Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN

CLOSED FRAKTUR BILATERAL RAMUS PUBIS SUPERIOR INFERIOR


DI RUANG PERAWATAN BEDAH ORTHOPEDI
DI RS WAHIDIN SUDIROHUSODO TAHUN 2019

Nama Mahasiswa : Sakina


Nim : R014191049

PRESEPTOR LAHAN PRESEPTOR INSTITUSI

[ ] [Titi Iswanti, S.Kep.,Ns.,M.Kep.,Sp.Kep.M.B]

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019
BAB I
KONSEP MEDIS
A. Definisi
Fraktur adalah hilangnya kontinuitas jaringan tulang, tulang rawan
epifisis dan atau tulang rawan sendi baik yang bersifat total maupun yang parsial.
Fraktur dapat terjadi akibat peristiwa trauma tunggal, tekanan yang berulang-
ulang, atau kelemahan abnormal pada tulang (fraktur patologik). Sebagian besar
fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba dan berlebihan, yang dapat
berupa pemukulan, penghancuran, penekukan, pemuntiran, atau penarikan.
Fraktur dapat disebabkan trauma langsung atau tidak langsung. Trauma langsung
berarti benturan pada tulang dan mengakibatkan fraktur di tempat itu. Trauma
tidak langsung bila titik tumpu benturan dengan terjadinya fraktur berjauhan
Fraktur pelvis berhubungan dengan injuri arteri mayor, saluran kemih
bagian bawah, uterus, testis, anorektal dinding abdomen, dan tulang belakang.
Dapat menyebabkan hemoragic (pelvis dapat menahan sebanyak ±4 liter darah)
dan umumnya timbul manifestasi klinis seperti hipotensi, nyeri dengan
penekanan pada ramus pubis , perdarahan peritoneum atau saluran kemih.
Fraktur pelvis merupakan cedera yang membahayakan jiwa. Perdarahan
luas sehubungan dengan fraktur ramus pubis relatif umum namun terutama lazim
dengan fraktur berkekuatan-tinggi. Kira-kira 15–30% pasien dengan cedera
ramus pubis berkekuatan-tinggi tidak stabil secara hemodinamik, yang mungkin
secara langsung dihubungkan dengan hilangnya darah dari cedera pelvis.
Perdarahan merupakan penyebab utama kematian pada pasien dengan fraktur
ramus pubis, dengan keseluruhan angka kematian antara 6-35% (Buce, 2009).
B. Etiologi 4
1. Trauma langsung: benturan pada tulang dan mengakibatkan fraktur pada
tempat tersebut.
2. Trauma tidak langsung: bilamana titik tumpul benturan dengan terjadinya
fraktur berjauhan.
3. Proses penyakit: kanker dan riketsia.
4. Compresion force: klien yang melompat dari tempat ketinggian dapat
mengakibatkan fraktur kompresi tulang.
5. Muscle (otot): akibat injuri/sakit terjadi regangan otot yang kuat sehingga
dapat menyebabkan fraktur (misal; elektrik shock dan tetani).

C. Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas
untuk menahan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang
dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan
rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. Setelah terjadi fraktur, periosteum
dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang
membungkus tulang rusak.
Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di
rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang
patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon
inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan
infiltrasi sel darah putih. Hal inilah yang merupakan dasar dari proses
penyembuhan tulang nantinya.
Trauma biasanya terjadi secara langsung pada panggul karena tekanan yang
besar atau karena jatuh dari ketinggian. Pada orang tua dengan osteoporosis dan
osteomalasia dapat terjadi fraktur stress pada ramus pubis.
D. Klasifikasi
Klasifikasi Menurut Marvin Tile disruption of pelvic ring dibagi :
1. Stable (Tipe A)
Fraktur Tipe A : pasien tidak mengalami syok berat tetapi merasa nyeri bila
berusaha berjalan. Terdapat nyeri tekan lokal tetapi jarang terdapat kerusakan
pada visera pelvis
2. Unstable (Tipe B)
3. Miscellaneous (Tipe C)
Fraktur Tipe B dan C: pasien mengalami syok berat, sangat nyeri dan tidak dapat
berdiri, serta juga tidak dapat kencing. Kadang – kadang terdapat darah di meatus
eksternus. Nyeri tekan dapat bersifat lokal tetapi sering meluas, dan jika
menggerakkan satu atau kedua ala ossis ilium akan sangat nyeri.
E. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas,
pemendekan ekstremitas, krepitasi, pembengkakan lokal dan perubahan warna
(Wim de Jong, 2011).
1. Nyeri terus menerus dan bertambah berat sampai fragmen tulang
diimobilisasi.
2. Pergeseran fragmen tulang menyebabkan deformitas tulang yang bisa
diketahui dengan membandingkan dengan bagian yang normal.
3. Pemendekan tulang yang disebabkan karena kontraksi otot yang melekat
diatas maupun dibawah tempat fraktur.
4. Pada pemeriksaan palpasi ditemukan adanya krepitasi akibat gesekan antara
fragmen satu dengan yang lainnya.
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal kulit terjadi sebagai akibat trauma
dan perdarahan yang mengikuti fraktur.

