Anda di halaman 1dari 23

Kata Pengantar

Daftar Isi
Bab I Pendahuluan
1.1. Latar belakang
1.2. Batasan masalah
1.3. Tujuan penulisan
1.4. Metode penulisan

Bab II Tinjauan Pustaka
2.1. Definisi
2.2. Epidemiologi
2.3. Etiologi
2.4. Anatomi, dan fisiologi
2.5. Histologi dan
2.6. Gejala dan Tanda
2.7. Patofisiologi Karsinoma Nasofaring
2.8. Diagnosis
2.9. Stadium/klasifikasi
2.10. Penatalaksanaan
2.11. Komplikasi
2.12. Prognosis
2.13. pencegahan
Bab III Pembahasan
3.1. Deteksi Dini Karsinoma Nasofaring
Bab IV Penutup
4.1. Kesimpulan
4.2. Saran
Daftar Pustaka

Table of Contents
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................................... 3
I.1 Latar Belakang ......................................................................................................................................3
I. 2. Batasan Masalah ................................................................................................................................4
I.3. Tujuan Penulisan ................................................................................................................................4
I.4. Metode Penulisan ...............................................................................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................................... 5
II.1. Definisi ..................................................................................................................................................5
II. 2. Epidemiologi ......................................................................................................................................5
II.3. Etiologi ..................................................................................................................................................5
II.3. Anatomi Dan Fisiologi .....................................................................................................................7
II.5. Histologi ...............................................................................................................................................9
II.6. Gejala dan Tanda ............................................................................................................................ 10
II.7. Patofisiologi ..................................................................................................................................... 12
II.8. Diagnosis .............................................................................................................................................. 12
II.9. Diagnosis banding ......................................................................................................................... 14
II.10. Staging Klinis ................................................................................................................................ 14
II.12. Komplikasi ..................................................................................................................................... 15
II.4. Follow up ........................................................................................................................................... 17
BAB III PEMBAHASAN ................................................................................................................ 19
III.1. Deteksi Dini Karsinoma Nasofaring ...................................................................................... 19
III. 2. Kesimpulan .................................................................................................................................... 21
Daftar Pustaka ......................................................................................................................................... 22


BAB I PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Karsinoma Nasofaring merupakan tumor ganas yang banyak dijumpai di Indonesia, merupakan urutan ke
empat dari 5 tumor ganas yang paling banyak ditemui setelah Kanker leher Rahim 17%, Kanker payudara
11%, dan kanker kulit 7 % (SKRT 2012)[1]. Sedangkan Karsinoma nasofaring menduduki peringkat
pertama pada tumor ganas di bagian THT. Penyakit ini 100% berhubungan dengan infeksi virus Epstein
Barr, terutama pada tipe karsinoma nasofaring yang tidak berdiferensiasi (WHO tipe III). Indonesia yang
memiliki populasi 225 juta penduduk yang terdiri dari berbagai suku dan etnis, karsinoma nasofaring
adalah hal yang umum diantara penduduk asli dan dipengaruhi oleh latar belakang sosioekonomi, dengan
estimasi angka kejadian 6.2/100.000 atau sekitar 12.000 kasus baru per tahun. [2]

Dengan adanya hubungan yang kuat antara karsinoma nasofaring dengan Epstein Barr Virus, pemeriksaan
serologi EBV dan nasofaringoscopy adalah hal yang lazim. Skrining ini adalah sensitive dan riset terbaru
menunjukkan bahwa skrining secara berkala dapat mendeteksi dini kanker, dengan lebih dari 40% kasus
kanker pada stadium awal. Dengan angka harapan hidup 5 tahun lebih tinggi dan melebihi 90% pada
kanker yang terdeteksi dalam skrining.[2][3]

Pada penelitian ditemukan adanya korelasi antara stadium kanker dan angka harapan hidup 5 tahun.
Menurut American Joint committee on cancer(AJCC), angka bertahan hidup 5 tahun menurun dari 76.9%
untuk stadium 1, hingga 16.4% untuk kanker stadium 4. Namun sayangnya tidak lebih dari 10% kasus
ditemukan pada stadium 1 karsinoma nasofaring.[3][buku ijo]

Penanggulangan karsinoma nasofaring sampai saat ini masih merupakan suatu masalah dan merupakan
penyakit yang sering salah terdiagnosa. Hal ini disebabkan oleh gejala dini yang bervariasi dan tidak khas
serta letak nasofaring yang tersembunyi dan tidak mudah diperiksa oleh mereka yang bukan ahli,
sehingga banyak pasien didiagnosis pada stadium akhir, yang mana memperburuk prognosis angka
bertahan hidup 5 tahun. Hal ini dapat menjadi suatu peringatan kepada para dokter untuk memperbaiki
pengenalan akan penyakit dan melakukan pemeriksaan yang spesifik, agar dapat mencegah dan
mendeteksi dini karsinoma nasofaring.




I. 2. Batasan Masalah
Dalam referat ini akan dibahas mengenai deteksi dini Karsinoma nasofaring

I.3. Tujuan Penulisan
Penulisan referat ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan tentang karsinoma nasofaring serta
memberikan informasi terkini tentang deteksi dini dari karsinoma nasofaring.

I.4. Metode Penulisan
Penulisan referat ini disusun berdasarkan metode tinjauan kepustakaan dari beberapa literature.


BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Definisi

Karsinoma nasofaring adalah karsinoma sel skuamosa yang non-lymphomatous yang muncul pada
daerah garis epithelial pada bagian nasofaring. Neoplasma ini menunjukkan berbagai macam
derajat diferensiasi dan sangat sering ditemukan pada bagian fosa Rosenmuller.
[12]

II. 2. Epidemiologi
Karsinoma nasofaring merupakan penyakit yang jarang ditemui di sebagian besar dunia, Angka
kejadian karsinoma nasofaring di United States dan Eropa hanya sekitar 1/100.000 populasi. Daerah
endemis penyakit ini adalah China Selatan, Asia Tengara, Alaska, dan sekitar Greenland Eskimo. Ras
mongoloid merupakan factor dominan timbulnya KNF, sehingga kekerapan cukup tinggi pada
penduduk cina bagian selatan (termasuk hongkong), Vietnam, Thailand, malaysia, singapura, dan
Indonesia. [2]
Di Indonesia angka kejadian karsinoma nasofaring adalah 6.2/100.000, dengan 13.000 kasus baru
setiap tahunnya. Bedasarkan data dari Pathology Cancer Registry dan evaluasi RSCM pada tahun
1996-2005, karsinoma nasofaring merupakan kanker tersering didaerah kepala dan leher (28.4%),
dengan rasio laki-laki dan perempuan 2.4:1, Bandung, Malang, Denpasar, Manado, dan Surabaya,
merupakan daerah yang memiliki angka kejadian yang tinggi, yaitu 5.66/100.00, atau 1000 kasus baru
per bulan. Penyakit ini didapati endemis pada etnis jawa (30.5%), diikuti oleh etnis sunda (25.8%), dan
penduduk asli sumatera (23.9%). Studi secara cohort menunjukkan angka kejadian tertinggi penduduk
indonesia pada usia 30-50 tahun, namun didapati juga 21% dari seluruh kasus pada golongan umur
dibawah 30 tahun baik kategori juvenile dan dewasa muda.[2]

II.3. Etiologi
Dari studi epidemiologi yang ada 3 faktor etiologi utama pada KNF yaitu: Infeksi laten VEB, Genetik, dan
paparan terhadap zat karsinogenik pada usia muda[6][7][8][9]

Infeksi Virus Epstein Barr.
VEB terdeteksi secara konsisten pada pasien karsino nasofaring abik di daerah insiden tinggi maupun
insiden rendah. Lesi awal di nasofaring yang telah menunjukkan kandungan VEB, menunjukkan infeksi
terjadi pada fase awal karsinogenesis. Terdeteksinya bentuk tunggal DNA viral menyarankan bahwa
tumor merupakan proliferasi klonal dari sel tunggal yang pada awalnya terinfeksi VEB (McDermott et al.,
2001; cottril dan nutting, 2003).
KNF merupakan penyakit yang murni berhubungan dengan VEB. Namun perjalanan penyakit KNF tidak
hanya diakibatkan oleh infeksi VEB semata. Transformasi infeksi VEB menjadi penyakit yang berbahaya
diakibatkan oleh reaktivasi virus tersebut dengan kombinasi factor lainnya seperti:

Dietary Environmental Factor
Konsumsi ikan asin, telur asin, daging asap, daging yang dikeringkan, makanan yang diawetkan, yang
mengandung komponen N-nitroso-n-amine merupakan factor resiko terbentuknya KNF. Selain itu
formalin yang digunakan sebagai bahan pengawet makanan, pewarna tekstil yang digunakan sebagai
pewarna makanan, yang umum digunakan di Indonesia, merupakan etiologi yang penting KNF.

Non-Dietary Environmental Factor:
Adanya paparan sejak dini atau sering dengan benzopyren, gas kimia, formaldehid, asap industry, asap
domestic dari kayu yang terbakar, fossil, sampah, dan rumput yang terbakar, serta perokok pasif maupun
aktif, telah dibuktikan berhubungan dengan KNF. Yu et al. (1990) melaporkan adanya 3x kenaikan resiko
pada orang yang merokok lebih dari 30 rokok/hari dan pada orang yang telah menjadi perokok pasif sejak
kecil merupakan factor resiko yang signifikan dalam memicu KNF. Riwayat pemakaian obat herbal cina
atau obat herbal lainnya untuk hidung diduga berhubungan dengan KNF. (McDermott et al.,2001)

Genetic
Analisa genetic pada populasi endemis berhubungan dengan HLA-A2, HLA-B17, dan HLA-Bw26, dimana
orang yang memiliki gen ini memiliki resiko 2 hingga 3 kali lebih besar menderita KNF. Pada studi
epidemiologi, adanya resiko yang meningkat 4 hingga 8 kali pada individu yang memiliki hubungan
keluarga derajat pertama dengan penderita KNF.[5]

Radang Kronis di nasofaring
Dengan adanya peradangan menahun di nasofaring, mukosa nasofaring menjadi lebih rentan terhadap
karsinogen penyebab KNF. Proses peradangan dan kondisi beninga di telinga, hidung, dan tenggorokan
merupakan factor predisposisi terjadinya transformasi pada mukosa nasofaring yang meningkatkan resiko
terjadinya keganasan. (mcdermott et al.,2001)

II.3. Anatomi Dan Fisiologi
Nasofaring merupakan bagian dari faring yang terletak di belakang rongga hidung dan membentang
kebawah setingkat dengan palatum molle dan berbentuk seperti corong kerucut yang memiliki bagian
atas yang lebar kemudian menyembit kebawah. Nasofaring merupakan rongga lintasan udara memiliki
fungsi respirasi, dan juga memiliki fungsi sebagai ruang yang menyaring udara inspirasi dari kotoran oleh
jaringan limfoid, jalan udara ke tuba eustachius, resonator, drainase sinus paranasal, kavum timpani, dan
hidung. Secret dari nasofaring bergerak kebawah oleh karena gaya gravitasi, gerakan menelan, gerakan
silia(kinosilia), dan gerakan usapan palatum molle.

Batas-Batas Nasofaring :
Dinding Anterior Nasofaring berkomunikasi dengan kavum nasi melalui nares posterior (koana).

Dinding inferior nasofaring merupakan bidang horizontal yang dibentuk oleh palatum durum, yang ter
elevasi akibat kontraksi otot-otot palatum, ke dinding posterior.

