Anda di halaman 1dari 8

DETEKSI DINI DARI KARSINOMA

NASOFARING
1. PENDAHULUAN

Karsinoma nasofaring (NPC) adalah karsinoma sel skuamosa


nonlimpomatous yang terjadi pada lapisan epitel nasofaring. Neoplasma ini
menunjukkan berbagai tingkat diferensiasi dan sering terdapat di Fossa Rosenmuller,
posteromedial ke bagian medial muara tuba Eustachii di nasofaring. KNF( Kanker
Naso Faring) adalah bentuk keganasan dari kanker kepala dan leher yang berbeda
dari keganasan lain pada traktus aerodigestivus atas dalam hal etiologi, epidemiologi,
patologi, manifestasi klinis, dan respon terhadap pengobatan. Di luar wilayah
endemik di Asia Tenggara, KNF jarang, terjadi kurang dari 1 / 1.000.000 orang . Di
Amerika Utara, KNF sekitar 0,2% dari seluruh keganasan, sekitar 0,5-2 kasus per
100.000 laki-laki dan sepertiganya terjadi pada pada wanita. Insiden KNF dilaporkan
tetap tinggi di antara orang-orang Cina yang beremigrasi ke Asia Tenggara atau
Amerika Utara, tetapi lebih rendah diantara orang-orang Tionghoa yang lahir di
Amerika Utara dibandingkan pada mereka lahir di Cina Selatan.Temuan ini
menunjukkan bahwa genetik serta faktor lingkungan berperan dalam penyebab
penyakit ini.

Pilihan pengobatan KNF adalah radioterapi, tetapi kemajuan hasil pengobatan


untuk KNF tidak memuaskan. Fokus dari kajian ini adalah untuk memberikan
gambaran dari KNF terutama wawasan baru untuk deteksi dini KNF.

2. EPIDEMIOLOGI DAN ETIOLOGI


KNF merupakan keganasan yang relatif jarang di dunia. Persentase 2% dari
seluruh keganasan sel skuamosa kepala dan leher, dengan kejadian 0,5 sampai 2 per
100.000 di Amerika Serikat. Namun, KNF endemik pada daerah geografis, termasuk
Cina Selatan, Asia Tenggara, Jepang, dan Timur Tengah / Afrika Utara. Ho

1
melaporkan bahwa KNF merupakan keganasan paling umum ketiga diantara laki-
laki, dengan kejadian antara 50 per 100.000 di Provinsi Guangdong Cina Selatan.
Emigrasi dari dataran tinggi ke dataran rendah, seperti Amerika Serikat dan Kanada
mengurangi kejadian KNF pada generasi pertama Cina, tetapi masih tetap di tujuh
kali meningkat di Kaukasia.
KNF muncul sebagai penyakit kompleks yang disebabkan oleh interaksi
antara infeksi kronis virus herpes gamma onkogenik Epstein-Barr Virus (EBV)
dengan lingkungan dan faktor genetik, melibatkan proses karsinogenik. EBV
menyebar terdapat di seluruh dunia, menginfeksi lebih dari 95% populasi orang
dewasa. Di Hong Kong, 80% anak-anak terinfeksi sejak usia 6 tahun, dan hampir
100% telah terinfeksi dari usia 10 tahun. Meskipun infeksi primer EBV biasanya
subklinis, virus ini terkait dengan pengembangan beberapa jenis kanker, termasuk
KNF. Hal ini dapat ditularkan dari air liur, dan infeksi utama terjadi selama masa
kanak-kanak dengan replikasi virus pada lapisan sel orofaringeal, yang diikuti oleh
infeksi laten dari limfosit B (target primer dari EBV).Peningkatan titer EBV terkait
antigen (terutama IgA), sebuah infeksi laten EBV yang diidentifikasi dalam sel
neoplastik pada hampir semua kasus KNF, dan genom klonal EBV secara konsisten
terdeteksi di karsinoma invasif dan lesi displastik derajat tinggi menunjukkan peran
penting dari EBV dalam patogenesis KNF di daerah endemik.
Paparan nonviral terkait dengan risiko KNF melibatkan konsumsi ikan asin
yang diawetkan, tradisi makanan pokok di beberapa daerah endemik KNF. Dalam
penelitian, populasi Cina relatif beresiko KNF terkait dengan mengkonsumsi
mingguan, dibandingkan dengan tidak ada atau langka mengkonsumsi, umumnya
berkisar 1,4-3,2 per 100.000 sedangkan untuk konsumsi sehari-hari berkisar antara
1,8 hingga 7.5. Makanan yang diawetkan garam adalah makanan pokok di seluruh
populasi endemik KNF. Potensi karsinogenik ikan asin diawetkan didukung oleh
percobaan pada tikus, yang menimbulkan keganasan hidung dan tumor nasofaring
setelah konsumsi ikan asin. Proses pengawetan dengan garam tidak efisien, sehingga
ikan dan makanan lainnya sebagian menjadi membusuk. Akibatnya, makanan ini

