Anda di halaman 1dari 23

BAGIAN ILMU BEDAH REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN MARET 2022


UNIVERSITAS BOSOWA

STRUMA NODOSA NON TOKSIK

DISUSUN OLEH :
ANDI RATNASARI
4520112020

DOSEN PEMBIMBING :
Dr. Akram Chalid, Sp. B

DEPARTEMEN ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BOSOWA
MAKASSAR
2022
BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

A. Embriologi, Anatomi, dan Histologi Kelenjar Tiroid

Embriologi Kelenjar Tiroid


Kelenjar tiroid berkembang dari endoderm yang berasal dari sulcus
pharyngeus pertama dan kedua pada garis tengah atau lekukan faring antara
branchial pouch pertama dan kedua. Mulai terbentuk pada janin berukuran 3,4-4
cm pada akhir bulan pertama kehamilan. Dari bagian tersebut timbul divertikulum
yang kemudian membesar, jaringan endodermal ini turun ke leher sampai setinggi
cincin trakea kedua dan ketiga yang kemudian membentuk 2 lobus, yang akhirnya
melepaskan diri dari faring. Penurunan ini terjadi pada garis tengah. Sebelum
lepas, ia berbentuk sebagai duktus tiroglossus, yang berawal dari foramen sekum
di basis lidah. Pada umumnya duktus ini akan menghilang pada usia dewasa. Sisa
ujung kaudal duktus tiroglossus lebih sering mengalami obliterasi menjadi lobus
piramidalis kelenjar tiroid. Tetapi ada beberapa keadaan yang masih menetap,
sehingga dapat terjadi kelenjar di sepanjang jalan tersebut, yaitu antara kartilago
tiroid dengan basis lidah. Dengan demikian, kegagalan menutupnya duktus akan
mengakibatkan terbentuknya kelenjar tiroid yang letakya abnormal, dinamakan
persisten duktus tiroglossus, dapat berupa kista duktus tiroglossus, tiroid lingual
atau tiroid servikal. Sedangkan desensus yang terlalu jauh akan menghasilkan
tiroid substernal. Branchial pouch keempatpun akan ikut membentuk bagian
kelenjar tiroid, dan merupakan asal mula sel-sel parafolikular atau sel C yang
memproduksi kalsitonin. Kelenjar tiroid janin secara fungsional mulai mandiri
pada minggu ke-12 masa kehidupan intrauterin1.
Anatomi Kelenjar Tiroid
Kelenjar tiroid terletak di bagian bawah leher, terdiri dari 2 lobus yang
dihubungkan oleh ismus yang menutupi cincin trakea 2 dan 3. Setiap lobus tiroid
berukuran panjang 2,5-4 cm, lebar 1,5-2 cm dan tebal 1-1,5 cm. Berat kelenjar
tiroid dipengaruhi oleh berat badan dan asupan yodium. Pada orang dewasa berat
normalnya antara 10-20 gram1.
Pada sisi posterior melekat erat pada fasia pratrakea dan laring melalui
kapsul fibrosa, sehingga akan ikut bergerak kearah cranial sewaktu menelan1.
Pada sebelah anterior kelenjar tiroid menempel otot pretrakealis (m.
sternotiroid dan m. sternohioid) kanan dan kiri yang bertemu pada midline. Pada
sebelah yang lebih superficial dan sedikit lateral ditutupi oleh fasia kolli profunda
dan superfisialis yang membungkus m. sternokleidomastoideus dan vena jugularis
eksterna. Sisi lateral berbatasan dengan a. karotis komunis, v. jugularis interna,
trunkus simpatikus dan arteri tiroidea inferior. Posterior dari sisi medialnya
terdapat kelenjar paratiroid, n. laringeus rekuren dan esophagus. Esofagus terletak
di belakang trakea dan laring, sedangkan n.laringeus rekuren terletak pada sulkus
trakeoesofagikus.
Vaskularisasi kelenjar tiroid termasuk amat baik. A.tiroidea superior
berasal dari a.karotis kommunis atau a.karotis eksterna, a.tiroidea inferior dari
a.subklavia, dan a.tiroidea ima berasala dari a.brakhiosefalik salah sau cabang
arkus aorta1.
Aliran darah dalam kelenjar tiroid berkisar 4-6 ml/gram/menit, kira-kira 50
kali lebih banyak dibanding aliran darah di bagian tubuh lainnya. Pada keadaan
hipertiroidisme, aliran darah ini akan meningkat sehingga dengan stetoskop
terdengar bising aliran darah dengan jelas di ujung bawah kelenjar1.
Setiap folikel tiroid diselubungi oleh jala-jala kapiler dan limfatik,
sedangkan system venanya berasal dari pleksus parafolikuler yang menyatu di
permukaan membentuk vena tiroidea superior, lateral dan inferior1.
Secara anatomis dari dua pasang kelenjar paratiroid, sepasang kelenjar
paratiroid menempel di belakang lobus superior tiroid dan sepasang lagi di lobus
medius1.
Pembuluh getah bening kelenjar tiroid berhubungan secara bebas dengan
pleksus trakealis. Selanjutnya dari pleksus ini ke arah nodus pralaring yang tepat
berada di atas ismus menuju ke kelenjar getah bening brakiosefalik dan sebagian
ada yang langsung ke duktus torasikus. Hubungan getah bening ini penting untuk
menduga penyebaran keganasan yang berasal dari kelenjar tiroid1.