Manifestasi klinis yang dapat ditemukan pada fraktur pelvis menurut Sheehy
(2018) diantaranya yaitu :
1. Pelvis Fraktur Stabil
Nyeri dengan kompresi, pergeseran tulang pelvis, patahan cincin pada 1
titik, dan energi kekuatan renda (jatuh dari berdiri khususnya pada lansia)
2. Pelvis Fraktur Tidak stabil :
Mengancam jiwa,dapat melibatkan gangguan vaskuler,cedera viseral,
patahan cincin pada 2 atau lebih tempat, dan energi kekuatan tinggi
misalnya pada kecelakaan kendaraan bermotor
F. Komplikasi
Komplikasi fraktur pelvis menurut Smeltzer & Bare (2013) dibagi menjadi 2
yaitu:
1. Komplikasi segera
a. Trombosis vena ilio femoral : sering ditemukan dan sangat berbahaya.
Berikan antikoagulan secara rutin untuk profilaktik.
b. Robekan kandung kemih : terjadi apabila ada disrupsi simfisis pubis atau
tusukan dari bagian tulang panggul yang tajam.
c. Robekan uretra : terjadi karena adanya disrupsi simfisis pubis pada daerah
uretra pars membranosa.
d. Trauma rektum dan vagina
e. Trauma pembuluh darah besar yang akan menyebabkan perdarahan masif
sampai syok.
f. Trauma pada saraf :
1) Lesi saraf skiatik : dapat terjadi pada saat trauma atau pada saat operasi.
Apabila dalam jangka waktu 6 minggu tidak ada perbaikan, maka
sebaiknya dilakukan eksplorasi.
2) Lesi pleksus lumbosakralis : biasanya terjadi pada fraktur sakrum yang
bersifat vertikal disertai pergeseran. Dapat pula terjadi gangguan fungsi
seksual apabila mengenai pusat saraf.
2. Komplikasi lanjut
a. Pembentukan tulang heterotrofik : biasanya terjadi setelah suatu trauma
jaringan lunak yang hebat atau setelah suatu diseksi operasi. Berikan
Indometacin sebagai profilaksis.
b. Nekrosis avaskuler : dapat terjadi pada kaput femur beberapa waktu setelah
trauma.
c. Gangguan pergerakan sendi serta osteoartritis sekunder : apabila terjadi
fraktur pada daerah asetabulum dan tidak dilakukan reduksi yang akurat,
sedangkan sendi ini menopang berat badan, maka akan terjadi
ketidaksesuaian sendi yang akan memberikan gangguan pergerakan serta
osteoartritis dikemudian hari.
d. Skoliosis kompensator

G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan radiologis:
a. Setiap penderita trauma panggul harus dilakukan pemeriksaan radiologis
dengan prioritas pemeriksaan rongent posisi AP.
b. Pemeriksaan rongent posisi lain yaitu oblik, rotasi interna dan eksterna bila
keadaan umum memungkinkan
2. Pemeriksaan urologis dan lainnya:
a. Kateterisasi
b. Ureterogram
c. Sistogram retrograd dan postvoiding
d. Pielogram intravena
e. Aspirasi diagnostik dengan lavase peritonea

