Morbus Hansen
Diajukan Oleh :
Esha Putriningtyas Setiawan J510170106
Fitria Shirley Melinda J510170103
Wahyu Dwi Tanjung Sari J510170109
Pembimbing
dr Eko Rini Puji Rahayu Sp. KK
Referat
Morbus Hansen
Diajukan Oleh:
Esha Putriningtyas Setiawan J510170106
Fitria Shirley Melinda J510170103
Wahyu Dwi Tanjung Sari J510170109
Dipresentasikan kepada :
dr Eko Rini Puji Rahayu Sp. KK (........................................)
Pembimbing:
dr Eko Rini Puji Rahayu Sp. KK (........................................)
2
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit kusta atau dikenal juga dengan nama lepra dan Morbus Hansen
merupakan penyakit yang telah menjangkit manusia sejak lebih dari 4000 tahun
yang lalu. Kata lepra merupakan terjemahan dari bahasa Hebrew, zaraath, yang
sebenarnya mencakup beberapa penyakit kulit lainnya. Kusta juga dikenal dengan
istilah kusta yang berasal dari bahasa India, kushtha. Nama Morbus Hansen ini
sesuai dengan nama yang menemukan kuman, yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen
pada tahun 18742.
Kusta adalah penyakit kronik granulomatosa yang terutama mengenai kulit,
saluran pernapasan atas dan sistem saraf perifer. Penyebab kusta adalah
Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat, dan pada tahun 2009 telah
ditemukan penyebab baru yaitu Mycobacterium lepramatosis. Kusta dahulu dikenal
dengan penyakit yang tidak dapat sembuh dan diobati, namun sejak tahun 1980,
dimana program Multi Drug Treamtment (MDT) mulai diperkenalkan, kusta dapat
didiagnosis dan diterapi secara adekuat, tetapi sayangnya meskipun telah dilakukan
terapi MDT secara adekuat, risiko untuk terjadi kerusakan sensorik dan motorik
yaitu disabilitas dan deformitas masih dapat terjadi sehingga gejala tangan lunglai,
mutilasi jari. Keadaan tersebut yang membuat timbulnya stigma terhadap penyakit
kusta3 Meskipun 25 tahun terakhir banyak yang telah dikembangkan mengenai
kusta, pengetahuan mengenai patogenesis, penyebab, pengobatan, dan pencegahan
lepra masih terus diteliti.3
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Kusta adalah penyakit infeksi granulomatous kronik yang disebabkan oleh
Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat. Saraf perifer sebagai
afinitas pertama, namun dapat juga terjadi sistem pernapasan bagian atas, dan
organ-organ lain kecuali susunan saraf pusat.1
2.2 Etiologi
Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae. Kuman ini bersifat obligat
intrasel, aerob, tidak dapat dibiakkan secara in vitro , berbentuk basil Gram positif
dengan ukuran 3 – 8 μm x 0,5 μm, bersifat tahan asam dan alkohol2. Kuman ini
memunyai afinitas terhadap makrofag dn sel Schwann, replikasi yang lambat di sel
Schwann menstimulasi cell-mediated immune response, yang menyebabkan reaksi
inflamasi kronik, sehingga terjadi pembengkakkan di perineurium, dapat ditemukan
iskemia, fibrosis, dan kematian akson.3 Mycobacterium leprae dapat bereproduksi
maksimal pada suhu 27°C – 30°C, tidak dapat dikultur secara in vitro, menginfeksi
kulit dan sistem saraf kutan Tumbuh dengan baik pada jaringan yang lebih dingin
(kulit, sistem saraf perifer,hidung, cuping telinga, anterior chamber of eye, saluran
napas atas, kaki, dan testis), dan tidak mengenai area yang hangat (aksila, inguinal,
kepala, garis tengah punggung1.
2.3 Epidemiologi
Prevalensi kusta di dunia dilaporkan hanya <1 per 10.000 populasi (sesuai
dengan target resolusi WHO mengenai eliminasi kusta). Paling banyak terjadi pada
daerah tropis dan subtropis. 86% dilaporkan terjadi di 11 negara, Bangladesh,
Brazil, China, Congo, Etiopia, India, Indonesia, Nepal, Nogeria, Filipina, Tanzania.
