Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kanker serviks merupakan suatu neoplasma ganas primer pada organ serviks uteri.
Sampai saat ini, kanker serviks masih merupakan penyebab kematian terbanyak akibat
penyakit kanker di negara berkembang. Insiden dan mortalitas kanker serviks di dunia
menempati urutan kedua setelah kanker payudara (Samadi, 2011). Di Indonesia diperkirakan
ditemukan 40.000 kasus baru kanker serviks setiap tahun. Menurut data kanker berbasis
patologi di 13 pusat laboratorium patologi, kanker serviks merupakan penyakit kanker yang
memiliki jumlah penderita terbanyak di Indonesia, yaitu kurang lebih 36%. Berdasarkan
estimasi jumlah penderita kanker serviks, Provinsi Jawa Tengah menempati urutan kedua
setelah Jawa Timur, yaitu sebanyak 19.734 penderita (Nurjanah et al., 2016).
Penyebab utama dari kanker serviks adalah infeksi HPV (Human Papilloma Virus) yang
terdeteksi pada 99,7% kanker serviks. Proses terjadinya karsinoma serviks sangat erat
hubungannya dengan proses metaplasia pada sel-sel epitel serviks. Sel kanker berperan
dalam mengeluarkan sitokin yang dapat menyebabkan anoreksia hingga malnutrisi. Penderita
kanker sering mengalami malnutrisi dengan karakteristik kehilangan berat badan (BB) secara
progresif (Ludwig et al., 2015). Malnutrisi yang berkaitan dengan kanker memiliki beberapa
konsekuensi, diantaranya meningkatkan risiko komplikasi, penurunan respon dan toleransi
terhadap pengobatan, penurunan kualitas hidup, dan peningkatan biaya pengobatan. Risiko
malnutrisi juga dipengaruhi tipe tumor, stadium, dan terapi antikanker yang diberikan.
Prevalensi malnutrisi pada pasien kanker berkisar antara 31-87% (Ibeanu, 2011). Kadar Hb
yang rendah atau biasa disebut dengan anemia secara signifikan berhubungan dengan
parameter malnutrisi. Kadar Hb dipengaruhi oleh inflamasi, stadium kanker, terapi
antikanker, penyakit kronis, perdarahan, koreksi Hb, asupan makanan, kebiasaan merokok,
usia, dan jenis kelamin. Anemia pada pasien kanker dapat terjadi baik sebelum maupun
setelah mendapat terapi antikanker (Nurjanah et al., 2016).

B. Tujuan Penyusunan Presentasi Kasus


Mengetahui cara penegakkan diagnosis dan penatalaksanaan kanker servix dengan
anemia.
A. DIAGNOSIS
Paritas 1 Abortus 0, Usia 56 Tahun dengan Ca Cervix Stadium II A dan Anemia
B. PENATALAKSANAAN
1. Cek darah lengkap
2. Melakukan biopsi untuk melihat hasil patologi anatomi
3. Pemberian IVFD RL 20tpm
4. Transfusi PRC sampai HB mencapai 10 gr/dL
5. PO Albuforce 3x1
6. PO Curcuma 2x1
7. Pro Kemoterapi
8. Pro Radioterapi
C. EDUKASI
1. KIE kepada pasien dan keluarga tentang penyakit, faktor risiko, terapi yang diberikan,
dan komplikasi
2. Menganjurkan pasien untuk mengatur pola makan sehat; makan buah, sayur, kurangi
gorengan maupun bakar-bakaran, jauhi asap rokok dan banyak olahraga
3. Konseling bahwa penyakit kanker tidak dapat sembuh total, bisa terjadi rekuren
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan laboratorium tanggal 25 Januari 2021
Darah Lengkap
Hb : 10,6 gr/dl (L) Normal: 12-16 gr/dl
Leukosit : 14540 Normal: 4.800-10.800/l
Hematokrit : 34 % (L) Normal: 37%-47%
Eritrosit : 4,34 juta/l Normal: 4,2-5,4 juta/l
Trombosit : 518.000/l (H) Normal: 150.000-450.000/l
MCV : 77,6 fL (L) Normal: 79-99 fL
MCH : 24,4 pg (L) Normal: 27-31 pg
MCHC : 31,5 gr/dl (L) Normal: 33-37gr/dl
Hitung Jenis
Basofil : 0,4 % Normal: 0-1 %
Eosinofil :1% (L) Normal: 2-4 %
Batang : 0,7 % (L) Normal: 2-5 %
Segmen : 74,9 % (H) Normal: 40-70%
Limfosit : 15,7 % (L) Normal: 25-40%
Monosit : 7,3 % Normal: 2-8 %
2. Pemeriksaan Patologi Anatomi
Makroskopis:
Keping-keping jaringan sebanyak 1cc, warna putih kecoklatan kenyal
Mikroskopis:
Sediaan massa tumor terdiri atas sel sel tumor bentuk oval yang tumbuh hiperplastis,
memadat, berkelompok. Inti sel polimorfik, hiperkromatis, sebagian vesikuler,anak inti
jelas, mitosis ditemukan. Tidak tampak mutiara keratin. Stroma jaringan ikat diantaranya
sebagian nekrosis bersebukan sel radang limfosit dan PMN disertai perdarahan.
Kesimpulan:
Non Keratinizing Squamous Cell Carcinoma Moderatelly Differentiated Cervix.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