H. Penatalaksanaan
Selama pengkajian primer dan resusitasi, sangat penting untuk mengontrol
perdarahan yang diakibatkan oleh trauma muskuloskeletal. Perdarahan dari patah
tulang panjang dapat menjadi penyebab terjadinya syok hipovolemik. Pasien
dievaluasi dengan seksama dan lengkap. Ekstremitas sebisa mungkin jangan
digerakkan untuk mencegah kerusakan soft tissue pada area yang cedera.
Prinsip penanganan fraktur adalah mengembalikan posisi patahan tulang ke
posisi semula (reposisi) dan mempertahankan posisi itu selama
masa penyembuhan patah tulang (imobilisasi) (Wim de Jong, 2011).
a) Reposisi
Tindakan reposisi dengan cara manipulasi diikuti dengan imobilisasi
dilakukan pada fraktur dengan dislokasi fragmen yang berarti seperti
pada fraktur radius distal. Reposisi dengan traksi dilakukan terus-
menerus selama masa tertentu, misalnya beberapa minggu,
kemudian diikuti dengan imobilisasi. Tindakan ini dilakukan pada
fraktur yang bila direposisi secara manipulasi akan terdislokasi
kembali dalam gips. Cara ini dilakukan pada fraktur dengan otot yang
kuat, misalnya fraktur femur. Reposisi dilakukan secara non-operatif
diikuti dengan pemasangan fiksator tulang secara operatif, misalnya
reposisi patah tulang pada fraktur kolum femur. Fragmen direposisi
secara non-operatif dengan meja traksi, setelah tereposisi, dilakukan
pemasangan prosthesis secara operatif pada kolum femur. Reposisi
diikuti dengan imobilisasi dengan fiksasi luar (ORIF) dilakukan untuk
fiksasi fragmen patahan tulang, dimana digunakan pin baja yang
ditusukkan pada fragmen tulang, kemudian pin baja disatukan secara
kokoh dengan batangan logam di kulit luar. Beberapa indikasi
pemasangan fiksasi luar antara lain fraktur dengan rusaknya jaringan
lunak yang berat (termasuk fraktur terbuka), dimana pemasangan
internal fiksasi terlalu berisiko untuk terjadi infeksi, atau
diperlukannya akses berulang terhadap luka fraktur di sekitar sendi
yang cocok untuk internal fiksasi namun jaringan lunak terlalu
bengkak untuk operasi yang aman, pasien dengan cedera multiple yang
berat, fraktur tulang panggul dengan perdarahan hebat, atau yang
terkait dengan cedera kepala, fraktur dengan infeksi.
Prinsip penanganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi, dan
pengembalian fungsi serta kekuatan normal dengan rehabilitasi (Wim de
Jong, 2011).
a) Reduksi fraktur
Reduksi fraktur berarti mengembalikan fragmen tulang pada
kesejajaran dan rotasi anatomis. Reduksi bisa dilakukan secara
tertutup, terbuka dan traksi tergantung pada sifat fraktur namun prinsip
yang mendasarinya tetap sama.
 Reduksi tertutup
Reduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragmen
tulang kembali keposisinya dengan manipulasi dan traksi manual
 Reduksi terbuka
Reduksi terbuka dilakukan pada fraktur yang memerlukan
pendekatan bedah dengan menggunakan alat fiksasi interna dalam
bentuk pin, kawat, plat sekrew digunakan untuk mempertahankan
fragmen tulang dalam posisinya sampai penyembuhan solid terjadi.
 Traksi
Traksi digunakan untuk reduksi dan imobilisasi. Traksi adalah
pemasangan gaya tarikan ke bagian tubuh untuk meminimalisasi
spasme otot, mereduksi, mensejajarkan, serta mengurangi
deformitas. Jenis – jenis traksi meliputi:
 Traksi kulit : Buck traction, Russel traction, Dunlop traction
 Traksi skelet: traksi skelet dipasang langsung pada tulang
dengan menggunakan pin metal atau kawat. Beban yang
digunakan pada traksi skeletal 7 kilogram sampai 12 kilogram
untuk mencapai efek traksi.
b) Imobilisasi fraktur
Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi,
atau dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai
terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi interna
atau eksterna. Fiksasi eksterna dapat menggunakan pembalutan, gips,
bidai, traksi kontinu pin dan teknik gips. Fiksator interna dengan
implant logam.
c) Mempertahankan dan mengembalikan fungsi
Latihan otot dilakukan untuk meminimalkan atrofi dan
meningkatkan peredaran darah. Partisipasi dalam aktifitas sehari-hari
diusahakan untuk memperbaiki kemandirian fungsi dan harga diri.
Penatalaksanaan fraktur pelvis
1. Tindakan operatif bila ditemukan kerusakan alat – alat dalam rongga
panggul
2. Stabilisasi fraktur panggul, misalnya:
a. Fraktur avulsi atau stabil diatasi dengan pengobatan konservatif seperti
istirahat, traksi, pelvic sling
b. Fraktur tidak stabil diatasi dengan fiksasi eksterna atau dengan operasi
yang dikembangkan oleh grup ASIF
Berdasarkan klasifikasi Tile:
1. Fraktur Tipe A: hanya membutuhkan istirahat ditempat tidur yang
dikombinasikan dengan traksi tungkai bawah. Dalam 4-6 minggu pasien
akan lebih nyaman dan bisa menggunakan penopang.
2. Fraktur Tipe B:
a. Fraktur tipe open book
Jika celah kurang dari 2.5cm, diterapi dengan cara beristirahat
ditempat tidur, kain gendongan posterior atau korset elastis. Jika celah
lebih dari 2.5cm dapat ditutup dengan membaringkan pasien dengan
cara miring dan menekan ala ossis ilii menggunakan fiksasi luar
dengan pen pada kedua ala ossis ilii.
b. Fraktur tipe close book
Beristirahat ditempat tidur selama sekitar 6 minggu tanpa
fiksasi apapun bisa dilakukan, akan tetapi bila ada perbedaan panjang
kaki melebihi 1.5cm atau terdapat deformitas pelvis yang nyata maka
perlu dilakukan reduksi dengan menggunakan pen pada krista iliaka.
3. Fraktur Tipe C
Sangat berbahaya dan sulit diterapi. Dapat dilakukan reduksi dengan
traksi kerangka yang dikombinasikan fiksator luar dan perlu istirahat
ditempat tidur sekurang – kurangnya 10 minggu. Kalau reduksi belum
tercapai, maka dilakukan reduksi secara terbuka dan mengikatnya dengan
satu atau lebih plat kompresi dinamis.

