Anda di halaman 1dari 22

BAB 1

PENDAHULUAN

Hingga saat ini kanker serviks merupakan penyebab kematian terbanyak akibat
penyakit kanker di negara berkembang. Sesungguhnya penyakit ini dapat dicegah bila
program skrining sitologi dan pelayanan kesehatan berjalan dengan baik. Kanker servik
adalah masalah kesehatan yang serius yang menyerang 500.000 wanita setiap tahun di
seluruh dunia. Kejadian penyakit ini pada umumnya banyak terjadi di negara berkembang
seperti India, Amerika latin, Afrika Selatan dan Timur, dimana mayoritas pasien datang
dengan stadium lanjut. Di negara maju, skrining yang efektif dengan sitologi servik dan
pemeriksaan pelvis setiap tahun telah menurunkan lebih dari 70% angka kematian sejak
tahun 1940. Faktor risiko untuk karsinoma servik adalah koitus pertama di usia muda, banyak
partner seksual, perilaku yang permisif dari pasangan pria, paparan HPV, kondisi higiene
yang jelek, status nutrisi yang jelek, penyakit menular seksual, dan defisiensi imun. Penyakit
ini umumnya radiosensitif dan lebih mudah diobati pada stadium awal, baik melalui
pembedahan atau radioterapi saja, karsinoma servik stadium I B dan II A memiliki angka
harapan hidup 5 tahun 75% sampai 90%. Untuk pasien-pasien yang dalam kondisi stadium
IV atau yang mengalami kekambuhan (relaps) setelah radioterapi, tidak ada perbaikan yang
konsisten pada harapan hidup yang diobservasi lebih dari 30 tahun terakhir. Pengobatan
karsinoma servik yang residif masih sangat tidak efektif. Kualitas hidup dan perawatan
suportif adalah yang paling penting untuk membantu pasien-pasien dalam kondisi ini.
Kasus kekambuhan merupakan keadaan tanpa harapan karena 80-100% penderita
akan meninggal kurang dari setahun semenjak kekambuhan dan sampai saat ini belum ada
terapi pilihan yang efektif untuk mengatasinya. Secara keseluruhan kelangsungan hidup lima
tahun kasus berulang kurang dari 5% dan hampir 90% terjadi dalam 2 tahun pertama. Kasus
berulang setelah mendapat terapi radiasi dapat dilakukan operasi atau kemoterapi terutama
untuk lesi kambuh berada di luar lapangan radiasi sebelumnya. Pembedahan dilakukan bila
lesi soliter seperti pada paru-paru atau daerah sentral (central recurrence) dan masih
memberikan hasil yang cukup baik. Bila kekambuhan pasca operatif di daerah pelvis dapat
diobati dengan radiasi. Pemberian kemoterapi pada kasus berulang yang sebelumnya telah
radiasi atau operasi tidak memberikan hasil yang baik.
Karsinoma serviks residif tetap sebuah problem klinik yang sulit. Prognosis
karsinoma serviks residif bagaimanapun juga buruk. Dilaporkan angka harapan hidup 5 tahun
yang kambuh setelah operasi radikal atau radioterapi adalah berkisar 3,2% sampai 13%3.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kanker Serviks


2.1.1 Pengertian kanker serviks dan penyebabnya
Kanker serviks adalah tumor ganas primer yang berasal dari metaplasia epitel di
daerah skuamokolumner junction yaitu daerah peralihan mukosa vagina dan mukosa kanalis
servikalis. Kanker serviks merupakan kanker yang terjadi pada serviks atau leher rahim, suatu
daerah pada organ reproduksi wanita yang merupakan pintu masuk ke arah rahim, letaknya
antara rahim (uterus) dan liang senggama atau vagina. Kanker leher rahim biasanya
menyerang wanita berusia 35-55 tahun. Sebanyak 90% dari kanker leher rahim berasal dari
sel skuamosa yang melapisi serviks dan 10% sisanya berasal dari sel kelenjar penghasil lendir
pada saluran servikal yang menuju ke rahim.
Kanker seviks uteri adalah tumor ganas primer yang berasal dari sel epitel skuamosa.
Sebelum terjadinya kanker, akan didahului oleh keadaan yang disebut lesi prakanker atau
neoplasia intraepitel serviks (NIS). Penyebab utama kanker leher rahim adalah infeksi Human
Papilloma Virus (HPV). Saat ini terdapat 138 jenis HPV yang sudah dapat teridentifikasi
yang 40 di antaranya dapat ditularkan lewat hubungan seksual. Beberapa tipe HPV virus
risiko rendah jarang menimbulkan kanker, sedangkan tipe yang lain bersifat virus risiko
tinggi. Baik tipe risiko tinggi maupun tipe risiko rendah dapat menyebabkan pertumbuhan
abnormal pada sel tetapi pada umumnya hanya HPV tipe risiko tinggi yang dapat memicu
kanker. Virus HPV risiko tinggi yang dapat ditularkan melalui hubungan seksual adalah tipe
7,16, 18, 31, 33, 35, 39, 45, 51, 52, 56, 58, 59, 68, 69, dan mungkin masih terdapat beberapa
tipe yang lain. Beberapa penelitian mengemukakan bahwa lebih dari 90% kanker leher rahim
disebabkan oleh tipe 16 dan 18. Yang membedakan antara HPV risiko tinggi dengan HPV
risiko rendah adalah satu asam amino saja. Asam amino tersebut adalah aspartat pada HPV
risiko tinggi dan glisin pada HPV risiko rendah dan sedang (Gastout et al, 1996). Dari kedua
tipe ini HPV 16 sendiri menyebabkan lebih dari 50% kanker leher rahim. Seseorang yang
sudah terkena infeksi HPV 16 memiliki resiko kemungkinan terkena kanker leher rahim
sebesar 5%. Dinyatakan pula bahwa tidak terdapat perbedaan probabilitas terjadinya kanker
serviks pada infeksi HPV-16 dan infeksi HPV-18 baik secara sendiri-sendiri maupun
bersamaan (Bosch et al, 2002). Akan tetapi sifat onkogenik HPV-18 lebih tinggi daripada
HPV-16 yang dibuktikan pada sel kultur dimana transformasi HPV-18 adalah 5 kali lebih
besar dibandingkan dengan HPV-16. Selain itu, didapatkan pula bahwa respon imun pada
HPV-18 dapat meningkatkan virulensi virus dimana mekanismenya belum jelas. HPV-16
berhubungan dengan skuamous cell carcinoma serviks sedangkan HPV-18 berhubungan
dengan adenocarcinoma serviks. Prognosis dari adenocarcinoma kanker serviks lebih buruk
dibandingkan squamous cell carcinoma. Peran infeksi HPV sebagai faktor risiko mayor
kanker serviks telah mendekati kesepakatan, tanpa mengecilkan arti faktor risiko minor
seperti umur, paritas, aktivitas seksual dini/prilaku seksual, dan meroko, pil kontrasepsi,
genetik, infeksi virus lain dan beberapa infeksi kronis lain pada serviks seperti klamidia
trakomatis dan HSV-2 (Hacker, 2000).