Gambar 1. Anatomi Tiroid1


Gambar 2. Anatomi Tiroid Potongan Melintang1

Histologi Kelenjar Tiroid


Secara histologi, parenkim kelenjar ini terdiri atas1:
1. Folikel-folikel dengan epithetlium simplex kuboideum yang mengelilingi suatu
massa koloid. Sel epitel tersebut akan berkembang menjadi bentuk kolumner
ketika folikel lebih aktif (seperti perkembangan otot yang terus dilatih).
2. Cellula perifolliculares (sel C) yang terletak di antara beberapa folikel yang
berjauhan.
Gambar 3. Histologi Kelenjar Tiroid1

Fisiologi Hormon Tiroid


Kelenjar tiroid menghasilkan hormon tiroid utama, yaitu tiroksin (T4).
Bentuk aktif ini adalah triyodotironin (T3), yang sebagian besar berasal dari
konversi hormon T4 di perifer, dan sebagian kecil langsung dibentuk oleh kelenjar
tiroid. Yodida anorganik yang diserap dari saluran cerna merupakan bahan baku
hormon tiroid. Zat ini dipekatkan kadarnya menjadi 30-40 kali yang afinitasnya
sangat tinggi di jaringan tiroid. Yodida anorganik mengalami oksidasi menjadi
bentuk organik dan selanjutnya menjadi bagian dari tirosin yang terdapat dalam
tiroglobulin sebagai monoyodotirosin (MIT) atau diyodotirosin (DIT). Senyawa
atau konjugasi DIT dengan MIT atau dengan DIT yang lain akan menghasilkan
T3 atau T4, yang disimpan dalam koloid kelenjar tiroid. Sebagian besar T4
dilepaskan ke sirkulasi, sedangkan sisanya tetap di dalam kelenjar yang kemudian
mengalami deyodinasi untuk selanjutnya menjalani daur ulang. Dalam sirkulasi,
hormon tiroid terikat pada protein, yaitu globulin pengikat tiroid (thyroid binding
globulin, TBG) atau prealbumin pengikat tiroksin (thyroxine binding
prealbumine, TBPA)1.
Sekresi hormon tiroid dikendalikan oleh suatu hormon stimulator tiroid
(thyroid stimulating hormone, TSH) yang dihasilkan oleh lobus anterior kelenjar
hipofisis. Kelenjar hipofisis secara langsung dipengaruhi dan diatur aktivitasnya
oleh kadar hormon tiroid dalam sirkulasi yang bertindak sebagai negative
feedback terhadap lobus anterior hipofisis, dan terhadap sekresi thyrotropine
releasing hormone (TRH) dari hipotalamus.
Pada kelenjar tiroid juga didapatkan sel parafolikuler, yang menghasilkan
kalsitonin. Kalsitonin adalah suatu polipeptida yang turut mengatur metabolisme
kalsium, yaitu menurunkan kadar kalsium serum, melalui pengaruhnya terhadap
tulang1.
Jadi, kesimpulan pembentukan hormon tiroksin melalui beberapa langkah,
yaitu1:
1. Iodide Trapping, yaitu pejeratan iodium oleh pompa Na+/K+ ATPase.
2. Yodium masuk ke dalam koloid dan mengalami oksidasi. Kelenjar tiroid
merupakan satu-satunya jaringan yang dapat mengoksidasi I hingga
mencapai status valensi yang lebih tinggi. Tahap ini melibatkan enzim
peroksidase.
3. Iodinasi tirosin, dimana yodium yang teroksidasi akan bereaksi dengan
residu tirosil dalam tiroglobulin di dalam reaksi yang mungkin pula
melibatkan enzim tiroperoksidase (tipe enzim peroksidase).
4. Perangkaian iodotironil, yaitu perangkaian dua molekul DIT
(diiodotirosin) menjadi T4 (tiroksin, tetraiodotirosin) atau perangkaian
MIT (monoiodotirosin) dan DIT menjadi T3 (triiodotirosin). reaksi ini
diperkirakan juga dipengaruhi oleh enzim tiroperoksidase.
5. Hidrolisis yang dibantu oleh TSH (Thyroid-Stimulating Hormone) tetapi
dihambat oleh I, sehingga senyawa inaktif (MIT dan DIT) akan tetap
berada dalam sel folikel.
6. Tiroksin dan triiodotirosin keluar dari sel folikel dan masuk ke dalam
darah. Proses ini dibantu oleh TSH.
7. MIT dan DIT yang tertinggal dalam sel folikel akan mengalami
deiodinasi, dimana tirosin akan dipisahkan lagi dari I. Enzim deiodinase
sangat berperan dalam proses ini.
8. Tirosin akan dibentuk menjadi tiroglobulin oleh retikulum endoplasma dan
kompleks golgi.
Gambar 4. Sintesis dan Sekresi Hormon Tiroid1

