PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Di seluruh dunia, penyebab paling umum dari struma ialah defisiensi yodium.
Diperkirakan bahwa struma mempengaruhi sebanyak 200 juta dari 800 juta orang yang
kekurangan yodium. Angka kejadian struma baik difusa maupun nodosa sangat
tergantung pada asupan yodium masyarakat. Pada area dengan defisiensi yodium,
prevalensi struma dapat sangat tinggi.1
Berdasarkan Riskes Kesehatan Dasar tahun 2013 bahwa, secara nasional 77,1 persen RT
yang mengkonsumsi garam dengan kandungan cukup iodium, 14,8 persen RT
mengkonsumsi garam dengan kandungan kurang yodium dan 8,1 persen RT
mengkonsumsi garam yang tidak mengandung yodium. Provinsi dengan proporsi RT
yang mengonsumsi garam dengan kandungan cukup yodium tertinggi adalah Bangka
Belitung (98,1%) dan terendah adalah Aceh (45,7%). Secara nasional angka ini masih
belum mencapai target Universal Salt Iodization (USI) atau “garam beryodium untuk
semua”, yaitu minimal 90 persen RT yang mengonsumsi garam dengan kandungan cukup
yodium.2
Struma adalah pembesaran kelenjar tiroid karena terjadi penambahan jaringan kelenjar
tiroid. Gambaran awal pasien struma adalah penurunan kadar hormon tiroid
menyebabkan penurunan seluruh metabolisme basal. Penurunan metabolisme di seluruh
tubuh menyebabkan achlorhydria (penurunan sekresi asam hidroklorik/ HCI di lambung),
penurunan motilitas saluran pencernaan, bradikardi, penurunan fungsi neurologis dan
penurunan produksi panas pada temperatur tubuh basal.2
Penatalaksanaan dari struma nodosa non toksik yaitu dengan biopsy aspirasi dan
tiroidektomy apabila goiternya besar dan menekan jaringan sekitar, dari tindakan
tiroidektomy mengakibatkan pasien merasakan nyeri, gangguan pemenuhan nutrisi dan
kesulitan untuk berkomunikasi.2,3
Kecepatan pemulihan bergantung pada jenis atau tingkat operasi, faktor risiko
manajemen nyeri dan komplikasi pasca operasi.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
Gambar 1.1. Kelenjar Tiroid 1
3
Kelenjar tiroid menghasilkan hormon tiroid utama, yaitu tiroksin (T4).
Bentuk aktif ini adalah triyodotironin (T3), yang sebagian besar berasal dari
konversi hormon T4 di perifer, dan sebagian kecil langsung dibentuk oleh
kelenjar tiroid. Yodida anorganik yang diserap dari saluran cerna merupakan
bahan baku hormon tiroid. Zat ini dipekatkan kadarnya menjadi 30-40 kali yang
afinitasnya sangat tinggi di jaringan tiroid. Yodida anorganik mengalami oksidasi
menjadi bentuk organik dan selanjutnya menjadi bagian dari tirosin yang terdapat
dalam tiroglobulin sebagai monoyodotirosin (MIT) atau diyodotirosin (DIT).
Senyawa atau konjugasi DIT dengan MIT atau dengan DIT yang lain akan
menghasilkan T3 atau T4, yang disimpan dalam koloid kelenjar tiroid. Sebagian
besar T4 dilepaskan ke sirkulasi, sedangkan sisanya tetap di dalam kelenjar yang
kemudian mengalami deyodinasi untuk selanjutnya menjalani daur ulang. Dalam
sirkulasi, hormon tiroid terikat pada protein, yaitu globulin pengikat tiroid
(thyroid binding globulin, TBG) atau prealbumin pengikat tiroksin (thyroxine
binding prealbumine, TBPA).
Sekresi hormon tiroid dikendalikan oleh suatu hormon stimulator tiroid
(thyroid stimulating hormone, TSH) yang dihasilkan oleh lobus anterior kelenjar
hipofisis. Kelenjar hipofisis secara langsung dipengaruhi dan diatur aktivitasnya
oleh kadar hormon tiroid dalam sirkulasi yang bertindak sebagai negative
feedback terhadap lobus anterior hipofisis, dan terhadap sekresi thyrotropine
releasing hormone (TRH) dari hipotalamus.
