Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, baik bersifat total maupun
sebagian yang ditentukan berdasarkan jenis dan luasnya. Fraktur ekstremitas atas
yaitu fraktur yang terjadi pada tulang yang membentuk lokasi ektremitas atas baik
pada tangan, pergelangan tangan,lengan, siku, lengan atas dan gelang bahu (UT
Southwestern Medical Center, 2016). Berdasarkan anatomisnya, gelang bahu terdiri
atas klavikula dan scapula (Nurachmah dan Angriani, 2011).
Pada umumnya fraktur disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik, kekuatan,
sudut, tenaga, keadaan tulang, dan jaringan lunak disekitar tulang yang akan
menentukan apakah fraktur yang terjadi disebut lengkap atau tidak lengkap.
Fraktur lengkap terjadi apabila seluruh tulang patah, sedangkan fraktur tidak
lengkap tidak melibatkan seluruh ketebalan tulang.
Fraktur juga dapat diakibatkan oleh penekanan yang berulang atau keadaan
patologis dari tulang itu sendiri. Apabila fragmen fraktur tersebut mengenai
dan merobek kulit disebut sebagai fraktur terbuka, sedangkan apabila fragmen
dan tenaga dari luar fraktur tidak sampai merobek kulit dikatakan sebagai
fraktur tertutup (Apley et al., 2010).
Angka kejadian fraktur cukup tinggi. Menurut World Health Organization
(WHO), kasus fraktur terjadi di dunia kurang lebih 13 juta orang pada tahun
2008, dengan angka prevalensi sebesar 2,7%. Sementara pada tahun 2009
terdapat kurang lebih 18 juta orang mengalami fraktur dengan angka prevalensi
4,2%. Tahun 2010 meningkat menjadi 21 juta orang dengan angka prevalensi
sebesar 3,5%. Sedangkan di Indonesia berdasarkan data dari Departemen
Kesehatan RI tahun 2013 didapatkan sekitar 8 juta orang mengalami kejadian
fraktur dengan 36,9% diantaranya adalah fraktur pada bagian ekstremitas atas.
Dari hasil survey tim Depkes RI didapatkan 25% penderita fraktur yang
mengalami kematian, 45% mengalami catat fisik, 15% mengalami stress
psikologis seperti cemas atau bahkan depresi, dan 10% mengalami
kesembuhan dengan baik (Depkes RI 2013).
Fraktur skapula relatif jarang terjadi. Berdasarkan beberapa penelitian,
kejadian fraktur skapula ini hanya sekitar 0.4% – 0.9% dari angka total
kejadian fraktur dan sekitar 3% -5% dari semua fraktur di sendi bahu (Voleti,
2012). Fraktur skapula biasanya terjadi bersamaan dengan cedera lain,
termasuk fraktur clavicula (26%), fraktur tulang tempurung kepala (24%),
contusio cerebral (20%), defisit neurologis (13%) dan kontusio pulmonal atau
hemopneumothorax (16%).
Salah satu manifestasi klinis pada pasien fraktur adalah nyeri. Nyeri
merupakan sensasi subjektif dan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan
yang memperlihatkan ketidaknyamanan baik verbal maupun non verbal dan berkaitan
dengan kerusakan jaringan yang aktual dan potensial .
Untuk mengurangi nyeri, stabilisasi, dan mencegah bertambah parahnya
gangguan muskuloskeletal, pasien fraktur memerlukan tindakan pembedahan.
Open Reduction Internal Fixation (ORIF) adalah suatu jenis pembedahan yang
tindakannya mengacu pada operasi terbuka untuk mengatur tulang yang
diperlukan untuk beberapa patah tulang, fiksasi internal mengacu pada fiksasi
sekrup dan piring untuk memfasilitasi penyembuhan (Smeltzer & Bare, 2002).
Tindakan pembedahan tersebut juga dapat menyebabkan rasa nyeri,
sehingga dapat menimbulkan komplikasi yang serius dan menghambat proses
pemulihan pasien jika tidak dilakukan manajemen nyeri dengan baik. Pasien
yang dilakukan tindakan pembedahan sekitar 80% mengalami nyeri akut
setelah operasi. Nyeri yang dialami pasien 86 % dalam kategori nyeri sedang
dan berat. (Kneale, 2011).

