PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1
2.1 ANATOMI PELVIS3,4
Pelvis merupakan struktur mirip-cincin yang terbentuk dari tiga tulang:
sacrum dan dua tulang innominata, yang masing-masing terdiri dari ilium,
ischium dan pubis. Tulang-tulang innominata menyatu dengan sacrum di
bagian posterior pada dua persendian sacroiliaca; di bagian anterior, tulang-
tulang ini bersatu pada simfisis pubis. Simfisis bertindak sebagai penopang
sepanjang memikul beban berat badan untuk mempertahankan struktur cincin
pelvis.
Tiga tulang dan tiga persendian tersebut menjadikan cincin pelvis stabil
oleh struktur ligamentosa, yang terkuat dan paling penting adalah ligamentum-
ligamentum sacroiliaca posterior. Ligamentum-ligamentum ini terbuat dari
serat oblik pendek yang melintang dari tonjolan posterior sacrum sampai ke
spina iliaca posterior superior (SIPS) dan spina iliaca posterior inferior (SIPI)
seperti halnya serat longitudinal yang lebih panjang melintang dari sacrum
lateral sampai ke spina iliaca posterior superior (SIPS) dan bergabung dengan
ligamentum sacrotuberale. Ligamentum sacroiliaca anterior jauh kurang kuat
dibandingkan dengan ligamentum sacroiliaca posterior. Ligamentum
sacrotuberale adalah sebuah jalinan kuat yang melintang dari sacrum
posterolateral dan aspek dorsal spina iliaca posterior sampai ke tuber
ischiadicum. Ligamentum ini, bersama dengan ligamentum sacroiliaca
posterior, memberikan stabilitas vertikal pada pelvis. Ligamentum
sacrospinosum melintang dari batas lateral sacrum dan coccygeus sampai ke
ligamentum sacrotuberale dan masuk ke spina ischiadica. Ligamentum
iliolumbale melintang dari processus transversus lumbalis keempat dan kelima
sampai ke crista iliaca posterior; ligamentum lumbosacrale melintang dari
processus transversus lumbalis ke lima sampai ke ala ossis sacri (gambar 1).
2
Gambar 1. Pandangan posterior (A) dan anterior (B) dari ligamentum pelvis.4
Arteri iliaca communis terbagi, menjadi arteri iliaca externa, yang terdapat
pada pelvis anterior diatas pinggiran pelvis. Arteri iliaca interna terletak diatas
pinggiran pelvis. Arteri tersebut mengalir ke anterior dan dalam dekat dengan
sendi sacroliliaca. Cabang posterior arteri iliaca interna termasuk arteri
iliolumbalis, arteri glutea superior dan arteri sacralis lateralis. Arteri glutea
superior berjalan ke sekeliling menuju bentuk panggul lebih besar, yang
terletak secara langsung diatas tulang. Cabang anterior arteri iliaca interna
termasuk arteri obturatoria, arteri umbilicalis, arteri vesicalis, arteri pudenda,
arteri glutea inferior, arteri rectalis dan arteri hemoroidalis. Arteri pudenda dan
obturatoria secara anatomis berhubungan dengan rami pubis dan dapat cedera
dengan fraktur atau perlukaan pada struktur ini. Arteri-arteri ini dan juga vena-
vena yang menyertainya seluruhnya dapat cedera selama adanya disrupsi pelvis
(gambar 2).
3
Gambar 3. Gambaran radiologi pelvis normal beserta organ-organ penting.
B. Epidemiologi
Fraktur pelvis mempunyai angka kejadian 3% dari keseluruhan cedera
tulang. Angka mortalitas untuk trauma pelvis berkisar antara 10-20 persen,
dengan rerata kejadian fraktur pelvis tidak stabil sebanyak 8%. Sebuah
penelitian epidemiologi Mayo Clinic dilaporkan oleh Melton dan rekan-
rekannya. keseluruhan kejadian adalah 37 per 100.000 orang per tahun. Di
antaranya pasien yang berusia 15 hingga 25 tahun, signifikan lebih besar laki-
laki dibandingkan dengan perempuan, dengan mayoritas terkait dengan trauma
berat.6
C. Etiologi7
Fraktur pelvis dapat disebabkan karena:
a. Trauma Energi Tinggi
Fraktur pelvis dapat disebabkan oleh trauma energi tinggi, seperti yang
terjadi pada:
- Kecelakaan motor atau mobil
4
- Jatuh dari ketinggian
b. Insufisiensi tulang
Fraktur pelvis juga dapat terjadi akibat tulang yang lemah dan
insufisien. Ini sering ditemukan pada kelompok orang usia tua yang
tulangnya telah menjadi lemah akibat osteoporosis. Pada kelompok
pasien ini, fraktur dapat terjadi hanya dengan trauma energi rendah,
misalnya hanya akibat jatuh dari posisi berdiri atau pada saat melakukan
aktivitas ringan saja seperti bangkit dari duduk atau turun tangga.
