Anda di halaman 1dari 33

CHRONIC KIDNEY DISEASE

Oleh:

dr. Anne Rian Firsyana

Pembimbing:

dr. Aulia Rahmanike

PROGRAM DOKTER INTERNSIP

RSUD Lubuk Basung

2019

0
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah Subhanahu Wa

Ta'ala yangtelah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga saya bisa

menyelesaikan laporan kasus ini guna memenuhi persyaratan sebagai dokter

internsip dengan judul “CHRONIC KIDNEY DISEASE”.

Pada kesempatan ini penyusun mengucapkan banyak terimakasih kepada

dokter pembimbing internsip di RSUD Lubuk Basung dr. Budiawati dan dr. Aulia

Rahmanike. Saya menyadari bahwa dalam penyusunan laporan kasus ini masih

terdapat banyak kekurangan baik dalam cara penulisan maupun penyajian materi.

Oleh karena itu, saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari

pembaca sehingga bermanfaat bagi penyusunan laporan kasus selanjutnya.

Semoga laporan kasus ini bermanfaat bagi pembaca dan terutama bagi penyusun.

Lubuk Basung, Oktober 2019

Penyusun

1
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR................................................................................. i
DAFTAR ISI................................................................................................ ii

BAB PENDAHULUAN ...........................................................................


BAB I TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Definisi.............................................................................................. 1
1.2 Klasifikasi.......................................................................................... 1
1.3 Epidemiologi..................................................................................... 3
1.4 Etiologi.............................................................................................. 3
1.5 Patofisiologi...................................................................................... 6
1.6 Faktor resiko...................................................................................... 6
1.7 Gambaran klinik................................................................................ 8
1.8 Pendekatan diagnosis........................................................................ 10
1.9 Penatalaksanaan................................................................................ 12
1.10 Prognosis......................................................................................... 16
BAB II LAPORAN KASUS...................................................................... 17
BAB III DISKUSI...................................................................................... 26
DAFTAR PUSAKA

2
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Definisi

Gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari
3 bulan, berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal seperti
proteinuria. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal diagnosis penyakit ginjal kronik
ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m².
Batasan penyakit ginjal kronik:1,2
1. Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi
ginjal,dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan:
 Kelainan patologik
 Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan pada
pemeriksaan pencitraan radiologi
2. Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m² selama > 3 bulan dengan
atau tanpa kerusakan ginjal.
1.2 Klasifikasi

Klasifikasi tersebut membagi penyakit ginjal kronik dalam lima stadium.


Stadium 1 adalah kerusakan ginjal dengan fungsi ginjal yang masih normal,
stadium 2 kerusakan ginjal dengan penurunan fungsi ginjal yang ringan, stadium 3
kerusakan ginjal dengan penurunan yang sedang fungsi ginjal, stadium 4
kerusakan ginjal dengan penurunan berat fungsi ginjal, dan stadium 5 adalah
gagal ginjal. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1 berikut:1

3
Tabel 1. Klasifikasi penyakit ginjal kronik berdasarkan laju filtrasi
glomerolus.1,3

Derajat Penjelasan LFG


(mL/menit/1,73m2)

1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal ≥ 90


atau ↑
2 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ ringan 60-89
3 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ 30-59
sedang
4 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ berat 15-29
5 Gagal ginjal <15 atau dialisis

1.3 Epidemiologi

Di Amerika Serikat, insidens penyakit ginjal kronik diperkitakan 100 juta


kasus perjuta penduduk per tahun, dan angka ini meningkat sekitar 8% setiap
tahunnya. Di Malaysia diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal
pertahunnya. Di Negara berkembang lainnya, insidens ini diperkirakan sekitar 40-
60 kasis perjuta penduduk per tahun.1

Penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia tahun


2000:1

1. Glomerulonefritis (46,39%)
2. Diabetes Mellitus (18,65%)
3. Obstruksi dan infeksi (12,85%)
4. Hipertensi (8,46%)
5. Sebab lain (13,65%)
Penyakit gagal ginjal kronik lebih sering terjadi pada pria daripada wanita.
Insidennya pun lebih sering pada kulit berwarna daripada kulit putih.2

1.4 Etiologi1,3,4

Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal
Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak

4
sebagai berikut glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%)
dan ginjal polikistik (10%).

a. Glomerulonefritis

Glomerulonefritis akut mengarah pada serangkaian tertentu penyakit ginjal


di mana mekanisme kekebalan tubuh memicu peradangan dan proliferasi jaringan
glomerular yang dapat mengakibatkan kerusakan pada membran basal,
mesangium, atau endotelium kapiler. Hippocrates awalnya menggambarkan
manifestasi nyeri punggung dan hematuria, lalu juga oliguria atau anuria. Dengan
berkembangnya mikroskop, Langhans kemudian mampu menggambarkan
perubahan pathophysiologic glomerular ini. Sebagian besar penelitian asli
berfokus pada pasien pasca-streptococcus.. Glomerulonefritis akut didefinisikan
sebagai serangan yang tiba-tiba menunjukkan adanya hematuria, proteinuria, dan
silinder sel darah merah. Gambaran klinis ini sering disertai dengan hipertensi,
edema, dan fungsi ginjal terganggu.2

Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan


primer dan sekunder. Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya berasal
dari ginjal sendiri sedangkan glomerulonefritis sekunder apabila kelainan ginjal
terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti diabetes melitus, lupus eritematosus
sistemik (LES), mieloma multipel, atau amiloidosis.2

