian spons tak terlipat dibungkus kedalam pelvis (dibawah pinggir pelvis)
dengan sebuah forceps. Yang pertama diletakkan secara posterior, berbatasan dengan
persendian sacroiliaca. Yang kedua ditempatkan di anterior dari spons pertama pada
titik yang sesuai dengan pertengahan pinggiran pelvis. Spons ketiga ditempatkan pada
ruang retropubis kedalam dan lateral kandung kemih. Kandung kemih kemudian
ditarik kesisi lainnya, dan proses tersebut diulangi. B, Ilustrasi yang
mendemonstrasikan lokasi umum enam bagian spons yang mengikuti balutan pelvis.
9.  Resusitasi Cairan
          Resusitasi cairan dianggap cukup penting sebagai usaha yang dilakukan
untuk menilai dan mengontrol lokasi perdarahan. Dua bor besar (≥16-gauge) kanula
intravena harus dibangun secara sentral atau di ekstremitas atas sepanjang penilaian
awal. Larutan kristaloid ≥ 2 L harus diberikan dalam 20 menit, atau lebih cepat pada
pasien yang berada dalam kondisi syok. Jika respon tekanan darah yang cukup dapat
diperoleh, infus kristaloid dapat dilanjutkan sampai darah tipe-khusus atau
keseluruhan cocok bisa tersedia. Darah tipe-khusus, yang di crossmatch untuk tipe
ABO dan Rh, biasanya dapat disediakan dalam 10 menit; namun, darah seperti itu
dapat berisi inkompatibilitas dengan antibodi minor lainnya. Darah yang secara
keseluruhan memiliki tipe dan crossmatch membawa resiko lebih sedikit bagi reaksi
transfusi, namun juga butuh waktu paling banyak untuk bisa didapatkan (rata-rata 60
menit). Ketika respon infus kristaloid hanya sementara ataupun tekanan darah gagal
merespon, 2 liter tambahan cairan kristaloid dapat diberikan, dan darah tipe-khusus
atau darah donor-universal non crossmatch (yaitu, kelompok O negatif) diberikan
dengan segera. Kurangnya respon mengindikasikan bahwa kemungkinan terjadi
kehilangan darah yang sedang berlangsung, dan angiografi dan/atau kontrol
perdarahan dengan pembedahan mungkin dibutuhkan.
10. Produk-produk Darah dan Rekombinan Faktor VIIa
          Pasien hipotensif yang tidak merespon resusitasi cairan awal
membutuhkan sejumlah besar cairan sesudah itu, mengarah pada defisiensi jalur
hemostasis. Karenanya, semua pasien yang seperti itu harus diasumsikan
membutuhkan trombosit dan fresh frozen plasma (FFP). Umumnya, 2 atau 3 unit FFP
dan 7-8 unit trombosit dibutuhkan untuk setiap 5 L penggantian volume.Transfusi
darah masif memiliki resiko potensial imunosupresi, efek-efek inflamasi, dan
koagulopati dilusi. Sepertinya, volume optimal dan kebutuhan relatif produk-produk
darah untuk resusitasi masih kontoversial. Sebagai tambahan, jumlah transfusi PRC
merupakan faktor resiko independen untuk kegagalan multi-organ paska cedera.
Beberapa penulis telah mengusulkan bahwa pasien trauma koagulopati terutama harus
diresusitasi dengan penggunaan FFP yang lebih agresif, dengan transfusi yang terdiri
atas PRC, FFP dan trombosit dalam rasio 1:1:1 untuk mencegah kemajuan koagulopati
dini. Rekombinan faktor VIIa (rFVIIa) mungkin dipertimbangkan sebagai intervensi
akhir jika koagulopati dan perdarahan yang mengancam-jiwa menetap disamping
pengobatan lainnya. Ini merupakan penggunaan rFVIIa off-label. Boffard dkk
melakukan sebuah studi multicenter dimana pasien trauma berat yang menerima 6 unit
PRC dalam 4 jam setelah masuk diacak pada baik pengobatan rFVIIa atau plasebo.
Pada kelompok rFVIIa, jumlah transfusi sel darah secara signifikan berkurang (kira-
kira 2,6 unit sel darah merah; P = 0,02), dan terdapat kecenderungan ke arah reduksi
mortalitas dan komplikasi.

