Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kanker serviks merupakan penyakit keganasan fatal yang dapat

dicegah. Penyebab kanker serviks adalah human papillomavirus (HPV)

onkogenik risiko tinggi, terutama HPV-16 dan 18. Kanker serviks merupakan

salah satu kanker yang paling sering menyerang wanita di seluruh dunia.

Bahkan menurut Badan Kesehatan Dunia, WHO, kanker jenis ini menempati

urutan ke-2 sebagai kanker yang sering menjangkiti kaum hawa. Namun,

dengan ditemukan dan diperkenalkannya vaksin baru melawan Human

Papilloma Virus (HPV), virus yang menyebabkan kanker serviks, sertidaknya

memberikan harapan baru bagi kesehatan wanita. Demikian seperti dikutip

dari situs resmi WHO. 1

Lebih dari 250.000 wanita meninggal akibat kanker serviks pada

tahun 2005, dan yang terbanyak terjadi di negara berkembang. Departemen

Kesehatan RI melaporkan, penderita kanker serviks di Indonesia diperkirakan

90-100 di antara 100.000 penduduk per tahun. Data tersebut memperlihatkan

bahwa kanker serviks menduduki peringkat pertama pada kasus kanker yang

menyerang perempuan di Indonesia. Oleh karena itu, dengan pengenalan

vaksin ini, tentunya akan memberikan pengaruh besar bagi kesehatan wanita

di negara berkembang.2

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kanker Serviks

2.1.1. Definisi

Kanker adalah suatu penyakit yang ditandai dengan proliferasi sel-sel

baru (neoplastic cells) yang tidak normal, cepat, dan tidak terkendali. Kanker

serviks merupakan proses keganasan/kanker yang berasal dari sel-sel leher

rahim yang tidak normal akibat pertumbuhan yang tidak terkendali.3

2.1.2 Etiologi

Penyebab pasti kanker serviks sampai saat ini belum diketahui

sepenuhnya. Namun dalam beberapa tahun ini, penemuan biologi molekuler

telah menunjukkan bahwa HPV turut berperan dalam terjadinya kanker leher

rahim. Sekitar 70% kejadian kanker leher rahim disebabkan oleh HPV tipe 16

dan 18. Penelitian yang dilakukan pada pasien dengan kanker leher rahim di

2
beberapa rumah sakit di Indonesia menemukan bahwa kejadian infeksi HPV

tipe 16 sebesar 44%, tipe 18 sebesar 39%, tipe 52 sebesar 14%, dan sisanya

terdeteksi infeksi HPV multipel. Karsinogenesis bermula ketika DNA HPV

tipe high risk oncogenic berintegrasi dengan genom sel leher rahim yang

menyebabkan terjadinya mutasi. Proses karsinogenesis melalui tahap lesi

prakanker yang terdiri dari CIN I, II, dan III. Lesi prakanker CIN I sebagian

besar akan mengalami regresi, sebagian kecil yang berlanjut menjadi CIN II,

dan kemudian berlanjut menjadi kanker invasif leher rahim.3

2.1.3 Epidemiologi

Secara global, kanker leher rahim menempati posisi kedua penyebab

kematian wanita akibat kanker. Setiap tahun ditemukan 510 000 kasus baru,

288 000 kasus meninggal, atau setiap dua menit seorang wanita meninggal

akibat penyakit ini. Departemen Kesehatan RI melaporkan, penderita kanker

leher rahim di Indonesia diperkirakan 90-100 diantara 100.000 penduduk

pertahun dan masih menduduki tingkat pertama dalam urutan keganasan pada

wanita. Angka kejadian kanker leher rahim mulai meningkat sejak usia 20

tahun dan mencapai puncaknya pada usia 50 tahun. Ketahanan hidup

seseorang tergantung stadium kanker leher rahim; five years survival rate

untuk stadium I, II, III, IV adalah 85%, 60%, 33%, 7%.3

2.1.4 Faktor Risiko

Faktor risiko untuk kanker leher rahim adalah segala sesuatu yang

berhubungan dengan inisiasi transformasi atipik leher rahim dan

perkembangan dari displasia. Faktor-faktor resiko untuk kanker leher rahim

3
terbagi dalam tiga. Faktor pertama adalah faktor reproduksi dan seksual yang

meliputi jumlah mitra seksual, usia saat pertama kali berhubungan seksual,

faktor pasangan pria, jumlah kehamilan, kontrasepsi oral dan infeksi menular

seksual (IMS). Faktor kedua adalah sosioekonomi. Faktor ketiga adalah

faktor-faktor lainnya yang meliputi paparan tembakau, diet, kurangnya

skrining yang tepat dan pengobatan lesi prakanker yang disebut CIN

sebelumnya. Berdasarkan studi epidemiologi, kanker leher rahim

berhubungan erat dengan perilaku seksual seperti berganti-ganti mitra seks

dan usia saat melakukan hubungan seks pertama kali. Risiko meningkat lebih

dari 10 kali bila wanita berhubungan seksual dengan 6 atau lebih mitra seks,

atau bila hubungan seksual pertama dibawah umur 15 tahun. Hamil pada usia

muda dan jumlah kehamilan atau manajemen persalinan yang tidak tepat

dapat pula meningkatkan resiko. Selain itu, risiko juga meningkat bila

berhubungan seksual dengan pria berisiko tinggi (pria yang berhubungan

seksual dengan banyak wanita) yang menderita kutil kelamin atau pria yang

melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial. Pria yang tidak

melakukan sirkumsisi juga dapat meningkatkan faktor risiko seorang wanita

terkena kanker leher rahim. Kontrasepsi oral yang dipakai dalam jangka

panjang dapat meningkatkan risiko relatif seseorang menjadi 2 kali pada

orang normal. Sebaliknya, sejumlah penelitian menunjukan bahwa

penggunaan metode barrier akan menurunkan faktor resiko kanker leher

rahim. 3

Agen infeksius selain HPV adalah HSV (Herpes Simplex Virus) dan

HIV (Human Immunodeficiency Virus). Data mendukung HSV sebagai faktor

4
resiko tidak sekuat pada HPV. Penderita dalam keadaan supresi sistem imun

seperti pada pasien transplantasi ginjal dan infeksi HIV juga meningkatkan

angka kejadian kanker serviks prainvasif dan invasif.3

Wanita dari kelas sosioekonomi yang terendah memiliki faktor resiko

5 kali lebih besar daripada wanita dikelas tertinggi. Selain itu, diperkirakan

paparan bahan tertentu dari suatu pekerjaan (debu, logam, bahan kimia, atau

oli) pada wanita maupun pasangannya dapat menjadi faktor resiko. Paparan

tembakau baik yang dihisap sebagai rokok maupun yang dikunyah

mengandung bahan-bahan karsinogen. Selain itu, dari beberapa penelitian,

defisiensi asam folat, vitamin C, vitamin E, beta karoten/retinol berhubungan

dengan peningkatan resiko kanker leher rahim.3

2.1.5 Pencegahan

Menurut Rasjidi (2009), pencegahan kanker leher rahim terdiri dari 3

tahap, yaitu :

a. Pencegahan primer

Pencegahan primer adalah pencegahan terhadap penyebab penyakit.