c. Fraktur Avulsi
Segmen tulang tertarik oleh kontraksi otot yang terlalu kuat; hal ini
biasanya terjadi pada olahragawan dan atlet. Muskulus sartorius dapat
menarik spina iliaka anterior superior, muskulus rectus femoris dapat
menarik spina iliaka anterior inferior, muskulus adduktor longus dapat
menarik pubis, dan otot hamstring dapat menarik bagian dari tulang
ischium. Tipe fraktur ini cenderung stabil dan tidak merusak integritas
struktural dari cincin pelvis.
D. Klasifikasi
Ada beberapa macam klasifikasi fraktur pada pelvis.
Klasifikasi Young & Burgess5,9
a. Kompresi anteroposterior (Anterioposterior Compression)
Cedera ini biasanya disebabkan oleh karena benturan antara pejalan
kaki dan mobil. Rami pubis mengalami fraktur dan mengalami rotasi
eksternal dengan berpisahnya simfisis sehingga disebut juga dengan
cedera “buku terbuka”. Ligamen sakroiliaka anterior mengalami tarikan
dan bisa jadi putus, atau dapat juga terjadi fraktur pada bagian posterior
ilium. Cedera jenis ini diklasifikasikan kembali menjadi beberapa
subklasifikasi berdasarkan keparahan cederanya:
- APC-I : Diastasis simfisis minimal (< 2 cm), tarikan pada ligamen
sakroiliakal, dengan cincin pelvis yang stabil
- APC-II : Diastasis simfisis lebih renggang, ligamen sakroiliakal
putus, dengan pergeseran ringan sendi sakroiliaka, namun cincin
pelvis masih stabil
- APC-III: Ligamen sakroiliaka anterior dan posterior putus, dengan
pemisahan sendi sakroiliaka, satu bagian hemipelvis terpisah dari
5
hemipelvis yang lain secar anterior dan terpisah dari sakrum secara
posterior. Cincin pelvis tidak stabil
6
c. Benturan vertikal (Vertical Shear)
Terjadi fraktur rami pubis akibat tulang yang bergeser secara vertikal
dan menyebabkan kerusakan pada daerah sakroiliaka pada sisi yang
sama. Hal ini sering terjadi saat seseorang jatuh dari ketinggian dengan
bertumpu pada satu kaki. Fraktur jenis ini biasanya berat, tidak stabil,
dengan kerusakan jaringan lunak yang luas dan perdarahan
retroperitoneal.
d. Cedera Kombinasi
Pada cedera pelvis yang berat, dapat terjadi kombinasi dari mekanisme-
mekanisme di atas.
Klasifikasi Tile7
Tile (1988) membagi fraktur pelvis ke dalam cidera yang stabil, cidera yang
secara rotasi tak stabil dan cidera yang secara rotasi dan vertikal tak stabil.
7
Tipe A/stabil; ini temasuk avulsi dan fraktur pada cincin pelvis
dengan sedikit atau tanpa pergeseran.
o A1 : fraktur panggul tidak mengenai cincin
o A2 : stabil, terdapat pergeseran cincin yang minimal dari fraktur
Tipe B yaitu secara rotasi tidak stabil tapi secara vertikal stabil.
Daya rotasi luar yang mengena pada satu sisi pelvis dapat merusak dan
membuka simfisis biasa disebut fraktur open book atau daya rotasi
internal yaitu tekanan lateral yang dapat menyebabkan fraktur pada rami
iskiopubik pada salah satu atau kedua sisi juga disertai cidera posterior
tetapi tida ada pembukaan simfisis.
o B1 : open book
o B2 : kompresi lateral ipsilateral
o B3 : kompresi lateral kontralateral (bucket-handle)
Tipe C yaitu secara rotasi dan vertical tak stabil, terdapat kerusakan
pada ligament posterior yang keras dengan cidera pada salah satu atau
kedua sisi dan pergeseran vertical pada salah satu sisi pelvis, mungkin
juga terdapat fraktur acetabulum.
o C1 : unilateral
o C2 : bilateral
o C3 : disertai fraktur asetabulum
F. Gambaran Klinik
Fraktur panggul sering merupakan bagian dari salah satu trauma multipel
yang dapat mengenai organ-organ lain dalam panggul. Keluhan berupa gejala
pembengkakan, deformitas serta perdarahan subkutan sekitar panggul.
