Anda di halaman 1dari 16

KLASIFIKASI DAN MANIFESTASI KLINIS

Tabel 3
Zona spektrum kusta menurut berbagai klasifikasi.2
Klasifikasi Zona Spektrum Kusta
Ridley & Jopling TT BT BB BL LL
Madrid Tuberkuloid Borderline Lepromatosa
WHO Pausibasilar (PB) Multibasilar (MB)
Puskesmas PB MB

Multibasilar berarti mengandung banyak basil yaitu tipe LL, BL dan BB. Sedangkan
pausibasilar berarti mengandung sedikit basil, yakni tipe TT, BT dan I. menurut WHO pada
tahun 1981, kusta dibagi menjadi multibasilar dan pausibasilar. Yang termasuk dalam
multibasilar adalah tipe LL, BL dan BB pada klasifikasi Ridley-Jopling dengan indeks
bakteri (IB) lebih dari 2+ sedangkan pausibasilar adalah tipe I, TT dan BT dengan IB kurang
dari 2+.2
Untuk kepentingan pengobatan pada tahun 1987 telah terjadi perubahan. Yang
dimaksud dengan kusta tipe pausibasilar (PB) adalah kusta dengan BTA negatif pada
pemeriksaan kerokan kulit, yaitu tipe I, TT dan BT menurut klasifikasi Ridley-Jopling. Bila
pada tipe-tipe tersebut disertai BTA positif, maka akan dimasukkan ke dalam kusta
multibasilar (MB). Sedangkan kusta tipe MB adalah semua penderita kusta tipe BB, BL dan
LL.2
Menurut WHO, kusta dibagi menjadi 2 bentuk yaitu pausi basiler (indeterminate dan
tuberculoid) dan multi basiler (borderline dan lepromatous).

Tabel 2.1 Bagan Diagnosis Klinis menurut WHO


PB (Pausibasilar) MB (Multibasilar)
Lesi kulit (makula yang 1-5 lesi >5 lesi
datar, papul yang Hipopigmentasi/eritema Distribusi lebih
meninggi, infiltrate, Distribusi tidak simetris simetris
plak eritem, nocus)
Kerusakan saraf Hilangnya sensasi yang Hilangnya sensasi
(menyebabkan jelas kurang jelas
hilangnya
sensasi/kelemahan otot Hanya satu cabang saraf Banyak cabang saraf
yang dipersarafi oleh
saraf yang terkena
BTA Negatif Positif
Tipe Indeterminate (I), Lepromatosa (LL),
Tuberkuloid (T), Borderline lepromatous
Borderline tuberkuloid (BL), Mid borderline
(BT) (BB)

Berdasarkan klasifikasi Ridley and Jopling, penyakit kusta dibagi menjadi :


a. Indeterminate leprosy (I): makula hipopigmentasi, terkadang makula eritema. Kehilangan
rasa sensoris belum ada. Sekitar 75% penderita mengalami kesembuhan spontan,
sedangkan pada yang lainnya akan tetap pada bentuk ini sampai ketika imunitas
menurun, maka akan berubah menjadi bentuk yang lain.
b. Tuberculoid leprosy (TT): lesi kulit minimal. Biasanya hanya berupa satu plak eritem
dengan bagian tepi yang meninggi. Predileksi pada wajah, ekstremitas, intertriginosa, dan
kepala. Lesi kering, skuama, hipohidrotik, dan tanpa rambut. Pada bentuk ini, lesi pada
kulit sudah mengalami anestesi.
c. Bordeline tuberculoid leprosy (BT): lesi sama dengan tipe tuberculoid, namun lesi lebih
kecil dan banyak. Berupa makula anestesi atau plak yang disertai lesi satelit di
pinggirnya. Gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit dan skuama tidak jelas. Saraf
tidak terlalu membesar dan tidak terlalu menyebabkan alopesia dibandingkan tipe
tuberculoid. Bentuk ini biasanya bertahan/tetap, namun dapat kembali pada tipe
tuberkuloid atau progresif menuju bentuk lepromatosa.
d. Borderline borderline leprosy (BB): tipe yang paling tidak stabil, disebut juga dimorfik
dan jarang dijumpai. Lesi kulit banyak, merah, berupa plak ireguler. Lesi sangat
bervariasi baik ukuran, bentuk, maupun distribusinya. Bisa didapatkan lesi punched out
yaitu hipopigmentasi yang oval pada bagian tengah. Distribusi menyerupai bentuk
lepromatosa, namun asimetris. Dapat terjadi adenopati regional.
e. Borderline lepromatous leprosy (BL): lesi banyak dan terdiri atas makula, papula, plak
dan nodul. Terdapat lesi punched-out annular. Anestesi tidak terjadi.
f. Lepromatous leprosy (LL): lesi awal berupa makula yang pucat. Makula kecil, difus dan
simetris. Anetesi tidak terjadi pada bentuk ini, saraf tidak menebal, dan hidrotik.
Hilangnya rangsang saraf lambat dan progresif.