Kebanyakan kasus terjadi pada pasien berusia 5-15 tahun. Hanya 10%
terjadi pada pasien yang lebih tua dari 40 tahun. Gejala glomerulonefritis akut
yaitu dapat terjadi hematuri oligouri, edema preorbital yang biasanya pada pagi
hari, hipertensi, sesak napas, dan nyeri pinggang karena peregangan kapsul
ginjal.2

b. Diabetes mellitus

Menurut American Diabetes Association (2003) diabetes melitus


merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua duanya.2

5
Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena penyakit
ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam
keluhan. Gejalanya sangat bervariasi. Diabetes melitus dapat timbul secara
perlahan-lahan sehingga pasien tidak menyadari akan adanya perubahan seperti
minum yang menjadi lebih banyak, buang air kecil lebih sering ataupun berat
badan yang menurun.2

Terjadinya diabetes ditandai dengan gangguan metabolisme dan


hemodinamik yang meningkatkan permeabilitas pembuluh darah, meningkatkan
tekanan darah sistemik, dan mengubah pengaturan tekanan intracapillary. Di
ginjal, perubahan ini mungkin menyebabkan munculnya protein dalam urin.
Kehadiran protein urin tidak hanya tanda awal penyakit ginjal diabetes, tetapi
dapat menyebabkan kerusakan dan túbulo interstitial glomerular yang pada
akhirnya mengarah ke glomerulosclerosis diabetes. Hubungan yang kuat antara
proteinuria dan komplikasi diabetes lainnya mendukung pandangan bahwa
peningkatan ekskresi protein urin mencerminkan gangguan vaskular umum yang
mempengaruhi banyak organ, termasuk mata, jantung, dan sistem saraf .2,4

c. Hipertensi

Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah
diastolik ≥ 90 mmHg pada seseorang yang tidak makan obat anti hipertensi.
Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu
hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya atau
idiopatik, dan hipertensi sekunder atau disebut juga hipertensi renal.5,6

6
Tabel 2. Klasifikasi tekanan darah sistolik, diastolik, modifikasi gaya
hidup, serta terapi obat berdasarkan Joint National Committee (JNC)VII:5,6

Klasifikasi Sistolik Diastolik Modifikasi Terapi


Tekanan (mmHg) Gaya
Darah (mmHg) Hidup

Normal < 120 Dan < 80 Edukasi tidak perlu obat


antihipertensi
Prehipertensi 120 – 139 Atau 80 – 89 Ya
Stage 1 HT 140 – 159 Atau 90 – 99 Ya Thiazid tipe diuretik
Dapat juga ACEI, ARB,
BB, CCB, atau
kombinasi
Stage 2 HT > 160 Atau > 100 Ya Kombinasi 2 jenis obat
(biasanya thiazid tipe
diuretik dan ACEI atau
ARB atau BB atau
CCB)

Target tekanan darah pada terapi pasien dengan CKD atau diabetes adalah
<130/80 mmHg.

d. Ginjal polikistik

Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau
material yang semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat
ditemukan kista kista yang tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di
medula. Selain oleh karena kelainan genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai
keadaan atau penyakit. Jadi ginjal polikistik merupakan kelainan genetik yang
paling sering didapatkan. Nama lain yang lebih dahulu dipakai adalah penyakit
ginjal polikistik dewasa (adult polycystic kidney disease), oleh karena sebagian
besar baru bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun. Ternyata kelainan ini dapat
ditemukan pada fetus, bayi dan anak kecil, sehingga istilah dominan autosomal
lebih tepat dipakai daripada istilah penyakit ginjal polikistik dewasa.2

1.5 Faktor risiko

7
Faktor risiko gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes
melitus atau hipertensi, penyakit autoimun, batu ginjal, sembuh dari gagal ginjal
akut, infeksi saluran kemih, berat badan lahir rendah, dan faktor social dan
lingkungan seperti obesitas atau perokok, berumur lebih dari 50 tahun, dan
individu dengan riwayat penyakit diabetes melitus, hipertensi, dan penyakit ginjal
dalam keluarga, berpendidikan rendah, dan terekspos dengan bahan kimia dan
lingkungan tertentu.3

1.6 Patofisiologi

Gambar 1 Patofisiologi penyakit ginjal kronik

Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada


penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang
terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi
struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nefron) sebagai
upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan

8
growth factors. Hal ini mengakibatkan hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan
tekanan kapiler dan aliran darah glomerolus. Proses adaptasi ini berlangsung
singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa skelrosis nefron yang
masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang
progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi.1,2

Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron


intrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis,
dan progresifitas tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis renin-angiotensin-
aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth
factor β (TGF-β). Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya
progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia,
dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan
fibrosis glomerolus maupun interstitial.1

Perjalanan umum gagal ginjal kronik dapat dibagi menjadi empat stadium.
Stadium ringan dinamakan penurunan cadangan ginjal. Selama stadium ini
kreatinin serum dan kadar BUN normal dan penderita asimptomatik. Gangguan
fungsi ginjal mungkin hanya dapat diketahui dengan memberi beban kerja yang
berat pada ginjal tersebut, seperti test pemekatan kemih yang lama atau dengan
mengadakan test LFG yang teliti.1

