Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Trauma pelvis merupakan 5 % dari seluruh fraktur. 2/3 trauma pelvis
terjadi akibat kecelakaan lalu lintas. 10% diantaranya disertai trauma pada alat
– alat dalam rongga panggul seperti uretra, buli – buli, rektum serta pembuluh
darah. Fraktur pelvis berhubungan dengan injuri arteri mayor, saluran kemih
bagian bawah, uterus, testis, anorektal dinding abdomen, dan tulang belakang.
Dapat menyebabkan hemoragi (pelvis dapat menahan sebanyak + 4 liter
darah) dan umumnya timbul manifestasi klinis seperti hipotensi, nyeri dengan
penekanan pada pelvis, perdarahan peritoneum atau saluran kemih.
Kira-kira 15–30% pasien dengan cedera pelvis berkekuatan-tinggi tidak
stabil secara hemodinamik, yang mungkin secara langsung dihubungkan
dengan hilangnya darah dari cedera pelvis. Perdarahan merupakan penyebab
utama kematian pada pasien dengan fraktur pelvis, dengan keseluruhan angka
kematian antara 6-35% pada fraktur pelvis berkekuatan-tinggi rangkaian
besar.
Pasien yang mengalami cedera pelvis berkelanjutan terbagi dalam dua
kategori utama,korban selamat dan tidak selamat. Pada korban yang tidak
selamat, kematian terjadi. Awal kematian umumnya karena perdarahan atau
cedera otak yang terkait. Kematian lanjut biasanya karena sepsis atau
kegagalan multiorgan. Korban sering mengalami implikasi jangka medis dan
social ekonomi akibat patah tulang panggul. Ini termasuk masalahkesehatan
mental, sakit kronis, arah panggul yang miring, perbedaan panjang kaki atau
rotasi,kelainan gaya berjalan, seksual dan disfungsi urologis.
Sebuah panggul yang stabil dapat menahan gaya normal fisiologis vertical
dan rotasi,tetapi baik atah tulang atau cedera ligament dapat mengganggu
stabilitas pelvis. Gangguanligament panggul menciptakan ketidakstabilan
rotasi anterior, sedangkan cedera ligament posterior menciptakan baik dan
vertical ketidakstabilan rotasi.Trauma pada pelvis terjadi sekitar 44% kasus.
Trauma ini merupakan akibat dari tabrakansalah satu sisi tubuh, yang

1
disebabkan karena mobil ataupun jalan, fraktur tidak selalu timbulkarena hal
tersebut.

1.2 Rumusan masalah


Berdasarkan latar belakang di atas dapat diambil rumusan masalahnya adalah :
1. Apa yang dimaksud dengan trauma pelvis?
2. Bagaimana anatomi dan fisiologi dari pelvis?
3. Apa saja klasifikasi dari trauma pelvis?
4. Bagaimana etiologi dari cidera pelvis?
5. Apa saja komplikasi dari trauma pelvis?
6. Apa manifestasi klinis dari trauma pelvis
7. Bagaimana terjadinya trauma pelvis?
8. Bagaimana penatalaksanaan dari trauma pelvis?
9. Apa saja pemeriksaan terkait trauma pelvis?

1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, dapat diambil tujuan dari penulisan
makalah ini adalah :
1. Mengetahui dan memahami pengertian dari trauma pelvis
2. Mengetahui dan memahami anatomi dan fisiologi dari pelvis
3. Mengetahui klasifikasi dari trauma pelvis
4. Mengetahui etiologi dari cidera pelvis
5. Mengetahui Apa saja komplikasi dari trauma pelvis
6. Mengetahui manifestasi klinis dari trauma pelvis
7. Mengetahui bagaimana terjadinya trauma pelvis
8. Mengetahui bagaimana penatalaksanaan dari trauma pelvis
9. Mengetahui apa saja pemeriksaan terkait trauma pelvis

2
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi Trauma Pelvis

Fraktur pelvis berhubungan dengan injuri arteri mayor, saluran kemih


bagian bawah, uterus, testis, anorektal dinding abdomen, dan tulang belakang.
Dapat menyebabkan hemoragi (pelvis dapat menahan sebanyak + 4 liter darah)
dan umumnya timbul manifestasi klinis seperti hipotensi, nyeri dengan penekanan
pada pelvis, perdarahan peritoneum atau saluran kemih.

Fraktur pelvis berkekuatan-tinggi merupakan cedera yang membahayakan


jiwa. Perdarahan luas sehubungan dengan fraktur pelvis relatif umum namun
terutama lazim dengan fraktur berkekuatan-tinggi. Kira-kira 15–30% pasien
dengan cedera pelvis berkekuatan-tinggi tidak stabil secara hemodinamik, yang
mungkin secara langsung dihubungkan dengan hilangnya darah dari cedera pelvis.
Perdarahan merupakan penyebab utama kematian pada pasien dengan fraktur
pelvis, dengan keseluruhan angka kematian antara 6-35% pada fraktur pelvis
berkekuatan-tinggi rangkaian besar.

2.2 Anatomi dan Fisiologi Pelvis

Tulang panggul (pelvis) terdiri dari dua tulang coxae, sacrum dan
coccygeus. Berartikulasi di anterior yaitu pada simphisis pubis, di posterior pada
artikulasio sacroiliaca. Struktur mirip cekungan ini memindahkan berat dari badan
ke tungkai bawah dan memberikan perlindungan pada viscera, pembuluh darah ,
dan saraf di pelvis (Apley, 1995)

Stabilitas cincin pelvis tergantung pada kekakuan tulang-tulang dan


integritas ligament yang kuat yang mengikat tiga segmen tulang bersama-sama
pada simphisis pubis dan artikulasio sacroiliaca. Ligamen pengikat yang paling
kuat dan yang paling penting dalah ligament sacroiliaca dan ligament iliolumbal.
Selama ligament-ligamen itu utuh, penahan beban tidak akan terganggu. Ini
adalah factor yang penting untuk membedakan cidera yang stabil dan yang tidak
stabil pada cincin pelvis (Apley, 1995)