Tabel 2.2 Gambaran klinis, Bakteriologis, dan Imunologik Kusta PB


Karakteristik Tuberculoid Borderline Indeterminate
Leprosy (TT) Tuberkuloid (BT) Leprosy (I)
Lesi
Bentuk Makula atau Makula dibatasi
makula dibatasi infiltrat; infiltrat Hanya infiltrat
infiltrat saja
Jumlah Satu atau Satu dengan lesi Satu atau
beberapa satelit beberapa
Distribusi Terlokasi dan
Asimetris Bervariasi
asimetris
Permukaan Halus agak
Kering,skuama Kering, skuama
berkilat
Anestesia Jelas Jelas Tidak ada sampai
tidak jelas
Batas Dapat jelas atau
Jelas Jelas
tidak jelas
BTA
Pada lesi kulit Negatif Negatif, atau 1+ Biasanya negatif
Tes Lepromin Dapat positif
Positif kuat (3+) Positif lemah lemah atau
negatif
*Tes Lepromin (Mitsuda) untuk membantu penentuan tipe, hasilnya baru dapat diketahui setelah
3 minggu

Tabel 2.3 Gambaran klinis, Bakteriologis, dan Imunologik Kusta MB


Karakteristik Borderline
Lepromatosa Mid-borderline
Lepromatosa
Leprosy (LL) (BB)
(BL)
Lesi
Bentuk Makula, infiltrat Plak, lesi bentuk
Makula, plak,
difus, papul, kubah, lesi punched
papul
nodus out
Jumlah Banyak distribusi
Banyak tapi kulit Beberapa, kulit
luas, praktis tidak
sehat masih ada sehat (+)
ada kulit sehat
Distribusi Cenderung
Simetris Asimetris
simetris
Permukaan Sedikit berkilap,
Halus berkilat Halus berkilat
beberapa lesi kering
Anestesia Tidak jelas Tidak jelas Lebih jelas
Batas Tidak jelas Agak jelas Agak jelas
BTA
Pada lesi Banyak Banyak Agak banyak
kulit
Sekret Biasanya tidak
Banyak Tidak ada
hidung ada
Tes
Negatif Negatif Biasanya negatif
Lepromin

TT BT I

LL BL BB

Gambar 2.2 Tipe Kusta


Gambar 2.3 Foto Manifestasi Tuberculoid Lepra di Punggung

Gambar 2.4 Foto Manifestasi Tuberculoid Lepra di Wajah

DIAGNOSIS BANDING

Beberapa hal penting dalam menentukan diagnosis banding lepra :

1. Ada Makula hipopigmentasi


2. Ada daerah anestesi
3. Pemeriksaan bakteriologi memperlihatkan basil tahan asam
4. Ada pembengkakan/pengerasan saraf tepi atau cabang-cabangnya.
1. Tipe I (makula hipopigmentasi) : tinea versikolor, vitiligo, pitiriasis rosea, dermatitis seboroika, liken simpleks
kronik.
2. Tipe TT (makula eritematosa dengan pinggir meninggi) : tinea korporis, psoriasis,lupus eritematosus tipe
discoid, pitiriasis rosea
3. Tipe BT, BB, BL (infiltrat merah tak berbatas tegas) : selulitis, erysipelas, psoriasis.