Pada kelenjar tiroid juga didapatkan sel parafolikuler, yang menghasilkan
kalsitonin. Kalsitonin adalah suatu polipeptida yang turut mengatur metabolisme
kalsium, yaitu menurunkan kadar kalsium serum, melalui pengaruhnya terhadap
tulang.
Jadi, kesimpulan pembentukan hormon tiroksin melalui beberapa langkah,
yaitu:
1. Iodide Trapping, yaitu pejeratan iodium oleh pompa Na+/K+ ATPase.
2. Yodium masuk ke dalam koloid dan mengalami oksidasi. Kelenjar tiroid
merupakan satu-satunya jaringan yang dapat mengoksidasi I hingga mencapai
status valensi yang lebih tinggi. Tahap ini melibatkan enzim peroksidase.
4
3. Iodinasi tirosin, dimana yodium yang teroksidasi akan bereaksi dengan residu
tirosil dalam tiroglobulin di dalam reaksi yang mungkin pula melibatkan
enzim tiroperoksidase (tipe enzim peroksidase).
4. Perangkaian iodotironil, yaitu perangkaian dua molekul DIT (diiodotirosin)
menjadi T4 (tiroksin, tetraiodotirosin) atau perangkaian MIT
(monoiodotirosin) dan DIT menjadi T3 (triiodotirosin). reaksi ini diperkirakan
juga dipengaruhi oleh enzim tiroperoksidase.
5. Hidrolisis yang dibantu oleh TSH (Thyroid-Stimulating Hormone) tetapi
dihambat oleh I, sehingga senyawa inaktif (MIT dan DIT) akan tetap berada
dalam sel folikel.
6. Tiroksin dan triiodotirosin keluar dari sel folikel dan masuk ke dalam darah.
Proses ini dibantu oleh TSH.
7. MIT dan DIT yang tertinggal dalam sel folikel akan mengalami deiodinasi,
dimana tirosin akan dipisahkan lagi dari I. Enzim deiodinase sangat berperan
dalam proses ini.
8. Tirosin akan dibentuk menjadi tiroglobulin oleh retikulum endoplasma dan
kompleks golgi.
5
Gambar 1.3. Sintesis dan Sekresi Hormon Tiroid
%).2,3
6
Penelitian Ersoy di Jerman pada tahun 2009 dilakukan palpasi atau
pemeriksaan benjolan pada leher dengan meraba leher 1.018 anak ditemukan
81 anak (8,0%) mengalami struma endemis atau gondok.35 Penelitian Tenpeny
K.E di Haiti pada tahun 2009 menemukan PR struma endemis 26,3 % yang
dilakukan pemeriksaan pada 1.862 anak usia 6-12 tahun.3
Penelitian Arfianty di Kabupaten Madiun tahun 2005 dengan sampel 40 anak
yang terdiri dari 20 anak penderita gondok dan 20 anak bukan penderita
gondok menunjukan PR GAKY 31,9 % di Desa Gading (daerah endemik) dan
0,65 % di Desa Mejaya (daerah non endemik).4,5
7
aminoglutethimide, expectorants yang mengandung yodium secara
berlebih.
