Anda di halaman 1dari 44

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN FRAKTUR CRURIS


DI POLI ORTHOPEDI RUMAH SAKIT DAERAH
dr. SOEBANDI JEMBER

oleh:
Fahma Ilmi Nawa Tama, S.Kep
NIM 192311101015

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2019

i
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan pada Pasien dengan Fraktur Cruris di Poli Orthopedi RSD dr. Soebandi
Jember telah disetujui dan disahkan Pada:
Hari, Tanggal : Senin, 20 Januari 2020
Tempat : Poli Orthopedi RSD dr. Soebandi Jember

Jember, 20 Januari 2020

Mahasiswa

Fahma Ilmi Nawa Tama, S.Kep


NIM. 192311101015

Pembimbing Akademik Fakultas Pembimbing Klinik Poli Orthopedi


Keperawatan Universitas jember RSD dr. Soebandi

Ns. M. Shodiqin, M.Kep., Sp.MB


NIP. NIP. 19681212 199103 1 011

ii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL ....................................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN LAPORAN PENDAHULUAN ....................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................................... iii
1.1 KONSEP TEORI PENYAKIT ............................................................................... 1
A. Anatomi Fisiologi Tulang Ekstermitas Bawah ............................................... 1
B. Definisi Fraktur Cruris .................................................................................... 11
C. Klasifikasi Fraktur .......................................................................................... 11
D. Etiologi Fraktur Cruris .................................................................................... 15
E. Manifestasi Klinis Fraktur Cruris ................................................................... 15
F. Patofisiologi Fraktur ....................................................................................... 16
G. Komplikasi Fraktur ......................................................................................... 17
H. Pemeriksaan Penunjang .................................................................................. 19
I. Penatalaksanaan Fraktur ................................................................................. 20
J. Clinical Pathway ............................................................................................. 30
1.2 PROSES KEPERAWATAN .................................................................................. 31
A. Pengkajian...................................................................................................... 31
B. Diagnosa ........................................................................................................ 33
C. Intervensi/Nursing Care Plan......................................................................... 35
D. Evaluasi Keperawatan ................................................................................... 40
E. Discharge Planning ....................................................................................... 40
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 41

iii
1.1 KONSEP TEORI PENYAKIT
A. Anatomi Fisiologi Tulang Ekstermitas Bawah
Tulang adalah jaringan kuat yang memberi bentuk pada tubuh dan tempat
untuk melekatnya otot-otot yang menggerakan kerangka tubuh untuk menyimpan
dan mengatur kalsium dan fosfat. Skelet atau kerangka adalah rangkaian tulang
yang mendukung dan melindungi organ lunak, terutama dalam tengkorak dan
panggul. (Price & Wilson, 2006).
Tulang ekstrimitas bawah atau anggota gerak bawah dikaitkan pada batang
tubuh dengan perantara gelang panggul terdiri dari 31 pasang antra lain: tulang
koksa, tulang femur, tibia, fibula, patella, tarsalia, metatarsalia, dan falang (Price
dan Wilson, 2006).
a) Tulang Koksa (Tulang pangkal paha)
OS koksa turut membentuk gelang panggul, letaknya disetiap sisi dan di depan
bersatu dengan simfisis pubis dan membentuk sebagian besar tulang pelvis.
b) Tulang femur (tulang paha)
OS femur merupakan tulang pipa dan terbesar di dalam tulang kerangka pada
bagian pangkal yang berhubungan dengan asetabulum membentuk kepala
sendi yang disebut kaput femoris, disebelah atas dan bawah dari kolumna
femoris terdapat taju yang disebut trokanter mayor dan trokanter minor.
Dibagian ujung membentuk persendian lutut, terdapat dua buah tonjolan yang
disebut kondilus lateralis dan medialis. Diantara dua kondilus ini terdapat
lakukan tempat letaknya tulang tempurung lutut (patella) yang di sebut dengan
fosa kondilus.
c) Osteum tibialis dan fibularis (tulang kering dan tulang betis)
OS tibialis dan fibularis merupakan tulang pipa yang terbesar sesudah tulang
paha yang membentuk persendian lutut dengan OS femur, pada bagian
ujungnya terdapat tonjolan yang disebut OS maleolus lateralis atau mata kaki
luar. OS tibia bentuknya lebih kecil dari pada bagian pangkal melekat pada OS
fibula pada bagian ujung membentuk persendian dengan tulang pangkal kaki
dan terdapat taju yang disebut OS maleolus medialis. Tulang tibia terdiri dari
tiga bagian meliputi epyhysis prosimalis, diaphysis dan epiphyysis. Epiphysis
terdiri dari dua bulatan yaitu condilus medialis dan condilus lateralis. Pada
daerah permukaan proksimalis terdiri dari permukaan sendi untuk bersendi
dengan tulang femur disebut dengan facies articularis superior yang
ditengahnya terdapat peninggian yang disebut dengan eminentia
intercondyloidea. Di ujung proksimal terdapat dataran sendi dengan tulang
fibula. Diaphysis memiliki tiga tepi antara lain anterior, margo medialis, dan
crista interosea disebelah lateral. Terdapat tiga dataran meliputi facies medialis,
facies posterior, dan facies lateralis. Margo anteror dibagian proksimal
menonjol disebut tuberositas tibia. Pada epiphysis distalis pada bagian distal
terdapat tonjolan disebut malleous medialis, yang memiliki dataraan sendi
menghadapa lateral untuk bersendi denga talus disebut facies malleous
lateralis.Tulang fibula terletak disebelah lateral tibia empunyai tiga bagian
yaitu epiphysis proksimalis, diaphysis dan epiphysis distal. Epihysis proksimal
membulat seperti capitulum fibula yang kearah proksimal meruncing menjadi
apex kapitula fibula. Kapitula fibula mempunyai dataran sendi yaitu facies
artycularis capituli fibula untuk bersendi dengan tulang fibia. Diaphysis
mempunyai empat cristayaitu krista lateralis, krita medialis, krista anterior,
krista anterior, krista iterosea, dan tiga dataran facies medialis, facies lateralis,
facies posterior.epiphysis distalis kebelakang agak membulat dan sedikit keluar
disebbut malleous lateralis. Disebelah dalam terdapat dataran sendi yang
disebut facies artycularis malleolus laterallis. Disebelah luar terdapat suatu
sulcus disebut sulcus tendo musculi tendon perineum dan dilalui tendo otot
poreneus longus dan poroneus brevis

2
Gambar 2 : Anatomi tulang tibia dan fibula

1 2

Gambar 3. Tulang tibia dan fibula dari depan


Keterangan:
1 = tulang fibula
2 = tulang tibia

Gambar 4. Tulang tibia dan fibula dari belakang

3
Keterangan tulang tibia:
1. Facies articularis superior condylus 2. Facies articularis superior condylus
lateralis medialis
3. Condylus medialis 4. Linea musculi solei
5. Foramen Nutricium 6. Facies interosseus
7. Margo intercosseus 8. Margo medialis
9. Suleus malleolaris 10. Malleolus medialis

Keterangan tulang fibula:


1 Apex caoitalis fibulae 2 Caput fibulae
3 Facies posterior 4 Crista medialis
5 Margo posterior 6 Malleolus lateralis
7 Facies artcilaris malleoli 8 Margo medialis
Regio cruris kompartemen dibagi menjadi 4 bagian yaitu:
1) Kompartemen anterior merupakan kondisi di mana pembengkakan dalam
kompartemen anterior tungkai bawah yang membahayakan kelangsungan
hidup otot, saraf dan arteri yang melayani kaki.

2) Kompartemen lateral : otot peroneus longus dan brevis, nervus peroneal


superfisial.