1. Definisi Struma
Struma adalah pembesaran pada kelenjar tiroid yang biasanya terjadi
karena folikel-folikel terisi koloid secara berlebihan. Setelah bertahun-tahun
sebagian folikel tumbuh semakin besar dengan membentuk kista dan kelenjar
tersebut menjadi noduler. Biasanya dianggap membesar bila kelenjar tiroid lebih
dari 2x ukuran normal. Pembesaran kelenjar tiroid sangat bervariasi dari tidak
terlihat sampai besar sekali dan mengadakan penekanan pada trakea, membuat
dilatasi sistem vena serta pembentukan vena kolateral1,2.

Klasifikasi Struma2
1. Berdasarkan jumlah nodul
1) Struma nodus soliter
2) Struma multinodosa
2. Berdasarkan kemampuan menangkap iodium radioaktif
1) Nodul dingin : bila tidak ada penangkapan iodium atau kurang
dari jaringan sekitarnya.
2) Nodul hangat: bila penangkapan iodium sama dengan jaringan
sekitarnya.
3) Nodul panas: bila penangkapan iodium melebihi jaringan sekitarnya.
3. Berdasarkan konsistensi
1) Struma nodul lunak
2) Struma nodul kistik
3) Struma nodul keras
4) Struma nodul sangat keras
4. Berdasarkan manifestasi klinis
1) Struma non toksik
Diffuse : Endemic goiter, Gravida goiter
Nodosa : Neoplasma
2) Struma toksik
Diffuse : Grave disease
Nodosa : Tirotoksikosis

Morfologi dari pembesaran kelenjar tiroid ada berbagai macam. Struma


difus adalah pembesaran yang merata dengan konsistensi lunak pada seluruh
kelenjar tiroid. Struma nodusa adalah jika pembesaran tiroid terjadi akibat nodul,
apabila nodulnya satu maka disebut uninodusa, apabila lebih dari satu, baik
terletak pada satu atau kedua sisi lobus, maka disebut multinodusa2,3.
Ditinjau dari aspek fungsi kelenjar tiroid, yang tugasnya memproduksi
hormon tiroksin, maka bisa kita bagi2:
1. Hipertiroid, sering juga disebut sebagai toksika bila produksi hormon
tiroksin berlebihan.
2. Eutiroid, bila produksi hormon tiroksin dalam batas normal
3. Hipotiroid, bila produksi hormon tiroksin kurang dari normal.
Pada struma yang tanpa ada tanda-tanda hipertiroid, disebut struma non toksika.
Dari aspek histopatologi kelenjar tiroid, maka timbulnya struma bisa kita jumpai
akibat proses hiperplasia, keradangan atau inflamasi, neoplasma jinak dan
neoplasma ganas.
Pembesaran kelenjar tiroid dapat disebabkan oleh2:
1. Hiperplasi dan hipertrofi dari kelenjar tiroid
Setiap organ apabila dipacu untuk bekerja lebih berat maka akan
berkompensasi dengan jalan hipertrofi dan hiperplasi. Demikian pula
dengan kelenjar tiroid pada saat masa pertumbuhan atau pada kondisi
memerlukan hormon tiroksin lebih banyak, misal saat pubertas, gravid dan
sembuh dari sakit parah.
a. Non toxic goiter: difus, noduler
b. Toxic goiter: noduler (Parry’s disease), difus (Grave’s
disease)/Morbus Basedow
2. Inflamasi atau infeksi kelenjar tiroid
a. Tiroiditis akut
b. Tiroiditis sub-akut (de Quervain)
c. Tiroiditis kronis (Hashimoto’s disease dan struma Riedel)
3. Neoplasma
a. Neoplasma jinak (adenoma)
b. Neoplasma ganas (adenocarcinoma) : papiliferum,folikularis,
anaplastik

Adapun klasifikasi klinisnya adalah sebagai berikut:


a. Grade 0 : tidak teraba struma, atau bila teraba besarnya normal
b. Grade IA : teraba struma, tapi tak terlihat
c. Grade IB : teraba struma, tapi baru dapat dilihat apabila posisi kepala
menengadah
d. Grade II : struma dapat dilihat dalam posisi biasa
e. Grade III : struma dapat dilihat dalam posisi biasa dalam jarak 6
meter
f. Grade IV : struma yang amat besar