BAB II
KONSEP KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
1. Anamnesis
a. Identitas klien, meliputi nama, jenis kelamin, usia, alamat, agama, status
perkawinan, pendidikan, pekerjaan, golongan darah, nomor register,
tanggal dan jam masuk rumah sakit (MRS) dan diagnose medis. Pada
umumnya, keluhan utama pada kasus fraktur fradius adalah rasa nyeri.
Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap mengenai rasa nyeri klien,
perawat dapat menggunakkan PQRST.
1) Provoking Incident: faktor prespitasi nyeri
2) Quality of pain: kualitas nyeri yang dirasakan pasien (tertusuk atau
tumpul , dll)
3) Region, Radiation, Relief: lokasi nyeri yang dirasakan
4) Severity (scale) of pain: secara subyektif, nyeri yang dirasakan klien
pada rentang skala pengukuran 0-10 (NRS) numeric ratting scale
5) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah
buruk pada malam hari atau siang hari.
b. Riwayat penyakit sekarang
Kaji kronologi terjadinya trauma, yang menyebabkan patah tulang,
pertolongan apa yang telah didapatkan. Dengan mengetahui mekanisme
terjadinya kecelakaan yang lain.
c. Riwayat penyakit dahulu
Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget
menyebabkan fraktur patologis sehingga tulang sulit menyambung.
Selain itu, klien diabetes dengan luka di kaki sangat berisiko mengalami
osteomilitis akut dan kronis dan penyakit diabetes menghambat proses
penyembuhan tulang.
d. Riwayat penyakit keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan patah tulang adalah factor
predisposisi terjadinya fraktur, seperti asteoporosis yang sering terjadi
pada keturunan dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara
genetik.
e. Riwayat psikososial-spiritual: kaji respon emosi klien terhadap
penyakitnya, peran klien dalam keluarganya dan masyarakat. Serta
respon atau pengaruh terhadap kehidupan sehari-hari, dalam keluarga
dan masyarakat.
f. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat yang meliputi: kebiasaan
hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu
metabolism kalsium, pengkonsumsi alkohol yang dapat mengganggu
keseimbangan klien, melakukan olah raga atau tidak.
g. Pola persepsi dan konsep diri
Dampak yang timbul ketakutan akan kecacatan akibat fraktur yang
dialaminya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan
aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah
(gangguan citra diri).
h. Pola sensori dan kognitif: daya raba berkurang terutama bagian distal
fraktur, timbul nyeri akibat fraktur.
i. Pola penanggulangan stress: mekanisme koping yang ditempuh klien
dapat tidak efektif.
j. Pola tata nilai dan keyakinan: klien fraktur tidak dapat melaksanakan
ibadah dengan baik dalam konsentrasi dan frekuensi dalam beribadah.
Hal ini dapat disebabkan oleh nyeri dan keterbatasan gerak klien.
2. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum: Kesadararan klien,keadaan penyakit,dan tanda-tanda
vital.
b. B1 (Breathing): pemeriksaan pada system pernafasan,seperti palpasi
toraks,dan auskultasi suara nafas tambahan.
c. B2 (Blood): Inspeksi tidak ada iktus jantung, palpasi nadi meningkat,
auskultasi suara S1 dan S2 tunggal tidak ada murmur.
d. B3 (Brain): tingkat kesadaran biasanya komposmentis.
1) Kepala: simetris,normasefalik,tidak ada penonjolan dan sakit
kepala.
2) Leher: sismetris,refleks menelan ada,tidak ada penonjolan.
3) Wajah: tampak menahan sakit,simetris,tidak ada lesi,edema dan
perubahan bentuk.