Penderita datang dalam keadaan anemi dan syok karena perdarahan yang
hebat. Terdapat gangguan fungsi anggota gerak bawah.(4)
Pada cedera tipe A pasien tidak mengalami syok berat tetapi merasa nyeri
bila berusaha berjalan. Terdapat nyeri tekan lokal tetapi jarang terdapat
kerusakan pada visera pelvis. Sinar-X polos dapat memperlihatkan fraktur. (5)
Pada tipe cedera B dan C pasien mengalami syok berat, sangat nyeri dan tak
dapat berdiri; dia mungkin juga tidak dapat kencing. Mungkin terdapat darah di
meatus eksternus. Nyeri tekan dapat bersifat lokal tetapi sering meluas, dan
usaha menggerakkan satu atau kedua ala osis ilii akan sangat nyeri. Salah satu
8
kaki mungkin mengalami anestetik sebagian karena cedera saraf skiatika dan
penarikan atau pendorongan dapat mengungkapkan ketidakstabilan vertikal
(meskipun ini mungkin terlalu nyeri). Cedera ini sangat hebat, sehingga
membawa risiko tinggi terjadinya kerusakan viseral, perdarahan di dalam perut
dan retroperitoneal, syok, sepsis, dan ARDS; angka kematiannya cukup tinggi.
(5)
9
Gambar 8. Dislokasi posterior
2. Dislokasi anterior
Obturator
Iliaka
Pubik
Disertai fraktur kaput femur
10
Gambar 10. Dislokasi Asetabulum
G.Diagnosis
Pemeriksaan fisik akan menetapkan kecurigaan untuk trauma pelvis dan
menilai ketidakstabilan panggul. Dengan tangan pemeriksa di spina iliaka
anterior pasien, kompresi lembut ke medial, serta gerakan anteroposterior
ringan pada tangan, akan memberikan bukti ketidakstabilan panggul.10 Ini
harus dilakukan oleh dokter berpengalaman yang akan menginterupsi segera
jika terdapat ketidakstabilan. Penanganan agresif panggul, seperti "goyang,"
tidak disarankan karena menghasilkan rasa sakit, perdarahan, dan cedera.
Pemeriksaan perineum sangat penting untuk mendiagnosis laserasi atau
hematoma, yang merupakan indikasi lebih lanjut dari trauma pelvis yang
signifikan. Dalam sebuah penelitian terhadap 66 pasien dengan Glasgow Coma
Score di atas 12, sebuah protokol pemeriksaan fisik terfokus, termasuk palpasi
posterior dari sakrum dan sendi sakroiliaka, kompresi sayap iliaka
11
anteroposterior dan lateral, rentang gerak pinggul aktif, dan pemeriksaan colok
dubur, menghasilkan Kepekaan 98% dan spesifisitas 94% untuk mendeteksi
fraktur panggul posterior.8,10
Foto polos pelvis anteroposterior adalah bagian dari rutin radiografi untuk
trauma tumpul. Namun, banyak penelitian menunjukkan bahwa pada pasien
dengan pemeriksaan klinis negatif untuk trauma pelvis, foto pelvis tidak
diperlukan.7 Dalam review dari 743 pasien trauma tumpul tanpa rasa sakit atau
temuan klinis trauma pelvis lainnya, hanya 3 pasien (0,4%) memiliki fraktur
pelvis. Dalam studi lain dari 686 pasien trauma tumpul, 311 menerima foto
pelvis, dengan false negative sebesar 32%. Dari 375 pasien yang tidak
menerima foto pelvis, 3% dari pasien ditemukan memiliki fraktur pelvis kecil,
tidak ada yang membutuhkan perawatan. Jadi, tampaknya foto panggul rutin
pada pasien tanpa gejala tidak berguna. 10 Demikian pula, foto pelvis pada
pasien yang memiliki gejala mungkin tidak cukup sensitif dan, oleh karena itu,
mungkin dihilangkan untuk mendukung CT scan.9 Dalam sebuah penelitian
terhadap 397 pasien cedera ganda yang memiliki foto pelvis dan CT scan, 43
pasien mengalami 109 fraktur pelvis. Foto polos tidak mendiagnosis 51 (47%)
dari patah tulang pada 9 (21%) pasien. Iliac dan fraktur sakral yang paling
sering terlewatkan. Para penulis menyimpulkan bahwa skrining foto pelvis
tidak diperlukan setelah multitrauma tumpul. 10
Foto panggul Inlet dan outlet memberikan informasi tentang cedera
perpindahan anteroposterior (foto inlet) dan perpindahan vertikal (foto outlet).