G. Komplikasi
1. Komplikasi segera
a. Trombosis vena ilio femoral : sering ditemukan dan sangat berbahaya. Berikan
antikoagulan secara rutin untuk profilaktik.
b. Robekan kandung kemih : terjadi apabila ada disrupsi simfisis pubis atau tusukan dari
bagian tulang panggul yang tajam.
c. Robekan uretra : terjadi karena adanya disrupsi simfisis pubis pada daerah uretra pars
membranosa.
d. Trauma rektum dan vagina
e. Trauma pembuluh darah besar yang akan menyebabkan perdarahan masif sampai
syok.
f. Trauma pada saraf :
1) Lesi saraf skiatik : dapat terjadi pada saat trauma atau pada saat operasi. Apabila
dalam jangka waktu 6 minggu tidak ada perbaikan, maka sebaiknya dilakukan
eksplorasi.
2) Lesi pleksus lumbosakralis : biasanya terjadi pada fraktur sakrum yang bersifat
vertikal disertai pergeseran. Dapat pula terjadi gangguan fungsi seksual apabila
mengenai pusat saraf.
2. Komplikasi lanjut
a. Pembentukan tulang heterotrofik : biasanya terjadi setelah suatu trauma jaringan lunak
yang hebat atau setelah suatu diseksi operasi. Berikan Indometacin sebagai profilaksis.
b. Nekrosis avaskuler : dapat terjadi pada kaput femur beberapa waktu setelah trauma.
c. Gangguan pergerakan sendi serta osteoartritis sekunder : apabila terjadi fraktur pada
daerah asetabulum dan tidak dilakukan reduksi yang akurat, sedangkan sendi ini
menopang berat badan, maka akan terjadi ketidaksesuaian sendi yang akan
memberikan gangguan pergerakan serta osteoartritis dikemudian hari.
d. Skoliosis kompensator
H. Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk
menahan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap
tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya
kontinuitas tulang. Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam
korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi
karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan
tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini
menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma
dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses
penyembuhan tulang nantinya Trauma biasanya terjadi secara langsung pada panggul.
I. Patway

Jatuh, hantaman,
kecelakaan dll

Trauma Trauma tidak Kondisi Patologis


Langsung langsung

Tekanan pada
tulang pelvis Tidak mampu meredam
energy yang terlalu besar

Fraktur Pelvis

Diskontinuitas Pergeseran Nyeri


Tulang fragmen tulang

Kerusakan
Perubahan Spasme otot fragmen tulang
Jaringan
Sekitar
Peningkatan
Laserasi tekanan
kapiler Tekanan sumsum
Pergeseran tulang lebih kuat
fragmen dari kapiler
tulang
Pelepasan
histamin
Kerusakan Pembedahan
integritas
kulit
Edema Reaksi stress
Deformitas Kurangnya
Gangguan Trauma
Pengetahua
mobilitas fisik Jaringan Resiko Infeksi n
Intoleransi
aktivitas

BAB 3

CRITICALTHINKING

Pada manusia dewasa, panggul terbentuk di punggung posterior (belakang)


