Oleh:
SAKINA
R014191049
A. DEFINISI
Menurut American Association of Neuroscience Nurses (AANN) pada
tahun 2009 mendefinisikan subarakhnoid hemorrhage (SAH) adalah stroke
perdarahan dimana darah dari pembuluh darah memasuki ruang subarachnoid yaitu
ruang di antara lapisan dalam (Pia mater) dan lapisan tengah (arachnoid mater) dari
jaringan selaput otak (meninges). Penyebab paling umum adalah pecahnya tonjolan
(aneurisma) dalam arteri basal otak atau pada sirkulasi willisii.
B. ETIOLOGI
Dewanto et all (2009) menyebutkan bahwa etiologi perdarahan subarakhnoid
meliputi:
1. Ruptur aneurisma sakular (70-75%)
2. Malformasi arteriovena
3. Ruptur aneurisma fusiform
4. Ruptur aneurisma mikotik
5. Kelainan darah: diskrasia darah, penggunaan antikoagulan, dan gangguan
pembekuan darah
6. Infeksi
7. Neoplasma
8. Trauma
C. FAKTOR RISIKO
Beberapa faktor risiko yang dihubungkan dengan risiko tinggi aneurisma
SAH menurut Lemonick (2010) meliputi:
Riwayat keluarga dengan aneurisma intrakranial
Hipertensi
Merokok
Atherosklerosis
Kontrasepsi oral
Usia lanjut
Jenis kelamin
Pecandu alkohol berat
D. PATOFISIOLOGI
Subarakhnoid hemorrhage (SAH) sebagian besar disebabkan oleh rupturnya
aneurisma serebral. Segera setelah perdarahan, rongga subarakhnoid dipenuhi dengan
eritrosit di CSF. Eritrosit ini mengikuti salah satu dari beberapa jalan kecil di otak.
Beberapa eritrosit akan berikatan menjadi bekuan pada area perdarahan. Sebagian
besar eritrosit akan berikatan dengan arachnoid villi dan trabekulae. Akibatnya, otak
akan mengalami edema. Eritrosit juga berpindah dari ruang subarakhnoid melalui
fagositosis. Proses ini terjadi dalam 24 jam setelah perdarahan. Makrofag CSF,
muncul dari sel mesotelial arakhnoid atau memasuki ruang subarakhnoid melalui
pembuluh meningeal, dapat secara langsung memecah eritrosit di CSF atau
merubahnya menjadi bekuan darah (Hayman et al., 1989). Keadaan ini menyebabkan
aliran darah ke otak menjadi berkurang, sehingga menyebabkan terjadinya iskemi
pada jaringan otak dan lama-lama akan menyebabkan terjadinya infark serebri.
Selanjutnya, jaringan otak yang mengalami iskemi/ infark akan menyebabkan
gangguan/ kerusakan pada sistem saraf. Pada pasien dengan SAH yang masih hidup,
sering mengalami kelumpuhan pada saraf kranial kiri, paralisis, aphasia, kerusakan
kognitif, kelainan perilaku, dan gangguan psikiatrik (Bellebaum et al., 2004 dalam
American Association of Neuroscience Nurses, 2009).
E. MANIFESTASI KLINIS
Menurut Hunt dan Hess (1968) dalam Dewanto G, et al. 2009, gejala CVA SAH
dapat dilihat dari derajat nya, yaitu:
Pasien dengan perdarahan sub arachnoid didapatkan gejala klinis Nyeri kepala
mendadak, adanya tanda rangsang meningeal (mual, muntah, fotofobia/intoleransi
cahaya, kaku kuduk), penurunan kesadaran, serangan epileptik, defisit neurologis
fokal (disfasia, hemiparesis, hemihipestesia (berkurangnya ketajaman sensasi pada
satu sisi tubuh) . Kesadaran sering terganggu dan sangat bervariasi. Ada gejala/tanda
rangsangan meningeal. Edema papil dapat terjadi bila ada perdarahan sub arachnoid
karena pecahnya aneurisma pada arteri (Dewanto et al., 2009).