Penggunaan terapi radiasi juga merupakan faktor penyebab struma yang
merupakan salah satu agen kimia karsinoma tiroid. Banyak terjadi pada
kasus anak-anak yang sebelumnya mendapatkan radiasi pada leher dan
terapi yodium radioaktif pada tirotoksikosis berat serta operasi di tempat
lain di mana sebelumnya tidak diketahui. Adanya hipertiroidisme
mengakibatkan efek radiasi setelah 5-25 tahun kemudian.3,4
c. Environment
Struma endemik sering terdapat di daerah-daerah yang air minumya kurang
sekali mengandung yodium. Daerah-daerah dimana banyak terdapat struma
endemik adalah di Eropa, pegunungan Alpen, pegunungan Andes,
Himalaya di mana iodinasi profilaksis tidak menjangkau masyarakat. Di
Indonesia banyak terdapat di daerah Minangkabau, Dairi, Jawa, Bali dan
Sulawesi.4
Berdasarkan penelitian Mafauzy yang dilakukan di Kelantan Malaysia pada
tahun 1993 dari 31 daerah yang dibagi menjadi tiga bagian yaitu wilayah
pesisir, pedalamam serta diantara pantai dan pedalaman. Sebanyak 2.450
orang dengan usia >15 tahun ditemukan PR GAKY 23 % di wilayah pesisir
dengan kelompok usia terbanyak pada usia 36-45 tahun (33,9 %), 35,9 % di
wilayah pedalaman pada usia 15-25 tahun (39,6 %) dan 44,9 % diantara
pedalaman dan pesisir pantai pada usia 26-35 tahun (54,3 %).3,4
Berdasarakan penelitian Juan di Spanyol pada tahun 2004 terhadap 634
orang yang berusia 55-91 tahun diperiksa ditemukan 325 orang (51,3 %)
mengalami goiter multinodular non toxic, 151 orang (23,8 %) goiter
multinodular toxic, 27 orang (4,3%) Graves disease, dan 8 orang (1,3 %)
simple goiter.4
8
karena itu, diduga tiroiditis ini menyebabkan hipotiroidisme ringan, yang
selanjutnya menyebabkan peningkatan sekresi TSH (thyroid stimulating hormone)
dan pertumbuhan yang progresif dari bagian kelenjar yang tidak meradang.
Keadaan inilah yang dapat menjelaskan mengapa kelenjar ini biasanya nodular,
dengan beberapa bagian kelenjar tumbuh namun bagian yang lain rusak akibat
tiroiditis.
Adanya gangguan fungsional dalam pembentukan hormon tyroid yang merupakan
faktor penyebab pembesaran kelenjar tyroid antara lain :
1. Defisiensi iodium
Pada umumnya, penderita penyakit struma sering terdapat di daerah yang
kondisi air minum dan tanahnya kurang mengandung iodium, misalnya daerah
pegunungan.
2. Kelainan metabolik kongenital yang menghambat sintesa hormon tyroid.
a. Penghambatan sintesa hormon oleh zat kimia (seperti substansi dalam kol,
lobak, kacang kedelai).
b. Penghambatan sintesa hormon oleh obat-obatan (misalnya: thiocarbamide,
sulfonylurea dan litium).
c. Hiperplasi dan involusi kelenjar tiroid.
9
(goitrogenic agent), proses peradangan atau gangguan autoimun seperti penyakit
Graves. Pembesaran yang didasari oleh suatu tumor atau neoplasma dan
penghambatan sintesa hormon tiroid oleh obat-obatan misalnya thiocarbamide,
sulfonylurea dan litium, gangguan metabolik misalnya struma kolid dan struma
non toksik (struma endemik).2,3
10
Gambar 2.2. Hipotiroidisme
c. Hipertiroidisme
Dikenal juga sebagai tirotoksikosis atau Graves yang dapat didefenisikan
sebagai respon jaringan-jaringan tubuh terhadap pengaruh metabolik
hormon tiroid yang berlebihan.9 Keadaan ini dapat timbul spontan atau
adanya sejenis antibodi dalam darah yang merangsang kelenjar tiroid,
sehingga tidak hanya produksi hormon yang berlebihan tetapi ukuran
kelenjar tiroid menjadi besar. Gejala hipertiroidisme berupa berat badan
menurun, nafsu makan meningkat, keringat berlebihan, kelelahan, leboh
suka udara dingin, sesak napas. Selain itu juga terdapat gejala jantung
berdebar-debar, tremor pada tungkai bagian atas, mata melotot
(eksoftalamus), diare, haid tidak teratur, rambut rontok, dan atrofi otot. 8,9
Gambar penderita hipertiroidisme dapat terlihat di bawah ini:
11
Gambar 2.3. Hipertiroidisme
12
Meningkatnya kadar hormon tiroid cenderung menyebabkan peningkatan
pembentukan antibodi sedangkan turunnya konsentrasi hormon tersebut
sebagai hasilpengobatan penyakit ini cenderung untuk menurunkan
antibodi tetapi bukan mencegah pembentukyna. Apabila gejala gejala
hipertiroidisme bertambah berat dan mengancam jiwa penderita maka akan
terjadi krisis tirotoksik. Gejala klinik adanya rasa khawatir yang berat,
mual, muntah, kulit dingin, pucat, sulit berbicara dan menelan, koma dan
dapat meninggal.7,8
13
dipakai Depkes RI adalah endemis ringan prevalensi gondok di atas 10 %-<
20 %, endemik sedang 20 % - 29 % dan endemik berat di atas 30 %.7,8
14
terbuka. Jika terdapat pembengkakan atau nodul, perlu diperhatikan
beberapa komponen yaitu lokasi, ukuran, jumlah nodul, bentuk (diffus
atau noduler kecil), gerakan pada saat pasien diminta untuk menelan dan
pulpasi pada permukaan pembengkakan.