Dinding superior dan posterior nasofaring dibentuk secara kontinyu satu dengan yang lain, dari atas
kebawah, oleh basis os spenoid posterior dan os oksiput basalis, membran atlanto-oksiput dan arcus
anterior vertebra servikal 1 (vertebra atlas) dan vertebra servikal 2 (vertebra axis)

Dindin Lateral Nasofaring dibentuk oleh lamina faringobasilaris dari fasia faringeal dan muskulus
konstriktor faring superior. Fasia ini mengandung jaringan fibrokartilago yang menutupi foramen ovale,
foramen jugularis, kanalis karotis, dan kanalis hipoglossis. Tuba Eustachius yang terletak di bagian konka
nasalis inferior melintang secara bilateral pada fasia ini. Bagian superior dan posterior Tuba Eustachius di
lindungi oleh kartilago yang menonjol (torus tubarius), dibelakangnya terdapat suatu lekukan dari fossa
Rosenmuller, dan tepat diujung atas posteriornya terletak forames laserum. Pada daerah fossa ini sering
terjadi pertumbuhan jaringam limfe yang menyempitkan orifisium tuba eustasius sehingga menggangu
ventilasi udara telinga tengah.

Struktur penting pada Nasofaring :
1. Orifisium faringeum tuba auditiva atau disebut juga orifisium tuba esutachius pars faringeus.
2. Torus tubarius, penonjolan di atas orifisium faringeum tuba auditiva yang disebabkan oleh kartilago
tuba auditiva dan berfungsi sebagai perlindungan parsial terhadap orifisium faringeum tuba
auditiva.
3. Torus Levatorius, penonjolan di bawah orifisium faringeum tuba auditiva yang disebabkan oleh
muskulus levator veli palatini.
4. Plika Salpingopalatina, lipatan di depan torus tubarius
5. Plika Salpingofaringeus, lipatan di belakang torus tubarius, yang merupakan penonjolan dari
muskulus salpingofaringeus yang berfungsi untuk membuka orifisium faringeum tuba auditiva
terutama ketika menguap atau menelan.
6. Resessus Faringeus disebut juga fossa rossenmuller, terletak superior dan posterior dari torus
tubarius, yang merupakan tempat predileksi karsinoma nasofaring.
Sehubungan dengan penyebaran tumor yang menyebar dari fossa rosenmuller, relasi anatomi serta
batas-batasnya dapat memberikan petunjuk klinis yang berarti.
Anterior : Tuba eustasius
Antero-Lateral : muskulus levator veli palatini
Posterior : Ruang Retrofaring
Superior : Foramen laserum, secara medial; Apex Petrous dank anal karotis, secara
posterior; foramen oval dan spinosum, secara antero-lateral.
Lateral : muskulus tensor veli palatine; ruang faringeus
Inferior : Muskulus konstriktor faring superior (batas atas)
7. Fornix Nasofaring adalah dataran disebelah atas torus tubarius, yang merupakan tempat predileksi
tumor angiofibroma nasofaring
8. Tonsil Faringeus/Luskha (Adenoid), terletak di bagian superior dan dorsal nasofaring sebelah
lateral bursa faringeus. Seacara teoritis adenoid akan hilang setelah pubertas karena adenoid akan
mencapai titik optimal pada umur 12-14 tahun. Fungsi adenoid adalah sebagai mekanisme
pertahanan tubuh terhadap kuman yang melewati jalan nafas hidung.
9. Tonsil Tuba, merupakan aggregasi kecil jaringan limfoid, terdapat pada resessus faringeus. Apabila
ada hipertrofi atau edema dapat menyumbat tuba eustachius.
10. Istmus Faringeus, merupakan terminal dari nasofaring. Elevasi dari palatum durum dan konstriksi
dari spincter palatofaringeus menutup istmus faringeus saat menelan sehingga memisahkan
nasofaring dari orofaring.

Ruang Faringeal
Ruang Retrofaring terletak di belakang nasofaring dan memisahkannya dari fasia prevertebra. Ruang
retrofaring memiliki kelompok nodus limfoid retrofaringeus median dan lateral termasuk nodus Rouviere.

Ruang Parafaring terletak disebelah lateral faring yang membentang dari basis kranii bagian atas, ke
superior mediastinum.

Kompartemen Pre-Styloideus bagian atas berhubungan dengan dinding lateral nasofaring dan fossa
rosenmuller dan terdapat arteri maxillary, nervus dental inferior, nervus lingual, dan nervus auriculo-
temporal.

Ruang bahaya/ danger space merupakan sebuah kompartemen yang sempit diantara fasia
prevertebral. Ruang bahaya terletak dibelakang ruang retrofiring dan di depan kolum vertebra.
Merupakan perpanjangan dari basis kranii hingga vertebra servikalis 7. Dalam ruang bahaya ini terdapat
jaringan areolar loose yang memfasilitasi gerak bebas dari faring namun dapat memicu penyebaran
infeksi, oleh karena itu dinamakan ruang bahaya.

Vaskularisasi
Arteri utama yang memperdarahi nasofaring adalah:
arteri faringeus asenden, a. palatine asenden, a. palatine desenden, dan a. faringeus cabang dari a.
sphenopalatini semuanya berasal dari a. karotis eksternal dan cabangnya.
Inferior petrosal sinus, internal jugular vein, the meningeal branches from occipital and ascending
pharyngeal arteries, and the the hypoglossal foramen, through which passes the hypoglossal nerve

Persarafan
Inervasi Sensori nasofaring termasuk bagian posterior dari palatum molle, berasal dari saraf kranialis IX,
kecuali lapisan mukosa nasofaring dan orifisium tuba di inervasi oleh saraf kranial V2 (bagian maxilla)

Inervasi Motorik nasofaring berasal dari plexus faringeal, termasuk di dalamnya adalah saraf kranial IX
dan X bersama dengan cabang saraf simpatis servikalis. Inervasi utama pada otot-otot faring berasal dari
saraf kranial XI.

II.5. Histologi
Dinding nasofaring dibentuk oleh lapisan muscular, fibrosa, dan mukosa.
Pada saat lahir nasofaring dilapisi oleh epitel kolumner pseudokompleks. Setelah 10 tahun kehidupan,
epitel secara lambat laun bertransformasi menjadi epitel stratified nonkeratinizing squamous, kecuali
pada beberapa area (transition zone). 60 % dari mukosa nasofaring dan 80% dinding posterior nasofaring
dilapisi oleh epitel berlapis gepeng stratified squamous epithelium, sedangkan area epitel transisional
berada pada persimpangan dinding lateral dan superior nasofaring, yang merupakan epitel peralihan
antara epitel berlapis gepeng dan epitel berlapis torak bersilia. Tempat pertemuan atau peralihan dua
macam epitel adalah tempat yang subur untuk tumbuhnya suatu karsinoma.