Pencegahan primer kanker leher rahim dapat dilakukan dengan

menghindari berbagai faktor risiko serta dengan pemberian vaksin

pencegah infeksi dan penyakit terkait HPV. Vaksin HPV terbukti efektif

dalam mencegah infeksi HPV tipe 16 dan 18. Pentingnya penggunaan

vaksin sebagai suatu program pencegahan adalah berdasarkan kenyataan

bahwa perempuan di negara berkembang tidak dapat melakukan skrining

5
terhadap kanker leher rahim karena kurangnya akses terhadap pelayanan

kesehatan.

b. Pencegahan sekunder

Pencegahan sekunder adalah penemuan dini, diagnosis dini dan terapi dini

terhadap kanker leher rahim. Pencegahan sekunder termasuk skrining dan

deteksi dini, seperti pap smear, kolposkopi, pap net, dan inspeksi visual

dengan asam asetat (IVA).

c. Pencegahan tersier

Pencegahan tersier berupaya meningkatkan angka kesembuhan, survival

rate, dan kualitas hidup dalam terapi kanker. Perhatian terapi ditujukan

pada penatalaksanaan nyeri, paliasi, dan rehabilitasi.3

2.2. HUMAN PAPPILOMA VIRUS (HPV)

2.2.1. Definisi

Human papillomavirus (HPV) adalah anggota famili Papoviridae,

genus papillomavirus. HPV berukuran kecil dengan diameter 55 nm dan

merupakan virus DNA sirkuler dengan untaian ganda yang tidak

berselubung. HPV memiliki kapsid ikosahedral (L1 dan L2) tersusun dari

72 kapsomer. Setiap kapsomer adalah satu pentamer kapsid mayor (L1).

Setiap kapsid virion terdiri dari beberapa kapsid minor (L2). Genom HPV

secara fungsional terbagi menjadi 3 bagian. Bagian pertama adalah

noncoding upstream regulatory region (URR). Bagian ini memiliki p97

yang merupakan promotor inti yang meregulasi replikasi DNA dengan

mengatur transkripsi dari early region dan late region. Bagian kedua

6
adalah early region berupa E1, E2, E3, E4, E5, E6, E7, dan E8. Bagian ini

terlibat dalam replikasi virus dan onkogenesis. Bagian ketiga adalah late

region yang mengkode struktur protein L1 dan L2 untuk kapsid.1

2.2.2. Patogenesis HPV

Gambar 2 : Patogenesis HPV

Siklus hidup HPV terjadi hanya pada keratinosit yang sedang

berdiferensiasi. Pada infeksi yang tidak menyebabkan keganasan (lesi

jinak), DNA virus diatur secara terpisah dengan DNA sel leher rahim

(lokasinya ekstra kromosom pada nukleus) sebagai episome. Pada infeksi

yang menyebabkan keganasan, DNA virus akan berintegrasi dengan

genom sel leher rahim yang menyebabkan terjadinya mutasi.1

Integrasi HPV-DNA mengganggu atau menghilangkan bagian E2.

Fungsi E2 adalah sebagai down-regulation transkripsi E6 dan E7.

Gangguan fungsi E2 akan meningkatkan ekspresi E6 dan E7. Kedua

7
protein tersebut masing-masing mensupresi gen p53 dan gen Rb

(retinoblastoma) yang merupakan gen penghambat perkembangan tumor.

Apabila fungsi gen tersebut terganggu, maka neoplasma akan terbentuk.

Pada lesi jinak, protein E6 tidak mengakibatkan efek pada stabilitas p53

sedangkan E7 mengikat Rb dengan afinitas yang rendah. Selanjutnya

produk protein E5 akan meningkatkan aktivitas mitogen-activated protein

kinase. Hal tersebut menyebabkan peningkatan respon seluler terhadap

faktor pertumbuhan dan diferensiasi.1

Gambar 2 : Human Pappiloma Virus

2.3. VAKSIN HUMAN PAPPILOMA VIRUS (HPV)

Vaksin dihasilkan dari produksi antibodi seseorang atau sel T

sebagai hasil infeksi atau pajanan alami suatu antigen. Vaksin mengandung

patogen yang telah mati atau dilemahkan yang dapat menstimulasi respons

imun tubuh. Pada beberapa kasus, suntikan booster diberikan untuk

8
menstimulasi ulang memori imun dan mempertahankan level proteksi yang

tinggi. Vaksinasi telah mengurangi jumlah penderita penyakit infeksi di

dunia. Saat ini sedang diupayakan untuk memperoleh vaksin dalam jumlah

besar, dapat didistribusikan secara efektif dan mudah serta biaya yang

murah. Vaksin HPV sebagai vaksin kanker serviks adalah vaksin kedua di

dunia yang dapat mencegah terjadinya kanker. Sebelumnya terdapat vaksin

hepatitis B untuk mencegah kanker hati. Teknologi untuk memproduksi

vaksin HPV adalah rekombinan DNA:

1. Viral Like Particles Vaccines (VLP): Vaksin dibentuk dengan protein

virus, L1, yang bertanggung jawab dalam membentuk kapsid virus.

Protein tersebut memiliki fungsi untuk membentuk dirinya sendiri

menjadi partikel yang menyerupai virus. Partikel tersebut tidak

mengandung DNA virus sehingga tidak bersifat infeksius dan dapat

menghilangkan risiko seseorang terkena infeksi dari vaksin itu sendiri.

Partikel tersebut dapat menstimulasi produksi antibodi yang dapat

mengikat dan menetralkan virus yang bersifat infeksius. Saat ini

penelitian mengenai penambahan polipeptid nonstruktural dari protein

virus ke protein minor L1 dan L2 sedang dilakukan dengan harapan dapat

meningkatkan sifat proteksi vaksin.

2. Recombinant Fusion Proteins and Peptides. Merupakan gabungan

ekspresi antigen dengan peptida sintetik yang dapat berrespons terhadap

epitop imunogenik protein virus. Pada binatang percobaan vaksin ini

memiliki kapasitas untuk menginduksi respons antitumor. Vaksin ini

9
diharapkan dapat memberikan efek terapeutik terhadap subyek yang

sudah terinfeksi.