CT scan dengan rekonstruksi (dan rekonstruksi tiga dimensi) pada dasarnya
telah menggantikan semua modalitas diagnostik lainnya dan secara rutin
dilakukan untuk secara akurat mengkarakterisasi fraktur pelvis, serta
mengidentifikasi cedera organ pelvis terkait dan hematoma ( Gambar 11 ).10
Kontras intravena secara rutin diberikan, kecuali ada kontraindikasi. Kontras
oral dan dubur tidak diperlukan untuk trauma tumpul. Pencitraan resonansi
magnetik tidak menawarkan keunggulan berbeda atas CT scan dan hanya
dipertimbangkan jika paparan radiasi menjadi masalah, seperti halnya dengan
pasien anak, pasien hamil, atau pencitraan ulang. Kadang-kadang, ligamen
12
harus dievaluasi secara lebih rinci dan ini dapat dilakukan dengan akurasi yang
lebih tinggi dengan resonansi magnetik. 6,10
H. TATALAKSANA
PREHOSITAL CARE
Penilaian prehospital dilakukan oleh paramedik yang dilatih untuk
mengenali cedera pelvis yang tidak stabil dari mekanisme cedera dan
pemeriksaan fisik. Deformitas anggota gerak bawah tanpa fraktur tulang
panjang dan struktur pelvis yang mobile yang dikonfirmasi dengan kompresi
13
manual pada pelvis memberikan pentunjuk fisik untuk sebuah cedera pelvis.
Jika cedera seperti itu timbul pada fase prehospital, dan diberikan stabilisasi
seperti PASG (pneumatic antishock garment), vacuum splint, atau ikat
pinggang untuk stabilisasi pelvis yang terbaru dapat mencegah syok
hipovolemik dan dapat menyelamatkan nyawa.
Alat PASG banyak terjadi komplikasi seperti kapasitas ventilasi yang
menurun, sindrom kompartmen pada ekstremitas, dan hipotensi saat
melepaskan alat.11
PRIMARY SURVEY
Penilaian pada penderita trauma dimulai dengan evaluasi gangguan yang
mengancam kehidupan yang berhubungan dengan trauma pelvis. Pendekatan
secara tim yang termasuk Bedah umum trauma, bedah orthopaedi, dan
radiologist intervensi, bila diperlukan, bedah urologi dan atau bedah syaraf
penting untuk manajemen optimal dari pasien trauma.12 Pada pasien dengan
fraktur pelvis harus dicurigai juga adanya trauma lain seperti, cedera kepala
berat, trauma thorax, aorta, dan cedera abdomen dan yang paling sering, cedera
vascular retroperitoneal yang disebabkan fraktur pelvis. Mekanisme cedera
dapat dipakai sebagai prediksi beratnya fraktur pelvis.11
Prioritas resusitasi seperti pada ATLS, harus dilakukan untuk meyakinkan
pasien telah stabil. Prioritas harus dipertimbangkan dalam menangani airway,
brathing, dan sirkulai. Ahli bedah trauma dan orthopaedi harus terlibat dalam
primary survey dan managemen inisial pada pasien dengan fraktur pelvis untuk
mengoptimalisasikan pengambilan keputusan. Harus dilakukan pemeriksaan
pelvis yang teliti dan cepat sehingga setiap tanda instabilitas dapat ditemukan
dan dapat direncanakan pengobatan yang cepat dan tepat.
14
line besar (no 14-16) harus dipasang di ekstremitas atas pada pasien dengan
trauma pelvis atau abdomen. Penggunaan ekstremitas bawah sebagai tempat IV
line tidak direkomendasikan pada traumapelvis atau abdomen karena cairan
yang diinfuskan mungkin tidak akan memasuki sirkulasi sentral karena adanya
kemungkinan kerusakan pada vena pelvis atau vena cava inferior.