3
Tulang coxae (panggul) terdiri dari tiga tulang, yaitu tulang pubis, ilium,
dan ischium yang berhubungan secara sinostosis pada fossa acetabuli, yang
dibatasi oleh limbus acetabuli dan dikelilingi oleh facies lunata. Incisura acetabuli
membuka acetabulum ke inferior dan berbatasan dengan foramen obturatorium
(Platzer, 1997)

Tulang coxae atau disebut juga dengan innominate bone bentuknya datar
dan lebar, merupakan os ireguler yang membentuk bagian terbesar pelvis. Tulang
ini tersusun atas tiga buah tulang yaitu tulang ilium, tulang ischium dan tulang
pelvis yang corpusnya bersatu di acetabulum, yang terletak di facies eksterna
tulang ini. Tulang ilium, disebut demikian karena menyangga pinggul, lebar di
bagian superior dan membentang ke cranial dari acetabulum. Tulang ischium
letaknya paling bawah dan merupakan bagiab paling kuat, berjalan ke bawah dari
acetabulum dan memanjang ke tuber ischiadicum, kemudian melengkung ke
ventral, bersama-sama tulang pubis membentuk lubang besar yaitu foramen
obturatorium. Tulang pubis memanjang ke medial dari acetabulum dan bersendi
di linea mediana dengan tulang pubis sisi yang berseberangan dengan membentuk
simfisis osseum pubis, membentuk bagian depan pelvis (Hadiwidjaja, 2004)

Tulang pubis terdiri dari ramus superior ossis pubis dan ramus inferior
ossis pubis. Kedua rami tersebut dibatasi oleh foramen obturatorium. Dekat ujung
superior medialis facies symphysialis terdapat tuberculum pubicum dari sana
terdapat crista pubica terbentang ke medialis dan pectin pubis mengarah ke
lateralis terhadap linea arcuata. Pada tempat peralihan dari ramus superior pubis
ke ilium terdapat peninggian disebut eminentia iliopubica. Sulcus obturatorius
terletak inferior terhadap tuberculum pubicum dan dibatasi sebelah dalam oleh
tuberculum obturatorium anterius dan tuberculum obturatorium posterius yang
tidak selalu ada (Platzer, 1997)

Tulang ilium dibagi menjadi bagian corpus ossis ilii dan ala ossis ilii.
Corpus membentuk bagian acetabulum dan dibatasi sebelah luar oleh sulcus supra
acetabularis dan di sebelah dalam oleh linea arcuata. Di bagian luar ala ossis ilii
terdapat facies glutealis dan sebelah dalamnya terdapat fossa iliaca mudah dilihat.
Di belakang fossa iliaca terdapat facies sacropelvica dengan tuberositas iliaca dan

4
facies aurikularis. Crista iliaca mulai dari anterior pada spina iliaca anterior
superior dan dibagi atas crista iliaca labium labium eksternum dan crista iliaca
labium internum, serta linea intermedia yang memanjang ke atas dank e belakang.
Terdapat juga di bagian lateralis lbium eksternum berupa tuberositas iliaca. Ujung
crista iliaca berakhir pada spina iliaca superior posterior. Di bawah yang terakhir
ini terdapat spina iliaca posterior inferior, sedangkan yang di bawah depan
terdapat spina iliaca anterior inferior. Linea glutealis inferior, linea glutealis
anterior, linea glutealis posteriorterletak pada facies glutealis. Selain itu terdapat
juga beberapa saluran vaskuler diantaranya yang sesuai dengan fungsinya yaitu
vasa emissaria (Platzer, 1997)

Tulang ischium dibagi atas corpus ossis ischii dan ramus ossis ischii, yang
bersama-samadengan ramus inferior ossis pubis membentuk batas bawah foramen
obturatorium. Tonjolan ischium disebut spina ischiadica yang memisahkan
incisura ischiadica mayor dengan incisura ischiadica minor. Incisura ischiadica
mayor dibentuk sebagian oleh ischium dan sebagian lagi oleh ilium, serta
mengarah ke permukaan bawah facies aurikularis. Tuber ischiadicum berkembang
pada ramus ischium (Platzer, 1997)

Cabang utama dari arteri iliaca komunis muncul di dalam pelvis diantara
sendi sacroiliaca dan incisura ischiadica mayor. Bersama cabang-cabang venanya,
pembuluh-pembuluh itu mudah terkena cidera bila fraktur mengenai bagian
posterior cincin pelvis. Saraf pada pleksus lumbalis dan sacralis juga juga
menghadapi resiko bila tejadi cidera pelvis posterior (Apley, 1995)

Kandung kemih terletak di belakang simphisis pubis. Trigonum


dipertahankan pada posisinya dengan ligament lateralis kandung kemih, dan pada
pria dengan prostat. Prostat terlerak diantara kandung kemih dan dasar pelvis.
Prostat dipertahankan di bagian lateral dengan serabut medial dari levator ani,
sedangkan di bagian anterior terikat erat pada tulang pubis oleh ligament
puboprostat. Pada wanita trigonum juga melekat pada serviks dan forniks vagina
anterior. Urethra dipertahankan oleh otot dasar pelvis serta ligament pubourethra.
Akibatnya pada wanita urethra jauh lebih mobil dan cenderung lebih sulit terkena
cidera (Apley, 1995)

5
Kolon pelvis dengan mesenteriumnya merupakan struktur yang mobil
sehingga tidak mudah cidera. Tetapi, rectum dan saluran anus lebih erat tertambat
pada struktur urogenital dan otot dasar pelvis sehingga mudah terkena bila terjadi
fraktur pelvis (Apley, 1995)

Pada perkembangannya selama masa kehamilan, terdapat tiga bakal


tulang, yaitu pada bulan ketiga dalam kandungan (ilium), pada bulan keempat
sampai kelima (ischium) dan pada bulan kelima sampai keenam (pubis). Ketiga
bakal tulang tersebut bersatu pada pusat acetabulum yaitu penyatuan berbentuk
“Y”. Di dalam acetabulum satu atau lebih masing-masing pusat osifikasi
berkembang antara usia 10 sampai 12 tahun. Sinostosis ketiga tulang terjadi antara
usia 5 dan 7 tahun tetapi di dalam acetabulum sendiri tidak sampai antara usia 15
dan 17 tahun. Pusat-pusat osifikasi epifisis terjadi pada spina pada usia 16 tahun,
pada tuberositas ischii dan crista iliaca terjadi pada usia antara 13 dan 15 tahun
(Platzer, 1997)

2.3 Klasifikasi Cedera Pelvis

Klasifikasi ceders pelvis menurut Young and Burgess, yaitu :

1. Lateral Compression (LC)

Cedera kompresi lateral.