3. Live Recombinant Vectors. Vaksin berasal dari virus hidup yang

direkombinan dengan virus vaccinia untuk mengekspresikan gen HPV

tipe 16 dan 18.1

Pengembangan vaksin saat ini lebih menitikberatkan pada

penggunaan teknologi VLP dengan tujuan utama melindungi manusia

terhadap infeksi HPV tipe 16 dan 18, yaitu tipe virus yang bertanggung

jawab terhadap 99% kanker serviks. Terdapat tipe vaksin lain yang

melindungi infeksi HPV tipe 6 dan 11. Salah satu vaksin yang sedang

dikembangkan saat ini adalah vaksin VLP yang disintesis sendiri dari

protein oleh kapsid antigen L1 dengan menggunakan ragi. Vaksin tersebut

adalah vaksin kuadrivalen yang mengandung VLP dari HPV tipe 6, 11, 16,

18 yang ditanam dalam ragi S.cerevisiae. Penyertaan tipe 6 dan 11 pada

vaksin diharapkan dapat mencegah lebih dari 90% kasus kondiloma

akuiminata dan melindungi dari displasia awal yang dilihat pada infeksi tipe

6 dan 11. Vaksin lain yang sedang dikembangkan adalah VLP tipe 16 dan

18 yang menggunakan teknologi rekombinan baculovirus. Vaksin tersebut

diharapkan dapat mencegah 70% kanker serviks di seluruh dunia. Pemikiran

terbaru adalah menggunakan vaksin dari tipe HPV yang paling sering di

dunia yaitu tipe 16, 18, 45, 31, 33, 52, 58 sehingga diharapkan dapat

mencegah 87% kanker serviks di dunia. Meskipun demikian penambahan

VLP pada satu vaksin tunggal ditakutkan akan memberikan persoalan teknis

dalam produksi vaksin.1

10
2.3.1. Efektifitas Vaksin

Pada penelitian didapatkan bahwa vaksin bivalen HPV 16/18 VLP

sangat efektif menurunkan angka kejadian infeksi HPV dan infeksi

menetap HPV 16/18 pada individu yang sudah mendapat vaksinasi

lengkap HPV ada wanita muda. Efektifitas vaksin juga sangat tinggi pada

wanita yang tidak mendapatkan protokol vaksin secara lengkap.

Efektifetas vaksin dihubungkan dengan infeksi menetap HPV 16 dan 18,

abnoramalitas dari pemeriksaan sel serviks yang dihubungkan dengan

infeksi HPV 16 dan 18., dan angka kejadian CIN yang dihubungkan

dengan infeksi HPV 16 dan 18. Vaksin HPV 16/18 VLP ini akan

merangsang produksi antibodi yang kadarnya masih lebih tinggi jika

dibandingkan dengan kadar antibodi yang dihasilkan oleh tubuh sebagai

respons alami dari infeksi virus HPV, respons kekebalan tubuh yang

ditimbulkan memiliki daya perlindungan yang lebih lama jika

dibandingkan dengan respons kekebalan tubuh yang ditimbulkan oleh

infeksi alami HPV. Vaksin bivalen HPV 16 dan 18 sangat aman dan

ditoleransi oleh wanita yang mendapatkan vaksin tersebut. Vaksin HPV ini

sangat baik untuk memberikan perlindungan terhadapat infeksi HPV pada

populasi yang rutin dilakukan pemeriksaan rutin serviks maupun yang

tidak rutin melakukan pemeriksaan. Pada negara yang sudah menjalankan

program pemeriksaan rutin serviks secara berkala dengan benar, vaksin ini

juga memiliki efektifitas yang sangat tinggi terhadap upaya pencegahan

11
abnormalitas dari hasil pemeriksaan sel serviks yang dihubungkan dengan

infeksi HPV tipe 16 dan 18. Di Amerika serikat telah dihitung preventable

unit cost dari vaksin ini berkisar jutaan dolar tiap tahunnya. Proteksi NIS

2/3 karena HPV 16 dan 18 pada yang di vaksinasi mencapai 100%, dan

proteksi 100% dijumpai sampai 2-4 tahun pengamatan. Pemberian

vaksinasi pada populasi, menurunkan kejadian infeksi HPV 16/18 (infeksi

HPV persisten berkisar 85-100%. Vaksin bivalen (HPV tipe 16 dan 18)

mempunyai\ proteksi silang terhadap HPV tipe 45 (dengan efektifitas

94%) dan HPV tipe 31 ( dengan efektifitas 55%).1

2.3.2. Sasaran dan Waktu Pemberian Vaksin

Vaksin profilaksis akan bekerja efisien bila vaksin tersebut diberikan

sebelum individu terpapar infeksi HPV. Vaksin mulai dapat diberikan pada wanita

usia 10 tahun. Berdasarkan pustaka vaksin dapat diberikan pada wanita usia 10-26

tahun (rekomendasi FDA-US), penelitian memperlihatkan vaksin dapat diberikan

sampai usia 55 tahun. Infeksi HPV yang menyerang organ genetalia biasanya

ditularkan melalui hubungan seksual, dan imunisasi diberikan untuk melakukan

perlindungan terhadap sejumlah besar penyakit yang dihasilkan oleh infeksi virus

tersebut. Selain itu vaksin diberikan pada usia tersebut maka respon kekebalan

tubuh yang dihasilkan akan lebih besar dibandingkan bila diberikan setelah

pubertas, baik pada wanita maupun pada pria. Vaksinasi pada pria belum

menghasilkan efektifitas yang memuaskan.1

2.3.3. Respon Imunologi Terhadap Infeksi HPV

12
Sistem kekebalan tubuh terdiri atas dua bagian besar, yaitu sistem

kekebalan humoral dan sistem kekebalan seluler yang keduanya berperan pada

respon imunologis terhadap infeksi HPV. Sistem kekebalan humoral banyak

diperankan oleh sel B dengan pembentukan imunoglobulin, sedangkan sistem

kekebalan seluler benyak diperankan oleh sel T, baik sel T sitotoksis maupun sel

T helper. Pada sistem kekebalan humoral antigen yang masuk akan berinteraksi

dengan antibodi dan selanjutnya akan mengaktivasi sel B menjadi sel plasma yang

membentuk antibodi (imunoglobulin), proses aktivasi ini dibantu oleh sel T

helper. Sementara itu, pada sistem kekebalan seluler (cell mediated imunity)

antigen terlebih dahulu diproses oleh Antigen Presenting Cell (APC) dan

tergantung dari Major Histocompatibility Complex (MHC).1

Virus sebagai partikel obligat intraseluler dengan menginfeksi sel dan

berperan sebagai imunogen yang memberikan efek sitopatik dan nonsitopatik

pada sel. Reaksi tubuh melawan imunogen virus adalah dari tanpa pembentukan

antibodi sampai dengan respon imun seumur hidup. Ketika virus memasuki suatu

sel , hal ini berarti pengambil alihan terhadap pembentukan dari aparatus sel

penjamu. Protein virus diproduksi secara endogen oleh sel yang terinfeksi dan

dirusak secara intraseluler menjadi peptida-peptida sekitar sembilan asam amino.

Peptidapeptida ini kemudian dihadirkan pada permukaan sel penjamu yang

terinfeksi oleh molekul – molekul dari Major Histocompatibility Complex (MHC)

yang juga dikenal sebagai Human Leukocyte Antigen (HLA).1

Kompleks gen MHC ini adalah suatu polimorphic dan merupakan HLA

kelas I yang terdapat sekitar 50 alel pada lokus A dan C dan 100 alel B yang

berbeda. Molekul HLA kelas 1 terdiri atas 2 rantai protein, yaitu MHC yang

13
menyandi rantai alfa dan yang sangat berhubungan dengan rantai beta 2

mikroglobulin. Pada bagian atas dari molekul HLA kelas 1 adalah suatu alur

tempat protein virus terikat. Terdapat 3 gambaran penting pada sistem ini, yaitu:

1. Molekul HLA menghadirkan / memberikan peptida asing ke limpisit T

yang memiliki kemampuan untuk menghancurkan sel-sel yang terinfeksi

virus

2. Dikenalnyan HLA yang mengikat peptida oleh reseptor sel T adalah HLA

yang tertentu saja. Peptida asing hanya dapat dikenali jika sel target

memiliki molekul HLA yang sama dengan sel T itu sendiri.