Namun prevalensi lepra berkurang sejak dimulai adanya MDT pada tahun 1982.
Pada pertengahan tahun 2000, jumlah penderita kusta terdaftar di Indonesia
4
sebanyak 20.7042 orang, banyak ditemukan di Jawa Timur, Jawa Barat, Sulawesi
Selaran, dan Irian Jaya.
Kusta lebih banyak didapatkan pada laki-laki daripada wanita, dengan
perbandingan 2:1, dengan insidensi usia puncak 10-20 tahun dan 30-50 tahun,
jarang terjadi pada bayi. Faktor predisposisinya adalah penduduk pada area yang
endemik, memiliki kerentanan lepra dalam darah, kemiskinan (malnutrisi). 1
2.4 Klasifikasi
Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spectrum determinate pada
penyakit lepra yang terdiri atas berbagai tipe, yaitu:
TT: tuberkuloid polar, bentuk yang stabil
Ti: tuberkuloid indefinite
BT: borderline tuberculoid
BB: mid borderline bentuk yang labil
BL: borderline lepromatous
Li: lepromatosa indefinite
LL: lepromatosa polar, bentuk yang stabil
TT adalah tipe tuberkuloid polar, yakni tuberkuloid 100%, tipe yang stabil.
Jadi tidak mungkin berubah tipe. Begitu juga LL adalah tipe lepromatosa polar,
yakni lepromatosa 100%. Sedangkan tipe antara Ti dan Li disebut tipe borderline
atau campuran, berarti campuran antara tuberkuloid dan lepromatosa. BB adalah
tipe campuran 50% tuberkuloid dan 50% lepromatosa. BT dan Ti lebih banyak
tuberkuloidnya, sedang BL dan Li lebih banyak lepromatosanya. Tipe-tipe
campuran ini adalah tipe yang labil, berarti dapat beralih tipe, baik ke arah TT
maupun LL.
Menurut WHO (1981), lepra dibagi menjadi multibasilar (MB) dan
pausibasilar (PB). Multibasilar berarti mengandung banyak basil dengan indeks
biposi (IB), ditemukan bakteri lebih dari +2, yaitu tipe LL, BL, dan BB pada
klasifikasi Ridley-Joping. Pausibasilar mengandung sedikit basil dengan IB kurang
dari +2, yaitu tipe TT, BT, dan I klasifikasi Ridley-Joping.
5
Tabel 1
Zona spektrum kusta menurut berbagai klasifikasi.
Klasifikasi Zona Spektrum Kusta
Ridley & Jopling TT BT BB BL LL
Madrid Tuberkuloid Borderline Lepromatosa
WHO Pausibasilar (PB) Multibasilar (MB)
Puskesmas PB MB
6
Gambar 2.2 Lesi Kulit pada Tuberculoid Leprosy
2. Borderline Leprosy
7
Gambar 2.4 Lesi Kulit pada Borderline BB Leprosy
3. Lepromatous Leprosy
Tipe BL, secara klasik lesi dimulai dengan makula, awalnya sedikit drngan
cepat menyebar ke seluruh badan. Makula lebih bervariasi bentuknya. Distribusi
lesi hampir seimetris. Lesi innfiltrat, dan plak seperti punched out. Tanda-tanda
kerusakan saraf berupa hilangnya sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya keringat
dan hilangnya rambut lebih cepat muncul. Penebalan saraf tepi teraba pada tempat
predileksi. Tipe LL, jumlah lesi sangat banyak, nodul mencapai ukuran 2 cm,
simetris, permukaan halus, lebih eritematous, berkilap, berbatas tidak tegas dan
8
pada stadium dini tidak ditemukan anestesi dan anhidrosis. Ditemukan juga lesi
Dematofibroma-like multipel, batas tegas, nodul eritem. Distribusi lesi khas pada
wajah, mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga. Pada stadium lanjut tampak
penebalan kulit yang progresif membentuk facies leonine. Kerusakan saraf
menyebabkan gejalan stocking and glove anesthesia.
