Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN
Seorang laki-laki dengan usia 57 tahun datang ke ruang pembedahan dari bangsal
bedah pada tanggal 10 Juli 2014. Dari hasil pemeriksaan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
penunjang maka dokter mendiagnosis pasien menderita liposarkoma intraabdomen. Hasil
pemeriksaan didapatkan benjolan yang besar pada bagian abdomen pasien. Pasien
direncanakan untuk dilakukan laparatomi eksplorasi untuk dilakukan pengangkatan tumor
dengan jenis anastesi yang digunakan adalah anastesi umum. Dalam klasifikasi fisik penilaian
anastesi, pasien dikategorikan ASA III. Operasi dijadwalkan pada pukul 08.30 WIB dengan
operator yaitu ahli bedah digestive dr. Aditomo, Sp.BD dan ahli anastesi adalah dr. M. Gusno
Rekozar, Sp. An

BAB II
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama

: Tn. Kassa Kaswara

No. Medical Record : 34-88-69


Jenis Kelamin

: Laki-laki

Umur

: 57 tahun

Tanggal Lahir

: 8 September 1956

Alamat

: Permata Rahayu C/14

Agama

: Islam

Pekerjaan

:-

Status

: Menikah

Tanggal Masuk

: 4 Juli 2014

ANAMNESIS
Keluhan Utama

: ada benjolan besar diperut

Keluhan Tambahan

: pasien merasa sesak sejak 2 hari SMRS dan adanya nyeri di


ulu hati

Riwayat Penyakit Sekarang : pasien datang kepoli bedah digestif dengan keluhan adanya
tumor intraabdomen
Riwayat Penyakit Dahulu

: pasien mengaku sekitar 1 tahun yang lalu mengeluh adanya


benjolan dilipat paha kanan, benjolan dirasa kecil sebesar jeruk
nipis dan tidak nyeri. Pasien sempat berobat ke rumah sakit
Hasan Sadikin Bandung dan pasien diberi obat tetapi tidak ada
perubahan. Lalu pasien dibawa keluarga ke Batam. Pasien
berobat ke bedah umum tanggal 16 Mei 2014, pasien dirujuk ke
dr.Aditomo, Sp. BD dengan didiagnosis tumor intraabdomen
dan diagnosis banding tumor inguinal. Pasien menjalan
sejumlah pemeriksaan yaitu pada tanggal 17 Mei 2014
menjalankan operasi laparatomi-biopsi dan tangga; 22 Mei
2014 hasil PA keluar serta tanggal 24 Juni 2014 hasil
imumohistokimia keluar. Pasien mengaku sudah 1,5 tahun
punya riwayat hernia scrotalis kiri.
2

Riwayat Penyakit Keluarga

: tidak ada anggota keluarga yang mengalami kondisi seperti ini

Riwayat Pengobatan/Operasi : sebelumnya pernah berobat di rumah sakit Hasan Sadikin


Bandung dan diberi obat namun tidak sembuh. Pernah
menjalankan operasi laparatomi biopsy pada tanggal 17 mei
2014.
PEMERIKSAAN FISIK PRE-OPERATIF
1. Keadaan Umum:
a. Kesadaran
b. Kesan sakit
c. Tanda vital

d. Status gizi

: Compos mentis
: Tampak sakit berat
: TD : 129/89 mmHg
: Nadi : 78x/menit
: RR : 22 x/menit
: Suhu : 36.5oC
: BB : 165 cm
: TB : 65 kg
: BMI : 65 / (1.65 x 1.65) = 23.9. Status gizi baik.

2. Status Generalis:
a. Pemeriksaan kepala

: Normosefali, tidak ditemukan konjungtiva


anemis, sclera tidak ikterik pada kedua mata,
reflex cahaya langsung maupun tak langsung

kedua mata positif, pupil isokor.


b. Pemeriksaan leher
: Tidak ditemukan adanya massa, KGB dan
tidroid tidak ada pembesaran.
c. Pemeriksaan thoraks jantung : BJ I-II normal regular, murmur (-), gallop (-).
d. Pemeriksaan thoraks paru
: Suara nafas vesikuler, ronki (-), wheezing (-).
e. Pemeriksaan abdomen
: (lihat status lokalis)
f. Pemeriksaan ekstremitas
: Akral hangat pada ke-empat ekstremitas, tidak
ada oedem pada ektremitas atas dan ekstremitas
bawah.
3. Status Lokalis (abdomen):
a. Inspeksi
: Tampak massa yang besar dan dilatasi vena
b. Auskultasi
: Bising usus negatif
c. Palpasi
: Perut terasa tegang, teraba massa kenyal, ukuran besar, tidak
berbenjol-benjol, permukaan rata, tidak nyeri, tidak bisa
d. Perkusi

digerakkan
: terdengar suara pekak

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium Darah (tanggal 10 Juli 2014)
Jenis pemeriksaan
Golongan darah

Nilai normal

Hasil pasien
B
3

Hb
Eritrosit
Ht
MCV
MCH
MCHC
RDW-CV
Leukosit
Eosinophil
Basophil
Neutrophil
Limfosit
Monosit
Trombosit
Natrium
Kalium
Chlor
Total protein
Albumin
Globulin
Amylase
Lipase

