FRAKTUR PELVIS
Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Stase Gawat Darurat/Kritis
Oleh
PENDAHULUAN
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontuinitas jaringan tulang yang
menyebabkan trauma patah tulang secara langsung. Akibat trauma pada tulang tergantung
pada jenis trauma, kekuatan dan arahnya. Trauma tajam atau trauma tumpul yang kuat dapat
mernyebabkan tulang patah dengan luka terbuka sampai tulang yang disebut patah tulang
terbuka. Patah tulang di dekat sendi atau mengenai sendi dapat menyebabkan patah tulang
disertai lukasi sendi yang disebut fraktur dislokasi, sedangkan trauma tumpul dapat
menyebabkan fraktur tertutup yaitu apabila tidak ada luka yang menghubungkan fraktur
dengan udara luar atau permukaan kulit.
Fraktur pada pelvis terjadi akibat trauma tumpul dan berhubungan dengan angka
mortalitas antara 6%-50%. Walaupun hanya tejadi 5% trauma, penderita biasanya penderita
mempunyai angka ISS (Injury Severity Score) yang tinggi dan sering juga terdapat trauma
mayor di organ lain, karena kekuatan yang dibutuhkan untuk terjadinya fraktur pelvis cukup
signifikan. Pada pasien dengan trauma pelvis dapat terjadi hemodinamik yang tidak stabil,
dan dibutuhkan tim dari berbagai disiplin ilmu. Status hemodinamik awal pada pasien
dengan fraktur pelvis adalah actor prediksi utama yang dihubungkan dengan
kematianTrauma multiple biasanya terjadi pada pasien dengan fraktur pelvis, hipotensi yang
terjadi belum tentu berasal dari fraktur pelvis yang terjadi.
2. Bagaimanakah penanganan secara gawat darurat/kritis pada pasien dengan fraktur pelvis
sesuai dengan jurnal?
1.3 Tujuan
2. Mengidentifikasi penanganan secara gawat darurat/kritis pada pasien dengan fraktur pelvis
BAB 2
KONSEP TEORI
A. Pengertian
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang ditandai oleh rasanyeri,
pembengkakan, deformitas, gangguan fungsi, pemendekan, dan krepitasi. Fraktur adalah
terputusnya jaringan tulang/tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa.
Sehingga fraktur pelvis dapat dikatakan sebagai trauma tulang rawan pada pelvis yang
disebabkan oleh ruda paksa, misal : kecelakaan, benturan hebat yang ditandai oleh rasa
nyeri, pembengkakan, deformitas, dan lain-lain.
Fraktur pelvis berhubungan dengan injuri arteri mayor, saluran kemih bagian bawah,
uterus, testis, anorektal dinding abdomen, dan tulang belakang. Dapat menyebabkan
hemoragic (pelvis dapat menahan sebanyak ±4 liter darah) dan umumnya timbul manifestasi
klinis seperti hipotensi, nyeri dengan penekanan pada pelvis, perdarahan peritoneum atau
saluran kemih. Fraktur pelvis dimana perdarahan paling sering terjadi adalah serum atau
ilium, ramus pubis bilateral, separasi dari simfisis pubis, dan dislokasi dari artikilasio
sakroiliaka (Michael Eliastam et al, 1998:220)
Fraktur pelvis berkekuatan-tinggi merupakan cedera yang membahayakan jiwa.
Perdarahan luas sehubungan dengan fraktur pelvis relatif umum namun terutama lazim
dengan fraktur berkekuatan-tinggi. Kira-kira 15–30% pasien dengan cedera pelvis
berkekuatan-tinggi tidak stabil secara hemodinamik, yang mungkin secara langsung
dihubungkan dengan hilangnya darah dari cedera pelvis. Perdarahan merupakan penyebab
utama kematian pada pasien dengan fraktur pelvis, dengan keseluruhan angka kematian
antara 6-35% pada fraktur pelvis berkekuatan-tinggi rangkaian besar.