9
Pada reaksi lepra tipe 1, terjadi inflamasi akut pada lesi kulit, terdapat edema dan nyeri,
bisa ulserasi. Edema paling berat terjadi di wajah, tangan, dan kaki. Pada reaksi lepra tipe 2,
terdapat nodul yang nyeri dan berwarna merah, bisa abses atau ulserasi. Paling sering timbul
di wajah dan ekstremitas bagian ekstensor.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan 1) ekstremitas: neuropati sensoris, ulserasi
telapak kaki, infeksi sekunder, ulnar and peroneal palsies, sendi Charcot, 2) hidung: kongesti
kronik, epistaksis, destruksi kartilago dengan deformitas saddle-nose, 3) mata: kelumpuhan
nervus kranialis, lagoftalmus, insensitivitas kornea. Pada LL, dapat terjadi uveitis, glaucoma,
pembentukan katarak. Kerusakan kornea dapat terjadi sekunder terhadap trichiasis dan
neuropati sensoris, infeksi sekunder, dan paralisis otot, 4) testis: terjadi hipogonadisme pada
pasien LL, 5) amiloidosis sekunder karena gangguan hepar/ ginjal.
10
Tabel 2.2 Gambaran klinis, Baakteriologik, Imunologik Kusta Pausibasiler (PB)
SIFAT TT BT I
Lesi
Bentuk Makula saja, makula Makula dibatasi Hanya makula
dibatasi infiltrat infiltrat
Jumlah Satu, dapat beberapa Beberapa, atau satu Satu atau beberapa
dengan satelit
2.5 Patogenesis
Cara penularan belum diketahui secara pasti hanya beranggapan dari anggapan klasik
yaitu melalui kontak langsung antar kulit yang lama dan erat. Anggapan kedua adalah secara
inhalasi, sebab M. Leprae dapat hidup beberapa hari didalam droplet. Masa tunasnya sangat
bervariasi, antara 40 hari sampai 40 tahun, rata-rata 3,5 tahun.
Pada tahun 1960 Shepard berhasil menginokulasikan M. Leprae pada kaki mencit dan
berkembang baik disekitar suntikan. Dari berbagai macam spesimen, bentuk lesi maupun
negara asal penderita, ternyata tidak ada perbedaan spesies. Agar dapat tumbuh diperlukan
jumlah minimum M. Leprae yang disuntikan dan kalau mencapai jumlah maksimum tidak
berarti meningkatkan perkembangbiakan.
Inokulasi pada mencit yang telah diambil timusnya dengan diikuti radiasi (900 r)
sehingga kehilangan respon imun selularnya, akan menghasilkan granuloma penuh basil
terutama di bagian tubuh yang relatif dingin yaitu hidung, cuping telinga, kaki dan ekor.
11
Sebenarnya M. Leprae mempunyai patogenisitas dan daya invasi yang rendah, sebab
penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih
berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan derajat infeksi dan derajat penyakit, tidak
lain disebabkan karena respon imun yang berbeda, yang mencetuskan timbulnya granuloma
setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu, kusta
dapat disebut sebagai penyakit imunologik.
Area yang sering terkena kusta adalah saraf perifer superfisial, kulit, membran mukosa
dari saluran napas atas, ruang anterior mata, dan testes. Area-area tersebut merupakan bagian
yang dingin dari tubuh (Lewis, 2010). Kerusakan jaringan tergantung pada sistem simunitas
selular, tipe penyebaran bakeri, adanya komplikasi reaksi lepra, dan kerusakan saraf. Afinitas
pada sel Schwann, mycobacteria berikatan dengan Domain G rantai alpha laminin 2 yang
ditemukan di saraf perifer di lamina basal. Replikasi di dalam sel ini menyebabkan respon
sistem imunitas selular yang menyebabkan reaksi inflamasi, yang menyebabkan
pembengkakan perineureum, iskemia, fibrosis, dan kematian akson.