11.0-16.5 g/dl
3.8-5.8 x 106 /uL
35.0-50.0%
80-97 fl
26.5-33.53 pg
31.5-35.0 g/dl
10-15 %
4-11 x 103 /uL
0-4 %
0-1 %
46-75 %
17-48 %
4-10 %
150-450 x 103 /uL
135-147 meq/l
3.5-5.0 meq/l
94-111 meq/l
6.6-8.7 g/dl
3.4-4.8 g/dl
1.3-2.7 g/dl
28-100 U/L
13-60 U/L

11.4 g/dl
3.67 x 106 /uL
33.7%
91.8 fl
31.1 pg
33.8 g/dl
15.3%
9.49 x 103 /uL
0%
0.1%
92.5%
3.0%
4.4%
196 x 103 /uL
137 meq/l
3.5meq/l
98 meq/l
6.5 g/dl
3.2 g/dl
3.3 g/dl
62 U/L
56 U/L

2. Pemeriksaan Patologi Anatomi (tanggal 22 Mei 2014):


Makroskopis: terima 1 botol berisi buah jaringan ukuran 1,5x2x1 cm, warna keabuan,
keras padat, sebagian cetak 2 kop 1 set.
Mikroskopis: mengandung sel tumor yang tersusun fibrilar. Sel tumor pleomorfik
sampai bizare, inti spindle berbentuk kromatin inti kasar, smudge, anak inti kadang
terlihat, sitoplasma sedikit. Mitosis sulit ditemukan. Stroma berupa matriks fibriler,
tampak daerah yang mengalami kolagenasi dimana sel tumor terjepit diantara daerah
tersebut, dan proliferasi pembuluh darah.
Kesimpulan: pleomorfik sarcoma dengan DD/ Malignant peripheral nerve sheath
tumor
3. Pemeriksaan Imunohistokimia (tanggal 24 Juni 2014)
Hasil imunohistokimia
: vimentin
: positif
: Ki67
: <10%
: desmin
: negative
: NSE
: positif
: CD34, SMA
: positif
: MDM2, S100

: positif pada beberapa inti besar,


atipik.

Kesimpulan

: ini merupakan jawaban sementara bahwa hasil pemeriksaan mengarah pada

bagian dari pleomorfik liposarkoma dan sedang dilakukan pulasan tambahan.


DIAGNOSIS
Diagnosis untuk pasien ini adalah liposarkoma intraabdomen.

BAB III
LAPORAN ANASTESI
PERENCANAAN ANASTESI
Pasien Tn. Kassa Kaswara (34-88-69), berusia 57 tahun dengan diagnosis tumor intra
abdomen, dating ke kamar pemedahan RS. Otorita Batam untuk menjalankan operasi
laparotomy. Berdasarkan pemeriksaan fisik pre-operatif yang dilakukan maka didapatkan
status fisik pasien adalah ASA III. Pada pasien ini akan direncanakan untuk dilakukan anatesi
umum dengan endotracheal tube. HbsAg (+), sedia PRC 2 labu di blood bank dan 2 FFP
sedia di ruang OK. Ahli bedah yang akan melakukan tindakan adalah dr. Aditomo, Sp.BD
dan ahli anestesi yang melakukan pembiusan ialah dr. M. Gusno Rekozar, Sp. An.
PERSIAPAN ALAT DAN OBAT
Alat-alat maupun obat yang perlu disiapkan untuk anestesia pada pasien ini ialah:
Persiapan Alat
1. STATICS
S
: Scope, yaitu stetoskop dan laringoskop
T
: Tubes, yaitu endotrakeal tube kingking no. 7.5
A
: Airway, guedel
5

T
: Tapes (plester)
I
: Introducer, mandren atau stilet (tidak digunakan pada pasien ini)
C
: Connector, penyambung alat pipa dan peralatan anesthesia
S
: Suction, untuk menyedot lendir, darah, dll
2. Mesin anestesi
3. Monitor anestesi
4. Elektroda, EKG
5. Sfigmomanometer digital
6. Oksimeter/saturasi
7. Balon/pump
8. Sungkup muka
9. Forceps Magill
10. Kasa gulung lembab
11. Infus set dan spuit 3 cc, 5 cc, dan 10 cc
Persiapan Obat
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Analgesik
Sedativa
Antiemetik
Muscle relaxant
Gas inhalasi
Obat emergency

: Fentanyl
: Recofol, midazolam
: Vomceran
: Tramus
: Sevoflurane, N2O dan O2
: Sulfas atropin, dexametason, ephedrine

KEADAAN PRE-ANESTESI
Pasien datang ke kamar operasi pada pukul 7.40 WIB. Pasien dalam keadaan soporo
koma dan sakit berat, tidak dapat bernapas secara spontan, sudah dipuasakan sejak jam 23.00,
sudah dicukur, tidak menggunakan gigi palsu atau perhiasan, telah mendapatkan pemberian
antibiotik, dan akses intravena sudah terpasang pada tangan kiri pasien. Pasien mengaku tidak
ada alergi terhadap obat-obatan dan menyangkal adanya penyakit lain kecuali hipertensi.
Berikut adalah keadaan pra-anestesi pasien:
1. Tinggi badan
2. Berat badan
3. Golongan darah
4. Saturasi
5. Tekanan darah
6. Nadi
7. Suhu
8. Hb
9. Ht
10. Bleeding time

