PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pada sisi posterior melekat erat pada fasia pratrakea dan laring melalui kapsul
fibrosa, sehingga akan ikut bergerak kearah cranial sewaktu menelan.
Pada sebelah anterior kelenjar tiroid menempel otot pretrakealis (m. sternotiroid
dan m. sternohioid) kanan dan kiri yang bertemu pada midline. Pada sebelah yang lebih
superficial dan sedikit lateral ditutupi oleh fasia kolli profunda dan superfisialis yang
membungkus m. sternokleidomastoideus dan vena jugularis eksterna. Sisi lateral
berbatasan dengan a. karotis komunis, v. jugularis interna, trunkus simpatikus dan arteri
tiroidea inferior. Posterior dari sisi medialnya terdapat kelenjar paratiroid, n. laringeus
rekuren dan esophagus. Esofagus terletak di belakang trakea dan laring, sedangkan
n.laringeus rekuren terletak pada sulkus trakeoesofagikus.
Vaskularisasi kelenjar tiroid termasuk amat baik. A.tiroidea superior berasal dari
a.karotis kommunis atau a.karotis eksterna, a.tiroidea inferior dari a.subklavia, dan
a.tiroidea ima berasal dari a.brakhiosefalik salah sau cabang arkus aorta. Saraf yang
melewati tiroid adalah Nervus Rekurens. Saraf ini terletak di dorsal tiroid sebelum masuk
ke laring.
1
Aliran darah dalam kelenjar tiroid berkisar 4-6 ml/gram/menit, kira-kira 50 kali
lebih banyak dibanding aliran darah di bagian tubuh lainnya. Pada keadaan
hipertiroidisme, aliran darah ini akan meningkat sehingga dengan stetoskop terdengar
bising aliran darah dengan jelas di ujung bawah kelenjar.
Setiap folikel tiroid diselubungi oleh jala-jala kapiler dan limfatik, sedangkan
system venanya berasal dari pleksus parafolikuler yang menyatu di permukaan
membentuk vena tiroidea superior, lateral dan inferior.
Secara anatomis dari dua pasang kelenjar paratiroid, sepasang kelenjar paratiroid
menempel di belakang lobus superior tiroid dan sepasang lagi di lobus medius.
Pembuluh getah bening kelenjar tiroid berhubungan secara bebas dengan pleksus
trakealis. Selanjutnya dari pleksus ini ke arah nodus pralaring yang tepat berada di atas
ismus menuju ke kelenjar getah bening brakiosefalik dan sebagian ada yang langsung ke
duktus torasikus. Hubungan getah bening ini penting untuk menduga penyebaran
keganasan yang berasal dari kelenjar tiroid.
2
Gambar 2. Vaskularisasi dan Persarafan Kelenjar Tiroid
3
Gambar 4. Anatomi Tiroid Potongan Melintang
4
tiroid dalam sirkulasi yang bertindak sebagai negative feedback terhadap lobus anterior
hipofisis, dan terhadap sekresi thyrotropine releasing hormone (TRH) dari hipotalamus.
Pada kelenjar tiroid juga didapatkan sel parafolikuler, yang menghasilkan kalsitonin.
Kalsitonin adalah suatu polipeptida yang turut mengatur metabolisme kalsium, yaitu
menurunkan kadar kalsium serum, melalui pengaruhnya terhadap tulang.
Jadi, kesimpulan pembentukan hormon tiroksin melalui beberapa langkah, yaitu:
1. Iodide Trapping, yaitu pejeratan iodium oleh pompa Na+/K+ ATPase.
2. Yodium masuk ke dalam koloid dan mengalami oksidasi. Kelenjar tiroid
merupakan satu-satunya jaringan yang dapat mengoksidasi I hingga mencapai
status valensi yang lebih tinggi. Tahap ini melibatkan enzim peroksidase.
3. Iodinasi tirosin, dimana yodium yang teroksidasi akan bereaksi dengan residu
tirosil dalam tiroglobulin di dalam reaksi yang mungkin pula melibatkan enzim
tiroperoksidase (tipe enzim peroksidase).
6. Tiroksin dan triiodotirosin keluar dari sel folikel dan masuk ke dalam darah.
Proses ini dibantu oleh TSH.
7. MIT dan DIT yang tertinggal dalam sel folikel akan mengalami deiodinasi,
dimana tirosin akan dipisahkan lagi dari I. Enzim deiodinase sangat berperan
dalam proses ini.