Kekuatan dari sistem imun hospes mempengaruhi manifestasi klinis dari kusta. Cell-
mediated immunity (interferon-gamma, interleukin (IL)-2) yang kuat dengan respon humoral
yang lemah akan menyebabkan bentuk yang ringan dari penyakit ini, sedangkan respon
humoral yang kuat (IL-4, IL-10) dengan cell-mediated immunity yang lemah/tidak ada, akan
menyebabkan bentuk lepromatous dengan lesi yang luas, mengenai kulit dan saraf secara
ekstensif, dan kadar bakteri yang banyak 3. Sistem imunitas selular (SIS) yang baik akan
tampak gambaran ke arah tuberkuloid, sedangkan SIS rendah memberikan gambaran
lepromatosa .
Pada kusta tipe LL, terjadin kelumpuhan sistem imunitas selulae, dengan demikian
makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga kuman bermultiplikasi dengan bebas
dan merusak jaringan.
Pada kusta tipe TT terjadi sebaliknya, kemampuan imunitas selular tinggi, sehingga
makrofag mampu menghancurkan kuman. Namun setelah kuman difagositosis, makrofag
berubah menjadi sel epiteloid dan kadang bersatu membentuk sel datia Langhans. Massa
epiteloid dapat menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan di sekitarnya.3
Munculnya gejala kusta terjadi karena perkembangan granuloma, dan pasien mungkin
mengalami reactional state, yang dapat terjadi pada sekitar >50% pasien tertentu. Spektrum
granuloma lepra terdiri dari 1) a high-resistance tuberculoid response (TT), 2) a low- or
absent-resistance lepromatous pole (LL), 3) a dimorphic or borderline region (BB), 4)
12
borderline lepromatous (BL), dan 5) borderline tuberculoid (BT). Berdasarkan dari yang
paling tinggi resistensinya hingga ke yang paling rendah resistensinya, yaitu TT, BT, BB, BL,
LL1.
Respon imun terhadap M. leprae dapat menghasilkan beberapa tipe reaksi yang
berhubungan dengan status klinis. Reaksi lepra tipe 1 (downgrading and reversal reactions)
terjadi pada individu dengan BT dan BL, inflamasi terjadi diantara lesi kulit yang sudah ada.
Downgrading reaction terjadi sebelum terapi, reversal reaction terjadi karena respon terhadap
terapi. Reaksi tipe 1 berhubungan dengan demam derajat rendah, lesi satelit makulopapular
baru yang kecil dan banyak, dan/ atau neuritis. Reaksi tipe 2 (Erythema Nodosum Leprosum,
ENL) terjadi pada sebagian individu dengan LL, biasanya timbul setelah awal pemberian terapi
antilepra, umumnya dalam 2 tahun pertama terapi. Terdapat inflamasi yang hebat mirip seperti
lesi eritema nodosum. Reaksi lucio merupakan rekasi yang terjadi pada individu dengan LL
yang meluas. Pada individu tersebut terjadi ulserasi yang dangkal, large polygonal sloughing
pada kaki. Reaksi ini timbul baik sebagai varian dari ENL atau sekunder terhadap oklusi
arteriol. Ulserasi ini sulit membaik, sering rekuren, dan distribusinya dapat general akibat
infeksi bakteri sekunder dan sepsis.
Gejala klinis
Pada kusta, didaptkan 3 tanda kardinal, dimana jika salah satunya ada, sudah cukup
untuk menetapkan diagnosis dari penyakit kusta, yakni : Lesi kulit yang anestesi , penebalan
saraf perifer, dan ditemukannya M. leprae sebagai bakteriologis positif. Masa inkubasinya 2 –
40 tahun (rata-rata 5 – 7 tahun). Onset terjadinya perlahan-lahan dan tidak ada rasa nyeri.