2
secara signifikan mengakumulasi tingkat nitrosamin yang dikenal sebagai karsinogen
dalam hewan.Ikan asin yang diawetkan juga mengandung bakteri mutagen,
genotoksin langsung, dan substansi pereaksi EBV ,salah satu atau semua yang juga
bisa berkontribusi .Namun, tidak ada studi prospektif berhubungan dengan resiko
KNF terhadap konsumsi ikan asin diawetkan, atau resiko KNF terhadap hampir
semua paparan lingkungan lainnya di daerah endemik. Beberapa asosiasi telah
menjelaskan antara frekuensi antigen leukosit manusia (HLA) gen kelas I di populasi
tertentu dengan resiko KNF. Misalnya, peningkatan resiko KNF yang diamati pada
individu dengan alel HLA-A2, khususnya HLA-A0207. Studi asosiasi dengan
keterlibatan genome dikonfirmasi oleh molekul HLA pada generasi KNF. Perubahan
gen seluler juga berkontribusi terhadap perkembangan KNF, terutama inaktivasi gen
supresor tumor, SPLUNC1, UBAP1, BRD7, Nor1, NGX6, dan LTF.

3. PATOLOGI
Pada tahun 1978, berdasarkan pedoman histologis yang diusulkan oleh
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) KNF diklasifikasikan menjadi tiga kelompok
yaitu : tipe 1 ( karsinoma sel skuamosa berkeratin), tipe 2 (karsinoma nonkeratin),
dan tipe 3 (karsinoma terdiferensiasi). Klasifikasi WHO 1991 karsinoma nasofaring
dibagi menjadi dua kelompok yaitu karsinoma sel skuamosa (karsinoma sel skuamosa
berkeratin) dan karsinoma nonkeratin. Karsinoma nonkeratin
dibagi lagi menjadi karsinoma terdiferensiasi dan karsinoma nondiferensiasi.
klasifikasi ini lebih berlaku untuk penelitian epidemiologi dan juga telah terbukti
memiliki makna prognosis. Karsinoma nondiferensiasi memiliki tingkat kontrol
tumor lokal lebih tinggi dengan pengobatan
serta insiden metastasis jauh yang lebih tinggi daripada karsinoma terdiferensiasi.

4. PENGOBATAN AWAL
Radioterapi adalah pengobatan utama untuk KNF. Tipe radiasi mencakup
dasar tengkorak yang berdekatan dan nasofaring. Kontrol tingkat radioterapi
konvensional adalah 75 sampai 90% tumor T1 dan tumor T2, dan 50 sampai 75%
pada tumor T3 dan T4. Karena dari tingginya insiden metastasis node servikal,