2.1.2 Faktor resiko kanker leher rahim


Menurut Diananda (2007), faktor yang mempengaruhi kanker serviks yaitu :
1. Usia > 35 tahun mempunyai risiko tinggi terhadap kanker leher rahim. Semakin tua
usia seseorang, maka semakin meningkat risiko terjadinya kanker laher rahim.
Meningkatnya risiko kanker leher rahim pada usia lanjut merupakan gabungan dari
meningkatnya dan bertambah lamanya waktu pemaparan terhadap karsinogen serta
makin melemahnya sistem kekebalan tubuh akibat usia.
2. Usia pertama kali menikah. Menikah pada usia kurang 20 tahun dianggap terlalu
muda untuk melakukan hubungan seksual dan berisiko terkena kanker leher rahim 10-
12 kali lebih besar daripada mereka yang menikah pada usia > 20 tahun. Hubungan
seks idealnya dilakukan setelah seorang wanita benar-benar matang. Ukuran
kematangan bukan hanya dilihat dari sudah menstruasi atau belum. Kematangan juga
bergantung pada sel-sel mukosa yang terdapat di selaput kulit bagian dalam rongga
tubuh. Umumnya sel-sel mukosa baru matang setelah wanita berusia 20 tahun ke atas.
Jadi, seorang wanita yang menjalin hubungan seks pada usia remaja, paling rawan
bila dilakukan di bawah usia 16 tahun. Hal ini berkaitan dengan kematangan sel-sel
mukosa pada serviks. Pada usia muda, sel-sel mukosa pada serviks belum matang.
Artinya, masih rentan terhadap rangsangan sehingga tidak siap menerima rangsangan
dari luar termasuk zat-zat kimia yang dibawa sperma. Karena masih rentan, sel-sel
mukosa bisa berubah sifat menjadi kanker. Sifat sel kanker selalu berubah setiap saat
yaitu mati dan tumbuh lagi. Dengan adanya rangsangan, sel bisa tumbuh lebih banyak
dari sel yang mati, sehingga perubahannya tidak seimbang lagi. Kelebihan sel ini
akhirnya bisa berubah sifat menjadi sel kanker. Lain halnya bila hubungan seks
dilakukan pada usia di atas 20 tahun, dimana sel-sel mukosa tidak lagi terlalu rentan
terhadap perubahan.
3. Wanita dengan aktivitas seksual yang tinggi, dan sering berganti-ganti pasangan.
Berganti-ganti pasangan akan memungkinkan tertularnya penyakit kelamin, salah
satunya Human Papilloma Virus (HPV). Virus ini akan mengubah sel-sel di
permukaan mukosa hingga membelah menjadi lebih banyak sehingga tidak terkendali
sehingga menjadi kanker.
4. Penggunaan antiseptik. Kebiasaan pencucian vagina dengan menggunakan obat-
obatan antiseptik maupun deodoran akan mengakibatkan iritasi di serviks yang
merangsang terjadinya kanker.
5. Wanita yang merokok. Wanita perokok memiliki risiko 2 kali lebih besar terkena
kanker serviks dibandingkan dengan wanita yang tidak merokok. Penelitian
menunjukkan, lendir serviks pada wanita perokok mengandung nikotin dan zat-zat
lainnya yang ada di dalam rokok. Zat-zat tersebut akan menurunkan daya tahan
serviks di samping meropakan ko-karsinogen infeksi virus. Nikotin, mempermudah
semua selaput lendir sel-sel tubuh bereaksi atau menjadi terangsang, baik pada
mukosa tenggorokan, paru-paru maupun serviks. Namun tidak diketahui dengan pasti
berapa banyak jumlah nikotin yang dikonsumsi yang bisa menyebabkan kanker leher
rahim.
6. Riwayat penyakit kelamin seperti kutil genitalia. Wanita yang terkena penyakit akibat
hubungan seksual berisiko terkena virus HPV, karena virus HPV diduga sebagai
penyebab utama terjadinya kanker leher rahim sehingga wanita yang mempunyai
riwayat penyakit kelamin berisiko terkena kanker leher rahim.
7. Paritas (jumlah kelahiran). Semakin tinggi risiko pada wanita dengan banyak anak,
apalagi dengan jarak persalinan yang terlalu pendek. Dari berbagai literatur yang ada,
seorang perempuan yang sering melahirkan (banyak anak) termasuk golongan risiko
tinggi untuk terkena penyakit kanker leher rahim. Dengan seringnya seorang ibu
melahirkan, maka akan berdampak pada seringnya terjadi perlukaan di organ
reproduksinya yang akhirnya dampak dari luka tersebut akan memudahkan timbulnya
Human Papilloma Virus (HPV) sebagai penyebab terjadinya penyakit kanker leher
rahim.
8. Penggunaan kontrasepsi oral dalam jangka waktu lama. Penggunaan kontrasepsi oral
yang dipakai dalam jangka lama yaitu lebih dari 4 tahun dapat meningkatkan risiko
kanker leher rahim 1,5-2,5 kali. Kontrasepsi oral mungkin dapat meningkatkan risiko
kanker leher rahim karena jaringan leher rahim merupakan salah satu sasaran yang
disukai oleh hormon steroid perempuan. Hingga tahun 2004, telah dilakukan studi
epidemiologis tentang hubungan antara kanker leher rahim dan penggunaan
kontrasepsi oral. Meskipun demikian, efek penggunaan kontrasepsi oral terhadap
risiko kanker leher rahim masih kontroversional. Sebagai contoh, penelitian yang
dilakukan oleh Khasbiyah (2004) dengan menggunakan studi kasus kontrol. Hasil
studi tidak menemukan adanya peningkatan risiko pada perempuan pengguna atau
mantan pengguna kontrasepsi oral karena hasil penelitian tidak memperlihatkan
hubungan dengan nilai p>0,05.

2.1.3 Klasifikasi stadium kanker serviks


Penentuan tahapan klinis penting dalam memperkirakan penyebaran penyakit, membantu
prognosis rencana tindakan, dan memberikan arti perbandingan dari metode terapi. Tahapan
stadium klinis yang dipakai sekarang ialah pembagian yang ditentukan oleh The International
Federation Of Gynecologi And Obstetric (FIGO) tahun 1976. Pembagian ini didasarkan atas
pemeriksaan klinik, radiologi, suktase endoserviks dan biopsi. Tahapan –tahapan tersebut
yaitu :
a. Karsinoma pre invasif
b. Karsinoma in-situ, karsinoma intraepitel
c. Kasinoma invasive
Tabel 2.1. Stadium kanker serviks menurut klasifikasi FIGO (Wiknyosastro (1997)
2.1.4 Jenis histopatologis pada kanker serviks
Jenis skuamosa merupakan jenis yang paling sering ditemukan, yaitu ± 90% merupakan
karsinoma sel skuamosa (KSS), adenokarsinoma 5% dan jenis lain sebanyak 5%. Karsinoma
skuamosa terlihat sebagai jalinan kelompok sel-sel yang berasal dari skuamosa dengan
pertandukan atau tidak, dan kadang-kadang tumor itu sendiri berdiferensiasi buruk atau dari
sel-sel yang disebut small cell, berbentuk kumparan atau kecil serta bulat seta mempunyai
batas tumor stroma tidak jelas. Sel ini berasal dari sel basal atau reserved cell. Sedang
adenokarsinoma terlihat sebagai sel-sel yang berasal dari epitel torak endoserviks, atau dari
kelenjar endoserviks yang mengeluarkan mukus (Notodiharjo, 2002). Klasifikasi histologik
kanker serviks ada beberapa, di antaranya :
1. Skuamous carcinoma
a. Keratinizing
b. Large cell non keratinizing
c. Small cell non keratinizing
d. Verrucous

2. Adeno carcinoma
a. Endocervical
b. Endometroid (adenocanthoma)
c. Clear cell - paramesonephric
d. Clear cell - mesonephric
e. Serous
f. Intestinal