Pertama kali mengenai sistem saraf perifer dengan parestesi dan baal yang persisten atau
rekuren tanpa terlihat adanya gejala klinis. Pada stadium ini mungkin terdapat erupsi kulit
berupa macula dan bula yang bersifat sementara. Keterlibatan sistem saraf menyebabkan
kelemahan otot, atrofi otot, nyeri neuritik yang berat, dan kontraktur tangan dan kaki. Gejala
prodromal yang dapat timbul kadang tidak dikenali sampai lesi erupsi ke kutan terjadi. 90%
psien biasanya mengalami keluhan pafda pertama kalinya adalah rasa baal, hilangnya sensori
suhu sehingga tidak dapat membedakan panas dengan dingin. Selanjutnya, sensasi raba dan
13
nyeri, terutama dialami pada tangan dan kaki, sehingga dapat terjadi kompliksi ulkus atau
terbakar pada ekstremitas yang baal tersebut. Bagian tubuh lain yang dapat terkena kusta adalah
daerah yang dingin, yaitu daerah mata, testis, dagu, cuoing hidung, daun telinga, dan lutut.3
Perubahan saraf tepi yang terjadi dapat berupa (1) pembesaran saraf tepi yang asimetris pada
daun telinga, ulnar, tibia posterior, radial kutaneus, (2) Kerusakan sensorik pada lesi kulit (3)
Kelumpuhan nervus trunkus tanpa tanda inflamasi berupa neuropati, kerusakan sensorik dan
motorik, serta kontraktur (4) kerusakan sensorik dengan pola Stocking-glove (4) Acral distal
symmethric anesthesia (hilangnya sensasi panas dan dingin, serta nyeri dan raba). 3
Pemeriksaan fisik
1. Inspeksi : Inspeksi adalah suatu proses observasi yang dilaksanakan secara sistematik.
Observasi dilaksanakan dengan menggunakan indra penglihatan, pendengaran,
penciuman sebagai suatu alat untuk mengumpulkan data. Inspeksi dimulai pada saat
berinteraksi dengan penderita dan dilanjutkan dengan pemeriksaan lebih lanjut.
Ruangan membutuhkan cahaya yang adekuat (terang) diperlukan agar petugas dapat
membedakan warna dan bentuk tubuh.
2. Palpasi : Pemeriksaan saraf tepi dan fungsinya dilakukan pada: n. auricularis magnus,
n. ulnaris, n. radialis, n. medianus, n. peroneus, dan n. tibialis posterior. Hasil
pemeriksaan yang perlu dicatat adalah pembesaran, konsistensi, penebalan, dan adanya
nyeri tekan. Perhatikan raut muka pasien apakah ia kesakitan atau tidak saat saraf
diraba. Berbagai cara pemeriksaan untuk mengetahui kerusakan fungsi saraf tepi
Fungsi sensorik : Dilakukan pemeriksaan fungsi saraf sensorik pada telapak
tangan, daerah yang sisarafi oleh n.ulnaris dan medianus juga pada daerah
telapak kaki untuk daerah yang disarafi oleh n.tibialis posterior.
Fungsi motoric : N.fasialis dengan memeriksa kekuatan penutupan bola mata.
N.ulnaris dengan memeriksa kekuatan m.abductor pollicis minimi.
N.medianus, dengan memeriksa kekuatan m.abductor pollicis brevis.
N.radialis, dengan memeriksa kekuatan fleksi dorsal pergelangan tangan.
N.peroneous, dengan memeriksa kekuatan fleksi dorsal pergelangan kaki baik
pada arah eversi maupun inverse. N.tibialis posterior, dengan memeriksa
kekuatan otot truceps surae, tibialis posterior, flexor hallucis longus dan flexor
digitorum longus.
14
Fungsi Otonom : Fungsi Otonom diperiksa dengan memegang tangan atau kaki
penderita untuk menilai kebasahan telapak tangan maupun kaki (fungsi
kelenjar keringat). Pemeiksaan bersama dengan gerak Olah raga.