Palpasi
Pemeriksaan dengan metode palpasi dimana pasien diminta untuk duduk,
leher dalam posisi fleksi. Pemeriksa berdiri di belakang pasien dan
meraba tiroid dengan menggunakan ibu jari kedua tangan pada tengkuk
penderita.
b. Pemeriksaan Penunjang
Tes Fungsi Hormon
Status fungsional kelenjar tiroid dapat dipastikan dengan perantara tes-tes
fungsi tiroid untuk mendiagnosa penyakit tiroid diantaranya kadar total
tiroksin dan triyodotiroin serum diukur dengan radioligand assay.
Tiroksin bebas serum mengukur kadar tiroksin dalam sirkulasi yang
secara metabolik aktif. Kadar TSH plasma dapat diukur dengan assay
radioimunometrik.
Kadar TSH plasma sensitif dapat dipercaya sebagai indikator fungsi
tiroid. Kadar tinggi pada pasien hipotiroidisme sebaliknya kadar akan
berada di bawah normal pada pasien peningkatan autoimun
(hipertiroidisme). Uji ini dapat digunakan pada awal penilaian pasien
yang diduga memiliki penyakit tiroid. Tes ambilan yodium radioaktif
(RAI) digunakan untuk mengukur kemampuan kelenjar tiroid dalam
menangkap dan mengubah yodida.
Foto Rontgen Leher
Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat struma telah menekan atau
menyumbat trakea (jalan nafas).
Ultrasonografi (USG)
Alat ini akan ditempelkan di depan leher dan gambaran gondok akan
tampak di layar TV. USG dapat memperlihatkan ukuran gondok dan
15
kemungkinan adanya kista/nodul yang mungkin tidak terdeteksi waktu
pemeriksaan leher. Kelainan-kelainan yang dapat didiagnosis dengan
USG antara lain kista, adenoma, dan kemungkinan karsinoma.
Scan Tiroid
Caranya dengan menyuntikan sejumlah substansi radioaktif bernama
technetium-99m dan yodium125 / yodium131 ke dalam pembuluh darah.
Setengah jam kemudian berbaring di bawah suatu kamera canggih
tertentu selama beberapa menit. Hasil pemeriksaan dengan radioisotop
adalah teraan ukuran, bentuk lokasi dan yang utama adalh fungsi bagian-
bagian tiroid.
Biopsi Aspirasi Jarum Halus
Dilakukan khusus pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan.
Biopsi aspirasi jarum tidak nyeri, hampir tidak menyebabkan bahaya
penyebaran sel-sel ganas. Kerugian pemeriksaan ini dapat memberikan
hasil negatif palsu karena lokasi biopsi kurang tepat. Selain itu teknik
biopsi kurang benar dan pembuatan preparat yang kurang baik atau
positif palsu karena salah intrepertasi oleh ahli sitologi.
16
maka perlu dilakukan pemeriksaan kadar T4 sehingga dapat diketahui
keadaan fungsi tiroid.