C. Struma Non Toksik


a) Definisi dan Etiologi
Adalah pembesaran kelenjar tyroid yang secara klinik teraba nodul satu
atau lebih tanpa disertai tanda-tanda hipertiroidisme. Penyebab paling banyak dari
struma non toxic adalah kekurangan iodium. Akan tetapi pasien dengan
pembentukan struma yang sporadis, penyebabnya belum diketahui. Struma non
toxic disebabkan oleh beberapa hal, yaitu3 :
1. Kekurangan iodium: Pembentukan struma terjadi pada difesiensi sedang
yodium yang kurang dari 50 mcg/d. Sedangkan defisiensi berat iodium
adalah kurang dari 25 mcg/d dihubungkan dengan hypothyroidism dan
cretinism.
2. Kelebihan yodium: jarang dan pada umumnya terjadi pada preexisting
penyakit tiroid autoimun
3. Goitrogen :
 Obat : Propylthiouracil, litium, phenylbutazone, aminoglutethimide,
expectorants yang mengandung yodium
 Agen lingkungan : Phenolic dan phthalate ester derivative dan resorcinol
berasal dari tambang batu dan batubara.
 Makanan, Sayur-Mayur jenis Brassica ( misalnya, kubis, lobak cina,
brussels kecambah), padi-padian millet, singkong, dan goitrin dalam
rumput liar.
4. Dishormonogenesis: Kerusakan dalam jalur biosynthetic hormon kelejar
tiroid
5. Riwayat radiasi kepala dan leher : Riwayat radiasi selama masa kanak-kanak
mengakibatkan nodul benigna dan maligna

b) Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik


Anamnesis yang telaten, pemeriksaan fisik yang seksama sering sudah
cukup mendukung dalam menegakkan diagnosis kerja yang tajam untuk penderita
struma4.
Selain hal-hal yang mendukung terjadinya struma akibat keradangan atau
hiperplasi dan hipertrofi, maka perlu juga ditanyakan hal-hal yang diduga ada
kaitannya dengan keganasan pada kelenjar tiroid, terutama pada struma uninodusa
nontoksika antara lain4:
1. Umur < 20 tahun atau > 50 tahun
2. Riwayat terpapar radiasi leher waktu kanak-kanak
3. Pembesaran kelenjar tiroid yang cepat
4. Disertai suara parau
5. Disertai disfagia
6. Disertai nyeri
7. Riwayat keluarga yang menderita kanker
8. Penderita struma hiperplasi, diterapi dengan hormone tiroksin tetap
membesar
9. Disertai sesak nafas
Pada anamnesis dan pemerikasaan fisik untuk mengetahui adanya
gangguan fungsi pada penderita struma, maka harus ditanyakan dan diperikasa
hal-hal yang mendukung adanya hipertiroid, antara lain4,5:
1. Berat badan turun, makannya banyak akan tetapi badan tetap kurus
(Paradoxa Muller)
2. Kulit basah (hiperhidrosis), telapak tangan terasa
hangat/panas/lembab dan kulit telapak tangan terasa halus akibat
hipermetabolisme dan hiperhidrosis pada kelenjar keringat. Penderita
tidak tahan terhadap hawa panas lebih tahan terhadap hawa dingin.
3. Takikardia, bila tidur nadinya tetap cepat, waspada ancaman atrial
fibrilasi
4. Tremor, gejala ini hampir selalu ada. Suruh penderita meluruskan
lengannya ke depan dan merentangkan jari-jarinya, sambil
memejamkan mata, diletakkan sehelai kertas diatas jari-jarinya, maka
akan terlihat ada atau tidak tremor
5. Eksoptalmus, hampir 50% penderita, bisa bilateral atau unilateral.
Patofisiologi belum jelas. Diduga akibat penambahan lemak dan
infiltrasi limfosit retrobulbar
a. Eksoptalmus ringan: melebarnya fisura palpebra superior
(Steilwag’s sign) akibat retraksi otot palpebra superior. Apabila
penderita kita suruh mengikuti gerakan tangan ke atas dan ke
bawah dengan agak cepat tampak palpebra superior ketinggalan
gerak.
b. Eksoptalmus sedang: bila penderita menundukkan kepala
kemudian kita suruh melirik ke atas, maka kerutan di dahi akan
tampak sedikit sekali, bahkan tidak ada (Joffroy’s sign)
c. Eksoptalmus berat: lemak retrobulber sudah menumpuk,
ditambah edema retrobulber, sehingga dijumpai gejala
kongestif intraorbital. Optamoplegia, kelemahan otot mata
akibat protusi bola mata, sehingga bisa strabismus atau
diplopia. Pada fase lanjut geraka konvergensi bola mata
terganggu (Mobius’s sign)
6. Gelisah, hipermetabolisme system saraf membuat nilai ambang saraf
menurun, sehingga penderita menjadi iritabel, timbul tremor halus,
depresi
7. Diare, hipereristaltik pada sitem pencernaan, mengakibatkan absorbsi
tidak sempurna, dengan gejala akibatnya antara lain kekurangan
vitamin dan mineral
8. Thyroid thrill, hipervaskular pada tiroid
9. Gangguan keseimbangan hormonal lain, gangguan pola menstruasi
10. Kelainan kulit, karena hipermetabolisme kulit, maka kulit hangat dan
halus (fine texture) dan karena vasodilatasi, bila digores akan
membekas (dermografi).
11. Basal Metabolisme Rate (BMR). Pengukuran mengguanakan
Spirometri (Oxygen consumption rate) atau secara klinis kita bisa
mengukur dengan rumus empiris: % BMR = 0,75 {0,74(s-d)+n}-72
s = sistole, d = diatole, n = nadi
tensi dan nadi diukur pada keadaan basal
harga normal (-)10% sampai (+)10%
Biasanya penderita struma nodosa tidak mengalami keluhan karena tidak
ada hipo atau hipertiroidisme. Nodul mungkin tunggal tetapi kebanyakan
berkembang menjadi multinoduler yang tidak berfungsi. Degenerasi jaringan
menyebabkan kista atau adenoma. Karena pertumbuhannya sering berangsur-
angsur, struma dapat menjadi besar tanpa gejala kecuali benjolan di leher5.
Sebagian besar penderita dengan struma nodosa dapat hidup dengan
strumanya tanpa keluhan. Walaupun sebagian struma nodosa tidak mengganggu
pernafasan karena menonjol ke depan, sebagian lain dapat menyebabkan
penyempitan trakea bila pembesarannya bilateral. Struma nodosa unilateral dapat
menyebabkan pendorongan sampai jauh ke arah kontra lateral. Pendorongan
demikian mungkin tidak mengakibatkan gangguan pernafasan. Penyempitan yang
berarti menyebabkan gangguan pernafasan sampai akhirnya terjadi dispnea
dengan stridor inspiratoar. Keluhan yang ada ialah rasa berat di leher. Sewaktu
menelan trakea naik untuk menutup laring dan epiglotis sehingga terasa berat
karena terfiksasi pada trakea5.
Pemeriksaan fisik pada pasien struma dilakukan secara sistematis (urut
dari atas ke bawah), simetris (bandingkan kanan dan kiri), simultan (kanan dan
kiri bersamaan). Secara rutin harus dievaluasi juga keadaan kelenjar getah bening
lehernya, adakah pembesaran, dianjurkan penderita membuka bajunya1,5.
Gambar . Pemeriksaan Kelenjar Tiroid5