Onset dari gejalanya biasanya tiba-tiba perjalanan penyakit perdarahan
subarochnoid yang khas dimulai dengan sakit kepala yang sangat hebat (berbeda
dengan sakit kepala biasa), onset biasanya 1-2 detik hingga 1 menit dan sakit
kepalanya sedemikian rupa sehingga mengganggu aktivitas yang dilaksanakan oleh
penderita. Sakit kepala makin progresif, kemudian diikuti nyeri dan kekakuan pada
leher, mual muntah sering dijumpai perubahan kesadaran (50%) kesadaran hilang
umumnya 1-2 jam, kejang sering dijumpai pada fase akut (sekitar 10-15%) perdarahan
subarochnoid sering diakibatkan oleh arterivena malformasi. Umumnya onset saat
melakukan aktivitas 24-36 jam setelah onset dapat timbul febris yang menetap selama
beberapa hari.
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Radiologis
a. CT Scan
Hasil yang di dapatkan menunjukkan bahwa darah SAH pada CT
Scan tanpa bentuk berarti pada ruang subarakhnoid disekitar otak, kemudian
membentuk sesuatu yang secara normal berwarna gelap muncul menjadi
putih. Efek ini secara khas muncul sebagai bentuk bintang putih pada pusat
otak seperti gambar berikut ini.
b. Pungsi lumbar
Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat xanthochromia (CSF berwarna
kuning yang disebabkan oleh rusaknya hemoglobin) dimana sensitivitas
pemeriksaan ini lebih besar dari 99% (AANN, 2009).
c. CTA (computed tomography angiography) dilakukan jika diagnosis SAH
telah dikonfirmasi dengan CT Scan atau LP.
d. Rotgen toraks untuk melihat adanya edema pulmonal atau aspirasi.
2. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan darah lengkap untuk mengetahui adanya anemia atau leukositosis
setelah terjadinya bangkitan atau infeksi sistemik (Dewanto et al., 2009).
b. Adanya diskrasia darah, polisitemia, trombositopenia atau trombosis
c. Pemeriksaan koagulasi untuk menentukan riwayat koagulopati sebelumnya.
d. Ureum dan elektrolit untuk menentukan hiponatremia akibat salt wasting.
G. PENATALAKSANAAN
1. Pemeriksaan umum
a) Sistem jalan nafas dan kardiovaskuler. Pantau ketat di unit perawatan intensif
atau lebih baik di unit perawatan neurologis.
b) Lingkungan. Pertahankan tingkat bising yang rendah dan batasi pengunjung
sampai aneurisma ditangani.
c) Nyeri. Morfin sulfat (2-4 mg IV setiap 2-4 jam) atau kodein (30-60 mg IM
setiap 4 jam).
d) Profilaksis gastrointestinal. Ranitidin (150 mg PO 2x sehari atau 50 mg IV
setiap 8-12 jam) atau lansoprazol (30 mg PO sehari)
e) Profilaksis deep venous thrombosis. Gunakan thigh-high stockings dan
rangkaian peralatan kompresi pneumatik; heparin (5000 U SC 3x sehari)
setelah terapi aneurisma.
f) Tekanan darah. Pertahankan tekanan darah sistolik 90-140 mmHg sebelum
terapi aneurisma, kemudian jaga tekanan darah sistolik < 200 mmHg.
g) Glukosa serum. Pertahankan kadar 80-120 mg/dl; gunakan sliding scale atau
infus kontinu insulin jika perlu
h) Suhu inti tubuh. Pertahankan pada ≤ 37,20C; berikan asetaminofen/parasetamol
(325-650 mg PO setiap 4-6 jam) dan gunakan peralatan cooling bila
diperlukan.
i) Calcium antagonist. Nimodipin (60 mg PO setiap 4 jam selama 21 hari).