5
Gambar 5. Sintesis dan Sekresi Hormon Tiroid
Fungsi hormon tiroid
a. Mengatur metabolisme protein, lemak, karbohidrat dalam sel.
b. Meningkatkan konsumsi oksigen di semua jaringan.
c. Meningkatkan frekuensi dan kontraksi denyut jantung.
d. Mempertahankan tonus otot.
e. Merangsang pemecahan lemak dan sintesa kolesterol.
6
2.2 Definisi Struma
Kelainan glandula tyroid dapat berupa gangguan fungsi seperti tirotoksikosis atau
perubahan susunan kelenjar dan morfologinya, seperti penyakit tyroid noduler.
Berdasarkan patologinya, pembesaran tyroid umumnya disebut struma.
Struma adalah suatu pembengkakan pada leher oleh karena pembesaran kelenjar
tiroid. Pembesaran kelenjar tiroid dapat disebabkan oleh kurangnya diet iodium yang
dibutuhkan untuk produksi hormon tiroid.
2.3 Epidemiologi Struma
Berdasarkan data Depkes tahun 2005, dari 56.890 kasus penyakit metabolik dan
lainnya yang dirawat inap di rumah sakit seluruh Indonesia sebanyak 913 kasus (1,6%)
tirotoksikosis dengan CFR (case fatality rate) 7,3% dan 4.065 kasus (7,14%) struma
lainnya dengan CFR 3,6%.1
Berdasarkan hasil Depkes RI tahun 2003 program pencegahan dan
penanggulangan Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY) di Indonesia PR struma
difusa non toksik (gondok) pada anak sekolah dasar di Indonesia sebesar 11,1%.14 15
Penelitian Azamris di Rumah Sakit Perjan Dr. M Jamil Padang pada Mei- November
2004 pada 30 orang penderita struma (25 wanita dan 5 pria) dilakukan pemeriksaan
histopatologi ditemukan keganasan struma pada 4 orang (0,13%).1
2.4 Klasifikasi Struma
a. Eutiroidisme
Eutiroidisme adalah suatu keadaan hipertrofi pada kelenjar tiroid yang disebabkan
stimulasi kelenjar tiroid yang berada di bawah normal sedangkan kelenjar hipofisis
menghasilkan TSH dalam jumlah yang meningkat. Goiter atau struma semacam ini
biasanya tidak menimbulkan gejala kecuali pembesaran pada leher yang jika terjadi
7
secara berlebihan dapat mengakibatkan kompresi trakea.
b. Hipotiroidisme
c. Hipertiroidisme
Dikenal juga sebagai tirotoksikosis atau Graves yang dapat didefenisikan sebagai
respon jaringan-jaringan tubuh terhadap pengaruh metabolik hormon tiroid yang
berlebihan. Keadaan ini dapat timbul spontan atau adanya sejenis antibodi dalam darah
yang merangsang kelenjar tiroid, sehingga tidak hanya produksi hormon yang berlebihan
tetapi ukuran kelenjar tiroid menjadi besar.
Secara klinis pemeriksaan klinis struma dapat dibedakan menjadi sebagai berikut :
a. Struma Toksik, yaitu struma yang menimbulkan gejala klinis pada tubuh, berdasarkan
perubahan bentuknya dapat dibagi lagi menjadi :
8
1. Diffusa, yaitu jika pembesaran kelenjar tiroid meliputi seluruh lobus, seperti
yang ditemukan pada Grave’s disease.
2. Nodosa, yaitu jika pembesaran kelenjar tiroid hanya mengenai salah satu
lobus, seperti yang ditemukan pada Plummer’s disease.