Pemeriksaan pasien dengan struma dilakukan dari belakang kepala


penderita sedikit fleksi sehingga muskulus sternokleidomastoidea relaksasi,
dengan demikan tiroid lebih mudah dievaluasi dengan palpasi. Gunakan kedua
tangan bersamaan dengan ibu jari posisi di tengkuk penderita sedang keempat jari
yang lain dari arah lateral mengeveluasi tiroid serta mencari pole bawah kelenjar
tiroid sewaktu penderita disuruh menelan1.
Pada struma yang besar dan masuk retrosternal, maka tidak dapat diraba
trakea dan pole bawah tiroid. Kelenjar tiroid yang normal teraba sebagai bentukan
yang lunak dan ikut bergerak pada waktu menelan. Biasanya struma masih bisa
digerakkan ke arah lateral dan susah digerakkan ke arah vertikal. Struma menjadi
terfiksir apabila sangat besar, keganasan yang sudah menembus kapsul, tiroiditis
dan sudah ada jaringan fibrosis setelah operasi. Untuk memeriksa struma yang
berasal dari satu lobus (misalnya lobus kiri penderita), maka dilakukan dengan jari
tangan kiri diletakkan di medial di bawah kartilago tiroid, lalu dorong benjolan
tersebut ke kanan. Kemudian ibujari tangan kanan diletakkan di permukaan
anterior benjolan. Keempat jari lainnya diletakkan pada tepi belakang muskulus
sternokleidomastoideus untuk meraba tepi lateral kelenjar tiroid tersebut 1,5.
Pada pemeriksaan fisik nodul harus dideskripsikan5:
1. lokasi: lobus kanan, lobus kiri, ismus
2. ukuran: dalam sentimeter, diameter panjang
3. jumlah nodul: satu (uninodosa) atau lebih dari satu (multinodosa)
4. konsistensi: kistik, lunak, kenyal, keras
5. nyeri: ada nyeri atau tidak pada saat dilakukan palpasi
6. mobilitas: ada atau tidak perlekatan terhadap trakea, muskulus
sternokleidomastoideus
7. pembesaran kelenjar getah bening di sekitar tiroid: ada atau tidak