Selanjutnya, dipertimbangkan untuk dilakukan pemasangan pelvic binder
(Gambar 12) untuk melakukan tamponade dari perdarahan pelvis, terutama
pada trauma dengan fraktur yang open book.10 Walaupun ada resiko kecil
secara teoritis bahwa elemen posterior akan terbuka dengan teknik ini, namun
pevic binder dirancang untuk memberikan tekanan yang tetap pada elemen
posterior sekaligus menutup kerusakan diastase pada anterior. Harus dilakukan
foto pelvis sebelum dan sesudah pemasangan sebagai kontrol.11
15
diperlukan laparotomi, kain dapat diturunkan ke panggul.10
Pelvic binder adalah alat yang temporer sebelum dilakukan fiksasi
eksterna dan atau angiografi iliaca interna dan atau repair definitif pelvis. Pada
pasien dengan fraktur vertikal yang tidak stabil, traksi pada femoral distal
(contoh, Steinman) pin harus dipasang untuk menurunkan hemipelvis. Sangat
direkomendasikan telah dipasang iv akses dan cairan inisial telah dimasukkan
sebelum dilakukan pelepasan pelvic binder atau alat PASG, karena hipotensi
yang signifikan sering terjadi pada saat ini. Secara bersamaan, volume yang
cukup harus diberikan sesuai dengan keadaan klinis pasien. 10 Dapat diterapkan
rumus 1 ml kehilangan darah diganti dengan 3 ml kristaloid, atau menurut
ATLS diberikan 2 L kristaloid sebagai cairan inisial. Jika didapatkan respon
yang baik, pemberian kristaloid maintenance harus diberikan sambil menunggu
darah.2
Pada pasien dengan respon transien atau no response, dimasukkan lagi 2 L
kristaloid dan kemudian dimasukkan darah O negatif tanpa crossmatch
(biasanya dengan PRBC) secara cepat. Keadaan ini membutuhkan kontrol
perdarahan secepatnya. Pasien ini terus membutuhkan cairan yang banyak dan
masif secara terus menerus. Pada keadaan ini harus dipertimbangkan terjadinya
suatu dilutional coagulopathy. Infus Trombosit atau FFP harus segera
disiapkan. Dengan rule of thumb, 2-4 unit FFP dan 5-6 unit trombosit
diperlukan untuk setiap 5-10 unit PRBC yang dimasukkan. Sebagai tambahan,
cryoprecipitate dan recombinant activated faktor VII juga diperlukan pada
kondisi seperti ini.2,13
16
dari metode monitoring ini dan dapat ditambah dengan pemeriksaan central
venous pressure (CVP). Perdarahan yang masih berlangsung dapat dimonitor
melalui pemeriksaan hemoglobin dan hematokrit. Mengenai kadar laktat,
masih menjadi perdebatan apakah termasuk indikasi untuk menentukan status
resusitasi.13
Monitoring suhu tubuh (core body temperatur) sangat penting dalam
pemberian cairan berjumlah banyak dan terus menerus. Darah dan kristaloid
biasanya lebih dingin dari suhu ruangan. Volume yang besar selama resusitasi
membuat pasien menjadi dingin dan menambahkan efek syok hipovolemik
sebagai faktor lingkungan. Menghangatkan cairan intravena dan darah
diperlukan untuk mempertahankan suhu tubuh setidaknya pada 32 C s/d 35 C.
Lebih dianjurkan untuk mencapai suhu normal 37 C. Suhu yang lebih rendah
menyebabkan problem koagulasi, fibrilasi ventrikel, angka infeksi surgical
yang tinggi dan gangguan asam basa.13
Gastrik tube harus dimasukan melalui nasal kecuali ada fraktur basis
cranium. Kateterisasi urine digunakan untuk melakukan dekompresi sebelum
dilakukan diagnostic peritoneal lavage (DPL) atau laparotomi dilakukan.12
Sebelum dilakukan kateterisasi pada laki-laki harus diperiksa adanya
perdarahan dari meatus urethra, adanya hematom skrotum, dan pemeriksaan
palpasi prostat. Pada perempuan, dilakukan pemeriksaan vagina seperti
inspeksi meatus pada pria. Jika pada pemeriksaan diatas didapatkan hal-hal
tersebut, maka diperkirakan adanya cedera uretra, dan kateterisasi uretra harus
ditangguhkan sampai dilakukan retrograd urethrogram pada pasien stabil, atau
dilakukan katetrisasi kandung kemih suprapubic sementara pada pasien yang
tidak stabil. Telah dilaporkan bahwa pada 57% laki-laki dengan cedera uretra
akibat fraktur pelvis tidak memberikan gejala klasik. Urethrografi dilakukan
setelah hemodinamik pasien stabil.10,11
SECONDARY SURVEY
Klasifikasi dari fraktur mungkin tidak dapat diketahui pada primary
survey. Setelah pasien diperiksa dan semua cedera yang mengancam kehidupan
17
telah diatasi, resusitasi dilanjutkan sambil melakukan secondary survey. Pada
tahapan ini work up trauma dan evaluasi yang lebih teliti dari fraktur pelvis
dilakukan ( dengan staging dari cedera signifikan lain)
Harus diperhatikan gejala klinis dan pemeriksaan fisik, instabilitas pelvis,
termasuk deformitas dari ekstremitas bawah tanpa fraktur tulang panjang,
biasanya terdapat perbedaan panjang tungkai (leg length discrepancy) yang
membuat pemendekan atau rotasi eksternal/internal, tergantung dari cederanya.