j) Terapi antifibrinolitik (opsional). Asam aminokaproat (24-48 jam pertama, 5 g
IV dilanjutkan dengan infus 1,5 g/jam)
k) Antikonvulsan. Fenitoin (3-5 mg/kg/hari PO atau IV) atau asam valproat (15-
45 mg/kg/hari PO atau IV)
l) Cairan dan hidrasi. Pertahankan euvolemi (CVP, 5-8mmHg); jika timbul
vasospasme serebri, pertahankan hipervolemi (CVP, 8-12 mmHg atau PCWP
(pulmonal capillary wedge pressure) 12-16 mmHg.
m) Nutrisi. Coba asupan oral (setelah evaluasi menelan) untuk alternatif lain, lebih
baik pemberian makanan enteral.
2. Terapi lain
a) Surgical clipping. Dilakukan dalam 72 jam pertama
b) Endovascular coiling. Dilakukan dalam 72 jam pertama
3. Komplikasi umum
a) Hidrosefalus. Masukkan drain ventrikular eksternal atau lumbar.
b) Perdarahan ulang. Berikan terapi suportif dan terapu darurat aneurisma.
c) Vasospasme serebri. Beri nimodipin; pertahankan hipervolemi atau hipertensi
yang diinduksi dengan fenilefrin, norepinefrin, atau dopamin; terapi
endovascular (angioplasti transluminal atau vasodilator langsung)
d) Bangkitan. Lorazepam (0,1 mg/kg, dengan kecepatan 2 mg/menit) atau
diazepam 5-10 mg, dilanjutkan dengan fenitoin (20 mg/kg IV bolus dengan
kecepatan < 50 mg/menit sampai dengan 30 mg/kg).
e) Hiponatremia. Pada SIADH: restriksi cairan; Pada serebral salt wasting
syndrome: secara agresif gantikan kehilangan cairan dengan 0,9% NaCl atau
NaCl hipertonis.
f) Aritmia miokardia. Metoprolol (12,5-100 mg PO 2x sehari); evaluasi fungsi
ventrikel; tangani aritmia
g) Edema pulmonal. Berikan suplementasi oksigen atau ventilasi mekanik bila
perlu
H. TERAPI MEDIKAMENTOSA :
1. Edatif – tranquilizer : fenobarbital (luminal) dan diazepam (valium)
Untuk menghindari kegelisahan dan tensi yang meningkat
2. Antiemetik : dimenhidrat
3. Analgetika : kodein fosfat, meperidin HCL, morfin, dan fentanil
4. Antikonvulsan : fenitoin (dilantin), karbamazepin, fenobarbital
dengan dosis 30 mg peroral 3 kali perhari
5. Pencahar : diotil Na, sulfosuksinat, psilium hidrofilik musiloid
sedium 100 mg peroral perhari
6. Antasida : magnesium aluminium hidroksida, simetidin, ranitidin
7. Diuretik/ antiedema : furosemid (lasix), manitol
8. Steroid : deksametason (oradexon, kalmethasone)
9. Antifibrinolitik : epsilon-amino-kaproat (amicar), asam traneksamik
Pemberian anti fibrolitik dianggap bermanfaat untuk memecah perdarahan ulang
akibat lisis atau bekuan darah ditempat yang mengalami perdarahan
10. Antidiuretik : vasopresin (pitresin)
11. Obat hipotensif intrakranial : tiopental (pentotal)
B. PEMERIKSAAN FISIK
a) Tingkat kesadaran
Tingkat Responsivitas Klinis
Terjaga Normal
Sadar Dapat tidur lebih dari biasanya, sedikit bingung saat pertama
kali terjaga, tetapi berorientasi sempurna ketika terbangun.
Letargi Mengantuk tetapi dapat mengikuti perintah sederhana ketika
dirangsang.