Permukaan nasofaring berbenjol-benjol, karena dibawah epitel terdapat banyak jaringan limfosid
sehingga berbentuk seperti lipatan atau kripta. Hubungan antara epitel dengan jaringan limfosid ini
sangat erat, sehingga disebut juga limfoepitel.

II.6. Gejala dan Tanda

Gejala yang muncul pada karsinoma nasofaring dibagi menjadi empat kategori Gejala yang disebabkan
oleh adanya masa tumor (Nasal Sign), Gejala yang berhubungan dengan disfungsi dari tuba
eustachius (Ear Sign), gejala yang berhubungan dengan ekstensi tumor kea rah superior(Eye
and Cranial sign), dan massa pada leher(Mass sign).
[5]
1. Nasal Sign :
a. Pilek lama yang tidak sembuh
b. Epistaksis berulang-ulang, jumlahnya sedikit, dan biasanya bercampur dengan
secret hidung.
c. Sekret hidung menyerupai nanah, encer sampai kental dan berbau.
d. Sumbatan aliran nafas

2. Ear Sign
a. Tinitus
b. Gangguan pendengaran
c. Otalgia

3. Eye and Cranial Sign
a. Diplopia. Tumor merayap masuk foramen laserum dan menimbulkan gangguan N.IV
dan N.VI. bila terkena optic kiasma dapat menimbulkan kebutaan.
b. Gejala kranial terjadi bila tumor sudah meluas ke otak dan dirasakan oleh penderita.
Gejala ini berupa:
i. Sakit kepala yang terus menerus, rasa sakit ini merupakan metastase
secara hematogen
ii. Sensibilitas daerah pipi dan hidung berkurang (baal)
iii. Adanya kesukaran pada waktu menelan
iv. Afoni
v. Sindrom jugular Jackson yang mengenai N,IX, N. X, N.XI, N.XII. Dengan
tanda-tanda kelumpuhan pada lidah, palatum, faring atau laring,
M.Sternocleidomastoideus, M.trapezius.

4. Neck Mass Sign
a. Pembesaran kelenjar limfoid leher yang merupakan penyebaran atau
metastase dekat secara limfogen dari KNF.
Beberapa penelitian di Cina telah menemukan beberapa kelainan pada nasofaring yang
disebut Lesi Hiperplastik Nasofaring yang apabila diikuti perkembangannya akan
berkembang menjadi karsinoma nasofaring. Kelainan-kelainan tersebut adalah pembesaran
adenoid pada orang dewasa, pembesaran nodul dan mukosiis berat pada daerah nasofaring.


II.7. Patofisiologi





II.8. Diagnosis
Diagnosis ditegakan berdasarkan (chapter II)
1. Gejala dan tanda Menurut Formula Digby, setiap simptom mempunyai nilai diagnostik dan
berdasarkan jumlah nilai dapat ditentukan karsinoma nasofaring.
Tabel 1. Formula Digby15
Gejala Nilai
Massa terlihat pada nasofaring
Gejala khas di hidung
Gejala khan pendengaran
Sakit kepala unilateral atau bilateral
Gangguan neurologis saraf otak
Eksopthalmus
25
15
15
5
5
5
Limfadenopati leher 25

Bila jumlah nilai mencapai 50, diagnosa klinik karsinoma nasofaring dapat
dipertangungjawabkan. Sekalipun secara klinik jelas karsinoma nasofaring,
namun biopsi tumor primer mutlak dilakukan, selain untuk konfirmasi diagnosis
histopatologi, juga menentukan subtipe histopatologi yang erat kaitannya dengan
pengobatan dan prognosis15. (chapter II)

2. Pemeriksaan Nasofaring
Pemeriksaan tumor primer di nasofaring dapat dilakukan dengan cara rinoskopi posterior (tidak
langsung) dan nasofaringoskop (langsung) serta fibernasofaringoskopi15

3. Radiologi
Digunakan untuk melihat massa tumor nasofaring dan melihat massa tumor yang menginvasi pada
jaringan sekitarnya dengan menggunakan :
Computed Tomografi (CT), dapat memperlihatkan penyebaran ke jaringan ikat lunak pada
nasofaring dan penyebaran ke ruang paranasofaring. Sensitif mendeteksi erosi tulang,
terutama pada dasar tengkorak.
Magnetic Resonance Imaging (MRI), menunjukkan kemampuan imaging yang multiplanar
dan lebih baik dibandingkan CT dalam membedakan tumor dari peradangan. MRI juga lebih
sensitif dalam mengevaluasi metastase pada retrofaringeal dan kelenjar limfe yang dalam.
MRI dapat mendeteksi infiltrasi tumor ke sumsum tulang, dimana CT tidak dapat
mendeteksinya6

4. Serologi
Pemeriksaan serologi IgA anti EA (Early antigen) dan IgA anti VCA (Viral Capsid Antigen) untuk infeksi VEB
telah menunjukkan kemajuan dalam mendeteksi karsinoma nasofaring. Dapat juga dideteksi dengan
teknik PCR pada material yang diperoleh dari aspirasi biopsy jarum halus pada metastase kelenjar getah
bening leher.

5. Biopsi
Diagnosis pasti KNF ditentukan dengan diagnosis klinik ditunjang dengan diagnosis histologi atau sitology.
Diagnosis histologi atau sitology dapat ditegakan dari material hasil biopsy cucian, hisapan (aspirasi), atau
sikatan (brush), biopsy dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu dari hidung tanpa melihat jelas tumornya
(blind biopsy), dan melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton.
Bila dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan maka dilakukan pengerokan dengan
kuret daerah lateral nasofaring dalam narcosis.

