Anda di halaman 1dari 22

REFERAT

GAMBARAN RADIOLOGI TUMOR RETROPERITONIUM


Diajukan untuk memenuhi persyaratan pendidikan program profesi dokter stase
Ilmu Radiologi

Pembimbing :
dr. Agus Mulyanto, Sp. Rad
Diajukan Oleh:
Purnama Parulian Siahaan, S.Ked J510170040
Prala Ayu Aristya Purnama, S.Ked J510170056
Adam Nur Rahman, S.Ked J510170063
Dea Pristy Amanda, S.Ked J510170075
Farah Mila Oktavia, S.Ked J510170105
Esha Putriningtyas S, S.Ked J510170106

KEPANITERAAN KLINIK SMF/BAGIAN ILMU RADIOLOGI


RSUD DR. HARJONO S. PONOROGO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2018
REFERAT

GAMBARAN RADIOLOGI TUMOR RETROPERITONIUM

Diajukan Oleh:

Purnama Parulian Siahaan, S.Ked J510170040


Prala Ayu Aristya Purnama, S.Ked J510170056
Adam Nur Rahman, S.Ked J510170063
Dea Pristy Amanda, S.Ked J510170075
Farah Mila Oktavia, S.Ked J510170105
Esha Putriningtyas S, S.Ked J510170106

Telah disetujui dan disahkan oleh Bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta

Pada hari, , Oktober 2018

Pembimbing :
dr. Agus mulyanto Sp. Rad (.................................)
BAB I
PENDAHULUAN

I.I Latar belakang


Tumor merupakan penyakit yang mengkhawatirkan karena menjadi
penyebab kematian nomor tujuh di Indonesia dengan persentase 5,7 persen dari
keseluruhan penduduk Indonesia yang meninggal (Riset Kesehatan Dasar tahun
2007). WHO memperkirakan jumlah kematian karena tumor rata-rata 8,4 juta
setiap tahun dan tahun 2015 mencapai 9 juta jiwa.
Tumor adalah istilah umum yang digunakan untuk menjelaskan adanya
pertumbuhan massa (solid/padat) atau jaringan abnormal dalam tubuh yang
meliputi tumor jinak (benigna tumor) dan tumor ganas (malignant tumor). Tumor
ganas lebih dikenal sebagai kanker. Massa ini timbul sebagai akibat dari ketidak-
seimbangan pertumbuhan dan regenerasi sel. Pertumbuhan sel yang tidak
terkendali disebabkan kerusakan DNA yang mengakibatkan mutasi (perubahan
genetik yang bersifat menurun) pada gen vital yang bertugas mengontrol
pembelahan sel. Beberapa mutasi mungkin dibutuhkan untuk mengubah sel
normal menjadi sel kanker. Mutasi-mutasi tersebut disebabkan agen zat-zat kimia
atau fisik yang dinamakan sebagai karsinogen. Mutasi dapat terjadi secara spontan
(diperoleh) maupun diwariskan.
Gejala kanker peritoneal diantaranya rasa tidak nyaman serta nyeri pada
perut, keram, dan begah, adanya mual dan muntah, konstipasi, hilangnya nafsu
makan, penurunan berat badan yang signifikan, serta gejala terkait lainnya.
Diagnosis dapat ditegakkan mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik seperti
adanya rasa nyeri saat dilakukan palpasi pada bagian perut maupun teraba adanya
massa, dan pemeriksaan penunjang menggunakan bantuan metode pencitraan
(Issac, 2017).
Metode pencitraan telah membangun bukti-bukti dasar yang luas yang
mendukung peran mereka sebagai alat yang berguna tidak hanya dalam deteksi
lesi, tetapi juga karakterisasi. Selain itu, modalitas baru, seperti kontras USG dan
pencitraan resonansi magnetik semakin digalakkan (Wissam, 2016).

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Anatomi dan Fisiologi Peritoneum


a. Anatomi peritoneum
Peritoneum ialah membran serosa rangkap yang terbesar di dalam tubuh.
Peritoneum terdiri atas dua bagian utama yailu peritoneum parietal, yang
melapisi dinding rongga abdominal dan peritoneum viseral yang menyelaputi
semua organ yang berada di dalam rongga itu. Ruang yang bisa terdapat di
antara dua lapis ini disebut rongga peritoneum atau cavum peritoneum. (Pierce,
2006).