3. Peptida yang tepat dihadirkan oleh molekul HLA kelas I adalah spesifik

alel saja.

Pada respon kekebalan tubuh seluler yang diperantarai oleh sel T, terdapat

2 kelas utama sel T yaitu CD 8 yang mengekspresikan Cytotoxic T

Lymphocytes (CTL) dan CD 4 menghasilkan antibodi dan tidak dapat

mengenali antigen yang dapat larut (soluble antigen). Reseptor sel T (TCR)

dari kedua kelas tersebut berhubungan secara langsung dengan antigen peptida

yang dihadirkan oleh molekul HLA pada permukaan sel yang lain. CTL ini

berinteraksi dengan HLA kelas I, sedangkan T helper cell mengenali antigen

yang dihadirkan oleh molekul kelas II. Molekul kelas II MHC diekspresikan

pada antigen penting cell (APC) dari sistem imunologi seperti makropag dan

sel dendrit. Sel T tertentuhanya akan mengenali suatu peptida asing tertentu.

Ikatan spesifik pada peptida ini menyebabkan sel T mengalami pengembangan

klonal yang cepat,mengalami proliferasi dan membentuk suatu klon dari sel T

yang identik dengan spesifitas yang sama untuk masing-masing target antigen.

14
CTLs yang sudah diaktifkan dapat menempel pada sel target selularnya dan

menyebabkan lisis dengan cara melepaskan cytotoxin. T sel helper yang aktif

mensekresi sitokin yang merupakan molekul protein dengan efek

perangsangan terhadap sel-sel lain dari sistem kekebalan tubuh.1

Antigen presenting cell (APC) sangat penting untuk sistem kekebalan yang

efektif. APC mengambil alih protein eksogen atau produknya lalu diproses

menjadi peptida – peptida dan dipindahkan ke nodus limfa regional yang

nantinya akan berinteraksi dengan T helper cell. Antigen yang dihadirkan oleh

APC dapat mencapai seribu kali lebih merangsang sistem imun dibandingkan

antigen yang asli.1

Imunogen yang masuk dalam tubuh akan dilawan oleh tubuh melalui sel

NK, T helper cell-CD4, T sitotoksik sel–CD 8. Sel T sitotoksik (Ts) sebagai

sub bagian limfosit memberikan respons kekebalan tubuh seluler dan humoral.

Respon kekebalan tubuh seluler melalui reaksi hipersensitivitas tipe lambat

(delayed type hypersensitivity) dan sitolitik yaitu aktivasi antigen yang terikat

pada MHC kelas II yang akan merangsang perpindahan CD3 dan 4 dari

thymus, selanjutnya terikat pada reseptornya dan CD3 dan 4 tersebut menjadi

Th-0 dan Th- 1 yang menghasilkan IL-2, IF-γ, TNF-β dan juga diproduksi

oleh sel NK. Th-1 memperluas pengaruh reaksi delayep type hypersensitivity

dengan mengatur peredaran makrofag,limfosit dan neutrofil ke area infeksi.

Selain itu, IFN- γ akan menstimulasi sel NK untuk berproliferasi dan

selanjutnya melepaskan IFN- γ yang akan merangsang sel makropag untuk

melepaskan IL-2 lebih banyak lagi. IL-2 akan menstimulasi sel NK untuk

memproduksi IFN- γ sehingga akan terjadi mekanisme umpan balik antara IL-

15
2 yang dihasilkan oleh makropag dengan IFN- γ dari sel NK yang pada

akhirnya mengakibatkan kerusakan dan kematian sel terinfeksi virus. Sel Ts

mengontrol keseimbangan respon kekebalan tubuh melalui penekanan fungsi

sel Th dan reaksi langsung ke sel B. Sel Ts mengekspresi CD8 dan spesifik

untuk epitop antigen spesifik atau untuk petanda idiotipe pada reseptor

antigen-antibodi sel B atau Ts di mana sel Ts dan regulasi idiotipenya bekerja

sama satu dengan yang lain.1

2.3.4. Respon kekebalan tubuh pada kanker serviks terhadap pajanan HPV

Secara umum respons cell mediated immunity memainkan peran yang

penting dalam mengatasi infeksi virus. Tidak terdapat penurunan kejadian lesi

yang dihubungkan dengan HPV pada pasien dengan humoral imunodifeciency.

Hal ini mengidentifikasi bahwa walaupun respons antibodi mungkin memainkan

peran, mekanisme cell mediated immunity (CMI) penting dalam melawan HPV.

Selain itu mekanisme CMI yang penting adalah terdapat infiltrasi seluler

menyerupai reaksi hipersensitifitas tipe 4 pada pasien dengan warts. Saat respons

kekebalan tubuh yang efektif menurun terjadi peningkatan resiko persisten virus

dan perkembangan neoplasma . Faktor lain yang ikut berperan adalah infeksi tidak

menyebabkan hal yang berbahaya bagi penjamu sehingga sering diabaikan .

Hanya pada stadium akhir dari lesi saat lesi yang lebih besar berkembang, antigen

mungkin terlepas dalam melawan infeksi secara aktif. Dengan demikian,

kegagalan respons kekebalan tubuh telah diduga sebagai faktor utama dalam

perkembangan neoplasia serviks.1

Sel Langerhans, suatu antigen presenting cell (APC) terdapat pada epitel

serviks yang berperan untuk mengambil, memproses dan mentransportasi antigen

16
ke kelenjar getah bening pelvis kemudian menuju ke serviks. Di sini terjadi

induksi sel T dan respons CTL melawan HPV secara umum. Peptida antigen

protein virus dipresentasikan oleh APC dalam kaitannya dengan HLA kelas II

terhadap sel Th dan dengan HLA kelas I terhadap CTL. Dengan demikian,

ekspresi HLAkelas I pada sel target penting bagi CTL untuk mengatur dan

sekaligus menghancurkannya. Sel Th tipe 1 (Th-1) mensekresi IFN- γ, TNF β, IL-

2, yang berperan dalam respons CTL dalam delayed type hypersensitivity sel Th

tpe 2 mensekresi IL-4, IL-5 dan IL 10 yang penting untuk induksi respons

antibodi Ig G dan Ig E.1

Sel T yang berasal dari sitokin anti viral IFN- γ bersama dengan antibodi

penetral akan mengontrol infeksi virus yang menyebabkan pecahnya sel dengan

menghambat penbentukan virus yang menginfeksi sel penjamu sebelum infeksi

virion baru dapat diproduksi adalah mekanisme yang paling efektif untuk

mengontrol virus yang tidak menyebabkan pecahnya sel. Namun antibody

penetral mungkin juga penting untuk mencegah infeksi dengan melepas virion

setelah sel terinfeksi pecah.1

Pada prinsipnya HPV adalah virus yang tidak menyebabkan pecahnya sel,

sehingga selama tidak terjadi pecahnya sel penjamu, infeksi ini tidak menyebar.