6
Tabrakan dari arah lateral dapat mengakibatkan berbagai macam cedera,
tergantung dari kekuatan tabrakan yang terjadi.

a. Tipe AI (impaksi sakral dengan fraktur ramus pubis sisi yang sama
(ipsilateral)—cedera yang stabil.

b. Tipe AII (impaksi sakral dengan fraktur iliac wing ipsilateral atau
terbukanya SI joint posterior dan fraktur ramus pubis)

c. Tipe AIII (sama dengan tipe AII dengan tambahan cedera rotasional
eksterna dengan SI joint kontralateral dan fraktur ramus pubi

7
2. Anterior posterior compression (APC)

Dihasilkan oleh gaya dari anterior ke posterior yang mengakibatkan terbukanya


pelvis.

a. Tipe BI (diastasis simfisis <2,5 cm dengan sisi posterior yang intak)


cedera yang stabil.

b. Tipe BII (Diastasis simfisis >2,5 cm dengan terbukanya SI joint tapi tidak
terdapat instabilitas vertikal).

8
c. Tipe BIII (Disrupsi komplit dari anterior dan posterior pelvis dengan
kemungkinan adanya pergeseran vertikal).

3. Vertical shear (VS)

9
2.4 Gambaran Klinik Cedera Pelvis

Pada cidera tipe A pasien tidak mengalami syok berat tetapi merasa nyeri
bila berusaha berjalan. Terdapat nyeri tekan local tetapi jarang terdapat kerusakan
pada viscera pelvis. Foto polos pelvis dapat mempelihatkan fraktur. Pada cidera
tipe B dan C pasien mengalami syok berat, sangat nyeri dan tidak dapat berdiri,
tidak dapat kencing. Mungkin terdapat darah di meatus eksternus. Nyeri tekan
dapt bersifat local tapi sering meluas, dan usaha menggerakkan satu atau kedua
ossis ilii akan sangat nyeri. Salah satu kaki mungkin mengalamai anastetik
sebagian karena mengalami cidera saraf skiatika. Cidera ini sangat hebat sehingga
membawa resiko tinggi terjadinya kerusakan visceral, perdarahan di dalam perut
dan retroperitoneal, syok, sepsis dan ARDS. Angka kematian juga cukup tinggi.
(Apley, 1995)

2.5 Komplikasi Cedera Pelvis

1. Komplikasi segera
a. Trombosis vena ilio femoral : sering ditemukan dan sangat berbahaya.
Berikan antikoagulan secara rutin untuk profilaktik.
b. Robekan kandung kemih : terjadi apabila ada disrupsi simfisis pubis atau
tusukan dari bagian tulang panggul yang tajam.
c. Robekan uretra : terjadi karena adanya disrupsi simfisis pubis pada daerah
uretra pars membranosa.
d. Trauma rektum dan vagina
e. Trauma pembuluh darah besar yang akan menyebabkan perdarahan masif
sampai syok.
f. Trauma pada saraf :
1) Lesi saraf skiatik : dapat terjadi pada saat trauma atau pada saat
operasi. Apabila dalam jangka waktu 6 minggu tidak ada
perbaikan, maka sebaiknya dilakukan eksplorasi.
2) Lesi pleksus lumbosakralis : biasanya terjadi pada fraktur sakrum
yang bersifat vertikal disertai pergeseran. Dapat pula terjadi
gangguan fungsi seksual apabila mengenai pusat saraf.

10
2. Komplikasi lanjut
a. Pembentukan tulang heterotrofik : biasanya terjadi setelah suatu
trauma jaringan lunak yang hebat atau setelah suatu diseksi operasi.
Berikan Indometacin sebagai profilaksis.
b. Nekrosis avaskuler : dapat terjadi pada kaput femur beberapa waktu
setelah trauma.
c. Gangguan pergerakan sendi serta osteoartritis sekunder : apabila
terjadi fraktur pada daerah asetabulum dan tidak dilakukan reduksi
yang akurat, sedangkan sendi ini menopang berat badan, maka akan
terjadi ketidaksesuaian sendi yang akan memberikan gangguan
pergerakan serta osteoartritis dikemudian hari.
d. Skoliosis kompensator

2.6 Etiologi
1. Trauma langsung: benturan pada tulang dan mengakibatkan fraktur pada
tempat tersebut.
2. Trauma tidak langsung: bilamana titik tumpul benturan dengan
terjadinya fraktur berjauhan.
3. Proses penyakit: kanker dan riketsia.
4. Compresion force: klien yang melompat dari tempat ketinggian dapat
mengakibatkan fraktur kompresi tulang belakang.
5. Muscle (otot): akibat injuri/sakit terjadi regangan otot yang kuat
sehingga dapat menyebabkan fraktur (misal; elektrik shock dan tetani).

2.7 manifestasi klinis

Fraktur pelvis sering merupakan bagian dari salah satu trauma multipel
yang dapat mengenai organ – organ lain dalam pelvis. Keluhan berupa gejala
pembengkakan, deformitas serta perdarahan subkutan sekitar panggul.

11
Penderita datang dalam keadaan anemia dan syok karena perdarahan yang
hebat.
Gejalanya berupa :
a. nyeri tekan dan krepitasi daerah fraktur.
b. kadang perdarahan hebat (anemia bahkan syok)
c. abdomen bagian bawah tampak jejas atau hematom
d. nyeri tekan di daerah supra pubik tempat hematom
e. Pada ruptur ekstraperitoneal infitrasi urin dirongga peritoneal septisemia
tidak bisa buang air kecil kadang keluar darah dari uretra.