3. Cara pemeriksaan fisik saraf tepi
a. N. Aurukularis magnus Pasien disuruh menoleh ke samping semaksimal mungkin, maka
saraf yang terlibat akan terdorong oleh otot di bawahnya sehingga terlihat bila saraf
membesar. Dua jari pemeriksa diletakkan di atas persilangan jalannya saraf tersebut dengan
arah otot. Bila ada penebalan, maka pada perabaan secara seksama akan menemukan
jaringan seperti kabel atau kawat. Jangan lupa membandingkan antara yang kiri dan yang
kanan.
b. N. UlnarisTangan yang diperiksa harus santai, sedikit fleksi dan sebaiknya diletakkan
diatas satu tangan pemeriksa. Tangan pemeriksa yang lain meraba lekukan di bawah siku
(sulkus nervi ulnaris) dan merasakan, apakah ada penebalan atau tidak. Perlu dibandingkan
antara yang kanan dan yang kiri untuk melihat adanya perbeedaan atau tidak
c. N. Paroneus lateralis Pasien duduk dengan kedua kaki menggantung, diraba di sebelah
lateral dari capitulum fibulae, biasanya sedikit ke posterior
d. N .Tibialis Posterior Raba maleulus medialis kaki, raba bagian posterior dan urutkan
kebawahkearah tumit. Pemeriksaan harus dibandingkan kiri dan kanan dalam hal besar,
bentuk, seratnya, lunaknya
15
16
Gambar . Pemeriksaan saraf tepi dan motorik
18
Gambar 2.4 Gambaran Histologi lesi TT
1 Kondisi umum Baik atau demam ringan Buruk, disertai malaise dan
febris
2 Peradangan di kulit Bercak kulit lama menjadi lebih Timbul nodul kemerahan,
meradang (merah), dapat timbul lunak, dan nyeri tekan.
bercak baru Biasanya pada lengan dan
19
tungkai. Nodul dapat pecah
(ulserasi)
Tabel 6 Perbedaan Reaksi Kusta Ringan dan Berat tipe 1 dan tipe 2
2 Saraf tepi Nyeri pada Nyeri pada Nyeri pada Nyeri pada perabaan
perbaan (-) perabaan perabaan (-) (+)
(+)
4 Keterlibatan - - - +
organ lain
20
Terjadi peradangan
pada :
mata :
iridocyclitis
testis :
epididimoorchitis
ginjal : nefritis
kelenjar limpa :
limfadenitis
gangguan pada
tulang, hidung,
dan tenggorokan
Fenomena Lucio
Fenomena lucio merupakan reaksi kusta yang sangat berat yang terjadi pada kusta tipe
lepromatosa non nodular difus. Kusta tipe ini terutama ditemukan di Meksiko dan Amerika
tengah, namun dapat juga dijumpai di negeri lain dengan prevalensi rendah.
Gambaran klinis dapat berupa plak atau infiltrat difus, berwarna merah muda, bentuk
tidak teratur dan terasa nyeri. Lesi terutama di ekstemitas, kemudian meluas meluas ke seluruh
tubuh. Lesi yang berat tampak lebih eritematous, disertai purpura dan bula kemudian dengan
cepat terjadi nekrosis serta ulserasi yang nyeri. Lesi lambat menyembuh dan akhirnya terbentuk
jaringan parut.
Gambaran histopatologi menunjukkan nekrosis epidermal ismemik dengan nekrosis
pembuluh darah superfisial, edema dan proliferasi endotelial pembuluh darah lebih dalam.
Didapatkan banyak basil M. leprae di endotelial kapiler. Walaupun tidak ditemukan infiltrat
polimorfonuklear seperti pada E.N.L., namun dengan imunoflouresensi tampak deposit
immunoglobulin dan komplemen di dalam dinding pembuluh darah. Titer kompleks imun yang
beredar dan krioglobulin sangat tinggi pada semua penderita.
2.8 Penatalaksanaan
Tujuan utama yaitu memutuskan mata rantai penularan untuk menurunkan insiden
penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita, mencegah timbulnya penyakit, untuk
mencapai tujuan tersebut, strategi pokok yg dilakukan didasarkan atas deteksi dini dan
pengobatan penderita.