B. Rumusan Masalah
Bagaimana konsep dasar teori dan konsep dasar asuhan keperawatan pada
pasien dengan Fraktur Skapula?

C. Tujuan
Untuk mengetahui konsep dasar teori dan konsep dasar asuhan keperawatan
pada pasien dengan Fraktur Skapula
BAB II
KONSEP DASAR KEPERAWATAN

A. Pengertian Definisi Fraktur Scapula


Badan scapula mengalami fraktur akibat daya penghancur. Leher scapula
dapat mengalami fraktur akibat pukulan atau jatuh pada bahu. Fraktur Scapula tidak
lazim karena terlindungi oleh otot, dan terletak mendatar pada dinding dada.
(Chang, John & Dough 2010)
Fraktur skapula dapat terjadi pada badan, leher, prosesus akromion dan
prosesus korakoid. Terjadi akibat trauma langsung dengan gejala nyeri serta
pembengkakan pada daerah yang terkena trauma.

B. Klasifikasi Fraktur Skapula


1. Berdasarkan lokasi fraktur, fraktur scapula di bedakan menjadi 3 tipe (Gustilo
1993) :
a. Tipe 1 : fraktur yang melibatkan tulang scapula
b. Tipe 2 : fraktur yang melibatkan coracoid dan acromion
c. Tipe 3 : fraktur yang melibatkan sudut lateral superior, termasuk tulang
genoid dan leher.
2. Klasifikasi Fraktur Skapula menurut Mostofi,2006 :
a. Zdravkovic dan Dambolt
1) Tipe I : Scapula Body
2) Tipe II : Fraktur apophyseal, termasuk akromion dan korakoid
3) Tipe III : Fraktur sudut superolateral, termasuk leher skapula dan
glenoid
b. Fraktur Korakoid Klasifikasi Eyres dan Brooks
1) Tipe I : Ujung Korakoid atau fraktur epiphyseal
2) Tipe II : Mid Processus
3) Tipe III : Fraktur Basal
4) Tipe IV : Bagian superior scapula ikut terlibat
5) Tipe V : Perluasan ke arah fossa glenoid
c. Fraktur Intraartikular Glenoid Klasifikasi Ideberg
1) Tipe I : Fraktur avulsi dari batas anterior
2) Tipe II :
IIA: Fraktur transverse melalui fossa glenoid menuju ke inferior
IIB: Fraktur Oblique melalui fossa glenoid menuju inferior
3) Tipe III : Fraktur Oblique melalui glenoid ke arah superior; terkadang
dihubungkan dengan cedera sendi akromioklavikular
4) Tipe IV : Fraktur Transverse menuju ke tepi medial skapula
5) Tipe V : Kombinasi pola tipe II dan tipe IV
6) Tipe VI : Severe Continuation of Glenoid Surface (GOSS)

C. Etiologi
Etiologi fraktur scapula adalah (Koval 2006) :
1. Trauma langsung
2. Dislokasi bahu dapat menyebabkan glenoid fracture
3. Otot atau ligamen dapat menyebabkan fraktur avulsion
4. Cedera tidak langsung terjadi melalui aksial loading pada lengan
terentang.
Penyebab fraktur scapula menurut Stover (2012), yaitu:
1. Trauma atau benturan. Adanya 2 trauma atau benturan yang dapat mengakibatkan
fraktur, yaitu:
a. Benturan langsung (karena adanya suatu benda yang terjatuh ).
b. Benturan tidak langsung (benda metal).
2. Tekanan atau stress yang terus menerus dan berlangsung lama
Tekanan kronis berulang dalam jangka waktu yang lama akan
mengakibatkan fraktur yang kebanyakan terjadi pada tulang tibia, fibula
atau mentatarsal pada olahragawan, militer maupun penari.
Contoh : Seorang militer yang berlatih dengan menghentakkan kakinya secara rutin
dan terus-menerus.
3. Adanya keadaan yang tidak normal pada tulang kelemahan tulang yang abnormal
karena proses patologis seperti tumor maka dengan energi kekerasan yang minimal
akan mengakibatkan fraktur yang pada orang normal belum dapat menimbulkan
fraktur.
D. Patofisiologi
Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Tertutup bila
tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Sedangkan
fraktur terbuka bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar
oleh karena perlukaan di kulit (Smelter dan Bare,2002). Trauma pada tulang
dapat menyebabkan keterbatasan gerak dan ketidak seimbangan, fraktur terjadi
dapat berupa fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Fraktur tertutup tidak disertai
kerusakan jaringan lunak seperti tendon, otot, ligament dan pembuluh darah
(Smeltzer dan Bare, 2001).
Tulang scapula terletak di sebelah posterior tulang kostal yang berbentuk
pipih seperti segitiga dan merupakan tempat melekatnya otot yang berfungsi
untuk menggerakkan lengan atas dan lengan bawah. Kondisi anatomis ini
memberikan dampak terjadinya fraktur tertutup lebih sering dibandingkan
dengan terjadinya fraktur terbuka pada tulang scapula. Bahkan menurut Gibson
(2002) fraktur scapula tidak lazim karena terlindungi oleh otot, dan terletak
mendatar pada dinding dada.
Cedera pada tubuh atau pada tulang skapula merupakan akibat dari pukulan
langsung dengan kekuatan yang signifikan, seperti dari kecelakaan kendaraan
bermotor atau jatuh. Fraktur scapula ini juga dapat terjadi karena osteoporosis
sehingga kekuatan tulang dapat menurun.
Fraktur scapula paling sering disebabkan oleh pukulan langsung posterior.
Merupakan akibat dari jatuh dengan tangan keluar dan diregangkan atau jatuh
pada aspek lateral bahu. Kondisi tersebut mungkin juga dapat mengakibatkan
patah glenoid atau leher. Sedangkan jatuh yang terjadi di ujung bahu mungkin
akan menyebabkan patah akromion atau coracoid dan sering dikaitkan dengan
cedera pada sendi acromioclavicular. Kecelakaan kendaraan bermotor dan
jatuh adalah penyebab paling umum dari fraktur scapula (Gustilo, 1993).
Badan scapula mengalami fraktur akibat dari daya penghancur yang
biasanya juga mengakibatkan fraktur pada tulang rusuk dan dapat
mengakibatkan dislokasi pada sendi sternoclavikularis. Leher scapula dapat
mengalami fraktur akibat pukulan atau jatuh pada bahu. Prosesus korakoideus
dapat mengalami fraktur pada dasarnya atau mengalami avulse pada ujungnya.
Fraktur pada acromion adalah akibat kekuatan langsung. Fraktur pada pinggir
glenoid dapat terjadi bersama dislokasi bahu.
E. Pathway