4
3) Kompartemen posterior superfisial : otot gastrocnemius dan soleus, nervus
sural.
4) Kompartemen posterior profunda : otot tibialis posterior dan flexor ibu jari
kaki, nervus tibia.

d) Tulang tarsalia (tulang pangkalkaki)


OS tarsalia dihubungkan dengan tungkai bawah oleh sendi pergelangan kaki,
terdiri dari tulang-tulang kecil yang banyaknya 5 yaitu sendi talus, kalkaneus,
navikular, osteum kuboideum, kunaiformi.
e) Meta tarsalia (tulang telapak kaki)
Meta tarsalia terdiri dari tulang- tulang pendek yang banyaknya 5 buah, yang
masing-masing berhubungan dengan tarsus dan falangus dengan perantara
sendi.
f) Falangus (ruas jari kaki)
Falangus merupakan tulang-tulang pipa yang pendek yang masing-
masingterdiri dari 3 ruas kecuali ibu jari banyaknya 2 ruas, pada metatarsalia

5
bagian ibu jari terdapat dua buah tulang kecil bentuknya bundar yang disebut
tulang bijian (osteum sesarnoid).
Sistem musculoskeletal adalah penunjang bentuk tubuh dan peran dalam
pergerakan. Sistem terdiri dari tulang sendi, rangka, tendon, ligament, bursa, dan
jaringan-jaringan khusus yang menghubungkan struktur tersebut (Price dan Wilson,
2006). Hormon yang mempengaruhi pertumbuhan tulang disekresikan oleh kelenjar
hipofisis, kelenjar tiroid, kelenjar paratiroid, indung telur dan testis. Tulang adalah
suatu jaringan dinamis yang tersusun dari tiga jenis sel antara lain:
1. Osteoblas membangun tulang dengan membentuk kolagen tipe 1 dan
proteoglikan sebagai matriks tulang dan jaringan osteoid melalui suatu proses
yang disebut osifikasi.
2. Ostesit adalah sel- sel tulang dewasa yang bertindak sebagai suatu lintasan untuk
pertukaran kimiawi melalui tulang yang padat.
3. Osteklas adalah sel-sel besar berinti banyak yang memungkinkan mineral dan
matriks tulang dapat di absorbsi. Tidak seperti osteblas dan osteosit, osteklas
mengikis tulang yang memecahkan matriks dan beberapa asam yang melarutkan
mineral tulang, sehingga kalsium dan fosfat terlepas ke dalam aliran darah.
Secara umum fungsi tulang menurut Price dan Wilson (2006) antara lain:
a) Sebagai kerangka tubuh
Tulang sebagai kerangka yang menyokong dan memberi bentuk tubuh.
b) Proteksi
Sistem musculoskeletal melindungi organ- organ penting, misalnya otak
dilindungi oleh tulang-tulang tengkorak, jantung dan paru-paru terdapat pada
rongga dada (cavum thorax) yang di bentuk oleh tulang- tulang kostae (iga).
c) Ambulasi dan mobilisasi
Adanya tulang dan otot memungkinkan terjadinya pergerakan tubuh dan
perpindahan tempat, tulang memberikan suatu system pengungkit yang di
gerakan oleh otot- otot yang melekat pada tulang tersebut ; sebagai suatu system
pengungkit yang digerakan oleh kerja otot- otot yang melekat padanya.
d) Deposit mineral

6
Sebagai reservoir kalsium, fosfor,natrium, dan elemen- elemen lain. Tulang
mengandung 99% kalsium dan 90% fosfor tubuh.
e) Hemopoesis
Berperan dalam bentuk sel darah pada red marrow. Untuk menghasilkan sel- sel
darah merah dan putih dan trombosit dalam sumsum merah tulang tertentu.
Berikut adalah sistem otot yang digunakan pada os tibia dan fibula:
a) Otot-otot penggerak tungkai bawah bagian belakang
1) m.gastrocnemius (caput mediale dan caput lateral) untuk plantar fleksi
kaki dan fleksi sendi lutut.
2) m.soleus untuk plantar fleksi kaki pada sendi pergelangan kaki.
3) m.tibialis posterior untuk plantar fleksi kaki pada sendi pergelangan kaki
dan inversi kaki.
4) m.plantaris untuk plantar fleksi sendi pergelangan kaki dan fleksi sendi
lutut.
b) Otot-otot penggerak tungkai bawah bagian lateral
1) m.peroneus longus untuk plantar fleksi kaki dan eversi kaki.
2) m.peroneus brevis untuk plantar fleksi dan eversi kaki.
c) Otot-otot penggerak tungkai bawah bagian depan
1) m.extensor digitorum longus untuk distensi jari kaki.
2) m.tibialis anterior untuk ekstensi kaki pada semi pergelangan kaki dan
inverse.
d) Otot-otot penggerak sendi lutut
1) Otot penggerak fleksi lutut antara lain musculus biceps femoris, musculus
semi tendi nosus, semi membranosus.
2) Otot penggerak ekstensi lutut antara lain musculus vastus lateralis, vastus
intermedius, musculus vastus medialis, musculus rectus femoris.
3) Otot penggerak eksorotasi lutut antara lain musculus biceps femoris,
musculus extensor fascialata, musculus gastrocnemius caput medialis.
4) Otot penggerak endorotasi lutut antara lain musculus semitendinosus,
musculus semimembranosus, musculus gracilis, musculus popliteus,
musculus gastrocnemius caput lateral.

7
e) Otot-otot penggerak sendi ankle
1) Otot penggerak plantar fleksi antara lain musculus Gastrocnemius,
musculus Soleus, musculus Plantaris, musculus Fleksor hallucis longus,
musculus Tibialis posterior, musculus peroneus longus, musculus
peroneus brevis.
2) Otot penggerak dorsi fleksi antara lain musculus Tibialis anterior,
musculus extensor digitorum longus, musculus peroneus tertius, musculus
extensor hallucis longus.
3) Otot penggerak inversi antara lain musculus Tibialis anterior, musculus
Tibialis posterior, musculus fleksor hallucis brevis.
4) Otot penggerak eversi antara lain musculus peroneus longus, musculus
peroneus brevis.

1 3
2
6 4
7
8

Gambar 5. Otot tungkai bawah kanan tampak depan


Keterangan gambar:
1 = m. Fibularis (peroneus) longus 5 = m. Extensor hallucis brevis
2 = m. Tibialis anterior 6 = m. Fibularis brevis
3 = m. Gastrocnemius 7 = m. Extensor digitorum Longus
4 = m. Soleus 8 = m. Extensor hallucis longus
Berikut adalah sistem persarafan pada tungkai atas berasal dari plexus sacralis
mensyarafi otot-otot pada sekitar tungkai atas:
a) Nervus femoralis
Nervus femoralis merupakan cabang plexus lumbalis. Nervus ini bersisi dari
tiga bagian plexus anterior yang berasal dari n. Lumbalis (L2, 3 dan
L4). Nervus tersebut muncul dari tepi lateral musculus Psoas di dalam

8
abdomen dan berjalan kebawah diantara m. Psoas dan M. Iliacus. Terletak
dibelakang fascia iliaca dan memasuki paha lateral terhadap arteri femoralis
dan selubung femoral dibelakang ligamen inguinale dan berakhir dibawah
ligamen inguinale dan pecah menjadi divisi anterior dan posterior. Nervus
femoralis mensyarafi semua otot ruas anteroir paha.
b) Nervus obturatorius
Nervus obturatorius berasal dari plexus lumbal (L2, 3 dan 4) dan muncul pada
tepian m. Psoas didalam abdomen yang berjalan kebawah dan kedepan pada
dinding lateral pelvis untuk mencapai bagian atas foramen obturatorium, hal
ini pecah menjadi devisi anterior dan posterior. Devisi anterior memberi
cabang-cvabang muscular pada m. Brachialis, m. Adductor brevis dan
adductor longus. Sedang devisi posterior mensarafi articularis genus dan
memberi cabang-cabang muscular kepada m. Obturatorius externus, adductor
magnus
c) Nervus gluteal superior dan inferior
Nervus gluteal superior dan inferior, cabang plexus sacralis meninggalkan elvis
melalui bagian atas dan bawah foramen ischiadicus majus diatas musculus
piriformis. Dan bagian bawah foramen isciadicus mensarafi tensorfacialata, m.
Gluteus minimus serta gluteus meximus.
d) Nervus ischiadadicus
Nervus ischiadicus merupakan cabang plexus sacralis (L4, 5 dan S1, 2, 3)
meningggalkan regio glutealis menuju kebawah sepanjang caput longum
m.Biceps femoris. Setelah sampai pertengahan paha pada bagian posterior
ditutupi oleh tepian m.Biceps femoris dan m.Semimembranosus yang
berdekatan. Nervus ini terletak pada apex posterior m. Adductor magnus pada
sepertiga pada bagian paha bawah kemudian berahkir dan pecah menjadi n.
Tibialis dan n. Peroneus communis. Nervus ischiadicus pecah menjadi terminal
pada bidang lebih tinggi pada bagian atas paha, regio gluteal dan
didalam pelvis.