B. Anatomi dan fisiologi Pelvis
C. Etiologi
1. Fraktur pelvis dapat disebabkan karena jatuh, kecelakaan, kendaraan bermotor atau cidera
remuk. Pada orang tua dengan osteoporosis atau osteomalasia dapat terjadi stress ramus
pubis (Helmi, 2012)
2. Trauma langsung: benturan pada tulang menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya
kekerasan mengakibatkan fraktur terbuka dengan garis patah melintan atau miring pada
tempat tersebut.
3. Trauma tidak langsung: bilamana titik tumpul benturan dengan terjadinya fraktur
berjauhan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran
vektor kekerasan
4. Proses penyakit: kanker dan riketsia.
5. Compresion force: klien yang melompat dari tempat ketinggian dapat mengakibatkan
fraktur kompresi tulang belakang.
6. Muscle (otot): akibat injuri/sakit terjadi regangan otot yang kuat sehingga dapat
menyebabkan fraktur. Kekuatan berupa pemuntiran, penekukan, kombinasi dari
ketiganya penarikan dan penekanan.
D. Manifestasi Klinis
1. Pada cidera tipe A pasien tidak mengalami syock berat tetapi merasa nyeri bila berusaha
berjalan. Terdapat nyeri tekan local tetapi jarang terdapat kerusakan pada viscera pelvis.
Foto polos pelvis dapat memperlihatkan fraktur.
2. Pada cidera tipe B dan C pasien mengalami syock berat, sangat nyeri dan tidak dapat
berdiri, tidak dapat BAK. Mungkin terdapat darah di meatus eksternus. Nyeri tekan dapat
bersifat local tetapi meluas dan usaha menggerakkan satu atau kedua ossis ilii akan sangat
nyeri.
3. Fraktur pelvis sering merupakan bagian dari salah satu trauma multipel yang dapat
mengenai organ-organ lain dalam panggul. Keluhan berupa gejala pembengkakan,
deformitas serta perdarahan subkutan sekitar panggul. Penderita datang dalam keadaan
anemia dan syok karena perdarahan yang hebat.
4. Nyeri
5. Kehilangan fungsi
6. Deformitas, nyeri tekan, dan bengkak
7. Perubahan warna dan memar
8. Krepitasi
E. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan radiologis:
a. Setiap penderita trauma panggul harus dilakukan pemeriksaan radiologis dengan
prioritas pemeriksaan rongent posisi AP.
b. Pemeriksaan rongent posisi lain yaitu oblik, rotasi interna dan eksterna bila keadaan
umum memungkinkan.
2. Pemeriksaan urologis dan lainnya:
a. Kateterisasi
b. Ureterogram
c. Sistogram retrograd dan postvoiding
d. Pielogram intravena
e. Aspirasi diagnostik dengan lavase peritoneal
3. Tomografi, CT Scan, MRI (jarang)
F. Penatalaksanaan
1. Tindakan operatif bila ditemukan kerusakan alat – alat dalam rongga panggul
2. Stabilisasi fraktur panggul, misalnya:
a. Fraktur avulsi atau stabil diatasi dengan pengobatan konservatif seperti istirahat,
traksi, pelvic sling
b. Fraktur tidak stabil diatasi dengan fiksasi eksterna atau dengan operasi yang
dikembangkan oleh grup ASIF
3. Berdasarkan klasifikasi Tile:
1. Fraktur Tipe A: hanya membutuhkan istirahat ditempat tidur yang dikombinasikan
dengan traksi tungkai bawah. Dalam 4-6 minggu pasien akan lebih nyaman dan bisa
menggunakan penopang.
2. Fraktur Tipe B:
1. Fraktur tipe open book
Jika celah kurang dari 2.5cm, diterapi dengan cara beristirahat ditempat tidur, kain
gendongan posterior atau korset elastis. Jika celah lebih dari 2.5cm dapat ditutup
dengan membaringkan pasien dengan cara miring dan menekan ala ossis ilii
menggunakan fiksasi luar dengan pen pada kedua ala ossis ilii.
2. Fraktur tipe close book
Beristirahat ditempat tidur selama sekitar 6 minggu tanpa fiksasi apapun bisa
dilakukan, akan tetapi bila ada perbedaan panjang kaki melebihi 1.5cm atau
terdapat deformitas pelvis yang nyata maka perlu dilakukan reduksi dengan
menggunakan pen pada krista iliaka.