b. Struma Nontoksik, yaitu struma yang tidak menimbulkan gejala klinis pada tubuh,
berdasarkan perubahan bentuknya dapat dibagi lagi menjadi :
9
2. Inflamasi atau infeksi kelenjar tiroid
a. Tiroiditis akut
b. Tiroiditis sub-akut (de Quervain)
c. Tiroiditis kronis (Hashimoto’s disease dan struma Riedel)
3. Neoplasma
a. Neoplasma jinak (adenoma)
b. Neoplasma ganas (adenocarcinoma) : papiliferum,folikularis, anaplastik
2.6.1 Definisi
Struma difusa toksik dapat kita temukan pada Grave’s Disease. Penyakit ini juga
biasa disebut Basedow. Trias Basedow meliputi pembesaran kelenjar tiroid difus,
hipertiroidi dan eksoftalmus. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada orang muda
dengan gejala seperti berkeringat berlebihan, tremor tangan, menurunnya toleransi
terhafap panas, penurunan berat badan, ketidakstabilan emosi, gangguan menstruasi
berupa amenorrhea, dan polidefekasi ( sering buang air besar ). Klinis sering ditemukan
adanya pembesaran kelenjar tiroid, kadang terdapat juga manifestasi pada mata berupa
exophthalmus dan miopatia ekstrabulbi. Walaupun etiologi penyakit Graves tidak
diketahui pasti, tampaknya terdapat peran dari suatu antibodi yang dapat ditangkap
reseptor TSH, yang menimbulkan stimulus terhadap peningkatan hormon tiroid. Penyakit
ini juga ditandai dengan peningkatan absorbsi yodium radiokatif oleh kelenjar tiroid.
10
Gambar 6. Penderita Grave’s disease
2.6.2 Patofisiologi
Grave’s Disease merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh kelainan system
imun dalam tubuh, di mana terdapat suatu zat yang disebut sebagai Thyroid Receptor
Antibodies. Zat ini menempati reseptor TSH di sel-sel tiroid dan menstimulasinya secara
berlebiham, sehingga TSH tidak dapat menempati reseptornya dan kadar hormone tiroid
dalam tubuh menjadi meningkat.
11
dapat mengakibatkan kekacauan irama jantung berupa ektrasistol, fibrilasi atrium, dan
fibrilasi ventrikel.
Pada saluran cerna sekresi maupun peristaltik meningkat sehingga sering timbul
polidefekasi dan diare.
12
2.6.4 Tatalaksana
2.7.1 Definisi
Struma nodosa toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid pada salah satu lobus
yang disertai dengan tanda-tanda hipertiroid. Pembesaran noduler terjadi pada usia
dewasa muda sebagai suatu struma yang nontoksik. Bila tidak diobati, dalam 15-20 tahun
dapat menjadi toksik. Pertama kali dibedakan dari penyakit Grave’s oleh Plummer, maka
disebut juga Plummer’s disease.
2.7.2 Patofisiologi
Penyakit ini diawali dengan timbulnya pembesaran noduler pada kelenjar tiroid
yang tidak menimbulkan gejala-gejala toksisitas, namun jika tidak segera diobati, dalam
15-20 tahun dapat menimbulkan hipertiroid. Faktor-faktor yang mempengaruhi
perubahan dari nontoksik menjadi toksik antara lain adalah nodul tersebut berubah
menjadi otonom sendiri (berhubungan dengan penyakit autoimun), pemberian hormon
tiroid dari luar, pemberian yodium radioaktif sebagai pengobatan.
13
2.7.4 Tatalaksana
Terapi yang diberikan pada Plummer’s Disease juga sama dengan Grave’s yaitu
ditujukan pada pengendalian keadaan tirotoksisitas/ hipertiroidi dengan pemberian
antitiroid, seperti metimazol, propil-tiourasil ( PTU ) atau karbimazol. Terapi definitif
dapat dipilih antara pengobatan anti-tiroid jangka panjang, ablasio dengan yodium
radiokatif, atau tiroidektomi. Pembedahan terhadap tiroid dengan hipertiroidi dilakukan
terutama jika pengobatan dengan medikamentosa gagal dengan kelenjar tiroid besar.
Pembedahan yang baik biasanya memberikan kesembuhan yang permanen meskipun
kadang dijumpai terjadinya hipotiroidi dan komplikasi yang minimal.
2.8.1 Definisi
Struma endemik adalah penyakit yang ditandai dengan pembesaran kelenjar tiroid
yang terjadi pada suatu populasi, dan diperkirakan berhubungan dengan defisiensi diet
dalam harian. Epidemiologi Endemik goiter diperkirakan terdapat kurang lebih 5% pada
populasi anak sekolah dasar/preadolescent (6-12 tahun), seperti terbukti dari beberapa
penelitian. Goiter endemik terjadi karena defisiensi yodium dalam diet. Kejadian goiter
endemik sering terjadi di derah pegnungan, seperti di himalaya, alpens, daerah dengan
ketersediaan yodium alam dan cakupan pemberian yodium tambahan belum terlaksana
dengan baik
2.8.2 Patofisiologi
14
ini dapat menormalkan kerja tubuh, oleh karena pada efek kompensatorik tersebut
kebutuhan hormon tiroid terpenuhi. Akan tetapi, pada beberapa kasus, seperti defisiensi
iodin endemik, pembesaran ini tidak akan dapat mengompensasi penyakit yang ada.
