oleh:
Fahma Ilmi Nawa Tama, S.Kep
NIM 192311101015
i
LEMBAR PENGESAHAN
Laporan Pendahuluan pada Pasien dengan Fraktur Cruris di Poli Orthopedi RSD dr. Soebandi
Jember telah disetujui dan disahkan Pada:
Hari, Tanggal : Senin, 20 Januari 2020
Tempat : Poli Orthopedi RSD dr. Soebandi Jember
Mahasiswa
ii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ....................................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN LAPORAN PENDAHULUAN ....................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................................... iii
1.1 KONSEP TEORI PENYAKIT ............................................................................... 1
A. Anatomi Fisiologi Tulang Ekstermitas Bawah ............................................... 1
B. Definisi Fraktur Cruris .................................................................................... 11
C. Klasifikasi Fraktur .......................................................................................... 11
D. Etiologi Fraktur Cruris .................................................................................... 15
E. Manifestasi Klinis Fraktur Cruris ................................................................... 15
F. Patofisiologi Fraktur ....................................................................................... 16
G. Komplikasi Fraktur ......................................................................................... 17
H. Pemeriksaan Penunjang .................................................................................. 19
I. Penatalaksanaan Fraktur ................................................................................. 20
J. Clinical Pathway ............................................................................................. 30
1.2 PROSES KEPERAWATAN .................................................................................. 31
A. Pengkajian...................................................................................................... 31
B. Diagnosa ........................................................................................................ 33
C. Intervensi/Nursing Care Plan......................................................................... 35
D. Evaluasi Keperawatan ................................................................................... 40
E. Discharge Planning ....................................................................................... 40
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 41
iii
1.1 KONSEP TEORI PENYAKIT
A. Anatomi Fisiologi Tulang Ekstermitas Bawah
Tulang adalah jaringan kuat yang memberi bentuk pada tubuh dan tempat
untuk melekatnya otot-otot yang menggerakan kerangka tubuh untuk menyimpan
dan mengatur kalsium dan fosfat. Skelet atau kerangka adalah rangkaian tulang
yang mendukung dan melindungi organ lunak, terutama dalam tengkorak dan
panggul. (Price & Wilson, 2006).
Tulang ekstrimitas bawah atau anggota gerak bawah dikaitkan pada batang
tubuh dengan perantara gelang panggul terdiri dari 31 pasang antra lain: tulang
koksa, tulang femur, tibia, fibula, patella, tarsalia, metatarsalia, dan falang (Price
dan Wilson, 2006).
a) Tulang Koksa (Tulang pangkal paha)
OS koksa turut membentuk gelang panggul, letaknya disetiap sisi dan di depan
bersatu dengan simfisis pubis dan membentuk sebagian besar tulang pelvis.
b) Tulang femur (tulang paha)
OS femur merupakan tulang pipa dan terbesar di dalam tulang kerangka pada
bagian pangkal yang berhubungan dengan asetabulum membentuk kepala
sendi yang disebut kaput femoris, disebelah atas dan bawah dari kolumna
femoris terdapat taju yang disebut trokanter mayor dan trokanter minor.
Dibagian ujung membentuk persendian lutut, terdapat dua buah tonjolan yang
disebut kondilus lateralis dan medialis. Diantara dua kondilus ini terdapat
lakukan tempat letaknya tulang tempurung lutut (patella) yang di sebut dengan
fosa kondilus.
c) Osteum tibialis dan fibularis (tulang kering dan tulang betis)
OS tibialis dan fibularis merupakan tulang pipa yang terbesar sesudah tulang
paha yang membentuk persendian lutut dengan OS femur, pada bagian
ujungnya terdapat tonjolan yang disebut OS maleolus lateralis atau mata kaki
luar. OS tibia bentuknya lebih kecil dari pada bagian pangkal melekat pada OS
fibula pada bagian ujung membentuk persendian dengan tulang pangkal kaki
dan terdapat taju yang disebut OS maleolus medialis. Tulang tibia terdiri dari
tiga bagian meliputi epyhysis prosimalis, diaphysis dan epiphyysis. Epiphysis
terdiri dari dua bulatan yaitu condilus medialis dan condilus lateralis. Pada
daerah permukaan proksimalis terdiri dari permukaan sendi untuk bersendi
dengan tulang femur disebut dengan facies articularis superior yang
ditengahnya terdapat peninggian yang disebut dengan eminentia
intercondyloidea. Di ujung proksimal terdapat dataran sendi dengan tulang
fibula. Diaphysis memiliki tiga tepi antara lain anterior, margo medialis, dan
crista interosea disebelah lateral. Terdapat tiga dataran meliputi facies medialis,
facies posterior, dan facies lateralis. Margo anteror dibagian proksimal
menonjol disebut tuberositas tibia. Pada epiphysis distalis pada bagian distal
terdapat tonjolan disebut malleous medialis, yang memiliki dataraan sendi
menghadapa lateral untuk bersendi denga talus disebut facies malleous
lateralis.Tulang fibula terletak disebelah lateral tibia empunyai tiga bagian
yaitu epiphysis proksimalis, diaphysis dan epiphysis distal. Epihysis proksimal
membulat seperti capitulum fibula yang kearah proksimal meruncing menjadi
apex kapitula fibula. Kapitula fibula mempunyai dataran sendi yaitu facies
artycularis capituli fibula untuk bersendi dengan tulang fibia. Diaphysis
mempunyai empat cristayaitu krista lateralis, krita medialis, krista anterior,
krista anterior, krista iterosea, dan tiga dataran facies medialis, facies lateralis,
facies posterior.epiphysis distalis kebelakang agak membulat dan sedikit keluar
disebbut malleous lateralis. Disebelah dalam terdapat dataran sendi yang
disebut facies artycularis malleolus laterallis. Disebelah luar terdapat suatu
sulcus disebut sulcus tendo musculi tendon perineum dan dilalui tendo otot
poreneus longus dan poroneus brevis
2
Gambar 2 : Anatomi tulang tibia dan fibula
1 2
3
Keterangan tulang tibia:
1. Facies articularis superior condylus 2. Facies articularis superior condylus
lateralis medialis
3. Condylus medialis 4. Linea musculi solei
5. Foramen Nutricium 6. Facies interosseus
7. Margo intercosseus 8. Margo medialis
9. Suleus malleolaris 10. Malleolus medialis
4
3) Kompartemen posterior superfisial : otot gastrocnemius dan soleus, nervus
sural.