Lapisan peritonium dibagi menjadi 3, yaitu:


1. Lembaran yang menutupi dinding usus, disebut lamina visceralis
2. Lembaran yang menghubungkan lamina visceralis dan lamina parietalis
3. Lembaran yang melapisi dinding dalam abdomen disebut lamina
parietalis. (Mansjoer, 2000)
Pada beberapa tempat peritoneum visceral dan mesenterium dorsal
mendekati peritoneum dorsal dan terjadi perlekatan. Akibat perlekatan ini, ada
bagian-bagian usus yang tidak mempunyai alat-alat penggantung, dan akhirnya
berada disebelah dorsal peritonium sehingga disebut retroperitoneal.

2
b. Fisiologi peritoneum
Fungsi utama peritoneum adalah menjaga keutuhan atau integritas organ
intraperitoneum. Normal terdapat 50 mL cairan bebas dalam rongga
peritoneum, yang memelihara permukaan peritoneum tetap licin. Karakteristik
cairan peritoneum; berupa transudat, berat jenis 1,016, konsentrasi protein
kurang dari 3 g/dl, leukosit kurang dari 3000/uL; mengandung komplemen
mediator sebagai antibakterial dan aktivitas fibrinolisis. Sirkulasi cairan
peritoneum melalui kelenjar lymph dibawah permukaan diafragma dengan
kecepatan pertukaran cairan ekstrasellular 500 ml perjam. Melalui stoma di
mesothelium diafragma partikel-partikel termasuk bakteri dengan ukuran
kurang dari 20 ųm dibersihkan, selanjutnya di alirkan terutama ke dalam
duktus thorasikus kanan (Pierce, 2006).
2. Tumor Retroperitoneal
a. Definisi
Tumor adalah istilah umum yang digunakan untuk menjelaskan adanya
pertumbuhan massa (solid/padat) atau jaringan abnormal dalam tubuh yang
meliputi tumor jinak (benigna tumor) dan tumor ganas (malignant tumor).
Tumor ganas lebih dikenal sebagai kanker. Etiologi terjadinya tumor adalah
karena terjadi pembelahan sel yang abnormal. Beberapa factor penyebab tumor
antara lain zat karsinogen, hormone, factor gaya hidup, infeksi parasite,dan
genetic

3
b. Klasifikasi
Tumor peritoneal primer adalah tumor yang berasal dari peritoneum itu
sendiri. Tumor peritoneal primer dapat diklasifikasikan sesuai dengan asalnya,
antara lain:
- Yang berasal dari mesotelial  mesotelioma
- Berasal dari epitelial  karsinoma peritoneal primer
- Berasal dari otot polos  leiomyomatosis peritonealis diseminata
- Asalnya tidak pasti  DSRCT (desmoplastik small cell tumor)
Tumor sekunder (metastasis peritnoeal) merupakan tumor yang berasal
dari tempat lain dan menyebar ke peritoneum. Metastasis peritoneal dapat
berasal dari tumor apa saja, seperti kanker kolorektal, ovarium, karsinoma
pankreas dan keganasan extraabdomen seperti yang berasal dari payudara dan
paru. (daisy & victor, 2018)

4
c. Patofisiologi
Neoplasma atau tumor adalah transformasi sejumlah gen yang
menyebabkan gen tersebut mengalami mutasi pada sel DNA. Karsinogenesis
akibat mutasi materi genetik ini menyebabkan pembelahan sel yang tidak
terkontrol dan pembentukan tumor atau neoplasma. Gen yang mengalami
mutasi disebut proto-onkogen dan gen supresor tumor, yang dapat
menimbulkan abnormalitas pada sel somatik. Usia sel normal ada batasnya,
sementara sel tumor tidak mengalami kematian sehingga multiplikasi dan
pertumbuhan sel berlangsung tanpa kendali.