4) Mata: konjungtiva tidak anemis pada pasien fraktur tertutup dan
anemis terlihat pada pasien fraktur terbuka akibat perdarahan.
5) Telinga: keadaan normal pada tes bisik dan weber,tidak ada lesi dan
nyeri tekan.
6) Hidung: tidak ada deformitas dan pernafasan cuping hidung.
7) Mulut dan faring: tidak ada pembesaran tonsil,gusi
berdarah,mukosa tidak pucat.
e. Pemeriksaan fungsi serebral: tidak mengalami perubahan baik
penampilan dan tingkah laku.
f. Pemeriksaan saraf kranial:
1) Saraf I: Tidak ada kelainan
2) Saraf II: Ketajaman penglihatan normal
3) Saraf III, IV dan VI: Tidak ada gangguan
4) Saraf V: Tidak mengalami paralisis otot wajah dan refleks kornea
normal.
5) Saraf VII: Wajah simetris dan pengecapan normal.
6) Saraf VIII: Tidak ada tuli konduktif dan tuli persepsi.
7) Saraf IX dan X: Menelan baik.
8) Saraf XI: Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan
trapezius.
9) Saraf XII: Lidah simetris, pengecapan normal, tidak ada deviasi
pada satu sisi dan fasikulasi.
g. Pemeriksaan refleks: refleks patologis tidak ada.
h. Pemeriksaan sensorik: daya raba berkurang, nyeri dan indra lain serta
kognitif normal.
i. B4 (Bladder): kaji keadaan dan jenis urine.
j. B5 (Bowel): Inspeksi, palpasi, auskultasi abdomen, tidak ada hernia,
pembesaran limfe, kesulitan BAB, kaji pola nutrisi, metabolism dan
pola eliminasi.
k. B6 (Bone): Fungsi motoric, sensorik, peredaran darah terganggu.
l. Look: kaji system integument, neuromuscular, pembengkakan,
deformits dan adanya sindrom kompertemen.
m. Feel: kaji adanya nyeri dan krepitasi pada lengan bawah.
n. Move: menggerakkan ekstremitas catat ada nyeri pada pergerakan. Pola
aktivitas dan pola tidur serta istirahat.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Risiko syok terkait hipovolemik
2. Nyeri akut berhubungan dengan keparahan cedera fisik: fraktur pelvis
3. Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan trauma vaskuler, prosedur
bedah
4. Konstipasi berhubungan dengan kelemahan otot abdomen
5. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan musculoskeletal:
fraktur
6. Resiko Infeksi
7. Ansietas berhubungan dengan krisis situasional, ancaman kematian
C. RENCANA/ INTERVENSI KEPERAWATAN
Rencana asuhan keperawatan dan kriteria hasil berdasarkan Moorhead, Jhonson, Maas, & Swanson
(2013). dan Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, (2013) adalah sebagai berikut:
No DIAGNOSA TUJUAN DAN KRITERIA HASIL INTERVENSI KEPERAWATAN
KEPERAWATAN (NOC) (NIC)
1 Risiko syok terkait Keparahn syok: hipovolemik Pencegahan syok
hipovolemik Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Monitor status sirkulasi BP, warna kulit, suhu
selama 3x24 jam diharapkan tidak tejadi syok kulit, denyut jantung, HR, dan ritme, nadi
teratasi dengan kriteria hasil: perifer, dan kapiler refill
1. Nadi dalam batas 2. Monitor tanda inadekuat oksigenasi jaringan
2. Irama jantung teratur 3. Monitor suhu dan pernafasan
3. Frekuensi nafas normal dan teratur 4. Monitor input dan output
4. Natrium serum, Kalium serum, Klorida 5. Pantau nilai laborat :HB, HT, AGD, dan
serum, kalsium serum, magnesium elektrolit
serum, dan pH darah serum dalam batas 6. Monitor hemodinamik invasi yang sesuai
normal 7. Monitor tanda dan gejala asites
5. Hidrasi baik dengan indikator : 8. Monitor tanda awal syok
a. Mata cekung tidak ditemukan 9. Tempatkan pasien pada posisi supine, kaki
b. suhu tubuh dalam rentang normal elevasi untuk peningkatan preload (tenaga