6. Pemeriksaan Patologi Anatomi
Klasifikasi gambaran histopatologi dari WHO 1991, dibagi atas 2 tipe, yaitu:
I. Sel skuamosa ber keratinisasi
Terdapat keratin atau intercellular bridge atau keduanya
II. Sel skuamosa tidak berkeratinisasi
a. Karsinoma tidak berdiferensiasi
Terdapat gambaran sinsitial dengan batas sel yang tidak jelas, inti bulat sampai oval dan
vesicular, dijumpai anak inti. Dijumpai lymphoepithelioma (infiltrate sel limfosit yang
banya)
b. Berdiferensiasi

II.9. Diagnosis banding
Di bawah ini terdapat beberapa diagnosis banding dari karsinoma nasofaring ;
1. Infeksi
2. Tornwaldt cyst
Tornwald cyst merupakan kista yang langka yang muncul pada garis tengah dari nasofaring
dan deapat terinfeksi. Kista ini merupakan sisa dari nothochord embrional yang superficial
dari otot konstriktor superior dari faring dan ditutupi oleh membrana mukosa dari
nasofaring. Ketika terinfeksi, akan mengeluarkan cairan purulen dengan bau yang tidak
sedap, dapat menyumbat tuba eustachius dan sakit tenggorok.
3. Metastase ganas dari kanker primer di bagian tubuh lain
4. Limfoma

II.10. Staging Klinis
Penentuan stadium TNM pada Karsinoma Nasofaring berdasarkan UICC (Union International Centre
Cancer) dan AJCC (American Joint Committee on Cancer) adalah sebagai berikut :

Tabel 2002 AJCC Kriteria untuk stadium nasofaring
T1 Tumor terbatas pada nasofaring
T2 Tumor meluas ke orofaring dan atau nasofaring
T2a Tanpa perluasan ke parafaring
T2b Perluasan ke ruang parafaring
T3 Invasi tumor ke struktur tulang dan/atau ke sinus paranasal
T4 Tumor meluas ke intrakanial dan atau mengenai syaraf kranial, hipofaring, fossa
infratemporal, atau orbita
N0 Tidak ada pembesaran kelenjar
N1 Terdapat pembesaran kelenjar ipsilateral<6cm
N2 Terdapat pembesaran kelenjar bilateral <6 cm
N3 Terdapat pembesaran kelenjar>6cm atau ekstensi ke supraklavikula

M0: tidak ada metastase jauh
M1: terdapat metastase jauh
Tabel system staging 2002
T1 T2 T3 T4
N0 I II III IV
N1 II II III IV
N2 III III III IV
N3 IV IV IV IV


II.11. Prognosis (chapter II)
Angka ketahanan hidup dipengaruhi oleh usia (lebih baik pada pasien usia muda), staging klinik dan
lokasi dari metatase regional ( lebih baik pada yang homolateral dibandingkan pada metastase
kontralateral dan metastase yang terbatas pada leher atas dibandingkan dari leher bawah)13. Studi
terakhir dengan menggunakan TNM Staging System menunjukkan 5 years survival rate untuk stage I
98%, stage II A-B 95%, stage III 86%, dan stage IV A-B 73%6. Secara mikroskopis, prognosis lebih buruk
pada keratinizing squamous cell carcinoma dibandingkan dengan yang lainnya.
Untuk non keratinizing squamous cell carcinoma, prognosis buruk bila
dijumpai :
1.Anaplasia dan atau plemorfism.
2.Proliferasi sel yang tinggi ( dihitung dari mitotik atau dengan proliferasi
yang dihubungkan dengan marker imunohistokimia ).
3.Sedikitnya jumlah sel radang limfosit.
4.Tingginya densitas dari S-100 protein yang positif untuk sel-sel
dendritik.
5.Dijumpai banyak pembuluh darah kecil.
6.Dijumpai ekspresi c-erb B-212.

II.12. Komplikasi
Komplikasi dari karsinoma nasofaring dapat berupa penyebaran kanker ke daerah lain dan masalah
reaksi imun tubuh terhadap kanker.

Penyebaran ke daerah Lain(metastasis)
Karsinoma nasofaring sering menyebar ke daerah yang lebih jauh dari daerah nasofaring.
Sebagian besar pasien dengan karsinoma nasofaring mengalami metastasis regional yang artinya sel
kanker dari kanker awal berpindah ke daerah terdekat di sekitar nasofaring seperti pembuluh limfa
di leher. Sel kanker yang bermetastasis jauh ke daerah tubuh lain paling sering menuju tulang dan
sum-sum tulang, paru-paru dan hati.

Sindroma paraneoplastik
Karsinoma nasofaring dapat menyebabkan sindroma paraneoplastik. Sindroma ini tergolong
jarang, tetapi dapat memungkinkan untuk menjadi salah satu komplikasi. Sindroma terjadi ketika
reaksi imun tubuh bereaksi terhadap sel kanker dengan menyerang sel tubuh normal.


II.13. Terapi (refrat UKI)
Radioterapi
Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam penatalaksanaan KNF, karena
kebanyakan tumor ini tipe anaplastic yang radiosensitive. Penatalaksanaan pertama untuk KNF adalah
radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi.

Kemoterapi
Kemoterapi merupakan terapi tambahan pada karsinoma nasofaring yang dapat meningkatkan hasil
terapi. Kemoterapi terutama diberikan pada stadium lanjut.

Kemoradioterapi/Terapi Kombinasi
Kemoradioterapi merupakan kombinasi pemberian kemoterapi bersamaan dengan radioterapi dalam
rangka mengkontrol tumor secara lokoregional dan meningkatkan survival pasien dengan cara mengatasi
sel kanker secara sistemik lewat mikrosirkulasi.
Manfaat Kemoradioterapi adalah
1. Mengecilkan massa tumor, karena dengan mengecilkan tumor akan memberikan hasil terapi radiasi
lebih efektif. Telah diketahui bahwa pusat tumor terisi sel hipoksik dan radioterapi konvensional tidak
efektif jika tidak terdapat oksigen. Pengurangan massa tumor akan menyebabkan pula berkurangnya
jumlah sel hipoksia.
2. Mengontrol metastasis jauh dan mengontrol mikrometastase.
3. Modifikasi melekul DNA oleh kemoterapi menyebabkan sel lebih sensitif terhadap radiasi yang
diberikan (radiosensitiser).
Terapi kombinasi ini dimaksud untuk mempertinggi manfaat radioterapi. Dengan cara ini diharapkan
dapat membunuh sel kanker yang sensitive terhadap kemoterapi dan mengubah sel kanker yang
radioresisten menjadi lebih sensitive terhadap resistensi.
Kelemahan kemoradioterapi adalah efek samping yang ditimbulkannya seperti mukositis, leukopeni,
dan infeksi berat. Efek samping yang terjadi dapat menyebabkan penundaan sementara radioterapi.
Toksisitas kemoradioterapi dapat begitu besar sehingga berakibat fatal.