Stadium sedang perkembangan tersebut disebut insufisiensi ginjal, dimana


lebih dari 75% jaringan yang berfungsi telah rusak (LFG besarnya 25% dari
normal). Pada tahap ini kadar BUN baru mulai meningkat diatas batas normal.
Peningkatan konsentrasi BUN ini berbeda-beda, tergantung dari kadar protein
dalam diet. Pada stadium ini, kadar kreatinin serum juga mulai meningkat
melebihi kadar normal. Azotemia biasanya ringan, kecuali bila penderita misalnya
mengalami stress akibat infeksi, gagal jantung, atau dehidrasi. Pada stadium
insufisiensi ginjal ini pula gejala-gejala nokturia dan poliuria (diakibatkan oleh
kegagalan pemekatan) mulai timbul. Gejala-gejala ini timbul sebagai respons
terhadap stress dan perubahan makanan atau minuman yang tiba-tiba. Penderita
biasanya tidak terlalu memperhatikan gejala-gejala ini, sehingga gejala tersebut
hanya akan terungkap dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang teliti.1

9
Stadium berat dan stadium terminal gagal ginjal kronik disebut gagal
ginjal stadium akhir atau uremia. Gagal ginjal stadium akhir timbul apabila sekitar
90% dari massa nefron telah hancur, atau hanya sekitar 200.000 nefron saja yang
masih utuh. Nilai LFG hanya 10% dari keadaan normal, dan bersihan kreatinin
mungkin sebesar 5-10 ml per menit atau kurang. Pada keadaan ini kreatinin serum
dan kadar BUN akan meningkat dengan sangat menyolok sebagai respons
terhadap LFG yang mengalami sedikit penurunan. Pada stadium akhir gagal
ginjal, penderita mulai merasakan gejala-gejala yang cukup parah, karena ginjal
tidak sanggup lagi mempertahankan homeostasis cairan dan elektrolit dalam
tubuh. Kemih menjadi isoosmotis dengan plasma pada berat jenis yang tetap
sebesar 1,010. Penderita biasanya menjadi oligouri (pengeluaran kemih kurang
dari 500 ml/hari) karena kegagalan glomerulus meskipun proses penyakit mula-
mula menyerang tubulus ginjal. Kompleks perubahan biokimia dan gejala-gejala
yang dinamakan sindrom uremik mempengaruhi setiap sistem dalam tubuh. Pada
stadium akhir gagal ginjal, penderita umunya akan meninggal kecuali kalau ia
mendapat pengobatan dalam bentuk transplantasi ginjal atau dialisis.1

Meskipun perjalanan klinis penyakit ginjal kronik dibagi menjadi empat


stadium, tetapi dalam prakteknya tidak ada batas-batas yang jelas antara stadium-
stadium tersebut.

1.7 Gambaran Klinik

Gambaran klinik gagal ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia


sangat kompleks, meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti: kelainan
hemopoeisis, saluran cerna, mata, kulit, selaput serosa, kelainan neuropsikiatri dan
kelainan kardiovaskular.1,2,6

a. Kelainan hemopoeisis

Anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94 CU), sering


ditemukan pada pasien gagal ginjal kronik. Anemia pada pasien gagal ginjal
kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoetin. Hal lain yang ikut
berperan dalam terjadinya anemia adalah defisiensi besi, kehilangan darah (misal
perdarahan saluran cerna, hematuri), masa hidup eritrosit yang pendek akibat

10
terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh
substansi uremik, proses inflamasi akut ataupun kronik.1

Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin < 10 g/dL atau
hematokrit < 30 %, meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi serum /
serum iron, kapasitas ikat besi total / Total Iron binding Capacity(TIBC), feritin
serum), mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan adanya
hemolisis dan sebagainya.1,6

Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya, di samping


penyebab lain bila ditemukan. Pemberian eritropoetin (EPO) merupakan hal yang
dianjurkan. Pemberian tranfusi pada penyakit ginjal kronik harus dilakukan hati-
hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat. Tranfusi darah
yang dilakukan secara tidak cermat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh,
hiperkalemia, dan perburukan fungsi ginjal. Sasaran hemoglobin menurut
berbagai studi klinik adalah 11-12 g/dL.1

b. Kelainan saluran cerna

Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien
gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dan muntah
masih belum jelas, diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh flora
usus sehingga terbentuk amonia. Amonia inilah yang menyebabkan iritasi atau
rangsangan mukosa lambung dan usus halus. Keluhan-keluhan saluran cerna ini
akan segera mereda atau hilang setelah pembatasan diet protein dan antibiotika.2

c. Kelainan mata

Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil


pasien gagal ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari
mendapat pengobatan gagal ginjal kronik yang adekuat, misalnya hemodialisis.
Kelainan saraf mata menimbulkan gejala nistagmus, miosis dan pupil asimetris.
Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan hipertensi maupun anemia yang
sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Penimbunan atau deposit garam
kalsium pada conjunctiva menyebabkan gejala red eye syndrome akibat iritasi dan

11
hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien gagal
ginjal kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau tersier.

d. Kelainan kulit

Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan


diduga berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini akan
segera hilang setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan
bersisik, tidak jarang dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka dan
dinamakan urea frost.1,3

e. Kelainan neuropsikiatri

Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia, dan
depresi sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Kelainan mental berat
seperti konfusi, dilusi, dan tidak jarang dengan gejala psikosis juga sering
dijumpai pada pasien GGK. Kelainan mental ringan atau berat ini sering dijumpai
pada pasien dengan atau tanpa hemodialisis, dan tergantung dari dasar
kepribadiannya (personalitas).

f. Kelainan kardiovaskular

Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal kronik sangat
kompleks. Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis, kalsifikasi
sistem vaskular, sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik terutama pada
stadium terminal dan dapat menyebabkan kegagalan faal jantung.

