Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

a. Latar Belakang
Di seluruh dunia, penyebab paling umum dari struma ialah defisiensi yodium.
Diperkirakan bahwa struma mempengaruhi sebanyak 200 juta dari 800 juta orang yang
kekurangan yodium. Angka kejadian struma baik difusa maupun nodosa sangat
tergantung pada asupan yodium masyarakat. Pada area dengan defisiensi yodium,
prevalensi struma dapat sangat tinggi.1
Berdasarkan Riskes Kesehatan Dasar tahun 2013 bahwa, secara nasional 77,1 persen RT
yang mengkonsumsi garam dengan kandungan cukup iodium, 14,8 persen RT
mengkonsumsi garam dengan kandungan kurang yodium dan 8,1 persen RT
mengkonsumsi garam yang tidak mengandung yodium. Provinsi dengan proporsi RT
yang mengonsumsi garam dengan kandungan cukup yodium tertinggi adalah Bangka
Belitung (98,1%) dan terendah adalah Aceh (45,7%). Secara nasional angka ini masih
belum mencapai target Universal Salt Iodization (USI) atau “garam beryodium untuk
semua”, yaitu minimal 90 persen RT yang mengonsumsi garam dengan kandungan cukup
yodium.2
Struma adalah pembesaran kelenjar tiroid karena terjadi penambahan jaringan kelenjar
tiroid. Gambaran awal pasien struma adalah penurunan kadar hormon tiroid
menyebabkan penurunan seluruh metabolisme basal. Penurunan metabolisme di seluruh
tubuh menyebabkan achlorhydria (penurunan sekresi asam hidroklorik/ HCI di lambung),
penurunan motilitas saluran pencernaan, bradikardi, penurunan fungsi neurologis dan
penurunan produksi panas pada temperatur tubuh basal.2
Penatalaksanaan dari struma nodosa non toksik yaitu dengan biopsy aspirasi dan
tiroidektomy apabila goiternya besar dan menekan jaringan sekitar, dari tindakan
tiroidektomy mengakibatkan pasien merasakan nyeri, gangguan pemenuhan nutrisi dan
kesulitan untuk berkomunikasi.2,3
Kecepatan pemulihan bergantung pada jenis atau tingkat operasi, faktor risiko
manajemen nyeri dan komplikasi pasca operasi.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Struma


Struma disebut juga goiter adalah suatu pembengkakan pada leher oleh karena
pembesaran kelenjar tiroid akibat kelainan glandula tiroid dapat berupa gangguan
fungsi atau perubahan susunan kelenjar dan morfologinya.1
Dampak struma terhadap tubuh terletak pada pembesaran kelenjar tiroid yang
dapat mempengaruhi kedudukan organ-organ di sekitarnya. Di bagian posterior
medial kelenjar tiroid terdapat trakea dan esophagus. Struma dapat mengarah ke
dalam sehingga mendorong trakea, esophagus dan pita suara sehingga terjadi
kesulitan bernapas dan disfagia. Hal tersebut akan berdampak terhadap gangguan
pemenuhan oksigen, nutrisi serta cairan dan elektrolit. Bila pembesaran keluar
maka akan memberi bentuk leher yang besar dapat asimetris atau tidak, jarang
disertai kesulitan bernapas dan disfagia.1,2

2.2 Anatomi Tiroid


Kelenjar tiroid/gondok terletak di bagian bawah leher, kelenjar ini memiliki dua
bagian lobus yang dihubungkan oleh ismus yang masing-masing berbetuk lonjong
berukuran panjang 2,5-5 cm, lebar 1,5 cm, tebal 1-1,5 cm dan berkisar 10-20
gram. Kelenjar tiroid sangat penting untuk mengatur metabolisme dan
bertanggung jawab atas normalnya kerja setiap sel tubuh. Kelenjar ini
memproduksi hormon tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3) dan menyalurkan
hormon tersebut ke dalam aliran darah. Terdapat 4 atom yodium di setiap molekul
T4 dan 3 atom yodium pada setiap molekul T3. Hormon tersebut dikendalikan
oleh kadar hormon perangsang tiroid TSH (thyroid stimulating hormone) yang
dihasilkan oleh lobus anterior kelenjar hipofisis. Yodium adalah bahan dasar
pembentukan hormon T3 dan T4 yang diperoleh dari makanan dan minuman yang
mengandung yodium.3 Gambar anatomi tiroid dapat dilihat di bawah ini.

2
Gambar 1.1. Kelenjar Tiroid 1

Gambar 1.2. Potongan melintang kelenjar tiroid.

2.3 Fisiologi Kelenjar Tiroid


Hormon tiroid memiliki efek pada pertumbuhan sel, perkembangan dan
metabolisme energi. Selain itu hormon tiroid mempengaruhi pertumbuhan
pematangan jaringan tubuh dan energi, mengatur kecepatan metabolisme tubuh
dan reaksi metabolik, menambah sintesis asam ribonukleat (RNA), menambah
produksi panas, absorpsi intestinal terhadap glukosa,merangsang pertumbuhan
somatis dan berperan dalam perkembangan normal sistem saraf pusat. Tidak
adanya hormon-hormon ini, membuat retardasi mental dan kematangan
neurologik timbul pada saat lahir dan bayi.1,3

3
Kelenjar tiroid menghasilkan hormon tiroid utama, yaitu tiroksin (T4).
Bentuk aktif ini adalah triyodotironin (T3), yang sebagian besar berasal dari
konversi hormon T4 di perifer, dan sebagian kecil langsung dibentuk oleh
kelenjar tiroid. Yodida anorganik yang diserap dari saluran cerna merupakan
bahan baku hormon tiroid. Zat ini dipekatkan kadarnya menjadi 30-40 kali yang
afinitasnya sangat tinggi di jaringan tiroid. Yodida anorganik mengalami oksidasi
menjadi bentuk organik dan selanjutnya menjadi bagian dari tirosin yang terdapat
dalam tiroglobulin sebagai monoyodotirosin (MIT) atau diyodotirosin (DIT).
Senyawa atau konjugasi DIT dengan MIT atau dengan DIT yang lain akan
menghasilkan T3 atau T4, yang disimpan dalam koloid kelenjar tiroid. Sebagian
besar T4 dilepaskan ke sirkulasi, sedangkan sisanya tetap di dalam kelenjar yang
kemudian mengalami deyodinasi untuk selanjutnya menjalani daur ulang. Dalam
sirkulasi, hormon tiroid terikat pada protein, yaitu globulin pengikat tiroid
(thyroid binding globulin, TBG) atau prealbumin pengikat tiroksin (thyroxine
binding prealbumine, TBPA).
Sekresi hormon tiroid dikendalikan oleh suatu hormon stimulator tiroid
(thyroid stimulating hormone, TSH) yang dihasilkan oleh lobus anterior kelenjar
hipofisis. Kelenjar hipofisis secara langsung dipengaruhi dan diatur aktivitasnya
oleh kadar hormon tiroid dalam sirkulasi yang bertindak sebagai negative
feedback terhadap lobus anterior hipofisis, dan terhadap sekresi thyrotropine
releasing hormone (TRH) dari hipotalamus.
Pada kelenjar tiroid juga didapatkan sel parafolikuler, yang menghasilkan
kalsitonin. Kalsitonin adalah suatu polipeptida yang turut mengatur metabolisme
kalsium, yaitu menurunkan kadar kalsium serum, melalui pengaruhnya terhadap
tulang.
Jadi, kesimpulan pembentukan hormon tiroksin melalui beberapa langkah,
yaitu:
1. Iodide Trapping, yaitu pejeratan iodium oleh pompa Na+/K+ ATPase.
2. Yodium masuk ke dalam koloid dan mengalami oksidasi. Kelenjar tiroid
merupakan satu-satunya jaringan yang dapat mengoksidasi I hingga mencapai
status valensi yang lebih tinggi. Tahap ini melibatkan enzim peroksidase.