4) Kompartemen posterior profunda : otot tibialis posterior dan flexor ibu jari
kaki, nervus tibia.
5
bagian ibu jari terdapat dua buah tulang kecil bentuknya bundar yang disebut
tulang bijian (osteum sesarnoid).
Sistem musculoskeletal adalah penunjang bentuk tubuh dan peran dalam
pergerakan. Sistem terdiri dari tulang sendi, rangka, tendon, ligament, bursa, dan
jaringan-jaringan khusus yang menghubungkan struktur tersebut (Price dan Wilson,
2006). Hormon yang mempengaruhi pertumbuhan tulang disekresikan oleh kelenjar
hipofisis, kelenjar tiroid, kelenjar paratiroid, indung telur dan testis. Tulang adalah
suatu jaringan dinamis yang tersusun dari tiga jenis sel antara lain:
1. Osteoblas membangun tulang dengan membentuk kolagen tipe 1 dan
proteoglikan sebagai matriks tulang dan jaringan osteoid melalui suatu proses
yang disebut osifikasi.
2. Ostesit adalah sel- sel tulang dewasa yang bertindak sebagai suatu lintasan untuk
pertukaran kimiawi melalui tulang yang padat.
3. Osteklas adalah sel-sel besar berinti banyak yang memungkinkan mineral dan
matriks tulang dapat di absorbsi. Tidak seperti osteblas dan osteosit, osteklas
mengikis tulang yang memecahkan matriks dan beberapa asam yang melarutkan
mineral tulang, sehingga kalsium dan fosfat terlepas ke dalam aliran darah.
Secara umum fungsi tulang menurut Price dan Wilson (2006) antara lain:
a) Sebagai kerangka tubuh
Tulang sebagai kerangka yang menyokong dan memberi bentuk tubuh.
b) Proteksi
Sistem musculoskeletal melindungi organ- organ penting, misalnya otak
dilindungi oleh tulang-tulang tengkorak, jantung dan paru-paru terdapat pada
rongga dada (cavum thorax) yang di bentuk oleh tulang- tulang kostae (iga).
c) Ambulasi dan mobilisasi
Adanya tulang dan otot memungkinkan terjadinya pergerakan tubuh dan
perpindahan tempat, tulang memberikan suatu system pengungkit yang di
gerakan oleh otot- otot yang melekat pada tulang tersebut ; sebagai suatu system
pengungkit yang digerakan oleh kerja otot- otot yang melekat padanya.
d) Deposit mineral
6
Sebagai reservoir kalsium, fosfor,natrium, dan elemen- elemen lain. Tulang
mengandung 99% kalsium dan 90% fosfor tubuh.
e) Hemopoesis
Berperan dalam bentuk sel darah pada red marrow. Untuk menghasilkan sel- sel
darah merah dan putih dan trombosit dalam sumsum merah tulang tertentu.
Berikut adalah sistem otot yang digunakan pada os tibia dan fibula:
a) Otot-otot penggerak tungkai bawah bagian belakang
1) m.gastrocnemius (caput mediale dan caput lateral) untuk plantar fleksi
kaki dan fleksi sendi lutut.
2) m.soleus untuk plantar fleksi kaki pada sendi pergelangan kaki.
3) m.tibialis posterior untuk plantar fleksi kaki pada sendi pergelangan kaki
dan inversi kaki.
4) m.plantaris untuk plantar fleksi sendi pergelangan kaki dan fleksi sendi
lutut.
b) Otot-otot penggerak tungkai bawah bagian lateral
1) m.peroneus longus untuk plantar fleksi kaki dan eversi kaki.
2) m.peroneus brevis untuk plantar fleksi dan eversi kaki.
c) Otot-otot penggerak tungkai bawah bagian depan
1) m.extensor digitorum longus untuk distensi jari kaki.
2) m.tibialis anterior untuk ekstensi kaki pada semi pergelangan kaki dan
inverse.
d) Otot-otot penggerak sendi lutut
1) Otot penggerak fleksi lutut antara lain musculus biceps femoris, musculus
semi tendi nosus, semi membranosus.
2) Otot penggerak ekstensi lutut antara lain musculus vastus lateralis, vastus
intermedius, musculus vastus medialis, musculus rectus femoris.
3) Otot penggerak eksorotasi lutut antara lain musculus biceps femoris,
musculus extensor fascialata, musculus gastrocnemius caput medialis.
4) Otot penggerak endorotasi lutut antara lain musculus semitendinosus,
musculus semimembranosus, musculus gracilis, musculus popliteus,
musculus gastrocnemius caput lateral.
7
e) Otot-otot penggerak sendi ankle
1) Otot penggerak plantar fleksi antara lain musculus Gastrocnemius,
musculus Soleus, musculus Plantaris, musculus Fleksor hallucis longus,
musculus Tibialis posterior, musculus peroneus longus, musculus
peroneus brevis.
2) Otot penggerak dorsi fleksi antara lain musculus Tibialis anterior,
musculus extensor digitorum longus, musculus peroneus tertius, musculus
extensor hallucis longus.
3) Otot penggerak inversi antara lain musculus Tibialis anterior, musculus
Tibialis posterior, musculus fleksor hallucis brevis.
4) Otot penggerak eversi antara lain musculus peroneus longus, musculus
peroneus brevis.