Operasi
Tindakan operasi pada penderita KNF berupa diseksi leher radikan dan nasofaringektomi. Diseksi leher
Diseksi leher dilakukan jika masih ada sisa kelenjar pasca radiasi atau adanya
kelenjar dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih yang dibuktikan dengan
pemeriksaan radiologik dan serologi. Nasofaringektomi merupakan suatu operasi paliatif yang
dilakukan pada kasus-kasus yang kambuh atau adanya residu pada nasofaring yang tidak berhasil
diterapi dengan cara lain.
Menurut GPOH protocol NPC-2003-GPOH
Dalam GPOH protocol NPC-2003-GPOH Pasien beresiko rendah dengan tumour stase I and II menerima
radiotherapy hanya disertai dengan pemberian adjuvant interferon (IFN)- 105u/kg intravena (i.v.) 3 kali a
seminggu selama 6 bulan. Pasien dengan resiko tinggi diberikan cisplatinum 100mg/m2 selama 6 hours
pada hari pertama dengan hidrasi standar, mannitol dan elektrolit, dan folinic acid 25mg/m2 setiap 6 jam
untuk dosis total 6 doses sama seperti 5-fluorouracil 1000mg/m2 per hari dari hari 2 selama 5 hari sebagai
infus yang berlanjut. Mereka diberikan 3 paket kemoterapi setiap 21 hari atau sesuai pemulihan darah
sepenuhnya dan diikuti dengan radiiasi dan IFN- seperti pada pasien beresiko rendah. Methotrexate
telah ditinggalkan karena efek sampingnya berupa mukositis yang sangat parah. Pasien yang tidak dalam
CR setelah 3 paket kemoterapi akan diberikan concomitant cisplatinum 20mg/m2/day selama 3 hari dan
diikuti oleh 2 paket radiasi.

Perawatan Paliatif
Perawatan paliatif diberikan kepada pasien dengan pengobatan radiasi. Pasien dianjurkan untuk makan
banyak kuah dan banyak minum, untuk merangsang keluarnya air liur yang rusak sewaktu penyinaran.
Gangguan lain seperti mukositis, rasa kaku leher, sakit kepala, anoreksia, dan terkadang mual muntah
harus ditangani untuk menghindari komplikasi dari terapi.

II.4. Follow up
Tidak seperti keganasan kepala leher yang lain, KNF memiliki resiko terjadi rekuransi, follow up jangka
panjang diperlukan. Kekambuhan sering terjadi kurang dari 5 tahun, 5-15% kekambuhan seringkali terjadi
antara 5-10 tahun. Sehingga pasien dianjurkan untuk follow up setidaknya 10 tahun pasca terapi. [Buku
ijo]

II.15. Pencegahan (refrat uki)
Pemberian vaksinasi dengan vaksin spesifik membran glikoprotein virus Epstein Barr yang
dimurnikan pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah dengan resiko tinggi.
Memindahkan (migrasi) penduduk dari daerah resiko tinggi ke tempat lainnya.
Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah, mengubah cara memasak makanan untuk
mencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan yang berbahaya.
Penyuluhan mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan keadaan social
ekonomi dan berbagai hal yang berkaitan dengan kemungkinan-kemungkinan factor penyebab.
Melakukan tes serologik IgA anti VCA dan IgA anti EA secara massal di masa yang akan datang
bermanfaat dalam menemukan karsinoma nasofaring secara lebih dini.


BAB III PEMBAHASAN
III.1. Deteksi Dini Karsinoma Nasofaring
Wei dan Sham membagi gejala klinis pada pasien KNF kedalam 4 kategori:
Sumber Gejala klinis
1. Masa tumor di nasofaring Epistaksis, hidung buntu, dan beringus
2. Disfungsi tuba eustachius Pendengaran yang berkurang/tuli
3. Ekstensi superior dari tumor nyeri kepala, diplopia, nyeri wajah, baal
4. Masa di leher

Dikarenakan gejala KNF pada stadium awal biasanya tidak khas, hampir semua pasien KNF terdiagnosis
pada stadium lanjut. Sehubungan dengan prognosis yang kurang baik pada terapi KNF stadium lanjut,
deteksi dini dan pemberian terapi yang sesuai memegang peranan penting untuk mencapai hasil yang
baik.
Perkembangan dari protocol primer skrining KNF berkontribusi terhadap deteksi dini sehingga dapat
memperbaiki hasil dari terapi.