Pembengkakan dan kontusi yang masif di daerah flank, paha atau pantat
dengan adanya hematom atau perdarahan adalah tanda dari adanya perdarahan
banyak dari fraktur pelvis atau struktur yang berdekatan. 10
18
Gambar 14. Pemeriksaan pelvis AP dilakukan sebagai foto rutin pada
pasien trauma (Fig 12A). Inlet view dilakukan dengan memberikan sinar dari 40
derajat kaudal (Fig 12B) dan outlet view diambil dengan sinar 20 – 35 derajat dari
arah cephal pada laki-laki dan 30-45 derajat pada perempuan.
CT scan adalah imaging rutin untuk fraktur pelvis. Protokol standar adalah
dengan potongan 3 mm atau kurang pada pelvis termasuk acetabulum. CT
lebih akurat daripada foto polos untuk adanya fraktur, lokasi fraktur, dan pola
fraktur. Setelah ditemukan adanya fraktur pada foto polos, pasien harus
diperiksa dengan CT scan pelvis untuk mengklasifikasi fraktur dan
merencanakan fiskasi. (Gambar 11). CT scan dapat juga melihat adanya cedera
pelvis dan struktur abdomen (contoh kandung kencing) sebagai tambahan dari
cedera acetabulum dan head/ neck femoral. Tanda radiologis dari
19
ketidakstabilan pelvis adalah displacement kompleks posterior SI > 5 mm,
adanya gap fraktur posterior ( kebalikan dari impaksi), dan fraktur avulsi dari
spina iliaca posterior, sacrum, tuberositas ishiadica, atau processus transversus
dari vertebra L5. Penelitian terakhir menyatakan bahwa CT scan dapat
mendiagnosa semua cedera yang terlihat pada foto AP, tetapi CT scan sering
dilakukan setelah jam pertama dari evaluasi dan pengobatan. 8,10,12
Sumber perdarahan yang sering adalah :
1. Sumber dari eksternal ( contoh dari laserasi kulit kepala)
2. Intra torasic ( contoh hematotoraks)
3. Intraabdominal ( diketahui dari pemeriksaan FAST)
4. Dari ekstremitas besar ( contoh fraktur femur)
5. Perdarahan retroperitoneal, seperti yang terjadi pada fraktur pelvis.
Setelah kemungkinan 4 penyebab pertama dapat disingkirkan, harus
dicurigai perdarahan berasal dari retroperitoneum (yang sering berhubungan
dengan fraktur pelvis)
Dari fraktur pelvis sendiri dapat diperkirakan sumbernya dari :
1. Permukaan tulang yang patah
2. Plexus vena pelvis
3. Cedera arteri pelvis
Penyebab tersering dari perdarahan pelvis yang terus menerus adalah dari
kerusakan pada plexus venosus pelvis posgerior. Perdarahan dari arteri besar
seperti a. iliaca komunis, eksterna dan interna adalah sumberpotensial lain yang
menyebabkan perdarahan. Cedera pada pembuluh besar biasanya
perdarahannya bersifat masif dan hilangnya pulsasi ke distal. Tingkat keberatan
dari perdarahan menentukan cara penanganan yang tepat. Kerusakan a glutealis
superior dapat terjadi bila fraktur mengenai greater sciatic notch.11
Jika hasil FAST atau DPL positif dan pasien berespon sementara dengan
resusitasi, laparotomi harus dilakukan untuk menilai cedera abdomen dengan
terpasang pelvic binder, tetapi diposisikan pada level panggul; atau, dilakukan
pemasangan fiksasi eksterna selama persiapan operasi abdomen.13 Setelah
terapi perdarahan abdomen, perdarahan yang masih berlangsung harus
20
dilakukan packing retroperitoneal pada pelvis dan dilakukan fiksasi eksterna.
Packing pelvis tidak akan bermanfaat bila tidak dilakukan imobilisasi pelvis.
Jika FAST atau DPL positif namun pasien dengan hemodinamik stabil,
stabilisasi harus dilakukan sebelum laparotomi. Laparotomi dapat dilakukan
dan perdarahan intraabdomen dapat dikontrol. Jika perdarahan berlanjut,
dilutional coagulopathy harus disingkirkan atau diterapi, dan angiografi
kemudian dilakukan. 10,13
Pasien yang tidak berespon terhadap resusitasi dan pada pemeriksaan
tidak terdapat perdarahan intraabdomen, maka dicurigai perdarahan dari
pembuluh darah berkaliber besar. Harus dilakukan angiografi untuk
mengetahui sumber dan apakah embolisasi dapat dilakukan untuk
menghentikan perdarahan, tergantung kaliber dari pembuluh darah yang
terkena. Jika memungkinkan, stabilisasi pelvis dilakukan sebelum angiografi.10
21
Skema 1. Algoritma manajemen Trauma Pelvis10
Cedera yang menyertai
Mungkin, hubungan yang paling menonjol adalah antara fraktur pelvis
dan kandung kemih atau cedera uretra. Kedekatan fisik cedera ini
menghasilkan tingkat cedera 6%, yang meningkat hampir 5 kali lipat dengan
jenis kelamin pria dan fraktur berat. Mayoritas (80%) ruptur buli
ekstraperitoneal, uang dikelola dengan drainase kateter Foley sederhana selama
10-14 hari. Cedera intraperitoneal membutuhkan laparotomi dan perbaikan
langsung. Cedera uretra sering terjadi dan hampir secara eksklusif pada laki-
laki. Cedera straddle, biasanya menghasilkan fraktur rami pubis bilateral,
berhubungan dengan cedera uretra. Kehadiran hematoma perineum, darah pada
meatus uretra, atau prostat high riding berhubungan dengan cedera uretra.