3. Mixed carcinoma
a. Adenosquamous
b. Mucoepidermoid
c. Glossy cell
d. Adenoid cystic

4. Undifferentiated carcinoma
5. Carcinoma tumor
6. Malignant melanoma
7. Maliganant non-epithelial tumors
a. Sarcoma : mixed mullerian, leiomysarcoma, rhabdomyosarcoma
b. Lymphoma

2.1.5 Patofisiologi kanker serviks


Karsinoma serviks adalah penyakit yang progresif, mulai dengan intraepitel, berubah
menjadi neoplastik, dan akhirnya menjadi kanker serviks setelah 10 tahun atau lebih. Secara
histopatologi lesi pre invasif biasanya berkembang melalui beberapa stadium displasia
(ringan, sedang dan berat) menjadi karsinoma insitu dan akhirnya invasif. Berdasarkan
karsinogenesis umum, proses perubahan menjadi kanker diakibatkan oleh adanya mutasi gen
pengendali siklus sel. Gen pengendali tersebut adalah onkogen, tumor supresor gene, dan
repair genes. Onkogen dan tumor supresor gen mempunyai efek yang berlawanan dalam
karsinogenesis, dimana onkogen memperantarai timbulnya transformasi maligna, sedangkan
tumor supresor gen akan menghambat perkembangan tumor yang diatur oleh gen yang
terlibat dalam pertumbuhan sel. Meskipun kanker invasive berkembang melalui perubahan
intraepitel, tidak semua perubahan ini progres menjadi invasif. Lesi preinvasif akan
mengalami regresi secara spontan sebanyak 3 -35%.
Bentuk ringan (displasia ringan dan sedang) mempunyai angka regresi yang tinggi.
Waktu yang diperlukan dari displasia menjadi karsinoma insitu (KIS) berkisar antara 1 – 7
tahun, sedangkan waktu yang diperlukan dari karsinoma insitu menjadi invasif adalah 3 – 20
tahun (TIM FKUI, 1992). Proses perkembangan kanker serviks berlangsung lambat, diawali
adanya perubahan displasia yang perlahan-lahan menjadi progresif. Displasia ini dapat
muncul bila ada aktivitas regenerasi epitel yang meningkat misalnya akibat trauma mekanik
atau kimiawi, infeksi virus atau bakteri dan gangguan keseimbangan hormon. Dalam jangka
waktu 7 – 10 tahun perkembangan tersebut menjadi bentuk preinvasif berkembang menjadi
invasif pada stroma serviks dengan adanya proses keganasan. Perluasan lesi di serviks dapat
menimbulkan luka, pertumbuhan yang eksofitik atau dapat berinfiltrasi ke kanalis serviks.
Lesi dapat meluas ke forniks, jaringan pada serviks, parametria dan akhirnya dapat
menginvasi ke rektum dan atau vesika urinaria. Virus DNA ini menyerang epitel permukaan
serviks pada sel basal zona transformasi, dibantu oleh faktor risiko lain mengakibatkan
perubahan gen pada molekul vital yang tidak dapat diperbaiki, menetap, dan kehilangan sifat
serta kontrol pertumbuhan sel normal sehingga terjadi keganasan (Suryohudoyo, 1998;
Debbie, 1998). Berbagai jenis protein diekspresikan oleh HPV yang pada dasarnya
merupakan pendukung siklus hidup alami virus tersebut. Protein tersebut adalah E1, E2, E4,
E5, E6, dan E7 yang merupakan segmen open reading frame (ORF). Di tingkat seluler,
infeksi HPV pada fase laten bersifat epigenetic. Pada infeksi fase laten, terjadi terjadi
ekspresi E1 dan E2 yang menstimulus ekspresi terutama terutama L1 selain L2 yang
berfungsi pada replikasi dan perakitan virus baru. Virus baru tersebut menginfeksi kembali
sel epitel serviks. Di samping itu, pada infeksi fase laten ini muncul reaksi imun tipe lambat
dengan terbentuknya antibodi E1 dan E2 yang mengakibatkan penurunan ekspresi E1 dan E2.
Penurunan ekspresi E1 dan E2 dan jumlah HPV lebih dari ± 50.000 virion per sel dapat
mendorong terjadinya integrasi antara DNA virus dengan DNA sel penjamu untuk kemudian
infeksi HPV memasuki fase aktif (Djoerban, 2000). Ekspresi E1 dan E2 rendah hilang pada
pos integrasi ini menstimulus ekspresi onkoprotein E6 dan E7. Selain itu, dalam
karsinogenesis kanker serviks terinfeksi HPV, protein 53 (p53) sebagai supresor tumor
diduga paling banyak berperan. Fungsi p53 wild type sebagai negative control cell cycle dan
guardian of genom mengalami degradasi karena membentuk kompleks p53-E6 atau mutasi
p53. Kompleks p53-E6 dan p53 mutan adalah stabil, sedangkan p53 wild type adalah labil
dan hanya bertahan 20-30 menit.
Apabila terjadi degradasi fungsi p53 maka proses karsinogenesis berjalan tanpa
kontrol oleh p53. Oleh karena itu, p53 juga dapat dipakai sebagai indikator prognosis
molekuler untuk menilai baik perkembangan lesi pre-kanker maupun keberhasilan terapi
kanker serviks (Kaufman et al, 2000). Dengan demikian dapatlah diasumsikan bahwa pada
kanker serviks terinfeksi HPV terjadi peningkatan kompleks p53-E6. Dengan pernyataan lain,
terjadi penurunan p53 pada kanker serviks terinfeksi HPV. Dan, seharusnya p53 dapat
dipakai indikator molekuler untuk menentukan prognosis kanker serviks. Bila pembuluh
limfe terkena invasi, kanker dapat menyebar ke pembuluh getah bening pada servikal dan
parametria, kelenjar getah bening obtupator, iliaka eksterna dan kelenjar getah bening
hipogastrika. Dari sini tumor menyebar ke kelenjar getah bening iliaka komunis dan pada
aorta. Secara hematogen, tempat penyebaran terutama adalah paru-paru, kelenjar getah
bening mediastinum dan supravesikuler, tulang, hepar, empedu, pankreas dan otak (Prayetni,
1997).