olehsakrum dan tulang ekor (bagian ekor dari kerangka axial), lateral dan anterior oleh
sepasang tulang pinggul (bagian dari kerangka apendikularis). Pada manusia dewasa,panggul
normal terdiri dari tiga tulang besar dan tulang ekor (3-5 tulang). Namun,sebelum masa
pubertas tulang pinggul terdiri dari tiga tulang yang terpisah yaitu ilium, ichium, dan pubis
Tulang sacrum merupakan penghubung tulang belakang ke panggul dan juga menjadi tempat
yang memungkinkan bagi sepasang pinggul kita untuk melekat. Pelvis merupakan cincin
cekung berbentuk tulang yang menghubungkan kolomvertebral ke femurs. Fungsi utamanya
untuk menyangga berat tubuh bagian atas ketikakita sedang duduk, berdiri dan beraktivitas.
Fraktur pelvis berkekuatan-tinggi merupakan cedera yang membahayakan jiwa.
Perdarahan luas sehubungan dengan fraktur pelvis relatif umum namun terutama lazim
dengan fraktur berkekuatan-tinggi. Kira-kira 15–30% pasien dengan cedera pelvis
berkekuatan-tinggi tidak stabil secara hemodinamik, yang mungkin secara langsung
dihubungkan dengan hilangnya darah dari cedera pelvis. Perdarahan merupakan penyebab
utama kematian pada pasien dengan fraktur pelvis, dengan keseluruhan angka kematian
antara 6-35% pada fraktur pelvis berkekuatan-tinggi rangkaian besar.
Penatalaksaan Berdasarkan klasifikasi Tile:
4. Fraktur Tipe A: hanya membutuhkan istirahat ditempat tidur yang dikombinasikan
dengan traksi tungkai bawah. Dalam 4-6 minggu pasien akan lebih nyaman dan bisa
menggunakan penopang.
5. Fraktur Tipe B:
3. Fraktur tipe open book
Jika celah kurang dari 2.5cm, diterapi dengan cara beristirahat ditempat tidur, kain
gendongan posterior atau korset elastis. Jika celah lebih dari 2.5cm dapat ditutup
dengan membaringkan pasien dengan cara miring dan menekan ala ossis ilii
menggunakan fiksasi luar dengan pen pada kedua ala ossis ilii.
4. Fraktur tipe close book
Beristirahat ditempat tidur selama sekitar 6 minggu tanpa fiksasi apapun bisa
dilakukan, akan tetapi bila ada perbedaan panjang kaki melebihi 1.5cm atau
terdapat deformitas pelvis yang nyata maka perlu dilakukan reduksi dengan
menggunakan pen pada krista iliaka.
6. Fraktur Tipe C
Sangat berbahaya dan sulit diterapi. Dapat dilakukan reduksi dengan traksi kerangka
yang dikombinasikan fiksator luar dan perlu istirahat ditempat tidur sekurang –
kurangnya 10 minggu. Kalau reduksi belum tercapai, maka dilakukan reduksi secara
terbuka dan mengikatnya dengan satu atau lebih plat kompresi dinamis.

MENILAI BUKTI SECARA KRITIS


Langkah-Langkah:
1. Apa PICO penelitian tersebut? Apakah PICO mirip dengan PICO anda?
 Ya
2. Sebaiknya apakah penelitian tersebut dilakukan?/ seberapa baik penelitian dikerjakan?
 Penelitian ini layak diaplikasikan kepada pasien.
3. Apa makna hasil penelitian tersebut dan apakah hasilnya karena faktor kebetulan?
 Intervensi tersebut memiliki dampak yang relatif signifikan terhadap pasien

LANGKAH I : BANDINGKAN PICO HASIL PENCARIAN DENGAN PICO ANDA


(KASUS)
 Buat PICO hasil pencarian
 Bandingkan PICO anda (KASUS KELOLAAN)

PICO ANDA (KASUS


PICO HASIL PENCARIAN
KELOLAAN)
P : Fraktur Pelvis P : : Nyeri Fraktur
I : istirahat ditempat tidur dengan I : Kombinasi Kompres Dingin Dan
kombinasi fiksasi Relaksasi Nafas Dalam
C:- C:-
O : Memberikan pengaruh yang cukup O : Memberikan pengaruh yang cukup
significan terhadap fraktur pelvis significan terhadap penurunan intensitas
nyeri fraktur