9
Gambar 6. Nerve peroenus communis (L4,5 dan S1,2)
Keterangan:
1. Sciatic nerve 7. M. Peroneus longus
2. Comon peroneal nerve 8. M. extensor hallucis longus
3. Deep peroneal nerve 9. M. peroneus brevis
4. M. tibialis anterior 10. M. peroneus tertius
5. Supervicial peroneal nerve 11. M. extensor digitorium brevis
6. M. extensor digitorium longus 12. Sural nerve

Gambar 7. Nerve tibialis (L4,5 dan S1,3)

Keterangan:

10
1. Sciatic nerve 9. M. flexor hallucis nerve
2. Comon peroneal nerve 10. Comon peroneal nerv
3. M. gastrocnemius 11. Medial sural cutaneous nerve
4. M. Popliteus 12. Lateral sural cutaneous nerve
5. M. Plantaris 13. Sural nerve
6. M. soleus 14 Medial plantar nerve
7. M. tibialis posterior 15. Lateral plantar nerve
8. M. gigitorium longus

B. Definisi Fraktur Cruris


Berikut adalah pengertian fraktur menurut beberapa ahli:
a. Fraktur adalah terputusnya kontiunuitas jaringan tulang yang biasanya
disertai dengan luka sekitar jaringan lunak, kerusakan otot, ruptur tendon,
kerusakan pembuluh darah, dan luka organ-organ tubuh dan ditentukan
sesuai jenis dan luasnya, terjadinya fraktur jika tulang dikenai stress yaang
lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya (Smeltzer, 2013)
b. Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga
fisik (Price & Wilson, 2006).
c. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan di tentukan sesuai jenis
dan luasnya, fraktur terjadi jika tulang di kenai stress yang lebih besar dari
yang dapat diabsorbsinya (Smeltzer & Bare, 2001).
d. Fraktur cruris merupakan suatu istilah untuk patah tulang tibia dan fibula
yang biasanya terjadi pada bagian proksimal (kondilus), diafisis, atau
persendian pergelangan kaki (Muttaqin, 2008).
Berdasarkan pengertian para ahli dapat disimpulkan bahwa fraktur
cruris adalah terputusnya kontinuitas tulang dan di tentukan sesuai jenis dan
luasnya, yang di sebabkan oleh trauma atau tenaga fisik yang terjadi pada
tulang tibia dan fibula.
C. Klasifikasi Fraktur
1. Menurut (2000) ada tidaknya hubungan antara patahan tulang dengan dunia
luar di bagi menjadi 2 sebagai berikut:

11
a) Fraktur tertutup (closed)
Fraktur tertutup adalah fraktur yang bila tidak terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar, disebut dengan fraktur bersih (karena
kulit masih utuh) tanpa komplikasi. Pada fraktur tertutup ada klasifikasi
tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
1) Tingkat 0 : fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan
lunaksekitarnya.
2) Tingkat 1 : fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan
jaringansubkutan.
3) Tingkat 2 : fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak
bagian dalam danpembengkakan.
4) Tingkat 3 : Cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata
dan ancaman sindromakompartement.

Gambar 9. Fraktur Tertutup


b) Fraktur terbuka (open/ compound fraktur)
Fraktur terbuka adalah fraktur yang bila tulang yang patah menembus otot
dan kulit yang memungkinkan / potensial untuk terjadi infeksi dimana
kuman dari luar dapat masuk ke dalam luka sampai ke tulang yang patah.
Derajat patah tulang terbuka dibagi menjadi 3, yaitu:
1) Derajat I apabila laserasi < 2 cm, fraktur sederhana, dislokasi fragmen
minimal.
2) Derajata II apabila laserasi > 2 cm, kontusio otot dan sekitarnya,
dislokasi fragmenjelas.
3) Derajat III apabila luka lebar, rusak hebat, atau hilang jaringan sekitar.

12
(a) Derajat IIIA: patah tulang terbuka dengan jaringan luas, tetapi
masih bisa menutupi patahan tulang saat dilakukan perbaikan.
(b) Derajat IIIB: patah tulang terbuka dengan kerusakan jaringan lunak
hebat atau hilang (soft tissue loes) sehingga tampak tulang (bone-
exposs).
(c) Derajat IIIC: patah tulang terbuka dengan kerusakan pembuluh
darah dan atau saraf yang hebat.

Gambar 10. Fraktur Terbuka


2. Menurut (2000) derajat kerusakan tulang dibagi menjadi 2 yaitu:
a) Patah tulang lengkap (Completefraktur)
Patah tulang lengkap apabila patahan tulang terpisah satu dengan yang
lainya, atau garis fraktur melibatkan seluruh potongan menyilang dari
tulang dan fragmen tulang biasanya berubak tempat.
b) Patah tulang tidak lengkap (Incompletefraktur)
Patah tulang tidak lengkap apabila antara oatahan tulang masih ada
hubungan sebagian. Salah satu sisi patah yang lainya biasanya hanya
bengkok yang sering disebut greenstick. Menurut Price dan Wilson (2005)
kekuatan dan sudut dari tenaga fisik,keadaan tulang, dan jaringan lunak di
sekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau
tidak lengkap. Fraktur lengkap terjadi apabila seluruh tulang patah,
sedangkan pada fraktur tidak lengkap tidak melibatkan seluruh ketebalan
tulang.
3. Menurut Mansjoer (2000) bentuk garis patah dan hubungannya dengan
mekanisme trauma ada 5yaitu:

13
a) Fraktur Transversal : fraktur yang arahnya malintang pada tulang dan
merupakan akibat trauma angulasi ataulangsung.
b) Fraktur Oblik : fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap
sumbu tulang dan merupakan akibat dari trauma angulasi juga.
c) Fraktur Spiral : fraktur yang arah garis patahnya sepiral yang di sebabkan
oleh traumarotasi.
d) Fraktur Kompresi : fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang
mendorong tulang kea rah permukaanlain.
e) Fraktur Afulsi : fraktur yang di akibatkan karena trauma tarikan atau traksi
otot pada insersinya padatulang.
4. Menurut Smeltzer & Bare (2001) jumlah garis patahan ada 3 yaitu:
a) Fraktur Komunitif : fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan
salingberhubungan.
b) Fraktur Segmental : fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi
tidakberhubungan.
c) Fraktur Multiple : fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada
tulang yangsama.

Gambar 11. Garis Patahan


Ada 2 tipe fraktur cruris yaitu
1. Fraktur intra capsuler : yaitu terjadi dalam tulang sendi panggul dan captula
a) Melalui kapital fraktur
b) Hanya dibawah kepala femur

14
c) Melalui leher dari femur
2. Fraktur ekstra kapsuler
a) Terjadi diluar sendi dan kapsul melalui trokanter cruris yang lebih besar
atau yang lebih kecil pada daerah intertrokanter
Terjadi di bagian distal menuju leher cruris tetapi tidak lebih dari 2 inci di
bawah trokanter terkecil

D. Etiologi Fraktur Cruris


Etiologi dari fraktur menurut Price & Wilson (2006) ada 3 yaitu sebagai
berikut:
1. Cidera atau benturan
Kekuatan langsung mengenai tulang maka dapat teradi patah pada tempat yang
terkena, akan mengakibatkan kerusakan pada jaringan lunak disekitarnya. Jika
kekuatan tidak langsung mengenai tulang maka terjadi fraktur pada tempat
yang jauh dari tempat yang terkena dan kerusakan jaringan lunak ditempat
yang terkena dan kerusakan jaringan lunak ditempat fraktur mungkin tidak ada.
Fraktur karena trauma ada 2 yaitu:
a) Trauma langsung adalah benturan pada tulang yang berakibat ditempat
tersebut.
b) Trauma tidak langsung adalah titik tumpu benturan dengan terjadinya
fraktur yang berjauhan.
2. Fraktur patologik
Fraktur patologik terjadi pada daerah-daerah tulang yang telah menjadi lemah
oleh karena tumor, kanker dan osteoporosis. Penyebab dari fraktur cruris dapat
disebabkan oleh adanya trauma akibat benturan keras pada tungkai bawah.
Benturan tersebut terjadi akibat kecelakan. Selain itu, fraktur cruris juga
disebabkan oleh penekukan atau penarikan tendon dan ligament yang dapat
berakibat terpisahnya tulang.
3. Fraktur beban

15
Fraktur baban atau fraktur kelelahan terjadi pada orang- orang yang baru saja
menambah tingkat aktivitas mereka, seperti baru di terima dalam angkatan
bersenjata atau orang- orang yang baru mulai latihan lari.
4. Spontan
Terjadi tarikan otot yang sangat kuat seperti olah raga.