: 165 cm
: 65 kg
:B
: 100 mmHg
: 85/75 mmHg
: 71x/menit
: afebris
: 11,1 g/dL
: 31,8 %
: 6

11. Clotting time


12. HbsAg

: : (+)

STATUS ANESTESI INTRA-OPERATIF


Tanggal Operasi

: 10 Juli 2014

Jam Rencana Operasi

: 08.00 WIB

Diagnosis Pra Bedah

: Liposarkoma Intraabdomen

Diagnosis Pasca Bedah

: Liposarkoma Intraabdomen melekat luas pada dinding


posterior abdomen

Jenis Pembedahan

: Laparatomi eksplorasi

Ahli Bedah

: Dr. Aditomo, Sp. BD

Anestetish

: Dr. M. Gusno Rekozar, Sp. An

Lama Operasi

: 74 menit

Lama Anestesi

: > 74 menit

Jenis Anestesi

: GA-OTK

Anestesi dengan

: Recofol, sevofluran, O2, dan N2O

Muscle relaxant

: Tramus

Tekhnik Anestesi

: SCCS (Semi-Closed Circuit System)


Induksi intravena
Intubasi oral ETT no. 7.5, kingking, cuffed (+)
Pemeliharaan inhalasi

Respirasi

: Kendali

Posisi

: Supine

Infus

: Gelofusin

Premedikasi

: Vomceran, fentanyl, sedacum

Medikasi

: Recofol, tramus

Pasien ditidurkan pada meja pembedahan kemudian dilakukan pemasangan alat-alat


monitoring anestesi berupa elektroda EKG, sfigmomanomenter digital, dan pulse oksimeter.
Sebelum dilakukan pembiusan, pada pukul 07.45 WIB diberikan premedikasi secara
intravena berupa vomceran 8 mg, fentanyl 100 mcg, dan sedacum 5 mg. Penggunaan obat
premedikasi bertujuan untuk menghilangkan rasa nyeri dan membuat pasien tertidur sehingga
menimbulkan rasa nyaman serta mempermudah induksi dengan menghilangkan rasa
khawatir. Pasien juga diberikan cairan gelofusin secara intravena guyur.
7

Pasien kemudian dengan keadaan tetap terlentang pada meja operasi dan tangan
disanggah oleh penyangga tangan dan kemudian dokter anestesi berada pada posisi di
belakang kepala pasien, menyungkup pasien dengan O2 dan N2O dengan perbandingan 2:3
sambil melakukan bagging dan menyetel mesin anestesi dengan Vt dan frekuensi pernapasan
yang sesuai dengan berat badan pasien. Berikut penghitungannya:
Vt (volume tidal)

= 6-8 L/kgBB
= 8 x 65
= 520 L, dijadikan pembulatan menjadi 500 L

Frekuensi pernapasan = 100 cc/kgBB / VT


= 100 x 65 / 500
= 13x/menit
TI : TE

=1:2

Pada pukul 07.47 posisi pasien terlentang dengan leher diekstensikan di atas meja
operasi dan telah diberi sevofluran 8 vol% dengan sungkup muka yang telah dihubungkan
dengan mesin dan di bagging sekitar 2 menit, lalu diubah menjadi 3 vol% selama 1 menit,
untuk menekan pengembangan paru dan juga menunggu kerja dari pelemas otot sehingga
mempermudah dilakukannya intubasi.
Pemasangan ETT pada pasien ini:
1. Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang laringoskop dipegang dengan
tangan kiri
2. Daun laringoskop dimasukkan dari sudut kanan bibir dan lapangan pandang akan
terbuka. Daun laringoskop didorong ke dalam rongga mulut. Gagang diangkat ke atas
dengan lengan kiri dan akan terlihat uvula, faring dan epiglotis.
3. Ekstensi kepala dipertahankan menggunakan tangan kanan.
4. Epiglotis diangkat sehingga tampak aritenoid dan pita suara yang tampak keputihan
berbentuk huruf V.
5. Ambil ETT kingking no. 7.5 dengan tangan kanan dan ujungnya dimasukkan
melewati pita suara sampai balon pipa tepat melewati pita suara.
6. Ventilasi atau oksigenasi diberikan dengan tangan kanan memompa balon dan tangan
kiri memfiksasi.
7. Balon pipa dikembangkan dan daun laringoskop dikeluarkan
8. Lakukan auskultasi dada dengan steteskop, diharapkan suara nafas kanan dan kiri
sama. Pastikan dada mengembang saat diberikan ventilasi
9. Selanjutnya pipa difiksasi dengan plester.

Setelah ETT masuk dengan benar, lalu dialirkan sefofluran 3 vol%, oksigen 500
ml/menit dan N2O 500 ml/menit dan respirasi dikontrol dengan mesin yang volume tidalnya
sudah disesuaikan pada penghitungan sebelumnya diatas. Berikutnya diberikan obat medikasi
berupa tramus sebagai muscle relaxant dan recofol yang merupakan golongan
semua kondisi vital seperti tekanan darah, nadi, dan saturasi oksigen dalam keadaan
yang baik, maka dimulailah pencacatan kondisi pasien dan dosis sevofluran 3%.