2.8 Patofisiologi

Trauma biasanya terjadi secara langsung pada panggul karena tekanan


yang besar atau karena jatuh dari ketinggian. Pada orang tua dengan osteoporosis
dan osteomalasia dapat terjadi fraktur stress pada ramus pubis.

Mekanisme trauma pada cincin panggul terdiri atas:

1. Kompresi anteroposterior

Hal ini biasanya akibat tabrakan antara seorang pejalan kaki dengan
kendaraan. Ramus pubis mengalami fraktur, tulang inominata terbelah dan
mengalami rotasi eksterna disertai robekan simfisis. Keadaan ini disebut sebagai
open book injury.

2. Kompresi lateral

Kompresi dari samping akan menyebabkan cincin mengalami keretakan.


Hal ini terjadi apabila ada trauma samping karena kecalakaan lalu lintas atau jatuh
dari ketinggian. Pada keadaan ini ramus pubis bagian depan pada kedua sisinya
mengalami fraktur dan bagian belakang terdapat strain dari sendi sakroiliaka atau
fraktur ilium atau dapat pula fraktur ramus pubis pada sisi yang sama.

3. Trauma vertikal

Tulang inominata pada satu sisi mengalami pergerakan secara vertikal


disertai fraktur ramus pubis dan disrupsi sendi sakroiliaka pada sisi yang sama.
Hal ini terjadi apabila seseorang jatuh dari ketinggian pada satu tungkai

4. Trauma kombinasi

Pada trauma yang lebih hebat dapat terjadi kombinasi kelainan diatas.

12
2.9 Woc
terlampir
2.10 pemeriksaan diagnostic
1. Pemeriksaan rontgen: menentukan lokasi/luasnya fraktur/trauma
2. Kreatinin: trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk ginjal
3. Hitung darah lengkap: Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau
menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada
trauma multiple). Peningkatan jumlah SDP adalah respons stress normal
setelah trauma.
4. CT scan merupakan pemeriksaan diagnostic yang perlu dilakukan untuk
mengkaji injuri intrra abdomen Angiografi, pielografi intravena dan
pemeriksaan lain dapat dilakukan untuk mengkaji derajat trauma pada
organ yang berbeda.

2.11 Penatalaksanaan
1. Tindakan operatif bila ditemukan kerusakan alat – alat dalam rongga
panggul
2. Stabilisasi fraktur panggul, misalnya:
a. Fraktur avulsi atau stabil diatasi dengan pengobatan konservatif seperti
istirahat, traksi, pelvic sling
b. Fraktur tidak stabil diatasi dengan fiksasi eksterna atau dengan operasi
yang dikembangkan oleh grup ASIF
Berdasarkan klasifikasi Tipe:
Menurut Marvin Tile disruption of pelvic ring dibagi :
a) Fraktur Tipe A (Stable)
Fraktur Tipe A : pasien tidak mengalami syok berat tetapi merasa
nyeri bila berusaha berjalan. Terdapat nyeri tekan lokal tetapi jarang
terdapat kerusakan pada visera pelvis.
Penatalaksanaan : hanya membutuhkan istirahat ditempat tidur
yang dikombinasikan dengan traksi tungkai bawah. Dalam 4-6
minggu pasien akan lebih nyaman dan bisa menggunakan penopang.
b) Fraktur Tipe B dan C

13
pasien mengalami syok berat, sangat nyeri dan tidak dapat berdiri,
serta juga tidak dapat kencing. Kadang – kadang terdapat darah di
meatus eksternus. Nyeri tekan dapat bersifat lokal tetapi sering
meluas, dan jika menggerakkan satu atau kedua ala ossis ilium akan
sangat nyeri.
Penatalaksanaan
1) Fraktur Tipe B (Unstable)
 Fraktur tipe open book
Jika celah kurang dari 2.5cm, diterapi dengan cara beristirahat
ditempat tidur, kain gendongan posterior atau korset elastis. Jika
celah lebih dari 2.5cm dapat ditutup dengan membaringkan
pasien dengan cara miring dan menekan ala ossis ilii
menggunakan fiksasi luar dengan pen pada kedua ala ossis ilii.
 Fraktur tipe close book
Beristirahat ditempat tidur selama sekitar 6 minggu tanpa fiksasi
apapun bisa dilakukan, akan tetapi bila ada perbedaan panjang
kaki melebihi 1.5cm atau terdapat deformitas pelvis yang nyata
maka perlu dilakukan reduksi dengan menggunakan pen pada
krista iliaka.
2) Fraktur Tipe C ( Miscellaneous)
Sangat berbahaya dan sulit diterapi. Dapat dilakukan reduksi
dengan traksi kerangka yang dikombinasikan fiksator luar dan perlu
istirahat ditempat tidur sekurang – kurangnya 10 minggu. Kalau
reduksi belum tercapai, maka dilakukan reduksi secara terbuka dan
mengikatnya dengan satu atau lebih plat kompresi dinamis.

14
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN FRAKTUR PELVIS

3.1 Primary Survey

Primary survey menyediakan evaluasi yang sistematis, pendeteksian dan


manajemen segera terhadap komplikasi akibat trauma parah yang mengancam
kehidupan. Tujuan dari Primary survey adalah untuk mengidentifikasi dan
memperbaiki dengan segera masalah yang mengancam kehidupan. Prioritas
yang dilakukan pada primary survey antara lain (Fulde, 2009) :
a. Airway maintenance dengan cervical spine protection
b. Breathing dan oxygenation
c. Circulation dan kontrol perdarahan eksternal
d. Disability-pemeriksaan neurologis singkat
e. Exposure dengan kontrol lingkungan
Sangat penting untuk ditekankan pada waktu melakukan primary survey
bahwa setiap langkah harus dilakukan dalam urutan yang benar dan langkah
berikutnya hanya dilakukan jika langkah sebelumnya telah sepenuhnya dinilai
dan berhasil. Setiap anggota tim dapat melaksanakan tugas sesuai urutan
sebagai sebuah tim dan anggota yang telah dialokasikan peran tertentu seperti
airway, circulation, dll, sehingga akan sepenuhnya menyadari mengenai
pembagian waktu dalam keterlibatan mereka (American College of Surgeons,
1997).
Primary survey perlu terus dilakukan berulang-ulang pada seluruh
tahapan awal manajemen. Kunci untuk perawatan trauma yang baik adalah
penilaian yang terarah, kemudian diikuti oleh pemberian intervensi yang tepat
dan sesuai serta pengkajian ulang melalui pendekatan AIR (assessment,
intervention, reassessment).
A. Airway
Penilaian kelancaran airway pada klien yang mengalami fraktur,
meliputi pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan
benda asing, fraktur wajah, fraktur mandibula atau maksila, fraktur laring
atau trachea.