REAKSI KUSTA

Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang
sebenarnya sangat kronik.1 Penyakit kusta yang merupakan suatu reaksi kekebalan (cellular
response) atau reaksi antigen antibody (humoral response). Reaksi ini dapat terjadi sebelum
pengobatan, tetapi terutama terjadi selama atau setelah pengobatan. Dari segi imunologis
terdapat perbedaan prinsip antara reaksi tipe 1 dan tipe 2, yaitu pada reaksi tipe 1 yang
memegang peranan adalah imunitas seluler (SIS), sedangkan pada reaksi tipe 2 yang memegang
peranan adalah imunitas humoral.

Tabel 2.7 Perbedaan Reaksi Kusta Tipe 1 dan Tipe 2


No. Gejala/tanda Tipe I (reversal) Tipe II (ENL)
1 Kondisi umum Baik atau demam ringan Buruk, disertai malaise dan
febris
2 Peradangan di Bercak kulit lama menjadi Timbul nodul kemerahan,
kulit lebih meradang (merah), lunak, dan nyeri tekan.
dapat timbul bercak baru Biasanya pada lengan dan
tungkai. Nodul dapat pecah
(ulserasi)
3 Waktu terjadi Awal pengobatan MDT Setelah pengobatan yang
lama, umumnya lebih dari 6
bulan
4 Tipe kusta PB atau MB MB
5 Saraf Sering terjadi Dapat terjadi
Umumnya berupa nyeri tekan
saraf dan atau gangguan
fungsi saraf
6 Keterkaitan organ Hampir tidak ada Terjadi pada mata, KGB,
lain sendi, ginjal, testis, dll
7 Faktor pencetus  Melahirkan  Emosi
 Obat-obat yang  Kelelahan dan stress
meningkatkan fisik lainnya
kekebalan tubuh  kehamilan

Tabel 2.8 Perbedaan Reaksi Kusta Ringan dan Berat tipe 1 dan tipe 2
No Gejala/tanda Tipe I Tipe II
Ringan Berat Ringan Berat
1. Kulit Bercak : Bercak : Nodul : Nodul : merah,
merah, merah, merah,panas,nyeri panas, nyeri yang
tebal, tebal, bertambah parah
panas, nyeri panas, sampai pecah
nyeri
yang
bertambah
parah
sampai
pecah
2 Saraf tepi Nyeri pada Nyeri Nyeri pada Nyeri pada perabaan
perbaan (-) pada perabaan (-) (+)
perabaan
(+)
3 Keadaan Demam (-) Demam Demam (+) Demam (+)
umum (+)
4 Keterlibatan - - - +
organ lain Terjadi peradangan
pada :
 mata :
iridocyclitis
 testis :
epididimoorchiti
s
 ginjal : nefritis
 kelenjar limpa :
limfadenitis
 gangguan pada
tulang, hidung,
dan tenggorokan
*bila ada reaksi pada lesi kulit yang dekat dengan saraf, dikategorikan sebagai reaksi
berat

Fenomena Lucio
Fenomena lucio merupakan reaksi kusta yang sangat berat yang terjadi pada kusta tipe
lepromatosa non nodular difus. Kusta tipe ini terutama ditemukan di Meksiko dan Amerika
tengah, namun dapat juga dijumpai di negeri lain dengan prevalensi rendah.
Gambaran klinis dapat berupa plak atau infiltrat difus, berwarna merah muda, bentuk
tidak teratur dan terasa nyeri. Lesi terutama di ekstemitas, kemudian meluas meluas ke
seluruh tubuh. Lesi yang berat tampak lebih eritematous, disertai purpura dan bula kemudian
dengan cepat terjadi nekrosis serta ulserasi yang nyeri. Lesi lambat menyembuh dan akhirnya
terbentuk jaringan parut.
Gambaran histopatologi menunjukkan nekrosis epidermal ismemik dengan nekrosis
pembuluh darah superfisial, edema dan proliferasi endotelial pembuluh darah lebih dalam.
Didapatkan banyak basil M. leprae di endotelial kapiler. Walaupun tidak ditemukan infiltrat
polimorfonuklear seperti pada E.N.L., namun dengan imunoflouresensi tampak deposit
immunoglobulin dan komplemen di dalam dinding pembuluh darah. Titer kompleks imun
yang beredar dan krioglobulin sangat tinggi pada semua penderita.