Sumber : Smeltzer dan Bare, 2001.

F. Manifestasi Klinis
Manifestasi yang terjadi pada fraktur scapula sebagai berikut (Gustilo 1993) :
1. Nyeri
2. Nyeri tekan pada scapula ( loksi yang terjadi kerusakan tulang)
3. Pembengkakkan
4. Hilangnya fungsi tulang

G. Pemeriksaan Diagnostik Penunjang


1. X Ray
Fraktur scapula bisa sangat sulit untuk di definisikan melalui x ray karena
skapula di kelilingi oleh soft tissue. X ray dapat menunjukan fraktur komunitif
dari scapula atau fraktur pada leher scapula yang bagian terluarnya tertarik
kebawah oleh karena beban dari lengan.Kadang kadang pecahan frakture terlihat
di acromion atau pada coracoid. CT Scan lebih bisa membantu untuk melihat
gleniod fraktur atau body fraktur. ( Appley, 1993) Gambaran Anteroposterior pada
bahu di bagian skapula, gambaran lateral dari bahu ( Y view ), Gambaran supine
axillary di perlukan dalam mendiagnosis fraktur humerus proximal. Dan apabila
dengan gambaran radiologi tidak memperihatkan pergeseran kepala humerus dan
bagian tuberiositas di butuhkan CT scan dengan 2-mm bagian. ( Campbells 2013 )
Anternteroposterior radiografi dari seluruh bahu yang melindungi seluruh
skapula, klavicula, sendi AC dan SC dan proximal humerus adalah bagian dari
pemeriksaan dasar dalam menegakan kecurigaan fraktur scapula. Hal ini dapat
memperlihatkan informasi yang luas tentang seluruh bahu. Tetapi proyeksi ini
kadang tidak cukup untuk menentukan fraktur dan pergeseran dari bagian.
Sehingga di perlukan kombinasi antara proyeksi NEER 1 dan NEER 2.
(Rockwood,2001).
a. Neer I Projection : Anteroposterior dari radiografi dari scapula, digunakan
untuk menilai glenohumeral joint space, displacment dari glenoid
(Rockwood,2001).
b. Neer II projection : Biasa disebut Y view, adalah proyeksi lateral scapula
sesungguhnya. Proyeksi ini di gunakan untuk menilai fraktur dari badan
scapula yang di sebabkan karna angulasi, translasi dan fragment yang
overlap. (Rockwood,2001).
Foto thorak juga di butuhkan untuk melihat apakah ada multi trauma selain
fractur scapula. Foto thorak juga bisa menilai posisi antara hubungan scapula dan
tulang belakang ( Scapulothoratic disociation). (Rockwood,2001). Proyeksi yang
lain :” Axillary in particular ” di rekomendasikan oleh beberapa penulis untuk
membantu mendiagnosis fraktur dari glenoid, acromion dan coracoid. Tetapi
posisi ini membuat pasien sangat kesakitan. (Rockwood,2001).
2. CT Scan
Pemeriksaan ct scan pada dasarnya merubah radiodiagnostic dari fraktur
scapula. Hal ini selalu diindikasikan apabila pemeriksaan radiografi tidak bisa
mengungkapkan frakturnya. CT Tranverse section: sangat membantu dalam
menilai fossa glenoid. Hal ini juga bisa mengungkapkan fraktur tanpa displace
dari scapula, terutama pada coracoid dan acromion. (Rockwood,2001).
H. Penatalaksaan
1. Pengobatan tertutup
Sebagian besar fraktur skapula dapat dikelola secara efektif dengan
pengobatan tertutup. Beberapa cidera dengan perpindahan signifikan memiliki
hasil jangka panjang yang buruk untuk bahu dan ekstremitas atas secara