1 3
2
6 4
7
8
8
abdomen dan berjalan kebawah diantara m. Psoas dan M. Iliacus. Terletak
dibelakang fascia iliaca dan memasuki paha lateral terhadap arteri femoralis
dan selubung femoral dibelakang ligamen inguinale dan berakhir dibawah
ligamen inguinale dan pecah menjadi divisi anterior dan posterior. Nervus
femoralis mensyarafi semua otot ruas anteroir paha.
b) Nervus obturatorius
Nervus obturatorius berasal dari plexus lumbal (L2, 3 dan 4) dan muncul pada
tepian m. Psoas didalam abdomen yang berjalan kebawah dan kedepan pada
dinding lateral pelvis untuk mencapai bagian atas foramen obturatorium, hal
ini pecah menjadi devisi anterior dan posterior. Devisi anterior memberi
cabang-cvabang muscular pada m. Brachialis, m. Adductor brevis dan
adductor longus. Sedang devisi posterior mensarafi articularis genus dan
memberi cabang-cabang muscular kepada m. Obturatorius externus, adductor
magnus
c) Nervus gluteal superior dan inferior
Nervus gluteal superior dan inferior, cabang plexus sacralis meninggalkan elvis
melalui bagian atas dan bawah foramen ischiadicus majus diatas musculus
piriformis. Dan bagian bawah foramen isciadicus mensarafi tensorfacialata, m.
Gluteus minimus serta gluteus meximus.
d) Nervus ischiadadicus
Nervus ischiadicus merupakan cabang plexus sacralis (L4, 5 dan S1, 2, 3)
meningggalkan regio glutealis menuju kebawah sepanjang caput longum
m.Biceps femoris. Setelah sampai pertengahan paha pada bagian posterior
ditutupi oleh tepian m.Biceps femoris dan m.Semimembranosus yang
berdekatan. Nervus ini terletak pada apex posterior m. Adductor magnus pada
sepertiga pada bagian paha bawah kemudian berahkir dan pecah menjadi n.
Tibialis dan n. Peroneus communis. Nervus ischiadicus pecah menjadi terminal
pada bidang lebih tinggi pada bagian atas paha, regio gluteal dan
didalam pelvis.
9
Gambar 6. Nerve peroenus communis (L4,5 dan S1,2)
Keterangan:
1. Sciatic nerve 7. M. Peroneus longus
2. Comon peroneal nerve 8. M. extensor hallucis longus
3. Deep peroneal nerve 9. M. peroneus brevis
4. M. tibialis anterior 10. M. peroneus tertius
5. Supervicial peroneal nerve 11. M. extensor digitorium brevis
6. M. extensor digitorium longus 12. Sural nerve
Keterangan:
10
1. Sciatic nerve 9. M. flexor hallucis nerve
2. Comon peroneal nerve 10. Comon peroneal nerv
3. M. gastrocnemius 11. Medial sural cutaneous nerve
4. M. Popliteus 12. Lateral sural cutaneous nerve
5. M. Plantaris 13. Sural nerve
6. M. soleus 14 Medial plantar nerve
7. M. tibialis posterior 15. Lateral plantar nerve
8. M. gigitorium longus
11
a) Fraktur tertutup (closed)
Fraktur tertutup adalah fraktur yang bila tidak terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar, disebut dengan fraktur bersih (karena
kulit masih utuh) tanpa komplikasi. Pada fraktur tertutup ada klasifikasi
tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
1) Tingkat 0 : fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan
lunaksekitarnya.
2) Tingkat 1 : fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan
jaringansubkutan.
3) Tingkat 2 : fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak
bagian dalam danpembengkakan.
4) Tingkat 3 : Cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata
dan ancaman sindromakompartement.
12
(a) Derajat IIIA: patah tulang terbuka dengan jaringan luas, tetapi
masih bisa menutupi patahan tulang saat dilakukan perbaikan.
(b) Derajat IIIB: patah tulang terbuka dengan kerusakan jaringan lunak
hebat atau hilang (soft tissue loes) sehingga tampak tulang (bone-
exposs).
(c) Derajat IIIC: patah tulang terbuka dengan kerusakan pembuluh
darah dan atau saraf yang hebat.
13
a) Fraktur Transversal : fraktur yang arahnya malintang pada tulang dan
merupakan akibat trauma angulasi ataulangsung.
b) Fraktur Oblik : fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap
sumbu tulang dan merupakan akibat dari trauma angulasi juga.
c) Fraktur Spiral : fraktur yang arah garis patahnya sepiral yang di sebabkan
oleh traumarotasi.
d) Fraktur Kompresi : fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang
mendorong tulang kea rah permukaanlain.
e) Fraktur Afulsi : fraktur yang di akibatkan karena trauma tarikan atau traksi
otot pada insersinya padatulang.
4. Menurut Smeltzer & Bare (2001) jumlah garis patahan ada 3 yaitu:
a) Fraktur Komunitif : fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan
salingberhubungan.
b) Fraktur Segmental : fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi
tidakberhubungan.
c) Fraktur Multiple : fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada
tulang yangsama.
14
c) Melalui leher dari femur
2. Fraktur ekstra kapsuler
a) Terjadi diluar sendi dan kapsul melalui trokanter cruris yang lebih besar
atau yang lebih kecil pada daerah intertrokanter
Terjadi di bagian distal menuju leher cruris tetapi tidak lebih dari 2 inci di
bawah trokanter terkecil
15
Fraktur baban atau fraktur kelelahan terjadi pada orang- orang yang baru saja
menambah tingkat aktivitas mereka, seperti baru di terima dalam angkatan
bersenjata atau orang- orang yang baru mulai latihan lari.
4. Spontan
Terjadi tarikan otot yang sangat kuat seperti olah raga.