E. Manifestasi Klinis Fraktur Cruris


Manifestasi klinis fraktur menurut Smeltzer & Bare (2001) adalah sebagai
berikut:
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang di
imobilisasi, spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah
yang di rancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung
bergerak tidak alamiah bukan seperti normalnya, pergeseran fraktur
menyebabkan deformitas, ekstrimitas yang bias di ketahui dengan
membandingkan dengan ekstrimitas yang normal. Ekstrimitas tidak dapat
berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas
tulang tempat melekatnyaotot.
3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempatfraktur.
4. Saat ekstrimitas di periksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang yang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan
yanglainya.
5. Pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit terjadi sebagai akibat dari
trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini biasanya baru terjadi
setelah beberapa jam atau hari setelah cedera.

F. Patofisiologi Fraktur
Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Tertutup bila
tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Sedangkan
fraktur terbuka bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar

16
oleh karena perlukaan di kulit (Smeltzer & Bare, 2001). Sewaktu tulang patah
perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah ke dalam jaringan lunak sekitar
tulang tersebut, jaringan lunak juga biasanya mengalami kerusakan. Reaksi
perdarahan biasanya timbul hebat setelah fraktur. Sel-sel darah putih dan sel anast
berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darah ketempat tersebut aktivitas
osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru imatur yang disebut callus. Bekuan
fibrin direabsorbsidan sel- sel tulang baru mengalami remodeling untuk membentuk
tulang sejati. Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut syaraf yang
berkaitan dengan pembengkakan yang tidak di tangani dapat menurunkan asupan
darah ke ekstrimitas dan mengakibatkan kerusakan syaraf perifer. Bila tidak
terkontrol pembengkakan akan mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan,
oklusi darah total dan berakibat anoreksia mengakibatkan rusaknya serabut syaraf
maupun jaringan otot. Komplikasi ini di namakan sindrom compartment (Smeltzer
& Bare, 2001).
Trauma pada tulang dapat menyebabkan keterbatasan gerak dan ketidak
seimbangan, fraktur terjadi dapat berupa fraktur terbuka dan fraktur tertutup.
Fraktur tertutup tidak disertai kerusakan jaringan lunak seperti tendon, otot,
ligament dan pembuluh darah (Smeltzer & Bare, 2001). Pasien yang harus
imobilisasi setelah patah tulang akan menderita komplikasi antara lain: nyeri, iritasi
kulit karena penekanan, hilangnya kekuatan otot. Kurang perawatan diri dapat
terjadi bila sebagian tubuh di imobilisasi, mengakibatkan berkurangnyan
kemampuan prawatan diri (Carpenito, 2012). Reduksi terbuka dan fiksasi interna
(ORIF) fragmen- fragmen tulang di pertahankan dengan pen, sekrup, plat, paku.
Namun pembedahan meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi. Pembedahan
itu sendiri merupakan trauma pada jaringan lunak dan struktur yang seluruhnya
tidak mengalami cedera mungkin akan terpotong atau mengalami kerusakan selama
tindakan operasi (Price & Wilson, 2006).

G. Komplikasi Fraktur
Komplikasi fraktur menurut Smeltzer & Bare (2001) dan Price (2005) antara
lain sebagai berikut:

17
1. Syok
Syok hipovolemik atau traumatic, akibat perdarahan (banyak kehilangan darah
eksternal maupun yang tidak kelihatan yang bias menyebabkan penurunan
oksigenasi) dan kehilangan cairan ekstra sel ke jaringan yang rusak, dapat
terjadi pada fraktur ekstrimitas, thoraks, pelvis danvertebra.
2. Sindrom emboli lemak
Pada saat terjadi fraktur globula lemak dapat masuk kedalam pembuluh darah
karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau karena
katekolamin yang di lepaskan oleh reaksi stress pasien akan memobilisasi asam
lemak dan memudahkan terjasinya globula lemak pada aliran darah.
3. Sindroma kompartement
Sindroma kompartement merupakan masalah yang terjadi saat perfusi jaringan
dalam otot kurang dari yang dibutuhkan untuk kehidupan jaringan. Ini bisa
disebabkan karena penurunan ukuran kompartement otot karena fasia yang
membungkus otot terlalu ketat, penggunaan gibs atau balutan yang menjerat
ataupun peningkatan isi kompatement otot karena edema atau perdarahan
sehubungan dengan berbagai masalah (misalnya : iskemi,dan cidera remuk).
4. Kerusakan arteri
Pecahnya arteri karena trauma bias ditandai denagan tidak ada nadi, CRT
menurun, syanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada
ekstrimitas yang disbabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan
posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
5. Infeksi
Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma
orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini
biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bias juga karena penggunaan
bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
6. Avaskuler nekrosis
Avaskuler nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau
terganggu yang bias menyebabkan nekrosis tulang dan di awali dengan adanya
Volkman’s Ischemia (Smeltzer & Bare, 2001).

18
H. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium perlu dilakukan untuk mengetahui kadar Hb dan
hematokrit, kerana perdarahan yang terjadi akibat fraktur akan menyebabkan
kadar Hb dan hematokrit dalam tubuh menjadi rendah. Selain itu, Laju Endap
Darah (LED) akan meningkat apabila kerusakan yang terjadi pada jaringan lunak
sangat luas. Selain itu pemeriksaan golongan darah juga penting untuk dilakukan
apabila tindakan operasi dilakukan, dan pemeriksaan kadar kratinin juga harus
dilakukan, karena trauma otot dapat meningkatkan beban kreatinin untuk kliren
ginjal.
2. X-ray
Pemeriksaan Xray merupakan pemeriksaan yang digunakan untuk
melihat gambaran fraktur, deformitas (pergeseran fragmen pada fraktur) dan
metalikment. Pemeriksaan Xray merupakan salah satu metode dengan
menggunakan prosedur non invasif. Gambar diambil pada dua proyeksi, yaitu
PA (posteroanterior) atau AP (anteroposterior) dan lateral (LAT). Keuntungan
pemeriksaan Xray yaitu tidak ada residu radiasi di dalam tubuh, tidak ada efek
samping, dan cepat, dapat digunakan pada situasi darurat.
3. CT-scan
CT-scan merupakan alat yang bekerja dengan cara memproduksi gambaran
organ tubuh dengan menggunakan gelombang suara yang terkan pada computer
(Bastiansyah, 2008). CT-scan dapat menghasilkan gambaran dari organ tubuh
termasuk keadaan tulang. Secara umum pemeriksaan CT-scan dapat
memberikan gambaran secara rinci mengenai struktur tulang, jaringan dan cairah
tubuh. Pada fraktur cruris CT-scan dapat digunakan untuk mendeteksi struktur
fraktur yang terjadi secara kompleks.
4. MRI (Magnetic Resonanci Imaging)
MRI merupakan alat diagnostik yang dapat menghasilkan potongan organ
tubuh menusia dengan menggunakan medan magnet tanpa menggunakan sinar-

19
X. MRI pada kejadian fraktur cruris dapat digunakan untuk menegakkan
diagonsis apabila terjadi robekan pada ligamen akibat kejadian fraktur tersebut.
5. Rontgen
Pemeriksaan rontgen merupakan salah satu prosedur yang efektif bila
digunakan untuk mendeteksi terjadinya fraktur. Rontgen digunakan untuk
memotret tubuh bagian dalam, sehingga organ yang ada dalam tubuh dapat
terlihat dengan jelas, terutama pada bagian tulang yang mengalami fraktur. Foto
rontgen menggunakan media sinar X sebagai hasil untuk mengetahui seberapa
tingkat keparahan pada fraktur yang terjadi.

I. Penatalaksanaan Fraktur
a. Penatalaksanaan Non Farmakologi
1) Rehabitity exercise
a) Breathing exercise
Posisi pasien tidur terlentang, dan pasien diminta menghirup nafas
lewat hidung dan menghembuskan lewat mulut dengan 5 kali
hitungan.