LANGKAH II: SEBERAPA BAIK PENELITIAN DILAKUKAN


 Rekrutmen
 Allocation or adjustmen
 Maintenance
 Measurement-blinded-objective

ASPEK YANG
DINILAI DARI ARTIKEL KRITIK
ARTIKEL
Rekrutmen
Jumlah populasi pada penelitian
ini tidak dicantumkan. Jumlah populasi pada
Tetapi tempat penelitian ini di penelitian ini tidak dicantumkan
Populasi
wilayah Kabupaten Musi secara jelas hanya disebutkan
Banyuasin dan Ogan Komering Ilir tempat wilayahnya
Provinsi Sumatera Selatan.
Sampel & Sampling Sampel adalah penderita fraktur Jumlah populasi pada
berjumlah 30, dipilih dengan penelitian ini dicantumkan
menggunakan tehnik accidental secara jelas dan rinci beserta
sampling serta memenuhi kriteria
yaitu penderita dalam keadaan
sadar penuh, tenang dan krtierianya. Sampel dalam
kooperatif, mampu berkomunikasi penelitian ini sudah mencukupi
dengan baik, diizinkan keluarga, untuk dilakukan sebuah
jenis fraktur tertutup dan penderita penelitian
belum mengkonsumsi obat pereda
rasa nyeri
Allocation Or Adjustmen
Penelitian quasy eksperimen one Desain yang digunakan pada
group pre test post test design. penelitian kali ini adalah quasy
Dalam penelitian ini peneliti eksperimen one group pre test
melakukan pengukuran intensitas post test design.

Acak Sebanding nyeri dengan menggunakan metode

Matching skala numerik sebelum dan sesudah


diberikan kombinasi kompres
dingin dan relaksasi nafas dalam
kemudian dicatat pada formulir
pemeriksaan.
Maintenance Apakah Status Sebanding Tetap Terjaga
Perlakukan Adequat Alat dan bahan yang digunakan: Pada penelitian ini pasien
Formulir pemeriksaan, handuk Formulir pemeriksaan, handuk
untuk memberikan kompres dan air untuk memberikan kompres dan
dingin. Pasien diberikan kombinasi air dingin.
kompres dingin dan relaksasi nafas
dalam dan pengukuran intensitas
nyeri sesudah diberikan kombinasi
kompres dingin dan relaksasi nafas
dalam, hasil pengukuran intensitas
nyeri selanjutnya dicatat pada
formulir pemeriksaan. Selanjutnya
dilakukan penilaian untuk melihat
pengaruh pemberian kombinasi
kompres dingin dan relaksasi nafas
dalam terhadap penurunan
intensitas nyeri fraktur
Measurement-blinded-objective
Berdasarkan rumusan masalah Penelitian ini menggunkan
Pedoman penatalaksanaan fraktur beberapa tindakan

Pengukuran pelvis telah mengalami perbaikan. menggunakan kompres dipilih

Objektif Penanganan fraktur pelvis yang dengan menggunakan tehnik

Tersamar bahwa tehnik relaksasi nafas dalam accidental sampling serta

Blind memberikan dampat yang baik memenuhi kriteria.


terhadap penurunan intensitas
nyeri pasien pasca operasi fraktur
femur.

LANGKAH III: APA MAKNA HASIL PENELITIAN


HASIL DAN INTERPRETASI
 Pengukuran Outcome
Biner Biner
Kontinu
 Nilai P (Uji Hipotesis) Penelitian quasy eksperimen one group pre
test post test design. Analisis data dilakukan
dengan menggunakan uji wilcoxone.
 Tingkat Kepercayaan (Estimasi)
Hasil dan kesimpulan akhir dilihat setelah
tindakan dilakukan pada pasien tersebut.