5
Zat Perusak DNA
didapat SEL NORMAL
(lingkungan)
Perbaikan DNA
- kimiawi
berhasil
- radiasi
Kerusakan DNA Mutasi herediter:
- virus
Perbaikan DNA Gen yg
mempengaruhi
gagal perbaikan DNA
Mutasi genom sel Gen yg
somatik mempengaruhi
pertumbuhan atau
apoptosis sel

Pengaktifan Perubahan gen Penonaktifan gen


onkogen yang supresor kanker
pendorong mengendalikan
pertumbuhan pertumbuhan

Ekspresi produk gen yang mengalami perubahan


dan hilangnya produk gen regulatorik

Ekspansi klonal

Mutasi tambahan (progresi)

Heterogenitas

Neoplasma ganas

Bagan 1. Patofisiologi neoplasma


Sumber: Buku Ajar Patologi Robbins

6
d. Pemeriksaan Klinis
Tumor pada abdomen adalah tumor yang sulit dideteksi. Biasanya pada
anamnesis stadium awal tumor jarang ditemukan keluhan dan keluhan baru
muncul setelah tumor memasuki stadium lanjut. Pada pemeriksaan fisik, tumor
juga baru dapat dideteksi jika sudah membesar dan timbul gejala klinis.
Pemeriksaan fisik ini penting untuk mencatat data dasar keadaan umum pasien
dan keadaan awal tumor ketika didiagnosa.

e. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi standar, termasuk ultrasonografi dan Ct scan,
merupakan alat yang sensitif untuk mendiagnosis tumor peritonum sensitifitas
dari CT scan terhadap nodul peritoneal yang dapat menilai tumor sekecil 1 cm
(15-30%). Ultrasonografi sensitif mendiagnosis adanya asites, bowel loops,
penebalan pada mesentrium, dan “matting” pada omentum. Temuan Ct Scan
sering kali non spesifik pada karsinoma serosa papilar primer dari peritoneum.
Gambaran radiologi lain yang dapat dipertimbangkan adalah sebagai berikut :
- Beberapa penelitian menyebutkan bahwa MRI lebih efektif dan superior
dibandingkn CT scan dalam mendeteksi abdnormalitas dinding usus dan
peritoneal.
- PET (positron emission tomografi) tidak menunjukkan sensitifitas yang
tinggi pada lesi yang lebih kecil dari 1 cm di kavitas abdomen.
- Dual-time point setelah air karbonasi mungkin meningkatkan keakuratan
FDG PET/ CT untuk mendiagnosis kanker peritoneal pada pasien yang
menderita kanker kolorektal.
- Temuan dari radionuklida dapat membantu mengkonfirmasi diagnosis
hemangioma peritoneal. Ct scan dan ultrasound juga dapat membantu
mendeteksi hemangioma yang lebih besar. Evaluasi angiografi merupakan
prosedur yang lebih tepat guna, meskipun invasif, prosedur ini dapat
dipertimbangkan ketika pemeriksaan radionuklide, CT scan, dan USG nya
negatif (Santoshy & Raghav, 2016).

7
BAB III
MODALITAS RADIOLOGI

MDCT (multidetector computer tomography), MRI (magnetic resonance


imaging), PET (positron emission tomografi) dan kombinasi PET/MDCT menjadi
pemeriksaan pencitraan utama yang sering digunakan pada praktis klinis.
Meskipun ultrasonografi hanya memainkan peran kecil dalam keganasan
peritoneum, pemeriksaan ini merupakan pilihan utama untuk biopsi yang dipandu
dengan bantuan pencitraan dalam rangka menegakkan diagnosis melalui
pemeriksaan histologi (Jeremy, 2011).
1. Foto Polos abdomen
Pemeriksaan foto polos abdomen diindikasikan pada semua kelainan-
kelainan pada dan dari luar Traktus Urinarius yang dicurigai mempengaruhi
Traktus Urinarius. Pemeriksaan foto polos abdomen pada karsinoma peritoneal
primer yakni adanya distensi abdomen karena asites dimana pasien mengeluhkan
penurunan berat badan yang signifikan dan nyeri perut tidak spesifik pada
keseluruhan abdomen (Jeremy, 2011).

Gambar : adanya Kekurangan gas usus secara umum. Kepadatan lemak


dalam fossa iliaka kanan dengan kemungkinan kalsifikasi; sesuai dengan
dermoid.
2. Ultrasonografi
Diseminasi peritoneal adalah salah satu cara paling umum penyebaran
kanker pada pasien dengan intra-abdomen primer dan neoplasma berulang seperti