Berikut merupakan cacatan keadaan pasien intra-anestesi:


Waktu

07.45

Saturasi

99%

Tekanan

Nadi

darah

(x/menit)

(mmHg)
75/38

78

Keterangan

Premedikasi, IV:
vomceran 8 mg
fentanyl 100 mcg

07.50

99%

78/45

78

sedacum 5 mg
Anestesi GA-OTK
Tramus 50 mg
Recofol 100 mg

07.55
08.00
08.05
08.10
08.15
08.20
08.25
08.30
08.35
08.40
08.45
08.50
08.55
09.00
09.05
09.10
09.15
09.20
09.25
09.30
09.35

99%
99%
99%
99%
99%
99%
99%
99%
99%
99%
99%
99%
99%
99%
99%
99%
99%
99%
99%
99%
99%

77/46
76/50
78/55
76/54
76/57
75/54
76/55
75/56
76/58
74/52
78/60
79/62
84/64
85/65
83/68
79/59
80/68
80/64
75/65
74/66
76/68

77
75
76
77
74
73
72
70
68
69
67
64
65
66
65
69
70
78
76
77
75

Sefofluran 3 vol% - O2 N2O


Operasi dimulai
Sevofluran 2 vol%
9

09.40
09.45
09.50

99%
99%
99%

75/65
75/65
74/66

77
76
77

Operasi berakhir

09.55
10.00

99%
99%

76/65
76/68

76
75

Sefofluran stop
Ekstubasi
-

KEBUTUHAN CAIRAN PASIEN


Diketahui

: Puasa selama 8 jam


BB 65 kg
Jenis operasi besar

Kebutuhan cairan basal

= (4x10) + (2x10) + (1x45)


= 20+40+45
= 105 cc/jam

Kebutuhan cairan puasa

= lama puasa x kebutuhan cairan basal


= 8 jam x 105 cc/jam
= 840 cc/jam

Kebutuhan cairan operasi

= jenis operasi besar (8 cc/kgBB/jam)


= 8 x 65kg
= 520 cc/jam

Jumlah kebutuhan cairan

= 105 cc + 840 cc + 520 cc


= 1465 cc

PEMBERIAN CAIRAN PASIEN


Jam ke-1

= 50% x 1465 = 732.5 cc

Jam ke-2

= 25% x 1465 = 366.25 cc

Jam ke-3

= 25% x 1465 = 366.25 cc

Cairan yang telah masuk selama operasi dengan durasi 74 menit : Gelofusin 5 kolf (2500cc)
dan Asering 1 kolf (500cc).
KEADAAN AKHIR PEMBEDAHAN
Tekanan Darah

: 76/68 mmHg

Nadi

: 75x/menit

Saturasi

: 100%

Mual

: (-)
10

Muntah

: (-)

Sianosis

: (-)

Sadar

: (-)
Pasien dibawa ke recovery room pada pukul 10.00 WIB. Selama di recovery room

pasien tidak menggigil dan tidak mengeluh kedinginan, pada perabaan keempat ektremitas
teraba hangat. Dilakukan pemantauan terhadap kelancaran aliran cairan irigasi buli-buli untuk
mencegah adanya sumbatan pada keteter urin akibat bekuan darah.
Pemulihan Kesadaran Aldrete Score :
Nilai
Warna

2
Merah muda (pink) tanpa

1
Pucat atau kehitaman

0
Sianosis dengan O2,

O2, SaO2 > 92%

perlu o2 agar SaO2 >

Sao2 tetap < 90%

Respirasi

Dapat napas dalam dan

90%
Napas dangkal

Apnu atau obstruksi

Kardiovaskular

batuk
Tekanan darah berubah

Udara adekuat
Berubah 20-50%

Berubah >50%

Kesadaran

<20%
Sadar, Siaga, orientasi baik

Bangun namun cepat tidur

Tak dapat

2 ekstremitas bergerak

dibangunkan
Tak ada

Aktivitas

4 ekstremitas bergerak

ekstremitas
bergerak
Total skor

: 4, pasien ditransfer ke ruang ICU.

BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
ANASTESI UMUM
11

Anastesi umum adalah suatu tindakan untuk menghilangkan nyeri secara sentral
disertai dengan hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali. Anastesi memungkinkan
pasien untuk mentoleransi prosedur bedah yang akan menimbulkan rasa sakit yang tak
tertahankan, mempotensiasi eksaserbasi fisiologis yang ekstrim, dan menghasilkan ingatan
yang tidak menyenangkan.
Tujuan dari anastesi yaitu:
1. Hipnotik/sedasi: hilangnya kesadaran
2. Analgesia: hilangnya respon terhadap rasa sakit
3. Relaksasi otot rangka
Pemilihan cara anastesi dilihat dari beberapa factor yaitu:

Umur : bayi dan anak-anak paling cocok dengan anastesi umum.


Status fisik: riwayat penyakit dan operasi. Hal ini untuk melihat apakah terdapat
komplikasi yang muncul. Selain itu dapat juga kita lihat dari adanya gangguan

kardiorespirasi, kegelisahan pada pasien, ataupun pasien yang obesitas.