4
3. Iodinasi tirosin, dimana yodium yang teroksidasi akan bereaksi dengan residu
tirosil dalam tiroglobulin di dalam reaksi yang mungkin pula melibatkan
enzim tiroperoksidase (tipe enzim peroksidase).
4. Perangkaian iodotironil, yaitu perangkaian dua molekul DIT (diiodotirosin)
menjadi T4 (tiroksin, tetraiodotirosin) atau perangkaian MIT
(monoiodotirosin) dan DIT menjadi T3 (triiodotirosin). reaksi ini diperkirakan
juga dipengaruhi oleh enzim tiroperoksidase.
5. Hidrolisis yang dibantu oleh TSH (Thyroid-Stimulating Hormone) tetapi
dihambat oleh I, sehingga senyawa inaktif (MIT dan DIT) akan tetap berada
dalam sel folikel.
6. Tiroksin dan triiodotirosin keluar dari sel folikel dan masuk ke dalam darah.
Proses ini dibantu oleh TSH.
7. MIT dan DIT yang tertinggal dalam sel folikel akan mengalami deiodinasi,
dimana tirosin akan dipisahkan lagi dari I. Enzim deiodinase sangat berperan
dalam proses ini.
8. Tirosin akan dibentuk menjadi tiroglobulin oleh retikulum endoplasma dan
kompleks golgi.

5
Gambar 1.3. Sintesis dan Sekresi Hormon Tiroid

2.4 Epidemiologi Struma


2.4.1 Distribusi dan Frekuensi
Data rekam medis Divisi Ilmu Bedah RSU Dr. Soetomo tahun 2001-2005
struma nodusa toksik terjadi pada 495 orang diantaranya 60 orang laki-laki
(12,12 %) dan 435 orang perempuan (87,8 %) dengan usia terbanyak yaitu 31-
40 tahun 259 orang (52,3 2%), struma multinodusa toksik yang terjadi pada
1.912 orang diantaranya17 orang laki-laki (8,9 %) dan 174 perempuan (91,1%)
dengan usia yang terbanyak pada usia 31-40 tahun berjumlah 65 orang (34,03

%).2,3

6
Penelitian Ersoy di Jerman pada tahun 2009 dilakukan palpasi atau
pemeriksaan benjolan pada leher dengan meraba leher 1.018 anak ditemukan
81 anak (8,0%) mengalami struma endemis atau gondok.35 Penelitian Tenpeny
K.E di Haiti pada tahun 2009 menemukan PR struma endemis 26,3 % yang
dilakukan pemeriksaan pada 1.862 anak usia 6-12 tahun.3
Penelitian Arfianty di Kabupaten Madiun tahun 2005 dengan sampel 40 anak
yang terdiri dari 20 anak penderita gondok dan 20 anak bukan penderita
gondok menunjukan PR GAKY 31,9 % di Desa Gading (daerah endemik) dan
0,65 % di Desa Mejaya (daerah non endemik).4,5

2.4.2 Determinan Struma


a. Host
Kasus struma lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki
namun dengan bertambah beratnya endemik, perbedaan seks tersebut
hampir tidak ada. Struma dapat menyerang penderita pada segala umur
namun umur yang semakin tua akan meningkatkan resiko penyakit lebih
besar. Hal ini disebabkan karena daya tahan tubuh dan imunitas seseorang
yang semakin menurun seiring dengan bertambahnya usia.3,4
Berdasarkan penelitian Hemminichi K, et al yang dilakukan berdasarkan
data rekam medis pasien usia 0-75 tahun yang dirawat di rumah sakit tahun
1987-2007 di Swedia ditemukan 11.659 orang (50,9 %) mengalami struma
non toxic, 9.514 orang (41,5 %) Graves disease, dan 1.728 orang (7,54%)
struma nodular toxic.3,4
b. Agent
Agent adalah faktor penyebab penyakit dapat berupa unsur hidup atau mati
yang terdapat dalam jumlah yang berlebihan atau kekurangan. Agent kimia
penyebab struma adalah goitrogen yaitu suatu zat kimia yang dapat
menggangu hormogenesis tiroid. Goitrogen menyebabkan membesarnya
kelenjar tiroid seperti yang terdapat dalam kandungan kol, lobak, padi-
padian, singkong dan goitrin dalam rumput liar. Goitrogen juga terdapat
dalam obat-obatan seperti propylthiouraci, lithium, phenylbutazone,

7
aminoglutethimide, expectorants yang mengandung yodium secara
berlebih.
Penggunaan terapi radiasi juga merupakan faktor penyebab struma yang
merupakan salah satu agen kimia karsinoma tiroid. Banyak terjadi pada
kasus anak-anak yang sebelumnya mendapatkan radiasi pada leher dan
terapi yodium radioaktif pada tirotoksikosis berat serta operasi di tempat
lain di mana sebelumnya tidak diketahui. Adanya hipertiroidisme
mengakibatkan efek radiasi setelah 5-25 tahun kemudian.3,4
c. Environment
Struma endemik sering terdapat di daerah-daerah yang air minumya kurang
sekali mengandung yodium. Daerah-daerah dimana banyak terdapat struma
endemik adalah di Eropa, pegunungan Alpen, pegunungan Andes,
Himalaya di mana iodinasi profilaksis tidak menjangkau masyarakat. Di
Indonesia banyak terdapat di daerah Minangkabau, Dairi, Jawa, Bali dan
Sulawesi.4
Berdasarkan penelitian Mafauzy yang dilakukan di Kelantan Malaysia pada
tahun 1993 dari 31 daerah yang dibagi menjadi tiga bagian yaitu wilayah
pesisir, pedalamam serta diantara pantai dan pedalaman. Sebanyak 2.450
orang dengan usia >15 tahun ditemukan PR GAKY 23 % di wilayah pesisir
dengan kelompok usia terbanyak pada usia 36-45 tahun (33,9 %), 35,9 % di
wilayah pedalaman pada usia 15-25 tahun (39,6 %) dan 44,9 % diantara
pedalaman dan pesisir pantai pada usia 26-35 tahun (54,3 %).3,4
Berdasarakan penelitian Juan di Spanyol pada tahun 2004 terhadap 634
orang yang berusia 55-91 tahun diperiksa ditemukan 325 orang (51,3 %)
mengalami goiter multinodular non toxic, 151 orang (23,8 %) goiter
multinodular toxic, 27 orang (4,3%) Graves disease, dan 8 orang (1,3 %)
simple goiter.4