2.1.6 Gejala klinis kanker serviks


Menurut Dalimartha (2004), gejala kanker serviks pada kondisi pra-kanker ditandai
dengan Fluor albus (keputihan) merupakan gejala yang sering ditemukan getah yang keluar
dari vagina ini makin lama akan berbau busuk akibat infeksi dan nekrosis jaringan. Dalam hal
demikian, pertumbuhan tumor menjadi ulseratif. Perdarahan yang dialami segera setelah
bersenggama (disebut sebagai perdarahan kontak) merupakan gejala karsinoma serviks (75 -
80%). Pada tahap awal, terjadinya kanker serviks tidak ada gejala-gejala khusus. Biasanya
timbul gejala berupa ketidak teraturannya siklus haid, amenorhea, hipermenorhea, dan
penyaluran sekret vagina yang sering atau perdarahan intermenstrual, post koitus serta latihan
berat. Perdarahan yang khas terjadi pada penyakit ini yaitu darah yang keluar berbentuk
mukoid.
Nyeri dirasakan dapat menjalar ke ekstermitas bagian bawah dari daerah lumbal. Pada
tahap lanjut, gejala yang mungkin dan biasa timbul lebih bervariasi, sekret dari vagina
berwarna kuning, berbau dan terjadinya iritasi vagina serta mukosa vulva. Perdarahan
pervagina akan makin sering terjadi dan nyeri makin progresif. Menurut Baird (1991) tidak
ada tanda-tanda khusus yang terjadi pada klien kanker serviks. Perdarahan setelah koitus atau
pemeriksaan dalam (vaginal toussea) merupakan gejala yang sering terjadi. Karakteristik
darah yang keluar berwarna merah terang dapat bervariasi dari yang cair sampai
menggumpal. Gejala lebih lanjut meliputi nyeri yang menjalar sampai kaki, hematuria dan
gagal ginjal dapat terjadi karena obstruksi ureter. Perdarahan rektum dapat terjadi karena
penyebaran sel kanker yang juga merupakan gejala penyakit lanjut. Pada pemeriksaan Pap
Smear ditemukannya sel-sel abnormal di bagian bawah serviks yang dapat dideteksi melalui,
atau yang baru-baru ini disosialisasikan yaitu dengan Inspeksi Visual dengan Asam Asetat.
Sering kali kanker serviks tidak menimbulkan gejala. Namun bila sudah berkembang menjadi
kanker serviks, barulah muncul gejala-gejala seperti pendarahan serta keputihan pada vagina
yang tidak normal, sakit saat buang air kecil dan rasa sakit saat berhubungan seksual
(Wiknjosastro, 1997).

2.1.7 Diagnosis kanker serviks


Stadium klinik seharusnya tidak berubah setelah beberapa kali pemeriksaan. Apabila ada
keraguan pada stadiumnya maka stadium yang lebih dini dianjurkan. Pemeriksaan berikut
dianjurkan untuk membantu penegakkan diagnosis seperti palpasi, inspeksi, kolposkopi,
kuretase endoserviks, histeroskopi, sistoskopi, proktoskopi, intravenous urography, dan
pemeriksaan X-ray untuk paru-paru dan tulang. Kecurigaan infiltrasi pada kandung kemih
dan saluran pencernaan sebaiknya dipastikan dengan biopsi. Konisasi dan amputasi serviks
dapat dilakukan untuk pemeriksaan klinis. Interpretasi dari limfangografi, arteriografi,
venografi, laparoskopi, ultrasonografi, CT scan dan MRI sampai saat ini belum dapat
digunakan secara baik untuk staging karsinoma atau deteksi penyebaran karsinoma karena
hasilnya yang sangat subyektif. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil
pemeriksaan sebagai berikut (Suharto, 2007) :
1. Pemeriksaan pap smear
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendeteksi sel kanker lebih awal pada pasien yang
tidak memberikan keluhan. Sel kanker dapat diketahui pada sekret yang diambil dari porsi
serviks. Pemeriksaan ini harus mulai dilakukan pada wanita usia 18 tahun atau ketika telah
melakukan aktivitas seksual sebelum itu. Setelah tiga kali hasil pemeriksaan pap smear setiap
tiga tahun sekali sampai usia 65 tahun. Pap smear dapat mendeteksi sampai 90% kasus
kanker leher rahim secara akurat dan dengan biaya yang tidak mahal, akibatnya angka
kematian akibat kanker leher rahim pun menurun sampai lebih dari 50%. Setiap wanita yang
telah aktif secara seksual sebaiknya menjalani pap smear secara teratur yaitu 1 kali setiap
tahun. Apabila selama 3 kali berturut-turut menunjukkan hasil pemeriksaan yang normal,
maka pemeriksaan pap smear bisa dilakukan setiap 2 atau 3 tahun sekali. Hasil pemeriksaan
pap smear adalah sebagai berikut (Prayetni,1999):
a. Normal.
b. Displasia ringan (perubahan dini yang belum bersifat ganas).
c. Displasia berat (perubahan lanjut yang belum bersifat ganas).
d. Karsinoma in situ (kanker terbatas pada lapisan serviks paling luar).
e. Kanker invasif (kanker telah menyebar ke lapisan serviks yang lebih dalam atau ke
organ tubuh lainnya).
Tabel 2.2. Kategorisasi diagnosis deskriptif Pap smear berdasarkan sistem Bethesda
2. Pemeriksaan DNA HPV
Pemeriksaan ini dimasukkan pada skrining bersama-sama dengan Pap’s smear untuk
wanita dengan usia di atas 30 tahun. Penelitian dalam skala besar mendapatkan bahwa Pap’s
smear negatif disertai DNA HPV yang negatif mengindikasikan tidak akan ada CIN 3
sebanyak hampir 100%. Kombinasi pemeriksaan ini dianjurkan untuk wanita dengan umur
diatas 30 tahun karena prevalensi infeksi HPV menurun sejalan dengan waktu. Infeksi HPV
pada usia 29 tahun atau lebih dengan ASCUS hanya 31,2% sementara infeksi ini meningkat
sampai 65% pada usia 28 tahun atau lebih muda. Walaupun infeksi ini sangat sering pada
wanita muda yang aktif secara seksual tetapi nantinya akan mereda seiring dengan waktu.
Sehingga, deteksi DNA HPV yang positif yang ditentukan kemudian lebih dianggap sebagai
HPV yang persisten. Apabila hal ini dialami pada wanita dengan usia yang lebih tua maka
akan terjadi peningkatan risiko kanker serviks.
3. Biopsi
Biopsi dilakukan jika pada pemeriksaan panggul tampak suatu pertumbuhan atau luka
pada serviks, atau jika hasil pemeriksaan pap smear menunjukkan suatu abnormalitas atau
kanker. Biopsi ini dilakukan untuk melengkapi hasil pap smear. Teknik yang biasa dilakukan
adalah punch biopsy yang tidak memerlukan anestesi dan teknik cone biopsy yang
menggunakan anestesi. Biopsi dilakukan untuk mengetahui kelainan yang ada pada serviks.
Jaringan yang diambil dari daerah bawah kanal servikal. Hasil biopsi akan memperjelas
apakah yang terjadi itu kanker invasif atau hanya tumor saja (Prayetni, 1997).
4. Kolposkopi (pemeriksaan serviks dengan lensa pembesar)
Kolposkopi dilakukan untuk melihat daerah yang terkena proses metaplasia.
Pemeriksaan ini kurang efisien dibandingkan dengan pap smear, karena kolposkopi
memerlukan keterampilan dan kemampuan kolposkopis dalam mengetes darah yang
abnormal (Prayetni, 1997).
5. Tes Schiller
Pada pemeriksaan ini serviks diolesi dengan larutan yodium. Pada serviks normal akan
membentuk bayangan yang terjadi pada sel epitel serviks karena adanya glikogen. Sedangkan
pada sel epitel serviks yang mengandung kanker akan menunjukkan warna yang tidak
berubah karena tidak ada glikogen ( Prayetni, 1997).
6. Radiologi
a. Pelvik limphangiografi, yang dapat menunjukkan adanya gangguan pada saluran
pelvik atau peroartik limfe.
b. Pemeriksaan intravena urografi, yang dilakukan pada kanker serviks tahap lanjut,
yang dapat menunjukkan adanya obstruksi pada ureter terminal. Pemeriksaan
radiologi direkomendasikan untuk mengevaluasi kandung kemih dan rektum yang
meliputi sitoskopi, pielogram intravena (IVP), enema barium, dan sigmoidoskopi.
Magnetic Resonance Imaging (MRI) atau scan CT abdomen / pelvis digunakan
untuk menilai penyebaran lokal dari tumor dan / atau terkenanya nodus limpa
regional (Gale & charette, 1999).