Posisi pembedahan
Keterampilan dan kebutuhan dokter pembedahan
Keterampilan dan pengalaman dokter anastesi
Keinginan pasien

Tahapan Tindakan Anastesi Umum


1.

Penilian dan Persiapan Pra Anastesi


Persiapan prabedah yang kurang merata merupakan factor terjadinya kecelakaan
dalam anatesi. Sebelum pasien dibedah sebaiknya dilakukan kunjungan pasien terlebih
dahulu sehingga pada waktu pasien dibedah dalam keadaan bugar. Tujuan dari kunjungan
tersebut adalah untuk mengurangi angka kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi
dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.

1.1 Penilaian pra bedah


Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anastesi sebelumnya
sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapat
perhatian khusus, misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot, gatal-gatal, atau sesak
nafas pasca bedah, sehingga dapat dirancang anastesi berikutnya dengan lebih baik.
Beberapa penelitian sebelumnya menganjurkan obat yang kiranya menimbulakn
masalah dimasa lampau sebaiknya tidak digunakan kembali, misalnya halotan
sebaiknya tidak digunakan dalam waktu 3 bulan, suksinilkolin yang menimbulkan
12

apnoe berkepanjangan juga jangan diulang. Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan


sejak 1-2 hari sebelum operasi.
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan gigi, tindakan buka mulut, ukuran lidah sangat penting untuk
diketahui apakah menyulitkan pada saat pemasangan laringoskop dalam tindakan
intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan tindakan intubasi.
Pemeriksaan umum seperti inpeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi secara sistemik
tidak boleh dilupakan.
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan
penyakit yang sedang dicurigai. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi pemeriksaan
darah rutin dan urinalisis. Pasien yang usianya diatas 50 tahun dianjurkan untuk
pemeriksaan EKG dan foto thoraks.
Kebugaran untuk anastesi
Operasi elektif booleh ditunda sampai waktu yang tidak ditentukan untuk
mempersiapkan pasien dalam keadaan bugar, berbeda dengan operasi cito dimana
penundaan dengan alas an yang tidak perlu harus dihindari
Klasifikasi status fisik
Klasifikasi yang digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang adalah yang
berasal dari The American Society of Anasthesiologist (ASA). Klasifikasi fisik ini
bukan alat perkiraan resiko anastesi karena efek samping anastesi tidak bisa
dipisahkan dari efek samping pembedahan. Berikut klasifikasi ASA:
Kelas I
: pasien sehat organik, fisiologik, psikiatri, biokimia
Kelas II
: pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang
Kelas III
: pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga akttivitas

rutin terbatas
Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan aktivitas rutin dan

penyakitnya merupakan ancapan kehidupannya setiap saat


Kelas V
: pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa

pemebedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam


Kelas VI
: pasien yang sudah dinyatakan mengalami kematian batang
otak dan dilakukan pemebedahan untuk diambil organnya dalam proses donor
organ.

Masuka oral
Reflex laring mengalami penurunan selama anastesi. Regurgitasi isi lambung
dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan resiko utama pasien-pasien
yang menjalani anastesi. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang
dijadwalkanuntuk operasi elektf dengan anastesi harus dipuasakan selama periode
13

tertentu sebelum dilakukan induksi anastesi. Pasien dewasa umumnya puasa 6-8
jam, anak-anak puasa 4-6 jam, dan bayi puasa 3-4 jam. Makanan tak berlemak
diperbolehkan 5 jam sebelm induksi anastesi. Minuman bening, air putih, air the
diperbolehkan hingga 3 jam dan untuk keperluan minum obat keperluan air putih
dalam jumlah tertentu diperbolehkan hingga 1 jam sebelum induksi anastesi.
1.2 Premedikasi
Sebelum pasien diberi obat anastesi, langkah selanjutnya adalah dilakukan
premedikasi yaitu pemberian obat sebelum induksi anastesi diberikan dengan tujuan
untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anastesi diantaranya:
menimbulkan rasa nyaman bagi pasien, memudahkan atau memperlancar induksi,
mengurangi jumlah obat-obat anastesi, menekan refles-refleks yang tidak diinginkan
(mual-muntah), mengurangi sekresi kelenjar saliva dan lambung, mengurangi rasa
sakit.
Waktu dan cara pemberian premedikasi
Pemberian obat secara subkutan tidak akan efektif dalam 1 jam, secara
intramuscular minimum harus tunggu 40 menit. Pada kasus yang sangat darurat
dengan waktu tindakan pembedahan yang tidak pasti, pemberian obat-obatan dapat
dilakukan secara intravena. Obat akan sangat efektif sebelum induksi. Semua obat
premedikasi bila diberikan secara intravena dapat menyebabkan sedikit hipotensi
kecuali atropine dan hoisin. Hal ini dapat dikurangi dengan pemberian secara
perlaha-lahan dan diencerkan.
Obat-obatan yang sering digunakan
Analgetik narkotik: petidin (dosis 1-2 mg/kgBB), morfin/MO (dosis 0,1

mg/kgBB), fentanyl (dosis 1-3 mcg/kgBB)


Hipnotik: ketamine (dosis 1-2 mg/kgBB), pentotal (dosis 4-6 mg/kgBB)
Sedative: diazepam/valium (dosis 0,1 mg/kgBB), midazolam/sedacum (dosis

0,1 mg/kgBB)
Propofol/recofol (dosis 2,5 mg/kgBB), DBP (dosis 0,1 mg/kgBB)
Antimimetik: sulfas atropine (dosis 0,001 mg/kgBB), DBP, narfoz, rantin,
primperan, vomceran (dosis 4 mg/ 8 mg), granon (dosis 3 mg)

2.