8
kanker lambung, pankreas, ovarium dan kolorektal. Faktor risiko untuk metastasis
peritoneum termasuk invasi serosa, ukuran tumor, tipe histologis dan derajat
erasiasi. Penyebaran metastasis peritoneum yang terkait dengan aliran alami
cairan peritoneum dan sel kanker non-permanen "bebas" pada permukaan serosa.
Sel kanker memiliki kapasitas yang tinggi untuk melekat pada lapisan
permukaan abdomen dan permukaan pelvic. Tempat yang paling umum dari
keterlibatan peritoneum termasuk ligamen peritoneal, mesenteries, omentum yang
lebih besar, permukaan peritoneum. USG digunakan untuk evaluasi lesi
metastasis di organ parenkim dan struktur jaringan superfisial seperti kelenjar
getah bening. Meskipun begitu, penggunaan ultrasonografi dengan teknik yang
lebih canggih dan semakin meningkatnya pengalaman ahli dalam
memvisualisasikan peritoneum yang tidak terbatas pada cairan asites saja, tapi
juga omentum mayor serta akar mesentrika (mesentric root), serta diseminata pada
peritoneal. Dibandingkan dengan pencitraan yang ditangkap menggunakan CT
scan dan MRI, pencitraan dengan sonografi memiliki banyak keterbatasan.
Sensitifitas dari ultrasonografi dalam mendeteksi karsinoma peritoneal tergantung
pada :
- Adanya cairan pada kavitas peritoneal
- Ukuran dari implan peritoneal
- Echostruktur dari implan peritoneal
- Penyakit adhesiva pada abdomen serta pelvic
(Stephano, & vostrov, 2017)

Gambar : hipoekoik implan nodular peritoneal yang berlokasi di parietal


peritoneum.

9
Gambar : “plak-like” yang berlokasi pada peritoneum parietal pada pasien dengan
kanker kolorektal rekuren.

Gambar : penebalan peritoneum pelvis (tanda panah merah) dan cairan pelvis pada
pasien dengan kanker ovarium primer. Penebalan peritoneum, baik lokal misalnya
pada douglas pouch maupun penebalan yang meluas (ke area pelvis dan abdomen).
Tipe echo pada hasil USG merupakan tipe yang ada pada karsinoma peritoneal.

Gambar : omental cake, adanya nodul metastasis yang hiperekoik dengan bentuk
iregular pada ruang retroperitoneal (panah kuning)

10
Gambar : pemeriksaan sonografi abdomen yang mendeteksi adanya keterlibatan
omentum mayor yang difus. Omentum terletak pada bagian anterior dan tampak
adanya penebalan berukuran > 30 mm yang isoekoik dari massa heterogen. sebuah
studi kasus pada wanita berusia 56 tahun dengan peningkatan serum CA 125.
Dimana pemeriksaan USG pada bagian pelvic nya menunjukkan adanya masa
ovarian solid bilateral yang hiperekoik, cairan multilokal, penebalan peritoneum
pelvis dan massa peritoneal soild masiv yang menyebar dan hiperekoik.
O= ovarian tumor; P=peritoneal solid masses F=peritoneal fluid

3. CT Scan
CT scan merupakan pemeriksaan sectional/ tomographic imaging ,
menggunakan sinar-X dan detektor serta sistem terkomputerisasi yang akan
menampilkan gambaran organ tubuh dalam bentuk irisan-irisan. Hampir seluruh
bagian tubuh dengan berbagai densitas (udara, lemak, jaringan lunak, tulang)
dapat diperiksa dengan CT scan. CT scan juga digunakan sebagai guidance pada
prosedur intervensional radiology seperti CT- guiding biopsy. Penggunaan CT
scan di bidang onkologi terutama untuk mengetahui perluasan tumor primer dan
mengetahui adanya tumor metastasis pada organ lain (radiological staging) dan
sebagai dasar dalam menentukan target volume pada perencanaan terapi radiasi.
Keuntungan dari penggunaan CT scan adalah gambaran yang dihasilkannya
sangat baik karena tidak adanya overlapping anatomi organ, dapat memeriksa
seluruh tubuh dalam satu kali pemeriksaan, dapat membedakan berbagai densitas
jaringan, dan cukup banyak tersedia. Tetapi karena menggunakan sinar-X,
pemeriksaan ini juga memberikan bahaya radiasi. (Shadev, 2011)
MDCT ditetapkan sebagai modalitas pencitraan primer dalam dasar
pemilihan evaluasi penyakit keganasan pada peritoneal. Berbagai alasan seperti