3. Fraktur Tipe C
Sangat berbahaya dan sulit diterapi. Dapat dilakukan reduksi dengan traksi kerangka
yang dikombinasikan fiksator luar dan perlu istirahat ditempat tidur sekurang –
kurangnya 10 minggu. Kalau reduksi belum tercapai, maka dilakukan reduksi secara
terbuka dan mengikatnya dengan satu atau lebih plat kompresi dinamis.
4. Military Antishock Trousers
Military antishock trousers (MAST) atau celana anti syok militer dapat
memberikan kompresi dan imobilisasi sementara terhadap cincin pelvis dan
ekstremitas bawah melalui tekanan berisi udara. Pada tahun 1970an dan 1980an,
penggunaan MAST dianjurkan untuk menyebabkan tamponade pelvis dan
meningkatkan aliran balik vena untuk membantu resusitasi. Namun, penggunaan
MAST membatasi pemeriksaan abdomen dan mungkin menyebabkan sindroma
kompartemen ekstermitas bawah atau bertambah satu dari yang ada. Meskipun masih
berguna untuk stabilisasi pasien dengan fraktur pelvis, MAST secara luas telah
digantikan oleh penggunaan pengikat pelvis yang tersedia secara komersil.
5. Pengikat dan Sheet Pelvis
Kompresi melingkar mungkin siap dicapai pada keadaan pra rumah-sakit dan
pada awalnya memberikan keuntungan stabilisasi selama pengangkutan dan resusitasi.
Lembaran terlipat yang dibalutkan secara melingkar di sekeliling pelvis efektif secara
biaya, non-invasif, dan mudah untuk diterapkan. Pengikat pelvis komersial beragam
telah ditemukan. Tekanan sebesar 180 N tampaknya memberikan efektivitas
maksimal. Sebuah studi melaporkan pengikat pelvis mengurangi kebutuhan transfusi,
lamanya rawatan rumah sakit, dan mortalitas pada pasien dengan cedera APC (gambar
4).
Gambar 4. Ilustrasi yang mendemonstrasikan aplikasi alat kompresi melingkar pelvis
(pengikat pelvis) yang tepat, dengan gesper tambahan (tanda panah) untuk
mengontrol tekanan
Rotasi eksterna ekstremitas inferior umumnya terlihat pada orang dengan fraktur
pelvis disposisi, dan gaya yang beraksi melalui sendi panggul mungkin berkontribusi
pada deformitas pelvis. Koreksi rotasi eksternal ekstremitas bawah dapat dicapai
dengan membalut lutut atau kaki bersama-sama, dan hal ini dapat memperbaiki
reduksi pelvis yang dapat dicapai dengan kompresi melingkar.
6. Fiksasi Eksternal
Fiksasi Eksternal Anterior Standar
Beberapa studi telah melaporkan keuntungan fiksasi eksternal pelvis emergensi pada
resusitasi pasien yang tidak stabil secara hemodinamik dengan fraktur pelvis tidak
stabil. Efek menguntungkan fiksasi eksternal pada fraktur pelvis bisa muncul dari
beberapa faktor. Imobilisasi dapat membatasi pergeseran pelvis selama pergerakan dan
perpindahan pasien, menurunkan kemungkinan disrupsi bekuan darah. Pada beberapa
pola (misal, APC II), reduksi volume pelvis mungkin dicapai dengan aplikasi fiksator
eksternal. Studi eksperimental telah menunjukkan bahwa reduksi cedera pelvis “open
book” mengarah pada peningkatan tekanan retroperitoneal, yang bisa membantu
tamponade perdarahan vena. Penambahan fraktur disposisi dapat meringankan jalur
hemostasis untuk mengontrol perdarahan dari permukaan tulang kasar.