Induksi Anastesi
Suatu tindakan membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga
memungkinkan dimulainya anastesi dan pembedahan. Induksi dapat dikerjakan secara
intravena, inhalasi, IM, atau rectal. Setelah pasien tertidur akibat induksi anastesi, maka
dilanjutkan dengan pemeliharaan anastesi sampai tindakan pembedahan selesai.
Untuk persiapan induksi anastesi diperlukan STATICS
S
: Scope, yaitu stetoskop dan laringoskop
14

T
: Tubes, yaitu endotrakeal tube kingking no. 7.5
A
: Airway, guedel
T
: Tapes (plester)
I
: Introducer, mandren atau stilet (tidak digunakan pada pasien ini)
C
: Connector, penyambung alat pipa dan peralatan anesthesia
S
: Suction, untuk menyedot lendir, darah, dll
2.1 Induksi intravena
Paling banyak diklakukan. Induksi intravena dikerjakan dengan hati-hati,
perlahan-lahan, lembut dan terkendali. Obat induksi bolus disuntikkan dalam
kecepatan antara 30-60 detik. Selama induksi anastesi, pernapasan pasien, nadi dan
tekanan darah harus diawasi dan berikan oksigen.
Obat-obat induksi intravena

Thiopental (pentotal, tiopenton amp 500 mg atau 1000 mg. sebelum digunakan
harus dilarutkan dalam aquabides steril sampai kepekatan 2,5% (1 ml=25 mg), hanya
boleh digunakan untuk intravena dengan dosis 3-7 mg/kgBB disuntikkan perlahanlahan dan dihabiskan dalam waktu 30-60 detik. Penyuntikan thiopental menyebabkan
pasien dalam kondisi sedasi, hypnosis, anastesia atau depresi napas. Thiopental
menurunkan aliran darah ke otak, tekanan liquor, tekanan intracranial dan dapatkan

melindungi otak akibat kekurangan oksigen. Dosis rendah bersifat anti-analgesi.


Propofol (recofol) Dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu
bersifat isotonic dengan kepekatan 1% (1ml = 1o mg). suntikan intravena sering
menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2
mg/kg intravena. Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg, dosis rumatan untuk
anestesia intravena total 4-12 mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk perawatan intensif 0.2
mg/kg. pengenceran hanya boleh dengan dekstrosa 5%. Tidak dianjurkan untuk anak

< 3 tahun dan pada wanita hamil.


Ketamin (ketalar) Kurang digemari karena sering menimbulkan takikardia,
hipertensi, hipersalivasi, nyeri kepala, pasca anestesia dapat menimbulkan mualmuntah, pandangan kabur dan mimpi buruk. Sebelum pemberian sebaiknya diberikan
sedasi midazolam (dormikum) atau diazepam (valium) dengan dosis0,1 mg/kg
intravena dan untuk mengurangi salvias diberikan sulfas atropin 0,01 mg/kg. Dosis
bolus 1-2 mg/kg dan untuk intramuscular 3-10 mg. ketamin dikemas dalam cairan

bening kepekatan 1% (1ml = 10mg), 5% (1 ml = 50 mg), 10% ( 1ml = 100 mg).


Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil) Diberikan dosis tinggi. Tidak
menggaggu kardiovaskular, sehingga banyak digunakan untuk induksi pasien dengan

15

kelianan jantung. Untuk anestesia opioid digunakan fentanil dosis 20-50 mg/kg
dilanjutkan dosis rumatan 0,3-1 mg/kg/menit.
2.2 Induksi intramuscular
Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan secara
intramuskulardengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur.
2.3 Induksi inhalasi
N2O (gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen monoksida) berbentuk
gas, tak berwarna, bau manis, tak iritasi, tak terbakar dan beratnya 1,5 kali berat
udara. Pemberian harus disertai O2 minimal 25%. Bersifat anastetik lemah,
analgesinya kuat, sehingga sering digunakan untuk mengurangi nyeri menjelang
persalinan. Pada anestesi inhalasi jarang digunakan sendirian, tapi dikombinasi

dengan salah satu cairan anastetik lain seperti halotan.


Halotan (fluotan) Sebagai induksi juga untuk laringoskop intubasi, asalkan
anestesinya cukup dalam, stabil dan sebelum tindakan diberikan analgesi semprot
lidokain 4% atau 10% sekitar faring laring. Kelebihan dosis menyebabkan depresi
napas, menurunnya tonus simpatis, terjadi hipotensi, bradikardi, vasodilatasi perifer,
depresi vasomotor, depresi miokard, dan inhibisi refleks baroreseptor. Merupakan
analgesi lemah, anestesi kuat. Halotan menghambat pelepasan insulin sehingga

mininggikan kadar gula darah.