1.8 Pendekatan Diagnosis

Pendekatan diagnosis gagal ginjal kronik (GGK) dilihat dari anamnesis,


pemeriksaan fisik, gambaran radiologis, dan apabila perlu gambaran
histopatologis.1,6

1. Memastikan adanya penurunan faal ginjal (LFG)

2. Mengejar etiologi GGK yang mungkin dapat dikoreksi

3. Mengidentifikasi semua faktor pemburuk faal ginjal (reversible factors)

12
4. Menentukan strategi terapi rasional

5. Meramalkan prognosis

Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila dilakukan


pemeriksaan yang terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik
diagnosis dan pemeriksaan penunjang diagnosis rutin dan khusus.

a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik

Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang


berhubungan dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi GGK,
perjalanan penyakit termasuk semua faktor yang dapat memperburuk faal ginjal
(LFG). Gambaran klinik (keluhan subjektif dan objektif termasuk kelainan
laboratorium) mempunyai spektrum klinik luas dan melibatkan banyak organ dan
tergantung dari derajat penurunan faal ginjal.

Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi:

i) sesuai dengan penyakit yang mendasari;

ii) sindrom uremia yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual,
muntah, nokturia, kelebihan cairan (volume overload), neuropati perifer,
pruritusm uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma;

iii) gejala komplikasinya antara lain hipertensi, anemia, osteodistrofi renal,


payah jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit
(sodium, kalium, chlorida).1

b. Pemeriksaan laboratorium

Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi sesuai dengan


penyakit yang mendasarinya, penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan ureum
dan kreatinin serum, dan penurunan laju filtrasi glomerolus (LFG) yang dapat
dihitung mempergunakan rumus Kockcroft-Gault, serta kelainan biokimia darah
lainnya, seperti penurunan kadar hemoglobin, hiper atau hipokalemia,

13
hiperfosfatemia, hipokalsemia. Kelainan urinanalisi meliputi proteinuria,
hematuri, leukosuria, dan silinder.1

c. Pemeriksaan penunjang diagnosis

Pemeriksaan radiologis penyakit ginjal kronik meliputi:1

1. foto polos abdomen: dapat terlihat batu radio opak


2. pielografi intravena: sekarang jarang digunakan karena kontras sering
tidak bisa melewati filter glomerolus, di samping kekhawatiran terjadinya
pengaruh toksisk oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami
kerusakan
3. pielografi antergrad atau retrograde dilakukan sesuai indikasi
4. ultrasonografi ginjal dapat memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil,
korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa,
klasifikasi
5. pemeriksaan pemindaan ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.

1.9 Penatalaksanaan1,2,3,6

1. Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal
secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia,
memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan
dan elektrolit.

a.Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah
atau mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan
terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.

b. Kebutuhan jumlah kalori

14
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat
dengan tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen,
memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.

c. Kebutuhan cairan dan elektrolit

Pembatasan cairan untuk mencegah terjadinya edema dan komplikasi


kardiovaskuler sangat perlu dilakukan. Maka air yang masuk dianjurkan 500-800
ml ditambah jumlah produksi urin. Elektrolit harus diawasi asupannya adalah
kalium dan natrium. Pembatasan kalium dilakukan karena hiperkalemi dapat
menyebabkan aritmia jantung yang fatal. Kadar kalium darah yang dianjurkan
adalah 3,3-5,5 meq/lt. Pembatasan naterium dimaksudkan untuk mengndalikan
hipertensi dan edema.

2. Terapi simptomatik
a. Asidosis metabolik

Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum


kalium (hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik
dapat diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus
segera diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20
mEq/L.

b. Anemia

Dapat diberikan eritropoetin pada pasien gagal ginjal kronik. Dosis


inisial 50 u/kg IV 3 kali dalam seminggu. Jika Hb meningkat >2 gr/dL
kurangi dosis pemberian menjadi 2 kali seminggu. Maksimum pemberian
200 u/kg dan tidak lebih dari tiga kali dalam seminggu.6

Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah


satu pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian
transfusi darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian
mendadak.

Sasaran hemoglobin adal 11-12 gr/dL.

15
c. Keluhan gastrointestinal

Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang


sering dijumpai pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan
keluhan utama (chief complaint) dari GGK. Keluhan gastrointestinal yang
lain adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang
harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan
simtomatik.

d. Kelainan kulit

Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan


kulit.

e. Kelainan neuromuskular

Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi


hemodialisis reguler yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal
paratiroidektomi.

f. Hipertensi

Pemberian obat-obatan anti hipertensi terutama penghambat


Enzym Konverting Angiotensin (Angiotensin Converting Enzyme/ ACE
inhibitor). Melalui berbagai studi terbukti dapat memperlambat proses
pemburukan antihipertensi dan antiproteinuria.

g. Kelainan sistem kardiovaskular

Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular


merupakan hal yang penting, karena 40-50% kematian pada penyakit
ginjal kronik disebabkan oleh penyakit kardiovaskular. Tindakan yang
diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang diderita, termasuk
pengendalian diabetes, hipertensi, dislipidemia, hiperfosfatemia, dan terapi
terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbanagan elektrolit.

16
3. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium
5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa
hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal.

a. Hemodialisis

Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah


gejala toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh
terlalu cepat pada pasien GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk
faal ginjal (LFG). Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut
dan indikasi elektif. Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu
perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan
kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter,
muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan
kreatinin > 10 mg%.

Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual,


anoreksia, muntah, dan astenia berat.

b. Dialisis peritoneal (DP)

Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal


Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi
medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65
tahun), pasien-pasien yang telah menderita penyakit sistem
kardiovaskular, pasien- pasien yang cenderung akan mengalami
perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV
shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan
residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai co-
morbidity dan co-mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien
sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan
di daerah yang jauh dari pusat ginjal.

17
1.10 Prognosis

Pasien dengan gagal ginjal kronik umumnya akan menuju stadium


terminal atau stadium V. Angka prosesivitasnya tergantung dari diagnosis yang
mendasari, keberhasilan terapi, dan juga dari individu masing-masing. Pasien
yang menjalani dialisis kronik akan mempunyai angka kesakitan dan kematian
yang tinggi. Pasien dengan gagal ginjal stadium akhir yang menjalani transpantasi
ginjal akan hidup lebih lama daripada yang menjalani dialisis kronik. Kematian
terbanyak adalah karena kegagalan jantung (45%), infeksi (14%), kelainan
pembuluh darah otak (6%), dan keganasan (4%).2

1.11Pencegahan

Upaya pencegahan terhadap penyakit ginjal kronik sebaiknya sudah mulai


dilakukan pada stadium dini penyakit ginjal kronik. Berbagai upaya pencegahan
yang telah terbukti bermanfaat dalam mencegah penyakit ginjal dan
kardiovaskular, yaitu pengobatan hipertensi (makin rendah tekanan darah
makinkecil risiko penurunan fungsi ginjal), pengendalian gula darah, lemak
darah,anemia, penghentian merokok, peningkatan aktivitas fisik dan pengendalian
beratbadan.3

BAB II

18
LAPORAN KASUS

2.1 IDENTIFIKASI

• Nama : Ny. B
• Umur : 65 tahun
• Jenis kelamin : Perempuan
• Alamat : Manggopoh
• Status : Menikah
• Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
• Agama : Islam
• Tanggal pemeriksaan : Senin / 11 Februari 2019
• Tanggal masuk : Sabtu / 9 Februari 2019

2.2 ANAMNESIS

Keluhan Utama

Sesak napas yang makin meningkat sejak 1 hari sebelum masuk rumah
sakit.

Riwayat Perjalanan Penyakit

- Sesak nafas sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit, sesak dirasakan
terus- menerus, sesak terutama dirasakan saat isitirahat dan memberat
dengan aktivitas, sesak tidak dipengaruhi oleh cuaca dan makanan, riwayat
sering terbangun tengah malam karena sesak ada, riwayat tidur dengan
bantal ditinggikan ada.
- Lemah letih sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit.
- Pucat dirasakan 2 hari sebelum masuk rumah sakit.
- Riwayat perdarahan pada hidung, mulut, dan kulit tidak ada.
- Sembab pada keempat ekstremitas dirasakan sejak 6 bulan ini.
- Demam, batuk, pilek tidak ada.

19
- Mual, muntah tidak ada
- Penurunan nafsu makan dan penurunan berat badan yang signifikan tidak
ada.
- Gatal-gatal pada kulit tidak ada
- Buang air kecil tidak ada keluhan. Riwayat BAK berpasir tidak ada.
Riwayat BAK berdarah, Riwayat BAK seperti air cucian daging disangkal.
Riwayat nyeri pinggang tidak ada.
- Buang air besar warna dan konsistensi biasa.
- Riwayat konsumsi obat-obatan pengencer darah, obat anti nyeri dan jamu-
jamuan dalam jangka waktu lama tidak ada
- Riwayat terpapar radiasi dan bahan kimia seperti pestisida tidak ada.
- Pasien baru pulang dari rawatan di RSUD Lubuk Basung dengan keluhan
utama sesak napas, dan dirawat selama 6 hari.
Riwayat Penyakit Dahulu

- Riwayat penyakit hipertensi (+) sejak 5 tahun yang lalu,

- Riwayat penyakit diabetes mellitus ada, pasien telah dikenal dengan DM


tipe II sejak 1 tahun yang lalu

- Riwayat penyakit jantung (CHF) ada sejak 1 tahun yang lalu

- Riwayat penyakit ginjal (CKD) ada sejak 1 tahun yang lalu

- Riwayat penyakit keganasan tidaka ada

Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat keluarga dengan keluhan gula darah tinggi ada

2.3 PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum

Keadaan umum : tampak sakit sedang

Kesadaran : composmentis cooperatif

20
Tekanan darah : 130/80 mmHg

Nadi : 86x/menit, reguler, kuat angkat

Pernafasan : 28x/menit

Suhu : 36,5° C

Berat Badan : 70 kg

Tinggi Badan : 155 cm

BMI : 31 kg/m2

Kesan gizi : Obesitas

Keadaan spesifik

Kulit
Telapak tangan dan kaki pucat ada, warna kulit sawo matang, scar tidak
ada, pigmentasi normal, ikterus tidak ada, sianosis tidak ada, pertumbuhan
rambut normal.
Kelenjar Getah Bening
Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening di leher, submandibula,
supraklavikula, infraklavikula, aksila, inguinalis.
Kepala
Bentuk normochepali, simetris, deformitas tidak ada, rambut putih hitam,
lurus, tidak mudah dicabut.
Mata
konjungtiva anemis ada (+/+), sklera ikterik tidak ada, edema palpebra
tidak ada.
Hidung
Bagian luar tidak ada kelainan, septum dan tulang-tulang dalam perabaan
baik, tidak ditemukan penyumbatan maupun perdarahan, pernapasan
cuping hidung tidak ada.
Telinga