PENATALAKSANAAN
Tujuan utama yaitu memutuskan mata rantai penularan untuk menurunkan insiden
penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita, mencegah timbulnya penyakit, untuk
mencapai tujuan tersebut, strategi pokok yg dilakukan didasarkan atas deteksi dini dan
pengobatan penderita.
Pengobatan kusta disarankan memakai program Multi Drugs Therapy (MDT) dengan
kombinasi rifampisin, klofazimin, dan DDS, direkomendasikan oleh WHO sejak 1981. Tujuan
dari program MDT adalah: mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, menurunkan
angka putus obat (drop-out rate) dan ketidaktaatan penderita.
Obat antikusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS, klofazimin dan
rifampicin. Pada tahun 1998 WHO menambahkan 3 obat antibiotik lain untuk pengobatan
alternatif yaitu ofloksasin, minosiklin, dan klaritomisin.

DDS (Dapsone)
Merupakan singkatan dari Diamino Diphenyl Sulfon. Dapson bersifat bakteriostatik
dengan menghambat enzim dihidrofolat sintetase. Dapson bekerja sebagai anti metabolit PABA.
Indeks morfologi kuman penderita LL yang diobati dengan Dapson biasanya menjadi nol setelah
5 sampai 6 bulan.
Dosis: dosis tunggal yaitu 50-100 mg/hari untuk dewasa atau 2 mg/kg berat badan untuk anak-
anak.
Efek samping: erupsi obat, anemia hemolitik, leukopenia, insomnia, neuropatia,
nekrolisis epidermal toksik, hepatitis dan methemoglobinemia. Efek samping tersebut
jarang dijumpai pada dosis lazim.
Rifampisin
Rifampisin merupakan bakterisidal kuat pada dosis lazim dan merupakan obat paling
ampuh untuk kusta saat ini. Rifampisin bekerja menghambat enzim polimerase RNA yang
berikatan secara irreversibel. Namun obat ini harganya mahal dan telah dilaporkan adanya
resistensi.
Dosis: dosis tunggal 600 mg/hari (atau 5-15 mg/kgBB) mampu membunuh kuman kira-kira
99.9% dalam waktu beberapa hari.
Efek samping: hepatotoksik, nefrotoksik, gejala gastrointestinal dan erupsi kulit.
Klofazimin
Obat ini bersifat bakteriostatik setara dengan dapson. Diduga bekerja melalui gangguan
metabolisme radikal oksigen. Obat ini juga mempunyai efek anti inflamasi sehingga berguna
untuk pengobatan reaksi kusta.
Dosis: 50 mg/hari atau 100 mg tiga kali seminggu dan untuk anak-anak 1 mg/kgBB/hari. Selain
itu dosis bulanan 300 mg juga diberikan setiap bulan untuk mengurangi reaksi tipe I dan II.
Efek samping: hanya terjadi pada dosis tinggi berupa gangguan gastrointestinal (nyeri
abdomen, diare, anoreksia dan vomitus).