c. Tekanan darah dalam batas normal yang menyebabkan otot ventrikel meregang
d. Hematokrit dalam batas normal sebelum mengalami eksitasi dan kontriksi)
dengan tepat
2 Nyeri b.d agens cedera fisik: Setelah dilakukan intervensi selama 3x24 Manjemen lingkungan:kenyamanan
Fraktur Pelvis jam nyeri berkurang atau teratasi dengan 1. Ciptakan lingkungan yang tenang dan
kriteria hasil: mendukung
klien dapat 2. Sesuaikan suhu lingkungan yang nyaman
1. Mengenali kapan terjadi nyeri untuk pasien
2. Mengenali faktor penyebab nyeri 3. Sesuaikan pencahaan ruangan untuk
3. Melaporkan nyeri terkontrol membantu klien dalam beraktivitas
4. Melaporkan jika mengalami nyeri 4. Fasilitasi tindakan kebersihan untuk
5. Mengambil tindakan untuk mengurangi kenyamanan individu.
nyeri 5. berikan edukasi kepada keluarga terkait
6. Melakukan manajemen nyeri sesuai manajemen penyakit
dengan keyakinan budaya Pengaturan posisi
7. Mengatasi gangguan hubungan 1. Berikan posisi yang tidak menyebabkan nyeri
interpersonal bertambah
8. Menikmati hidup 2. Tinggikan kepala tempat tidur
9. Mengatasi ketakutan terhadap nyeri yang 3. Posisikan pasien ntuk meningkatkan drainase
tidak bisa ditahan urin
10. Lesi pada kulit dan membran mukosa 4. Meminimalisir gesekan dan cedera ketikan
berkurang memposisikan atau membalikkan tubuh pasien
11. Suhu tubuh dalam batas normal 5. Jangan berikan posisi yang dapat
12. Kulit wajah tidak pucat menyebabkan penekananpada luka.
13. Peradangan pada luka berkurang
Terapi relaksasi
14. Terdapat jaringan granulasi
1. minta klien untuk rileks
2. gambarkan rasionalisasi dan manfaat relaksasi
serta jenis relaksasi yang tersebut. (....)
3. ajarkan teknik relaksasi napas dalam
4. Ciptakan lingkungan yang tenang
5. Berikan waktu yang tidak terganggu
Pemijatan
1. Kaji keinginan klien untuk dilakukan
pemijatan
2. Cuci tangan dengan air hangat
3. Gunakan lotion, minyak hangat, bedak kering
4. Pijat secara terus-menerus, halus, usapan yang
panjang, meremas, atau getakan di telapak
kaki
5. Sesuaikan area pemijatan, teknik dan tekanan
sesuai persepsi kenyamanan pasien.
6. Dorong klien melakukan nafas dalam dan
rileks selama pemijatan.
Pemberian obat
1. Kaji adanya riwayat alergi terhadap obat
tertentu
2. Pastikan mengikuti prinsip 6 benar pemberian
obat
3. Cek tanggal kadaluarsa obat
Monitor respon klien
3 Konstipasi berhubungan Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Monitor tanda dan gejala konstipasi
dengan Kelemahan abdomen selama 3x24 jam diharapkan konstipasi 2. Identifikasi penyebab konstipasi (tirah baring
teratasi dengan kriteria hasil: lama dan pengobatab).
a. mempertahankan bentuk feses lunak 3. Lakukan enema atau pemberian farmakologi
setiap 1-3 hari via rektal
4. Masage abdomen
b. bebas dari ketidaknyaman dan
konstipasi
c. mengidentifikasi indikator untuk
mencegah konstipasi
d. feses lunak dan berbentuk
4 Kerusakan integritas jaringan Setelah dilakukan asuhan keperawatan 1. Jaga kulit agar tetap bersih
berhubungan dengan trauma selama 3x24 jam Kerusakan integritas 2. Monitor kulit akan adanya kemerahan
vaskuler, prosedur bedah jaringan tertasi. Dengan kriteria hasil (NOC): 3. Oleskan minya/ baby oil pada area tekanan
4. Monitor nutrisi pasien
a. Perfusi jaringan normal
5. Observasi luka : lokasi dimensi, warna cairan,
b. Tidak ada tanda infeksi
c. Ketebalan dan tekstur jaringan normal granulasi, jaringan nekrotik, tanda-tanda