Pembedahan dengan mengangkat sebagian besar kelenjar tiroid, sebelum
pembedahan tidak perlu pengobatan dan sesudah pembedahan akan dirawat
sekitar 3 hari. Kemudian diberikan obat tiroksin karena jaringan tiroid yang
tersisa mungkin tidak cukup memproduksi hormon dalam jumlah yang
adekuat dan pemeriksaan laboratorium untuk menentukan struma dilakukan
3-4 minggu setelah tindakan pembedahan.6,7
2. Yodium Radioaktif
Yodium radioaktif memberikan radiasi dengan dosis yang tinggi pada
kelenjar tiroid sehingga menghasilkan ablasi jaringan. Pasien yang tidak mau
dioperasi maka pemberian yodium radioaktif dapat mengurangi gondok
sekitar 50 %. Yodium radioaktif tersebut berkumpul dalam kelenjar tiroid
sehingga memperkecil penyinaran terhadap jaringan tubuh lainnya. Terapi
ini tidak meningkatkan resiko kanker, leukimia, atau kelainan genetik.
Yodium radioaktif diberikan dalam bentuk kapsul atau cairan yang harus
diminum di rumah sakit, obat ini ini biasanya diberikan empat minggu
setelah operasi, sebelum pemberian obat tiroksin.7
3. Pemberian Tiroksin dan obat Anti-Tiroid
Tiroksin digunakan untuk menyusutkan ukuran struma, selama ini diyakini
bahwa pertumbuhan sel kanker tiroid dipengaruhi hormon TSH. Oleh karena
itu untuk menekan TSH serendah mungkin diberikan hormon tiroksin (T4)
ini juga diberikan untuk mengatasi hipotiroidisme yang terjadi sesudah
operasi pengangkatan kelenjar tiroid. Obat anti-tiroid (tionamid) yang
digunakan saat ini adalah propiltiourasil (PTU) dan metimasol/karbimasol.6
2.12 Pencegahan
A. Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah langkah yang harus dilakukan untuk menghindari diri
dari berbagai faktor resiko. Beberapa pencegahan yang dapat dilakukan untuk
mencegah terjadinya struma adalah :
17
a. Memberikan edukasi kepada masyarakat dalam hal merubah pola perilaku
makan dan memasyarakatkan pemakaian garam yodium
b. Mengkonsumsi makanan yang merupakan sumber yodium seperti ikan laut
c. Mengkonsumsi yodium dengan cara memberikan garam beryodium setelah
dimasak, tidak dianjurkan memberikan garam sebelum memasak untuk
menghindari hilangnya yodium dari makanan
d. Iodisai air minum untuk wilayah tertentu dengan resiko tinggi. Cara ini
memberikan keuntungan yang lebih dibandingkan dengan garam karena dapat
terjangkau daerah luas dan terpencil. Iodisasi dilakukan dengan yodida
diberikan dalam saluran air dalam pipa, yodida yang diberikan dalam air yang
mengalir, dan penambahan yodida dalam sediaan air minum.
e. Memberikan kapsul minyak beryodium (lipiodol) pada penduduk di daerah
endemik berat dan endemik sedang. Sasaran pemberiannya adalah semua pria
berusia 0-20 tahun dan wanita 0-35 tahun, termasuk wanita hamil dan
menyusui yang tinggal di daerah endemis berat dan endemis sedang. Dosis
pemberiannya bervariasi sesuai umur dan kelamin.
f. Memberikan suntikan yodium dalam minyak (lipiodol 40%) diberikan 3
tahun sekali dengan dosis untuk dewasa dan anak-anak di atas 6 tahun 1 cc
dan untuk anak kurang dari 6 tahun 0,2-0,8 cc.
B. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya mendeteksi secara dini suatu penyakit,
mengupayakan orang yang telah sakit agar sembuh, menghambat progresifitas
penyakit yang dilakukan melalui beberapa cara yaitu :
Diagnosis
Penatalaksanaan Medis
C. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier bertujuan untuk mengembalikan fungsi mental, fisik dan sosial
penderita setelah proses penyakitnya dihentikan. Upaya yang dapat dilakukan
adalah sebagai berikut :
18
a. Setelah pengobatan diperlukan kontrol teratur/berkala untuk memastikan dan
mendeteksi adanya kekambuhan atau penyebaran.
b. Menekan munculnya komplikasi dan kecacatan
c. Melakukan rehabilitasi dengan membuat penderita lebih percaya diri, fisik
segar dan bugar serta keluarga dan masyarakat dapat menerima kehadirannya
melalui melakukan fisioterapi yaitu dengan rehabilitasi fisik, psikoterapi yaitu
dengan rehabilitasi kejiwaan, sosial terapi yaitu dengan rehabilitasi sosial dan
rehabilitasi aesthesis yaitu yang berhubungan dengan kecantikan.