Pengobatan kusta disarankan memakai program Multi Drugs Therapy (MDT) dengan
kombinasi rifampisin, klofazimin, dan DDS, direkomendasikan oleh WHO sejak 1981. Tujuan
21
dari program MDT adalah: mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, menurunkan
angka putus obat (drop-out rate) dan ketidaktaatan penderita.
Obat antikusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS, klofazimin dan
rifampicin. Pada tahun 1998 WHO menambahkan 3 obat antibiotik lain untuk pengobatan
alternatif yaitu ofloksasin, minosiklin, dan klaritomisin.
(5-14 th)
Rifampicin Dapson
MB (BB, BL, LL) dengan lesi >5. Lama pengobatan 12 dosis ini bisa diselesaikan
selama 12-18 bulan. Setelah selesai minum 12 dosis obat ini, dinyatakan RFT (Realease From
Treatment) yaitu berhenti minum obat. Masa pengamatan setelah RFT dilakukan secara pasif
untuk tipe PB selama 2 tahun dan tipe MB selama 5 tahun.
22
Dewasa 600 mg/bulan 100 mg/hari diminum 300 mg/bulan
diminum di depan di rumah diminum di depan
petugas kesehatan petugas kesehatan
dilanjutkan dengan
50 mg/hari diminum
di rumah
23
melindungi kaki yang telah terkena, memakai sarung tangan bila bekerja dengan benda yang
tajam atau panas, dan memakai kacamata untuk melindungi matanya. Selain itu diajarkan pula
cara perawatan kulit sehari-hari. Hal ini dimulai dengan memeriksa ada tidaknya memar, luka
atau ulkus. Setelah itu tangan dan kaki direndam, disikat dan diminyaki agar tidak kering dan
pecah.
WHO Expert Committee on Leprosy membuat klasifikasi cacat pada tangan, kaki dan
mata bagi penderita kusta. Berikut adalah klasifikasi cacat pada penderita kusta :
Cacat pada tangan dan kaki
Tingkat 0 : tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada kerusakan atau deformitas yang
terlihat.
Tingkat 1 : ada gangguan sensibilitas, tanpa kerusakan atau deformitas yang terlihat.
Tingkat 2 : terdapat kerusakan atau deformitas.
Cacat pada mata
Tingkat 0 : tidak ada kelainan atau kerusakan pada mata (termasuk visus).
Tingkat 1 : ada kelainan atau kerusakan pada mata, tetapi tidak terlihat, visus sedikit
berkurang.
Tingkat 2 : ada kelainan mata yang terlihat (misalnya lagoftalmos, iritis, kekeruhan
kornea) dan atau visus sangat terganggu.
2.10 Prognosis
Bergantung pada seberapa luas lesi dan tingkat stadium penyakit. Kesembuhan
bergantung pula pada kepatuhan pasien terhadap pengobatan. Prognosis cukup baik, bila semua
lesi diobati dengan tekun dan menyeluruh. Terkadang pasien dapat mengalami kelumpuhan
bahkan kematian, serta kualitas hidup pasien menurun.
Pasien lepra yang dapat sembuh dengan sendirinya tanpa terapi ada lepra dengan lesi
TT atau pada pasien BT yang berubah menjadi TT. Pemberian terapi bergantung pada pada lesi
maupun keterlibatan saraf perifer yang terkena, keterlibatan pola stocking-glove perlu berikan
terapi dan dievaluasi lebih lanjut.
2.11 Penutup
Kusta adalah penyakit kronik granulomatosa yang terutama mengenai kulit, saluran
pernapasan atas dan sistem saraf perifer. Penyebab kusta adalah Mycobacterium leprae yang
24
bersifat intraseluler obligat, dan pada tahun 2009 telah ditemukan penyebab baru yaitu
Mycobacterium lepramatosis.