d. Menunjukkan proses penyembuhan luka infeksi lokal
6. Ajarkan keluarga tentang perawatan luka
sederhana
5 Hambatan mobilitas fisik Setelah dilakukan asuhan keperawatan Exercise therapy : ambulation
berhubungan dengan selama 3x24 jam Hambatan mobilitas fisik 1. monitoring vital sign sebelum/sesudah latihan
gangguan musculoskeletal: dapat tertasi secara bertahap. Dengan kriteria dan liat respon pasien saat latihan
fraktur hasil (NOC): 2. Konsultasikan dengan terapi fisik tentang
rencana ambulasi sesuai dengan kebutuhan
 Exercise therapy : ambulation 3. Bantu klien menggunakan tongkat saat berjalan
 Pergerakan sendi : pasif dengan cegah terhadap cedera
 Pergerakan sendi : siku 4. Ajarkan pasien atau tenaga kesehatan lain
Kriteria Hasil: tentang teknik ambulasi
5. Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi
1. Klien meningkat dalam aktivitas fisik
6. Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan ada
2. Mengerti tujuan dari peningkatan
secara mandiri sesuai kemampuan
mobilitas
7. Berikan alat bantu jika klien memerlukan
3. Memverbalisasikan perasaan dalam
8. Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan
meningkatkan kekuatan dan kemampuan
berikan bantuan jika diperlukan
berpindah
Terapi Latihan: Kontrol Otot
4. Memperagakan penggunaan alat
5. Bantu untuk mobilisasi 1. Libatkan keluarga dalam setiap latihan otot
2. Berikan instruksi yang dilakukan pada pasien
Pergerakan sendi : pasif
mengenai cara yang tepat dalam melakukan
1. Melakukan pergerakan pada bagian
latihan untuk meminimalkan cedera dan
leher, jari-jari, pergelangan tangan, siku,
memaksimalkan efeknya
bahu, pergelangan kaki, lutut, panggul
3. Instruksikan pasien untuk mengulangi gerakan
Pergerakan sendi : siku dan lutut
setiap kali latihan selesai
1. Melakukan ROM aktif pada siku dengan 4. Lakukan latihan ROM pasif atau ROM dengan
gerakan fleksi 1600, ekstensi 00, supinasi bantuan, sesuai indikasi
900, pronasi 900 5. Bantu untuk melakukan pergerakan sendi yang
2. Malakukan ROM aktif pada lutut dengan ritmis dan teratur sesuai kadar nyei yang bisa
gerakan fleksi dan ekstensi lutut. ditoleransi, ketahanan dan pergerakan sendi
Peningkatan latihan : latihan kekuatan
1. Lakukan skrining kesehatan sebelum memulai
latihan untuk mengidentifikasi risiko yang
mungkin terjadi
2. Dapatkan persetujuan medis untuk melakukan
latihan
3. Berikan informasi mengenai fungsi otot dan
latihan yang akan dilakukan
4. Tentukan tingkat kebugaran otot
5. Bantu mengembangkan cara meminimalkan
efek prosedur, emosi, tingkah laku, atau
hambatan kenyamanan terhadap latihan
6. Gunakan gerakan yang resiprokal (berlawanan)
untuk mencega cedera
7. Instruksikan untuk beristirahat jika merasa lelah
8. Spesifikkan frekuensi latihan dan jumlah
pengulangan
Pengaturan posisi
1. Tempatkan pasien pada tempat tidur terapeutik
dan lembut, misalnya kasur decubitus
2. Dorong pasien untuk terlibat dalam perubahan
posisi
3. Monitor status oksigenasi sebelum dan setelah
perubahan posisi
4. Posisikan pasien sesuai kesejajaran tubuh yang
tepat
5. Posisikan pasien untuk mengurangi dyspnea,
misalnya posisi semifowler
6. Dorong latihan ROM aktif dan ROM pasif
7. Sokong leher dengan tepat untk menghindari
trauma semakin berat
8. Jangan memposisikan pasien apabila berpotensi
nyeri
9. Minimalisir cedera dan gesekan ketika
memposisikan dan membalikkan tubuh pasien
10. Jangan memposisikan pasien dengan penekanan
pada luka