Kondisi itulah yang dikenal dengan goiter hipotiroid. Derajat pembesaran tiroid
mengikuti level dan durasi defisiensi hormon tiroid yang terjadi pada seseorang.
Goiter Difus
Goiter difus adalah bentuk goiter yang membentuk satu buah pembesaran yang
tampak tanpa membentuk nodul. Bentuk ini biasa ditemukan dengan sifat non-toksik
(fungsi tiroid normal), oleh karena itu bentuk ini disebut juga goiter simpel. Dapat juga
disebut sebagai goiter koloid karena sel folikel yang membesar tesebut umumnya
dipenuhi oleh koloid. Kelainan ini muncul pada goiter endemik dan sporadik.
Goiter endemik muncul di tempat yang tanah, air, maupun suplai makanannya
mengandung sedikit iodin, sehingga terjadi defisiensi iodin secara meluas di daerah
teresebut. Contoh daerahnya adalah daerah pegunungan Alps, Andes atau Himalaya.
Sementara itu, goiter sporadik muncul lebih jarang dan dapat disebabkan oleh
berbagai hal, yaitu konsumsi bahan yang menghambat sintesis hormon tiroid atau
gangguan enzim untuk sintesis hormon tiroid yang turun secara herediter.
Pada goiter simpel, terdapat dua fase evolusinya, yaitu hiperplastik dan involusi
koloid. Pada fase hiperplastik, kelenjar tiroid membesar secara difus dan simetris,
walaupun pembesarannya tidak terlalu besar (hingga 100-150 gram). Folikel-folikelnya
dilapisi oleh sel kolumner yang banyak dan berdesakan. Akumulasi sel ini tidak sama di
keseluruhan kelenjar. Apabila setelah itu konsumsi iodin ditingkatkan atau kebutuhan
tubuh akan hormon tiroid menurun, terjadi involusi sel epitel folikel sehingga terbentuk
folikel yang besar dan dipenuhi oleh koloid. Biasanya secara makroskopik tiroid akan
terlihat coklat dan translusen, sementara secara histologis akan terlihat bahwa folikel
dipenuhi oleh koloid serta sel epitelnya gepeng dan kuboid.
2.8.3 Gejala Klinis
15
2.8.4 Tatalaksana
Tujuan dari pengobatan struma endemik adalah untuk mengecilkan struma dan
mengatasi hipotiroidisme yang mungkin ada, yaitu dengan pemberian SoL Lugoli selama
4-6 bulan. Bila ada perbaikan, pengobatan dilanjutkan sampai tahun dan kemudian
tapering off dalam 4 minggu. Bila 6 bulan sesudah pengobatan struma tidak juga
mengecil maka pengobatan medikamentosa tidak berhasil dan harus dilakukan tindakan
operatif.
2.9.1 Definisi
Struma nodosa non toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid yang secara klinik
teraba nodul satu atau lebih tanpa disertai tanda-tanda hypertiroidisme. Istilah struma
nodosa menunjukkan adanya suatu proses, baik fisiologis maupun patologis yang
menyebabkan pembesaran asimetris dari kelenjar tiroid. Karena tidak disertai tanda-tanda
toksisitas pada tubuh, maka pembesaran asimetris ini disebut sebagai struma nodosa
nontoksik. Kelainan ini sangat sering dijumpai sehari-hari, dan harus diwaspadai tanda-
tanda keganasan yang mungkin ada.
2.9.2 Patofisiologi
SNNT dapat juga disebut sebagai goiter sporadis. Jika goiter endemis terjadi 10%
populasi di daerah dengan defisiensi yodium, maka goiter sporadis terjadi pada seseorang
yang tidak tinggal di daerah endemik beryodium rendah. Penyebabnya sampai sekarang
belum diketahui dengan jelas, bisa terdapat gangguan enzim yang penting dalam sintesis
hormon tiroid atau konsumsi obat-obatan yang mengandung litium, propiltiourasil,
fenilbutazone, atau aminoglutatimid.