2.5 Etiologi Struma


Penyebab pasti pembesaran kelenjar tiroid pada struma nodosa tidak diketahui,
namun sebagian besar penderita menunjukkan gejala-gejala tiroiditis ringan; oleh

8
karena itu, diduga tiroiditis ini menyebabkan hipotiroidisme ringan, yang
selanjutnya menyebabkan peningkatan sekresi TSH (thyroid stimulating hormone)
dan pertumbuhan yang progresif dari bagian kelenjar yang tidak meradang.
Keadaan inilah yang dapat menjelaskan mengapa kelenjar ini biasanya nodular,
dengan beberapa bagian kelenjar tumbuh namun bagian yang lain rusak akibat
tiroiditis.
Adanya gangguan fungsional dalam pembentukan hormon tyroid yang merupakan
faktor penyebab pembesaran kelenjar tyroid antara lain :
1. Defisiensi iodium
Pada umumnya, penderita penyakit struma sering terdapat di daerah yang
kondisi air minum dan tanahnya kurang mengandung iodium, misalnya daerah
pegunungan.
2. Kelainan metabolik kongenital yang menghambat sintesa hormon tyroid.
a. Penghambatan sintesa hormon oleh zat kimia (seperti substansi dalam kol,
lobak, kacang kedelai).
b. Penghambatan sintesa hormon oleh obat-obatan (misalnya: thiocarbamide,
sulfonylurea dan litium).
c. Hiperplasi dan involusi kelenjar tiroid.

2.6 Patogenesis Struma


Struma terjadi akibat kekurangan yodium yang dapat menghambat pembentukan
hormon tiroid oleh kelenjar tiroid sehingga terjadi pula penghambatan dalam
pembentukan TSH oleh hipofisis anterior. Hal tersebut memungkinkan hipofisis
mensekresikan TSH dalam jumlah yang berlebihan. TSH kemudian menyebabkan
sel-sel tiroid mensekresikan tiroglobulin dalam jumlah yang besar (kolid) ke
dalam folikel, dan kelenjar tumbuh makin lama makin bertambah besar. Akibat
kekurangan yodium maka tidak terjadi peningkatan pembentukan T4 dan T3,
ukuran folikel menjadi lebih besar dan kelenjar tiroid dapat bertambah berat
sekitar 300-500 gram.3
Selain itu struma dapat disebabkan kelainan metabolik kongenital yang
menghambat sintesa hormon tiroid, penghambatan sintesa hormon oleh zat kimia

9
(goitrogenic agent), proses peradangan atau gangguan autoimun seperti penyakit
Graves. Pembesaran yang didasari oleh suatu tumor atau neoplasma dan
penghambatan sintesa hormon tiroid oleh obat-obatan misalnya thiocarbamide,
sulfonylurea dan litium, gangguan metabolik misalnya struma kolid dan struma
non toksik (struma endemik).2,3

2.7 Klasifikasi Struma


2.7.1 Berdasarkan Fisiologisnya
Berdasakan fisiologisnya struma dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Eutiroidisme
Eutiroidisme adalah suatu keadaan hipertrofi pada kelenjar tiroid yang
disebabkan stimulasi kelenjar tiroid yang berada di bawah normal
sedangkan kelenjar hipofisis menghasilkan TSH dalam jumlah yang
meningkat. Goiter atau struma semacm ini biasanya tidak menimbulkan
gejala kecuali pembesaran pada leher yang jika terjadi secara berlebihan
dapat mengakibatkan kompresi trakea.2,4
b. Hipotiroidisme
Hipotiroidisme adalah kelainan struktural atau fungsional kelenjar tiroid
sehingga sintesis dari hormon tiroid menjadi berkurang. Kegagalan dari
kelenjar untuk mempertahankan kadar plasma yang cukup dari hormon.
Beberapa pasien hipotiroidisme mempunyai kelenjar yang mengalami atrofi
atau tidak mempunyai kelenjar tiroid akibat pembedahan / ablasi
radioisotop atau akibat destruksi oleh antibodi autoimun yang beredar
dalam sirkulasi.5,6 Gejala hipotiroidisme adalah penambahan berat badan,
sensitif terhadap udara dingin, dementia, sulit berkonsentrasi, gerakan
lamban, konstipasi, kulit kasar, rambut rontok, mensturasi berlebihan,
pendengaran terganggu dan penurunan kemampuan bicara.7,8 Gambar
penderita hipotiroidisme dapat terlihat di bawah ini:

10
Gambar 2.2. Hipotiroidisme
c. Hipertiroidisme
Dikenal juga sebagai tirotoksikosis atau Graves yang dapat didefenisikan
sebagai respon jaringan-jaringan tubuh terhadap pengaruh metabolik
hormon tiroid yang berlebihan.9 Keadaan ini dapat timbul spontan atau
adanya sejenis antibodi dalam darah yang merangsang kelenjar tiroid,
sehingga tidak hanya produksi hormon yang berlebihan tetapi ukuran
kelenjar tiroid menjadi besar. Gejala hipertiroidisme berupa berat badan
menurun, nafsu makan meningkat, keringat berlebihan, kelelahan, leboh
suka udara dingin, sesak napas. Selain itu juga terdapat gejala jantung
berdebar-debar, tremor pada tungkai bagian atas, mata melotot
(eksoftalamus), diare, haid tidak teratur, rambut rontok, dan atrofi otot. 8,9
Gambar penderita hipertiroidisme dapat terlihat di bawah ini:

11
Gambar 2.3. Hipertiroidisme

2.7.2 Berdasarkan Klinisnya


Secara klinis pemeriksaan klinis struma toksik dapat dibedakan menjadi
sebagai berikut :
a. Struma Toksik
Struma toksik dapat dibedakan atas dua yaitu struma diffusa toksik dan
struma nodusa toksik. Istilah diffusa dan nodusa lebih mengarah kepada
perubahan bentuk anatomi dimana struma diffusa toksik akan menyebar
luas ke jaringan lain. Jika tidak diberikan tindakan medis sementara nodusa
akan memperlihatkan benjolan yang secara klinik teraba satu atau lebih
benjolan (struma multinoduler toksik).5,6
Struma diffusa toksik (tiroktosikosis) merupakan hipermetabolisme karena
jaringan tubuh dipengaruhi oleh hormon tiroid yang berlebihan dalam
darah. Penyebab tersering adalah penyakit Grave (gondok
eksoftalmik/exophtalmic goiter), bentuk tiroktosikosis yang paling banyak
ditemukan diantara hipertiroidisme lainnya.7
Perjalanan penyakitnya tidak disadari oleh pasien meskipun telah diiidap
selama berbulan-bulan. Antibodi yang berbentuk reseptor TSH beredar
dalam sirkulasi darah, mengaktifkan reseptor tersebut dan menyebabkan
kelenjar tiroid hiperaktif. 7

12
Meningkatnya kadar hormon tiroid cenderung menyebabkan peningkatan
pembentukan antibodi sedangkan turunnya konsentrasi hormon tersebut
sebagai hasilpengobatan penyakit ini cenderung untuk menurunkan
antibodi tetapi bukan mencegah pembentukyna. Apabila gejala gejala
hipertiroidisme bertambah berat dan mengancam jiwa penderita maka akan
terjadi krisis tirotoksik. Gejala klinik adanya rasa khawatir yang berat,
mual, muntah, kulit dingin, pucat, sulit berbicara dan menelan, koma dan
dapat meninggal.7,8

b. Struma Non Toksik


Struma non toksik sama halnya dengan struma toksik yang dibagi menjadi
struma diffusa non toksik dan struma nodusa non toksik. Struma non toksik
disebabkan oleh kekurangan yodium yang kronik. Struma ini disebut
sebagai simple goiter, struma endemik, atau goiter koloid yang sering
ditemukan di daerah yang air minumya kurang sekali mengandung yodium
dan goitrogen yang menghambat sintesa hormon oleh zat kimia.8
Apabila dalam pemeriksaan kelenjar tiroid teraba suatu nodul, maka
pembesaran ini disebut struma nodusa. Struma nodusa tanpa disertai tanda-
tanda hipertiroidisme dan hipotiroidisme disebut struma nodusa non toksik.
Biasanya tiroid sudah mulai membesar pada usia muda dan berkembang
menjadi multinodular pada saat dewasa. Kebanyakan penderita tidak
mengalami keluhan karena tidak ada hipotiroidisme atau hipertiroidisme,
penderita datang berobat karena keluhan kosmetik atau ketakutan akan
keganasan. Namun sebagian pasien mengeluh adanya gejala mekanis yaitu
penekanan pada esofagus (disfagia) atau trakea (sesak napas), biasanya
tidak disertai rasa nyeri kecuali bila timbul perdarahan di dalam nodul.
Struma non toksik disebut juga dengan gondok endemik, berat ringannya
endemisitas dinilai dari prevalensi dan ekskresi yodium urin. Dalam
keadaan seimbang maka yodium yang masuk ke dalam tubuh hampir sama
dengan yang diekskresi lewat urin. Kriteria daerah endemis gondok yang

13
dipakai Depkes RI adalah endemis ringan prevalensi gondok di atas 10 %-<
20 %, endemik sedang 20 % - 29 % dan endemik berat di atas 30 %.7,8

2.8 Gejala Klinis


Pada penyakit struma nodosa nontoksik tyroid membesar dengan lambat.
Awalnya kelenjar ini membesar secara difus dan permukaan licin. Jika struma
cukup besar, akan menekan area trakea yang dapat mengakibatkan gangguan pada
respirasi dan juga esofhagus tertekan sehingga terjadi gangguan menelan. Pada
penyakit ini tidak ditemukan keluhan karena tidak ada hipo atau hipertirodisme.
Peningkatan metabolisme karena adanya hiperaktif dengan meningkatnya denyut
nadi, peningkatan simpatis seperti: jantung menjadi berdebar-debar, gelisah,
berkeringat, tidak tahan cuaca dingin, diare, gemetar, dan kelelahan.
Pada pemeriksaan status lokalis struma nodosa, dibedakan dalam hal:
1. Jumlah nodul; satu (soliter) atau lebih dari satu (multipel)
2. Konsistensi; lunak, kistik, keras atau sangat keras
3. Nyeri pada penekanan; ada atau tidak ada
4. Perlekatan dengan sekitarnya; ada atau tidak ada.
5. Pembesaran kelenjar getah bening di sekitar tiroid: ada atau tidak ada.

2.9 Diagnosis Banding


a. Colloid goiter
b. Tiroiditis  penyakit autoimun misal Tiroiditis Hashimoto
c. Dishormogenetik Goiter  defisiensi enzim kongenital
d. Struma Reidel  idiopatik
e. Neoplasma

2.10 Diagnosis Struma


a. Pemeriksaan Fisik
 Inspeksi
Inspeksi dilakukan oleh pemeriksa yang berada di depan penderita yang
berada pada posisi duduk dengan kepala sedikit fleksi atau leher sedikit

14
terbuka. Jika terdapat pembengkakan atau nodul, perlu diperhatikan
beberapa komponen yaitu lokasi, ukuran, jumlah nodul, bentuk (diffus
atau noduler kecil), gerakan pada saat pasien diminta untuk menelan dan
pulpasi pada permukaan pembengkakan.
 Palpasi
Pemeriksaan dengan metode palpasi dimana pasien diminta untuk duduk,
leher dalam posisi fleksi. Pemeriksa berdiri di belakang pasien dan
meraba tiroid dengan menggunakan ibu jari kedua tangan pada tengkuk
penderita.

b. Pemeriksaan Penunjang
 Tes Fungsi Hormon
Status fungsional kelenjar tiroid dapat dipastikan dengan perantara tes-tes
fungsi tiroid untuk mendiagnosa penyakit tiroid diantaranya kadar total
tiroksin dan triyodotiroin serum diukur dengan radioligand assay.
Tiroksin bebas serum mengukur kadar tiroksin dalam sirkulasi yang
secara metabolik aktif. Kadar TSH plasma dapat diukur dengan assay
radioimunometrik.
Kadar TSH plasma sensitif dapat dipercaya sebagai indikator fungsi
tiroid. Kadar tinggi pada pasien hipotiroidisme sebaliknya kadar akan
berada di bawah normal pada pasien peningkatan autoimun
(hipertiroidisme). Uji ini dapat digunakan pada awal penilaian pasien
yang diduga memiliki penyakit tiroid. Tes ambilan yodium radioaktif
(RAI) digunakan untuk mengukur kemampuan kelenjar tiroid dalam
menangkap dan mengubah yodida.
 Foto Rontgen Leher
Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat struma telah menekan atau
menyumbat trakea (jalan nafas).
 Ultrasonografi (USG)
Alat ini akan ditempelkan di depan leher dan gambaran gondok akan
tampak di layar TV. USG dapat memperlihatkan ukuran gondok dan