Dengan demikian, CTL akan menjadi mekanisme yang lebih efektif pada

pertahanan awal melawan HPV dibandingkan dengan antibody penetral yang

berperan dalam mencegah infeksi ulang. Protein target virus untuk kedua

mekanisme tersebut dinyatakan dalam level yang berbeda pada lapisan epitel

selama siklus sel normal. CTL akan menargetkan sel yang utuh dari lapisan sel

yang intermediate di mana terjadi transkripsi dan pembentukan protein virus E1,

17
E2, E5, E6, dan E7 yang ditemukan pada lapisan sel tersebut. Protein kapsid L1

dan L2 adalah target relevan untuk antibodi penetral.1

Virion HPV adalah suatu partikel ikosahedral yang terdiri dari kapsid

protein yang bersifat tidak beramplop dan double stranded DNA. Genomnya

kirakira sepanjang 8000 pasang basa dan mengandung 6 ORFs (open reading

frame) awal dan 2 ORFs akhir yang mengkode protein HPV (E1,E2, E4, E5< E6,

E7, L1 dan L2).1

HPV secara khusus merupakan patogen pada lapisan epitel dengan cara

menginfeksi sel-sel parabasal pada permukaan epitel serviks yang secara normal

tumbuh ke permukaan dan berdiferensisi menjadi sel gepeng yang matur. Ketika

terjadi infeksi HPV, protein virus awalnya diekspresikan pada lapisan yang lebih

bawah dan kemudian terjadilah pembentukan virus. Jika sel-sel yang terinfeksi

mencapai lapisan permukaan, maka L1 dan L2 ORFs akan diekspresikan. Protein-

protein ini membentuk kapsid virus dan melepaskan virion matur melalui sel-sel

yang terkelupas. Infeksi HPV pada serviks biasanya merupakan suatu proses yang

bervariasi mulai dari yang jinak sampai ganas.1

HPV bersifat patogen murni intraepitelial, di mana tidak menyebabkan

suatu penyebaran virus di darah atau manifestasi ke seluruh tubuh, tidak bersifat

merusak sel, infeksi virus dan pembentukannya tidak disertai radang . Tipe dari

infeksi kronik ini tidak terjadi kerusakan jaringan dan pengaktipan respons

radang. Kemampuan lesi HPV untuk bertahan selama bertahun-tahun adalah

sesuai dengan keberadaan HPV sebagai suatu agen infeksi yang secara ilmiah

imunogenitasnya rendah. Akan tetapi seperti yang telah dibahas sebelumnya,

18
selalu terdapat sistem kekebalan tubuh dalam membatasi dan memberantas infeksi

HPV.1

Virus yang patogen lebih rentan dalam netralisasi oleh antibodi yang

spesifik yang juga memainkan peran dalam terjadinya infeksi oleh virus melalui

antibodi yang tergantung pada sitotoksis seluler. Antibodi HPV dapat berfungsi

secara bermakna dan pada kadar tertentu, antibodi tersebut bisa dijadikan marker

dari status infeksi dan hal ini sebaiknya selalu dipantau untuk mengetahui

perjalanan penyakit. Beberapa penelitian telah menyelidiki hubungan antara

serum antibodi melawan protein HPV tipe 16 pada kanker serviks dan didapatkan

seropositif yang lebih besar secara bermakna pada pasien dibandingkan dengan

kontrol. Telah dilaporkan bahwa seropositif terhadap E7 HPV tipe 16

kemungkinan berhubungan dengan stadium penyakit dan berhubungan dengan

prognosis yang lebih buruk . Terbentuknya kekebalan humoral terhadap HPV

dalam hubungannya dalam perjalanan penyakit mengandung pengertian bahwa

antibodi yang terbentuk akibat dari pemaparan yang berkepanjangan terhadap

antigen dan peningkatan muatan virus. Dalam hal ini sistem kekebalan

memainkan peran yang penting dalam menghancurkan sel – sel yang terinfeksi

virus walaupun masih tetap ada kemungkinan bahwa antibodi akan melawan

langsung capsid protein HPV (terutama L1) yang dapat menetralisir partikel virus

dalam pencegahan dan pengendalian infeksi primer. Sementara itu didapatkan

beberapa penelitian yang melaporkan hubungan dari antibodi melawan capsid

HPV tipe 16.1

Virus Neutralising antibodies dapat mencegah infeksi. Pada kadar tertentu,

serum spesifik IgG memberikan perlindungan dengan cara mengeksudasi ke

19
permukaan dan mengaktifasi patogen. Pada kasus infeksi HPV, vaksinasi

pencegahan yang efektif dibutuhkan untuk membangkitkan antibodi yang spesifik

pada epitel serviks yang secara langsung melawan kapsid protein L1 dari HPV

( yang memainkan peran dalam masuknya virus ke sel host). Akan tetapi, jika sel

keratin serviks telah mengalami perubahan menjadi keganasan, proses diferensiasi

tidak akan terjadi sehingga tidak akan terjadi pengikatan antibodi spesifik pada

epitel serviks yang secara langsung melawan capsid antigen. Ekspresi E6 dan E7

secara terus menerus sangat dibutuhkan oleh sel dalam perubahan ke arah

keganasan, maka pembangkitan CTLs spesifik secara langsung melawan peptida

E6 dan E7 akan menyebabkan penghancuran sel-sel tumor yang terinfeksi virus.2

2.3.5. Sediaan dan Komposisi vaksin HPV

Terdapat dua jenis vaksin HPV L1 VLP yang sudah dipasarkan melalui uji

klinis, yakni Cervarik dan Gardasil :

a. Cervarix

Adalah jenis vaksin bivalen HPV 16/18 L1 VLP vaksin yang diproduksi

oleh Glaxo Smith Kline Biological, Rixensart, Belgium. Pada preparat ini,

Protein L1 dari HPV diekspresikan oleh recombinant baculovirus vector

dan VLP dari kedua tipe ini diproduksi dan kemudian dikombinasikan

sehingga menghasilkan suatu vaksin yang sangat merangsang sistem

imun . Preparat ini diberikan secara intramuskuler dalam tiga kali

pemberian yaitu pada bulan ke 0, kemudian diteruskan bulan ke 1 dan ke 6

masingmasing 0,5 ml

b. Gardasil

20
Adalah vaksin quadrivalent 40 μg protein HPV 11 L1 HPV ( GARDASIL

yang diproduksi oleh Merck) Protein L1 dari VLP HPV tipe 6/11/16/18

diekspresikan lewat suatu rekombinant vektor Saccharomyces cerevisiae

(yeast). Tiap 0,5 cc mengandung 20μg protein HPV 6 L1, 40 μgprotein

HPV 11 L1, 20 μg protein HPV18 L1. Tiap 0,5 ml mengandung 225

amorph aluminium hidroksiphosphatase sulfat. Formula tersebut juga

mengandung sodium borat. Vaksin ini tidak mengandung timerasol dan

antibiotika. Vaksin ini seharusnya disimpan pada suhu 20 – 80 C.1

2.3.6. Dosis dan Cara Pemberian

Vaksin ini diberikan intramuskuler 0,5 cc diulang tiga kali, produk

Cervarix diberikan bulan ke 0,1 dan 6 sedangkan Gardasil bulan ke 0, 2

dan 6 (Dianjurkan pemberian tidak melebihi waktu 1 tahun). Pemberian

booster (vaksin ulangan), respon antibodi pada pemberian vaksin sampai

42 bulan, untuk menilai efektifitas vaksin diperlukan deteksi respon

antibodi. Bila respon antibodi rendah dan tidak mempunyai efek

penangkalan maka diperlukan pemberian Booster. 2

Vaksin profilaksis akan bekerja efisien bila vaksin tersebut

diberikan sebelum individu terpapar infeksi HPV. Infeksi HPV yang

menyerang organ genitalis biasanya ditularkan melalui hubungan seksual

dan, dan imunisasi siberikan untuk melakukan perlindungan terhadap

sejumlah besar penyakit yang dihasilkan oleh infeksi virus tersebut.