keseluruhan dilakukan pengobatan dengan teknik tertutup. Karena fraktur
skapula sering dikaitkan dengan luka yang mengancam jiwa ssehingga
kontraindikasi sangat jarang ditemui.
Terapi medis untuk pasien dengan fraktur skapula umumnya sama seperti
pada pasien dengan trauma. Melakukan resusitasi ciran, menstabilkan
cardiopulmonal, dan mengobati luka sebelum dilakukan tindakan operatif.
Pengobatan fraktur skapula adalah secara simptomatik yaitu imobilisasi
jangka pendek menggunakan sling dan balutan. Lalu managemen ROM dini
dengan menggunakan sling untuk mengobservasi nyeri. Sebagian besar fraktur
skapula sembuh dalam 6 minggu. Latihan ROM terus dilakukan sampai
mobilitas bahu pulih secara penuh. Jika sebagian gerakan membaik maka
dilakukan penambahan latihan penguatan
2. Pengobatan terbuka
Pengobatan secara tertutup dilakukan pada fraktur skapula:
a. Fraktur dengan pergeseran yang signifikan pada rongga glenoid
(glenoid rim dan fossa)
b. Fraktur dengan pergeseran yang signifikan pada bagian tulang leher
glenoid.
c. Gangguan ganda dari bahu superior suspensori kopleks (SSSC) dimana
satu atau lebih dari elemen skapula bergeser posisi. Pada fraktur skaplua,
tindakan operatif dilakukan dengan anestesi general. Semua fraktur skapula
kecuali rongga glenoid (cidera rim anterior) tipe II dilakukan pembedahan
dengan pendekatan posterior. Kadang-kadang juga dilakukan secara superior.
d. Post-operative
1) ROM Exercise
2) Radiografi setiap 2 minggu sekali.
3) Terapi fisik bersama ROM exercise.
I. Komplikasi
1. Cedera pleksus brakialis akibat fraktur coracoid (Rockwood dalam Noort,
2009.
2. Cedera saraf suprascapula akibat fraktur leher scapular dengan ekstensi ke
dalam suprascapular (Edelson & Solheim dalam Noort, 2009) dan fraktur
dasar coracoid (Rockwood dalam Noort, 2009)
3. Cedera saraf aksila dan pleksus brakialis akibat fraktur akromion
4. Arthritis pascatrauma
5. Malunioin.

J. Pencegahan
Banyak jenis fraktur yang dapat dicegah dengan menggunakan peralatan
pengaman seperti; sabuk pengaman , supaya dapat mengurangi insiden
kecelakaan kendaraan bermotor, perilaku mengendarai kendaraan yang baik
dan penggunaan mesin pabrik yang baik dapat mencegah cedera traumatik,
yang dapat mengakibatkan terjadinya kecelakaan yang mengakibatkan
fraktur, meskipun terutama orang-orang pada usia muda suka mengambil
kegiatan yang beresiko, bahaya yang berhubungan dengan mesin pabrik tidak
dapat dianggap remeh, peringatan ketika berolahraga. Di rumah sakit
disediakan peringatan keamanan, lantai yang bersih. (Chang, John & Dough
2010).

BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Anamnesa
a. Keluhan utama
b. Riwayat kesehatan sekarang
c. Riwayat kesehatan dahulu
d. Riwayat penyakit keluarga
e. Riwayat psikologis
f. Riwayat social-ekonomi
2. Pemerikasaan fisik
Pemeriksaan B1-B6
a. B1 (breathing)
Hitungan napas permenit,suara napas
b. B2 (blood)
Keadaan akral hangat/dingin,keadaan CRT
c. B3 (brain)
Kesadaran pasien ,kaji PQRST
d. B4 (blader)
Pola bladernya normal/tidak
e. B5 (bowel)
Mengkaji kebutuhan nutrisinya
f. B6(Bone)
Mengkaji look,feel dan move px