CA CERVIX
1. Definisi
Kanker serviks merupakan kanker primer serviks yang tumbuh dan berkembang
pada serviks atau mulut rahim, khususnya berasal dari lapisan epitel atau lapisan
terluar permukaan serviks. Perjalanan penyakit kanker serviks melalui dimulai dari
proses karsinogenesis awal hingga terjadinya perubahan morfologi dan tumbuh
menjadi kanker invasive (Samadi, 2015)
2. Epidemiologi
Kanker serviks merupakan kanker yang menduduki urutan pertama dari kejadian
kanker pada wanita di negara berkembang. Di negara maju, angka kejadian dan angka
kematian kanker serviks telah menurun karena suksesnya program deteksi dini. Akan
tetapi, kanker ini masih menempati posisi kedua terbanyak di seluruh dunia untuk
keganasan pada wanita (setelah kanker payudara) dan diperkirakan diderita oleh
500.000 wanita tiap tahunnya dengan angka kematian 27.000 orang (Samadi, 2015).
Apabila terdeteksi pada stadium awal, kanker serviks merupakan kanker yang
paling berhasil diterapi dengan 5 years survival rate sebesar 92% untuk kanker lokal.
Keterlambatan diagnosis pada stadium lanjut, keadaan umum yang lemah, status
sosial ekonomi yang rendah, keterbatasan sumber daya, keterbatasan sarana, dan
prasarana, jenis histopatologi, dan derajat pendidikan ikut serta dalam menentukan
prognosis dari penderita (Samadi, 2015)
3. Etiologi
Hampir seluruh kanker serviks (99,7%) disebabkan oleh infeksi HPV. Virus ini
bersifat spesifik dan hanya tumbuh di dalam sel manusia, terutama pada sel-sel
lapisan permukaan serviks (Samadi, 2015). HPV merupakan virus deoxyribose
nucleic acid (DNA) dengan diameter kurang lebih 55 nm, genomnya terbentuk oleh
dua rantai (double stranded) DNA yang terdiri dari kurang lebih 8000 pasang basa.
Ukuran HPV sangat kecil, virus ini bisa menular melalui mikro lesi atau sel abnormal
di vagina (Ibeano, 2011).
Human papilloma virus dibagi menurut risikonya dalam menimbulkan kanker
serviks, yaitu risiko tinggi dan risiko rendah, yang tergolong risiko rendah yaitu tipe
6,11, 42, 43, 44, 54, 61, 72, 81 disebut tipe non-onkogen. Jika terinfeksi, hanya
menimbulkan lesi jinak, misalnya kutil dan jengger ayam, sedangkan untuk risiko
tinggi yaitu tipe 16, 18, 31, 35, 39, 45, 51, 52, 56, 58, 59, 68, 82 disebut tipe
onkogenik. Jika terinfeksi dan tidak diketahui ataupun tidak diobati, bisa menjadi
kanker. Virus tipe ini ditemukan pada hampir semua kasus kanker serviks (99%)
(Ibeano, 2011).
4. Faktor Risiko
Faktor risiko dibagi menjadi dua yaitu faktor risiko yang telah dibuktikan dapat
menyebabkan kanker serviks dan faktor risiko yang masih diperkirakan. Faktor risiko
yang telah dibuktikan diantaranya hubungan seksual. Beberapa bukti menunjukkan
adanya keterkaitan antara riwayat hubungan seksual dan risiko terkena penyakit ini.
Sesuai dengan etiologi infeksinya, wanita dengan pasangan seksual yang banyak dan
wanita yang memulai hubungan seksual pada usia muda akan meningkatkan risiko
terkena kanker serviks. Sel kolumnar serviks lebih peka terhadap metaplasia selama
usia dewasa, maka wanita yang berhubungan seksual sebelum usia 18 tahun akan
berisiko terkena kanker serviks lima kali lipat (Rasjidi, 2009)
Karakteristik pasangan juga termasuk faktor risiko, dimana studi kasus kontrol
menunjukkan bahwa pasien dengan kanker serviks lebih sering berhubungan seks
dengan pasangan pria yang sebelumnya telah memiliki pasangan seksual yang
berganti-ganti. Sedangkan untuk riwayat ginekologis, telah dibuktikan bahwa hamil
di usia muda dan jumlah kehamilan atau manajemen persalinan yang tidak tepat dapat
meningkatkan risiko (Samadi, 2011).
Penggunaan obat yang merupakan faktor risiko adalah Dietilstilbestrol (DES) dan
telah terbukti ada keterkaitan antara clear cell adenocarcinoma serviks dengan
paparan DES. Agen infeksius yang juga merupakan faktor risiko adalah HPV, herpes
simpleks virus (HSV), serta infeksi bakteri (Samadi, 2011).
Merokok juga merupakan penyebab kanker serviks dan hubungan antara merokok
dengan kanker sel skuamosa pada serviks telah terbukti dari berbagai penelitian.
Mekanisme kerjanya dapat langsung (aktivitas mutasi mukus serviks telah
ditunjukkan pada perokok) atau melalui efek imunosupresif dari rokok (Cunningham,
2016).
Faktor risiko yang masih diperkirakan yaitu kontrasepsi hormonal. Lamanya
penggunaan kontrasepsi hormonal akan meningkatkan risiko menderita kanker
serviks, kesimpulan tersebut diperoleh berdasarkan penelitian metaanalisis.
Penggunaan sampai dengan 10 tahun kontrasepsi oral, meningkatkan risiko sampai
dua kali. Paparan bahan tertentu dari suatu pekerjaan seperti debu, logam, bahan
kimia, tar, oli mesin diperkirakan dapat menjadi risiko terkena kanker serviks,
sedangkan dari segi etnis dan faktor sosial didapatkan bahwa wanita kelas
sosioekonomi yang paling rendah memiliki faktor risiko lima kali lebih besar terkena
kanker serviks daripada wanita di kelas sosioekonomi yang paling tinggi
(Cunningham, 2016)
5. Klasifikasi
Tabel 1. Klasifikasi Stadium Menurut FIGO (Cunningham, 2016)