Pada umumnya struma nodosa non toksik tidak mengalami keluhan karena tidak
ada hipo- atau hipertiroidisme. Yang penting pada diagnosis SNNT adalah tidak adanya
gejala toksik yang disebabkan oleh perubahan kadar hormon tiroid, dan pada palpasi
16
dirasakan adanya pembesaran kelenjar tiroid pada salah satu lobus. Biasanya tiroid mulai
membesar pada usia muda dan berkembang menjadi multinodular pada saat dewasa.
Karena pertumbuhannya berangsur-angsur, struma dapat menjadi besar tanpa gejala
kecuali benjolan di leher. Sebagian besar penderita dengan struma nodosa dapat hidup
dengan strumanya tanpa keluhan.Walaupun sebagian struma nodosa tidak mengganggu
pernafasan karena menonjol ke depan, sebagian lain dapat menyebabkan penyempitan
trakea bila pembesarannya bilateral. Struma nodosa unilateral dapat menyebabkan
pendorongan sampai jauh ke arah kontra lateral. Pendorongan demikian mungkin tidak
mengakibatkan gangguan pernafasan. Penyempitan yang berarti menyebabkan gangguan
pernafasan sampai akhirnya terjadi dispnea dengan stridor inspiratoar. Keluhan yang ada
ialah rasa berat di leher. Sewaktu menelan trakea naik untuk menutup laring dan epiglotis
sehingga terasa berat karena terfiksasi trakea.
2.9.4 Tatalaksana
a. Lobektomi, yaitu mengangkat satu lobus, bila subtotal maka kelenjar disisakan
seberat 3 gram
2.10.1 Anamnesis
Pada anamnesis, keluhan utama yang diutarakan oleh pasien bisa berupa benjolan
di leher yang sudah berlangsung lama, maupun gejala-gejala hipertiroid atau
hipotiroidnya. Jika pasien mengeluhkan adanya benjolan di leher, maka harus digali lebih
17
jauh apakah pembesaran terjadi sangat progresif atau lamban, disertai dengan gangguan
menelan, gangguan bernafas dan perubahan suara. Setelah itu baru ditanyakan ada
tidaknya gejala-gejala hiper dan hipofungsi dari kelenjer tiroid. Perlu juga ditanyakan
tempat tinggal pasien dan asupan garamnya untuk mengetahui apakah ada kecendrungan
ke arah struma endemik. Sebaliknya jika pasien datang dengan keluhan ke arah gejala-
gejala hiper maupun hipofungsi dari tiroid, harus digali lebih jauh ke arah hiper atau hipo
dan ada tidaknya benjolan di leher.
Pada pemeriksaan fisik status lokalis pada regio coli anterior, yang paling pertama
dilakukan adalah inspeksi, dilihat apakah pembesaran simetris atau tidak, timbul tanda-
tanda gangguan pernapasan atau tidak, ikut bergerak saat menelan atau tidak.
Pada palpasi sangat penting untuk menentukan apakah benjolan tersebut benar
adalah kelenjar tiroid atau kelenjar getah bening. Perbedaannya terasa pada saat pasien
diminta untuk menelan. Jika benar pembesaran tiroid maka benjolan akan ikut bergerak
saat menelan, sementara jika tidak ikut bergerak maka harus dipikirkan kemungkinan
pembesaran kelenjar getah bening leher. Pembesaran yang teraba harus dideskripsikan :
18
a. Pemeriksaan untuk mengukur fungsi tiroid. Pemeriksaan untuk mengetahui kadar
T3 dan T4 serta TSH paling sering menggunakan teknik radioimmunoassay (RIA)
dan ELISA dalam serum atau plasma darah. Kadar normal T4 total pada orang
dewasa adalah 50-120 ng/dl. Kadar normal untuk T3 pada orang dewasa adalah
0,65-1,7 ng/dl. Kadar T3 dan TSH sangat membantu untuk mengetahui
hipotiroidisme primer di mana basal TSH meningkat 6 mU/L. Kadang-kadang
meningkat sampai 3 kali normal.
b. Pemeriksaan untuk menunjukkan penyebab gangguan tiroid. Antibodi terhadap
macam-macam antigen tiroid yang ditemukan pada serum penderita dengan
penyakit tiroid autoimun. Seperti antibodi tiroglobulin dan thyroid stimulating
hormone antibody (TSA).
c. Pemeriksaan radiologis
19
2.11 Penatalaksanaan
Ada beberapa macam untuk penatalaksanaan medis jenis-jenis struma antara lain sebagai
berikut :
1. Operasi/Pembedahan
Operasi tiroid (tiroidektomi) merupaka operasi bersih dan tergolong operasi besar.