C-Clamp
Fiksasi pelvis eksternal standar tidak menyediakan stabilisasi pelvis
posterior yang adekuat. Hal ini membatasi efektivitas pada pola fraktur yang
melibatkan disrupsi posterior signifikan atau dalam kasus-kasus dimana ala ossis
ilium mengalami fraktur. C-clamp yang diaplikasikan secara posterior telah
dikembangkan untuk menutupi kekurangan ini. Clamp memberikan aplikasi gaya
tekan posterior tepat melewati persendian sacroiliaca. Kehati-hatian yag besar harus
dilatih untuk mencegah cedera iatrogenik selama aplikasi; prosedur umumnya harus
dilakukan dibawah tuntunan fluoroskopi. Penerapan C-clamp pada regio trochanter
femur menawarkan sebuah alternatif bagi fiksasi eksternal anterior standar untuk
fiksasi sementara cedera APC.
7. Angiografi
Eksplorasi angiografi harus dipertimbangkan pada pasien dengan
kehilangan darah berkelanjutan yang tak dapat dijelaskan setelah stabilisasi fraktur
pelvis dan infus cairan agresif. Keseluruhan prevalensi pasien dengan fraktur pelvis
yang membutuhkan embolisasi dilaporkan <10%. Pada satu seri terbaru, angiografi
dilakukan pada 10% pasien yang didukung sebuah fraktur pelvis. Pasien yang lebih tua
dan yang memiliki Revised Trauma Score lebih tinggi paling sering mengalami
angiografi. Pada studi lain, 8% dari 162 pasien yang ditinjau ulang oleh penulis
membutuhkan angiografi. Embolisasi dibutuhkan pada 20% pola cedera APC, cedera
VS, dan fraktur pelvis kompleks, namun hanya 1,7% pada cedera LC. Eastridge dkk
melaporkan bahwa 27 dari 46 pasien dengan hipotensi persisten dan fraktur pelvis
yang sama sekali tak stabil, termasuk cedera APC II, APC III, LC II, LC III dan VS,
memiliki perdarahan arteri aktif (58,7%). Miller dkk menemukan bahwa 19 dari 28
pasien dengan instabilitas hemodinamik persisten diakibatkan oleh pada fraktur pelvis
menunjukkan perdarahan arteri (67,9%). Pada studi lain, ketika angiografi dilakukan,
hal tersebut sukses menghentikan perdarahan arteri pelvis pada 86-100% kasus. Ben-
Menachem dkk menganjurkan “embolisasi bersifat lebih-dulu”, menekankan bahwa
jika sebuah arteri yang ditemukan pada angiografi transected, maka arteri tersebut
harus diembolisasi untuk mencegah resiko perdarahan tertunda yang dapat terjadi
bersama dengan lisis bekuan darah. Penulis lain menjelaskan embolisasi non-selektif
pada arteri iliaca interna bilateral untuk mengontrol lokasi perdarahan multipel dan
menyembunyikan cedera arteri yang disebabkan oleh vasospasme.
Angiografi dini dan embolisasi berikutnya telah diperlihatkan untuk
memperbaiki hasil akhir pasien. Agolini dkk menunjukkan bahwa embolisasi dalam 3
jam sejak kedatangan menghasilkan angka ketahanan hidup yang lebih besar secara
signifikan. Studi lain menemukan bahwa angiografi pelvis yang dilakukan dalam 90
menit izin masuk memperbaiki angka ketahanan hidup. Namun, penggunaan
angiografi secara agresif dapat menyebabkan komplikasi iskemik. Angiografi dan
embolisasi tidak efektif untuk mengontrol perdarahan dari cedera vena dan lokasi pada
tulang, dan perdarahan vena menghadirkan sumber perdarahan dalam jumlah lebih
besar pada fraktur pelvis berkekuatan-tinggi. Waktu yang digunakan pada rangkaian
angiografi pada pasien hipotensif tanpa cedera arteri mungkin tidak mendukung
ketahanan hidup.
8. Balutan Pelvis
Balutan pelvis dikembangkan sebagai sebuah metode untuk mencapai
hemostasis langsung dan untuk mengontrol perdarahan vena yang disebabkan fraktur
pelvis. Selama lebih dari satu dekade, ahli bedah trauma di Eropa telah menganjurkan
laparotomi eksplorasi yang diikuti dengan balutan pelvis. Teknik ini diyakini terutama
berguna pada pasien yang parah. Ertel dkk menunjukkan bahwa pasien cedera multipel
dengan fraktur pelvis dapat dengan aman ditangani menggunakan C-clamp dan
balutan pelvis tanpa embolisasi arteri. Balutan lokal juga efektif dalam mengontrol
perdarahan arteri.