15
Usaha untuk membebaskan jalan nafas harus melindungi vertebra
servikal karena kemungkinan patahnya tulang servikal harus selalu
diperhitungkan. Dalam hal ini dapat dilakukan chin lift, tetapi tidak boleh
mengakibatkan hiperekstensi leher. Cara melakukan chinlift dengan
menggunakan jari-jari satu tangan yang diletakan dibawah mandibula,
kemudian mendorong dagu ke anterior. Ibu jari tangan yang sama sedikit
menekan bibir bawah untuk membuka mulut dan jika diperlukan ibu jari
dapat diletakkan didalam mulut dibelakang gigi seri untuk mengangkat
dagu. Jaw trust juga merupakan tekhnik untuk membebaskan jalan nafas.
Tindakan ini dilakukan oleh dua tangan masing-masing satu tangan
dibelakang angulus mandibula dan menarik rahang ke depan. Bila
tindakan ini dilakukan memakai face-mask akan dicapai penutupan
sempurna dari mulut sehingga dapat dilakukan ventilasi yang baik.
Jika kesadaran klien menurun pembebasan jalan nafas dapat dipasang
guedel (oro-pharyngeal airway) dimasukkan kedalam mulut dan
diletakkan dibelakang lidah. Cara terbaik adalah dengan menekan lidah
dengan tongue spatol dan mendorong lidah kebelakang, karena dapat
menyumbat fariks. Pada klien sadar tidak boleh dipakai alat ini, karena
dapat menyebabkan muntah dan terjadi aspirasi.
Cara lain dapat dilakukan dengan memasukkan guedel secara terbalik
sampai menyentuh palatum molle, lalu alat diputar 180o dan diletakkan
dibelakang lidah. Naso-Pharyngeal airway juga merupakan salah satu alat
untuk membebaskan jalan nafas. Alat ini dimasukkan pada salah satu
lubang hidung yang tidak tersumbat secara perlahan dimasukkan sehingga
ujungnya terletak di fariks. Jika pada saat pemasangan mengalami
hambatan berhenti dan pindah kelubang hidung yang satunya. Selama
memeriksa dan memperbaiki jalan nafas, harus diperhatikan bahwa tidak
boleh dilakukan ekstensi, fleksi atau rotasi leher.
B. Breathing
Jalan nafas yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Pertukaran
gas yang terjadi pada saat bernafas mutlak untuk pertukaran oksigen dan

16
mengeluarkan karbondioksida dari tubuh. Ventilasi yang baik meliputi
fungsi yang baik dari paru, dinding dada dan diafragma.
Dada klien harus dibuka untuk melihat pernafasan yang baik.
Auskultasi dilakukan untuk memastikan masuknya udara ke dalam paru.
Perkusi dilakukan untuk menilai adanya udara atau darah dalam rongga
pleura. Inspeksi dan palpasi dapat mengetahui kelainan dinding dada yang
mungkin mengganggu ventilasi.
Evaluasi kesulitan pernafasan karena edema pada klien cedera wajah
dan leher. Perlukaan yang mengakibatkan gangguan ventilasi yang berat
adalah tension pneumothoraks, flail chest dengan kontusio paru, open
pneumothoraks dan hemathotoraks massif. Jika terjadi hal yang demikian
siapkan klien untuk intubasi trakea atau trakeostomi sesuai indikasi.
C. Circulation
Control pendarahan dengan menekan langsung sisi area perdarahan
bersamaan dengan tekanan jari pada arteri paling dekat dengan area
perdarahan. Kaji tanda-tanda syok yaitu penurunan tekanan darah, kulit
dingin, lembab dan nadi halus. Darah yang keluar berkaitan dengan fraktur
femur dan pelvis. Pertahankan tekanan darah dengan infuse IV, plasma.
Berikan transfuse untuk terapi komponen darah sesuai ketentuan
setelah tersedia darah. Berikan oksigen karena obstruksi jantung paru
menyebabkan penurunan suplai oksigen pada jaringan menyebabkan
kolaps sirkulsi. Pembebatan ekstremitas dan pengendalian nyeri penting
dalam mengatasi syok yang menyertai fraktur.
D. Disability/evaluasi neurologis
Dievalusai keadaan neurologisnya secara cepat, yaitu tingkat
kesadaran ukuran dan reaksi pupil. Penurunan kesadaran dapat disebabkan
penurunan oksigen atau penurunan perfusi ke otak atau perlukaan pada
otak.
Perubahan kesadaran menuntutu dilakukannya pemeriksaan terhadap
keadaan ventilasi, perfusi dan oksigenasi.
E. Exporsure/ control lingkungan

17
Di RS klien harus dibuka keseluruhan pakainnya,untuk evaluasi klien.
Setelah pakaian dibuka, penting agar klin tidak kedinginan, harus
diberikan selimut hangat dan diberikan cairan intravena yang sudah
dihangatkan.