19
BAB III
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien
- Nama : Haodiah
- Tanggal lahir : 1 Juli 1975
- Usia : 54 Tahun
- Jenis Kelamin :P
- Status Perkawinan : Menikah
- Agama : Islam
- Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
- Tanggal MRS : 3-2-2020
- Alamat : Aikmel
- No RM 472239
2.2 Anamnesis
A Keluhan Utama :
Benjolan di Leher.
B Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan benjolan pada leher bawah sejak ± 5 tahun
yang lalu. Awalnya kecil dan lama kelamaan semakin besar. Benjolan tidak nyeri,
tidak mengganggu waktu bernafas ataupun menelan. Suara penderita tidak
terganggu dan tidak terjadi perubahan suara selama terdapat benjolan. Penderita
tidak mempunyai riwayat jantung berdebar, tangan gemetaran, mata melotot,
susah tidur, sensitif terhadap suhu dingin, berkeringat banyak, nafsu makan
menurun, mudah lelah, sering diare, penurunan berat badan, kepanasan ataupun
kedinginan. Pasien mengatakan terkadang merasa serek di tenggorokan. Pasien
mengaku sudah berhenti haid selama ± 4 tahun.
20
- Riwayat hipertensi : (-)
- Riwayat DM : (-)
21
Telinga Otorea (-/-) , nyeri tekan tragus dan mastoid (-/-),
discharge (-/-), serumen (+/+)
Hidung Bentuk normal, tidak ada nafas cuping hidung,
septum deviasi (-), discharge (-/-), serumen (+/+)
Tenggorokan Uvula di tengah, tonsil T1-T1 tidak hiperemis, faring
hiperemis (-)
Mulut Bentuk normal, bibir pucat (-), sianosis (-), lidah
kotor (-), tidak terdapat karies, gusi berdarah (-)
Leher kelenjar tiroid ukuran 5x6 cm, mobile, nyeri tekan (-
), pergerakan leher bebas, trakea di tengah, JVP 5+2
cm H2O
Kelenjar getah bening Kelenjar getah bening di preaurikular, retroaurikular,
submandibula, submental, supraklavikula dan aksila
tidak teraba pembesaran
Toraks Normochest, tidak ada lesi, tidak ada jejas, tidak ada
spider navy, gerakan simetris saat statis dan
dinamis, tidak terdapat retraksi suprasternal,
Paru Inspeksi Gerakan simetris saat statis dan dinamis, tidak ada
retraksi
Palpasi Nyeri tekan (-), taktil fremitus simetris pada
kedua lapang paru
Perkusi redup pekak
sonor
Vesikuler -Ronkhi
- -Wheezing
-
+ +
+ + - - - -
+ + - - - -
Auskultasi
++ -- --
++ -- --
++ -- --
Anterior
22
+ + - - - -
+ + - - - -
+ + - - - -
Posterior
- - -
- - -
- + -
Ekstremitas
Akral hangat, tidak terdapat deformitas, tidak
terdapat edema, nyeri tekan (-) capillary refill time <
2 detik
23
2.4 Diagnosa Banding
Struma
Dishomogenetik Goiter
Neoplasma
2.5 Pemeriksaan Penunjang
a. Darah lengkap
TES Nilai Satuan Nilai Rujukan Keterangan
WBC 8,41 10^3/uL 3.20-10.0 Normal
Lym 3,65 10^3/uL 1,00-3,70 Normal
Lym% 43,4 % 20.0-50.0 Normal
Mon 0,31 10^3/uL 0.00-0.70 Normal
Mon% 3,7 % 0.0-14.0 Normal
Eos 0,33 10^3/uL 0,00-0.40 Normal
Eos% 3,9 % 0,0-6.0 Normal
Neu 4,08 10^3/uL 1,50-7,00 Normal
HGB 13,3 gr/dL 12,0-16.0 Normal
MCH 28,7 pg 26.0-38.0 Normal
MCHC 33,9 gr/dL 31.0-37.0 Normal
RBC 4,63 10^6/uL 2.50-5.50 Normal