Obat alternatif
Ofloksasin
Merupakan turunan fluorokuinolon yang paling aktif terhadap M. leprae in vitro. Dosis
optimal harian adalah 400 mg. Dosis tunggal yang diberikan dalam 22 dosis akan membunuh
kuman M. leprae hidup sebesar 99,99%. Efek sampingnya adalah mual, diare, dan gangguan
saluran cerna lainnya, berbagai gangguan susunan saraf pusat termasuk insomnia, nyeri kepala,
dizziness, nervousness dan halusinasi.
Minoksiklin
Termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidalnya lebih tinggi daripada
klaritromisin, tetapi lebih rendah daripada rifampisin. Dosis standar harian adalah 100 mg. Efek
sampingnya adalah pewarnaan gigi bayi dan anak-anak, kadang-kadang menyebabkan
hiperpigmentasi kulit dan membran mukosa, berbagai simtom saluran cerna dan susunan saraf
pusat, termasuk dizziness dan unsteadiness.
Klaritromisin
Merupakan kelompok antibiotik makrolid dan mempunyai aktivitas bakterisidal terhadap
M. leprae pada tikus dan manusia. Pada penderita kusta lepromatosa, dosis harian 500 mg dapat
membunuh 99% kuman hidup dalam 28 hari dan lebih dari 99% dalam 56 hari. Efek sampingnya
adalah nausea, vomitus dan diare.
Regimen Pengobatan Kusta tersebut (WHO/DEPKES RI). PB dengan lesi tunggal
diberikan ROM (Rifampicin Ofloxacin Minocyclin). Pemberian obat sekali saja langsung RFT
(Release From Treatment). Obat diminum di depan petugas. Anak-anak dan ibu hamil tidak di
berikan ROM. Bila obat ROM belum tersedia di Puskesmas, pasien diobati dengan regimen
pengobatan PB lesi (2-5). Bila lesi tunggal dengan pembesaran saraf diberikan: regimen
pengobatan PB lesi (2-5).
Penatalaksanaan kusta menggunakan MDT menurut WHO tahun 1998 adalah sebagai
berikut:

Tabel 2.4 Regimen pengobatan kusta dengan lesi tunggal (ROM) menurut WHO/DEPKES
RI

Rifampicin Ofloxacin Minocyclin

Dewasa 600 mg 400 mg 100 mg

Anak 300 mg 200 mg 50 mg

(5-14 th)

PB dengan lesi 2-5. Lama pengobatan 6 dosis ini bisa diselesaikan selama (6-9) bulan.
Setelah minum 6 dosis ini dinyatakan RFT (Release From Treatment) yaitu berhenti minum
obat.

Tabel 2.5 Regimen MDT pada kusta Pausibasiler (PB)

Rifampicin Dapson
Dewasa 600 mg/bulan 100 mg/hr diminum di
rumah
Diminum di depan
petugas kesehatan
Anak-anak 450 mg/bulan 50 mg/hari diminum di
rumah
(10-14 th) Diminum di depan
petugas kesehatan

MB (BB, BL, LL) dengan lesi >5. Lama pengobatan 12 dosis ini bisa diselesaikan selama
12-18 bulan. Setelah selesai minum 12 dosis obat ini, dinyatakan RFT (Realease From
Treatment) yaitu berhenti minum obat. Masa pengamatan setelah RFT dilakukan secara pasif
untuk tipe PB selama 2 tahun dan tipe MB selama 5 tahun.

Tabel 2.6 Regimen MDT pada kusta Multibasiler (MB)

Rifampicin Dapson Lamprene

Dewasa 600 mg/bulan 100 mg/hari diminum 300 mg/bulan


diminum di depan di rumah diminum di depan
petugas kesehatan petugas kesehatan
dilanjutkan dengan
50 mg/hari diminum
di rumah

Anak-anak 450 mg/bulan 50 mg/hari diminum 150 mg/bulan


diminum di depan di rumah diminum di depan
(10-14 th)
petugas petugas kesehatan
dilanjutkan dengan
50 mg selang sehari
diminum di rumah
Obat morbus hansen dari WHO