2.1.8 Pencegahan kanker serviks


Sebagian besar kanker dapat dicegah dengan kebiasaan hidup sehat dan menghindari
faktor- faktor penyebab kanker meliputi (Dalimartha, 2004) :
1. Menghindari berbagai faktor risiko, yaitu hubungan seks pada usia muda,
pernikahan pada usia muda, dan berganti-ganti pasangan seks. Wanita yang
berhubungan seksual dibawah usia 20 tahun serta sering berganti pasangan
beresiko tinggi terkena infeksi. Namun hal ini tak menutup kemungkinan akan
terjadi pada wanita yang telah setia pada satu pasangan saja.
2. Wanita usia di atas 25 tahun, telah menikah, dan sudah mempunyai anak perlu
melakukan pemeriksaan pap smear setahun sekali atau menurut petunjuk dokter.
Pemeriksaan Pap smear adalah cara untuk mendeteksi dini kanker serviks.
Pemeriksaan ini dilakukan dengan cepat, tidak sakit dengan biaya yang
relatif terjangkau dan hasilnya akurat. Disarankan untuk melakukan tes Pap
setelah usia 25 tahun atau setelah aktif berhubungan seksual dengan frekuensi dua
kali dalam setahun. Bila dua kali tes Pap berturut-turut menghasilkan negatif, maka
tes Pap dapat dilakukan sekali setahun. Jika menginginkan hasil yang lebih akurat,
kini ada teknik pemeriksaan terbaru untuk deteksi dini kanker leher rahim, yang
dinamakan teknologi Hybrid Capture II System (HCII).
3. Pilih kontrasepsi dengan metode barrier, seperti diafragma dan kondom, karena
dapat memberi perlindungan terhadap kanker leher rahim.
4. Memperbanyak makan sayur dan buah segar. Faktor nutrisi juga dapat mengatasi
masalah kanker mulut rahim. Penelitian mendapatkan hubungan yang terbalik
antara konsumsi sayuran berwarna hijau tua dan kuning (banyak mengandung beta
karoten atau vitamin A, vitamin C dan vitamin E) dengan kejadian neoplasia intra
epithelial juga kanker serviks. Artinya semakin banyak makan sayuran berwarna
hijau tua dan kuning, maka akan semakin kecil risiko untuk kena penyakit kanker
mulut rahim
5. Pada pertengahan tahun 2006 telah beredar vaksin pencegah infeksi HPV tipe 16
dan 18 yang menjadi penyebab kanker serviks. Vaksin ini bekerja dengan cara
meningkatkan kekebalan tubuh dan menangkap virus sebelum memasuki sel-sel
serviks. Selain membentengi dari penyakit kanker serviks, vaksin ini juga bekerja
ganda melindungi perempuan dari ancaman HPV tipe 6 dan 11 yang menyebabkan
kutil kelamin.Yang perlu ditekankan adalah, vaksinasi ini baru efektif apabila
diberikan pada perempuan yang berusia 9 sampai 26 tahun yang belum aktif secara
seksual. Vaksin diberikan sebanyak 3 kali dalam jangka waktu tertentu. Dengan
vaksinasi, risiko terkena kanker serviks bisa menurun hingga 75%.

2.1.9 Pengobatan kanker serviks


Terapi karsinoma serviks dilakukan bila mana diagnosis telah dipastikan secara
histologik dan sesudah dikerjakan perencanaan yang matang oleh tim yang sanggup
melakukan rehabilitasi dan pengamatan la njutan (tim kanker / tim onkologi). Pemilihan
pengobatan kanker leher rahim tergantung pada lokasi dan ukuran tumor, stadium penyakit,
usia, keadaan umum penderita, dan rencana penderita untuk hamil lagi. Lesi tingkat rendah
biasanya tidak memerlukan pengobatan lebih lanjut, terutama jika daerah yang abnormal
seluruhnya telah diangkat pada waktu pemeriksaan biopsi. Pengobatan pada lesi prekanker
bisa berupa kriosurgeri (pembekuan), kauterisasi (pembakaran, juga disebut diatermi),
pembedahan laser untuk menghancurkan sel-sel yang abnormal tanpa melukai jaringan yang
sehat di sekitarnya dan LEEP (loop electrosurgical excision procedure) atau konisasi
(Wiknjosastro, 1997).
1. Pembedahan Pada karsinoma in situ (kanker yang terbatas pada lapisan serviks
paling luar), seluruh kanker sering kali dapat diangkat dengan bantuan pisau bedah
ataupun melalui LEEP (loop electrosurgical excision procedure) atau konisasi.
Dengan pengobatan tersebut, penderita masih bisa memiliki anak. Karena kanker
bisa kembali kambuh, dianjurkan untuk menjalani pemeriksaan ulang dan Pap
smear setiap 3 bulan selama 1 tahun pertama dan selanjutnya setiap 6 bulan. Jika
penderita tidak memiliki rencana untuk hamil lagi, dianjurkan untuk menjalani
histerektomi. Pembedahan merupakan salah satu terapi yang bersifat kuratif
maupun paliatif. Kuratif adalah tindakan yang langsung menghilangkan
penyebabnya sehingga manifestasi klinik yang ditimbulkan dapat dihilangkan.
Sedangkan tindakan paliatif adalah tindakan yang berarti memperbaiki keadaan
penderita. Histerektomi adalah suatu tindakan pembedahan yang bertujuan untuk
mengangkat uterus dan serviks (total) ataupun salah satunya (subtotal). Biasanya
dilakukan pada stadium klinik IA sampai IIA (klasifikasi FIGO). Umur pasien
sebaiknya sebelum menopause, atau bila keadaan umum baik, dapat juga pada
pasien yang berumur kurang dari 65 tahun. Pasien juga harus bebas dari penyakit
umum (resiko tinggi) seperti penyakit jantung, ginjal dan hepar.
2. Terapi penyinaran (radioterapi)
Terapi radiasi bertujuan untuk merusak sel tumor pada serviks serta mematikan
parametrial dan nodus limpa pada pelvik. Kanker serviks stadium II B, III, IV
sebaiknya diobati dengan radiasi. Metoda radioterapi disesuaikan dengan tujuannya
yaitu tujuan pengobatan kuratif atau paliatif. Pengobatan kuratif ialah mematikan
sel kanker serta sel yang telah menjalar ke sekitarnya atau bermetastasis ke
kelenjar getah bening panggul, dengan tetap mempertahankan sebanyak mungkin
kebutuhan jaringan sehat di sekitar seperti rektum, vesika urinaria, usus halus,
ureter. Radioterapi dengan dosis kuratif hanya akan diberikan pada stadium I
sampai III B. Apabila sel kanker sudah keluar ke rongga panggul, maka radioterapi
hanya bersifat paliatif yang diberikan secara selektif pada stadium IV A. Terapi
penyinaran efektif untuk mengobati kanker invasif yang masih terbatas pada
daerah panggul. Pada radioterapi digunakan sinar berenergi tinggi untuk merusak
sel-sel kanker dan menghentikan pertumbuhannya. Ada dua jenis radioterapi yaitu
radiasi eksternal yaitu sinar berasal dari sebuah mesin besar dan penderita tidak
perlu dirawat di rumah sakit, penyinaran biasanya dilakukan sebanyak 5
hari/minggu selama 5-6 minggu. Keduannya adalah melalui radiasi internal yaitu
zat radioaktif terdapat di dalam sebuah kapsul dimasukkan langsung ke dalam
serviks. Kapsul ini dibiarkan selama 1-3 hari dan selama itu penderita dirawat di
rumah sakit. Pengobatan ini bisa diulang beberapa kali selama 1-2 minggu. Efek
samping dari terapi penyinaran adalah iritasi rektum dan vagina, kerusakan
kandung kemih dan rektum dan ovarium berhenti berfungsi (Gale & Charette,
2000).
3. Kemoterapi
Kemoterapi adalah penatalaksanaan kanker dengan pemberian obat melalui infus,
tablet, atau intramuskuler. Obat kemoterapi digunakan utamanya untuk membunuh
sel kanker dan menghambat perkembangannya. Tujuan pengobatan kemoterapi
tegantung pada jenis kanker dan fasenya saat didiag nosis. Beberapa kanker
mempunyai penyembuhan yang dapat diperkirakan atau dapat sembuh dengan
pengobatan kemoterapi. Dalam hal lain, pengobatan mungkin hanya diberikan
untuk mencegah kanker yang kambuh, ini disebut pengobatan adjuvant. Dalam
beberapa kasus, kemoterapi diberikan untuk mengontrol penyakit dalam periode
waktu yang lama walaupun tidak mungkin sembuh. Jika kanker menyebar luas dan
dalam fase akhir, kemoterapi digunakan sebagai paliatif untuk memberikan
kualitas hidup yang lebih baik. Kemoterapi secara kombinasi telah digunakan
untuk penyakit metastase karena terapi dengan agen-agen dosis tunggal belum
memberikan keuntungan yang memuaskan. Contoh obat yang digunakan pada
kasus kanker serviks antara lain CAP (Cyclophopamide Adrem ycin Platamin),
PVB (Platamin Veble Bleomycin) dan lain –lain (Prayetni, 1997).