Akhir-akhir ini, metode modifikasi balutan pelvis – balutan retroperitoneal
– telah diperkenalkan di Amerika Utara. Teknik ini memfasilitasi kontrol perdarahan
retroperitoneal melalui sebuah insisi kecil (gambar 5). Rongga intraperitoneal tidak
dimasuki, meninggalkan peritoneum tetap utuh untuk membantu mengembangkan
efek tamponade. Prosedurnya cepat dan mudah untuk dilakukan, dengan kehilangan
darah minimal. Balutan retroperitoneal tepat untuk pasien dengan beragam berat
ketidakstabilan hemodinamik, dan hal ini dapat mengurangi angiografi yang kurang
penting. Cothren dkk melaporkan tidak adanya kematian sebagai akibat dari
kehilangan darah akut pada pasien yang tidak stabil secara hemodinamik persisten
ketika balutan langsung digunakan. Hanya 4 dari 24 yang bukan responden pada studi
ini membutuhkan embolisasi selanjutnya (16,7%), dan penulis menyimpulkan bahwa
balutan secara cepat mengontrol perdarahan dan mengurangi kebutuhan angiografi
emergensi.
G. Komplikasi
1. Komplikasi segera
a. Trombosis vena ilio femoral : sering ditemukan dan sangat berbahaya. Berikan
antikoagulan secara rutin untuk profilaktik.
b. Robekan kandung kemih : terjadi apabila ada disrupsi simfisis pubis atau tusukan dari
bagian tulang panggul yang tajam.
c. Robekan uretra : terjadi karena adanya disrupsi simfisis pubis pada daerah uretra pars
membranosa.
d. Trauma rektum dan vagina
e. Trauma pembuluh darah besar yang akan menyebabkan perdarahan masif sampai
syok.
f. Trauma pada saraf :
1) Lesi saraf skiatik : dapat terjadi pada saat trauma atau pada saat operasi. Apabila
dalam jangka waktu 6 minggu tidak ada perbaikan, maka sebaiknya dilakukan
eksplorasi.
2) Lesi pleksus lumbosakralis : biasanya terjadi pada fraktur sakrum yang bersifat
vertikal disertai pergeseran. Dapat pula terjadi gangguan fungsi seksual apabila
mengenai pusat saraf.
2. Komplikasi lanjut
a. Pembentukan tulang heterotrofik : biasanya terjadi setelah suatu trauma jaringan lunak
yang hebat atau setelah suatu diseksi operasi. Berikan Indometacin sebagai profilaksis.
b. Nekrosis avaskuler : dapat terjadi pada kaput femur beberapa waktu setelah trauma.
c. Gangguan pergerakan sendi serta osteoartritis sekunder : apabila terjadi fraktur pada
daerah asetabulum dan tidak dilakukan reduksi yang akurat, sedangkan sendi ini
menopang berat badan, maka akan terjadi ketidaksesuaian sendi yang akan
memberikan gangguan pergerakan serta osteoartritis dikemudian hari.
d. Skoliosis kompensator
H. Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk
menahan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap
tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya
kontinuitas tulang. Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam
korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi
karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan
tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini
menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma
dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses
penyembuhan tulang nantinya Trauma biasanya terjadi secara langsung pada panggul.
I. Patway
Jatuh, hantaman,
kecelakaan dll
Tekanan pada
tulang pelvis Tidak mampu meredam
energy yang terlalu besar
Fraktur Pelvis
Kerusakan
Perubahan Spasme otot fragmen tulang
Jaringan
Sekitar
Peningkatan
Laserasi tekanan
kapiler Tekanan sumsum
Pergeseran tulang lebih kuat
fragmen dari kapiler
tulang
Pelepasan
histamin
Kerusakan Pembedahan
integritas
kulit
Edema Reaksi stress
Deformitas Kurangnya
Gangguan Trauma
Pengetahua
mobilitas fisik Jaringan Resiko Infeksi n
Intoleransi
aktivitas
BAB 3
CRITICALTHINKING
ASPEK YANG
DINILAI DARI ARTIKEL KRITIK
ARTIKEL
Rekrutmen
Jumlah populasi pada penelitian
ini tidak dicantumkan. Jumlah populasi pada
Tetapi tempat penelitian ini di penelitian ini tidak dicantumkan
Populasi
wilayah Kabupaten Musi secara jelas hanya disebutkan
Banyuasin dan Ogan Komering Ilir tempat wilayahnya
Provinsi Sumatera Selatan.