PENCEGAHAN CACAT
Penderita kusta yang terlambat didiagnosis dan tidak mendapat MDT mempunyai resiko
tinggi untuk terjadinya kerusakan saraf. Selain itu, penderita dengan reaksi kusta, terutama reaksi
reversal, lesi kulit multipel dan dengan saraf yang membesar atau nyeri juga memiliki resiko
tersebut.
Kerusakan saraf terutama berbentuk nyeri saraf, hilangnya sensibilitas dan berkurangnya
kekuatan otot. Penderitalah yang mula-mula menyadari adanya perubahan sensibilitas atau
kekuatan otot. Keluhan berbentuk nyeri saraf atau luka yang tidak sakit, lepuh kulit atau hanya
berbentuk daerah yang kehilangan sensibilitasnya saja. Juga ditemukan keluhan sukarnya
melakukan aktivitas sehari-hari, misalnya memasang kancing baju, memegang pulpen atau
mengambil benda kecil, atau kesukaran berjalan. Keluhan tersebut harus diperiksa dengan teliti
dengan anamnesis yang baik tentang bentuk dan lamanya keluhan, sebab pengobatan dini dapat
mengobati, sekurangnya mencegah kerusakan berlanjut.
Cara terbaik untuk melakukan pencegahan cacat atau prevention of disabilities (POD)
adalah dengan melaksanakan diagnosis dini kusta, pemberian pengobatan MDT yang cepat dan
tepat. Selanjutnya dengan mengenali gejala dan tanda reaksi kusta yang disertai gangguan syaraf
serta memulai pengobatan dengan kortikosteroid sesegera mungkin. Bila terdapat gangguan
sensibilitas, penderita diberi petunjuk sederhana misalnya memakai sepatu untuk melindungi
kaki yang telah terkena, memakai sarung tangan bila bekerja dengan benda yang tajam atau
panas, dan memakai kacamata untuk melindungi matanya. Selain itu diajarkan pula cara
perawatan kulit sehari-hari. Hal ini dimulai dengan memeriksa ada tidaknya memar, luka atau
ulkus. Setelah itu tangan dan kaki direndam, disikat dan diminyaki agar tidak kering dan pecah.2
WHO Expert Committee on Leprosy membuat klasifikasi cacat pada tangan, kaki dan
mata bagi penderita kusta. Berikut adalah klasifikasi cacat pada penderita kusta :
Cacat pada tangan dan kaki
Tingkat 0 : tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada kerusakan atau deformitas yang terlihat.
Tingkat 1 : ada gangguan sensibilitas, tanpa kerusakan atau deformitas yang terlihat.
Tingkat 2 : terdapat kerusakan atau deformitas.

Cacat pada mata


Tingkat 0 : tidak ada kelainan atau kerusakan pada mata (termasuk visus).
Tingkat 1 : ada kelainan atau kerusakan pada mata, tetapi tidak terlihat, visus sedikit
berkurang.
Tingkat 2 : ada kelainan mata yang terlihat (misalnya lagoftalmos, iritis, kekeruhan kornea)
dan atau visus sangat terganggu.

PROGNOSIS

Bergantung pada seberapa luas lesi dan tingkat stadium penyakit. Kesembuhan
bergantung pula pada kepatuhan pasien terhadap pengobatan. Prognosis cukup baik, bila semua
lesi diobati dengan tekun dan menyeluruh. Terkadang pasien dapat mengalami kelumpuhan
bahkan kematian, serta kualitas hidup pasien menurun.

DAFTAR PUSTAKA

1. A.Kosasih, I Made Wisnu, Emmy Sjamsoe – Dili, Sri Linuwih Menaldi. Kusta. 2010.
Dalam: Djuanda,Adhi dkk.(ed). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Kelima. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI;h. 73-88.

2. Lewis S. Leprosy. Update 4 Februari 2010. Diunduh dari:


http://emedicine.medscape.com/article/1104977-overview#showall
3. World Health Organization. WHO model prescribing information: drug used in leprosy.
Diunduh dari: http://apps.who.int/medicinedocs/en/d/Jh2988e/1.html

4. Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI. 2008. Fritzpatrick’s Dermatology in General Medicine.
7th Edition. Mc Graw Hill;h. 1787-96.

5. Adhi D, Mochtar H, Siti A. Ilmu penyakit kulit kelamin edisi kelima. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI;2007.

Anda mungkin juga menyukai