15
kemungkinan adanya kista/nodul yang mungkin tidak terdeteksi waktu
pemeriksaan leher. Kelainan-kelainan yang dapat didiagnosis dengan
USG antara lain kista, adenoma, dan kemungkinan karsinoma.
 Scan Tiroid
Caranya dengan menyuntikan sejumlah substansi radioaktif bernama
technetium-99m dan yodium125 / yodium131 ke dalam pembuluh darah.
Setengah jam kemudian berbaring di bawah suatu kamera canggih
tertentu selama beberapa menit. Hasil pemeriksaan dengan radioisotop
adalah teraan ukuran, bentuk lokasi dan yang utama adalh fungsi bagian-
bagian tiroid.
 Biopsi Aspirasi Jarum Halus
Dilakukan khusus pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan.
Biopsi aspirasi jarum tidak nyeri, hampir tidak menyebabkan bahaya
penyebaran sel-sel ganas. Kerugian pemeriksaan ini dapat memberikan
hasil negatif palsu karena lokasi biopsi kurang tepat. Selain itu teknik
biopsi kurang benar dan pembuatan preparat yang kurang baik atau
positif palsu karena salah intrepertasi oleh ahli sitologi.

2.11 Penatalaksanaan Struma


Ada beberapa macam untuk penatalaksanaan medis jenis-jenis struma antara lain
sebagai berikut :
1. Operasi atau Pembedahan
Pembedahan menghasilkan hipotiroidisme permanen yang kurang sering
dibandingkan dengan yodium radioaktif. Terapi ini tepat untuk para pasien
hipotiroidisme yang tidak mau mempertimbangkan yodium radioaktif dan
tidak dapat diterapi dengan obat-obat anti tiroid. Reaksi-reaksi yang
merugikan yang dialami dan untuk pasien hamil dengan tirotoksikosis parah
atau kekambuhan. Pada wanita hamil atau wanita yang menggunakan
kontrasepsi hormonal (suntik atau pil KB), kadar hormon tiroid total tampak
meningkat. Hal ini disebabkan makin banyak tiroid yang terikat oleh protein

16
maka perlu dilakukan pemeriksaan kadar T4 sehingga dapat diketahui
keadaan fungsi tiroid.
Pembedahan dengan mengangkat sebagian besar kelenjar tiroid, sebelum
pembedahan tidak perlu pengobatan dan sesudah pembedahan akan dirawat
sekitar 3 hari. Kemudian diberikan obat tiroksin karena jaringan tiroid yang
tersisa mungkin tidak cukup memproduksi hormon dalam jumlah yang
adekuat dan pemeriksaan laboratorium untuk menentukan struma dilakukan
3-4 minggu setelah tindakan pembedahan.6,7
2. Yodium Radioaktif
Yodium radioaktif memberikan radiasi dengan dosis yang tinggi pada
kelenjar tiroid sehingga menghasilkan ablasi jaringan. Pasien yang tidak mau
dioperasi maka pemberian yodium radioaktif dapat mengurangi gondok
sekitar 50 %. Yodium radioaktif tersebut berkumpul dalam kelenjar tiroid
sehingga memperkecil penyinaran terhadap jaringan tubuh lainnya. Terapi
ini tidak meningkatkan resiko kanker, leukimia, atau kelainan genetik.
Yodium radioaktif diberikan dalam bentuk kapsul atau cairan yang harus
diminum di rumah sakit, obat ini ini biasanya diberikan empat minggu
setelah operasi, sebelum pemberian obat tiroksin.7
3. Pemberian Tiroksin dan obat Anti-Tiroid
Tiroksin digunakan untuk menyusutkan ukuran struma, selama ini diyakini
bahwa pertumbuhan sel kanker tiroid dipengaruhi hormon TSH. Oleh karena
itu untuk menekan TSH serendah mungkin diberikan hormon tiroksin (T4)
ini juga diberikan untuk mengatasi hipotiroidisme yang terjadi sesudah
operasi pengangkatan kelenjar tiroid. Obat anti-tiroid (tionamid) yang
digunakan saat ini adalah propiltiourasil (PTU) dan metimasol/karbimasol.6

2.12 Pencegahan
A. Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah langkah yang harus dilakukan untuk menghindari diri
dari berbagai faktor resiko. Beberapa pencegahan yang dapat dilakukan untuk
mencegah terjadinya struma adalah :

17
a. Memberikan edukasi kepada masyarakat dalam hal merubah pola perilaku
makan dan memasyarakatkan pemakaian garam yodium
b. Mengkonsumsi makanan yang merupakan sumber yodium seperti ikan laut
c. Mengkonsumsi yodium dengan cara memberikan garam beryodium setelah
dimasak, tidak dianjurkan memberikan garam sebelum memasak untuk
menghindari hilangnya yodium dari makanan
d. Iodisai air minum untuk wilayah tertentu dengan resiko tinggi. Cara ini
memberikan keuntungan yang lebih dibandingkan dengan garam karena dapat
terjangkau daerah luas dan terpencil. Iodisasi dilakukan dengan yodida
diberikan dalam saluran air dalam pipa, yodida yang diberikan dalam air yang
mengalir, dan penambahan yodida dalam sediaan air minum.
e. Memberikan kapsul minyak beryodium (lipiodol) pada penduduk di daerah
endemik berat dan endemik sedang. Sasaran pemberiannya adalah semua pria
berusia 0-20 tahun dan wanita 0-35 tahun, termasuk wanita hamil dan
menyusui yang tinggal di daerah endemis berat dan endemis sedang. Dosis
pemberiannya bervariasi sesuai umur dan kelamin.
f. Memberikan suntikan yodium dalam minyak (lipiodol 40%) diberikan 3
tahun sekali dengan dosis untuk dewasa dan anak-anak di atas 6 tahun 1 cc
dan untuk anak kurang dari 6 tahun 0,2-0,8 cc.

B. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya mendeteksi secara dini suatu penyakit,
mengupayakan orang yang telah sakit agar sembuh, menghambat progresifitas
penyakit yang dilakukan melalui beberapa cara yaitu :
 Diagnosis
 Penatalaksanaan Medis
C. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier bertujuan untuk mengembalikan fungsi mental, fisik dan sosial
penderita setelah proses penyakitnya dihentikan. Upaya yang dapat dilakukan
adalah sebagai berikut :

18
a. Setelah pengobatan diperlukan kontrol teratur/berkala untuk memastikan dan
mendeteksi adanya kekambuhan atau penyebaran.
b. Menekan munculnya komplikasi dan kecacatan
c. Melakukan rehabilitasi dengan membuat penderita lebih percaya diri, fisik
segar dan bugar serta keluarga dan masyarakat dapat menerima kehadirannya
melalui melakukan fisioterapi yaitu dengan rehabilitasi fisik, psikoterapi yaitu
dengan rehabilitasi kejiwaan, sosial terapi yaitu dengan rehabilitasi sosial dan
rehabilitasi aesthesis yaitu yang berhubungan dengan kecantikan.

2.13 Komplikasi Struma


Pada tindakan operasi tiroidektomi, bisa dijumpai komplikasi awal dan
lanjut. Disamping itu ada pula yang membagi komplikasi yang terjadi dalam
metabolik dan non metabolik. Komplikasi awal antara lain:
a. perdarahan
b. paralise n. laringeus rekuren, paralise n. rekuren superior
c. trakeomalasia
d. infeksi
e. tetani hipokalsemia
f. krisis tiroid (thyroid storm)
Sedangkan komplikasi lanjut berupa:
a. keloid;
b. hipotiroiditi;
c. hipertiroiditi yang kambuh
2.14 Prognosis Struma
Prognosis pada pasien struma tergantung pada jenis nodul dan tipe histologisnya.

19
BAB III
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien

- Nama : Haodiah
- Tanggal lahir : 1 Juli 1975
- Usia : 54 Tahun
- Jenis Kelamin :P
- Status Perkawinan : Menikah
- Agama : Islam
- Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
- Tanggal MRS : 3-2-2020
- Alamat : Aikmel
- No RM 472239
2.2 Anamnesis
A Keluhan Utama :
Benjolan di Leher.
B Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan benjolan pada leher bawah sejak ± 5 tahun
yang lalu. Awalnya kecil dan lama kelamaan semakin besar. Benjolan tidak nyeri,
tidak mengganggu waktu bernafas ataupun menelan. Suara penderita tidak
terganggu dan tidak terjadi perubahan suara selama terdapat benjolan. Penderita
tidak mempunyai riwayat jantung berdebar, tangan gemetaran, mata melotot,
susah tidur, sensitif terhadap suhu dingin, berkeringat banyak, nafsu makan
menurun, mudah lelah, sering diare, penurunan berat badan, kepanasan ataupun
kedinginan. Pasien mengatakan terkadang merasa serek di tenggorokan. Pasien
mengaku sudah berhenti haid selama ± 4 tahun.

C Riwayat Penyakit Dahulu


- Riwayat asma : (-)
- Riwayat penyakit jantung : (-)
- Riwayat penyakit Maag : (-)

20
- Riwayat hipertensi : (-)
- Riwayat DM : (-)

D Riwayat Penyakit Keluarga


- Riwayat asma : (-)
- Riwayat penyakit jantung : (-)
- Riwayat hipertensi : (-)
- Riwayat DM : (-)
E Riwayat Pribadi dan Sosial
- Merokok : (-)
- Alkohol : (-)
2.3 Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Baik
Kesadaraan : Composmentis
GCS : E4 V5 M6
Tanda vital :
- Tekanan Darah : 130/80 mmHg,
- Heart Rate : 80x/menit,
- Respiration Rate : 16x/menit,
- Suhu : 360C (aksila).
2.3.1. Data Antropometri :
- Berat Badan Sekarang : 60 kg
- Tinggi Badan : 160 cm
- Index Massa Tubuh : 23,4 kg/m2
2.3.2. Status Generalis dan Lokalis :

Kulit Warna sawomatang.


Kepala Normocephali, warna rambut hitam keputihan,
distribusi merata, tidak mudah dicabut.
Mata Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil
bulat isokhor (2mm/2mm), refleks pupil (+/+)

21
Telinga Otorea (-/-) , nyeri tekan tragus dan mastoid (-/-),
discharge (-/-), serumen (+/+)
Hidung Bentuk normal, tidak ada nafas cuping hidung,
septum deviasi (-), discharge (-/-), serumen (+/+)
Tenggorokan Uvula di tengah, tonsil T1-T1 tidak hiperemis, faring
hiperemis (-)
Mulut Bentuk normal, bibir pucat (-), sianosis (-), lidah
kotor (-), tidak terdapat karies, gusi berdarah (-)
Leher kelenjar tiroid ukuran 5x6 cm, mobile, nyeri tekan (-
), pergerakan leher bebas, trakea di tengah, JVP 5+2
cm H2O
Kelenjar getah bening Kelenjar getah bening di preaurikular, retroaurikular,
submandibula, submental, supraklavikula dan aksila
tidak teraba pembesaran
Toraks Normochest, tidak ada lesi, tidak ada jejas, tidak ada
spider navy, gerakan simetris saat statis dan
dinamis, tidak terdapat retraksi suprasternal,
Paru Inspeksi Gerakan simetris saat statis dan dinamis, tidak ada
retraksi
Palpasi Nyeri tekan (-), taktil fremitus simetris pada
kedua lapang paru
Perkusi redup pekak
sonor
Vesikuler -Ronkhi
- -Wheezing
-
+ +
+ + - - - -
+ + - - - -
Auskultasi
++ -- --
++ -- --
++ -- --

Anterior

22
+ + - - - -
+ + - - - -
+ + - - - -
Posterior

Jantung Inspeksi Iktus kordis tidak terlihat.


Palpasi Iktus kordis teraba dengan 3 jari.
Perkusi Batas jantung kanan : ICS V linea parasternal
dextra, Batas jantung kiri : ICS V linea midclavicula
sinistra,
Batas jantung atas : ICS II linea sternal sinistra
Batas pinggang jantung: ICS III linea parasternal
sinistra
Auskultasi Bunyi jantung S1 S2 tunggal reguler, murmur (-),
gallop (-)
Abdomen Inspeksi Datar, tidak terdapat sikatrik, massa (-), distensi (-)
Auskultasi Bising usus + ( 8x/menit)
Perkusi Timpani pada seluruh regio abdomen
Palpasi Supel, tidak ada defens muscular, trugor cukup,
hepar & lien tidak teraba
Nyeri tekan

- - -
- - -
- + -
Ekstremitas
Akral hangat, tidak terdapat deformitas, tidak
terdapat edema, nyeri tekan (-) capillary refill time <
2 detik