Stadium 0 Karsinoma insitu, karsinoma intra epithelial

Stadium I Karsinoma masih terbatas di serviks (penyebaran ke


korpus uteri diabaikan)
Invasi kanker ke stroma hanya dapat dikenali secara
mikroskopik, lesi yang dapat dilihat secara langsung walau
Stadium IA dengan invasi yang sangat superfisial dikelompokkan
sebagai stadium Ib. Kedalaman invasi ke stroma tidak
lebih dari 5 mm dan lebarnya lesi tidak lebih dari 7 mm
Stadium IA1 Invasi ke stroma dengan kedalaman tidak lebih dari 3 mm
dan lebar tidak lebih dari 7 mm.
Stadium IA2 Invasi ke stroma dengan kedalaman lebih dari 3 mm tapi
kurang dari 5 mm dan lebar tidak lebih dari 7 mm.
Lesi terbatas di serviks atau secara mikroskopis lebih dari
Stadium IB
Ia

Stadium IB1 Besar lesi secara klinis tidak lebih dari 4 cm

Stadium IB2 Besar lesi secara klinis lebih dari 4 cm

Stadium II Telah melibatkan vagina, tapi belum sampai 1/3 bawah


atau infiltrasi ke parametrium belum mencapai dinding
panggul.
Telah melibatkan vagina tapi belum melibatkan
Stadium IIA
parametrium

Infiltrasi ke parametrium, tetapi belum mencapai dinding


Stadium IIB
panggul.