c) Pemeriksaan Penunjang
Pemerikasaan penunjang yang digunakan dalam diagnosis penyakit tiroid
terbagi atas6:
1. Pemeriksaan laboratorium untuk mengukur fungsi tiroid: Pemerikasaan
hormon tiroid dan TSH paling sering menggunakan radioimmuno-assay (RIA)
dan cara enzyme-linked immuno-assay (ELISA) dalam serum atau plasma
darah. Pemeriksaan T4 total dikerjakan pada semua penderita penyakit tiroid,
kadar normal pada orang dewasa 60-150 nmol/L atau 50-120 ng/dL; T3 sangat
membantu untuk hipertiroidisme, kadar normal pada orang dewasa antara 1,0-
2,6 nmol/L atau 0,65-1,7 ng/dL; TSH sangat membantu untuk mengetahui
hipotiroidisme primer di mana basal TSH meningkat 6 mU/L. Kadang-kadang
meningkat sampai 3 kali normal.
2. Pemeriksaan laboratorium untuk menunjukkan penyebab gangguan tiroid:
Antibodi terhadap macam-macam antigen tiroid ditemukan pada serum
penderita dengan penyakit tiroid autoimun.
- antibodi tiroglobulin
- antibodi mikrosomal
- antibodi antigen koloid ke dua (CA2 antibodies)
- antibodi permukaan sel (cell surface antibody)
- thyroid stimulating hormone antibody (TSA)
3. Pemeriksaan radiologis dengan foto rontgen dapat memperjelas adanya
deviasi trakea, atau pembesaran struma retrosternal yang pada umumnya
secara klinis pun sudah bisa diduga. Foto rontgen leher posisi AP dan Lateral
diperlukan untuk evaluasi kondisi jalan nafas sehubungan dengan intubasi
anastesinya. Bahkan tidak jarang untuk konfirmasi diagnostik tersebut sampai
memerlukan CT-scan leher.
4. USG bermanfaat pada pemeriksaan tiroid untuk:
 menentukan jumlah nodul
 membedakan antara lesi tiroid padat dan kistik,
 mengukur volume dari nodul tiroid
 mendeteksi adanya jaringan kanker tiroid residif yang tidak
 Untuk mengetahui lokasi dengan tepat benjolan tiroid yang akan
dilakukan biopsi terarah
 Dapat dipakai sebagai pengamatan lanjut hasil pengobatan.
5. Pemeriksaan dengan sidik tiroid sama dengan uji tangkap tiroid, yaitu dengan
prinsip daerah dengan fungsi yang lebih aktif akan menangkap radioaktivitas
yang lebih tinggi. Metabolisme hormon tiroid sangat erat hubungannya
dengan yodium, sehingga dengan yodium yang dimuati bahan radioaktif kita
bisa mengamati aktivitas kelenjar tiroid maupun bentuk lesinya.
6. Pemeriksaan histopatologis dengan biopsi jarum halus (fine needle aspiration
biopsy FNAB) akurasinya 80%. Hal ini perlu diingat agar jangan sampai
menentukan terapi definitif hanya berdasarkan hasil FNAB saja.
7. Pemeriksaan potong beku (VC = Vries coupe) pada operasi tiroidektomi
diperlukan untuk meyakinkan bahwa nodul yang dioperasi tersebut suatu
keganasan atau bukan. Lesi tiroid atau sisa tiroid yang dilakukan VC
dilakukan pemeriksaan patologi anatomis untuk memastikan proses ganas atau
jinak serta mengetahui jenis kelainan histopatologis dari nodul tiroid dengan
parafin block.

d) Diagnosis
Dalam membuat diagnosis kerja pada penderita struma, maka hendaknya
bisa menyampaikan kondisi struma tersebut dari aspek morfologi, aspek fungsi,
dan kalau memang memungkinkan aspek histopatologinya. Dalam melakukan
diagnosis untuk penderita struma, usahakan untuk bisa mencantumkan diagnosis
mencakup ketiga aspek tersebut6.
Diagnosis struma nodosa non toksik ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, penilaian resiko keganasan, dan pemeriksaan penunjang.
Biasanya tiroid sudah mulai membesar pada usia muda dan berkembang menjadi
multinoduler pada saat dewasa. Struma multinodosa biasanya terjadi pada wanita
berusia lanjut dan perubahan yang terdapat pada kelenjar berupa hiperplasia
sampai bentuk involusi. Kebanyakan struma multinodosa dapat dihambat oleh
tiroksin. Sekitar 5 % dari struma nodosa mengalami keganasan. Tanda keganasan
ialah setiap perubahan bentuk, perdarahan lokal dan tanda penyusupan di kulit, n.
rekurens, trakea atau esofagus.6

e) Penatalaksanaan
Pilihan terapi nodul tiroid1:
a. Terapi supresi dengan hormon levotirosin
b. Pembedahan
c. Iodium radioaktif