3.3 Secondary Survey


Survey sekunder merupakan pemeriksaan secara lengkap yang dilakukan
secara head to toe, dari depan hingga belakang. Secondary survey hanya
dilakukan setelah kondisi pasien mulai stabil, dalam artian tidak mengalami
syok atau tanda-tanda syok telah mulai membaik.
a. Anamnesa
Pada pengakajian anamnesis data yang diperoleh yakni identitas klien dan
identitas penanggung jawab. Identitas klien yang meliputi nama, usia, jenis
kelamin, pekerjaan, tanggal lahir, tanggal pengkajian, tanggal masuk,
nomor rekam medik serta diagnosa medis.
Untuk pengkajian identitas penanggung jawab data yang didapatkan yakni
meliputi nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan, alamat serta hubungan
dengan klien.
b. Keluhan utama
Keluhan yang terutama dirasakan oleh pasien fraktur ialah nyeri.
c. Riwayat masalah kesehatan sekarang
Klien pada umumnya mengalami nyeri dengan penekanan pada pelvis,
krepitasi, perdarahan peritoneum atau saluran kemih, serta adanya
deformitas pada tulang
d. Riwayat penyakit dahulu
Apakah klien mengalami riwayat fraktur atau penyakit muskuloskeletal
sebelumnya.
e. Riwayat keluarga, sosial, dan sistem.
Merupakan respon emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan
peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon dan pengaruhnya
dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam keluarga maupun masyarakat.

18
f. Menurut Doengoes, ME (2000) pengkajian fraktur meliputi :
1) Aktivitas/istirahat
Tanda : Keterbatasan/ kehilangan fungsi pada bagian yang terkena
(mungkin segera, fraktur itu sendiri, atau trjadi secara sekunder, dari
pembengkakan jaringan, nyeri)
2) Sirkulasi
Gejala : Hipertensi (kadang-kadang terlihat sebagai respon terhadap
nyeri/ansietas), atau hipotensi (kehingan darah)
3) Neurosensori
Gejala  :   Hilang gerak/sensasi,spasme otot, Kebas/kesemutan
(parestesis)
Tanda : Demormitas local; angulasi abnormal, pemendakan, ratotasi,
krepitasi (bunyi berderit, spasme otot, terlihat kelemahan atau hilang
fungsi).
4) Nyeri/kenyamanan
Gejala : Nyeri berat tiba-tiba pada saat cidera (mungkin terlokalisasi
pada ara jaringan/kerusakan tulang; dapat berkurang pada imobilisasi)
tak ada nyeri akibat kerusakan saraf.
5) Penyuluhan/Pembelajaran
Gejala : Lingkungan cidera
Pertimbangan : DRG menunjukkan rerata lama dirawat : femur 7-
8 hari, panggul/pelvis 6-7 hari, lain-lainya 4 hari bila memerlukan
perawatan dirumah sakit
6) Rencana pemulangan
Membutuhkan dengan transportasi, aktivitas perawatan diri, dan
tugas/pemeliharaan  rumah.
g. Pemeriksaan Fisik
1) Nyeri pada lokasi fraktur terutama pada saat digerakkan
2) Pembengkakan
3) Pemendekan ekstremitas yang sakit
4) Paralisis (kehilangan daya gerak)
5) Angulasi ekstremitas yang sakit

19
6) Krepitasi
7) Spasme otot
8) Parastesi (penurunan sensasi)
9) Pusat dan tidak ada daya ingat, nadi ada bagian distal pada lokasi
fraktur bila aliran darah arteri terganggu oleh fraktur. (Barbara C.
Long, 1997 : 267)
h. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan rontgen
Untuk menentukan lokasi / luasnya fraktur / trauma pada pemeriksaan
radiologi minimal 2 proyeksi yaitu anterior, posterior dan lateral.
2) Scan tulang, tomogram, CT-Scan / MRI
Untuk memperlihatkan fraktur juga dapat mengidentifikasi
berdasarkan jaringan lunak.
3) Artenogram
Dilakukan apabila adanya kerusakan vaskuler dicurigai.
4) Hitung darah kapiler
- Hematokrit mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun
(perdarahan atau peningkatan leukosit akibat respon setelah trauma).
- Kreatinin meningkat : trauma obat meningkat, beban kreatinin untuk
klien ginjal meningkat.
- Kadar kalsium serum : untuk mengetahui penyebab fraktur/
mempengaruhi kadar kalsium, Hb.
3.4 Diagnosa keperawatan
1. Gangguan rasa nyaman : nyeri akut
2. Gangguan mobilitas fisik
3. Resiko tinggi infeksi
4. Resiko perdarahan

DIAGNOSA NOC NIC


Gangguan rasa Pain Control Manajemen Nyeri
nyaman : Nyeri Indikator : Aktivitas :
akut b.d a. Mengenal penyebab nyeri a. Kaji secara
pergeseran komphrehensif tentang

20
fragmen tulang b. Mengenal onset nyeri nyeri, meliputi: lokasi,
akibat trauma c. Menggunakan tindakan karakteristik dan onset,
pencegahan durasi, frekuensi,
d. Menggunakan kualitas,
pertolongan non- intensitas/beratnya nyeri,
analgetik dan faktor-faktor
e. Menggunakan analgetik presipitasi
dengan tepat b. Observasi isyarat-isyarat
f. Mengenal tanda-tanda non verbal dari
pencetus nyeri untuk ketidaknyamanan,
mencari pertolongan khususnya dalam
g. Menggunakan sumber- ketidakmampuan untuk
sumber yang ada komunikasi secara efektif
h. Mengenal gejala nyeri c. Berikan analgetik sesuai
i. Melaporkan gejala-gejala dengan anjuran
kepada tenaga kesehatan d. Gunakan komunikasi
profesional terapeutik agar pasien
j. Melaporkan kontrol nyeri dapat mengekspresikan
nyeri
Pain Level e. Tentukan dampak dari
Indikator : ekspresi nyeri terhadap
a. Melaporkan nyeri kualitas hidup: pola tidur,
berkurang nafsu makan, aktifitas
b. Tidak menununjukkan kognisi, mood,
ekspersi wajah menahan relationship, pekerjaan,
nyeri tanggungjawab peran
c. Mampu mengontrol f. Kaji pengalaman individu
nyeri (tahu penyebab terhadap nyeri,  keluarga
nyeri, mampu dengan nyeri kronis
menggunakan tehnik g. Evaluasi  tentang
nonfarmakologi untuk keefektifan dari tindakan
mengurangi nyeri, mengontrol nyeri yang