F. Patofisiologi Fraktur
Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Tertutup bila
tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Sedangkan
fraktur terbuka bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar
16
oleh karena perlukaan di kulit (Smeltzer & Bare, 2001). Sewaktu tulang patah
perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah ke dalam jaringan lunak sekitar
tulang tersebut, jaringan lunak juga biasanya mengalami kerusakan. Reaksi
perdarahan biasanya timbul hebat setelah fraktur. Sel-sel darah putih dan sel anast
berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darah ketempat tersebut aktivitas
osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru imatur yang disebut callus. Bekuan
fibrin direabsorbsidan sel- sel tulang baru mengalami remodeling untuk membentuk
tulang sejati. Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut syaraf yang
berkaitan dengan pembengkakan yang tidak di tangani dapat menurunkan asupan
darah ke ekstrimitas dan mengakibatkan kerusakan syaraf perifer. Bila tidak
terkontrol pembengkakan akan mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan,
oklusi darah total dan berakibat anoreksia mengakibatkan rusaknya serabut syaraf
maupun jaringan otot. Komplikasi ini di namakan sindrom compartment (Smeltzer
& Bare, 2001).
Trauma pada tulang dapat menyebabkan keterbatasan gerak dan ketidak
seimbangan, fraktur terjadi dapat berupa fraktur terbuka dan fraktur tertutup.
Fraktur tertutup tidak disertai kerusakan jaringan lunak seperti tendon, otot,
ligament dan pembuluh darah (Smeltzer & Bare, 2001). Pasien yang harus
imobilisasi setelah patah tulang akan menderita komplikasi antara lain: nyeri, iritasi
kulit karena penekanan, hilangnya kekuatan otot. Kurang perawatan diri dapat
terjadi bila sebagian tubuh di imobilisasi, mengakibatkan berkurangnyan
kemampuan prawatan diri (Carpenito, 2012). Reduksi terbuka dan fiksasi interna
(ORIF) fragmen- fragmen tulang di pertahankan dengan pen, sekrup, plat, paku.
Namun pembedahan meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi. Pembedahan
itu sendiri merupakan trauma pada jaringan lunak dan struktur yang seluruhnya
tidak mengalami cedera mungkin akan terpotong atau mengalami kerusakan selama
tindakan operasi (Price & Wilson, 2006).
G. Komplikasi Fraktur
Komplikasi fraktur menurut Smeltzer & Bare (2001) dan Price (2005) antara
lain sebagai berikut:
17
1. Syok
Syok hipovolemik atau traumatic, akibat perdarahan (banyak kehilangan darah
eksternal maupun yang tidak kelihatan yang bias menyebabkan penurunan
oksigenasi) dan kehilangan cairan ekstra sel ke jaringan yang rusak, dapat
terjadi pada fraktur ekstrimitas, thoraks, pelvis danvertebra.
2. Sindrom emboli lemak
Pada saat terjadi fraktur globula lemak dapat masuk kedalam pembuluh darah
karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau karena
katekolamin yang di lepaskan oleh reaksi stress pasien akan memobilisasi asam
lemak dan memudahkan terjasinya globula lemak pada aliran darah.
3. Sindroma kompartement
Sindroma kompartement merupakan masalah yang terjadi saat perfusi jaringan
dalam otot kurang dari yang dibutuhkan untuk kehidupan jaringan. Ini bisa
disebabkan karena penurunan ukuran kompartement otot karena fasia yang
membungkus otot terlalu ketat, penggunaan gibs atau balutan yang menjerat
ataupun peningkatan isi kompatement otot karena edema atau perdarahan
sehubungan dengan berbagai masalah (misalnya : iskemi,dan cidera remuk).
4. Kerusakan arteri
Pecahnya arteri karena trauma bias ditandai denagan tidak ada nadi, CRT
menurun, syanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada
ekstrimitas yang disbabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan
posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
5. Infeksi
Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma
orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini
biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bias juga karena penggunaan
bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
6. Avaskuler nekrosis
Avaskuler nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau
terganggu yang bias menyebabkan nekrosis tulang dan di awali dengan adanya
Volkman’s Ischemia (Smeltzer & Bare, 2001).
18
H. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium perlu dilakukan untuk mengetahui kadar Hb dan
hematokrit, kerana perdarahan yang terjadi akibat fraktur akan menyebabkan
kadar Hb dan hematokrit dalam tubuh menjadi rendah. Selain itu, Laju Endap
Darah (LED) akan meningkat apabila kerusakan yang terjadi pada jaringan lunak
sangat luas. Selain itu pemeriksaan golongan darah juga penting untuk dilakukan
apabila tindakan operasi dilakukan, dan pemeriksaan kadar kratinin juga harus
dilakukan, karena trauma otot dapat meningkatkan beban kreatinin untuk kliren
ginjal.
2. X-ray
Pemeriksaan Xray merupakan pemeriksaan yang digunakan untuk
melihat gambaran fraktur, deformitas (pergeseran fragmen pada fraktur) dan
metalikment. Pemeriksaan Xray merupakan salah satu metode dengan
menggunakan prosedur non invasif. Gambar diambil pada dua proyeksi, yaitu
PA (posteroanterior) atau AP (anteroposterior) dan lateral (LAT). Keuntungan
pemeriksaan Xray yaitu tidak ada residu radiasi di dalam tubuh, tidak ada efek
samping, dan cepat, dapat digunakan pada situasi darurat.
3. CT-scan
CT-scan merupakan alat yang bekerja dengan cara memproduksi gambaran
organ tubuh dengan menggunakan gelombang suara yang terkan pada computer
(Bastiansyah, 2008). CT-scan dapat menghasilkan gambaran dari organ tubuh
termasuk keadaan tulang. Secara umum pemeriksaan CT-scan dapat
memberikan gambaran secara rinci mengenai struktur tulang, jaringan dan cairah
tubuh. Pada fraktur cruris CT-scan dapat digunakan untuk mendeteksi struktur
fraktur yang terjadi secara kompleks.