Sampel & Sampling Sampel adalah penderita fraktur Jumlah populasi pada
berjumlah 30, dipilih dengan penelitian ini dicantumkan
menggunakan tehnik accidental secara jelas dan rinci beserta
sampling serta memenuhi kriteria
yaitu penderita dalam keadaan
sadar penuh, tenang dan krtierianya. Sampel dalam
kooperatif, mampu berkomunikasi penelitian ini sudah mencukupi
dengan baik, diizinkan keluarga, untuk dilakukan sebuah
jenis fraktur tertutup dan penderita penelitian
belum mengkonsumsi obat pereda
rasa nyeri
Allocation Or Adjustmen
Penelitian quasy eksperimen one Desain yang digunakan pada
group pre test post test design. penelitian kali ini adalah quasy
Dalam penelitian ini peneliti eksperimen one group pre test
melakukan pengukuran intensitas post test design.
KEPUTUSAN:
HASIL PENELITIAN :
Beberapa penelitian terkait kompres dingin dan relaksasi nafas dalam sudah banyak
dilakukan dan memberikan hasil yang signifikan dalam menurunkan rasa nyeri. Dari beberapa
penelitian tersebut belum tampak penelitian yang mengungkapkan tentang bagaimana
pengaruh kombinasi kompres dingin jika dikombinasikan dengan relaksasi nafas dalam
terhadap penurunan intensitas nyeri yang terjadi pada penderita yang mengalami nyeri fraktur
dan membantu dalam upaya untuk meminimalisir rasa nyeri yang sedang. Penanganan
sederhana ini juga dapat diterapkan untuk fraktur pelvis.
TELAAH JURNAL
Peneliti
Mujahidin¹, Repiska Palasa², Sanita Rahma Nur Utami ³
Tahun 2017
Jurnal
Babul Ilmi_Jurnal Ilmiah Multi Science Kesehatan, Volume 8, Juni 2018
Beberapa penelitian terkait kompres dingin dan relaksasi nafas dalam sudah
banyak dilakukan dan memberikan hasil yang signifikan dalam menurunkan
rasa nyeri. Dari beberapa penelitian tersebut belum tampak penelitian yang
mengungkapkan tentang bagaimana pengaruh kombinasi kompres dingin jika
dikombinasikan dengan relaksasi nafas dalam terhadap penurunan intensitas
nyeri yang terjadi pada penderita yang mengalami nyeri fraktur. Tujuan
Problem penelitian: untuk mengetahui pengaruh kombinasi kompres dingin dan
relaksasi nafas dalam terhadap penurunan intensitas nyeri fraktur. Sampel
adalah penderita fraktur berjumlah 30, dipilih dengan menggunakan tehnik
accidental sampling serta memenuhi kriteria yaitu penderita dalam keadaan
sadar penuh, tenang dan kooperatif, mampu berkomunikasi dengan baik,
diizinkan keluarga, jenis fraktur tertutup dan penderita belum mengkonsumsi
obat pereda rasa nyeri
Intervensi sebelum diberikan kombinasi kompres dingin dan relaksasi nafas dalam dan
pengukuran intensitas nyeri sesudah diberikan kombinasi kompres dingin dan
relaksasi nafas dalam, hasil pengukuran intensitas nyeri selanjutnya dicatat
pada formulir pemeriksaan. Selanjutnya dilakukan penilaian untuk melihat
pengaruh pemberian kombinasi kompres dingin dan relaksasi nafas dalam
terhadap penurunan intensitas nyeri fraktur.
Alat dan bahan yang digunakan
Formulir pemeriksaan, handuk untuk memberikan kompres dan air dingin.