3
profilaksis dengan radiasi leher dianjurkan bahkan dalam kasus N0. Kontrol regio
nodal servikal mencapai 90% dari kasus N0 dan N1, dan sekitar 70% dari kasus N2
dan N. Kewajiban untuk mengatur jadwal pengobatan karena pengobatan jangka
panjang mengurangi manfaat dari radioterapi.
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa penambahan kemoterapi radioterapi
meningkatkan hasil pengobatan pada pasien dengan karsinoma nasofaring. Tahap III
studi antar group secara acak menunjukkan bahwa pengobatan pasien dengan radiasi
saja secara signifikan memiliki kelangsungan hidup lebih rendah 3 tahun daripada
mereka yang menerima radiasi dengan cisplatin dan kemoterapi 5-
fluorouracil.Sebuah metaanalisis, kemoterapi untuk KNF yang dilakukan oleh Baujat
et al dikerjakan dengan sebuah desain data pasien individual. Mereka melaporkan
perbaikan pasti dari peningkatan kelangsungan hidup 5 tahun dengan kemoterapi
(56% dengan radioterapi saja dan 62% dengan kemoradioterapi). Selain temuan ini,
fase III lainnya atau metaanalisis studi juga melaporkan keunggulan kemoradioterapi
dibandingkan dengan radioterapi saja. Laporan di atas menyarankan manfaat dari
penambahan kemoterapi, terutama dalam kasus KNF stadium lanjut.Meskipun, masih
ada perdebatan tentang efektivitas penambahan kemoterapi dengan isu-isu
penambahan kemoterapi adjuvan yang lebih kontroversial.

5. DETEKSI DINI KARSINOMA NASOFARING


Wei dan Sham membagi gejala klinis yang dipresentasikan pasien KNF
menjadi empat kategori: (1) gejala yang disebabkan oleh kehadiran massa tumor di
nasofaring (epistaksis,
sumbatan hidung, dan lender/sekret,(2) gejala terkait dengan disfungsi dari tuba
Eustachii (gangguan pendengaran),(3) gejala yang terkait dengan penyebaran tumor
(sakit kepala, diplopia, nyeri wajah, dan mati rasa), dan (4) massa leher. Karena
gejala tahap awal pasien KNF biasanya tidak spesifik, sebagian besar pasien KNF
didiagnosis pada stadium lanjut. Hasil pengobatan untuk KNF tidak memuaskan pada
stadium lanjut, diagnosis dini dan manajemen yang tepat penting untuk mencapai

4
hasil pengobatan memuaskan. Perkembangan baik dari protokol skrining KNF dapat
berkontribusi pada deteksi dini dan peningkatan hasil pengobatan.
Bentuk endemik KNF dikaitkan dengan EBV, meskipun peran yang tepat dari
EBV dalam patogenesis KNF masih belum jelas.Titer antibodi IgA untuk kapsid
antigen virus EBV
(EBV-IgA-VCA) dan antigen awal EBV (EBV-EA) di test immunofluorescent dapat
digunakan untuk pemeriksaan serologi dalam skrining KNF. Dalam beberapa tahun
terakhir, tes enzyme-linked immunosorbent (ELISA) menggunakan rekombinan
antigen EBV semakin menganjurkan menggunakan tes immunofluorescent
tradisional.Tes ini sering mendahului penampilan KNF dan berfungsi sebagai
penanda tumor remisi dan kekambuhan. Mereka menegaskan bahwa elevasi tingkat
antibodi EBV mendahului onset klinis KNF. Mereka juga melaporkan bahwa ada
penanda sekitar 3 tahun sebelumnya timbul gejala klinis, ketika tingkat antibodi yang
ditingkatkan dan dipertahankan pada tingkat tinggi. Namun, tidak satupun dari tes
skrining serologis muncul memuaskan sampai saat ini karena sensitivitas yang
rendah begitu juga spesifisitas. Deteksi gen EBV dari swab nasofaring pada pasien
yang memiliki gejala klinis telah terbukti sangat prediktif terhadap gejala KNF.
Pendekatan proteomik telah diterapkan untuk analisis neoplasma
maligna.Penggunaan praktis dalam skrining tumor,biomarker harus dapat diukur
dalam sampel cairan tubuh. Baru-baru ini, Wei et al. menganalisa sampel serum
pasien dengan KNF menggunakan analisis proteomik.Mereka melaporkan,terdapat
empat protein tertinggi 4097, 4180, 5912, dan 8295 dalton (Da) di diskriminasi pada
pasien KNF dengan sensitivitas 94,5% dan spesifisitas 92,9%. Selanjutnya, Chang et
al melaporkan bahwa penggunaan panel tiga penanda (cystatin A, MnSOD, dan
MMP2) bisa berkontribusi untuk meningkatkan deteksi KNF.Penanda potensial
lainnya untuk diagnosis KNF termasuk galectin-1, fibronektin, protein pengikat Mac-
2, dan plasminogen activator inhibitor 1. Ada kemungkinan bahwa penggabungan tes
ini dalam rutinitas skrining KNF dapat meningkatkan deteksi dini KNF.
Pentingnya sindrom klinis, riwayat penyakit, dan pemeriksaan klinis dalam
membantu diagnosis dini KNF tidak bisa diabaikan. Individu dengan acquired