21
Kedua meatus acusticus eksternus normal, cairan tidak ada, nyeri tekan
processus mastoideus tidak ada, pendengaran baik.
Mulut
Tonsil T1-T1 tidak hiperemis, pucat pada lidah tidak ada, atrofi papil tidak
ada, gusi berdarah tidak ada, stomatitis tidak ada, bau pernafasan aseton
tidak ada. Oral trash tidak ada. Caries dentis ada.
Leher
Pembesaran kelenjar tiroid tidak ada, pembesaran kelenjar KGB tidak ada,
JVP (5+3) cmH2O, kaku kuduk tidak ada.
Thoraks
Bentuk dada simetris, spider nevi tidak ada.
Paru-paru
I : Statis,dinamis simetris kanan dan kiri, sela iga tidak melebar
P : Fremitus kanan sama dengan kiri
P : Sonor pada kedua lapangan paru
A: Bronkovesikular di kedua lapangan paru, ronkhi +/+, wheezing tidak
ada.
Jantung
I : ictus cordis tidak terlihat
P : ictus codis teraba 1 jari lateral LMCS RIC VI kiri,
P : batas atas RIC II, batas jantung kanan linea sternalis dextra, batas
jantung kiri 1 jari lateral LMCS RIC VI
A: irama reguler, 86 x/menit, murmur tidak ada, gallop tidak ada
Abdomen
I : tambak membesar
P: supel, nyeri tekan tidak ada, hepar dan lien tidak teraba.
P : timpani, undulasi positif
A: BU positif normal
Alat kelamin
Tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas atas :

22
nyeri sendi tidak ada, gerakan bebas, edema ada, jaringan parut tidak ada,
pigmentasi normal, telapak tangan pucat ada, jari tabuh tidak ada, turgor
kembali cepat, eritema palmaris tidak ada, sianosis tidak ada. Reflek
fisiologis normal, reflek patologis tidak ada.
Ekstremitas bawah :
nyeri sendi tidak ada, gerakan bebas, edema pada kedua tungkai, jaringan
parut tidak ada, pigmentasi normal, jari tabuh tidak ada, turgor kembali
cepat, akral pucat ada, sianosis tidak ada. Reflek fisiologis normal, reflek
patologis tidak ada.

Pemeriksaan Laboratorium (8-2-19)

Hb : 9,4 gr/dl (n= 12-14)


Leukosit : 4700/mm3 (n= 5000-10.000)
Trombosit : 149.000/mm3 (n= 150.000-450.000)
Hematokrit : 32 % (n= 35-45)
Eritrosit : 3,81 juta/m3 (n= 4,5-5 juta)
GDS : 165 mg/dl (n= <200)
SGOT : 29 mg/dl (n= <32)
SGPT : 25 mg/dl (n= <31)
Ureum : 124 mg/dl (n= 10-50)
Kreatinin : alat rusak
Pemeriksaan Laboratorium (11-2-19)
Total protein: 6,2 g/dl (n= 6,7-8,7)
Albumin : 3,4 g/dl (n= 3,8-4,4)
Globulin : 2,8 g/dl (n= 2,9-4,3)
Pemeriksaan Laboratorium (12-2-19)
Total kolesterol: 148 mg/dl (n= 150-200)
Trigliserida : 120 mg/dl (n= 60-150)
Ureum : 117 mg/dl (n= 10-50)

23
Kreatinin : 5,9 mg/dl (n= 0,6-0,9)
Laju Filtrasi Glomerolus :
LFG = (140-umur)x berat badan = 10,5 ml/menit/1,73m2
72x kreatinin plasma
Urinalisa
Warna : kuning muda
pH : 5.5
Protein : (++++) positif 4
Reduksi : negatif
Bilirubin : negatif
Urobilin : normal
Sedimen
 eritrosit : 2-5 / lpb
 leukosit : 3-7 /lpb
 silinder : negatif
 kristal : negatif
 Sel epitel : negatif
Kesan : proteinuria

EKG

Kesan:

24
Pemeriksaan radiografi abdomen 2 posisi (AP dan LLD) (31/1/2019)

Kesan: asites
Pemeriksaan rontgen thoraks AP (31/12/18)

Kesan: - kardiomegali dd/ ec kardiomiopati, ec efusi pericardial


-Efusi pleura dekstra

Diagnosis Kerja:

- CHF FC IV + LVH RVH

25
- CKD stg V + Asidosis metabolic
- Asites

Penatalaksanaan

 Istirahat, posisi setengah duduk


 O2 3 liter/menit
 Diet rendah protein
 Drip Lasix 5 ampul dalam 50cc NaCl 0,9 % (syringe pump) kecepatan
2,5cc/jam
 Drip meylon 50cc dalam 50 cc NaCl 0,9 % dengan tetesan cepat
 Inj ceftriaxone 2x1 gr
 Bicnat 3x1
 Asam folat 1x5mg
 Candesartan 1x16 mg
 Amlodipin 1x5 mg
 Omeprazole 1x1

Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad fungtionam : malam

Rencana Lanjutan

 Transfuse PRC
 Cek SGOT SGPT, Albumin, globulin

Follow Up
1. Selasa/12 Februari 2019
S/ Sesak napas (+) tapi mulai berkurang
Sembab (+) pada keempat ekstremitas
O/ Ku: sedang
Kes: CMC

26
TD: 140/70 mmHg
HR: 84 x/menit
RR: 26 x/menit
Suhu: 36,8
paru: bronkovesikular, Rh+/+, Wh-/-
A/ CKD stg V + asidosis metabolic
- CHF FC IV LVH RVH
- Asites
- CAP
- HHD