Gambar 1. Latihan pernafasan


b) Static contraction otot knee
Static contraction merupakan kontraksi otot tanpa perubahan panjang
otot atau tanpa gerakan sendi yang nyata. Tujuan static contraction
adalah untuk meningkatkan rileksasi otot dan sirkulasi darah serta
menurunkan nyeri setelah fraktur dalam proses penyembuhan. Pada
kasus ini static contraction ditujukan untuk otot quadriceps. Latihan
static contraction dilakukan pada hari pertama dan kedua pasca
operasi. Posisi pasien tidur terlentang, posisi terapis berada di

20
samping pasien. Terapis meletakkan tangannya di bawah lutut pasien,
kemudian pasien diminta menekan tangan terapis ke tempat tidur.
Latihan ini dilakukan dengan penahanan 6-10 detik, fase istirahat 3-5
detik, kekuatan kontraksi min 40% dari kekutan kontraksi maksimal
dengan 12 kali pengulangan, dilakukan 3-5 kali per hari.

Gambar 2. Statik kontraksi pada knee


c) Relaxed passive exercise
Passive exercise merupakan gerak yang dihasilkan oleh kekuatan dari
luar tanpa disertai kontraksi otot. Kekuatan dari luar tersebut berupa
gravitasi, mekanik, orang lain atau bagian lain dari tubuh pasien itu
sendiri. Passive exercise dapat menjaga elastisitas otot sehingga dapat
memelihara luas gerak sendi. Passive exercise dilakukan pada hari
pertama sampai dengan hari keenam pasca operasi. Pada hari pertama
sampai hari ketiga latihan dilakukan dengan posisi pasien tidur
terlentang, terapis berada di samping pasien. Terapis memfiksasi
fragmen bagian distal dan satu tangan menyangga tungkai bawah.
Terapis menggerakkan ke arah fleksi dan ekstensi. Untuk hari
keempat sampai keenam latihan dilakukan dengan posisi tengkurap.
Gerakan ini dilakukan 5-10 kali

21
Gambar 3. Relaxed passive exercise ke arah dorsi-plantar fleksi
d) Assissted active exercise
Assisted active exercise yaitu suatu gerakan aktif dengan bantuan
kekuatan dari luar, sedangkan pasien tetap mengkontraksikan ototnya
secara sadar. Bantuan dari luar dapat berupa tangan terapis, papan,
maupun suspension. Latihan ini dilakukan pada hari pertama sampai
dengan hari ketiga pasca operasi. Pada hari pertama posisi pasien tidur
terlentang, terapis berada di samping pasien pada sisi yang sakit.
Terapis memfiksasi fragmen bagian distal dan menyangga tungkai
bawah. Pasien diminta menekuk dan meluruskan lututnya sesuai
kemampuan. Pada hari kedua dan ketiga pasca operasi latihan ini
dilakukan dengan posisi berbeda yaitu dengan duduk ongkang-
ongkang, satu tangan terapis memberi fiksasi di atas lutut dan satu
tangan yang lain menyangga tungkai bawah kemudian pasien diminta
bergerak menekuk dan meluruskan lututnya. Gerakan ini dilakukan 5-
10 kali pengulangan

Gambar 4. Gerakan assisted active untuk sendi lutut fleksi-ekstensi


e) Free active exercise
Free active exercise yaitu suatu gerakan aktif yang dilakukan oleh
adanya kekuatan otot dan anggota tubuh itu sendiri tanpa bantuan,
gerakan yang dihasilkan oleh kontraksi dengan melawan pengaruh
gravitasi (Basmajian, 1978). Latihan ini dilakukan pada hari ketiga
sampai hari keenam. Posisi pasien yaitu duduk ongkang-ongkang.
Terapis berada di samping pasien dan memberi fiksasi pada tungkai

22
atas sedekat mungkin dengan lutut kemudian pasien diminta untuk
menekuk lutut (fleksi) dan meluruskan lutut (ekstensi) dilakukan 8
kali.

Gambar 5. Free Active Movement pada sendi lutut


f) Hold relax
Posisi pasien duduk long sitting atau tidur terlentang tangan kiri
terapis memfiksasi atas ankle lalu tangan kanan terapis berada
dibawah tumit kaki pasien dengan lengan bawah berada di telapak
kaki pasien sebagai tahanan. Setelah siap pasien melakukan gerakan
ke arah dorsi fleksi hingga batas nyeri, setelah itu pasien diminta
untuk melawan tahanan ke arah plantar fleksi lalu terapis memberi
aba-aba “pertahankan disini”. Setelah itu rileks dan terapis berusaha
menambah gerakan ke arah dorsi fleksi. Latihan ini dapat mengurangi
nyeri dan meningkatkan luas gerak sendi lutut. Latihan ini dilakukan
pada hari keempat sampai hari keenam pasca operasi. Gerakan ini
dilakukan 12 kali pengulangan.

Gambar 6. Hold Relax


g) Ressisted active exercise

23
Resisted active exercise yaitu gerak aktif dengan tahanan dari luar
terhadap gerakan yang dilakukan oleh pasien. Tahanan dapat berasal
dari terapis, pegas maupun dari pasien itu sendiri. Salah satu cara
untuk meningkatkan kekuatan otot adalah dengan meningkatkan
tahanan secara bertahap. Latihan ini dilakukan pada hari keempat
sampai hari keenam. Posisi pasien duduk ongkang-ongkang. Terapis
berada di samping pasien, satu tangan memfiksasi tungkai atas bagian
distal sedekat mungkin dengan lutut dan satu tangan memberi tahanan
pada tungkai bawah. Pasien diminta meluruskan lututnya kemudian
terapis memberi tahanan ke arah fleksi, selanjutnya pasien diminta
untuk menekuk lututnya kemudian terapis memberi tahanan ke arah
ekstensi. Gerakan ini dilakukan 5-10 kali pengulangan

Gambar 7. Resisted active exercise pada sendi lutut

h) Latihan duduk
a. Latihan duduk Long Sitting
Posisi awal pasien tidur terlentang satu tangan terapis diletakkan di
punggung pasien. Untuk menahan agar tidak jatuh, pasien diminta
bangun dengan kedua siku sebagai tumpuan, kemudian kedua
telapak tangan pasien menumpu setelah badan condong ke
belakang/posisi long sitting, kedua tangan menumpu ke belakang
badan.

24
Gambar 8. Duduk long sitting
b. Latihan duduk ongkang-ongkang
Posisi awal pasien duduk half lying dengan long sitting, terapis
berdiri disamping pasien, tungkai kanan yang sehat disuruh
menekuk. Kedua tangan sebagai tumpuan dan terapis menyangga
tungakai yang cidera. Dan pelan-pelan pasien disuruh menggeser
pantatnya, terapis membawa tungkai kedua tungkai kesamping bed
sampai kedua lutut di tepi bed kedua tangan pasien menumpu untuk
menyangga tubuh, kemudian kedua tungkai dalam keadaan
menggantung.

Gambar 9. Duduk ongkang-ongkang

i) Latihan jalan
Latihan jalan dapat dimulai pada hari ketiga pasca operasi. Latihan
jalan dengan menggunakan kruk atau walker dapat memperbaiki
aktifitas fungsional jalan. Sebelum latihan jalan penderita diberikan
latihan transfer secara bertahap mulai dari posisi tidur terlentang ke
posisi duduk, duduk ke berdiri. Pada saat duduk dan berdiri diberikan
latihan keseimbangan yaitu dengan memberi dorongan ke depan,
belakang, samping kanan dan kiri. Latihan jalan bisa dimulai dari
tingkat yang paling aman yaitu dengan walker yang mempunyai

25
stabilitas lebih tinggi daripada kruk. Apabila dengan walker
kemampuan jalan penderita mulai meningkat kemudian dapat diganti
dengan kruk. Latihan jalan dilakukan tanpa menumpu berat badan
(non weight bearing) yaitu kaki yang sehat menumpu sedang kaki
yang sakit tidak menumpu dan dengan metode swing yang terdiri dari
swing to dan swing trough. Swing to yaitu kedua kruk maju kemudian
diikuti kedua kaki diayunkan ke depan dengan posisi kaki saat
menumpu sejajar dengan kedua kruk. Swing trough yaitu kedua kruk
maju kemudian diikuti kedua kaki diayunkan ke depan dengan posisi
kaki saat menumpu melewati kruk. Latihan jalan pertama kali
diberikan dengan jarak yang dekat seperti di sekitar tempat tidur baru
kemudian ditambah dengan jarak yang lebih jauh bertahap dari hari
ke hari. Pasien diminta untuk tetap berjalan seperti yang diajarkan
terapis yaitu tanpa menumpu berat badan sampai menunggu jadwal
kontrol ke dokter dimana hasil dari kontrol tersebut menjadi
pertimbangan apakah pasien diperbolehkan partial weight bearing
(setengah menumpu berat badan) atau weight bearing sekaligus.