MCV 84,6 fL 86.0-110.0 Menurun
HCT 39,2 % 26.0-38.0 Normal
RDW-CV 12,4 % 11,0-16.0 Normal
RDW-SD 37,3 fL 37.0-54.0 Normal
PLT 389 10^3/uL 150-450 Normal
MPV 7,4 fL 9.0-17.0 Menurun
PDW 15,3 9,0-17,0 Normal
PCT 0.288 % 0.170-0,350 Normal
24
b. Pemeriksaan kimia darah
Jenis Pemeriksaan Metode Hasil Satuan
GDS GOD-POD 99 Mg/dL
Ureum Urease 22,48 Mg/dL
Kreatinin Sarcsine 0,7 Mg/Dl
Oxidase
AST (SGOT) IFCC 15,9 U/L
ALT (SGPT) IFCC 6,5 U/L
c. Pemeriksaan koagulasi
Faal Koagulasi Hasil Satuan Nilai rujukan
CT det 5-15 menit
BT det 1-3 menit
PPT 10,1 det 11-14 detik atau perbedaan
kontrol dengan hasil < 2 detik
atau hasil 1 ½ kali kontrol
Kontrol 10,8 det
APTT 31,6 det 25-35 detik atau perbedaan
Kontrol 26,0 det kontrol dengan hasil < 7 detik
atau hasil 1 ½ kali kontrol
INR -
Fibrinogen det 200-400 mg/Dl
Waktu retraksi mg/dL Positif setelah 24 jam
bekuan (CRT)
Waktu lisis Positif setelah 48 jam
bekuan (CLT)
25
d. Pemeriksaan imunologi dan serologi
Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai rujukan
T3 - nmol/ml 1,30-3,10
T4 - nmol/ml 66,00-181,00
Ft3 - nmol/ml 3,10-6,30
Ft4 16,11 Pmol/l 12,00-22,00
TSH 0,67 uIU/ml 0,270-4,20
2.7 Penatalaksanaan
- IVFD RL 15 tpm
- Cefotaxim 2 x 1
- Ketorolac 3 x 30
- Kalnec 3 x 500
- Tiroidektomi
- Histopatologis
26
Pemeriksaan Fisik
Kepala : normocephali
Mata : konjungtiva anemia (-/-), sklera ikterik (-/-), reflek cahaya (+/+),
Pupil bulat isokor dengan diameter 2mm/2mm.
THT : masa (-), sekret (-), deviasi septum nasi (-), benda asing (-),
mukosa bibir tidak hiperemis, sianosis (-), Tonsil T1/T1, Tonsil
hiperemis (-).
Pemeriksaan Leher : pembesaran kelenjar tiroid (-/-), PKGB (-), JVP
5cm + 2cm H2O, deviasi trakea (-)
Pemeriksaan Thorax
Pulmo (depan dan belakang) :
- Inspeksi : normochest, dada simetris kanan dan kiri, tidak ada
gerakan napas yang tertinggal, tidak nampak adanya massa, tidak
ada tampak adanya tanda – tanda peradangan.
- Palpasi :
nyeri tekan
--
--
--
- Auskultasi
vesikular rhonki wheezing
27
+ + - - - -
+ + - - - -
+ + - - - -
Anterior
++ - - - -
++
++ - - - -
- - - -
Posterior
Cor :
- Inspeksi : iktus cordis terlihat
- Palpasi : iktus cordis teraba 3 jari kuat angkat
- Perkusi :
Batas kanan : ICS 5 linea sternalis dextra
Batas kiri : ICS 5 linea midklavikula sinistra
Batas atas : ICS 2 linea sternalis sinistra
Batas pinggang : ICS 3 linea parasternalis sinistra
- Auskultasi : S1 dan S2 tunggal reguler, murmur (-), gallop
(-)
Abdomen:
- Inspeksi : distensi tidak ada, asites tidak ada, tidak tampak
adanya massa, tidak tampak adanya tanda – tanda peradangan
- Auskultasi : peristaltik usus 8x/menit
- Perkusi :
Timpani Pekak
+++ - - -
+++
+++ - - -
- - -
28
- - -
- - -
- - -
29
BAB IV
PEMBAHASAN KASUS
4.1 Pembahasan Kasus
30
Mengeluhkan timbul benjolan lama Gejala Klinis
kelamaan semakin membesar dengan Struma nodusa tanpa disertai tanda-tanda
ukuran 5 x 6 cm. hipertiroidisme dan hipotiroidisme disebut
struma nodusa non toksik.