P/ terapi lanjut

Rencana cek kolesterol , ur/cr

2. Rabu/ 13 Februari 2019


S/ Sesak napas (+) tapi mulai berkurang
Sembab (+) pada keempat ekstremitas
Sulit buang air besar
O/ Ku: sedang
Kes: CMC
TD: 110/70 mmHg
HR: 80 x/menit
RR: 24 x/menit
A/ CKD stg V + asidosis metabolic
- CHF FC IV LVH RVH
- Asites
- CAP
- HHD
P/ terapi lanjut
Lactulac 3xcthII
Curcuma 3x1
PCT 3x1

27
BAB III

DISKUSI

Seorang pasien perempuan usia 65 tahun dirawat di bangsal interne RSUD


Lubuk Basung dengan diagnosis CHF FC IV LVH RVH, CKD Stage V +
Asidosis metabolic, asites. Diagnosis didapatkan berdasarkan dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.

Penegakkan diagnosa congestive heart failure pada pasien ini, berdasarkan


kriteria Framingham. Terdapat dua kriteria, yaitu kriteria mayor (paroxysmal
nocturnal dyspnea, distensi vena leher, ronki paru, acute pulmonary edema,
hepatojugular refluks, s3 gallop, kardiomegali, peninggian vena jugularis) dan
kriteria minor (edema ekstremitas, batuk malam hari, dispneu de effort,
hepatomegali, efusi pleura, penurunan vital capacity <1/3 normal dan takikardi).
Penegakkan congestive heart failure minimal ada 1 kriteria mayor dan 2 kriteria
minor atau 2 kriteria mayor.7,8 Pada pasien ini terdapat 4 kriteria mayor
( proxysmal nocturnal dyspneu, ronki paru, kardiomegali, dan peninggian vena
jugularis) dan 2 kriteria minor (edema ekstremitas, DOE).

Klasifikasi NYHA untuk congestive heart failure dibagi atas 4, yaitu kelas
1 (tidak terdapat batasan dalam melakukan aktivitas fisik, aktivitas fisik sehari-
hari tidak menimbulkan kelelahan, palpitasi atau sesak napas), kelas II ( terdapat
batasan aktivitas ringan. Tidak terdapat keluhan saat istirahat, namun aktivitas
fisik sehari-hari menimbulkan kelelahan, palpitasi dan sesak napas), kelas III
(terdapat batasan aktivitas yang bermakna. Tidak terdapat keluhan saat istirahat,
tetapi aktivitas fisik ringan menyebabkan kelelahan palpitasi dan sesak napas) dan
kelas IV (tidak dapat melakukan aktivitas fisik tanpa keluhan). Pada pasien ini
sesak muncul saat istirahat dan memberat dengan aktfitas.

Sesak napas yang timbul pada pasien bisa disebabkan karena penyakit
jantung yang dideritanya yaitu CHF, bisa juga karena asidosis metabolic akibat
penyakit ginjal kronik

28
Pada CKD terutama stadium V dijumpai penurunan ekskresi sisa nitrogen
dalam tubuh. Sehingga terjadi uremia. Uremia yang bersifat toksik dapat
menyebar ke seluruh tubuh dan dapat mengenai sistem saraf perifer dan sistem
saraf pusat. Selain itu sindrom uremia ini akan menyebabkan trombositopati dan
memperpendek usia sel darah merah. Trombositopati akan meningkatkan resiko
perdarahan spontan terutama pada saluran cerna, dan dapat berkembang menjadi
anemia bila penanganannya tidak adekuat. Anemia pada CKD juga dapat
disebabkan oleh kurangnya produksi eritropoietin. Anemia ini yang mneyebabkan
timbulnya keluhan lemah, letih dan pucat.
Selain itu terdapat keluhan sembab pada kedua tungkai. Sembab bisa
disebabkan oleh peningkatan permeabilitas kapiler, berkurangnya protein plasma,
peningkatan tekanan hidrostatik, dan obstruksi pembuluh limfe. Beberapa
penyakit yang sering menimbulkan keluhan sembab terutama pada tungkai adalah
gagal jantung dan penyakit ginjal kronik.
Kerusakan ginjal kronis dapat menyebabkan sklerosis glomerulus dan
fibrosis sehingga protein tidak terfiltrasi dan terjadi proteinuria, akibatnya tubuh
kekurangan protein dalam pembuluh darah sehingga tekanan onkotik menurun.
Heal ini menyebabkan perpindahan plasma dari intravaskular ke ruang interstitial
yang menimbulkan manifestasi berupa edema.
Pasien telah dikenal menderita penyakit hipertensi sejak 5 tahun yang lalu
dan tidak terkontrol. Peningkatan tekanan darah berkepanjangan akan merusak
pembuluh darah di sebagian besar tubuh. Peningkatan tekanan dan regangan yang
kronik pada arteriol dan glomeruli diyakini dapat menyebabkan sklerosis pada
pembuluh darah glomeruli atau yang sering disebut degan glomerulosklerosis.
Perubahan fungsi ginjal dalam waktu yang lama dapat mengakibatkan kerusakan
lebih lanjut pada nefron yang ada. Lesi-lesi sklerotik yang terbentuk semakin
banyak sehingga dapat menimbulkan obliterasi glomerulus, yang mengakibatkan
penurunan fungsi ginjal lebih lanjut.