a. Terapi Supresi dengan Hormon Levothyroxine


Terapi dengan Levothyroxine (LT4) kombinasi dengan serum TSH (<0.1
µIU/mL) masih dalam kontroversi. Tujuannya adalah untuk mengecilkan nodul
tiroid dan mencegah kembali munculnya nodul baru atau pertumbuhan kecil
massa yang serupa dengan nodul awal. Beberapa laporan menyebutkan
bahwa pengecilan nodul tiroid lebih sering terjadi pada penderita dengan
kombinasi terapi long-term-TSH di banding dengan penderita yang tanpa
kombinasi TSH. Lebih dari 50% kasus nodul dapat mengecil, tetapi jika hanya
dengan terapi Levothyroxine (LT4) saja maka persentase keberhasilannya hanya
20%.
Pemberian Levothyroxine (LT4) hendaknya setengah sampai satu jam
sebelum makan (kondisi lambung kosong) agar absorbsinya maksimal.
Disarankan agar minum tablet Levothyroxine (LT4) dengan menggunan segelas air
agar tablet lebih mudah larut dan mudah terserap. Jangan mengkonsumsi tablet
calcium, iron supplements, dan antasida karena akan menghambat absorbsi obat
Levothyroxine (LT4). Dosis maksimum yang diberikan adalah 400 microgram per
hari.
Saat ini, pengobatan Levothyroxine (LT4) secara rutin pada penderita
dengan nodule tiroid tidak direkomendasikan. Pengunaan Levothyroxine (LT4)
harus dihindari pada penderita: (1) dengan nodule yang besar (large nodule), (2)
pada kasus long-standing goiter, (3) jika level TSH <1 µIU/mL, (4) wanita post-
menopause, (5) penderita usia lebih dari 60 tahun, (6) penderita dengan
osteoporosis, (7) penderita dengan penyakit kardiovaskuler, dan (8) penderita
dengan systemic illness. Berikut ini adalah hal-hal penting lain yang perlu
diperhatikan terhadap penggunaan Levothyroxine (LT4), antara lain: Pengobatan
dengan Levothyroxine (LT4) hanya menunjukkan hasil klinis yang signifikan pada
minoritas jumlah penderita dan variasi respons-nya belum diketahui dengan baik.
Pengobatan dengan Levothyroxine (LT4) hendaknya tidak boleh terlalu
suppressive karena akan menimbulkan adverse effect. Jika nodul tiroid tidak
mengecil dengan pemberian Levothyroxine (LT4), tindakan reaspiration harus
segera dilakukan. Pengobatan dengan Levothyroxine (LT4) tidaklah berguna untuk
tindakan pencegahan recurrent goiter pasca tindakan lobectomy.

b. Pembedahan
Operasi tiroid (tiroidektomi) merupaka operasi bersih dan tergolong
operasi besar. Berapa luas kelenjar tiroid yang akan diambil tergantung
patologinya serta ada tidaknya penyebaran dari karsinomanya. Ada 6 macam
operasi, yaitu6:
1. Lobektomi subtotal; pengangkatan sebagian lobus tiroid yang
mengandung jaringan patologis
2. Lobektomi total (Hemitiroidektomi, ismolobektomi); pengangkatan satu
sisi lobus tiroid
3. Tiroidektomi subtotal; pengangkatan sebagian kelenjar tiroid yang
mengandung jaringan patologis,meliputi kedua lobus tiroid
4. Tiroidektomi near total; pengangkatan seluruh lobus tiroid yang
patologis berikut sebagian besar lobus kontralateralnya.
5. Tiroidektomi total; pengangkatan seluruh kelenjar tiroid
6. Operasi yang sifatnya ”extended”:
a. Tiroidektomi total + laringektomi total
b. Tiroidektomi total + reseksi trakea
c. Tiroidektomi total + sternotomi
d. Tiroidektomi total + FND atau RND
Indikasi operasi pada struma adalah6:
a. struma difus toksik yang gagal dengan terapi medikamentosa
b. struma uni atau multinodosa dengan kemungkinan keganasan
c. struma dengan gangguan tekanan
d. kosmetik.
Kontraindikasi operasi pada struma6:
a. struma toksika yang belum dipersiapkan sebelumnya
b. struma dengan dekompensasi kordis dan penyakit sistemik yang lain yang
belum terkontrol
c. struma besar yang melekat erat ke jaringan leher sehingga sulit digerakkan
yang biasanya karena karsinoma. Karsinoma yang demikian biasanya
sering dari tipe anaplastik yang jelek prognosanya. Perlekatan pada trakea
ataupun laring dapat sekaligus dilakukan reseksi trakea atau laringektomi,
tetapi perlekatan dengan jaringan lunak leher yang luas sulit dilakukan
eksisi yang baik.
d. struma yang disertai dengan sindrom vena kava superior. Biasanya karena
metastase luas ke mediastinum, sukar eksisinya biarpun telah dilakukan
sternotomi, dan bila dipaksakan akan memberikan mortalitas yang tinggi
dan sering hasilnya tidak radikal

c. Terapi dengan Iodium Radioaktif (Radioiodine 131)