Lesi kulit yang anestesi, penebalan saraf perifer, dan ditemukannya M. leprae sebagai
bakteriologis positif. Masa inkubasinya 2 – 40 tahun (rata-rata 5 – 7 tahun). Onset terjadinya
perlahan-lahan dan tidak ada rasa nyeri. Pertama kali mengenai sistem saraf perifer dengan
parestesi dan baal yang persisten atau rekuren tanpa terlihat adanya gejala klinis. Pada stadium
ini mungkin terdapat erupsi kulit berupa macula dan bula yang bersifat sementara. Keterlibatan
sistem saraf menyebabkan kelemahan otot, atrofi otot, nyeri neuritik yang berat, dan kontraktur
tangan dan kaki. Gejala prodromal yang dapat timbul kadang tidak dikenali sampai lesi erupsi
ke kutan terjadi.
Pemeriksaan serologik, didasarkan terbentuk antibodi pada tubuh seseorang yang
terinfeksi oleh M.leprae. Pemeriksaan serologik adalah MLPA (Mycobacterium Leprae
Particle Aglutination), uji ELISA dan ML dipstick, PCR. Tes lepromin adalah tes non spesifik
untuk klasifikasi dan prognosis lepra tapi tidak untuk diagnosis. Tes ini berguna untuk
menunjukkan sistem imun penderita terhadap M. leprae. 0,1 ml lepromin dipersiapkan dari
ekstrak basil organisme, disuntikkan intradermal. Kemudian dibaca setelah 48 jam/ 2hari
(reaksi Fernandez) atau 3 – 4 minggu (reaksi Mitsuda). Reaksi Fernandez positif bila terdapat
indurasi dan eritemayang menunjukkan kalau penderita bereaksi terhadap M. Leprae, yaitu
respon imun tipe lambat ini seperti mantoux test (PPD) pada tuberkolosis.
Pengobatan kusta disarankan memakai program Multi Drugs Therapy (MDT) dengan
kombinasi rifampisin, klofazimin, dan DDS, direkomendasikan oleh WHO sejak 1981. Tujuan
dari program MDT adalah: mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, menurunkan
angka putus obat (drop-out rate) dan ketidaktaatan penderita.
Obat antikusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS, klofazimin dan
rifampicin. Pada tahun 1998 WHO menambahkan 3 obat antibiotik lain untuk pengobatan
alternatif yaitu ofloksasin, minosiklin, dan klaritomisin.
Bergantung pada seberapa luas lesi dan tingkat stadium penyakit. Kesembuhan
bergantung pula pada kepatuhan pasien terhadap pengobatan. Terkadang pasien dapat
mengalami kelumpuhan bahkan kematian, serta kualitas hidup pasien menurun.
25
26
Daftar pustaka
Adhi D, Mochtar H, Siti A. Ilmu penyakit kulit kelamin edisi kelima. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI;2007.
Health and Human Resources Administration. Hansens Disease. National Hansen's Disease
(Leprosy) Clinical Center. Available
at http://www.hrsa.gov/hansensdisease/clinicalcenter.html. Accessed: April 28, 2019.
Kosasih, I Made Wisnu, Emmy Sjamsoe-Daili, Sri Linuwih Menaldi. Kusta. Dalam: Djuanda,
Adhi dkk. (ed.). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 5 Cetakan Kedua. Jakarta: Balai
Penerbit FK UI. 2007; 73-88.
Martinez AN, Talhari C, Moraes MO, Talhari S. PCR-based techniques for leprosy diagnosis:
from the laboratory to the clinic. PLoS Negl Trop Dis. 2014 Apr. 8 (4):e2655. [Medline].
Reibel F, Cambau E, Aubry A. Update on the epidemiology, diagnosis, and treatment of
leprosy. Médecine et Maladies Infectieuses. 2015 Sept 02. Volume 45, Issue 9:383–393.
The World Health Organization. Diagnosis of Leprosy. Leprosy Elimination. Available at http:
http://www.who.int/lep/transmission/en/ /. Accessed: April 28, 2019.
Wolff, Klaus, Johnson, Richard A, Suurmond, Dick. Fitzpatrick's Color Atlas and Synopsis of
Clinical Dermatology 8 th ed. USA: McGraw-Hill. 2007. P 665-671
27