B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa yang mungkin muncul pada pasien dengan fraktur scapula, yaitu :
1. Resiko tinggi trauma berhubungan dengan kehilangan integritas tulang ( fraktur )
2. Nyeri berhubungan dengan spasme otot, gerakan fragmen tulang, cidera pada
jaringan lunak, stres, ansietas, alat traksi/imobilisasi
3. Resiko tinggi disfungsi neurovaskuler primer berhubungan dengan penurunan /
interupsi aliran darah
4. Resiko tinggi kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan aliran
darah : emboli lemak
5. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler,
nyeri/ketidaknyamanan, imobilisasi tungkai
6. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan cidera tusuk, fraktur
terbuka, pemasangan pen, traksi, perubahan sensasi, imobilitas fisik
7. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan
primer, prosedur invasif
8. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan pengobatan berhubungan
dengan salah interpretasi informasi

C. Intervensi
1. Resiko tinggi trauma berhubungan dengan kehilangan integritas tulang ( fraktur ).
Tujuan : Trauma tidak terjadi.
Kriteria hasil :
Mempertahankan stabilisasi dan posisi fraktur, menunjukkan mekanika tubuh
yang meningkatkan stabilisasi pada posisi fraktur, menunjukkan pembentukan
kalus / mulai penyatuan fraktur dengan tepat.
Intervensi :
a. Pertahankan tirah baring / ektremitas sesuai indikasi. Berikan sokongan sendi
diatas dan dibawah fraktur bila bergerak.
b. Letakkan papan dibawah tempat tidur / tempatkan pasien pada tempat tidur
ortopedik, Gips / bebat.
c. Sokong fraktur dengan bantalan / gulungan selimut.
d. Tugaskan petugas yang cukup untuk membalik pasien. Hindari menggunakan
papan abduksi untuk membalik pasien dengan gips spika.
e. Evaluasi pembebatkan ektremitas terhadap resolusi edema, Traksi
f. Pertahankan posisi / integritas traksi.
g. Yakinkan bahwa semua klem berfungsi. Minyaki katrol dan periksa rol
terhadap ketegangan.
h. Bantu meletakkan beban dibawah roda tempat tidur bila diindikasikan.
i. Kaji ulang tahanan yang mungkin timbul karena terapi.
j. Kaji integritras alat fiksasi ekternal.
k. Kaji ulang foto / evaluasi.
l. Berikan / pertahankan stimulasi listrik bila digunakan.
2. Nyeri berhubungan dengan spasme otot, gerakan fragmen tulang, cidera pada
jaringan lunak, stres, ansietas, alat traksi/imobilisasi
Tujuan : Nyeri berkurang/hilang.
Kriteria hasil :
Keluhan nyeri berkurang, distraksi focus pada diri sendiri, wajah
menunjukkan rileks, menunjukkan tindakan santai, mempu berpartisipasi dalam
aktivitas/ tidur / istirahat.
Intervensi :
a. Pertahankan imobilisasi bagian yang sakit dengan tirah baring, gips, pembebat,
traksi.
b. Tinggikan dan dukung ektremitas yang terkena.
c. Hindari penggunaan sprei / bantal plastic dibawah ektremitas dalam gips.
d. Tinggikan penutup tempat tidur, pertahankan linen terbuka pada jari kaki.
e. Evaluasi keluhan nyeri / ketidaknyamanan, pertahankan lokasi dan
karateristik,termasuk intensitas ( skala 0 – 10 ). Perhatikan petunjuk nyeri non
verbal.
f. Dorong pasien untuk mendiskusikan maalah sehubungan dengan cidera.
g. Jelaskan prosedur sebelum memulai tindakan.
h. Beri obat sebelum perawatan aktivitas. Lakukan dan awasi latihan rentang
gerak aktif / pasif.
i. Berikan alternative tindakan kenyaman contohnya pijatan punggung dan
perubahan posisi.
j. Dorong menggunakan tehnik manajemen stress contohnya relaksasi progresif
dan latihan napas dalam.
k. Identifikasi aktivitas teraupatik yang tepat untuk usia pasien / kemampuan
fisik.
l. Selidiki adanya keluhan nyeri yang tidak biasa, lokasi progresif / buruk tidak
hilang dengan analgetik.
m. Lakukan kompres dingin 24 – 48 jam pertama.
n. Berikan obat sesuai indikasi : narkotik dan analgetik, non narkotik : toradol,
relaksan otot : vastarii.
o. Awasi analgetik yang dikontrol pasien bila diindikasikan.
3. Resiko tinggi disfungsi neurovaskuler primer berhubungan dengan penurunan /
interupsi aliran darah.
Tujuan : tidak terjadi disfungsi neurovaskuler perifer.
Kriteria hasil :
Mempertahankan perfusi jaringan dibuktikan oleh terabanya nadi, kulit hangat
/ kering, sensasi normal, sensori biasa, tanda vital stabil, dan haluaran urine
adekuat.
Intervensi :
a. Lepaskan perhiasan dari ektremitas yang sakit.
b. Evaluasi adanya / kualitas nadi perifer distalk terhadap cidera melalui palpasi.
c. Kaji aliran perifer, warna kulit dan kehangatan distal pada fraktur.
d. Lakukan pengkajian neuromuskuler. Perhatikan perubahan fungsi motoric /
sensori. Minta pasien untuk melokalisasi nyeri / ketidaknyamanan.
e. Tes sensari saraf perifer dengan menusuk pada kedua selaput antara ibu jari
pertama dan kedua dan kaji kemampan untuk dorsofleksi ibu jari bila
diindikasikan.
f. Selidiki keluhan ras terbakardibawah gips.
g. Pertahankan peninggian ektremitas yang cidera kecuali di kontraindikasikan
dengan menyakinkan adanya syndrome kompartement.
h. Kaji keseluruhan panjang ektremitas yang cidera untuk pembengkakan.
Perhatikan penampilan / luasnya hematoma.
i. Perhatikan keluhan nyeri ektremitas untuk tipe cidera / peningkatan nyeri
padagerakan pasif ektremitas.
j. Selidiki tanda iskemia ektremitas tiba – tiba, contoh penurunan suhu kulit dan
peningkatan nyeri.
k. Dorong pasien untuk secara rutin latihan jari / sendi distal cedera.
l. Selidiki nyeri tekan, pembengkakan pada dorsofleksi kaki (tanda human
positif ).
m. Awasi tanda vital. Perhatikan tanda pucat / sianosis umum, kulit dingin.
n. Perhatikan perdarahan lanjut pada sisi trauma / injeksi dan perdarahan terus
menerus dari membrane mukosa.
o. Berikan kompres es sekitar fraktur sesuai indikasi.
p. Bebat / buat spalk sesuai kebutuhan.
q. Kaji / awasi tekanan intrakompartement.
r. Siapkan untuk intervensi bedah contoh fibulektomi.
s. Awasi Hb/ Ht, periksa koagulasi.
t. Berikan warfarin natrium.
u. Berikan kaos kaki antiembolitik/tekanan berurutan.