Sebagai target populasi dari imunisasi ini adalah wanita sebelum puber

dan usia remaja. Hal ini disebabkan pada usia – usia tersebut dimulainya

aktivitas seksual seseorang.2

21
Sebaiknya vaksiniasi secara rutin diberikan untuk wanita umur 11

– 12 dengan dosis pemberian. Serial vaksin bisa dimulai saat wanita

tersebut berumur 9 tahun. Selain itu vaksin juga direkomendasikan untuk

diberikan pada umur 13 – 26 tahun yang tidak mendapat pengulangan

vaksin atau tidak mendapatkan vaksin secara lengkap. Idealnya vaksin

diberikan sebelum usia yang rentan kontak dengan HPV yaitu wanita yang

akan memasuki usia seksual aktif sehingga wanita yang mendapat

vaksinasi tersebut bisa merasakan keuntungan dari pemberian vaksin.

Selain itu apabila vaksin siberikan pada usia tersebut, respons kekebalan

tubuh yang dihasilkan akan lebih besar dibandingkan bila diberikan

setelah pubertas. Vaksin dikocok lebih dahulu sebelum dipakai dan

diberikan secara muskuler sebanyak 0,5 dan sebaiknya disuntikkan pada

lengan (otot deltoid).2

22
BAB III

KESIMPULAN

Kanker serviks merupakan merupakan salah satu kanker yang paling

sering menyerang wanita di seluruh dunia. Bahkan menurut Badan Kesehatan

Dunia, WHO, kanker jenis ini menempati urutan ke-2 sebagai kanker yang sering

menjangkiti kaum hawa. Namun, dengan ditemukan dan diperkenalkannya vaksin

baru melawan Human Papilloma Virus (HPV), virus yang menyebabkan kanker

serviks, sertidaknya memberikan harapan baru bagi kesehatan wanita.4

Pada tahun 2006, sebuah vaksin pencegah infeksi dan penyakit terkait

HPV ditetapkan hak ciptanya, dan akan disusul oleh vaksin lainnya tidak lama

lagi. Vaksin terbaru yang dipatenkan terbukti efektif dalam mencegah infeksi

HPV tipe 16 dan 18 yang telah menyebabkan 70% seluruh kanker serviks.4

Vaksin yang awalnya ditujukan bagi remaja wanita ini, langkah yang

menjadi prioritas kini adalah melakukan mobilisasi sumber daya untuk

memperkuat sistem kesehatan dan membeli vaksin HPV, baik pada tingkat

nasional maupun internasional. Selain itu harus terdapat langkah inovatif dalam

hal pembiayaan untuk pengenalan HPV. Penyediaan vaksin tersebut dapat

membantu membangun sinergi antara imunisasi, pengendalian kanker dan

kesehatan reproduksi seksual. Upaya ini juga berpotensi untuk memberikan

23
pengalaman berharga bagi pengenalan segala jenis vaksin untuk melawan HIV di

masa mendatang.4

LAPORAN KASUS GINEKOLOGI

STATUS ORANG SAKIT

IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny F
Umur : 52 tahun
Agama : Islam
Suku : Jawa
Pekerjaan : IRT
Pendidikan : SMA
Alamat : Jl. Medan B4 Kuis Dusun XIV
Tanggal Masuk : 2 Januari 2017
Pukul : 22.25 WIB
Nomor RM : 26-07-61
Identitas Suami
Nama : Tn. AN
Umur : 61 tahun
Agama : Islam
Suku : Melayu
Pekerjaan : Wiraswasta
Pendidikan : SMA
Alamat : Jl. Medan B4 kuis Dusun XIV

ANAMNESA

Ny.F, 52 tahun, P5A0, Islam, Jawa, IRT, SMA i/d Tn.AN, 61 tahun, Islam,
Melayu, Wiraswasta, SMA. Pasien datang ke RSHM dengan:

24
Keluhan Utama : Keluar darah dari kemaluan

Telaah : Pasien datang dengan keluhan keluar darah dari kemaluan


yang dialami pasien sejak ± 2 minggu ini, bersifat terus menerus. Darah yang
keluar berwarna merah segar, disertai gumpalan darah sejak ± 1 minggu ini.
Volume darah 2-3 kali ganti duk/hari. Nyeri perut (-).Teraba benjolan diperut (+).
Keluar darah saat berhubungan suami istri (-). Riwayat keluar jaringan (-).
Riwayat perut di kusuk (-). Riwayat keputihan (+). BAK (+) normal, BAB (+)
normal.

Riwayat Haid :
Menarche usia : 14 tahun
Siklus : 28 hari, teratur
Lama haid : 7 hari
Banyak darah : 2-3 kali ganti pembalut dalam sehari
Dismenorea :-
Metrorrhagia :-
Menorrhagia :-
Spotting :-
Darah beku :-
Contact bleeding :-
Climacterium :-
Menopause : ya

Kehamilan dan persalinan yang lalu :


P5A0
1. Laki-laki, 3500gr, psp, bidan, 29 tahun, sehat
2. Laki-laki, 3000gr, psp, bidan, 27 tahun, sehat
3. Perempuan, 3100gr, psp, bidan, 24 tahun, sehat
4. Laki-laki, 3500gr, psp, bidan, 22 tahun, sehat
5. Perempuan, 3000gr, psp, bidan, 12 tahun, sehat
Keputihan

25
Jumlah : banyak
Warna : Jernih
Bau : Tidak
Konsistensi : Encer
Gatal : (+)
Seksual/Perkawinan:
Umur kawin : 22 tahun
Lama Kawin : 30 tahun
Kemandulan : (-)
Frigiditas/vaginismus : -/-
Libido :+
Orgasmus :+
Dispareunia :-
Keluarga Berencana : Pil dan Suntik

Gizi dan Kebiasaan


Nafsu makan : sedang
Perubahan berat badan : (-)
Merokok : (-)
Alkohol : (-)
Kebiasaan makan obat : (-)
Obat-obat yang di masukan ke dalam vagina : (-)

Riwayat Penyakit yang pernah diderita :

 Tuberkulosis : (-)
 Penyakit Jantung/pembuluh darah : (-)
 Penyakit endokrin : (-)
 Riwayat penyakit Genitalia : (-)
 Hipertensi : (-)
 Penyakit hati : (-)
 Penyakit Ginjal : (-)

26
 Penyakit kelamin : (-)
 Diabetes melitus dan lain lain : (-)
Pengobatan penyinaran
Lokalisasi :-
Lamanya penyinaran :-
Operasi Terdahulu :-