5
immunodeficiency syndrome (AIDS) menyebabkan peningkatan risiko KNF. Keluhan
utama yang paling umum adalah nyeri massa leher atau terdapat massa. Setiap pasien
dewasa yang mengalami otitis media serosa unilateral harus diteliti dengan seksama
untuk menyingkirkan diagnosis KNF. Endoskopi memainkan peran kunci dalam
mendeteksi lesi awal KNF, dan biopsi endoskopik memungkinkan diagnose definitif.
Lesi awal biasanya terjadi pada lateral dinding atau atap nasofaring. Vlantis et al.
melaporkan tujuan skor endoskopi kelainan nasofaring untuk memprediksi
kemungkinan KNF. Namun, dokter harus ingat kenyataan bahwa deteksi KNF
kadang-kadang sulit dengan endoskopi. Temuan endoskopik mungkin halus pada lesi
dini KNF, hanya memenuhi sedikit dari fossa Rosenmuller, atau tonjolan kecil atau
asimetri di atap nasofaring. Ketika dugaan KNF kuat, mengingat diagnosis dini KNF,
pemeriksaan pencitraan yang tepat dan / atau biopsy mukosa nasofaring dianjurkan
bahkan jika permukaan mukosa menunjukkan penampilan normal.
Perhatian penuh penting dilakukan ketika pemeriksaan MRI pada pasien
dengan unilateral otitis media serosa (statis dari sekresi di telinga tengah unilateral)
atau adenopati kelenjar getah bening servikal. Sebagian besar kasusKNF berasal dari
fossa Rosenmuller. Obstruksi orificium faring dari tuba Eustachian menyebabkan
otitis media serosa. Sekitar 70% pasien KNF awalnya mengeluh terdapat massa pada
leher, dan 60% - 96% pasien KNF dengan adenopati kelenjar getah bening servikal
pada saat timbulnya gejala klinis.Massa leher biasanya diobservasi pada leher bagian
atas. Tumor T1, terbatas pada nasofaring, mungkin secara klinis dan juga mungkin
sulit untuk dibedakan dari mukosa normal pada pemeriksaan CT scan dan MRI.
Namun, tumor kecil seperti ini biasanya mudah terlihat dengan berkurangnya
peningkatan intens gadolinium dibandingkan mukosa nasofaring normal. Selain itu,
MRI juga dapat membantu untuk menggambarkan subklinis kanker yang terlihat pada
endoskopi.Telah dikemukakan bahwa MRI baik untuk penilaian invasi locoregional
dan metastasis nodul retrofaingeal. PET (Positron Emission Tomography) tidak cocok
untuk mendeteksi nodus kecil retrofaringeal atau untuk membedakan nodus
retrofaringeal dari tumor primer yang berdekatan.