Gambar 10. Latihan jalan

2) Edukasi
Edukasi adalah anjuran tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh
pasien selama berada di bangsal ataupun setelah pasien pulang ke rumah.
Edukasi yang diberikan berupa home program antara lain:

26
a) memberikan motivasi agar pasien terus berlatih;
b) untuk mengurangi oedem pasien disuruh menyangga tungkai yang
sakit dengan bantal dan diletakkan lebih tinggi dari posisi jantung;
c) menganjurkan pada pasien untuk melakukan gerakan dorsi fleksi-
plantar fleksi maupun inversi-eversi, fleksi-ekstensi lutut secara aktif
yang sebelumnya diberikan contoh oleh fisioterapi; dan menganjurkan
pada pasien agar tidak menapakkan kaki yang sakit ke lantai.

b. Penatalaksanaan Farmakologi
Menurut Muttaqin (2008) konsep dasar yang harus dipertimbangkan
pada waktu menangani fraktur yaitu : rekognisi, reduksi, retensi, dan
rehabilitasi.
1. Rekognisi (Pengenalan)
Riwayat kecelakaan, derajat keparahan, harus jelas untuk menentukan
diagnosa dan tindakan selanjutnya. Contoh, pada tempat fraktur tungkai
akan terasa nyeri sekali dan bengkak. Kelainan bentuk yang nyata dapat
menentukan diskontinuitas integritas rangka.
2. Reduksi (Manipulasi/ Reposisi)
Reduksi adalah usaha dan tindakan untuk memanipulasi fragmen fragmen
tulang yang patah sedapat mungkin kembali lagi seperti letak asalnya.
Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti
semula secara optimal. Reduksi fraktur dapat dilakukan dengan reduksi
tertutup, traksi, atau reduksi terbuka. Reduksi fraktur dilakukan sesegera
mungkin untuk mencegah jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat
infiltrasi karena edema dan perdarahan. Pada kebanyakan kasus, reduksi
fraktur menjadi semakin sulit bila cedera sudah mulai mengalami
penyembuhan (Mansjoer, 2000).
3. Retensi (Immobilisasi)
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali
seperti semula secara optimal. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang
harus diimobilisasi, atau di pertahankan dalam posisi kesejajaran yang

27
benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi
eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips,
bidai, traksi kontinu, pin, dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan
logam dapat di gunakan untuk fiksasi intrerna yang brperan sebagai bidai
interna untuk mengimobilisasi fraktur. Fiksasi eksterna adalah alat yang
diletakkan diluar kulit untuk menstabilisasikan fragmen tulang dengan
memasukkan dua atau tiga pin metal perkutaneus menembus tulang pada
bagian proksimal dan distal dari tempat fraktur dan pin tersebut
dihubungkan satu sama lain dengan menggunakan eksternal bars. Teknik
ini terutama atau kebanyakan digunakan untuk fraktur pada tulang tibia,
tetapi juga dapat dilakukan pada tulang femur, humerus dan pelvis
(Mansjoer, 2000).

Gambar 3. Pemasangan OREF pada tibia dan fibula


Prinsip dasar dari teknik ini adalah dengan menggunakan pin yang
diletakkan pada bagian proksimal dan distal terhadap daerah atau zona
trauma, kemudian pin-pin tersebut dihubungkan satu sama lain dengan
rangka luar atau eksternal frame atau rigid bars yang berfungsi untuk
menstabilisasikan fraktur. Alat ini dapat digunakan sebagai temporary
treatment untuk trauma muskuloskeletal atau sebagai definitive treatment
berdasarkan lokasi dan tipe trauma yang terjadi pada tulang dan jaringan
lunak (Muttaqin, 2008).
4. Rehabilitasi

28
Rehabilitasi dilakukan untuk aktifitas fungsional semaksimal mungkin
dalam menghindari atropi atau kontraktur. Bila keadaan mmeungkinkan,
harus segera dimulai melakukan latihan-latihan untuk mempertahankan
kekuatan anggota tubuh dan mobilisasi (Mansjoer, 2000).

29
J. Clinical Pathway
Trauma Trauma tidak Kondisi
langsung langsung patologis

Fraktur

Diskontinuitas Pergeseran
tulang fragmen tulang

Perubahan Nyeri akut Ansietas


jaringan sekitar

Pergeseran Spasme otot Laserasi kulit dan


fragmen tulang jaringan

Deformitas Peningkatan
Port de entry Putus vena/ Kerusakan
tekanan kapiler
kuman arteri integritas
kulit
Gangguan Pelepasan
fungsi histamin Risiko Perdarahan
infeksi Kerusakan
integritas
Hambatan Protein plasma jaringan
mobilitas fisik hilang Kehilangan
cairan

edema
Syok
hipovolemik
Penekanan
pembuluh
darah

Penurunan
perfusi jaringan

Gangguan
perfusi
jaringan

30
31

1.2 Proses Keperawatan


A. Pengkajian
a) Identitas Pasien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, alamat, status
perkawinan, suku bangsa, nomor register, tanggal masuk rumah sakitdan diagnosa medis.
b) Keluhan Utama
Adanya rasa nyeri pada daerah fraktur atau tidak
c) Riwayat Penyakit Sekarang
Kaji kronologi terjadinya trauma yang menyebabkan patah tulang kruris, pertolongan apa
yang di dapatkan, apakah sudah berobat ke dukun patah tulang. Selain itu, dengan
mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan, perawat dapat mengetahui luka kecelakaan
yang lainya. Adanya trauma lutut berindikasi pada fraktur tibia proksimal. Adanya trauma
angulasi akan menimbulkan fraktur tipe konversal atau oblik pendek, sedangkan trauma
rotasi akan menimbulkan tipe spiral. Penyebab utama fraktur adalah kecelakaan lalu lintas
darat.
d) Riwayat Penyakit dahulu
Pada beberapa keadaan, klien yang pernah berobat ke dukun patah tulang sebelumnya
sering mengalami mal-union. Penyakit tertentu seperti kanker tulang atau menyebabkan
fraktur patologis sehingga tulang sulit menyambung. Selain itu, klien diabetes dengan luka
di kaki sangat beresiko mengalami osteomielitis akut dan kronik serta penyakit diabetes
menghambat penyembuhantulang.
e) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan patah tulang cruris adalah salah satu faktor
predisposisi terjadinya fraktur, seperti osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa
keturunan dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secaragenetik.
f) Pola Kebiasaan
1) Pola Nutrisi
Umumnya pola nutrisi pasien tidak mengalami perubahan, namun ada beberapa kondisi
dapat menyebabkan pola nutrisi berubah, seperti nyeri yang hebat, dampak hospitalisasi
terutama bagi pasien yang merupakn pengalaman pertama masuk rumah sakit.
2) Pola Eliminasi
Pasien dapat cenderung mengalami gangguan eliminasi BAB seperti konstipasi dan
gangguan eliminasi urine akibat adanya program eliminasi dilakukan ditempat tidur.
3) Pola Istirahat
31
32