Dalam penelitian, peneliti mengaitkan kejadian karsinoma nasofaring dengan EBV. Meskipun secara
mekanisme belum dapat dijelaskan dengan rinci, igA antibody titer untuk antigen capsid viral (EBV-IgA-
VCA) dan EBV Early Antigen (EBV-EA) dapat digunakan untuk screening karsinoma nasofaring secara
serologi.
15,16
Penelitian lainnya mengatakan, terdeteksinya gen EBV pada swab nasofaring pasien yang
memiliki gejala merupakan petunjuk yang baik dalam perkembangan ke arah karsinoma nasofaring.
17,18
Penelitian terakhir, ELISA(Enzym-Linked Immunosorbent Assays) dengan menggunakan rekombinan
antigen EBV lebih banyak digunakan untuk menggantikan immunoflourescent assay yang tradisional.
19

Tes-tes ini sering mendahului penampakan klinis dari Karsinoma nasofaring dan digunakan sebagai
tumor marker dari remisi dan relaps.
20,21
Penelitian menemukan bahwa peningkatan level antibody EBV
mendahului gejala dari karsinoma nasofaring. Penelitian juga melaporkan adanya jeda waktu sekitar
tiga tahun sebelum adanya gejala klinis dari karsinoma nasofaring ketika level antibody meningkat dan
bertahan pada level yang tinggi.
22
Tetapi, tes-tes serologik ini tidak memberikan hasil yang memuaskan
karena tingkat spesifisitas dan sensitivitas yang rendah. Deteksi dari gen EBV pada swab nasofaring
pada pasien yang bergejala telah menjadi factor prediksi yang baik dari karsinoma nasofaring.
23,24

Pendekatan proteomik telah dipakai untuk menganalisa neoplasma ganas. Marker lain yang
potensial untuk diagnosis karsinoma nasofaring adalah Galectin-1, fibronectin, Mac-2 binding
protein, dan plasminogen activator inhibitor 1.
25,26
Ada kemungkinan inkorporasi dari tes-tes ini
pada skrining rutin karsinoma nasofaring dapat menjadi cara deteksi dini.

Pentingnya gejala klinis, perjalanan penyakit dan pemeriksaan klinis untuk membantu diagnosis
dini dari karsinoma nasofaring tidak dapat dilupakan. Pasien dengan AIDS bermanivestasi dalam
meningkatnya kasus karsinoma nasofaring.
27
Keluhan utama yang paling sering adalah masa pada
leher tanpa rasa nyeri. Orang dewasa yang datang dengan keluhan otitis media serosa unilateral
harus diperiksa dengan seksama untuk menyingkirkan karsinoma nasofaring. Endoskopi memiliki
peranan yang sangat penting dalam mendeteksi lesi karsinoma nasofaring dini dan biopsy
endoskopi memungkinkan ditegakkannya diagnosa pasti. Lesi awal biasanya muncul pada dinding
lateral atau atap dari nasofaring. Mekipun begitu, para dokter harus mengingat fakta bahwa
mendeteksi karsinoma nasofaring terkadang sangat susah dengan endoskopi. Dari Endoskopi, lesi
awal karsinoma nasofaring dapat berbentuk sebagai kepenuhan pada fosa Rosenmuller, tonjolan
kecil atau bentuk yang tidak simetris dari atap. Ketika suspek karsinoma nasofaring sudah kuat,
mempertimbangkan deteksi dini karsinoma nasofaring, pemeriksaan radiologi yang tepat
dan/atau biopsy dari mukosa nasofaring tetap dianjurkan meskipun permukaan mukosa terlihat
normal.

Perhatian lebih harus diberikan ketika MRI dilakukan pada pasien dengan otitis media serosa
unilateral atau pembesaran kelenjar getah bening servikal. Sebagian besar kasus karsinoma
nasofaring bermula di fosa Rosenmuller. Obstruksi dari orifisium faring dari tuba eustachius
menyebabkan otitis media serosa. Sekitar 70% dari pasien karsinoma nasofaring awalnya datang
dengan keluhan masa pada leher dan 60-96% dari pasien karsinoma nasofaring didapatkan
pembesaran kelenjar getah bening servikal.
28-30
Masa pada leher biasanya ditemukan di leher
bagian atas. Tumor T1 pada nasofaring dapat secara klinis tersembunyi dan juga dapat sangat
susah dibedakan dengan mukosa normal jika dilihat dari CT scan dan MRI. MRI dapat membantu
memberikan gambaran yang lebih baik kanker pada pemeriksaan endoskopi yang gagal.
31
Dalam
penelitian dikatakan bahwa MRI lebih baik daripada PET scan dalam menilai invasi locoregional
dan metastasis retrofaringeal. PET tidak cocok dalam mendeteksi masa retrofaringeal kecil atau
untuk membedakan masa retrofaringeal dari tumor lain disekitarnya.
32



Studi terakhir mrekomendasikan bahwa skrining harus dilakukan pada anggota keluarga pasien knf
yang asimptomatis, sebagai deteksi dini KNF dan meningkatkan angka bertahan hidup.



III. 2. Kesimpulan
Deteksi dini KNF masih merupakan sebuah masalah karena adanya manifestasi klinis yang tidak khas.
Tes serologi VEB merupakan sebuah skrining pada populasi yang memiliki resiko tinggi, walaupun tes
skiring yang ada di klinik memberikan hasil yang kurang memuaskan. Pemeriksaan radiologi dan/atau
biopsy direkomendasikan apabila adanya dugaan kuat terhadap KNF. Peningkatan kesadaran para
dokter dan populasi beresiko berkontribusi kuat terhadap deteksi dini KNF.



Daftar Pustaka
1. depkes
2. Marlinda Adham, Antonius N. Kurniawan, et al. Nasopharyngeal carcinoma in Indonesia:
Epidemiology, incidence, sign, and symptom at presentation. Chinese Journal of cancer,
2012, 31:4
3. Dr. NG Wai Tong, Dr. Anthony C.H.YING. Guidelines on Cancer prevention, early detection
and screening Nasopharyngeal Carcinoma. The Hong Kong Anti Cancer Society, 2008
4. buku nasofaring ca van hasselt et al
5. Yu MC, Yuan JM. Epidemiology of nasopharyngeal carcinoma.Semin Cancer Biol,
2002,12:421-429.
6. Tao Q, Chan ATC. Nasopharyngeal carcinoma: molecular pathogenesis and therapeutic
developments. Expert Rev Mol Med, 2007,9:1-24.
7. Armstrong RW, Imbrey PB, Lye MS, et al. Nasopharyngeal carcinoma in Malaysian Chinese;
salted fish and other dietary exposures. Int J Cancer, 1998, 77:228-235.
8. Magee PN, Montesano R, Preussmann R. N N itroso compounds and related carcinogens.
Searle CE, ed. Chemical Carcinogens. Washington DC: American Chemical Society
Monograph, 1976:491-625.