PEMERIKSAAN
Status Present
Keadaan umum : Baik
Keadaan gizi : Baik
Keadaan penyakit : Bisa jalan sendiri
Berat badan : 53kg
Tekanan darah : 120/80 mmHg
HR : 80x/menit
RR : 20x/menit
Suhu : 36,80C
Anemia : (-)
Ikterus : (-)
Edema : (-)
Cyanosis : (-)
Dyspneu : (-)

PEMERIKSAAN LOKAL
Kepala : Dalam Batas Normal.
Leher : Dalam Batas Normal.
Thorax :

 Cor : Bunyi Jantung normal, reguler, Bunyi Tambahan (-)


 Pulmo : Suara pernapasan vesikuler, suara tambahan (-)
 Kelenjar –kelenjar supra / intra clavikula : tidak teraba
 Mamae : DBN

27
- Membesar : tidak
- Hiperpigmentasi : tidak
- Colostrums : tidak
- Sekret : tidak
- Tumor-tumor : tidak
- Tegang : tidak

Abdomen :

- Membesar : Ya Shitting Dullness : (-)


- Simetris / Asimetris : Simetris Meteorismus : (-)
- Soepel : (+) Asites : (-)
- Defense Musculaire : (-) Peristaltik Usus : (+)N
- Hepar : Tidak Teraba
- Lien : Tidak Teraba
- Tumor : (+)
Teraba massa padat, permukaan rata, nyeri tekan (+), mobile, dengan
ukuran benjolan sebesar tinju orang dewasa dengan pole atas setentang
pusat dan pole bawah setentang simfisis pubis.
- Fundus Uteri
- Ballotemen : (-)
- DJJ : (-)
- Kelenjar Inguinale :

PEMERIKSAAN DALAM

Inspekulo

Portio : Licin

Erosi : (-) Polip : (-)

Ectropion : (-) Bunga kol (exophytik) : (-)

Laserasi : (-) Leukoplakia : (-)

Ovula Naboti : (-) Schiller test : (-)

28
Vaginal Toucher

Uterus

Posisi : Antefleksi

Besarnya : Sebesar tinju orang dewasa

Mobilitas : Mobile

Konsistensi : Kenyal

Sakit waktu digerakkan : (+)

Nyeri tekan : (+)

Portio

Bentuk : Licin

Pembukaan :-

Contact bleeding :+

Cavum douglas

Douglas crise :-

Menonjol/tidak : Tidak

Parametrium

Parametria Kanan/Kiri : Lemas

Adnexa

Adnexa Kanan : Tidak teraba massa.

Adnexa Kiri :Tidak teraba massa

Vagina

- Dinding : Normal
- Tanda-tanda peradangan :-
- Sekret :-
- Massa :-

29
Periksa sekret vaginal

Langsung : Tidak dilakukan pemeriksaan

Kultur : Tidak dilakukan pemeriksaan

Pemeriksaan rectal toucher

Spingter ani ketat, mukosa rektum licin (tidak teraba massa, ampula recti kosong)

PAP’S SMEAR

Diambil tanggal :-

Hasil :-

Anjuran :-

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan sinar tembus

Thorax : Cor/Pulmo Dalam Batas normal

Abdomen : Tidak Dilakukan Pemeriksaan

BNO - I.V.P : Tidak Dilakukan Pemeriksaan

Pemeriksaan tambahan

Laparoskopi : Tidak dilakukan pemeriksaan

USG-TAS:
o Kandung Kemih : Terisi baik.
o UT AF >BB ukuran 8cm x 5,7cm x 5,4cm
o Tampak gambaran hiperecoic intrauterine ukuran 4,7cm x 4,8 cm
o Adneksa kanan = kiri
o Cairan bebas : -
o Kesan : mioma uteri

30
PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Hasil laboratorium tanggal 02-01-2017 pukul 22.30 wib

Jenis pemeriksaan Hasil Rujukan


HEMATOLOGI
Darah Rutin
Hemoglobin (HGB) 9,1 g% 12-16
Eritosit 3,4 juta/µL 3.9-5,6
Leukosit (WBC) 6.800 /µL 4000-11.000
Hematokrit 36,8 % 36–47
Trombosit (PLT) 355.000/µL 150.000-450.000
Index Eritrosit
MCV 80,0 fL 80-96
MCH 27,0 pg 27-31
MCHC 33,9 % 30-34
Hitung Jenis Leukosit
Eosinofil 2% 1-3
Basofil 0% 0-1
N.Stab 0% 2-6
N.Seg 53 % 53-75
Limfosit 37 % 20-45
Monosit 8% 4-8
Kimia Klinik

31
Gula darah Sewaktu 80mg/dL <140
Fungsi Hati
SGOT 11 U/I <40
SGPT 15 U/I <40
Fungsi Hati
Ureum 14 mg/dL 20-40
Kreatinin 0,79 mg/dL 0,6-1,1

DIAGNOSA
Mioma uteri.
RENCANA TINDAKAN
 Lapor supv dr. Taufik Mahdi, Sp.og
 Rencana operasi tanggal 4 januari 2017 pukul 13.00 WIB
TERAPI
- IVFD RL 20gtt/menit
- Inj Asam traneksamat 50gr/jam

Persiapan:
 Informed consent.
 Surat Izin Operasi.
 Ibu berpuasa 6 jam sebelum operasi.
 IVFD RL 20 gtt/i.
 Injeksi ceftriaxone 2 gr.  Skin test.
 Pemasangan kateter.
 Konsul anastesi.
 Awasi vital sign.
 Hygiene pribadi.
 Berdoa.

32
Follow Up Pre-Operasi
Tanggal 3 Januari 2017 pukul 07.00
S : Nyeri perut bagian bawah
O : SP : Sens: Compos Mentis
TD: 110/70 mmHg,
HR: 76 x/i
RR: 20x/i
T : 37,7 oC
SL : Abdomen : Soepel, peristaltik (+) normal
TFU : Tidak teraba
P/V :-
BAB/BAK : +/+ Normal
A : Mioma uteri
P : - IVFD RL 20 gtt/menit
- Inj Asam Traneksamat 50mg/8jam

LAPORAN OPERASI
Operator : dr. Taufik Mahdi, Sp.OG

Tanggal : 4 januari 2017

Jenis operasi : TAH-BSO

- Ibu dibaringkan di meja operasi dengan kateter dan infus terpasang dengan
baik.
- Di bawah spinal anastesi, dilakukan tindakan septik dan aseptik pada lapangan
operasi
- Kemudian ditutup dengan duk steril kecuali lapangan operasi.
- Dilakukan insisi pfannestiel sampai menembus kutis, subkutis, dan fascia.
Fascia dilebarkan kekanan dan kekiri dengan gunting dan klem, otot dan
peritoneum di kuakkan secara tumpul.
- Identifikasi uterus dengan perlengketan, tidak ada perlengketan. Tampak uterus
lebih besar dari biasa, sebesar tinju orang dewasa. Kemudian dilakukan
hysterektomi, kemudian kontrol perdarahan, dilakukan histerektomi dan