Berapa luas kelenjar tiroid yang akan diambil tergantung patologiya serta ada tidaknya
penyebaran dari karsinomanya. Ada 6 macam operasi, yaitu:
1. Lobektomi subtotal; pengangkatan sebagian lobus tiroid yang mengandung
jaringan patologis
2. Lobektomi total (Hemitiroidektomi, ismolobektomi); pengangkatan satu sisi
lobus tiroid
3. Tiroidektomi subtotal; pengangkatan sebagian kelenjar tiroid yang mengandung
jaringan patologis,meliputi kedua lobus tiroid
4. Tiroidektomi near total; pengangkatan seluruh lobus tiroid yang patologis
berikut sebagian besar lobus kontralateralnya.
20
5. Tiroidektomi total; pengangkatan seluruh kelenjar tiroid
6. Operasi yang sifatnya ”extended”:
a. Tiroidektomi total + laringektomi total
b. Tiroidektomi total + reseksi trakea
c. Tiroidektomi total + sternotomi
d. Tiroidektomi total + FND atau RND
Indikasi operasi pada struma adalah :
4. Kosmetik
21
Pertama-tama dilakukan pemeriksaan klinis untuk menentukan apakah
nodul tiroid tersebut suspek maligna atau suspek benigna. Bila nodul tersebut
suspek maligna, maka dibedakan apakah kasus tersebut operable atau inoperable.
Bila kasus yang dihadapi adalah inoperable maka dilakukan tidakan biopsi
insisi untuk keperluan pemeriksaan histopatologis. Dilanjutkan dengan tindakan
debulking dan radiasi eksterna atau kemoradioterapi. Bila nodul tiroid suspek
maligna yang operable atau suspek benigna dapat dilakukan tindakan
isthmolobektomi atau lobektomi. Jika setelah hasil PA membuktikan bahwa lesi
tersebut jinak maka operasi selesai, tetapi jika ganas maka harus ditentukan
terlebih dahulu jenis karsinoma yang terjadi.
b. Dispneu
22
2. Yodium Radioaktif
Pengobatan dengan radioiodine 131 diindikasikan untuk: (1) small goiter (volume
<100 mL), (2) tanpa ada kecurigaan malignancy, (3) penderita dengan riwayat operasi
sebelumnya, (4) penderita dengan resiko tindakan bedah. (AME Guideline, 2006)
Jika penderita mempunyai lesi nodul yang besar maka ia akan membutuhkan
radioiodine dalam jumlah banyak dan hal ini dapat menyebabkan terjadinya efek resiten
terhadap terapi. Satu satunya kontra indikasi prosedur ini adalah kehamilan dan laktasi,
yang bisa dideteksi segera dengan tes kehamilan pada penderita. (AME Guideline, 2006)
Terapi dengan radioiodine berhasil pada 85% - 100% penderita tiroid nodul. Masa
nodul dapat mengecil sebesar 35% setelah tiga bulan, bahkan mengecil sampai 45%
setelah 24 bulan terapi). Pengobatan ini efektif dan aman, meskipun penelitian lain
melaporkan bahwa pengunaan dosis tinggi dapat menyebabkan thyroid cancer, leukemia;
namun demikian, studi epidemiologi tidak menunjukkan efek klinis yang signifikan
terhadap timbulnya carcinoma dan leukemia. (AME Guideline, 2006)
Penggunaan high-iodine-content-drugs (misalnya: amiodarone) hendaknya
dihindari sebelum melakukan prosedur terapi dengan radioiodine, agar tidak
mempengaruhi thyroid radioiodine uptake. Jika mungkin, obat anti-tiroid hendaknya
distop tiga mingu sebelim prosedur pengobatan, dan tidak boleh diberikan selama 3-5
hari pasca prosedur terapi dengan radioiodine, untuk mencegah menurunnya efektifitas
terapi. (AME Guideline, 2006)
Jumlah radioiodine yang dipergunakan secara fixed adalah 300 – 1800 MBq, dosis
ini tanpa mempertimbangkan ukuran nodul. Sehinga prosedur ini simple, murah, dan
hasilnya memuaskan. (AME Guideline, 2006)
Prosedur ini dibilang berhasil jika nilai TSH mecapai 0,5 µIU/mL. Jika kondisi ini