2.1.10 Prognosis kanker serviks


Prognosis kanker serviks adalah buruk. Prognosis yang buruk tersebut dihubungkan
dengan 85-90 % kanker serviks terdiagnosis pada stadium invasif, stadium lanjut, bahkan
stadium terminal (Suwiyoga, 2000; Nugroho, 2000). Selama ini, beberapa cara dipakai
menentukan faktor prognosis adalah berdasarkan klinis dan histopatologis seperti keadaan
umum, stadium, besar tumor primer, jenis sel, derajat diferensiasi Broders. Prognosis kanker
serviks tergantung dari stadium penyakit. Umumnya, 5-years survival rate untuk stadium I
lebih dari 90%, untuk stadium II 60-80%, stadium III kira - kira 50%, dan untuk stadium IV
kurang dari 30% (Geene,1998; Kenneth, 2000).
1. Stadium 0
100 % penderita dalam stadium ini akan sembuh.
2. Stadium 1
Kanker serviks stadium I sering dibagi menjadi IA dan IB. Dari semua wanita yang
terdiagnosis pada stadium IA memiliki 5-years survival rate sebesar 95%. Untuk
stadium IB 5-years survival rate sebesar 70 sampai 90%. Ini tidak termasuk wanita
dengan kanker pada limfonodi mereka.
3. Stadium 2
Kanker serviks stadium 2 dibagi menjadi 2, 2A dan 2B. Dari semua wanita yang
terdiagnosis pada stadium 2A memiliki 5-years survival rate sebesar 70-90%.
Untuk stadium 2B 5-years survival rate sebesar 60 sampai 65%.
4. Stadium 3
Pada stadium ini 5-years survival rate-nya sebesar 30-50%.
5. Stadium 4
Pada stadium ini 5-years survival rate-nya sebesar 20-30%.
6. Stadium 5
Pada stadium ini 5-years survival rate-nya sebesar 5-10%.

2.2 Kanker Serviks Residif


2.2.1 Diagnosis kekambuhan
Penderita karsinoma serviks dapat mengalami kekambuhan, metastasis jauh atau
kombinasi keduanya. Kurang lebih 10% -20% penderita karsinoma serviks stadium IB – IIA
mengalami kekambuhan setelah terapi bedah primer atau radioterapi tanpa adanya metastasis
pada limfonodi sebelumnya. Sebanyak 70% pasien dengan metastasis dan atau pertumbuhan
tumor yang lebih luas akan mengalami relaps. Bagaimanapun pengobatannya, waktu untuk
residif biasanya pendek, lebih dari 75% kekambuhan terjadi dalam 3 tahun sejak terdiagnosis.
Tujuan dari survei post terapi adalah untuk mendiagnosis dini kekambuhan, mengetahui
outcome, dan juga untuk perawatan komplikasi. Protokol survei post terapi meliputi
kunjungan setiap 3 bulan selama 2 tahun, kunjungan 4 bulan selama tahun ketiga, dan setiap
6 bulan setelah 3 sampai 5 tahun dan tiap tahun setelahnya. Riwayat penyakit, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan dalam, pap smear, dan serum tumor marker (skuamous sel karsinoma
antigen (SCC-Ag) dan karsinoembrionik antigen (CEA) untuk skuamous sel karsinoma ; CA
125 dan CEA untuk adenokarsinoma ; dan SCC-Ag, CEA, CA 125 untuk adenoskuamous
karsinoma) diperiksa setiap kunjungan. Foto roentgen dada setiap tahun disarankan pada
pasien-pasien asimptomatik sementara CT-MRI Scan dilakukan setiap tahun pada tiga tahun
pertama berturut-turut untuk kelompok risiko tinggi atau yang terindikasi secara klinis
(gejala/tanda mencurigakan atau peningkatan tumor marker). Tidak ada konsensus terhadap
follow up dan interval yang tepat. Soisson et al mempelajari parameter-parameter klinik
untuk mendeteksi karsinoma servik residif setelah histerektomi radikal (n = 31), dan mereka
menemukan sitologi vagina mempunyai sensitifitas dan spesifisitas 13 sampai 100%,
pemeriksaan pelvis dan fisik 58 sampai 96%, dan tanda-tanda yang mencurigakan 71 sampai
95%. Hanya 3 pasien (10%) yang sukses diselamatkan, dan 2 darinya dideteksi lewat sitologi
vagina. Sitologi vagina mungkin tidak sensitif atau cost effective walaupun ini merupakan
tehnik yang paling mungkin untuk mendeteksi kekambuhan. Kegunaan serum tumor marker
juga kontroversial. Alasan yang menentang penggunaan rutin adalah bahwa sedikit
kekambuhan dapat dideteksi dengan tumor marker saja tetapi jumlah yang dapat
disembuhkan tetap rendah pada banyak pasien. Akan tetapi, pendapat lain mengatakan bahwa
penggunaan tumor marker membantu untuk mengidentifikasi kegagalan penyembuhan lokal
atau jauh.