4. MRI (Magnetic Resonanci Imaging)
MRI merupakan alat diagnostik yang dapat menghasilkan potongan organ
tubuh menusia dengan menggunakan medan magnet tanpa menggunakan sinar-
19
X. MRI pada kejadian fraktur cruris dapat digunakan untuk menegakkan
diagonsis apabila terjadi robekan pada ligamen akibat kejadian fraktur tersebut.
5. Rontgen
Pemeriksaan rontgen merupakan salah satu prosedur yang efektif bila
digunakan untuk mendeteksi terjadinya fraktur. Rontgen digunakan untuk
memotret tubuh bagian dalam, sehingga organ yang ada dalam tubuh dapat
terlihat dengan jelas, terutama pada bagian tulang yang mengalami fraktur. Foto
rontgen menggunakan media sinar X sebagai hasil untuk mengetahui seberapa
tingkat keparahan pada fraktur yang terjadi.
I. Penatalaksanaan Fraktur
a. Penatalaksanaan Non Farmakologi
1) Rehabitity exercise
a) Breathing exercise
Posisi pasien tidur terlentang, dan pasien diminta menghirup nafas
lewat hidung dan menghembuskan lewat mulut dengan 5 kali
hitungan.
20
samping pasien. Terapis meletakkan tangannya di bawah lutut pasien,
kemudian pasien diminta menekan tangan terapis ke tempat tidur.
Latihan ini dilakukan dengan penahanan 6-10 detik, fase istirahat 3-5
detik, kekuatan kontraksi min 40% dari kekutan kontraksi maksimal
dengan 12 kali pengulangan, dilakukan 3-5 kali per hari.
21
Gambar 3. Relaxed passive exercise ke arah dorsi-plantar fleksi
d) Assissted active exercise
Assisted active exercise yaitu suatu gerakan aktif dengan bantuan
kekuatan dari luar, sedangkan pasien tetap mengkontraksikan ototnya
secara sadar. Bantuan dari luar dapat berupa tangan terapis, papan,
maupun suspension. Latihan ini dilakukan pada hari pertama sampai
dengan hari ketiga pasca operasi. Pada hari pertama posisi pasien tidur
terlentang, terapis berada di samping pasien pada sisi yang sakit.
Terapis memfiksasi fragmen bagian distal dan menyangga tungkai
bawah. Pasien diminta menekuk dan meluruskan lututnya sesuai
kemampuan. Pada hari kedua dan ketiga pasca operasi latihan ini
dilakukan dengan posisi berbeda yaitu dengan duduk ongkang-
ongkang, satu tangan terapis memberi fiksasi di atas lutut dan satu
tangan yang lain menyangga tungkai bawah kemudian pasien diminta
bergerak menekuk dan meluruskan lututnya. Gerakan ini dilakukan 5-
10 kali pengulangan
22
atas sedekat mungkin dengan lutut kemudian pasien diminta untuk
menekuk lutut (fleksi) dan meluruskan lutut (ekstensi) dilakukan 8
kali.
23
Resisted active exercise yaitu gerak aktif dengan tahanan dari luar
terhadap gerakan yang dilakukan oleh pasien. Tahanan dapat berasal
dari terapis, pegas maupun dari pasien itu sendiri. Salah satu cara
untuk meningkatkan kekuatan otot adalah dengan meningkatkan
tahanan secara bertahap. Latihan ini dilakukan pada hari keempat
sampai hari keenam. Posisi pasien duduk ongkang-ongkang. Terapis
berada di samping pasien, satu tangan memfiksasi tungkai atas bagian
distal sedekat mungkin dengan lutut dan satu tangan memberi tahanan
pada tungkai bawah. Pasien diminta meluruskan lututnya kemudian
terapis memberi tahanan ke arah fleksi, selanjutnya pasien diminta
untuk menekuk lututnya kemudian terapis memberi tahanan ke arah
ekstensi. Gerakan ini dilakukan 5-10 kali pengulangan
h) Latihan duduk
a. Latihan duduk Long Sitting
Posisi awal pasien tidur terlentang satu tangan terapis diletakkan di
punggung pasien. Untuk menahan agar tidak jatuh, pasien diminta
bangun dengan kedua siku sebagai tumpuan, kemudian kedua
telapak tangan pasien menumpu setelah badan condong ke
belakang/posisi long sitting, kedua tangan menumpu ke belakang
badan.
24
Gambar 8. Duduk long sitting
b. Latihan duduk ongkang-ongkang
Posisi awal pasien duduk half lying dengan long sitting, terapis
berdiri disamping pasien, tungkai kanan yang sehat disuruh
menekuk. Kedua tangan sebagai tumpuan dan terapis menyangga
tungakai yang cidera. Dan pelan-pelan pasien disuruh menggeser
pantatnya, terapis membawa tungkai kedua tungkai kesamping bed
sampai kedua lutut di tepi bed kedua tangan pasien menumpu untuk
menyangga tubuh, kemudian kedua tungkai dalam keadaan
menggantung.