Uretogram retrograde harus dilakukan sebelum memasukkan kateter Foley.
Jika kateter Foley tidak dapat dimasukkan karena cedera uretra, kateter
suprapubik dapat menjadi alternatif. Cedera uretra biasanya diperbaiki pada
tahap berikutnya setelah peradangan telah mereda tetapi ada laporan tentang
manajemen awal yang agresif yang sukses. Tentunya, keputusan ini akan
dibuat bersama oleh seorang ahli urologi dan ahli bedah trauma. 10
22
dari 20% dan hingga 50%. Laserasi perineum jauh lebih sulit untuk ditangani
daripada laserasi anterior.7 Kedua jenis fraktur pelvis terbuka tidak boleh
digambarkan sebagai entitas yang sama karena manajemen harus berbeda
sesuai dengan lokasi dan luasnya laserasi kulit. Prioritas dalam manajemen
fraktur pelvis terbuka besar tidak jauh berbeda dari manajemen cedera lain
yang menghancurkan dan termasuk-dalam urutan prioritas - kontrol
perdarahan, kontrol kontaminasi, dan fiksasi definitif. Kontrol perdarahan pada
fraktur panggul terbuka melibatkan pengepakan melalui laserasi,
pengaplikasian pengikat pelvis, embolisasi angiografi, dan fiksasi eksternal 9
Pengemasan panggul preperitoneal, seperti yang dijelaskan di atas, mungkin
tidak efektif karena tamponade ruang panggul retroperitoneal sudah dilepaskan
ke lingkungan eksternal. Ada perdebatan tentang perlunya kolostomi untuk
mengendalikan kontaminasi. Banyak penulis percaya bahwa colostomy
pengalihan harus secara rutin dilakukan sebagai bagian integral dari
manajemen bedah fraktur panggul terbuka ( Gambar. 13 ). Dalam sebuah studi
dari 39 pasien dengan fraktur panggul terbuka, angka kematian adalah 26% dan
diprediksi oleh ketidakstabilan fraktur dan cedera dubur. Para penulis
menyarankan bahwa kolostomi dini penting untuk kelangsungan hidup. Dalam
studi lain dari 44 pasien, 23 dikelola dengan colostomy pengalihan dan 21
tanpa itu. Bahkan jika pasien dengan kolostomi lebih terluka parah, mereka
memiliki kematian 30 hari yang lebih rendah. 10
Gambar 13. Kolostomi dianjurkan untuk laserasi yang berada dalam jarak dekat atau
melibatkan daerah perineum dan perianal. Pasien ini menerima debridemen dan
perawatan luka perineum, fiksasi eksternal fraktur panggul, dan diveriting colostomy.
23
Sepsis panggul dan komplikasi anastomosis berkontribusi pada kematian
pada kelompok tanpa kolostomi, dan penulis merekomendasikan penggunaan
kolostomi secara liberal. Namun, analisis sistematis literatur menunjukkan
bahwa tidak ada perbedaan hasil antara pasien dengan dan mereka yang tidak
memiliki kolostomi. Namun demikian, para penulis mengakui bahwa bukti itu
berkualitas buruk dan kesimpulan yang kuat tidak dapat dibuat, dan
menyerukan penelitian acak prospektif, tujuan yang agak tidak mungkin,
mengingat rendahnya insiden cedera ini. Oleh karena itu, tampaknya
perdarahan terutama dan sepsis sekunder terus mengklaim korban yang berat
pada kehidupan pasien dengan cedera yang menghancurkan ini.10
I. Komplikasi
Ruptur otot dan hernia jarang terjadi dengan cedera cincin panggul. Ryan
mencatat bahwa kompresi AP (APC) dikaitkan dengan avulsion bagian
medial dari rectus abdominis, yang dapat menimbulkan hernia. Ryan juga
mencatat hubungan langsung hernia inguinalis dengan fraktur ramus pubis
yang terjadi setelah gangguan dinding posterior dari kanalis inguinalis..