Enfluran (etran, aliran) Efek depresi napas lebih kuat dibanding halotan dan
enfluran lebih iritatif disbanding halotan. Depresi terhadap sirkulasi lebih kuat
dibanding halotan, tetapi lebih jarang menimbulkan aritmia. Efek relaksasi terhadap

otot lurik lebih baik disbanding halotan.


Isofluran (foran, aeran) Meninggikan aliran darah otak dan tekanan intracranial.
Peninggian aliran darah otak dan tekanan intracranial dapat dikurangi dengan teknik
anestesi hiperventilasi, sehingga isofluran banyak digunakan untuk bedah otak. Efek
terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal, sehingga digemari untuk
anestesi teknik hipotensi dan banyak digunakan pada pasien dengan gangguan

koroner.
Desfluran (suprane) Sangat mudah menguap. Potensinya rendah (MAC 6.0%),
bersifat simpatomimetik menyebabkan takikardi dan hipertensi. Efek depresi
napasnya seperti isofluran dan etran. Merangsang jalan napas atas sehingga tidak

digunakan untuk induksi anestesi.


Sevofluran (ultane) Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan
isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan napas, sehingga
digemari untuk induksi anestesi inhalasi disamping halotan.
16

2.4 Pelumpuh Otot Nondepolarisasi


Tracurium 20 mg (Antracurium) Berikatan dengan reseptor nikotinik-kolinergik,
tetapi tidak menyebabkna depolarisasi, hanya menghalangi asetilkolin menempatinya,
sehingga asetilkolin tidak dapat bekerja. Dosis awal 0,5-0,6 mg/kgBB, dosis rumatan
0,1 mg/kgBB, durasi selama 20-45 menit, kecepatan efek kerjanya -2 menit. Tanda-

3.

tanda kekurangan pelumpuh otot:


- Cegukan (hiccup)
- Dinding perut kaku
- Ada tahanan pada inflasi paru
Rumatan Anastesi (Maintainance)
Dapat dikerjakan secara intravena (anestesi intravena total) atau dengan inhalasi atau

dengan campuran intravena inhalasi. Rumatan anestesi mengacu pada trias anestesi yaitu
tidur rinan (hypnosis) sekedar tidak sadar, analgesia cukup, diusahakan agar pasien selama
dibedah tidak menimbulkan nyeri dan relaksasi otot lurik yang cukup. Rumatan intravena
biasanya menggunakan opioid dosis tinggi, fentanil 10-50 g/kgBB. Dosis tinggi opioid
menyebabkan pasien tidur dengan analgesia cukup, sehingga tinggal memberikan relaksasi
pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat juga menggunakan opioid dosis biasa, tetapi pasien
ditidurkan dengan infuse propofol 4-12 mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan anestesi total
intravena, pelumpuh otot dan ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi
dengan udara + O2 atau N2O + O2. Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O
dan O2 dengan perbandingan 3:1 ditambah halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4% atau
isofluran 2-4 vol% atau sevofluran 2-4% bergantung apakah pasien bernapas spontan, dibantu
atau dikendalikan.
4.

Tatalaksana Jalan Nafas

Hubungan jalan napas dan dunia luar melalui 2 jalan:

Hidung Menuju nasofaring


Mulut Menuju orofaring. Hidung dan mulut dibagian depan dipisahkan oleh palatum
durum dan palatum molle dan dibagian belakang bersatu di hipofaring. Hipofaring
menuju esophagus dan laring dipisahkan oleh epiglotis menuju ke trakea. Laring terdiri
dari tulang rawan tiroid, krikoid, epiglotis dan sepasang aritenoid, kornikulata dan
kuneiform.
A. Manuver tripel jalan napas
Terdiri dari:
1. Kepala ekstensi pada sendi atlanto-oksipital.
2. Mandibula didorong ke depan pada kedua angulus mandibula
3. Mulut dibuka

17

Dengan maneuver ini diharapkan lidah terangkat dan jalan napas bebas, sehingga
gas atau udara lancer masuk ke trakea lewat hidung atau mulut.
B. Jalan napas faring
Jika maneuver tripel kurang berhasil, maka dapat dipasang jalan napas mulut-faring
lewat mulut (oro-pharyngeal airway) atau jalan napas lewat hidung (naso-pharyngeal
airway).
C. Sungkup muka
Mengantar udara / gas anestesi dari alat resusitasi atau system anestesi ke jalan
napas pasien. Bentuknya dibuat sedemikian rupa sehingga ketika digunakan untuk
bernapas spontan atau dengan tekanan positif tidak bocor dan gas masuk semua ke
trakea lewat mulut atau hidung.
D. Sungkup laring (Laryngeal mask)
Merupakan alat jalan napas berbentuk sendok terdiri dari pipa besar berlubang
dengan ujung menyerupai sendok yang pinggirnya dapat dikembang-kempiskan
seperti balon pada pipa trakea. Tangkai LMA dapat berupa pipa kerasdari polivinil
atau lembek dengan spiral untuk menjaga supaya tetap paten.
Dikenal 2 macam sungkup laring:
1. Sungkup laring standar dengan satu pipa napas
2. Sungkup laring dengan dua pipa yaitu satu pipa napas standar dan lainnya pipa
tambahan yang ujung distalnya berhubungan dengan esophagus.
E. Pipa trakea (endotracheal tube)
Mengantar gas anestesi langsung ke dalam trakea dan biasanya dibuat dari bahan
standar polivinil-klorida. Pipa trakea dapat dimasukan melalui mulut (orotracheal
tube) atau melalui hidung (nasotracheal tube).
F. Laringoskopi dan intubasi
Fungsi laring ialah mencegah bedan asing masuk paru. Laringoskop merupakan alat
yang digunakan untuk melihat laring secara langsung supaya kita dapat memasukkan
pipa trakea dengan baik dan benar. Secara garis besar dikenal dua macam
laringoskop:
1. Bilah, daun (blade) lurus (Macintosh) untuk bayi-anak-dewasa
2. Bilah lengkung (Miller, Magill) untuk anak besar-dewasa.
Klasifikasi tampakan faring pada saat membuka mulut terbuka maksimal dan lidah dijulurkan
maksimal menurut Mallapati dibagi menjadi 4 gradasi:
Gradasi
1
2
3
4