Telah melibatkan 1/3 bawah vagina atau adanya perluasan

Stadium III sampai dinding panggul. Kasus dengan hidronefrosis atau


gangguan fungsi ginjal dimasukkan dalam stadium ini,
kecuali kelainan ginjal dapat dibuktikan oleh sebab lain
Stadium IIIA Keterlibatan 1/3 bawah vagina dan infiltrasi parametrium
belum mencapai dinding panggul.
Stadium IIIB Perluasan sampai dinding panggul atau adanya
hidronefrosis atau gangguan fungsi ginjal
Stadium IV Perluasan ke luar organ reproduktif

Stadium IVA Keterlibatan mukosa kandung kemih atau mukosa rektum

Stadium VB Metastase jauh atau telah keluar dari rongga panggul.

6. Gejala dan Tanda


Pada lesi pra kanker 92% tidak terdapat gejala, walaupun telah terjadi invasi sel
tumor ke dalam stroma, dan kalaupun ada hanya berupa rasa kering di vagina, atau
keputihan berulang atau tidak sembuh-sembuh walaupun sudah diobati. Gejala klinis
dapat dibedakan menjadi beberapa tahapan yaitu gejala awal, gejala lanjut, gejala
metastase dan gejala kambuh (Aziz et al., 2016)
Gejala awal ditandai oleh adanya perdarahan lewat vagina pasca senggama atau
spontan di luar masa haid. Perdarahan pasca senggama bisa terjadi bukan disebabkan
oleh adanya kanker serviks, melainkan karena mikro lesi atau lukaluka kecil di vagina
saat bersenggama. Serviks yang normal konsistensinya kenyal dan permukaannya
licin, sedangkan serviks yang sudah berubah menjadi kanker bersifat rapuh, mudah
berdarah dan diameternya biasanya membesar. Serviks yang rapuh tersebut akan
mudah berdarah pada saat aktivitas seksual sehingga terjadi perdarahan pasca
senggama (Aziz et al., 2016).
Gejala lain adalah keputihan yang berulang dan tidak sembuh-sembuh walaupun
telah diobati. Keputihan ini terutama terjadi pada tahap nekrosis lanjut. Nekrosis
terjadi karena pertumbuhan tumor yang cepat dan tidak diimbangi dengan
pertumbuhan pembuluh darah (angiogenesis) agar mendapat aliran darah yang cukup.
Nekrosis ini menimbulkan bau yang tidak sedap, gatal, panas karena disertai adanya
infeksi sekunder (Aziz et al.,2016)
Pada stadium lanjut disertai dengan nyeri panggul, pinggang dan tungkai,
gangguan berkemih serta nyeri di kandung kemih dan anus. Keluhan ini muncul
karena pertumbuhan kanker tersebut menekan atau mendesak, ataupun menginvasi
organ sekitarnya (Samadi, 2011)
Gejala yang timbul pada kanker yang telah metastase, sesuai dengan organ yang
terkena seperti penyebaran di paru-paru, hati dan tulang. Penyebaran ke kelenjar
getah bening tungkai bawah dapat menimbulkan edema tungkai bawah, sedangkan
gejala kekambuhan atau residif terlihat dari adanya edema pada tungkai satu sisi,
nyeri panggul menjalar ke tungkai dan obstruksi ureter (Samadi, 2011).
7. Patogenesis dan Patofisiologi
Infeksi HPV merupakan awal dari proses karsinogenesis kanker serviks uterus,
infeksi ini dapat berlanjut menjadi lesi prakanker dan kemudian kanker serviks
invasif karena ada ko-faktor infeksi. Beberapa faktor secara umum dibagi menjadi
tiga faktor besar yaitu faktor eksogen, faktor virus dan faktor pejamu. Faktor eksogen
antara lain faktor penggunaan kontrasepsi oral, merokok dan faktor penyakit
hubungan seksual. Faktor virus antara lain viral load dan jenis HPV. Faktor pejamu
antara lain faktor hormon, faktor genetik dan sistem kekebalan tubuh penderita
(Evriarti, 2019).
HPV dapat menyebabkan infeksi pada sel-sel epitel serviks dikarenakan adanya
abrasi atau luka pada jaringan epitel. Abrasi ini menjadi titik masuk HPV ke dalam
sel epitel bagian basal. Sel-sel epitel pada bagian basal merupakan sel-sel epitel yang
belum matang dan masih terus berproliferasi. Ekspresi gen HPV semakin lengkap
seiring peningkatan maturasi dari sel pejamu. Saat menginfeksi sel basal, HPV
kurang reproduktif (replikasi virus terjadi lambat). Replikasi virus terjadi sangat
lamban namun konstan (Evriarti, 2019).