Terdapat benjolan pada leher dengan Diagnosis :
ukuran 5x6 cm, tidak nyeri, teraba satu Berdasarkan anamnesis pada penyakit ini
nodul saja, serta tidak didapatkan tanda- biasanya pasien mengeluhkan benjolan
tanda hipertiroidisme dan hipotiroidisme. pada leher dan terdapat/tidak tanda-tanda
hipo/hiper tiroidisme, pada pemeriksaan
fisik didapatkan kelenjar tiroid membesar.
Pada pemeriksaan penunjang seperti tes
fungsi hormone, foto rongent dan USG.
31
4.2 Flow Chart
Defisiensi yodium Zat kimia (ex: phenolic, etc) dan obat-obatan
ex: thiocarbamide sulfonylurea
Merangsang hipofisis
Hipertrofi kelenjar tiroid
STRUMA
Pre operasi
Obstruksi
trakea
32
33
Merangsang reseptor pada ujung saraf bebas serabut tipe C pengirim implus nyeri
Peningkatan kerjake hipotalamus
syaraf
Penurunan dan korteks
simpatismetabolisme
Koping serebri
individu
kalsium
inefektif dan perasaan tidak tenang
Penyempitan
jalan nafas
Intra
Opera Post
Operasi
Resiko infeksi
BAB V
34
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Pada kasus ini, diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis ditemukan pasien seorang perempuan
berusia 54 tahun, mengalami benjolan di leher sejak + 5 tahun yang lalu. Awalnya
benjolan teraba kecil lama-kelamaan benjolan semakin membesar dengan ukuran + 5 x 6
cm. Nyeri pada benjolan tidak pernah dirasakan oleh pasien, saat menelan pasien juga
tidak merasakan sakit. Berdasarkan temuan-temuan dari anamnesis, peeriksaan fisik serta
pemeriksaaan penunjang dapat dipastikan bahwa pasien menderita penyakit struma.
35
DAFTAR PUSTAKA
1. Sjamsuhidrajat R, De Jong Wim. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-2. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC. 2004
2. AME/AACE Guideline.2006. American Association of Clinical Endocrinologists and
Association Medici Endocrinologi, Medical Guidelines For Clinical Practice for the
diagnosis and management of thyroid nodule. ENDOCRINE PRACTICE Vol 12 No. 1.
January/February2006. http://www.aace.com/pub/pdf/guidelines/thyroid_ nodule.pdf.
3. Daniel. 2008. Jeli dan Praktis Menghadapi Kelainan Tiroid.
http://www.farmacia.com/rubrik/one_news_print.asp.
4. Jamson, L. 2005. Diseases of Tyroid Gland. Harrisons Principles of Internal Medicine,
16 th edition, Mcgraw-Hill Medical Publishing Division
5. Johan, S. M. 2006. Nodul tiroid. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III, Edisi IV.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Penyakit Dalam FKUI
6. Djokomoeljanto, R. 2006. Kelenjar tiroid, hipotiroidisme, dan hipertiroidisme. Buku
Ajar Penyakit Dalam Jilid III, Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Penyakit
Dalam FKUI
7. Sjamsuhidajat., Jong, W. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah: Sistem endokrin. Jakarta: EGC
8. Solymosi.2007. Therapy for Nontoxic Nodular Goiter..
http://www.thyroidmanager.org/Chapter17/ch01s10.html.
9. Wijayahadi, Y., Marwowinoto, M., Reksaprawira., Murtedjo, U. 2000. Kelenjar Tiroid:
Kelainan, Diagnosis dan Penatalaksanaan. Seksi Bedah Kepala & Leher, Bagian Ilmu
Bedah, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Surabaya: Jawi Aji Surabaya
36