2.2.2 Pola kekambuhan


Kurang lebih satu dari 3 pasien dengan karsinoma servik akan berkembang menjadi
residif. Pasien dengan residif lokal atau dengan penyebaran ke dinding lateral pelvis mungkin
mengalami perdarahan, discharge vagina, nyeri punggung bawah yang menjalar ke paha dan
panggul. Kejadian residif lokal setelah radioterapi radikal meningkat dengan peningkatan
stadium penyakit primer: stadium I A 4,6% , stadium I B 11,2%, stadium II A 10-20%,
stadium II B 17-30%, stadium III A 28-30%, stadium III B 45-50%. Penyebaran primer
karsinoma servik adalah ke nodus limfatikus obturator (kelompok medial dari nodus iliaka
eksterna), ke nodus iliaka eksterna lainnya dan ke nodus hipogastrika. Dari sini metastasis
meyebar ke pelvis atau nodus limfatikus paraaortica. Residif karsinoma servik dan
pembesaran nodus pelvis dapat menginfiltrasi atau menekan nervus sciatica, pleksus sakralis,
dan jaras nervus lumbosakral. Pasien dapat juga menunjukkan simptom sekunder metastasis
keluar dari pelvis seperti nodus paraaortica, paru-paru, liver dan otak.
Perez et all (1995) melaporkan angka kegagalan terapi dengan radioterapi saja pada
stadium IB sebesar 10%, stadium IIA 17%, stadium IIB 23%, 42% pada stadium III, dan 74%
pada stadium IVA. Angka kejadian metastasis jauh setelah 10 tahun adalah 3% pada stadium
IA, 16% pada stadium IB, 31% pada stadium IIA, 26% pada stadium IIB, 39% pada stadium
III dan 75% pada stadium IVA. Tempat metastasis jauh yang paling sering terjadi berturut-
turut adalah paru-paru (21%), limfonodi paraaorta (11%), kavum abdomen (8%), limfonodi
supraclavicular (7%). Metastase ke tulang biasanya mengenai vertebra lumbal dan thorakal.

2.2.3 Pendekatan Terapi


Sebagian besar kekambuhan muncul dalam waktu 2 tahun setelah diagnosis dan
prognosisnya adalah jelek dengan sebagian besar pasien meninggal karena penyakitnya tidak
terkontrol. Penelitian secara retrospektif terhadap 500 pasien karsinoma serviks yang dirawat
di Universitas Kentucky, 31% mengalami relap, 58% nya mengalami relap dalam waktu 1
tahun dan 76% nya dalam 2 tahun. Pada penelitian ini hanya 6% penderita selamat sampai
tahun ke-3. Lima puluh sampai enam puluh persen pasien sudah menderita perluasan
penyakit sampai di luar pelvis atau sudah mencapai dinding panggul sehingga hanya dapat
diberikan terapi paliatif.
Pilihan terapi untuk kekambuhan pada karsinoma serviks tergantung pada kondisi
pasien, lokasi kekambuhan atau metastasis, luasnya metastasis, dan terapi yang diberikan
sebelumnya. Pasien yang kambuh dapat mengalami gejala seperti nyeri, anoreksia,
perdarahan pervaginam, kaheksia, dan masalah psikologis.
Penanganan kekambuhan pada karsinoma serviks harus melibatkan tim profesional.
Tim yang dibentuk tergantung pada pasien, tujuan penanganan, dan masalah khusus yang
dialami oleh pasien. Tim ini sebaiknya terdiri atas ahli ginekologi onkologi, ahli onkologi
medik dan radioterapi, dokter ahli perawatan paliatif, perawat khusus dan psikolog. Pasien
dengan pelvis residif setelah histerektomi radikal atau residif terbatas pada limfonodi
paraaortica memiliki angka harapan hidup yang lebih baik dengan kemoradiasi yang
berkesinambungan. Ada pilihan terapi yang sangat terbatas untuk pasien-pasien dengan
residif atau metastasis karsinoma servik.
1. Kemoterapi
Kemoterapi memiliki peran terbatas pada pengobatan karsinoma servik residif. Agen
tunggal yang paling aktif adalah cisplatin yang dikaitkan dengan respon klinis yang lengkap
berkisar antara 18-50% pada pasien yang tidak diterapi sebelumnya. Rendahnya keberhasilan
dengan terapi agen tunggal, membuat peneliti mencoba kemoterapi kombinasi. Studi
kemoterapi kombinasi yang paling banyak digunakan adalah cisplatin dan ifosfamide.
Beberapa percobaan fase dua telah menunjukkan angka respon 30-60% menggunakan
ifosfamide saja atau kombinasi dengan carboplatin dan atau cisplatin. Ketika pasien
menginginkan kemoterapi paliatif cisplatin dan ifosfamide relatif lebih cost effective di
negara berkembang1. Kemoterapi saja pada dasarnya adalah bersifat paliatif. Obat tunggal
yang paling aktif digunakan masih tetap cisplatin. Obat-obat yang lain yang juga relatif sering
digunakan seperti 5-fluorouracil, doxorubicin/epirubicin, ifosfamide, CPT-12, paclitaxel,
gemcitabine, dan lain-lain.
Cisplatin adalah regimen yang paling aktif untuk terapi karsinoma serviks. Penelitian
oleh Gynecologic Oncology Group (GOG) yang mencakup 800 pasien karsinoma serviks
membuktikan bahwa cisplatin memiliki angka respon sebesar 29%. Angka responnya lebih
besar (31%) dengan dosis 100 mg/m2 dibandingkan dengan dosis 50 mg/m2 (21%)., tetapi
tidak berbeda secara bermakna terhadap harapan hidup secara keseluruhan.
Pengaruh kemoterapi pada terapi paliatif dan harapan hidup tidak jelas. Belum pernah
dilakukan penelitian uji klinis secara random yang membandingkan kemoterapi untuk terapi
paliatif atau efek kemoterapi dalam menekan gejala dan kualitas hidup. Penelitian dengan
jumlah subyek yang sedikit menunjukkan bahwa cisplatin hanya memiliki angka respon
obyektif sebesar 30%,tetapi sebanyak 67% mendapatkan efek paliatif untuk nyeri. GOG
melakan penelitian secara random yang membandingkan cisplatin saja, kombinasi
cisplatin/ifosfamide, dan kombinasi cisplatin/mitolactol. Kombinasi cisplatin/ifosfamide
memiliki respon yang lebih tinggi (31% vs 17%) dan efek bebas dari progresivitas penyakit
yang lebih panjang dibandingkan cisplatin saja. Bagaimanapun dari segi waktu paruh untuk
menjadi progresif atau kematian hanya 4,6 bulan dibandingkan 3,2 bulan. Angka harapan
hidup lebih besar pada pasien dengan kondisi kesehatan yang lebih baik dan umur yang lebih
tua, walaupun kombimasi kemoterapi cisplatin dan ifosfamide berhubungan perbaikan tingkat
respon dan progresifitas penyakit. Hal ini menyebabkan toksisitas yang lebih besar dan tidak
memperbaiki survival keseluruhan.
Sejumlah obat baru (paclitaxel, vinorelbine, irinotecan, gemcitabine) telah
dikombinasikan dengan cisplatin pada penelitian fase 2 pasien dengan karsinoma servik
residif dan atau stadium lanjut. Respon rate telah diteliti sekitar 40-66% terutama pada pasien
dengan penyakit yang sudah lanjut. Penemuan yang hampir sama telah melaporkan
kombinasi cisplatin dan penelitian random yang mengadopsi beberapa kombinasi yang
digunakan pada penelitian klinis. Hasilnya yaitu membandingkan cisplatin saja (50 mg/m²)
dengan cisplatin (50 mg/m²) plus paclitaxel (135 mg/m² selama 24 jam) pada 280 pasien
dengan karsinoma servik sel skuamosa stadium IV B residif yang dipresentasikan pada
pertemuan onkologi klinis di Amerika Mei 2001. Kombinasi ini memberikan tiongkat respon
yang lebih tinggi daripada cisplatin saja (26,2% vs 19,4%, p = 0,002). Kombinasi obat ini
juga berhubungan dengan tingkat respon yang lebih tinggi (20% vs 8%) dan respon parsial
(27% vs 18%). Respon yang lebih tinggi menunjukkan progresifitas yang lebih rendah (p =
0,001) tapi tidak ada perbedaan bermakna dari survival keseluruhan.
2. Eksenterasi Pelvis
Ketika radioterapi atau pembedahan plus ajuvan radioterapi gagal, eksenterasi pelvik
biasanya perlu untuk mereka yang memiliki relaps sentral pelvik dengan dinding pelvik yang
masih bersih dan bebas dari metastasis. Metastasis nodus paraaortici dan atau pelvis multipel,
penyebaran tumor ke peritoneum, upper abdomen dan metastasis jauh adalah kontraindikasi
dilakukan eksenterasi. Kadang-kadang reiradiasi adalah memungkinkan untuk kekambuhan
superfisial pada servik atau vagina. Histerektomi radikal dengan atau tanpa diseksi nodus
pelvik memungkinkan untuk kekambuhan pada uterus yang kecil dan atau vagina. Untuk
pasien-pasien dengan stadium lebih dari atau sama dengan II B sesuai dengan FIGO, terdapat
angka kegagalan yang tinggi dan banyak pasien tidak dapat diselamatkan dengan operasi
eksenterasi yang lebih jauh.
2.2.4 Residif pada beberapa kondisi
1. Setelah pembedahan radikal
Bisa muncul dengan nyeri pelvis atau perdarahan. Diagnosis harus dikonfirmasi
dengan pemeriksaan dalam, biopsi jaringan, dan penyebaran penyakit harus dievaluasi
dengan parameter biokimia, radiografik, sistoskopi, proktoskopi. Pasien-pasien yang
berkembang menjadi residif setelah pembedahan definitf dan yang tidak menerima terapi
radiasi sebelumnya, kemoradioterapi radikal adalah pilihan pengobatan. Angka harapan
hidup pasien-pasien yang diterapi dengan radikal radioterapi berkisar antara 20-40%. Pasien
dengan residif sentral biasanya memiliki prognosis yang lebih baik daripada residif pada
dinding pelvis.
Pilihan terapi untuk pasien yang mengalami relap pada pelvis setelah terapi bedah
primer adalah radiasi radikal atau eksenterasi pelvis. Angka harapan hidup berkisar antara 6 –
77%. Pasien dengan kekambuhan di daerah sentral memiliki prognosis yang lebih baik
dibandingkan dengan pasien dengan penyebaran sampai dinding panggul. Pasien dengan
kekambuhan di daerah sentral (central recurrence) memiliki harapan hidup 10 tahun sebesar
77% untuk tumor yang non palpable, 48% untuk tumor dengan ukuran < 3 cm, sedangkan
untuk ukuran tumor > 3 cm, tidak ada pasien yang dapat bertahan lama. Faktor prognosis
yang paling menentukan harapan hidup setelah terapi radiasi adalah interval bebas penyakit,
lokasi kekambuhan (central versus pelvic side wall recurrence) dan ukuran tumor. Dosis
radiasi yang lebih besar dapat diberikan dengan brachytherapy dan akan meningkatkan
penekanan pertumbuhan tumor bagi pasien dengan tumor bervolume kecil di daerah sentral.
Pasien dengan tumor bervolume besar di daerah sentral atau penyebaran sampai dinding
pelvis memiliki prognosis yang buruk.
Saat ini telah tersedia penelitian fase II menggunakan terapi gabungan radiasi dan
kemoterapi. Tampaknya kemoradiasi memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan radiasi
saja. Berdasarkan beberapa penelitian uji klinis secara random terbukti keunggulan
kemoradiasi dengan cis platin pada karsinoma serviks st adium IB2 sampai IVA.