4. Resiko tinggi kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan aliran


darah : emboli lemak.
Tujuan : Tidak terjadi kerusakan pertukaran gas.
Kriteria hasil :
Mempertahankan fungsi pernapasan adekuat, dibuktikan oleh adanya dispnea /
sianosis, frekuensi pernapasan dan analisa gas darah dalam batas normal.
Intervensi :
a. Awasi frekuensi pernapasan. Perhatikan adanya stridor, penggunaan otot
bantu, retraksi.
b. Auskultasi bunyi napas, perhatikan terjadinya ketidaknyamanan, bunyi
hiperesonansi
c. juga adanya gemericik, sesak napas.
d. Atasi jaringan cidera / tulang yang lembut.
e. Interupsi dan bantu latihan napas dalam dan batuk.
f. Perhatikan peningkatan gelisah, kacau, letargi.
g. Observasi sputum untuk tanda adanya darah.
h. Inspeksi kulit untuk pteckie pada aksila meluas ke abdomen, kantung
konjuntiva dan retina.
i. Bantu dalam spirometri insentif.
j. Bari tambahan O2 bila diindikasikan.
k. Awasi pemeriksaan laboratorium seperti analisa gas darah, Hb, Ht, LED,
lipase serum, lemak.
l. Berikan obat sesuai indikasi heparin dosis rendah, kortikosteroid.

5. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler,


nyeri/ketidaknyamanan, imobilisasi tungkai
Tujuan : tidak terjadi kerusakan mobilitas fisik.
Kriteria hasil :
Mempertahankan mobilitas pada tingkat paling tinggi yang mungkin,
mempertahankan posisi fungional, meningkatkan kekuatan / fungsi yang sakit dan
mengkompensasikan bagian tubuh, menujukkan tehnik yang memampukan
melakukan aktivitas.
Intervensi :
a. Kaji derajat imobilisasi yang dihasilkan oleh cedera / pengobatan dan
perhatikan persepsi pasien terhadap imobilisasi.
b. Dorong partisipasi pada aktivitas teraupetik. Pertahankan rangsangan
lingkungan contoh radio, televisi.
c. Intruksikan pasien untuk Bantu dalam rentang gerak pasif / aktif pada
ektremitas yang sakit.
d. Dorong penggunaan latihan isometric mulai dengan tungkai yang tidak sakit.
e. Berikan papan kaki, bebat pergelangan, gulungan trokanter.
f. Tempatkan dalam posisi telentang secara periodic bila mungkin.
g. Bantu / dorong perawatan diri.
h. Bantu dalam mobilisasi dengan kursi roda. Kruk.
i. Awasi tanda vital dengan melakukan aktivitas. Perhatikan keluhan pusing.
j. Ubah posisi secara periodic dan dorong untuk latihan batuk / napas dalam.
k. Auskultasi bising usus. Awasi kebiasaan eliminasi dan berikan keteraturan
defekasi rutin.
l. Dorong peningkatan masukan cairan sampai 2000 – 3000 ml/hari.
m. Berikan diit tinggi protein, karbohidrat, vitamin dan mineral. Pertahankan
penurunan kandungan protein setelah defekasi pertama.
n. Tingkatkan jumlah diit kasar. Berikan makanan penunjang.
o. Konsul dengan ahli terapi fisik / okupasi/ rejabilitasi.
p. Lakukan program defekasi sesuai indikasi.
q. Rujuk ke perawat spesialis psikiatrik.

6. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan cidera tusuk trauma
terbuka.
Tujuan : tidak terjadi kerusakan integritas kulit.
Kriteria hasil :
Menyatkan ketidaknyaman hilang, menunjukkan perilaku / tehnik untuk
mencegah kerusakan kulit, mencapai penyembuhan luka sesuai waktu /
penyembuhan lesi terjadi.
Intervensi :
a. Kaji kulit untuk luka terbuka, kemerahan, perdarahan, perubahan warna.
b. Masase kulit dan penonjolan tulang. Pertahankan tempat tidur kering dan
bebas kerutan.
c. Ubah posisi dengan sering. Dorong penggunaan trapeze bila mungkin.
d. Kaji penggunaan / posisi cincin bebat pada alat traksi.
e. Bersihkan kulit dengan sabun dan air. Gosok perlahan dengan alcohol dan /
atau bedak dengan jumlah sedikit.
f. Potong pakaian dalam yang menutup area dan perlebar beberapa inci diatas
gips.
g. Gunakan telapak tangan untuk merangsang, mempertahankan, dan meletakkan
gips.
h. Potong kelebihan plester dari akhir gips sesegera mungkin saat gips lengkap.
i. Tingkatkan pengeringan gips dengan mengankat linen tempat tidur.
j. Observasi untuk potensial area yang tertekan, khususnya pada akhir dan bawah
babatan / gips.
k. Beri bantalan pada akhir gips dengan plester tahan air.
l. Bersihkan kelebihan plester dari kulit yang masih basah bila mungkin.
m. Lindungi gips dan kulit pada area perineal. Berikan perawatan sering.
n. Instruksikan pasien / orang terdekat untuk menghindari memasukkan objek ke
dalam gips.
o. Masase kulit sekitar akhiran gips dengan alcohol.
p. Balik pasien dengan sering untuk melibatkan sisi yang tidak sakit.

7. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan primer,


prosedur invasif.
Tujuan : infeksi tidak terjadi
Kriteria hasil :
Mencapai penyembuhan luka sesuai waktu, bebas drainase purulen atau bebas
dari demam.
Intervensi :
a. Inspeksi kulit untuk adanya iritasi / robekan kontinuitas.
b. Kaji sisi kulit. Perhatikan keluhan peningkatan nyeri, adanya edema dan
eritema.
c. Berikan perawatan pen / kawat steril sesuai protocol dan latihan mencuci
tangan.
d. Instruksikan pasien untuk tidak menyentuh sisi insersi.
e. Tutupi akhir gips peritoneal dengan plastic.
f. Observasi luka untuk pembentukan bula, krepitasi, perubahan warna kulit,
kecoklatan.
g. Kaji tonus otot, reflek tendon dalam dan kemampuan untuk berbicara.
h. Selidiki nyeri tiba – tiba / keterbatasan gerakan dengan edema local.
i. Lakukan prosedur isolasi.
j. Awasi pemeriksaan laboratorium : drah perifer lengkap, LED, kultur dan
sensitivitas luka, skan radioisotope.
k. Berikan obat sesuai indikasi : antibiotic intravena, tetanus toksoid.
l. Berikan irigasi luka / tulang dan berikan sabun basah.
m. Bantu prosedur contoh insisi, pemasangan drain, terapi O2.
n. Siapkan pembedahan sesuai indikasi.

8. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan pengobatan berhubungan


dengan salah interpretasi informasi.
Tujuan : pengetahuan klien bertambah
Kriteria hasil :
Menyatakan pemahaman kondisi, prognosis dan pengobatan, melakukan
dengan benar prosedur yang diperlukan dan menjelaskan alasan tindakan.
Intervensi :
a. Kaji ulang patologi, prognosis dan harapan yang akan dating.
b. Beri penguatan metode mobilitas dan ambulasi sesuai intruksi dengan terapis
fisik bila diindikasikan.
c. Anjurkan penggunaan backpack.
d. Buat daftar aktivitas dimana pasien dapat melakukannya secara mandiri dan
yang memerlukan bantuan.
e. Identifikasi tersedianya sumber pelayanan dimana masyarakat contoh
rehabilitasi.
f. Dorong pasien untuk melanjutkan latihan rentang gerak aktif untuk sendi –
sendi di atas dan di bawah fraktur.
g. Diskusikan pentingnya perjanjian evaluasi klinis.
h. Kaji ulang perawatan luka yang tepat.
i. Identifikasi tanda – tanda dan gejala – gejala yang memerlukan evaluasi medik
contoh nyeri hebat, demam, bau tidak enak, perubahan sensasi.

D. Implementasi
Implementasi/Pelaksanaan adalah inisiatif dari rencana tindkan untuk
mencapai tujuan yang spesifik. Tujuan dari pelaksanaan adalah embantu klien dalam
kesehatan, pencegahan penyakit,pemulihan kesehatan dan mekanisme koping.).

E. Evaluasi
Evaluasi keperawatanadalah intelektual untuk melengkapi proses keperawatan
yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan, dan
pelaksanaannya sudah berhasil dicapai. Melalui evaluasi kemungkinan perawat untuk
monitor- monitor, kesalahan - kesalahan yang terjadi selama tahap pengkajian,
analisa, perencanaan, dan pelaksanaan tindakan.

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Fraktur didefinisikan sebagai suatu kerusakan morfologi pada kontinuitas
tulang atau bagian tulang, seperti lempeng epifisis atau kartilago. Patah tulang
scapula pada umumnya mudah untuk dikenali dikarenakan tulang klavikula
adalah tulang yang terletak di bawah kulit(subcutaneous) dan tempatnya
relative di depan. Sedangkan klasifikasi fraktur scapula dibedakan menjadi 3
kelompok, yang memiliki manifestasi seperti nyeri, pembengkakkan, memar
atau benjolan pada daerah bahu atau dada atas, bahu dan lengan terasa lemah,
mati rasa, dan kesemutan, serta mengakibatkan pergerakan pada bahu dan
lengan terasa susah. Fraktur scapula paling sering disebabkan oleh karena
mekanisme kompressi atau penekanan, paling sering karena suatu kekuatan
yang melebihi kekuatan tulang tersebut dimana arahnya dari lateral bahu bisa
karena jatuh, kecelakaan olahraga, ataupun kecelakaan kendaraan bermotor.
Penatalaksanaan pada fraktur scapula ada dua pilihan yaitu dengan tindakan
bedah atau operative treatment dan tindakan non bedah.

B. Saran
Setelah membaca makalah ini penulis menyarankan agar pembaca dapat
memahami tentang gejala, penyebab fraktur terutama fraktur scapula sihingga dapat
membuat kita lebih berhati-hati dalam bekerja ataupun melakukan aktivitas sehari-
hari serta dapat mengetahui perawatan pada pasien dengan fraktur scapula.

DAFTAR PUSTAKA
Apley, A.Graham; Solomon,Louis. 1993. Appley’s System of Orthopaedics and Fracture 7th
Edition. Butterworth-Heinemann Ltd Apley et al., 2010

Chang E., John D & Dough E. 2010. Patofisiologi Aplikasi pada Praktik Keperawatan.
Jakarta: EGC.
Depkes RI 2013

Gustilo RB. 1993. Fracture dislocation of the hip in: Fractures and Dislocations. Philadephia:
Mosby.
Kneale, J & Davis, P. 2011. Keperawatan Ortopedik & Trauma Edisi 2. Jakarta: EGC.

Koval, Kenneth J. & Zuckerman, Joseph D. 2006. Handbook of Fractures Third Edition.
Philadelphia: Lippinccot Williams & Wilkiins

Mostofi, Seyed Behrooz. 2006. Fracture Classifications in Clinical Practice. United


Kingdom: Springer-Verlag London
Price S.A & Wilson L.M. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi 6.
Buku II. Jakarta: EGC.

Rockwood Jr., Charles A. ; Green, David P. 2001. Rockwood and Green’s Fracture in Adults
8th Edition. United State : Wolters Kluwer Health/Lippincott

Stover, Susan M. 2012. Pdf Scapular Fracture and stress Fractures in Racehorses. Racing
injury preventation program

UT Southwestern Medical Center,2016

Anda mungkin juga menyukai