Stupor Sangat sulit untuk dibangunkan, tidak konsisten dalam
mengikuti perintah sederhana atau berbicara satu kata atau frase
Semikomatosa pendek.
Gerak bertujuan ketika dirangsang tidak mengikuti perintah,
koma atau berbicara koheren.
Dapat berespon dengan postur secara refleks ketika distimulasi
atau dapat tidak beresepon pada setiap stimulus.
b) Keadaan umum
Penderita dalam kesadaran menurun atau terganggu postur tubuh mengalami
ganguan akibat adanya kelemahan pada sisi tubuh sebelah atau keseluruhan lemah
adanya gangguan dalam berbicara kebersihan diri kurang serta tanda-tanda vital
(hipertensi)
1. Sistem Integumen
- Kulit tergantung pada keadaan penderita apabila kekurangan O2 kulit akan
kebiruan kekurangan cairan turgor jelek berbaring terlalu lama atau ada
penekanan pada kulit yang lama akan timbul dekubitus.
- Kuku jika penderita kekurangan O2 akan tampak kebiruan
C. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan darah lengkap untuk mengetahui adanya anemia atau leukositosit
setelah terjadinya bangkitan atau infeksi sistemik
adanya diskrasia darah, polisitemia, trombositopenia atau trombosis
Pemeriksaan koagulasi untuk menentukan riwayat koagulopati sebelumnya.
Ureum dan elektrolit untuk menentukan hiponatremia akibat salt wasting.
Glukosa serum untuk menentukan hipoglikemi
Rotgen toraks untuk melihat adanya edema pulmonal atau aspirasi.
EKG 12 sadapan untuk melihat aritmia jantung atau perubahan segmen ST
(Dewanto et al., 2009)
CT scan kepala tanpa kontras dilakukan < 24 jam sejak awitan.
Pungsi lumbal bila CT scan kepala tampak normal.
CTA (computed tomography angiography) dilakukan jika diagnosis SAH telah
dikonfirmasi dengan CT Scan atau LP
D. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri akut b.d penekanan jaringan otak, peningkatan tekanan intrakranial
5. Risiko jatuh berhubungan dengan Setelah perawatan selama 3x24 jam, pasien a. Identfikasi kebutuhan keamanan pasien
penurunan sensasi, luas lapang pandang. dan keluarga mampu meminimalka faktor b. Memasang pengaman tempat tidur untuk membatasi
resiko yang memicu kajaddian jatuh. mobilitas fisik yang dapat membahayakan
Dengan kriteria hasil : c. Bantu pasien saat melakukan perpindahan
a. Selalu memasang penghalang tempat d. Monitor linkungan terhadap terjadinya perubahan
tidur untuk mencegah jatuh status keselamatan
b. Keluarga menyediakan bantuan untuk
pasien bergerak
c. Menyesuaikan ketinggian tempat tidur
sesuai yang di perlukan
d. Melakukan prosedur pemindahan yang
aman
Parietal
Temporal
F. PATHWAY
Ruptur aneurisma sakular, Malformasi arteriovena, Ruptur aneurisma fusiform,
Ruptur aneurisma mikotik, Kelainan darah: diskrasia darah, penggunaan
antikoagulan, dan gangguan pembekuan darah, infeksi, neoplasma, trauma
Hambatan Penurunan
Hemiplegia dan
kesadaran
hemiparese mobilitas fisik
Ketidakefektifan
bersihan jalan nafas
DAFTAR PUSTAKA
American Association of Neuroscience Nurses (AANN). 2009. Care of the Patient with
Aneurysmal Subarachnoid Haemorrhage. www.aann.org
Batticaca, Fransisca B. 2009. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika. Hal: 58.
Muttaqin A. 2009. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Satyanegara, dkk. 2010. Ilmu Bedah Saraf Satyanegara. Ed. 4. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Dewanto G, et al. 2009. Panduan Praktis Diagnosis Dan Tata Laksana Penyakit Saraf.
Jakarta: EGC.