6 Resiko infeksi 1. Kep Kontrol infeksi


arahan infeksi 1. B
2. Stat ersihkan lingkungan dengan baik setelah
us nutrisi digunakan untuk pasien
3. Stat 2. G
us nutrisi: asupan nutrisi anti peralatan per pasien sesuai protocol
4. Kon 3. B
trol risiko atasi jumlah pengunjung
Setelah dilakukan intervensi selama 3x24 4. A
jam risiko infeksi berkurang atau teratasi jarkan cara cuci tangan dengan tepat pada
dengan kriteria hasil: pasien dan keluarga
Klien dapat : 5. A
Keparahan infeksi njurkan pengunjung mencuci tangan sebelum
1. Kemerahan tidak ada memasuki dan setelah meninggalkan ruangan
2. Cairan luka yang bau tidak ada pasien
3. Demam tidak ada 6. P
4. Nyeri tidak ada akai sarung tangan steril dengan tepat
5. Peningkatan jumlah sel darah putih 7. Ja
ga lingkungan aseptic yang optimal
8. B
Status nutrisi
erikan terapi atibiotik yag sesuai
1. Asupan gizi normal
2. Asupan makanan normal Perlindungan infeksi
3. Asupan cairan normal 1.
Status nutrisi Monitor adanya tanda dan gejala infeksi
1. Asupan kalori 2.
2. Asupan protein Monitor kerentanan terhadap infeksi
3. Asupan lemak 3.
4. Asupan karbohidrat Skrining semua pengunjung terkait penyakit
5. Asupan serat menular
6. Asupan vitamin 4.
7. Asupan mineral Pertahankan asepsis untuk pasien berisiko
8. Asupanzat besi 5.
Kontrol risiko Periksa setiap kondisi luka pembedahan
1. Mengidentifikasi faktor risiko 6.
2. Mengenali faktor risiko Anjurkan asupan nutrisi dan cairan dengan tepat
3. Memonitor faktor risikolingkungan dan Perawatan luka
1.
individu
Angkat balutan dan plester pada luka
4. Memodifikasi gaya hidup untuk
2.
mengurangi risiko
Monitor karakteristik luka, termasuk drainase,
5. Mengenali perubahan stat us kesehatan
ukuran, warna, dan bau
6. Berpartisipasi dalam skrining risiko 3.
Bersihkan dengan normal salin dengan tepat
4.
Berikan perawatan luka dengan tepat
5.
Berikan balutan yang sesuai dengan jenis luka
6.
Pertahankan teknik balutan steril ketika
melakukan perawatan luka
7.
Reposisi pasien setidaknya 2 jam dengan tepat
8.
Anjurkan pasien dan keluarga mengenali tanda
dan gejala infeksi
9.
Dokumentasikan lokasi luka, ukuran, dan tampilan
6 Ansietas berhubungan dengan Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Gunakan pendekatan yang menenangkan
krisis situasional, ancaman selama 3x24 jam diharapkan kecemasan 2. Jelaskan semua prosedur dan apa yang
kematian berkurang dengan kriteria hasil: dilakukan selama prosedur
1. Klien mampu mengidentifikasi dan 3. Pahami perspekstif pasien terhadap situasi stress
mengungkapkan gejala cemas 4. Temani pasien untuk memberikan keamanan dan
2. Mengidentifikasi, mengungkapkan, dan mengurangi takut
menunjukkan tekhnik untuk mengontrol 5. Dengarkan dengan penuh perhatian
cemas 6. Identifikasi tingkat kecemasan
3. Vital sign dalam batas normal 7. Bantu pasien mengenal situasi yang
4. Postur tubuh, ekspresi wajah, bahasa menimbulkan kecemasan
tubuh, dan tingkat aktivitas 8. Dorong pasien mengungkapkan perasaan,
menunjukkan berkurangnya kecemasan) ketakutan, persepsi
9. Instruksikan pasien menggunakan tekhnik
relaksasi
10. Berikan obat untuk mengurangi kecemasan
BAB III Trauma patologik
Trauma langsung
(Hantaman, kecelakaan, jatuh dll) WEB OF CAUTION (WOC) (Cancer, osteoporosis, osteomietitis, dll)

Trauma tidak langsung


Tulang rapuh

Kegagalan tulang menahan beban/ benturan

Cidera pd struktur tulang & jar lunak


(FRAKTUR)

Pergeseran fragmen tulang

Merusak jaringan sekitar

Menembus kulit Trauma arteri/ vena Mengaktivasi respon peradangan


Deformitas (pelepasan mediator kimia o/ sel mast :
bradikinin, histamin, prostaglandin)
Luka Perdarahan tidak terkontrol Ggn fungsi tubuh

Kerusakan Menstimulus nosisepror


Kehilangan volume cairan
integritas jaringan Konstipasi Hambatan
mobilitas fisik Mekanisme nyeri/ persepsi nyeri
Risiko syok Hipovolemik

Nyeri Akut

Tindakan invasif:
pemasangan traksi/
Prosedur Penurunan proteksi/ Pajangan lingkunag luar
pen/kawat Risiko
pembedahan barrie utama kulit, terhadap mikroorganisme infeksi
jaringan dan otot patogen
Kurangnya informasi
terkait pembedahan Krisis situasional Ansietas
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, G. M., & et al. (2013). Nursing Interventions Classification (NIC), 6th Edition.
Philadelphia: Elsevier

Cole, Warren H and Zollinger Robert M. Textbook of Surgery, Ninth Edition. New York:
Meredith Corporation.
Moorhead, S., & et al. (2013). Nursing Outcomes Classification (NOC), 5th Edition.
Philadelphia: Elsevier.

NANDA. (2015-2017). Diagnosis Keperawatan: Definisi & Klasifikasi Edisi 10. Jakarta: EGC.

Salter Robert bruce. 2009. Textbook of Disorder and Injuries of the Musculoskeletal System,
3rd-ed. Baltimore: Williams & Wilkins.
Sheehy. (2018). Keperawatan Gawat Darurat dan Bencana (6 ed.). Singapore: Elsevier.

Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. (2013). Keperawatan Medikal Medah. Jakarta: EGC.

Wim de Jong, Syamsuhidajat, R. 2011. Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi dua. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta.

24
25

Anda mungkin juga menyukai