i) Latihan jalan
Latihan jalan dapat dimulai pada hari ketiga pasca operasi. Latihan
jalan dengan menggunakan kruk atau walker dapat memperbaiki
aktifitas fungsional jalan. Sebelum latihan jalan penderita diberikan
latihan transfer secara bertahap mulai dari posisi tidur terlentang ke
posisi duduk, duduk ke berdiri. Pada saat duduk dan berdiri diberikan
latihan keseimbangan yaitu dengan memberi dorongan ke depan,
belakang, samping kanan dan kiri. Latihan jalan bisa dimulai dari
tingkat yang paling aman yaitu dengan walker yang mempunyai
25
stabilitas lebih tinggi daripada kruk. Apabila dengan walker
kemampuan jalan penderita mulai meningkat kemudian dapat diganti
dengan kruk. Latihan jalan dilakukan tanpa menumpu berat badan
(non weight bearing) yaitu kaki yang sehat menumpu sedang kaki
yang sakit tidak menumpu dan dengan metode swing yang terdiri dari
swing to dan swing trough. Swing to yaitu kedua kruk maju kemudian
diikuti kedua kaki diayunkan ke depan dengan posisi kaki saat
menumpu sejajar dengan kedua kruk. Swing trough yaitu kedua kruk
maju kemudian diikuti kedua kaki diayunkan ke depan dengan posisi
kaki saat menumpu melewati kruk. Latihan jalan pertama kali
diberikan dengan jarak yang dekat seperti di sekitar tempat tidur baru
kemudian ditambah dengan jarak yang lebih jauh bertahap dari hari
ke hari. Pasien diminta untuk tetap berjalan seperti yang diajarkan
terapis yaitu tanpa menumpu berat badan sampai menunggu jadwal
kontrol ke dokter dimana hasil dari kontrol tersebut menjadi
pertimbangan apakah pasien diperbolehkan partial weight bearing
(setengah menumpu berat badan) atau weight bearing sekaligus.
2) Edukasi
Edukasi adalah anjuran tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh
pasien selama berada di bangsal ataupun setelah pasien pulang ke rumah.
Edukasi yang diberikan berupa home program antara lain:
26
a) memberikan motivasi agar pasien terus berlatih;
b) untuk mengurangi oedem pasien disuruh menyangga tungkai yang
sakit dengan bantal dan diletakkan lebih tinggi dari posisi jantung;
c) menganjurkan pada pasien untuk melakukan gerakan dorsi fleksi-
plantar fleksi maupun inversi-eversi, fleksi-ekstensi lutut secara aktif
yang sebelumnya diberikan contoh oleh fisioterapi; dan menganjurkan
pada pasien agar tidak menapakkan kaki yang sakit ke lantai.
b. Penatalaksanaan Farmakologi
Menurut Muttaqin (2008) konsep dasar yang harus dipertimbangkan
pada waktu menangani fraktur yaitu : rekognisi, reduksi, retensi, dan
rehabilitasi.
1. Rekognisi (Pengenalan)
Riwayat kecelakaan, derajat keparahan, harus jelas untuk menentukan
diagnosa dan tindakan selanjutnya. Contoh, pada tempat fraktur tungkai
akan terasa nyeri sekali dan bengkak. Kelainan bentuk yang nyata dapat
menentukan diskontinuitas integritas rangka.
2. Reduksi (Manipulasi/ Reposisi)
Reduksi adalah usaha dan tindakan untuk memanipulasi fragmen fragmen
tulang yang patah sedapat mungkin kembali lagi seperti letak asalnya.
Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti
semula secara optimal. Reduksi fraktur dapat dilakukan dengan reduksi
tertutup, traksi, atau reduksi terbuka. Reduksi fraktur dilakukan sesegera
mungkin untuk mencegah jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat
infiltrasi karena edema dan perdarahan. Pada kebanyakan kasus, reduksi
fraktur menjadi semakin sulit bila cedera sudah mulai mengalami
penyembuhan (Mansjoer, 2000).
3. Retensi (Immobilisasi)
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali
seperti semula secara optimal. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang
harus diimobilisasi, atau di pertahankan dalam posisi kesejajaran yang
27
benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi
eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips,
bidai, traksi kontinu, pin, dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan
logam dapat di gunakan untuk fiksasi intrerna yang brperan sebagai bidai
interna untuk mengimobilisasi fraktur. Fiksasi eksterna adalah alat yang
diletakkan diluar kulit untuk menstabilisasikan fragmen tulang dengan
memasukkan dua atau tiga pin metal perkutaneus menembus tulang pada
bagian proksimal dan distal dari tempat fraktur dan pin tersebut
dihubungkan satu sama lain dengan menggunakan eksternal bars. Teknik
ini terutama atau kebanyakan digunakan untuk fraktur pada tulang tibia,
tetapi juga dapat dilakukan pada tulang femur, humerus dan pelvis
(Mansjoer, 2000).
28
Rehabilitasi dilakukan untuk aktifitas fungsional semaksimal mungkin
dalam menghindari atropi atau kontraktur. Bila keadaan mmeungkinkan,
harus segera dimulai melakukan latihan-latihan untuk mempertahankan
kekuatan anggota tubuh dan mobilisasi (Mansjoer, 2000).
29
J. Clinical Pathway
Trauma Trauma tidak Kondisi
langsung langsung patologis
Fraktur
Diskontinuitas Pergeseran
tulang fragmen tulang
Deformitas Peningkatan
Port de entry Putus vena/ Kerusakan
tekanan kapiler
kuman arteri integritas
kulit
Gangguan Pelepasan
fungsi histamin Risiko Perdarahan
infeksi Kerusakan
integritas
Hambatan Protein plasma jaringan
mobilitas fisik hilang Kehilangan
cairan
edema
Syok
hipovolemik
Penekanan
pembuluh
darah
Penurunan
perfusi jaringan
Gangguan
perfusi
jaringan
30
31
Umumnya kebutuhan istirahat atau tidur pasien tidak mengalami perubahan yang
berarti, namun ada beberapa kondisi dapat menyebabkan pola istirahat terganggu atau
berubah seperti timbulnya rasa nyeri yang hebat dan dampak hospitalisasi.
4) Pola Aktivitas
Umumnya pasien tidak dapat melakukan aktivitas (rutinitas) sebagaimana biasanya,
yang hampir seluruh aktivitas dilakukan ditempat tidur. Hal ini dilakukan karena ada
perubahan fungsi anggota gerak serta program immobilisasi, untuk melakukan
aktivitasnya pasien harus dibantu oleh orang lain, namun untuk aktivitas yang sifatnya
ringan pasien masih dapat melakukannya sendiri.
5) Personal Hygiene
Pasien masih mampu melakukan personal hygienenya, namun harus ada bantuan dari
orang lain, aktivitas ini sering dilakukan pasien ditempat tidur.