33
bilateral salpingo oophorectomy. Kedua ligamentum rotundum kiri dan kanan
diklem, digunting kemudian diikat, dilakukan pembebasan plica vesica uterine.
Kemudian dipisahkan tuba dan ovarium dengan elektrokauter dan kontrol
perdarahan. Ligamentum infundibulo pelvikum kiri dan kanan diklem,
digunting, dan diikat.
- Kedua arteri uterine kiri dan kanan diklem, digunting dan diikat. Evaluasi
perdarahan.
- Ligamentum cardinale kiri dan kanan diklem, digunting dan diikat.
- Ligamentum sacrouterina kiri dan kanan diklem digunting kemudian diikat,
evaluasi perdarahan terkontrol Puncak vagina diklem dan diinsisi. Puncak
vagina dijahit dan evaluasi perdarahan terkontrol.
- Tuba kanan diklem, digunting, dan diikat. Tuba kiri diklem, digunting dan
diikat. Evaluasi perdarahan terkontrol.
- Dinding abdomen ditutup lapis demi lapis.
- Luka operasi ditutup supratul, kasa steril dan hypafic.
- Keadaan umum ibu post operasi stabil
- Awasi vital sign dan perdarahan.
Instruksi Post Operasi
 Observasi vital sign dan tanda perdarahan
 Pemeriksaan darah rutin post operatif
 Pemeriksaan histopatologi jaringan uterus
 IVFD RL 20 gtt/i
 Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam
 Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam
 Inj. Ranitidin 50 mg/12 jam
POST OPERASI
Tindakan operasi : TAH-BSO.
Temuan post operasi : Ditemukan massa tumor ukuran :
1. 5,32 x 4,6 cm
2. 6,03 x 5,47 cm
3. 4,73 x 3,68 cm
4. 11,04 x 11,83 cm

34
Gambar

Hasil Pemeriksaan PA
Makroskopis : Ditemukan massa tumor dengan ukuran (5,32 x 4,6 cm, 6,03 x
5,47 cm, 4,73 x 3,68 cm , 11,04 x 11,83 cm )
Mikroskopis :
Sediaan jaringan dari cerviks dalam batas normal
Sediaan jaringan dari massa tumor tampak gambaran sel-sel bentuk spindle yang
tersusun sejajar kesegala arah dan sebagian membentuk kumparan.
Sediaan jaringan dari ovarium tampak gambaran kista yang dilapisi oleh epitel
torak dengan inti dan kromatin masih dalam batas normal.
Kesimpulan : Suatu mioma uteri.
FOLLOW UP 2 jam post oprasi

15 menit I 15 menit II 15 menit III


Sens : CM Sens : CM Sens : CM
TD : 120/80 mmHg TD : 120/80 mmHg TD : 120/80 mmHg
HR : 80x/i HR : 80x/i HR : 80 x/i
RR : 22x/i RR : 24x/i RR : 24 x/i
T : 36,0 0C T : 36,0 0C T : 36,0 0C
P/V : - P/V : - P/V : -

15 menit IV 30 menit I 30 menit II


Sens : CM Sens : CM Sens : CM
TD : 12080 mmHg TD : 120/80 mmHg TD : 120/80 mmHg
HR : 80x/i HR : 80x/i HR : 80x/i
RR : 22x/i RR : 20x/i RR : 20x/i
T : 360C T : 360C T : 360C

35
P/V : - P/V : - P/V : -

FOLLOW UP
Tanggal 5 Januari 2017, jam 06.00 WIB
S : Nyeri bagian operasi.
O : SP : Sensorium : Compos mentis.
Tekanan darah : 110/80 mmHg.
Nadi : 84 x/menit.
Frekuensi nafas : 22 x/menit.
Suhu : 37,5 ºC.
SL : Abdomen : Soepel (+), peristaltik (+).
L/O : Tertutup verban kesan kering.
P/V : (-) .
BAK : (+) Kateter.
BAB : (-) flatus (+ )
A : Post TAH - BSO a/i mioma uteri + H1.
P : IVFD RL 20 gtt/menit
Inj. Ceftriaxone 1gr/12 jam.
Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam.
Inj. Ranitidine 50 mg/ 12 jam.
Tanggal 6 Januari 2017, jam 06.00 WIB
S : Nyeri luka operasi
O : SP : Kesadaran : Compos mentis.
Tekanan darah : 110/80 mmHg.
Nadi : 78 x/menit.
Frekuensi nafas : 22 x/menit.
Suhu : 36,7 ºC.
SL : Abdomen : Soepel (+), peristaltik (+).
L/O : Tertutup verban kesan kering.
P/V : (-) .
BAK : (+) Kateter.
BAB : (-) flatus (+ ).

36
A : Post TAH - BSO a/i mioma uteri+H2.
P : IVFD RL 20 gtt/menit
Inj. Ceftriaxone 1gr/12 jam.
Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam.
Inj. Ranitidine 50 mg/ 12 jam.
R: Aff infuse.
Tanggal 7 Januari 2016, jam 06.00 WIB
S :-
O : SP : Kesadaran : Compos mentis.
Tekanan darah : 120/80 mmHg.
Nadi : 82 x/menit.
Frekuensi nafas : 22 x/menit.
Suhu : 37,5 ºC.
SL : Abdomen : Soepel, peristaltik (+).
L/O : Tertutup verban kesan kering.
P/V : (-) .
BAK : (+) Kateter.
BAB : (-) flatus (+ ).
A : Post TAH - BSO a/i mioma uteri + H3
P : IVFD RL 20 gtt/menit
Inj. Ceftriaxone 1gr/12 jam.
Inj. Ranitidine 50 mg/ 12 jam.
R : Aff kateter.

Tanggal 8 Januari 2017, jam 06.00 WIB


S :-
O : SP : Kesadaran : Compos mentis.
Tekanan darah : 120/80 mmHg.
Nadi : 82 x/menit.
Frekuensi nafas : 22 x/menit.
Suhu : 37,5 ºC.
SL : Abdomen : Soepel (+), peristaltik (+).

37
L/O : Tertutup verban kesan kering.
P/V : (-) .
BAK : Spontan
BAB : (-) flatus (+ ).
A : Post TAH - BSO a/i mioma uteri + H4
P : IVFD RL 20 gtt/menit
Inj. Ceftriaxone 1gr/12 jam.
Inj. Ranitidine 50 mg/ 12 jam.
R : PBJ.

38
DAFTAR PUSTAKA

1. Gondo, Harry K. VAKSIN HUMAN PAPILOMA VIRUS (HPV) UNTUK

PENCEGAHAN KANKER SERVIKS UTERI. Surabaya : Universitas

Wijaya Kusuma Surabaya.

2. Pradipta Bram, Sungkar S. Penggunaan Vaksin Human Papilloma Virus

dalam Pencegahan Kanker Serviks. Jakarta : Universitas Indonesia. 2007.

3. Wibisono Al. Vaksin HPV. Medan : Universitas Sumatera Utara. 2011. Dari

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25644/4/Chapter%20II.pdf

4. Depkes. Vaksin HPV Untuk Perangi Kanker Serviks. Jakarta : Kementrian

kesehatan Republik Indonesia. 2007.

39

Anda mungkin juga menyukai