23
2.4 Diagnosa Banding
Struma
Dishomogenetik Goiter
Neoplasma
2.5 Pemeriksaan Penunjang
a. Darah lengkap
TES Nilai Satuan Nilai Rujukan Keterangan
WBC 8,41 10^3/uL 3.20-10.0 Normal
Lym 3,65 10^3/uL 1,00-3,70 Normal
Lym% 43,4 % 20.0-50.0 Normal
Mon 0,31 10^3/uL 0.00-0.70 Normal
Mon% 3,7 % 0.0-14.0 Normal
Eos 0,33 10^3/uL 0,00-0.40 Normal
Eos% 3,9 % 0,0-6.0 Normal
Neu 4,08 10^3/uL 1,50-7,00 Normal
HGB 13,3 gr/dL 12,0-16.0 Normal
MCH 28,7 pg 26.0-38.0 Normal
MCHC 33,9 gr/dL 31.0-37.0 Normal
RBC 4,63 10^6/uL 2.50-5.50 Normal
MCV 84,6 fL 86.0-110.0 Menurun
HCT 39,2 % 26.0-38.0 Normal
RDW-CV 12,4 % 11,0-16.0 Normal
RDW-SD 37,3 fL 37.0-54.0 Normal
PLT 389 10^3/uL 150-450 Normal
MPV 7,4 fL 9.0-17.0 Menurun
PDW 15,3 9,0-17,0 Normal
PCT 0.288 % 0.170-0,350 Normal

24
b. Pemeriksaan kimia darah
Jenis Pemeriksaan Metode Hasil Satuan
GDS GOD-POD 99 Mg/dL
Ureum Urease 22,48 Mg/dL
Kreatinin Sarcsine 0,7 Mg/Dl
Oxidase
AST (SGOT) IFCC 15,9 U/L
ALT (SGPT) IFCC 6,5 U/L

c. Pemeriksaan koagulasi
Faal Koagulasi Hasil Satuan Nilai rujukan
CT det 5-15 menit
BT det 1-3 menit
PPT 10,1 det 11-14 detik atau perbedaan
kontrol dengan hasil < 2 detik
atau hasil 1 ½ kali kontrol
Kontrol 10,8 det
APTT 31,6 det 25-35 detik atau perbedaan
Kontrol 26,0 det kontrol dengan hasil < 7 detik
atau hasil 1 ½ kali kontrol
INR -
Fibrinogen det 200-400 mg/Dl
Waktu retraksi mg/dL Positif setelah 24 jam
bekuan (CRT)
Waktu lisis Positif setelah 48 jam
bekuan (CLT)

25
d. Pemeriksaan imunologi dan serologi
Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai rujukan
T3 - nmol/ml 1,30-3,10
T4 - nmol/ml 66,00-181,00
Ft3 - nmol/ml 3,10-6,30
Ft4 16,11 Pmol/l 12,00-22,00
TSH 0,67 uIU/ml 0,270-4,20

2.6 Diagnosis Kerja


Struma

2.7 Penatalaksanaan
- IVFD RL 15 tpm
- Cefotaxim 2 x 1
- Ketorolac 3 x 30
- Kalnec 3 x 500
- Tiroidektomi
- Histopatologis

2.8 Follow Up Ruangan


5 Februari 2020
S Demam (-), batuk (-), nyeri post op (+), sulit menelan (-).
KU : Baik
Kesadaran : compos mentis
GCS : E4V5M6
Tanda Vital :
O - TD: 130/90 mmHg,
- N : 80x/menit,
- RR : 20x/mnt,
- T : 36,5°C (aksila),
- SpO2 : 97%

26
Pemeriksaan Fisik
 Kepala : normocephali
 Mata : konjungtiva anemia (-/-), sklera ikterik (-/-), reflek cahaya (+/+),
Pupil bulat isokor dengan diameter 2mm/2mm.
 THT : masa (-), sekret (-), deviasi septum nasi (-), benda asing (-),
mukosa bibir tidak hiperemis, sianosis (-), Tonsil T1/T1, Tonsil
hiperemis (-).
 Pemeriksaan Leher : pembesaran kelenjar tiroid (-/-), PKGB (-), JVP
5cm + 2cm H2O, deviasi trakea (-)
 Pemeriksaan Thorax
Pulmo (depan dan belakang) :
- Inspeksi : normochest, dada simetris kanan dan kiri, tidak ada
gerakan napas yang tertinggal, tidak nampak adanya massa, tidak
ada tampak adanya tanda – tanda peradangan.
- Palpasi :
nyeri tekan
--
--
--

Fremitus vokal normal kanan dan kiri sama.


- Perkusi
sonor redup pekak
++ -- --
++ -- --
++ -- --

- Auskultasi
vesikular rhonki wheezing

27
+ + - - - -
+ + - - - -
+ + - - - -
Anterior
++ - - - -
++
++ - - - -
- - - -
Posterior

Cor :
- Inspeksi : iktus cordis terlihat
- Palpasi : iktus cordis teraba 3 jari kuat angkat
- Perkusi :
Batas kanan : ICS 5 linea sternalis dextra
Batas kiri : ICS 5 linea midklavikula sinistra
Batas atas : ICS 2 linea sternalis sinistra
Batas pinggang : ICS 3 linea parasternalis sinistra
- Auskultasi : S1 dan S2 tunggal reguler, murmur (-), gallop
(-)
 Abdomen:
- Inspeksi : distensi tidak ada, asites tidak ada, tidak tampak
adanya massa, tidak tampak adanya tanda – tanda peradangan
- Auskultasi : peristaltik usus 8x/menit
- Perkusi :

Timpani Pekak
+++ - - -
+++
+++ - - -
- - -

- Palpasi : nyeri tekan

28
- - -
- - -
- - -

o Hepar : tidak terdapat pembesaran hepar dan tidak terdapat


nyeri tekan.
o Lien : tidak terdapat pembesaran lien dan tidak terdapat
nyeri tekan.
 Ekstermitas :: Ekstermitas atas dan bawah hangat, teraba hangat (+),
sianosis [-], edema [-], CRT < 2 detik.
A - Post Tiroidektomi H1
Terapi :
- Cefotaxim 2 x 1 gr iv
P
- Ketorolac 3 x 30 mg iv
- Kalnec 3 x 500 mg iv

29
BAB IV
PEMBAHASAN KASUS
4.1 Pembahasan Kasus

Seorang perempuan berusia 54 tahun mengeluhkan benjolan pada leher semakin


lama semakin membesar, berdasarkan temuan-temuan pada pasien sesuai dengan teori
yakni sebagai berikut :