KEPUTUSAN:
HASIL PENELITIAN :

Beberapa penelitian terkait kompres dingin dan relaksasi nafas dalam sudah banyak
dilakukan dan memberikan hasil yang signifikan dalam menurunkan rasa nyeri. Dari beberapa
penelitian tersebut belum tampak penelitian yang mengungkapkan tentang bagaimana
pengaruh kombinasi kompres dingin jika dikombinasikan dengan relaksasi nafas dalam
terhadap penurunan intensitas nyeri yang terjadi pada penderita yang mengalami nyeri fraktur
dan membantu dalam upaya untuk meminimalisir rasa nyeri yang sedang. Penanganan
sederhana ini juga dapat diterapkan untuk fraktur pelvis.

TELAAH JURNAL

PENGARUH KOMBINASI KOMPRES DINGIN DAN RELAKSASI


Judul NAFAS DALAM TERHADAP PENURUNAN INTENSITAS NYERI
FRAKTUR DI WILAYAH KABUPATEN PROVINSI SUMATERA
SELATAN TAHUN 2017

Peneliti
Mujahidin¹, Repiska Palasa², Sanita Rahma Nur Utami ³
Tahun 2017

Jurnal
Babul Ilmi_Jurnal Ilmiah Multi Science Kesehatan, Volume 8, Juni 2018
Beberapa penelitian terkait kompres dingin dan relaksasi nafas dalam sudah
banyak dilakukan dan memberikan hasil yang signifikan dalam menurunkan
rasa nyeri. Dari beberapa penelitian tersebut belum tampak penelitian yang
mengungkapkan tentang bagaimana pengaruh kombinasi kompres dingin jika
dikombinasikan dengan relaksasi nafas dalam terhadap penurunan intensitas
nyeri yang terjadi pada penderita yang mengalami nyeri fraktur. Tujuan
Problem penelitian: untuk mengetahui pengaruh kombinasi kompres dingin dan
relaksasi nafas dalam terhadap penurunan intensitas nyeri fraktur. Sampel
adalah penderita fraktur berjumlah 30, dipilih dengan menggunakan tehnik
accidental sampling serta memenuhi kriteria yaitu penderita dalam keadaan
sadar penuh, tenang dan kooperatif, mampu berkomunikasi dengan baik,
diizinkan keluarga, jenis fraktur tertutup dan penderita belum mengkonsumsi
obat pereda rasa nyeri
Intervensi sebelum diberikan kombinasi kompres dingin dan relaksasi nafas dalam dan
pengukuran intensitas nyeri sesudah diberikan kombinasi kompres dingin dan
relaksasi nafas dalam, hasil pengukuran intensitas nyeri selanjutnya dicatat
pada formulir pemeriksaan. Selanjutnya dilakukan penilaian untuk melihat
pengaruh pemberian kombinasi kompres dingin dan relaksasi nafas dalam
terhadap penurunan intensitas nyeri fraktur.
Alat dan bahan yang digunakan
Formulir pemeriksaan, handuk untuk memberikan kompres dan air dingin.
Suhartini dkk 2013. Pengaruh tehnik relaksasi terhadap intensitas nyeri pada
pasien post operasi fraktur di ruang irina A BLU RSUP Prof DR.R.D Kandou
Comparation
Manado. Ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jkp/article/view/2243. Diakses
tanggal 14 Maret 2014.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah peneliti lakukan dan ditunjang oleh
penelitian penelitian terkait yang pernah dilakukan, peneliti berkesimpulan
bahwa melakukan kompres dingin dan relaksasi nafas dalam sangat baik
dilakukan oleh penderita yang mengalami nyeri fraktur dan membantu dalam
upaya untuk meminimalisir rasa nyeri yang sedang dirasakan.
Intensitas nyeri setelah deberikan kombinasi kompres dingin dan relaksasi
Outcome nafas dalam. Dari 30 sampel yang berpartisipasi diketahui sebanyak 5 orang
sampel (16.7%) dengan skala nyeri 2, 9 orang sampel (30.0%) dengan skala
nyeri 3 (intensitas nyeri ringan), 6 orang sampel (20.0%) dengan skala nyeri 4,
7 orang sampel (23.3%) dengan skala nyeri 5, 2 orang sampel (6.7%) dengan
skala nyeri 6 (intensitas nyeri sedang) dan sebanyak 1 orang sample (3.3%)
dengan skala nyeri 7 (intensitas nyeri berat).