belum tercapai, maka terapi dapat diulang setelah 3 sampai 6 bulan. (AME Guideline,
2006)
3. Pemberian Tiroksin dan obat Anti-Tiroid
Terapi dengan Levothyroxine (LT4) kombinasi dengan serum TSH (<0.1 µIU/mL)
masih dalam kontroversi. Tujuannya adalah untuk mengecilkan nodul tiroid dan
23
mencegah kembali munculnya nodul baru atau pertumbuhan kecil massa yang serupa
dengan nodul awal. (AME Guideline, 2006)
Beberapa laporan menyebutkan bahwa pengecilan nodul tiroid lebih sering terjadi
pada penderita dengan kombinasi terapi long-term-TSH di banding dengan penderita
yang tanpa kombinasi TSH. Lebih dari 50% kasus nodul dapat mengecil, tetapi jika
hanya dengan terapi Levothyroxine (LT4) saja maka persentase keberhasilannya hanya
20%. (AME Guideline, 2006)
Pemberian Levothyroxine (LT4) hendaknya setengah sampai satu jam sebelum
makan (kondisi lambung kosong) agar absorbsinya maksimal. Disarankan agar minum
tablet Levothyroxine (LT4) dengan menggunan segelas air agar tablet lebih mudah larut
dan mudah terserap. Jangan mengkonsumsi tablet calcium, iron supplements, dan
antasida karena akan menghambat absorbsi obat Levothyroxine (LT4). Dosis maksimum
yang diberikan adalah 400 microgram per hari. (GNU-Wikipedia, 2007)
Saat ini, pengobatan Levothyroxine (LT4) secara rutin pada penderita dengan
nodule tiroid tidak direkomendasikan. Pengunaan Levothyroxine (LT4) harus dihindari
pada penderita: (1) dengan nodule yang besar (large nodule), (2) pada kasus long-
standing goiter, (3) jika level TSH <1 µIU/mL, (4) wanita post-menopause, (5) penderita
usia lebih dari 60 tahun, (6) penderita dengan osteoporosis, (7) penderita dengan penyakit
kardiovaskuler, dan (8) penderita dengan systemic illness. (AME Guideline, 2006)
Berikut ini adalah hal-hal penting lain yang perlu diperhatikan terhadap
penggunaan Levothyroxine (LT4), antara lain: Pengobatan dengan Levothyroxine (LT4)
hanya menunjukkan hasil klinis yang signifikan pada minoritas jumlah penderita dan
variasi respons-nya belum diketahui dengan baik. Pengobatan dengan Levothyroxine
(LT4) hendaknya tidak boleh terlalu suppressive karena akan menimbulkan adverse
effect. Jika nodul tiroid tidak mengecil dengan pemberian Levothyroxine (LT4), tindakan
reaspiration harus segera dilakukan. Pengobatan dengan Levothyroxine (LT4) tidaklah
berguna untuk tindakan pencegahan recurrent goiter pasca tindakan lobectomy. (AME
Guideline, 2006)
Obat anti-tiroid (tionamid) yang digunakan saat ini adalah propiltiourasil (PTU) dan
metimasol/karbimasol.
24
2.12 Pencegahan
Pencegahan primer adalah langkah yang harus dilakukan untuk menghindari diri
dari berbagai faktor resiko. Beberapa pencegahan yang dapat dilakukan untuk mencegah
terjadinya struma adalah :
25
a. Diagnosis
1. Inspeksi
Inspeksi dilakukan oleh pemeriksa yang berada di depan penderita yang berada
pada posisi duduk dengan kepala sedikit fleksi atau leher sedikit terbuka. Jika terdapat
pembengkakan atau nodul, perlu diperhatikan beberapa komponen yaitu lokasi, ukuran,
jumlah nodul, bentuk (diffus atau noduler kecil), gerakan pada saat pasien diminta untuk
menelan dan pulpasi pada permukaan pembengkakan.
2. Palpasi
Pemeriksaan dengan metode palpasi dimana pasien diminta untuk duduk, leher
dalam posisi fleksi. Pemeriksa berdiri di belakang pasien dan meraba tiroid dengan
menggunakan ibu jari kedua tangan pada tengkuk penderita.