21
mencari bantuan) telah digunakan
d. Tidak mual h. Berikan informasi tentang
e. Tanda vital dalam nyeri, seperti: penyebab,
rentang normal berapa lama terjadi, dan
tindakan pencegahan
i. Kontrol faktor-faktor
lingkungan yang dapat
mempengaruhi respon
pasien terhadap
ketidaknyamanan  (ex:
temperatur ruangan,
penyinaran, dll)
j. Ajarkan penggunaan
teknik non-farmakologi
k. Evaluasi keefektifan dari
tindakan mengontrol
nyeri
l. Tingkatkan tidur/istirahat
yang cukup
m. Anjurkan pasien untuk
berdiskusi tentang
pengalaman nyeri secara
tepat
n. Beritahu dokter jika
tindakan tidak berhasil
atau terjadi keluhan
o. Monitor kenyamanan
pasien terhadap
manajemen nyeri
p. Lakukan pengkajian
terhadap pasien dengan
nyaman dan lakukan

22
monitoring dari rencana
yang dibuat
q. Pertimbangkan keinginan
pasien untuk
berpartisipasi, dukungan
dari keluarga dekat dan
kontraindikasi ketika
strategi penurun nyeri
telah dipilih
r. Pertimbangkan tipe dan
sumber nyeri ketika
strategi penurun nyeri
telah dipilih
s. Kolaborasikan dengan
pasien, orang terdekat
dan tenaga profesional
lain unntuk memilh tenik
non farmakologi
t. Berikan analgetik yang
berguna optimal
u. Gunakan PCA (Patient
Controlled Analgesia)
v. Berikan pengobatan
sebelum aktivitas untuk
meningkatkan partisipasi
w. Berikan analgetik
sebelum perawatan dan
atau strategi
nonfarmakologi sebelum
prosedur yang
menyakitkan
x. Modifikasi kontrol nyeri

23
sesuai respon pasien
y. Gunakan pendekatan
multidisiplin dalam
penanganan nyeri
z. Berikan informasi yang
akurat untuk
meningkatkan
pengetahuan keluarga dan
respon terhadap
pengalaman nyeri

Gangguan a. Joint Pengaturan posisi


mobilitas fisik b.d Movement : Active Aktivitas :
Gangguan b. Mobility a. Meletakkan pasien pada
musculoskeletal Level tempat tidur yang sesuai
c. Transfer b. Membantu pasien dalam
performance perubahan posisi
c. Monitor status oksigen/
Indicator :
pernafasan sebelum dan
a. Klien meningkat dalam
setelah perubahan posisi
aktivitas fisik
dilakukan
b. Mengerti tujuan dari
d. Pemberian dukungan
peningkatan mobilitas
pada bagian tubuh yang
c. Memverbalisasikan
perlu diimobilisasikan
perasaan dalam
e. Fasilitasi posisi yang
meningkatkan kekuatan
mendukung ventilasi/
dan kemampuan
perfusi
berpindah
f. Lakukan latihan rentang
d. Memperagakan
gerak pasif dan aktif
penggunaan alat Bantu
g. Cegah penempatan pasien
untuk mobilisasi (walker)
pada posisi yang dapat
meningkatkan nyeri
h. Minimalkan gesekan

24
ketika positioning
i. Posisikan pasien pada
posisi yang mendukung
drainase perkemihan
j. Posisikan pada posisi
yang dapat mencegah
penekanan pada luka
k. Instruksikan pasien
terkait bagaimana postur
yang baik
l. Atur jadwal perubahan
posisi pada pasien

Perawatan Bed Rest


Aktivitas :
a. Jelaskan alasan mengapa
pasien perlu bed rest
b. Letakkan pada bed yang
tepat
c. Hindari penggunaan
kasur yang teksturnya
kasar
d. Jaga linen kasur tetap
bersih, kering dan bebas
dari kerutan
e. Gunakan perlengkapan
pelindung bagi pasien
pada bed
f. Monitor kondisi kulit
g. Melakukan latihan
rentang gerak aktif dan

25
pasif
h. Tingkatkan kebersihan
i. Bantu aktivitas sehari-
hari pasien
j. Monitor fungsi
perkemihan
k. Monitor terhadap
konstipasi
l. Monitor status
pernafasan

Resiko tinggi Kontrol Risiko Kontrol Infeksi


infeksi b.d Indikator : Aktivitas :
prosedur invasif  Mengetahui faktor a. Bersikan lingkungan
risiko secara tepat setelah
 Memonitor faktor risiko digunakan oleh pasien
lingkungan b. Ganti peralatan pasien
 Mengembangkan setiap selesai tindakan
strategi pengendalian c. Ajarkan cuci tangan
risiko yang efektif untuk menjaga kesehatan

 Menghindari paparan individu

ancaman kesehatan d. Anjurkan pengunjung

 Memantau perubahan untuk mencuci tangan

status kesehatan sebelum dan setelah


meninggalkan ruangan
Kontrol Risiko : Proses pasien
Infeksi e. Cuci tangan sebelum dan
Indikator : sesudah kontak dengan

 Mencari validasi risiko pasien

infeksi yang dirasakan f. Lakukan universal

 Memonitor lingkungan precautions

untuk faktor yang g. Gunakan sarung tangan

26
terkait dengan risiko steril
infeksi h. Lakukan perawatan
 Mempertahankan aseptic pada semua jalur
lingkungan yang bersih IV
 Menggunakan i. Lakukan teknik
kewaspadaan universal perawatan luka yang tepat
 Memantau perubahan j. Tingkatkan asupan nutrisi
status kesehatan umum k. Anjurkan asupan cairan
l. Anjurkan istirahat
m. Berikan terapi antibiotik

Infection Protection
Aktivitas :
a. Monitor tanda dan gejala
infeksi sistemik dan lokal
b. Monitor kerentanan
terhadap infeksi
c. Monitor angka granulosit,
WBC dan hasil yang
berbeda
d. Partahankan teknik aspesis
pada pasien yang beresiko
e. Berikan perawatan kulit
yang tepat pada area
edematous
f. Inspeksi kulit dan
membran mukosa terhadap
kemerahan, panas, atau
drainase
g. Ispeksi kondisi luka
h. Dukungan masukkan

27
nutrisi yang cukup
i. Dukungan masukan cairan
j. Dukungan istirahat
k. Instruksikan pasien untuk
minum antibiotik sesuai
resep

Perawatan luka
Aktivitas :
a. Monitor karakteristik
luka meliputi drainase,
warna, ukuran dan bau
b. Bersihkan luka dengan
NaCl (normal saline)
c. Pertahankan teknik steril
dalam perawatan luka
d. Inspeksi luka setiap
melakukan pergantian
dreesing
e. Bandingkan dan laporkan
adanya perubahan pada
luka secara reguler
f. Atur posisi untuk
mencegah tekanan pada
daerah luka
g. Tingkatkan intake cairan
h. Ajarkan pada
pasien/anggota keluarga
tentang prosedur
perawatan luka
i. Ajarkan pada
pasien/anggota keluarga
tentang tanda dan gejala

28
infeksi
j. Dokumentasikan lokasi
luka, ukuran, dan
penampakannya.