6
6. DIAGNOSIS DINI DARI KARSINOMA NASOFARING REKUREN
Untuk saat ini, modalitas umum yang digunakan dalam followup pasien KNF
termasuk pemeriksaan klinis dan pencitraan. Inspeksi dengan fiberscope fleksibel
memainkan peran primer dalam pemeriksaan tindak lanjut. Namun, reaksi mukosa
pada radioterapi membuat sulit untuk menemukan dini lesi berulang. Sekret dan
krusta yang meliputi mukosa nasofaring juga menghambat deteksi dini kekambuhan
lokal. Selain itu, deteksi submukosa atau lesi berulang sulit dengan pemeriksaan
fiberskopik. Jika lesi berulang KNF dapat didiagnosis dengan benar dan pada waktu
yang tepat, lesi ini dapat diobati dengan kemoterapi, reirradiation, radioterapi,
brachitherapy, dan stereotactic, atau operasi. Mengenai operasi,nasofaringiektomi
konvensional untuk lesi berulang KNF masih dapat menghasilkan komplikasi serius.
Namun, lesi berulang dini (seperti lesi RT1) dapat diobati secara efektif dengan Laser
nasofaringiektomi.Ketidakpastian diagnostik dapat mengakibatkan pengobatan
tertunda, sehingga mengurangi harapan hidup pasien dengan lesi KNF berulang.
Narrow-band imaging (NBI) adalah teknik baru meningkatkan sensitivitas
diagnostik endoskopi untuk karakteristik jaringan menggunakan narrow-bandwidth
filters dalam sekuensial sistem pencahayaan merah-hijau-biru. Lesi mukosa
karsinoma superfisial,yang jarang terdeteksi menggunakan endoskopi konvensional,
dapat diamati menggunakan NBI dengan melihat nonangiogenetik, pola
mikrovaskuler proliferasi. Baru-baru ini, Lin dan Wang menerapkan teknik ini untuk
mendeteksi dini lesi mukosa berulang KNF. Mereka melaporkan bahwa lesi berulang
dini dari KNF setelah radioterapi berhasil terdeteksi oleh NBI ditambah dengan
endoskopi konvensional.
Mengenai pemeriksaan pencitraan setelah pengobatan awal, CT scan dan MRI
secara luas digunakan untuk mendeteksi lesi berulang. Umumnya, MRI lebih unggul
daripada CT scan dalam mendeteksi kelainan jaringan lunak. MRI sering dilakukan 2
sampai 3 bulan setelah penghentian pengobatan awal. Setelah evaluasi awal, evaluasi
selanjutnya direkomendasikan dengan pencitraan lanjutan setiap 3 sampai 6 bulan
untuk 2 tahun pertama paska pengobatan. Edema yang diinduksi radioterapi dapat

7
dicatat dalam pemeriksaan pencitraan awal.Setelah 2 tahun followup tanpa bukti
kekambuhan, interval pencitraan diperpanjang menjadi setiap 6 sampai 12 bulan.
Baru-baru ini, efektivitas dari FDG-PET dalam mendeteksi sisa lesi KNF atau lesi
KNF berulang telah dilaporkan dari beberapa lembaga. FDG-PET semakin digunakan
untuk mendeteksi lesi berulang dalam berbagai tipe tumor. PET dilaporkan berguna
untuk membedakan tumor KNF berulang dari perubahan postirradiation, seperti
nekrosis jaringan,fibrosis, dan edema. Liu et al melaporkan bahwa sensitivitas dari
CT, MRI, dan PET untuk mendeteksi residu atau lesi KNF berulang masing-masing
adalah 76%, 78%, dan 95%. Temuan ini menunjukkan bahwa PET dapat menjadi alat
yang berguna untuk mendeteksi lesi KNF berulang. Namun, ada juga beberapa
keterbatasan mengenai penggunaan PET untuk deteksi dini lesi KNF berulang. FDG
meningkat oleh reaksi inflamasi pada periode awal setelah radioterapi.

7. KESIMPULAN
Deteksi dini stadium KNF pada ahap awal seringkali sulit karena gejala tidak
spesifik. Tes serologi terkait EBV digunakan sebagai alat skrining pada populasi
berisiko tinggi, meskipun tes skrining yang tersedia di klinik sehari-hari tidak
memuaskan.Molekul biomarker sebagai alat pemeriksaan baru untuk mendeteksi dini
lesi KNF. Mengenai pencitraan,MRI tampaknya cocok untuk deteksi dini lesi, dan
penggunaan rutin PET untuk diagnosis awal dari KNF tampaknya tidak dibenarkan.
Diagnosis dini lesi KNF berulang atau sisa lesi juga menantang. Reaksi mukosa
postradiasi membuat diagnosis yang tepat sulit ditentukan. PET berguna dalam
membedakan lesi KNF berulang jika temuan dari MRI tidak definitif. NBI juga
mungkin berguna dalam mendeteksi dini lesi mukosa berulang. Sebagai tambahan
dengan modalitas diagnostik baru, peningkatan kesadaran dokter dan masyarakat
umum mengenai karsinoma ini tidak diragukan lagi memberikan kontribusi dalam
deteksi dini penyakit KNF.

Anda mungkin juga menyukai