9. Soepardi EA, Iskandar N. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala &
Leher. Edisi Keenam. Jakarta. Balai Penerbit FKUI, 2007.
10. Buku boeis
11. Keiji Tabuchi, Masahiro Nakayama et al. Early Detection of Nasopharyngeal Carcinoma.
International Journal of Otolaryngology,2011.
12. Warut Tulalamba dan Tavan Janvilisri. Nasopharyngeal Carcinoma Signaling Pathway: An
Update on Molecular Biomarkers. International Journal Of Cell Biology, 2012.



13. Sham JS, Choy D, Wei WI, et al. Detection of subclinical nasopharyngeal carcinoma by
breoptic endoscopy and multiple biopsy. Lancet 1990;335:37174.
14. W. I. Wei and J. S. T. Sham, Nasopharyngeal carcinoma, The Lancet, vol. 365, no. 9476, pp. 2041
2054, 2005.
15. Z. Yi, L. Yuxi, and L. Chunren, Application of an immunoen- zymatic method and an
immunoautoradiographic method for a mass survey of nasopharyngeal carcinoma, Intervirology, vol.
13, no. 3, pp. 162168, 1980.
16. Y. Zeng, L. G. Zhang, and H. Y. Li, Serological mass survey for early detection of nasopharyngeal
carcinoma in Wuzhou City, China, International Journal of Cancer, vol. 29, no. 2, pp. 139141, 1982.
17. N. M. Tsang, C. C. Chuang, C. K. Tseng et al., Presence of the latent membrane protein 1 gene in
nasopharyngeal swabs from patients with mucosal recurrent nasopharyngeal carci- noma, Cancer,
vol. 98, no. 11, pp. 23852392, 2003.ing early recurrent nasopharyngeal carcinoma,
18. K.-P. Chang, C.-C. Wu, H.-C. Chen et al., Identication of candidate nasopharyngeal carcinoma serum
biomarkers by cancer cell secretome and tissue transcriptome analysis: potential usage of cystatin A
for predicting nodal stage and poor prognosis, Proteomics, vol. 10, no. 14, pp. 26442660,
19. E. C. B. Nadala, T. M. C. Tan, H. M. Wong, and R. C. Y. Ting, ELISA for the detection of serum. And
saliva IgA against the BMRFI gene product of Epstein-Barr virus, Journal of Medical Virology, vol. 50,
no. 1, pp. 9396, 1996.
20. F. De Vathaire, H. Sancho-Garnier, H. De-The et al., Prognostic value of EBV markers in the clinical
management of nasopharyngeal carcinoma (NPC): a multicenter follow-up study, International Journal
of Cancer, vol. 42, no. 2, pp. 176 181, 1988.
21. K. P. Chang, C. L. Hsu, Y. U. L. Chang et al., Complementary serum test of antibodies to Epstein-Barr
virus nuclear antigen- 1 and early antigen: a possible alternative for primary screening of
nasopharyngeal carcinoma, Oral Oncology, vol. 44, no. 8, pp. 784792, 2008.
22. S. P. Hao, N. M. Tsang, and K. P. Chang, Screening nasopharyngeal carcinoma by detection of the
latent membrane protein 1 (LMP-1) gene with nasopharyngeal swabs, Cancer, vol. 97, no. 8, pp.
19091913, 2003.
23. N. M. Tsang, C. C. Chuang, C. K. Tseng et al., Presence of the latent membrane protein 1 gene in
nasopharyngeal swabs from patients with mucosal recurrent nasopharyngeal carcinoma, Cancer, vol.
98, no. 11, pp. 23852392, 2003.
24. K.-P. Chang, C.-C. Wu, H.-C. Chen et al., Identication of candidate nasopharyngeal carcinoma serum
biomarkers by cancer cell secretome and tissue transcriptome analysis: potential usage of cystatin A
for predicting nodal stage and poor prognosis, Proteomics, vol. 10, no. 14, pp. 26442660, 2010.
25. C. E. Tang, T. Tan, C. Li et al., Identication of Galectin-1 as a novel biomarker in nasopharyngeal
carcinoma by proteomic analysis, Oncology Reports, vol. 24, no. 2, pp. 495500, 2010.pp. 283287,
2003.
26. C. C. Wu, K. Y. Chien, N. M. Tsang et al., Cancer cell-secreted proteomes as a basis for searching
potential tumor markers: nasopharyngeal carcinoma as a model, Proteomics, vol. 5, no. 12, pp. 3173
3182, 2005.
27. F. M. Shebl, K. Bhatia, and E. A. Engels, Salivary gland and nasopharyngeal cancers in individuals
with acquired immunodeciency syndrome in United States, International Journal of Cancer, vol. 126,
no. 10, pp. 25032508, 2010.
28. S. H. Ng, J. T. C. Chang, S. C. Chan et al., Nodal metastases of nasopharyngeal carcinoma: patterns
of disease on MRI and FDG PET, European Journal of Nuclear Medicine and Molecular Imaging, vol.
31, no. 8, pp. 10731080, 2004.
29. A. D. King, A. T. Ahuja, S. F. Leung et al., Neck node metastases from nasopharyngeal carcinoma:
MR imaging of patterns of disease, Head and Neck, vol. 22, no. 3, pp. 275281, 2000.
30. W. T. Ng, A. W. M. Lee, W. K. Kan et al., N-staging by magnetic resonance imaging for patients with
nasopharyngeal carcinoma: pattern of nodal involvement by radiological levels, Radiotherapy and
Oncology, vol. 82, no. 1, pp. 7075, 2007.
31. A. D. King, A. C. Vlantis, K. S. S. Bhatia et al., Primary nasopharyngeal carcinoma: diagnostic
accuracy of MR imaging versus that of endoscopy and endoscopic biopsy, Radiology, vol. 258, no. 2,
pp. 531537, 2011.
32. A. D. King, B. B. Ma, Y. Y. Yau et al., The impact of FFDG PET/CT on assessment of nasopharyngeal
carcinoma at diagnosis, British Journal of Radiology, vol. 81, no. 964, pp. 291298, 2008.
33.

Anda mungkin juga menyukai