Pilar faring
+
-

Uvula
+
+
-

Palatum Molle
+
+
+
-

Indikasi Intubasi Trakea


18

Intubasi trakea ialah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam trakea melalui rima
glottis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira dipertengahan trakea antara pita suara dan
bifurkasio trakea. Indikasi sangat bervariasi dan umumnya digolongkan sebagai berikut:
1.
2.

Menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapun.


Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi, misalnya saat resusitasi, memungkinkan

3.

penggunaan relaksan dengan efisien, ventilasi jangka panjang.


Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi

Kesulitan Intubasi
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Leher pendek berotot


Mandibula menonjol
Maksila/gigi depan menonjol
Uvula tak terlihat
Gerak sendi temporo-mandibular terbatas
Gerak vertebra servikal terbatas

Komplikasi Intubasi
1.

Selama intubasi
a. Trauma gigi geligi
b. Laserasi bibir, gusi, laring
c. Merangsang saraf simpatis
d. Intubasi bronkus
e. Intubasi esophagus
f. Aspirasi
g. Spasme bronkus
2. Setelah ekstubasi
a. Spasme laring
b. Aspirasi
c. Gangguan fonasi
d. Edema glottis-subglotis
e. Infeksi laring, faring, trakea
Ekstubasi
1.
2.

Ekstubasi ditunda sampai pasien benar-benar sadar, jika:


a. Intubasi kembali akan menimbulkan kesulitan
b. Pasca ekstubasi ada risiko aspirasi
Ekstubasi dikerjakan pada umumnya pada anestesi sudah ringan dengan catatan tak akan

3.

terjadi spasme laring.


Sebelum ekstubasi bersihkan rongga mulut laring faring dari sekret dan cairan lainnya.

19

BAB V
KESIMPULAN
Pasien bernama Tn. Kassa didiagnosis Liposarkoma Intraabdomen, setelah
dilakukan pemeriksaan fisik dan penunjang didapatkan status ASA III sehingga penyakit
yang dideritanya merupakan penyakit sistemik berat yang mengakibatkan keterbatasan
aktivitas fisik dan jika dibiarkan akan berdampak buruk terhadap kondisi pasien. Selama
proses pembedahan berlangsung tidak ditemukan adanya permasalahan berarti baik dari
pemedahan maupun dari anastesi, namun pada saat pengangkatan akan dilakukan ternyata
20

tumor yang berada pada intraabdomen pasien menempel pada bagian tulang belakangnya.
Kondisi tersebut membuat dokter ahli bedah digestive memutuskan untuk tidak melanjutkan
operasi dan menutup kembali abdomen yang sudah disayat. Selama proses pembedahan,
keseimbangan cairan pasien tidak ada masalah, cairan tubuh tidak mengalami gangguan.
Pada saat proses operasi telah selesai, pasien dipindahkan ke ruang recovery, namun
kondisi pasien masih dalam pengawasan. Setelah itu pasien dibawa ke ruang ICU untuk
dipantau lebih lanjut. Karena kondisi yang semakin memburuk maka pasien dibawa ke
ruangan HCU. Dari hasil penilaian dari anastesi dapat disimpulkan bahwa proses anastesi
berlangsung baik tanpa adanya komplikasi.

DAFTAR PUSTAKA
1.

Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk praktis anastesiologi, edisi kedua.

2.
3.

Jakarta: Bagian anastesiologi dan terapi intensif FKUI; 2002.


Goodman & Gillman. Dasar farmakologi dan terapi, edisi sepuluh. Jakarta: EGC
Mangku G, Gde AST. Ilmu anastesi dan reminasi. Jakarta: PT. Macan Jaya Cemerlang.

4.

2010.p.24-36.
De WJ, Sessler DI. Perioperative shivering: physiology and pharmacology.
Anesthesiology 2002; 96(2): 467-84.

21

5.

Smith T, Pinnock C, Lin T. fundamentals of anesthesia. 3rd. Post operative management.


Cambridge: Cambridge University Press. 2009;67.S

22

Anda mungkin juga menyukai