Umumnya kebutuhan istirahat atau tidur pasien tidak mengalami perubahan yang
berarti, namun ada beberapa kondisi dapat menyebabkan pola istirahat terganggu atau
berubah seperti timbulnya rasa nyeri yang hebat dan dampak hospitalisasi.
4) Pola Aktivitas
Umumnya pasien tidak dapat melakukan aktivitas (rutinitas) sebagaimana biasanya,
yang hampir seluruh aktivitas dilakukan ditempat tidur. Hal ini dilakukan karena ada
perubahan fungsi anggota gerak serta program immobilisasi, untuk melakukan
aktivitasnya pasien harus dibantu oleh orang lain, namun untuk aktivitas yang sifatnya
ringan pasien masih dapat melakukannya sendiri.
5) Personal Hygiene
Pasien masih mampu melakukan personal hygienenya, namun harus ada bantuan dari
orang lain, aktivitas ini sering dilakukan pasien ditempat tidur.
6) Riwayat Psikologis
Biasanya dapat timbul rasa takut dan cemas terhadap fraktur, selain itu dapat juga terjadi
ganggguan konsep diri body image, jika terjadi atropi otot kulit pucat, kering dan
besisik. Dampak psikologis ini dapat muncul pada pasien yang masih dalam perawatan
dirumah sakit. Hal ini dapat terjadi karena adanya program immobilisasi serta proses
penyembuhan yang cukup lama.
7) Riwayat Spiritual
Pada pasien post operasi fraktur tibia riwayat spiritualnya tidak mengalami gangguan
yang berarti, pasien masih tetap bisa bertoleransi terhadap agama yang dianut, masih
bisa mengartikan makna dan tujuan serta harapan pasien terhadap penyakitnya.
8) Riwayat Sosial
Dampak sosial adalah adanya ketergantungan pada orang lain dan sebaliknya pasien
dapat juga menarik diri dari lingkungannya karena merasa dirinya tidak berguna
(terutama kalau ada program amputasi).
g) Pemeriksaan Fisik
1) B1 (Breathing)
Pre operasi: pada pemeriksaan sistem pernafasan tidak mengalami gangguan.
Post operasi: biasanya terjadi reflek batuk tidak efektif sehingga terjadi penurunan
akumulasi sekret. Bisa terjadi apneu, lidah ke belakang akibat general anastesi, RR
meningkat karena nyeri.

2) B2 (Blood)
32
33

Pre operasi: dapat terjadi peningkatan tekanan darah, peningkatan nadi dan respirasi
karena nyeri, peningkatan suhu tubuh karena terjadi infeksi terutama pada fraktur
terbuka.
Post operasi: dapat terjadi peningkatan tekanan darah, peningkatan nadi dan respirasi
karena nyeri, peningkatan suhu tubuh karena terjadi infeksi terutama pada proses
pembedahan.
3) B3 (Brain)
Pre operasi: tingkat kesadaran biasanya compos mentis.
Post operasi: dapat terjadi penurunan kesadaran akibat tindakan anastesi, nyeri akibat
pembedahan.
4) B4 (Bladder)
Pre operasi: biasanya klien fraktur tidak mengalami kelainan pada sistem ini.
Post operasi: terjadi retensi urin akibat general anastesi.
5) B5 (Bowel)
Pre operasi: pemenuhan nutrisi dan bising usus biasanya normal, pola defekasi tidak ada
kelainan.
Post operasi: penurunan gerakan peristaltic akibat general anastesi.
6) B6 (Bone)
Pre operasi: adanya deformitas, nyeri tekan pada daerah trauma.
Post operasi: gangguan mobilitas fisik akibat pembedahan.

B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang dapat diangkat sesuai dengan pathway adalah sebagai berikut
(NANDA, 2015).
a) Pre Operasi
1) Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera fisik (trauma)
2) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan muskuloskeletal
3) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan cedera
4) Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan
5) Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif, luka
6) Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan imobilitas
7) Intoleran aktivitas berhubungan dengan imobilitas
8) Resiko syok hipovolemik berhubungan dengan perdarahan
b) Post operasi
33
34

1) Nyeri berhubungan dengan proses pembedahan


2) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tindakan pembedahan
3) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan fungsi muskuloskletal,
nyeri/ketidaknyamanan, gangguan fungsi muskuloskeletal, imobilisasi
4) Resiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan primer, kerusakan
kulit, trauma jaringan
5) Gangguan citra tubuh berhubungan dengan penatalaksanaan medis (pemasangan
fiksasi eksternal)
6) Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurangnya paparan informasi yang ada
7) Sindrom disuse berhubungan dengan efek pembedahan: resiko infeksi, gg. eliminasi,
pemasangan traksi, hambatan mobilitas fisik
8) Defisit perawatan diri berhubungan dengan gangguan fungsi musculoskeletal

34
35

C. Rencana Keperawatan
Masalah Keperawatan
No Tujuan & Kriteria Hasil (NOC) Intervensi (NIC)
Pre Operatif
1. Nyeri akut (00132) NOC NIC
Kontrol nyeri (1605) Manajemen nyeri (1400)
Tingkat nyeri (2102) 1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif (lokasi,
Kepuasan klien: manajemen nyeri (3016) karakteristik, durasi, dan intensitas nyeri)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 2. Observasi adanya petunjuk nonverbal nyeri
jam nyeri akut pada pasien dapat berkurang, dengan 3. Pastikan analgesik dipantau dengan ketat
kriteria hasil: 4. Jelaskan pada pasien terkait nyeri yang dirasakan
1. Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, Terapi relaksasi (6040)
mampu menggunakan tehnik nonfarmakologi 5. Gambarkan rasional dan manfaat relaksasi seperti nafas
untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan) dalam dan musik
2. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan 6. Dorong pasien mengambil posisi nyaman
menggunakan manajemen nyeri Pemberian analgesik (2210)
3. Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, 7. Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan keparahan nyeri
frekuensi dan tanda nyeri) sebelum mengobati pasien
4. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang 8. Cek adanya riwayat alergi obat
9. Cek perintah pengobatan meliputi obat, dosis, dan frekuensi
obat analgesik yang diresepkan
2. Ansietas (00146) NOC NIC
Tingkat Kecemasan (1211) Pengurangan kecemasan (5820)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x 1. Gunakan pendekatan yang tenang dan menyakinkan
24 jam, ansietas pada pasien dapat teratasi, dengan 2. Nyatakan dengan jelas harapan terhadap perilaku klien
kriteria hasil: 3. Jelaskan semua prosedur termasuk sesuai yang akan
1. Pasien dapat menyampaikan rasa takut secara dirasakan yang mungkin akan alami klien selama prosedur
lisan 4. Berikan informasi faktual terkait diagnosis, perawatan dan
2. Tidak ada peningkatan tekanan darah pasien prognosis

35
36

3. Tidak ada Peningkatan frekuensi nadi pasien 5. Berada di sisi klien untuk meningkatkan rasa aman dan
4. Tidak ada Peningkatan frekuensi pernafasan mengurangi ketakutan
pasien 6. dorong verbalisasi perasaan, persepsi dan ketakutan
7. dukung penggunaan mekanisme koping yang sesuai
8. instruksikan klien untuk menggunakan teknik relaksasi
9. kaji tanda verbal dan non verbal kecemasan
3. Defisiensi NOC NIC
pengetahuan(00126) Pengetahuan : Prosedur penanganan (1814) Pengajaran: Perioperatif (5610)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 1. informasikan kepada pasien dan keluarga untuk jadwal
jam, defisiensi pengetahuan pada pasien dapat tanggal, waktu dan lokasi operasi.
teratasi, dengan kriteria hasil: 2. Informasikan kepada pasien dan keluarga perkiraan lama
1. Pasien memahami prosedur penanganan, tujuan operasi
prosedur, langkah-langkah prosedur 3. Kaji riwayat operasi sebelumnya, latar belakang, budaya
2. Klien mengetahui efek samping penanganan dan tingkat pengetahuan terkait operasi
3. Klien mengetahui kontraindikasi penanganan 4. Fasilitasi kecemasan pasien dan keluarga terkait
kecemasannya
5. Berikan kesemapatan untuk pasien bertanya
6. Jelaskan prosedur persiapan pre-operasi (misalnya jenis
anestesi, diit yang sesuai, pengosongan saluran cerna,
pemeriksaan lab yang dibutuhkan, perisapan area operasi,
terapi intravena, pakaian operasi, ruang tunggu keluarga,
transportasi menuju ruang operasi dan lain-lain.
7. Berikan umpan balik terhadap kepercayaan pasien kepada
semua pihak yang terlibat dalam proses operasi
8. Diskusikan kemungkinan nyeri yang dirasakan
9. Intruksikan pasien mengenai teknik mobilisasi, batuk dan
nafas dalam
10. Evaluasi kemampuan pasien dan dokumentasi