Status fungsional kelenjar tiroid dapat dipastikan dengan perantara tes-tes fungsi
tiroid untuk mendiagnosa penyakit tiroid diantaranya kadar total tiroksin dan
triyodotiroin serum diukur dengan radioligand assay. Tiroksin bebas serum mengukur
kadar tiroksin dalam sirkulasi yang secara metabolik aktif. Kadar TSH plasma dapat
diukur dengan assay radioimunometrik.
Kadar TSH plasma sensitif dapat dipercaya sebagai indikator fungsi tiroid. Kadar
tinggi pada pasien hipotiroidisme sebaliknya kadar akan berada di bawah normal pada
pasien peningkatan autoimun (hipertiroidisme). Uji ini dapat digunakan pada awal
penilaian pasien yang diduga memiliki penyakit tiroid. Tes ambilan yodium radioaktif
(RAI) digunakan untuk mengukur kemampuan kelenjar tiroid dalam menangkap dan
mengubah yodida.
26
5. Ultrasonografi (USG)
Alat ini akan ditempelkan di depan leher dan gambaran gondok akan tampak di
layar TV. USG dapat memperlihatkan ukuran gondok dan kemungkinan adanya
kista/nodul yang mungkin tidak terdeteksi waktu pemeriksaan leher. Kelainan-kelainan
yang dapat didiagnosis dengan USG antara lain kista, adenoma, dan kemungkinan
karsinoma.
Pencegahan tersier bertujuan untuk mengembalikan fungsi mental, fisik dan sosial
penderita setelah proses penyakitnya dihentikan. Upaya yang dapat dilakukan adalah
sebagai berikut :
27
melakukan fisioterapi yaitu dengan rehabilitasi fisik, psikoterapi yaitu dengan
rehabilitasi kejiwaan, sosial terapi yaitu dengan rehabilitasi sosial dan rehabilitasi
aesthesis yaitu yang berhubungan dengan kecantikan.
28
BAB III
KESIMPULAN
Struma adalah suatu penyakit yang sering kita jumpai sehari-hari. Sangat penting
untuk melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti dan cermat untuk
mengetahui ada tidaknya tanda-tanda toksisitas yang disebabkan oleh perubahan kadar
hormon tiroid dalam tubuh. Begitu juga dengan tanda-tanda keganasan yang dapat
diketahui secara dini.
Apabila pada pemeriksaan kelenjar tiroid teraba suatu nodul maka pembesaran ini
disebut struma nodosa. Struma nodusa tanpa disertai tanda-tanda hipertiroidisme disebut
struma nodusa non toksik. Kelainan ini sangat sering dijumpai bahkan dapat dikatakan
bahwa dari semua kelainan tiroid, struma nodusa non toksik merupakan kelainan yang
paling sering ditemukan. Gondok endemik paling sering di daerah-daerah dengan
defisiensi yodium. Penurunan produksi hormon tiroid mengahasilkan penongkatan TSH
kompensatoar dengan akibat hiperplasia dan hipertropi kelenjar, serta keadaan eutiroid.
Terutama pada wanita, umumnya timbul sekitar pubertas.
Prognosis struma dapat berbeda-beda, tergantung dari penyebabnya. Contohnya
struma yang disebabkan kekurangan iodin tentunya akan memiliki prognosis lebih baik
daripada yang disebabkan karena kanker.
29
DAFTAR PUSTAKA
1. Lal Geeta, Clark OH. Thyroid, parathyroid and adrenal gland : Schwartz
Principles of Surgery, 10th edition, Mcgraw-Hilll Education, 2015 : 1521-
1556.
2. Jamson, L. Diseases of Tyroid Gland : Harrisons Principles of Internal
Medicine, 16 th edition, Mcgraw-Hill Medical Publishing Division, 2005:
2104-2126.
3. Widjosono, Garitno. Sistem Endokrin : Buku Ajar Ilmu Bedah. Editor
Syamsuhidayat R.Jong WB, Edisi Revisi, EGC, Jakarta, 2010 : 925-952.
4. Johan, SM. Nodul Tiroid : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi Keempat,
Penerbit FKUI, Jakarta, 2006 : 757-778.
7. Liberty Kim H. Kelenjar Tiroid : Buku Teks Ilmu Bedah, Jilid Satu, Penerbit
Binarupa Aksara, Jakarta, 1997 : 15-19.
30