11
mudah digunakan, singkat, pemindaian bagian yang tipis dan reformasi
multiplanar menjadikan MDCT sebagai modalitas pencitraan yang ideal.
Pencitraan setelah pemberian kontras intravena dan kontral densitas melalui oral
biasanya diperlukan untuk mendeteksi adanya deposit pada bagian peritoneal.
Penggunaan agen kontras via oral, sangat berguna bila ingin mendeteksi deposit
serosa pada usus halus (khususnya yang kistik), dengan cara meningkatkan
resolusi kontrasnya. Meskipun begitu, tindakan ini juga dapat membatasi
pemeriksaan deposit peritonel yang mengalami kalsifikasi serosa. Secara
keseluruhan MDCT memiliki tingkat sensitifitas sebesar 25-100% dan spesifitas
sebesar 78-100%. MDCT sering digunakan untuk mengklasifikasikan stadium
tumor saat perioperatif. Deposit tumor yang berkuran kurang dari 5 mm serta pada
lokasi anatomi tertentu (root dari mesentrium, omentum minor, hemidiafragma
kiri, dan permukaan serosa dari usus kecil) yang berkaitan dengan penurunan
sensitifitas deteksi dari CT scan (11-48%) (Daisy & Victor, 2018).

Gambar : gambaran radiologi seorang pria berusia 68 tahun dengan mesotelioma


peritoneal maligna. Gambar A terdapat peningkatan ekogenitas pada hasil CT scan
yang menunjukkan adanya penebalan omentum dan peritoneal. Serta adanya
pelipatan (panah putih, gambar B) dari mesentrium usus kecil.

Volume asites yang diteliti pada tumor ini bervariasi, namun yang mengenai
peritoneal secara difus dengan adanya penebalan yang tampak seperti lembaran
dari peritoneum dan nodul yang menyebar serta plak sering berkaitan dengan
dengan sejumlah volume asites yang cukup banyak. Pola ini disebut juga dengan
tipe basah, yang biasanya bergejala sebagai distensi abdomen serta rasa
begah/tidak nyaman. (Issac, 2017)

12
Gambar : gambaran CT scan kontras korona- temuan volume asites berjumlah
sedang yang tampak pada tipe basah. (panah putih)

Gambar : Origin of the mass. Positive beak sign: diagram (A) and CT scan after
CM administration (B). The appearance is supported by parenchymal tokens that
“envelop” the tumor. The lesion originates from the organ (renal mass). Negative
beak sign: diagram (C) and CT scan after contrast medium administration (D). The
tumor does not originate from the organ, which is also compressed. An acute angle

13
forms at the contact points between the resident organ and the lesion as shown in (c)
(retroperitoneal mass). E, F Phantom organ sign: diagram (E) and CT scan after
CM administration (F). The tumor’s originating organ (right kidney) appears
totally incorporated By the tumor and is no longer recognizable (F). Negative
Embedded organ sign: diagram (G) and CT scan after CM administration (H). The
wall of a hollow viscus is compressed extrinsically From the tumor creating a
crescent shape (arrowheads)

Berlawanan dengan tipe basah, ada tipe kering yakni berupa massa
jaringan lunak terlokalisir dan tidak ada atau sedikit sekali asites disertai nyeri
perut. Bukti adanya nodul dan metastasis jauh pada mesotelioma peritoneal
maligna jarang, namun invasi lokal sering terlihat terutama ke daerah
sekitarnya seperti dinding abdomen, hepar, dan organ intraperitoneal lain.

A B
Gambar : seorang pria berusia 67 tahun dengan mesotelioma peritoneal
maligna difus. Gambar A dan B menunjukkan adanya massa jaringan lunak
peritoneal dengan adanya invasi pada hepar (panah putih pada gambar B), dan
adanya plak kalsifikasi pleura yang mengindikasikan pada pasien telah terjadi
paparan terhadap asbestosis. Tidak ada asites yang tampak. Gambaran
radiologi ini sesuai dengan tipe kering.

A B

14
Gambar : gambar A  wanita berusia 63 tahun dengan mesotelioma peritoneal
maligna fokal. Temuan CT scannya menujukkan adanya lesi jaringan lunak
diskret (panah putih) pada bagian inferior lobus kanan hepar, yang temuan
histologinya merupakan subtipe epiteloid.
Gambar B  pria berusia 69 tahun dengan mesotelioma periotenal maligna.
Temuan CT scannya menunjukkan adanya massa jaringan lunak (panah putih)
di omentum mayor dan adanya asites. Secara histologi tumor ini termasuk
subtipe sarkomatosa.