6) Riwayat Psikologis
Biasanya dapat timbul rasa takut dan cemas terhadap fraktur, selain itu dapat juga terjadi
ganggguan konsep diri body image, jika terjadi atropi otot kulit pucat, kering dan
besisik. Dampak psikologis ini dapat muncul pada pasien yang masih dalam perawatan
dirumah sakit. Hal ini dapat terjadi karena adanya program immobilisasi serta proses
penyembuhan yang cukup lama.
7) Riwayat Spiritual
Pada pasien post operasi fraktur tibia riwayat spiritualnya tidak mengalami gangguan
yang berarti, pasien masih tetap bisa bertoleransi terhadap agama yang dianut, masih
bisa mengartikan makna dan tujuan serta harapan pasien terhadap penyakitnya.
8) Riwayat Sosial
Dampak sosial adalah adanya ketergantungan pada orang lain dan sebaliknya pasien
dapat juga menarik diri dari lingkungannya karena merasa dirinya tidak berguna
(terutama kalau ada program amputasi).
g) Pemeriksaan Fisik
1) B1 (Breathing)
Pre operasi: pada pemeriksaan sistem pernafasan tidak mengalami gangguan.
Post operasi: biasanya terjadi reflek batuk tidak efektif sehingga terjadi penurunan
akumulasi sekret. Bisa terjadi apneu, lidah ke belakang akibat general anastesi, RR
meningkat karena nyeri.
2) B2 (Blood)
32
33
Pre operasi: dapat terjadi peningkatan tekanan darah, peningkatan nadi dan respirasi
karena nyeri, peningkatan suhu tubuh karena terjadi infeksi terutama pada fraktur
terbuka.
Post operasi: dapat terjadi peningkatan tekanan darah, peningkatan nadi dan respirasi
karena nyeri, peningkatan suhu tubuh karena terjadi infeksi terutama pada proses
pembedahan.
3) B3 (Brain)
Pre operasi: tingkat kesadaran biasanya compos mentis.
Post operasi: dapat terjadi penurunan kesadaran akibat tindakan anastesi, nyeri akibat
pembedahan.
4) B4 (Bladder)
Pre operasi: biasanya klien fraktur tidak mengalami kelainan pada sistem ini.
Post operasi: terjadi retensi urin akibat general anastesi.
5) B5 (Bowel)
Pre operasi: pemenuhan nutrisi dan bising usus biasanya normal, pola defekasi tidak ada
kelainan.
Post operasi: penurunan gerakan peristaltic akibat general anastesi.
6) B6 (Bone)
Pre operasi: adanya deformitas, nyeri tekan pada daerah trauma.
Post operasi: gangguan mobilitas fisik akibat pembedahan.
B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang dapat diangkat sesuai dengan pathway adalah sebagai berikut
(NANDA, 2015).
a) Pre Operasi
1) Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera fisik (trauma)
2) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan muskuloskeletal
3) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan cedera
4) Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan
5) Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif, luka
6) Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan imobilitas
7) Intoleran aktivitas berhubungan dengan imobilitas
8) Resiko syok hipovolemik berhubungan dengan perdarahan
b) Post operasi
33
34
34
35
C. Rencana Keperawatan
Masalah Keperawatan
No Tujuan & Kriteria Hasil (NOC) Intervensi (NIC)
Pre Operatif
1. Nyeri akut (00132) NOC NIC
Kontrol nyeri (1605) Manajemen nyeri (1400)
Tingkat nyeri (2102) 1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif (lokasi,
Kepuasan klien: manajemen nyeri (3016) karakteristik, durasi, dan intensitas nyeri)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 2. Observasi adanya petunjuk nonverbal nyeri
jam nyeri akut pada pasien dapat berkurang, dengan 3. Pastikan analgesik dipantau dengan ketat
kriteria hasil: 4. Jelaskan pada pasien terkait nyeri yang dirasakan
1. Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, Terapi relaksasi (6040)
mampu menggunakan tehnik nonfarmakologi 5. Gambarkan rasional dan manfaat relaksasi seperti nafas
untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan) dalam dan musik
2. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan 6. Dorong pasien mengambil posisi nyaman
menggunakan manajemen nyeri Pemberian analgesik (2210)
3. Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, 7. Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan keparahan nyeri
frekuensi dan tanda nyeri) sebelum mengobati pasien
4. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang 8. Cek adanya riwayat alergi obat
9. Cek perintah pengobatan meliputi obat, dosis, dan frekuensi
obat analgesik yang diresepkan
2. Ansietas (00146) NOC NIC
Tingkat Kecemasan (1211) Pengurangan kecemasan (5820)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x 1. Gunakan pendekatan yang tenang dan menyakinkan
24 jam, ansietas pada pasien dapat teratasi, dengan 2. Nyatakan dengan jelas harapan terhadap perilaku klien
kriteria hasil: 3. Jelaskan semua prosedur termasuk sesuai yang akan
1. Pasien dapat menyampaikan rasa takut secara dirasakan yang mungkin akan alami klien selama prosedur
lisan 4. Berikan informasi faktual terkait diagnosis, perawatan dan
2. Tidak ada peningkatan tekanan darah pasien prognosis
35
36
3. Tidak ada Peningkatan frekuensi nadi pasien 5. Berada di sisi klien untuk meningkatkan rasa aman dan
4. Tidak ada Peningkatan frekuensi pernafasan mengurangi ketakutan
pasien 6. dorong verbalisasi perasaan, persepsi dan ketakutan
7. dukung penggunaan mekanisme koping yang sesuai
8. instruksikan klien untuk menggunakan teknik relaksasi
9. kaji tanda verbal dan non verbal kecemasan
3. Defisiensi NOC NIC
pengetahuan(00126) Pengetahuan : Prosedur penanganan (1814) Pengajaran: Perioperatif (5610)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 1. informasikan kepada pasien dan keluarga untuk jadwal
jam, defisiensi pengetahuan pada pasien dapat tanggal, waktu dan lokasi operasi.