BAB 4

KESIMPULAN
Penatalaksaan sesuai konsep teori
Berdasarkan klasifikasi Tile:
1. Fraktur Tipe A: hanya membutuhkan istirahat ditempat tidur yang dikombinasikan dengan
traksi tungkai bawah. Dalam 4-6 minggu pasien akan lebih nyaman dan bisa menggunakan
penopang.
2. Fraktur Tipe B:
a. Fraktur tipe open book
Jika celah kurang dari 2.5cm, diterapi dengan cara beristirahat ditempat tidur, kain gendongan
posterior atau korset elastis. Jika celah lebih dari 2.5cm dapat ditutup dengan membaringkan
pasien dengan cara miring dan menekan ala ossis ilii menggunakan fiksasi luar dengan pen
pada kedua ala ossis ilii.
b. Fraktur tipe close book
Beristirahat ditempat tidur selama sekitar 6 minggu tanpa fiksasi apapun bisa dilakukan, akan
tetapi bila ada perbedaan panjang kaki melebihi 1.5cm atau terdapat deformitas pelvis yang
nyata maka perlu dilakukan reduksi dengan menggunakan pen pada krista iliaka.
3. Fraktur Tipe C
Sangat berbahaya dan sulit diterapi. Dapat dilakukan reduksi dengan traksi kerangka yang
dikombinasikan fiksator luar dan perlu istirahat ditempat tidur sekurang – kurangnya 10
minggu. Kalau reduksi belum tercapai, maka dilakukan reduksi secara terbuka dan
mengikatnya dengan satu atau lebih plat kompresi dinamis.
Penatalaksanaan berdasarkan jurnal

Alat dan bahan yang digunakan


Formulir pemeriksaan, handuk untuk memberikan kompres dan air dingin Berdasarkan hasil
penelitian yang telah peneliti lakukan dan ditunjang oleh penelitian penelitian terkait yang
pernah dilakukan, peneliti berkesimpulan bahwa melakukan kompres dingin dan relaksasi nafas
dalam sangat baik dilakukan oleh penderita yang mengalami nyeri fraktur dan membantu dalam
upaya untuk meminimalisir rasa nyeri yang sedang dirasakan.
Hasil uji menunjukkan nilai significancy .000 < 0.05. Berdasarkan hasil uji tersebut maka
disimpulkan bahwa terdapat pengaruh pemberian kombinasi kompres dingin dan relaksasi nafas
dalam terhadap penurunan intensitas nyeri fraktur.
DAFTAR PUSTAKA

Dochterman, Joanne M., Bulecheck, Gloria N. 2011. Nursing Intervention Classification (NIC)
4th Edition. Missouri : Mosby

Herdman, T. Health. 2009. Nursing Diagnoses : Definitions and Classification 2009-2011. USA:
Wiley_Blackwell

Johson, M., Mass, M., Moorhead, S,. 2010. Nursing Outcomes Classification (NOC) second
edition. Missouri : Mosby

Michael Eliastam, George L. Sternbach, Michael jay Bresler. 2005. Buku Saku Penuntun
Kedaruratan Medis. Jakarta: EGC

Pierce A. Grace and Neil R.Borley. 2011. At a Glance Ilmu Bedah. Jakarta:Erlangga

Suhartini dkk 2013. Pengaruh tehnik relaksasi terhadap intensitas nyeri pada pasien post
operasi fraktur di ruang irina A BLU RSUP Prof DR.R.D Kandou Manado.
Ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jkp/article/view/2243. Diakses tanggal 14 Maret 2014.

Smeltzer, SC. Buku ajar keperawatan medikah bedah. Brunner & Suddarth Edisi 8 Volume 2.
Jakarta: EGC, 2012

Anda mungkin juga menyukai