Pasien juga telah dikenal menderita penyakit CKD, CHF dan Diabetes
Mellitus sejak 1 tahun ini. Pada diabetes mellitus dapat menyebabkan komplikasi
kronik berupa mikroangiopati dan makroangiopati, salah satunya ke arteriol
glomerolus. Diabetes menyebabkan kerusakan dan tubulointerstitial glomerular

29
yang pada akhirnya mengarah ke glomerulosclerosis diabetes.Glomerulosklerosis
diabetik terdiri dari penebalan difus matrik mesangial dengan bahan eosinofilik
disertai penebalan membran basalis kapiler, sehingga akan menurunkan fungsi
ginjal.

Pada pemeriksaan fisik jantung didapatkan gambaran kardiomegali.


Kardiomegali pada pasien ini berkaitan dengan riwayat hipertensi. Tekanan darah
tinggi menyebabkan pressure overload. Jantung harus bekerja lebih keras untuk
melawan tekanan tersebut agar darah dapat dipompakan keluar dari ventrikel. Hal
ini akan menyebabkan hipertrofi otot-otot jantung. Sehingga terjadi pembesaran
jantung. Penyakit jantung dapat berkaitan dengan penyakit ginjal, hal ini dikenal
dengan sindrom kardiorenal. Hubungan ini bersifat timbal balik, kelainan pada
jantung dapat menyebabkan kelainan pada ginjal, begitu pula sebaliknya

Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar ureum dan kreatinin


pasien meningkat. Kadar uteum yang tinggi dalam darah dapat menyebabkan
sindrom uremia. Sindroma ini memiliki munculan klinis dari berbagai organ,
diantaranya jantung, muskuloskeletal, sistem saraf, endokrin, gastrointestinal,
keseimbangan cairan dan elektrolit dan hematological.
Kemudian pada pasien dilakukan perhitungan Laju Filtrasi Glomerolus.
Berdasarkan klasifikasi penyakit ginjal kronik, maka penyakit ginjal kronik
(chronic kidney disease) pada pasien ini termasuk stage V.
Penatalaksanaan pada pasien ini adalah penatalaksanaan nonfarmakologis
(Istirahat dan diet) dan farmakologis berupa Drip Lasix 5 ampul dalam 50cc NaCl
0,9 % (syringe pump) kecepatan 2,5cc/jam untuk menurunkan preload sehingga
kerja jantung tidak bertambah berat,, Drip meylon 50cc dalam 50 cc NaCl 0,9 %
dengan tetesan cepat dan Bicnat 3x1 untuk mengatasi kondisi asidosis metabolic,
Inj ceftriaxone 2x1 gr, Asam folat 1x5mg, Candesartan 1x16 mg, Amlodipin 1x5
mg, Omeprazole 1x1. Pada pasien direncanakan hemodialisa namun pasien
menolak sehinnga terapi yang diberikan hanya berupa obat-obatan.
Diet pembatasan asupan protein pada pasien gagal ginjal kronik
bertujuan untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus. Pemberian diet tinggi
protein mengakibatkan penimbunan substansi nitrogen dan ion anorganik lainnya

30
dan mengakibatkan sindrom uremia. Pembatasan cairan dan elektrolit untuk
mencegah terjadinya edema dan komplikasi kardiovaskular lebih lanjut.
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering
dijumpai pada penyakit ginjal kronik. Keluhan gastrointestinal ini merupakan
keluhan utama (chief complaint) dari penyakit ginjal kronik. Tindakan yang harus
dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik.

Pemberian obat-obatan anti hipertensi terutama penghambat Enzym


Konverting Angiotensin (Angiotensin Converting Enzyme/ ACE inhibitor).
Melalui berbagai studi terbukti dapat memperlambat proses pemburukan
hipertensi dan proteinuria. Menurut JNC 8, obat antihipertensi pada pasien
penyakit ginjal kronik yang dapat diberikan adalah ACEI atau ARB. Pada pasien
ini diberikan candesartan yang merupakan golongan ARB. Selain itu juga
diberikan amlodipine yang merupakan golongn CCB.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Ketut Suwitra. Penyakit Ginjal Kronik. Aru WS, Bambang S, Idrus A,


Marcellus SK, Siti S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed. 4 Jilid I.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. hlm 570-3.
2. Editorial. Gagal Ginjal Kronik. Diunduh dari: http://emedicine.
medscape.com/article/238798-overview, 25 Mei 2013.
3. Editorial. KDOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney
Disease: Evaluation, Classification, and Stratification. Diunduh
dari:http://www.kidney.org/professionals/kdoqi/guidelines_ckd/toc.htm.
4. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Hipertensi. Azis
R, Sidartawam S, Anna YZ, Ika PW, Nafriadi, Arif M, editor. Panduan
Pelayanan Medik. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2006. hlm 168-70.
5. Murray L, Ian W, Tom T, Chee KC. Chronic Renal failure in Ofxord
Handbook of Clinical Medicine. Ed. 7th. New York: Oxford University;
2007. 294-97.
6. Editorial. Obat Hemopoetic. MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi. Ed. 8.
Jakarta: CMP Medica Asia Pte Ltd; 2008. Hlm. 114.
7. Sudoyo, Aru W, dkk. Buku ajar ilmu penyakit dalam jil 1:ed V. Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta. Hal:1597
8. Murphy, Joseph G, llyod, Margareth A, dkk. Mayo clinic cardiology
3thedition. Mayo clinic scientific pressand informa healthcare USA, inc.
Canada:2007. Page:741-742
9. Perhimpunan dokter spesialis jantung indonesia. 2015. Pedoman
tatalaksana gagal jantung edisi I.

32

Anda mungkin juga menyukai