Pada fase ini, belum muncul perubahan yang abnormal pada sel. Saat sel epitel
pejamu matang dan tidak lagi berdiferensiasi, replikasi genom HPV meningkat dan
gen E6 dan E7 yang mengkode oncoprotein dan gen L1 dan L2 yang mengkode
protein struktural mulai diekspresi. Pada tahap ini mulai terjadi perubahan yang
abnormal pada sel (immortal sel) dan terbentuk virion baru dalam jumlah besar yang
akan menginfeksi sel epitel lainnya yang masih normal. Akan tetapi, perubahan
yang terjadi masih dalam skala yang sangat kecil (CIN tahap I) dan respon imun
sebenarnya masih dapat mengeliminasi infeksi pada tahap ini. Namun bila terjadi
toleransi, infeksi HPV akan menjadi persisten (Evriarti, 2019).
Infeksi HPV yang persisten akan menyebabkan lesi makin meluas dan makin
invasif (CIN tahap II dan CIN tahap III). Pada tahap lebih lanjut, respon imun
yang terbentuk pada penderita kanker serviks justru makin menguntungkan bagi
virus untuk tetap ada dan berkembang. Hal ini dikarenakan, protein-protein yang
disintesis oleh virus HPV menghambat regulasi terbentuknya sistem imun adaptif
melalui penunurunan aktivitas APC (Agen Precenting Cell). Salah satu APC yang
sangat penting dalam respon imun adaptif adalah sel dendritik. Sel dendritik
berperan mengubah sel T naif menjadi sel T aktif. Kegagalan sel dendritic
mempresentasikan antigen HPV pada sel T naïf menyebabkan toleransi imun
terhadap HPV. Sel dendritik yang dapat mempresentasikan antigen pada sel T
adalah sel dendritik yang matur (dewasa). Sel dendritik yang imatur (tidak
memiliki reseptor B7) tidak dapat menstimulasi pengaktifan sel T. Meskipun
mampu mengaktifkan sel T melalui sekresi Il-10 dan TGF-β, yang terbentuk adalah
sel T regulator yang justru merepresi sistem imun. Proses replikasi dan pelepasan
HPV dari sel penjamu juga tidak terjadi secara litik, sehingga tidak
memprovokasi pelepasan molekul anti-inflamasi. Infeksi HPV yang asimptomatik
merupakan hal yang normal pada wanita yang immunokompeten. Meskipun
demikian, rata-rata infeksi oleh HPV dapat dieliminasi dalam kurun waktu satu
tahun. Oleh sebab itu, persisten dan progresi lesi dari sebagian kecil pasien yang
terinfeksi HPV tidak diketahui penyebabnya dengan pasti (Evriarti, 2019).
8. Penegakkan Diagnosis
a) Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik (Kemenkes, 2015)
Pada umumnya, lesi prakanker belum memberikan gejala. Bila telah
menjadi kanker invasif, gejala yang paling umum adalah perdarahan (contact
bleeding, perdarahan saat berhubungan intim) dan keputihan.
Pada stadium lanjut, gejala dapat berkembang mejladi nyeri pinggang atau
perut bagian bawah karena desakan tumor di daerah pelvik ke arah lateral sampai
obstruksi ureter, bahkan sampai oligo atau anuria. Gejala lanjutan bisa terjadi
sesuai dengan infiltrasi tumor ke organ yang terkena, misalnya: fistula
vesikovaginal, fistula rektovaginal, edema tungkai.
Pada pemeriksaan fisik umum biasanya terdapat pembesaran kelenjar
limfe supra klavikula dan inguinal. Selain itu bisa juga terdapat pembesaran liver,
ascites, dan atau lain-lain sesuai dengan organ yang terkena.
Pemeriksaan Ginekologi dibagi menjadi 2, yaitu sebagai berikut:
1) Vaginal Toucher
 Vagina: fluor, fluksus, dan tanda-tanda penyebaran/infiltrasi pada vagina.
 Porsio: berdungkul, padat, rapuh, dengan ukuran bervariasi, eksofitik atau
endofitik.
 Korpus uteri: normal atau lebih besar.
 Adneksa/ parametrium: tanda-tanda penyebaran, teraba kaku/ padat,
apakah terdapat tumor.
2) Rectal Toucher
 Menilai penyebaran penyakit ke arah dinding pelvis yaitu Cancer Free
Space (CFS), yaitu merupakan daerah bebas antara tepi lateral serviks
dengan dinding pelvis dengan kriteria sebagai berikut:
o CFS 100% :belum ada tanda-tanda penyebaran.
o CFS 25-100% :penyebaran belum mencapai dinding pelvis.
o CFS 0% :penyebaran mencapai dinding pelvis.