Suhartini dkk 2013. Pengaruh tehnik relaksasi terhadap intensitas nyeri pada
pasien post operasi fraktur di ruang irina A BLU RSUP Prof DR.R.D Kandou
Comparation
Manado. Ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jkp/article/view/2243. Diakses
tanggal 14 Maret 2014.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah peneliti lakukan dan ditunjang oleh
penelitian penelitian terkait yang pernah dilakukan, peneliti berkesimpulan
bahwa melakukan kompres dingin dan relaksasi nafas dalam sangat baik
dilakukan oleh penderita yang mengalami nyeri fraktur dan membantu dalam
upaya untuk meminimalisir rasa nyeri yang sedang dirasakan.
Intensitas nyeri setelah deberikan kombinasi kompres dingin dan relaksasi
Outcome nafas dalam. Dari 30 sampel yang berpartisipasi diketahui sebanyak 5 orang
sampel (16.7%) dengan skala nyeri 2, 9 orang sampel (30.0%) dengan skala
nyeri 3 (intensitas nyeri ringan), 6 orang sampel (20.0%) dengan skala nyeri 4,
7 orang sampel (23.3%) dengan skala nyeri 5, 2 orang sampel (6.7%) dengan
skala nyeri 6 (intensitas nyeri sedang) dan sebanyak 1 orang sample (3.3%)
dengan skala nyeri 7 (intensitas nyeri berat).
BAB 4
KESIMPULAN
Penatalaksaan sesuai konsep teori
Berdasarkan klasifikasi Tile:
1. Fraktur Tipe A: hanya membutuhkan istirahat ditempat tidur yang dikombinasikan dengan
traksi tungkai bawah. Dalam 4-6 minggu pasien akan lebih nyaman dan bisa menggunakan
penopang.
2. Fraktur Tipe B:
a. Fraktur tipe open book
Jika celah kurang dari 2.5cm, diterapi dengan cara beristirahat ditempat tidur, kain gendongan
posterior atau korset elastis. Jika celah lebih dari 2.5cm dapat ditutup dengan membaringkan
pasien dengan cara miring dan menekan ala ossis ilii menggunakan fiksasi luar dengan pen
pada kedua ala ossis ilii.
b. Fraktur tipe close book
Beristirahat ditempat tidur selama sekitar 6 minggu tanpa fiksasi apapun bisa dilakukan, akan
tetapi bila ada perbedaan panjang kaki melebihi 1.5cm atau terdapat deformitas pelvis yang
nyata maka perlu dilakukan reduksi dengan menggunakan pen pada krista iliaka.
3. Fraktur Tipe C
Sangat berbahaya dan sulit diterapi. Dapat dilakukan reduksi dengan traksi kerangka yang
dikombinasikan fiksator luar dan perlu istirahat ditempat tidur sekurang – kurangnya 10
minggu. Kalau reduksi belum tercapai, maka dilakukan reduksi secara terbuka dan
mengikatnya dengan satu atau lebih plat kompresi dinamis.
Penatalaksanaan berdasarkan jurnal
Dochterman, Joanne M., Bulecheck, Gloria N. 2011. Nursing Intervention Classification (NIC)
4th Edition. Missouri : Mosby
Herdman, T. Health. 2009. Nursing Diagnoses : Definitions and Classification 2009-2011. USA:
Wiley_Blackwell
Johson, M., Mass, M., Moorhead, S,. 2010. Nursing Outcomes Classification (NOC) second
edition. Missouri : Mosby
Michael Eliastam, George L. Sternbach, Michael jay Bresler. 2005. Buku Saku Penuntun
Kedaruratan Medis. Jakarta: EGC
Pierce A. Grace and Neil R.Borley. 2011. At a Glance Ilmu Bedah. Jakarta:Erlangga
Suhartini dkk 2013. Pengaruh tehnik relaksasi terhadap intensitas nyeri pada pasien post
operasi fraktur di ruang irina A BLU RSUP Prof DR.R.D Kandou Manado.
Ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jkp/article/view/2243. Diakses tanggal 14 Maret 2014.
Smeltzer, SC. Buku ajar keperawatan medikah bedah. Brunner & Suddarth Edisi 8 Volume 2.
Jakarta: EGC, 2012