Pengobatan dengan radioiodine 131 diindikasikan untuk: (1) small goiter
(volume <100 mL), (2) tanpa ada kecurigaan malignancy, (3) penderita dengan
riwayat operasi sebelumnya, (4) penderita dengan resiko tindakan bedah6.
Jika penderita mempunyai lesi nodul yang besar maka ia akan
membutuhkan radioiodine dalam jumlah banyak dan hal ini dapat menyebabkan
terjadinya efek resiten terhadap terapi. Satu satunya kontra indikasi prosedur ini
adalah kehamilan dan laktasi, yang bisa dideteksi segera dengan tes kehamilan
pada penderita6.
Terapi dengan radioiodine berhasil pada 85% - 100% penderita tiroid
nodul. Masa nodul dapat mengecil sebesar 35% setelah tiga bulan, bahkan
mengecil sampai 45% setelah 24 bulan terapi). Pengobatan ini efektif dan aman,
meskipun penelitian lain melaporkan bahwa pengunaan dosis tinggi dapat
menyebabkan thyroid cancer, leukemia; namun demikian, studi epidemiologi
tidak menunjukkan efek klinis yang signifikan terhadap timbulnya carcinoma dan
leukemia6.
Penggunaan high-iodine-content-drugs (misalnya: amiodarone) hendaknya
dihindari sebelum melakukan prosedur terapi dengan radioiodine, agar tidak
mempengaruhi thyroid radioiodine uptake. Jika mungkin, obat anti-tiroid
hendaknya distop tiga mingu sebelim prosedur pengobatan, dan tidak boleh
diberikan selama 3-5 hari pasca prosedur terapi dengan radioiodine, untuk
mencegah menurunnya efektifitas terapi.
Jumlah radioiodine yang dipergunakan secara fixed adalah 300 – 1800
MBq, dosis ini tanpa mempertimbangkan ukuran nodul. Sehinga prosedur ini
simple, murah, dan hasilnya memuaskan. Prosedur ini dibilang berhasil jika nilai
TSH mecapai 0,5 µIU/mL. Jika kondisi ini belum tercapai, maka terapi dapat
diulang setelah 3 sampai 6 bulan6.

f) Komplikasi
Pada tindakan operasi tiroidektomi, bisa dijumpai komplikasi awal dan
lanjut. Disamping itu ada pula yang membagi komplikasi yang terjadi dalam
metabolik dan non metabolik. Komplikasi awal antara lain3:
a. perdarahan
b. paralise n. laringeus rekuren, paralise n. rekuren superior
c. trakeomalasia
d. infeksi
e. tetani hipokalsemia
f. krisis tiroid (thyroid storm)
Sedangkan komplikasi lanjut berupa:
a. keloid;
b. hipotiroiditi;
c. hipertiroiditi yang kambuh

g) Diagnosis Banding4
1. Tiroiditis Hashimoto
2. Limpoma tiroid
3. Nodul tiroid
4. Tiroiditis subakut
DAFTAR PUSTAKA

1. Sarah T. Tallane, Alwin Monoarfa, P. A. V Wowiling.


2016. “Profil struma non toksik pada pasien di RSUP
Prof.Dr. R. D. Kandou Manado periode Juli 2014-Juni
2016”. Jurnal e-Clinic (eCl), Volume 4, Nomor 2, Juli-
Desember 2016
2. Wayan Armerinayanti, Ni. 2016. “Goiter Sebagai Faktor
Predisposisi Karsinoma Tiroid”. WMJ (Warmadewa Medical
Journal), Vol. 1 No. 2 November 2016, Hal. 42-50
3. Fadi M. Alkabban, Bhupendra, C. Patel. 2020. “Nontoxic
Goiter”. StatPearls :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK482274/. Diakses :
14 Maret 2022.
4. Irawan K, Iwan. 2019. “ Pembedahan pada Kelainan Tiroid”.
Pertemuan Ilmia Tahunan (PIT) Ikatan Dokter Indonesia
Cabang Jakrta Utara 24 Agustus 2019.
http://www.idijakut.org/wp-content/uploads/2019/08/dr.-.
Diakses 14 Maret 2022.
5. Pramudita, N., B. K. Anak Agung Gede. 2021. “Diagnosis
dan penatalaksanaan nodul tiroid tunggal: Sebuah laporan
kasus”. Intisari Sains Medis 2021, Volume 12, Number 3:
677-681
6. Dhaval B. T, Satish D. D, Murtuza A. 2018. “ Nontoxic
goiter: causes, clinical evaluation and management”. DOI:
http://dx.doi.org/10.18203/2349-2902.isj20181600

Anda mungkin juga menyukai