Gambar : seorang pria berusia 29 tahun dengan DSRCT peritoneum. Temuan


CT scan aksialnya menunjukkan adanya massa jaringan lunak pada omentum
mayor dengan kalsifikasi fokal multiple dan tidak ditemukan adanya asites.

Gambar : seorang wanita berusia 76 tahun dengan karsinoma serosa primer


pada omentum mayor. Tampak infiltrasi jaringan lunak pada omentum mayor
yang difus (panah putih pada gambar A) dan penebalan peritoneal (panah
putih, B). Tidak ditemukan adanya massa ovarium merupakan temuan
radiologi yang penting dan observasi histologi penting dilakukan untuk
menegakkan diagnosis.

15
Gambar : peritoneum limfoma burkit primer pada pria berusia 36 tahun.
Gambar A menunjukkan gambaran CT scan yang menunjukkan adanya
penebalan peritoneal seperti lembaran (panah putih), dan gambaran B
tampak adanya lipatan mesentrik, asites, dan konsisten dengan limfomatosis
difus. Gambar C menunjukkan hasil pencitraan pada pasien setelah 7 bulan,
yang mengisyaratkan respon pengobatan yang baik.

Bila tidak ditemukan lesi primer, gambaran radiologi dari keganasan


peritoneal sekunder biasanya tidak spesifik, dan konfirmasi histologinya
kebanyakan diperlukan untuk menegakkan diagnosis. Biopsi yang dipandu
dengan pencitraan peritoneum dan massa omentum merupakan prosedur yang
aman serta efektif. Selain itu, terdapat laporan yang menyatakan bahwa sebanyak
111 pasien dengan tumor primer ternyata mengalami juga tumor sekunder sebesar
10% kasus. Diagnosis jaringan yang akurat merupakan hal penting jika
kemoterapi intraperitoneal dilakukan, agar dapat meningkatkan
survival/kelangsungan hidup pasien tersebut. (Santhoshy & Raghav, 2016)

4. MRI
MRI bisa memberikan keterangan tambahan mengenai penyebaran tumor.
MRI dapat mengungkapkan adanya invasi tumor pada vena renalis dan vena cava
tanpa membutuhkan kontras, tetapi kelemahannya adalah kurang sensitif
mengenali lesi solid yang berukuran kurang dari 3 cm. MRI juga bermanfaat
untuk magnetic resonance venography untuk membantu diagnosis trombus pada
vena renalis. MRI dapat menunjukkan informasi penting untuk menentukan
perluasan tumor di dalam vena cava inferior termasuk perluasan ke
daerah intarkardial. (Shadev, 2011)

16
Peran MRI pada keganasan peritoneal meningkat secara signifikan dalam
dekade terakhir, utamanya karena peningkatan akses penggunaan, teknologi, serta
protokol. Pencitraan MR bila dibandingkan dengan MDCT adalah lebih baik
dalam mendeteksi deposit pada peritoneal (>1 cm). Penggunaan supresor lemak,
sekuens postgadolinium yang tertunda dan zat kontras enterik yang larut dalam air
memungkinkan sensitifitas MRI yang lebih baik dibandingkan dengan CT.
Peningkatan ekogenitas peritoneum normal harus sama dengan atau kurang dari
pada hepar. Peningkatan ekogenitas yang lebih besar dari pada hepar bisa
dikatakan tidak normal. MRI adalah modalitas pencitraan pilihan dalam dalam
memperkirakan derajat/stadium keganasan primer karena resolusi kontrasnya
yang superior. Biasanya, massa omentris dan mesenterika intensitas sinyal T1-
weighted dan T2-weighted nya lebih tinggi dari pada jaringan lunak sekitar.
Deposit subsentimeter yang kecil (bila tidak ditemukan asites) sangat baik dilihat
menggunakan T2-weighted supresi lemak dan T1-weighted supresi lemak dari
MRI.
Dibalik keunggulannya, MRI merupakan alat yang termasuk tidak
ekonomis, proses pengambilan gambar yang memakan waktu lama, dan berbagai
kontraindikasi pada pasien sebelum menggunakan MRI, membuatnya menjadi
modalitas pilihan kedua dalam mendeteksi deposit pada peritoneal. (Wissam,
2016)

A B
Gambar : mesotelioma maligna difus pada wanita usia 47 tahun yang mengeluhkan
nyeri perut serta distensi. Pencitraan MRI axial pada bagian pelvis menunjukkan
adanya asites dan massa tumor nodular yang isointense relative terhadap otot
dengan T1-weighting (panah gambar A) dan hiperintense relatif terhadap otot
dengan T2-weighting (panah gambar B).