Resiko Kontrol resiko Pencegahan pendarahan


Perdarahan b.d Indikator: Aktivitas:
putusnya vena / a.Resiko dikenali untuk a. Monitor kemungkinan
arteri penyakit kardiovaskular terjadinya perdarahan
b. Monitor tekanan pada pasien
darah b. Catat kadar HB dan Ht
c.Monitor nadi setelah pasien
d. Gunakan teknik mengalami kehilangan
manajemen stres banyak darah
c. Pantau gejala dan tanda
timbulnya perdarahan
yang berkelanjutan (cek
sekresi pasien baik yang
terlihat maupun yang
tidak disadari perawat)
d. Pantau factor koagulasi,
termasuk protrombin
(Pt), waktu paruh
tromboplastin (PTT),
fibrinogen, degradasi
fibrin, dan kadar platelet
dalam darah)
e. Pantau tanda-tanda vital,
osmotic, termasuk TD
f. Atur pasien agar pasien
tetap bed rest juka
masih ada indikasi

29
pendarahan
g. Atur kepatenan/ kualitas
produk / alat yang
berhubungan dengan
perdarahan
h. Lindungai pasien dari
hal-hal yang
menimbulkan trauma
dan bias menimbulkan
perdarahan

Pengurangan pendarahan
Aktivitas:
a. Identifikasi etiologi
perdarahan
b. Monitor pasien secara
ketat akan perdarahan
c. Monitor jumlah dan
karakter (nature)
kehilangan darah pasien
d. Catat kadar Hb/Ht
sebelum dan setelah
kehilanga darah sebagai
indikasi
e. Monitor TD dan
paameter hemodinamik,
jika tersedia (contoh:
tekanan vena sentral dan
kapiler paru/tekanan
arteri temporalis)
f. Monitor status/keadaan
cairan termasuk intake

30
dan output
g. Kaji koagulasi,
termasuk prothrombin
time (PT), partial
thomboplastin time
(PTT), fibrinogen,
degradasi fibrin/split
products, dan jumlah
platelet jika diperlukan

Gangguan Status tanda-tanda vital Monitor tanda tanda vital


perfusi jaringan Indicator: Aktivitas:
b.d penyumbatan a. Temperature a. Mengukur tekanan darah,

pembuluh darah b. Denyut nadi apikal denyut nadi, temperature,

c. Denyut nadi radikal dan status pernafasan,

d. Pernapasan jika diperlukan

e. Tekanan darah sistolik b. Mencatat gejala dan turun

f. Tekanan darah diastolik naiknya tekanan darah


c. Mengukur tekanan darah
ketika pasien berbaring,
duduk, dan berdiri, jika
diperlukan
d. Auskultasi tekanan darah
pada kedua lengan dan
bandingkan, jika
diperlukan
e. Mengukur tekanan darah,
nadi, dan pernafasan
sebelum, selama, dan
setelah beraktivitas, jika
diperlukan
f. Meneliti kemungkinan

31
penyebab perubahan
tanda-tanda vital

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

32
Dari pembahasan di atas penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut
: Pasien yang mengalami cedera pelvis berkelanjutan terbagi dalam dua
kategori utama,korban selamat dan tidak selamat. Pada korban yang tidak
selamat, kematian terjadi. Awal kematian umumnya karena perdarahan
atau cedera otak yang terkait. Kematian lanjut biasanya karena sepsis atau
kegagalan multiorgan. Korban sering mengalami implikasi jangka medis
dan social ekonomi akibat patah tulang panggul. Ini termasuk
masalahkesehatan mental, sakit kronis, arah panggul yang miring,
perbedaan panjang kaki atau rotasi,kelainan gaya berjalan, seksual dan
disfungsi urologis.
Dan diagnose keperawatan terkait kasus ini adalah
1. Gangguan rasa nyaman : nyeri akut
2. Gangguan mobilitas fisik
3. Resiko tinggi infeksi
4. Resiko perdarahan

4.2 saran
Walaupun dalam kasus fraktur maupun trauma jarang terjadi kematian,
namun bila tidak ditangani secara tepat atau cepat dapat menimbulkan
komplikasi yang akan memperburuk keadaan penderita. Sehingga perawat
perlu memperhatikan langkah-langkah yang harus diperhatikan dalam
menangani pasien dengan kasus kegawat daruratan fraktur. Pasien harus
mendapatkan pertolongan sesegera mungkin. Untuk itu dibutuhkan
perawat yang tanggap dalam menangani pasien gawat darurat, terutama
dalam hal ini adalah pasien dengan kegawat daruratan sistem
muskuloskeletal, fraktur.

DAFTAR PUSTAKA

Amris, F. 2013. Fraktur Pelvis. Diakses pada tanggal 15 April 2015 dari
http://fazilamris.blogspot.com/2013/11/normal-0-false-false-false-en-us-x-
none.html

33
Sulistyanto, R. 2010.Fraktur Pelvis. Diakses pada tanggal 15 April 2015 dari
http://goodrizki.blogspot.com/2010/01/fraktur-pelvis.html#links

Daryadi, M. 2011. Askep Fraktur Pelvis. Diakses pada tanggal 15 April 2015 dari
http://nsyadi.blogspot.com/2011/12/askep-fraktur-pelvis.html

34

Anda mungkin juga menyukai