2. Setelah radioterapi definitif


Gambaran klinis memperlihatkan residif post radioterapi adalah nyeri, perdarahan,
bulky atau noduler servik, tumor abnormal sitologi servik pada 6 bulan, atau adanya lesi baru
pada pemeriksaan dalam. Sebagian besar pasien yang mengalami relap di daerah lokal setelah
terapi dengan radioterapi bukan kandidat bagi radioterapi lanjut, dan terapi dengan bedah
eksenterasi adalah terapi kuratif yang dapat diambil.
Angka harapan hidup 5 tahun setelah terapi eksentererasi pelvis sebesar 30 – 60%.
Identifikasi terhadap faktor klinis dan histopatologis yang dapat memperkirakan adanya
kekambuhan dan harapan hidup setelah terapi eksenterasi pelvis dapat membantu dalam
pemilihan pasien yang cocok untuk terapi eksenterasi pelvis. Faktor prognosis yang berhasil
diidentifikasi termasuk interval bebas penyakit, ukuran tumor saat kambuh, dan kekakuan
dinding pelvis sebelum operasi. Prognosisnya akan lebih bagus bila pasien memiliki interval
bebas penyakit > 6 bulan, ukuran tumor < 3 cm, dan tidak ada kekakuan dinding pelvis. Usia
tua bukan merupakan kontraindikasi terapi eksenterasi. Infiltrasi tumor hingga dinding pelvis
akan sulit dicapai bila terjadi fibrosis hebat setelah radiasi. Trias adanya edema kaki
unilateral, nyeri skiatik dan obstruksi ureter hampir selalu menunjukkan adanya tumor yang
tidak mungkin lagi dilakukan eksenterasi sehingga hanya dapat diberikan terapi paliatif.
Semua wanita yang dicalonkan untuk dilakukan pembedahan eksenterasi
membutuhkan konseling preoperatif mengenai pembedahan dan perawatan pasca operasi.
Tindakan preoperatif salah satunya dengan cara mengeksklusikan pasien dengan metastasis
jauh, sepertiga pasien yang menjalani terapi eksenterasi ternyata pada saat laparatomi terbukti
tidak tepat untuk dilakukan eksenterasi karena penyebaran ke peritoneum, ke nodus
limfatikus paraaorta dan dinding panggul. Angka mortalitas terapi eksenterasi harus kurang
dari 10%.

a. Sebagian kecil pasien dengan residif terbatas pada pelvis yang tidak terfiksir pada dinding
pelvis dan tanpa bukti metastasis ekstra pelvis, dapat dipertimbangkan untuk dilakukan
tindakan penyelamatan dengan histerektomi radikal. Ji et al (2004) telah melakukan
pembedahan penyelamatan pada 47 dari 162 pasien yang mengalami residif. Pasien
diklasifikasikan menjadi 3 grup: tumor terbatas pada servik, tumor meluas ke jaringan sekitar
(parametrium, uterus, vagina), dan tumor meluas melebihi jaringan sekitar tetapi terbatas
pada pelvis. Dilaporkan angka harapan hidup 5 tahun adalah 22% vs. 9% vs. 4% untuk ketiga
grup (p = 0,005). Angka harapan hidup 5 tahun seluruhnya adalah 29% vs. 3% (p = 0,0001)
pada pembedahan vs tanpa pembedahan. Hasil ini mengimplikasikan bahwa deteksi dini pada
residif karsinoma servik dan tindakan pembedahan penyelamatan pada residif terbatas pada
servik menghasilkan angka harapan hidup yang lebih baik.

b. Reiradiasi
Reiradiasi umumnya tidak mungkin dilakukan oleh karena potensial radiasi merusak kandung
kemih dan rektum. Kemoterapi paliatif mungkin dapat dicoba.
c. Iradiasi Paliatif
Terapi radiasi dapat memberikan keuntungan paliatif pada pasien-pasien yang
memperlihatkan gejala-gejala penyakit yang lanjut.

Anda mungkin juga menyukai