Pada Pasien Teori


Terdapat benjolan pada leher yang semakin Definisi :
lama semakin membesar. Pada Struma disebut juga goiter adalah suatu
pemeriskaan fisik juga didapatkan pembengkakan pada leher oleh karena
pembesaran pada elenjar tiroid. pembesaran kelenjar tiroid akibat kelainan
glandula tiroid dapat berupa gangguan
fungsi atau perubahan susunan kelenjar dan
morfologinya
Tempat tinggal pasien di kaki gunung Etiologi :
memungkinkan kondisi air mium dan Defisiensi iodium dan kelainan metabolik
tanahnya kurang mengandung iodium. kongenital yang menyebabkan
Pasien juga seing mengkonsumsi sayur penghambatan pada sintesa hormone tiroid
yang menghambat sintesa hormone tiroid. seperti penghambatan oleh zat kimia :
subtansi dalam kol, kacang kedelai) serta
obatobatan (sulfonlurea)
Pada pemeriksaan fisik ditemukan Patofisiologi :
pembesaran kelenjar tiroid 5x6 cm. Akibat terganggunya regulasi hormone
mengakibatkan kelenjar tumbuh makin
lama makin bertambah besar, ukuran
folikel menjadi lebih besar dan kelenjar
tiroid dapat bertambah berat sekitar 300-
500 gram.3

30
Mengeluhkan timbul benjolan lama Gejala Klinis
kelamaan semakin membesar dengan Struma nodusa tanpa disertai tanda-tanda
ukuran 5 x 6 cm. hipertiroidisme dan hipotiroidisme disebut
struma nodusa non toksik.
Terdapat benjolan pada leher dengan Diagnosis :
ukuran 5x6 cm, tidak nyeri, teraba satu Berdasarkan anamnesis pada penyakit ini
nodul saja, serta tidak didapatkan tanda- biasanya pasien mengeluhkan benjolan
tanda hipertiroidisme dan hipotiroidisme. pada leher dan terdapat/tidak tanda-tanda
hipo/hiper tiroidisme, pada pemeriksaan
fisik didapatkan kelenjar tiroid membesar.
Pada pemeriksaan penunjang seperti tes
fungsi hormone, foto rongent dan USG.

31
4.2 Flow Chart
Defisiensi yodium Zat kimia (ex: phenolic, etc) dan obat-obatan
ex: thiocarbamide sulfonylurea

Lodida tidak teroksidasi


Menghambat sintesa hormone tiroid

Tyrosin tak terbentuk


Penurunan sekresi T3 dan T4

Sekresi hormone tiroid menurun


Meningkatkan pelepasan TSH oleh kelenjar hipofisis

Mencegah inhibisi umpan balik


TSH yang normal
Peningkatan jumlah sel-sel folikel

Merangsang hipofisis
Hipertrofi kelenjar tiroid

Peningkatan produksi TSH

Hipertensi dan hipertrofi kelenjar tiroid

STRUMA

Pre operasi

Benjolan pada kelenjar tiroid Penekanan pada pembuluh darahT3 & T4


tyroid Ketidaksiapan menghadapi operasi
menurun

Penekanan pada trakea


Menekan pembuluh darah Sekresi hormone kalsitonin menurun
Kurangnya informasi tentang tindakan pembedahan
Merangsang hipotalamus

Obstruksi
trakea

32
33
Merangsang reseptor pada ujung saraf bebas serabut tipe C pengirim implus nyeri
Peningkatan kerjake hipotalamus
syaraf
Penurunan dan korteks
simpatismetabolisme
Koping serebri
individu
kalsium
inefektif dan perasaan tidak tenang
Penyempitan
jalan nafas

Suplai oksigen ke paru menurun


Peningkatan kontraksi jantungOsteohalistere
sis
Ansietas

Peningkatan Kelemahan fisik


kerja nafas Takikardi

Dyspnea Nyeri akut Resiko gangguan perfusi jaringan


Intoleransi aktivitas

Pola nafas tidak efektif

Intra
Opera Post
Operasi

Tiroidekto Anestesi GA Terputusnya Port of entry


my kontinuitas mikroorganism
jaringan syaraf
Efek relaksan PD
Insisi dan Personal
pembul Merangsang hygiene
uh pengeluaran
darah Peningkatan sekresi histamine dan
mukosa otot Mikroorganisme
pernafasan berkembang dan
Kehilanga Nyeri akut mengkontaminasi
n cairan Bersihan jalan nafas luka operasi
tubuh dan inefektif Peningkatan
plasma leukosit, suhu sekitar
Resiko syok
cairan
hipovolemik luka panas, luka

Resiko infeksi
BAB V

34
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Pada kasus ini, diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis ditemukan pasien seorang perempuan
berusia 54 tahun, mengalami benjolan di leher sejak + 5 tahun yang lalu. Awalnya
benjolan teraba kecil lama-kelamaan benjolan semakin membesar dengan ukuran + 5 x 6
cm. Nyeri pada benjolan tidak pernah dirasakan oleh pasien, saat menelan pasien juga
tidak merasakan sakit. Berdasarkan temuan-temuan dari anamnesis, peeriksaan fisik serta
pemeriksaaan penunjang dapat dipastikan bahwa pasien menderita penyakit struma.

35
DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidrajat R, De Jong Wim. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-2. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC. 2004
2. AME/AACE Guideline.2006. American Association of Clinical Endocrinologists and
Association Medici Endocrinologi, Medical Guidelines For Clinical Practice for the
diagnosis and management of thyroid nodule. ENDOCRINE PRACTICE Vol 12 No. 1.
January/February2006. http://www.aace.com/pub/pdf/guidelines/thyroid_ nodule.pdf.
3. Daniel. 2008. Jeli dan Praktis Menghadapi Kelainan Tiroid.
http://www.farmacia.com/rubrik/one_news_print.asp.
4. Jamson, L. 2005. Diseases of Tyroid Gland. Harrisons Principles of Internal Medicine,
16 th edition, Mcgraw-Hill Medical Publishing Division
5. Johan, S. M. 2006. Nodul tiroid. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III, Edisi IV.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Penyakit Dalam FKUI
6. Djokomoeljanto, R. 2006. Kelenjar tiroid, hipotiroidisme, dan hipertiroidisme. Buku
Ajar Penyakit Dalam Jilid III, Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Penyakit
Dalam FKUI
7. Sjamsuhidajat., Jong, W. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah: Sistem endokrin. Jakarta: EGC
8. Solymosi.2007. Therapy for Nontoxic Nodular Goiter..
http://www.thyroidmanager.org/Chapter17/ch01s10.html.
9. Wijayahadi, Y., Marwowinoto, M., Reksaprawira., Murtedjo, U. 2000. Kelenjar Tiroid:
Kelainan, Diagnosis dan Penatalaksanaan. Seksi Bedah Kepala & Leher, Bagian Ilmu
Bedah, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Surabaya: Jawi Aji Surabaya

36

Anda mungkin juga menyukai