Perforasi usus, usus jebakan, dan herniasi usus juga telah didokumentasikan
dengan fraktur iliaka kominuta.10
2) Cedera neurologis
Sekitar 10% dari semua pasien yang menderita patah tulang panggul juga
menderita cedera neurologis. Sebagian besar cedera neurologis melibatkan
root saraf L5 dan S1 dari lumbosacral (LS) pleksus; Namun, sejumlah besar
pasien juga mengalami disfungsi seksual sekunder akibat cedera syaraf saraf
bawah yang lebih rendah. Palsi nervus femoralis dapat berkembang
sekunder akibat hematoma iliaka dan ramus pubis atau pergeseran fraktur
24
acetabular tertentu. Fraktur ramus pubis pada aspek superolateral foramen
obturator dapat menyebabkan cedera saraf obturator. cedera saraf femoralis
lateral juga dapat terjadi sebagai akibat dari pukulan langsung ke daerah
panggul lateral dekat dengan spina iliaka superior anterior dan sekitarnya.14
proksimal adalah penting karena ini paling mungkin untuk emboli ke paru-
paru. 16
5) Genitourinary
25
Komplikasi GU terjadi pada hingga 37% pasien dengan cedera
cincin panggul. Komplikasi GU yang paling umum terjadi dengan cedera
cincin panggul adalah gangguan kandung kemih dan gangguan ureter ,
terutama pada pasien laki-laki. Ureter dan ginjal mungkin terluka tetapi
jarang terjadi. Dyspareunia dan disfungsi ereksi terjadi pada sekitar 29%
pasien dengan cedera cincin panggul. Dispareunia biasanya disebabkan
oleh fraktur tulang ramus, menyebabkan tekanan pada vagina. Disfungsi
ereksi dapat memiliki banyak penyebab, termasuk cedera vaskular, cedera
neurologis, dan stres psikologis. Seorang pasien dengan disfungsi ereksi
harus dirujuk ke seorang ahli urologi untuk evaluasi dan pengobatan. 15
26
BAB III
KESIMPULAN
27
DAFTAR PUSTAKA
1. Jong Wim de. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Penerbit EGC. 2004: 874-6
2. Advanced Trauma Life Support. Seven edition. American college of
surgeons. 2004; 252-253
3. Snell, R.S. 2006. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Ed ke-6.
Jakarta: EGC.
4. Kevin T. Patton, Gary A. Thibodeau. 2010. Mosby's Handbook of
Anatomy & Physiology. Edinburgh: Elsevier Health Sciences
5. Rasjad C. 2007 Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi Ed 3. Jakarta : PT Yarsif
Watampone
6. McCormack, Richard, et al. "Diagnosis and management of pelvic
fractures." Bulletin of the NYU hospital for joint diseases 68.4 (2010): 281.
7. Wong, James Min-Leong, and Andrew Bucknill. "Fractures of the pelvic
ring." Injury 48.4 (2017): 795-802.
8. Magnone, Stefano, et al. "Management of hemodynamically unstable
pelvic trauma." World Journal of Emergency Surgery 9.1 (2014): 18.
9. Cocolini F, et al. Pelvic trauma: WSES classification and guidelines.
World Journal of Emergency Surgery (2017) 12:5
10. Velmahos, GC. Pelvic in "Trauma". APA (6th ed.) Mattox, K. L.,
Feliciano, D. V., & Moore, E. E. (2000). Trauma. New York: Appleton &
Lange.
11. Schwartz, AK et. al. Pelvic trauma in Trauma, Volume 1: Emergency
Resuscitation, Perioperative, Anesthesia, Surgical Management and
Trauma, William C Wilson et. al, Chapter 28, Page 533-550, Informa,
HEALTHCARE, USA, 2007
12. Flint, Lewis et. al. Special Interdisciplinary Problem: Pelvic Fracture in
Trauma contemporary Principles and therapy, Chapter 45, page 524-536,
Lippincot William and Wilkins, 2008.
13. Jackson Lee Pelvic fractures and general surgeon in Trauma Management
by Demetrios Demetriades, Chapter 43, Page 450-457, Landes Bioscience,
2000.
14. Jang DH, Byun SH, Jeon JY, Lee SJ. The relationship between
lumbosacral plexopathy and pelvic fractures. Am J Phys Med Rehabil.
2011 Sep. 90(9):707-12.
15. Copuroglu, C., et al. "Sexual dysfunction of male, after pelvic fracture."
European Journal of Trauma and Emergency Surgery 43.1 (2017): 59-63.
16. Dong, Yujin, et al. Analysis on risk factors for deep vein thrombosis in
patients with traumatic fractures. Chinese Journal of Orthopaedics, 2015,
35.11: 1077-1083.
28