teratasi, dengan kriteria hasil: 2. Informasikan kepada pasien dan keluarga perkiraan lama
1. Pasien memahami prosedur penanganan, tujuan operasi
prosedur, langkah-langkah prosedur 3. Kaji riwayat operasi sebelumnya, latar belakang, budaya
2. Klien mengetahui efek samping penanganan dan tingkat pengetahuan terkait operasi
3. Klien mengetahui kontraindikasi penanganan 4. Fasilitasi kecemasan pasien dan keluarga terkait
kecemasannya
5. Berikan kesemapatan untuk pasien bertanya
6. Jelaskan prosedur persiapan pre-operasi (misalnya jenis
anestesi, diit yang sesuai, pengosongan saluran cerna,
pemeriksaan lab yang dibutuhkan, perisapan area operasi,
terapi intravena, pakaian operasi, ruang tunggu keluarga,
transportasi menuju ruang operasi dan lain-lain.
7. Berikan umpan balik terhadap kepercayaan pasien kepada
semua pihak yang terlibat dalam proses operasi
8. Diskusikan kemungkinan nyeri yang dirasakan
9. Intruksikan pasien mengenai teknik mobilisasi, batuk dan
nafas dalam
10. Evaluasi kemampuan pasien dan dokumentasi
36
37
Masalah Keperawatan
No. Tujuan & Kriteria Hasil (NOC) Intervensi (NIC)
Post Operatif
1. Nyeri akut (00132) NOC NIC
Kontrol nyeri (1605) Manajemen nyeri (1400)
Tingkat nyeri (2102) 10. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif (lokasi,
Kepuasan klien: manajemen nyeri (3016) karakteristik, durasi, dan intensitas nyeri)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 11. Observasi adanya petunjuk nonverbal nyeri
selama 1x24 jam nyeri akut pada pasien dapat 12. Pastikan analgesik dipantau dengan ketat
berkurang, dengan kriteria hasil: 13. Jelaskan pada pasien terkait nyeri yang dirasakan
5. Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab Terapi relaksasi (6040)
nyeri, mampu menggunakan tehnik 14. Gambarkan rasional dan manfaat relaksasi seperti nafas
nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, dalam dan musik
mencari bantuan) 15. Dorong pasien mengambil posisi nyaman
6. Melaporkan bahwa nyeri berkurang Pemberian analgesik (2210)
dengan menggunakan manajemen nyeri 16. Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan keparahan
7. Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, nyeri sebelum mengobati pasien
frekuensi dan tanda nyeri) 17. Cek adanya riwayat alergi obat
8. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri 18. Cek perintah pengobatan meliputi obat, dosis, dan
berkurang frekuensi obat analgesik yang diresepkan
2. Resiko infeksi (00004) NOC NIC
Keparahan infeksi (0703) Kontrol infeksi (6540)
Kontrol resiko (1902) 1. Bersihkan lingkungan dengan baik setelah dipakai setiap
Setelah dilakukan tindakan keperawatan pasien
selama 1x24 jam, tidak terjadi infeksi pada 2. Ganti perawatan peralatan setiap pasien sesuai SOP
pasien dengan kriteria hasil: rumah sakit
1. Luka tidak berbau busuk 3. Batasi jumlah pengunjung
2. Pasien tidak demam (suhu stabil) 4. Ajarkan cara mencuci tangan
3. Tidak terdapat nanah pada luka Perlindungan infeksi (6550)
4. Pasien dapat mengidentifikasi faktor resiko 5. Monitor adanya tanda dan gejala infeksi
37
38
38
39
39
40
4. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan dilakukan secara sistematis dan periodik setelah pasien diberikan
intervensi dengan berdasarkan pada berdasarkan pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi
keperawatan, dan implementasi keperawatan. Evaluasi keperawatan ditulis dengan format
SOAP, yaitu:
1. S (subjektif) yaitu respon pasien setelah dilakukan tindakan keperawatan.
2. O (objektif) yaitu data pasien yang diperoleh oleh perawat setelah dilakukan tindakan
keperawatan.
3. A (analisis) yaitu masalah keperawatan pada pasien apakah sudah teratasi, teratasi
sebagian, belum teratasi, atau timbul masalah keperawatan baru
4. P (planning) yaitu rencana intervensi dihentikan, dilanjutkan, ditambah, atau dimodifikasi
5. Discharge Planning
Berdasarkan Nurafif dan Kusuma (2015) discharge planning untuk pasien fraktur
sebagai berikut:
1. Meningkatkan masukan cairan
2. Dianjurkan untuk diet lunak terlebih dahulu
3. Dianjurkan untuk istirahat yang adekuat
4. Kontrol sesuai jadwal
5. Mimun obat sesuai dengan yang diresepkan dan segera periksa jika ada keluhan
6. Menjaga masukan nutrisi yang seimbang
7. Hindari trauma ulang.
40
41
DAFTAR PUSTAKA
Moorhead., Johnson., Maas., & Swanson. 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC). fifth
Edition. USA: Mosby.
Morrison, M.J. 2003. Manajemen Luka alih bahasa Tyasmono A. F. Jakarta: EGC.
Muttaqin, A. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan. Sistem
Pernafasan. Jakarta : Salemba Medika.
Nanda Internasional 2015. Diagnosis Keperawatan 2018-2020. Oxford: Willey Backwell.
Nurafif, A.H. dan K. Hardhi. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis dan NANDA NIC NOC. Edisi 1. Yogyakarta: Mediaction.
Pearce, Evelyn C. 2009. Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. Jakarta: Gramedia.
Price and Wilson. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume
1. Jakarta: EGC.
Smeltzer, S. C., dan Bare, B. G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner &
Suddarth.Edisi 8 Volume 2. Jakarta: EGC.
Smeltzer, S. C., 2013. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta: EGC.
41