17
Gambar : mesotelioma multikistik pada pasien wanita usia 60 tahun dengan massa
pelvis yang teraba saat pemeriksaan fisik palpasi. Gambar (a) pencitraan MRI T2-
weighted yang menunjukkan adanya massa kista multisepta (panah putih)
sepanjang permukaan peritoneal pada uterus dan ligamen. Gambar (b) sagital
gadolinium-enhance MRI yang menunjukkan adanya peningkatan ekogenitas dari
septa (panah putih) dan perluasan massa ke dalam cul-de-sac.

Gambar : Anterior displacement of the ascending colon. Computed tomographic


(CT) scan shows a bulky mass that is difficult to localize at first glance. However,

18
anterior displacement of the ascending colon (arrow) confirms that the mass is in the
retroperitoneal space. The mass proved to be liposarcoma.
(2) Anterior displacement of the aorta. Axial T2-weighted magnetic resonance (MR)
image of the abdomen shows a homogeneous, hypointense mass that surrounds the
aorta and displaces it anteriorly. The mass proved to be lymphoma.
(3) Anterior displacement of the inferior mesenteric vein.
(a) Transverse contrast material–enhanced CT scan shows a well-defined enhancing
mass that is posterior to the pancreas but lacks the mass effect to compress adjacent
major organs.
(b) CT scan shows anterior displacement of the inferior mesenteric vein (arrow), a
finding that confirms that the mass is located in the retroperitoneum. The mass
proved to be capillary hemangioma.

Gambar : Leiomyosarcoma in a 48-year-old woman a. Transverse contrast-


enhanced CT scan reveals ahugemass adjacent to the left kidney that displaces the
spleen and pancreas anteriorly The mass has heterogeneous enhancement with
central non enhancing foci that suggest necrosis.Enhanced vessels (arrow) are seen
to penetrate the mass,a finding that reflects hypervascularity. (b) On aT2-weighted
MR image,the mass is heterogeneous but relatively hypointense.The central portion
has high signal intensity (arrow),a finding that represents necrosis.

19
DAFTAR PUSTAKA

Angela, & Javier. (2008). Primary Peritoneal Tumors: Imaging Features with
Pathologic Correlation. AFIP, 28(2), 583-589.

Catalina, Oscar, & Diego. (2010). IMAGING EVALUATION OF PRIMARY


AND SECONDARY PERITONEAL MALIGNANCIES. radiology,
21(3), 1-11.

Daisy, & Victor. (2018). the many faces of peritoneal carcinomatosis early and
challengin presentations . 1-20.
Far RF, Roberts PJA. (2007). Positron Emission Tomography – a radiological
technique for functional imaging. Stockholm

Issac. (2017). tumor and tumor like conditions of the peritoneum and
omentum/mesentry. michigan medicine'departement of radiology.
Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. (2007). Buku Ajar Patologi Robbins. Edisi 7.
Volume 2. Alih bahasa oleh Brahm U Pendit. Jakarta: EGC

Patrick'anthonela, & michael. (2013). Neoplastic Diseases of the peritoneum and


mesentry. radiology journal, 422-425.
Pringgoutomo S, Himawan S, Tjarta A. (2002). Patologi (Umum). Sagung Seto,
Jakarta

Santoshy, & raghav. (2016). Role of Imaging in Peritoneal Surface Malignancies.


Indian J surg oncol, 441-452.

Savelli, & dkk. (2015). Transvaginal sonographic features of peritoneal


carcinomatosis. 26, 552-557.

Shadev, a. (2011). PET, MRI, dan CT imaging of peritoneal malignancy. e-med,


11, 123-139.

Stephano, & vostrov. (2017). Ultrasound-based initial diagnosis of peritoneal


carcinomatosis in patients with late-stage tumours. EPOS, 1-25. Retrieved
from www.myESR.org

Wissam. (2016). peritoneal cancer. Retrieved from


https://emedicine.medscape.com/article/281107-overview

20

Anda mungkin juga menyukai