b) Pemeriksaan Penunjang (Kemenkes, 2015)


Pemeriksaan klinik ini meliputi inspeksi, kolposkopi, biopsi serviks,
sistoskopi, rektoskopi, USG, BNO -IVP, foto toraks dan bone scan , CT scan atau
MRI, PET scan. Kecurigaan metastasis ke kandung kemih atau rektum harus
dikonfirmasi dengan biopsi dan histologik. Konisasi dan amputasi serviks
dianggap sebagai pemeriksaan klinik. Khusus pemeriksaan sistoskopi dan
rektoskopi dilakukan hanya pada kasus dengan stadium IB2 atau lebih.
9. Tatalaksana
Penatalaksanaan kanker serviks membutuhkan kerja sama berbagai disiplin ilmu
diantaranya ginekolog onkologis, radiolog onkologi dan onkologi medis. Tatalaksana
kanker serviks disesuaikan dengan stadiumnya, berdasarkan konsensus FIGO
(Hextan, 2009).

Stadium Terapi Standar


Stadium IA1 Histerektomi simpel
Stadium IA2 Histerektomi simpel atau radikal dan
limfadenektomi pelvis bilateral
Stadium IB1 Histerektomi simpel atau radikal dan
limfadenektomi pelvis bilateral atau
radioterapi
Stadium IB2 Kemoradiasi atau radikal histerektomi dan
limfadenektomi pelvis bilateral dengan
atau tanpa adjuvan radioterapi atau
kemoterapi
Stadium IIA1 Kemoradiasi atau radikal histerektomi dan
atau 2 limfadenektomi pelvis bilateral dengan
atau tanpa adjuvan radioterapi atau
kemoterapi
Stadium IIB1 Kemoradiasi atau radikal histerektomi dan
atau 2 limfadenektomi pelvis bilateral dengan
atau tanpa adjuvan radioterapi atau
kemoterapi
Stadium IIIA Kemoradiasi atau radioterapi
Stadium IIIB Kemoradiasi atau radioterapi
Stadium IVA Kemoradiasi atau radioterapi
Stadium IVB Radioterapi atau kemoterapi paliatif
Samadi H.P. 2011. Yes, I Know Everything about Kanker Serviks. Cetakan I. Metagraf. Solo.
Ibeanu O.A. 2011. Molecular pathogenesis of cervical cancer. Cancer Biology and Therapy.
Vol.11:3, 295–306.
Kemenkes.2015.Infodatin Kanker.Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. 2-5
Evriarti, P.R., Yasmon, A. 2019. Patogenesis Human Papillomavirus (HPV) pada Kanker
Serviks. Jurnal Biotek Medisiana Indonesia. Vol.8(1)
Hextan YS, Ngan. 2009. FIGO cancer Committee Guidelines for Early Invasive Cervical
Cancer. FIGO Global Guidance for Cervical Cancer Prevention and Control.
Aziz F, Andrijono, Saifuddin AB, editor. 2016. Onkologi Ginekologi. Edisi 2. Cetakan 2.
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta.
Schorge JO, Schaffer JI, Molvorson LM, Hoffman BL, Bradshaw KD, Cunningham FG.
2016. William’s Gynecology. St. Louis: Mc Graw Hill, Co. Hal. 1285–1322
Nurjanah, A. Noer, E.R. Puruhita, N., Syauqy, A. 2016. Hubungan Jumlah Fraksi
Radioterapi dengan Kadar Hemoglobin Pasien Kanker Servix di RSUP DR Kariadi. Journal of
Nutrition College. Vol.5(1)
Ludwig H, Evstatiev R, Kornek G, Aapro M, Baurnhofer T, Ausch VB, et al. 2015. Iron
Metabolism And Iron Supplementation In Cancer Patients. Wiener klinische Wochenschrift. Vol.
127(907-919).
Rasjidi I. 2009. Epidemiologi kanker serviks. Indonesian J Cancer. Vol.III, No.3. Hal.103–
8

Anda mungkin juga menyukai