36
37

Masalah Keperawatan
No. Tujuan & Kriteria Hasil (NOC) Intervensi (NIC)
Post Operatif
1. Nyeri akut (00132) NOC NIC
Kontrol nyeri (1605) Manajemen nyeri (1400)
Tingkat nyeri (2102) 10. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif (lokasi,
Kepuasan klien: manajemen nyeri (3016) karakteristik, durasi, dan intensitas nyeri)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 11. Observasi adanya petunjuk nonverbal nyeri
selama 1x24 jam nyeri akut pada pasien dapat 12. Pastikan analgesik dipantau dengan ketat
berkurang, dengan kriteria hasil: 13. Jelaskan pada pasien terkait nyeri yang dirasakan
5. Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab Terapi relaksasi (6040)
nyeri, mampu menggunakan tehnik 14. Gambarkan rasional dan manfaat relaksasi seperti nafas
nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, dalam dan musik
mencari bantuan) 15. Dorong pasien mengambil posisi nyaman
6. Melaporkan bahwa nyeri berkurang Pemberian analgesik (2210)
dengan menggunakan manajemen nyeri 16. Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan keparahan
7. Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, nyeri sebelum mengobati pasien
frekuensi dan tanda nyeri) 17. Cek adanya riwayat alergi obat
8. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri 18. Cek perintah pengobatan meliputi obat, dosis, dan
berkurang frekuensi obat analgesik yang diresepkan
2. Resiko infeksi (00004) NOC NIC
Keparahan infeksi (0703) Kontrol infeksi (6540)
Kontrol resiko (1902) 1. Bersihkan lingkungan dengan baik setelah dipakai setiap
Setelah dilakukan tindakan keperawatan pasien
selama 1x24 jam, tidak terjadi infeksi pada 2. Ganti perawatan peralatan setiap pasien sesuai SOP
pasien dengan kriteria hasil: rumah sakit
1. Luka tidak berbau busuk 3. Batasi jumlah pengunjung
2. Pasien tidak demam (suhu stabil) 4. Ajarkan cara mencuci tangan
3. Tidak terdapat nanah pada luka Perlindungan infeksi (6550)
4. Pasien dapat mengidentifikasi faktor resiko 5. Monitor adanya tanda dan gejala infeksi

37
38

5. Mengenali faktor resiko individu 6. Berikan perawatan kulit yang tepat


Manajemen nutrisi (1100)
7. Tentukan status gizi pasien
8. Identifikasi adanya alergi
Identifikasi resiko (6610)
9. Kaji ulang riwayat kesehatan masa lalu
10. Identifikasi strategi koping yang digunakan
3. Hambatan mobilitas fisik NOC NIC
(00085) Koordinasi pergerakan (0212) Peningkatan Mekanika Tubuh (0140)
setelah dilakukan perwatan selama 1x24 jam 1. Berikan informasi tentang kemungkinan posisi penyebab
mobilitas fisik pasien membaik dengan nyeri otot atau sendi
kriteria hasil: 2. Kolaborasi dengan fisioterapis dalam mengembangkan
1. Dapat mengontrol kontraksi pergerakkan peningkatan mekanika tubuh sesuai indiksi
2. Dapat melakukan kemantapan Peningkatan Latihan: Latihan Kekuatan (0201)
pergerakkan 4. Sediakan informasi mengenai fungi otot, latihan
3. Dapat menahan keseimbangan fisiologis, dan konsekuensi dari penyalahgunaannya
pergerakkan 5. Bantu mendapatkan sumber yang diperlukan untuk
terlibat dalam latihan otot progresif
6. Spesifikkan tingkat resistensi, jumlah pengulangan,
jumlah set, dan frekuensi dari sesi latihan menurut lefel
kebugaran dan ada atau tidaknya faktor resiko
7. Instruksikan untuk beristirahat sejenak setiap selesai satu
set jika dipelukan
8. Bantu klien untuk menyampaikan atau mempraktekan
pola gerakan yan dianjurkan tanpa beban terlebih dahulu
sampai gerakan yang benar sudah di pelajari
Terapi Latihan : Mobilitas Sendi (0224)
9. Tentukan batas pergerakan sendi dan efeknya terhadap
fungsi sendi

38
39

10. Kolaborasikan dengan ahli terapi fisik dalam


mengembangkan dan menerapan sebuah program latihan
11. Dukung latihan ROM aktif, sesuai jadwal yang teraktur
dan terencana
12. Instruksikan pasien atau keluarga cara melakukan latihan
ROM pasif, dan aktif
13. Bantu pasien ntuk membuat jadwal ROM
14. Sediakan petujuk tertulis untuk melakukan latihan
4. Risiko sindrom disuse NOC NIC
(00040) Koordinasi pergerakan (0212) Terapi latihan: mobilitas sendi (0224)
Pergerakan sendi (0206) 1. Gunakan pakaian yang tidak ketat pada pasien
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 2. Dampingin pasien untuk mengoptimalkan posisi tubuh
1x24 jam, klien dapat melakukan aktivitas untuk latihan pergerakan sendi baik aktif maupun pasif
secara bertahap sesuai dengan batas 3. Tunjukkan cara melakukan ROM aktif maupun pasif
kemampuannya.
4. Dampingi pasien untuk membuat jadwal latihan ROM
1. Terjadi peningkatan kontraksi otot pada
aktif
klien
5. Nilai kemajuan yang dicapai
2. Klien mampu melakukan pergerakan halus
3. Klien mampu menggerakkan
persendiannya

39
40

4. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan dilakukan secara sistematis dan periodik setelah pasien diberikan
intervensi dengan berdasarkan pada berdasarkan pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi
keperawatan, dan implementasi keperawatan. Evaluasi keperawatan ditulis dengan format
SOAP, yaitu:
1. S (subjektif) yaitu respon pasien setelah dilakukan tindakan keperawatan.
2. O (objektif) yaitu data pasien yang diperoleh oleh perawat setelah dilakukan tindakan
keperawatan.
3. A (analisis) yaitu masalah keperawatan pada pasien apakah sudah teratasi, teratasi
sebagian, belum teratasi, atau timbul masalah keperawatan baru
4. P (planning) yaitu rencana intervensi dihentikan, dilanjutkan, ditambah, atau dimodifikasi

5. Discharge Planning
Berdasarkan Nurafif dan Kusuma (2015) discharge planning untuk pasien fraktur
sebagai berikut:
1. Meningkatkan masukan cairan
2. Dianjurkan untuk diet lunak terlebih dahulu
3. Dianjurkan untuk istirahat yang adekuat
4. Kontrol sesuai jadwal
5. Mimun obat sesuai dengan yang diresepkan dan segera periksa jika ada keluhan
6. Menjaga masukan nutrisi yang seimbang
7. Hindari trauma ulang.

40
41

DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, G. M., H. K. Butcher, J. M. Dochteman, C. M. Wagner. 2015. Nursing Interventions


Classification (NIC). Edisi 6. Jakarta: EGC.
Bulechek, G. M., H. K. Butcher, J. M. Dochteman, C. M. Wagner. 2015. Nursing Outcomes
Classification (NOC). Edisi 6. Jakarta: EGC.
Carpenito. 2007. Rencana Asuhan dan Pendokumentasian Keperawatan. Alih Bahasa Monika
Ester. Edisi 2. Jakarta: EGC.
De Jong. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.
Egol, K.A., Koval, K.J., Zuckerman, J.D. 2010. Handbook of Fractures. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins.
Hoppenfield, Stanley. 2011. Treatment and Rehabilitation of Fractures. Jakarta: EGC
Lake Cook Orthophedics. Tanpa tahun. Humerus Mid-Shaft Fracture: s/p Open Treatment
with Internal Fixation: Post-Operative Rehabilitation Protocol.
http://lakecookortho.com/wp-
content/uploads/2012/11/Humerus_Fracture_Post_Repair.pdf [diakses 3 Agustus 2019]
Mansjoer, Arif. dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius. FKUI.

Moorhead., Johnson., Maas., & Swanson. 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC). fifth
Edition. USA: Mosby.
Morrison, M.J. 2003. Manajemen Luka alih bahasa Tyasmono A. F. Jakarta: EGC.
Muttaqin, A. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan. Sistem
Pernafasan. Jakarta : Salemba Medika.
Nanda Internasional 2015. Diagnosis Keperawatan 2018-2020. Oxford: Willey Backwell.
Nurafif, A.H. dan K. Hardhi. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis dan NANDA NIC NOC. Edisi 1. Yogyakarta: Mediaction.
Pearce, Evelyn C. 2009. Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. Jakarta: Gramedia.
Price and Wilson. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume
1. Jakarta: EGC.
Smeltzer, S. C., dan Bare, B. G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner &
Suddarth.Edisi 8 Volume 2. Jakarta: EGC.
Smeltzer, S. C., 2013. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta: EGC.

41

Anda mungkin juga menyukai