Anda di halaman 1dari 21

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH II

LAPORAN PENDAHULUAN
CLOSE FRACTURE NECK FEMUR
LONTARA 2 BAWAH BELAKANG (BEDAH ORTHOPEDI)
RSUP DR. WAHIDIN SUDIROHUSODO

Oleh

DEWITA AMANDA BANDUNG


C121 13 316

PRESEPTOR INSTITUSI PRESEPTOR LAHAN

(................................................. ) (................................................. )

PROFESI NERS
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
BAB I

KONSEP MEDIS

A. Anatomi dan Fisiologi Femur


Femur dalam bahasa latin yang berarti paha adalah tulang terpanjang, terkuat dan
terberat dari semua tulang pada rangka tubuh. Ujung proksimal femur memiliki kepala
yang membulat untuk beartikulasi dengan asetabulum. Permukaan lembut dari bagian
kepala mengalami depresi dan fovea kapitis untuk tempat perlekatan ligamen yang
menyanggah kepala tulang agar tetap di tempatnya dan membawa pembuluh darah ke
kepala tersebut. Femur tidak berada pada garis vertikal tubuh. Kepala femur masuk
dengan pas ke asetabulum untuk membentuk sudut sekitar 125 dari bagian leher femur.
Dengan demikian, batang tulang paha dapat bergerak bebas tanpa terhalang pelvis saat
paha bergerak (Risnanto & Insani, 2014).

Sudut femoral pada wanita biasanya lebih miring (kurang dari 125) karena pelvis
lebih lebar dan femur lebih pendek. Di bawah bagian kepala yang tirus adalah bagian
leher yang tebal, yang terus memanjang sebagai batang. Garis intertrokanter pada
permukaan anterior dan krista intertrokanter di permukaan posterior tulang membatasi
bagian leher dan bagian batang. Ujung atas batang memiliki dua prosesus yang menonjol.
Trokanter besar dan trokanter kecil, sebagai tempat perlekatan otot untuk menggerakan
persendian panggul. Bagian batang permukaannya halus dan memiliki satu tanda saja.
Linea aspera, yaitu lekak kasar untuk perlekatan beberapa otot. Ujung bawah batang
melebar ke dalam kondilus medial dan kondilus lateral. Pada permukaan posterior, dua
kondilus tersebut membesar dengan fosa interkondiler yang terletak di antara keduanya.
Area triangular di atas fosa interkondiler disebut permukaan popliteal. Pada permukaan
anterior, epikondilus medial dan lateral berada di atas dua kondilus besar. Permukaan
artikular halus yang terdapat di antara kedua kondilus adalah permukaan patellar. Yang
berbentuk konkaf untuk menerima patella (tempurung lutut) (Risnanto & Insani, 2014).
B. Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai tipe dan luasnya
yang disebabkan oleh trauma atau benturan fisik (Risnanto & Insani, 2014). Nurarif dan
Kusuma 2015 dalam bukunya mengatakan bahwa kekuatan dan sudut dari tenaga fisik
yang diterima oleh tulang, kedaan tulang, dan jaringan lunak disekitar tulang akan
menentukan apakah frkatur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap.
Jenis-jenis fraktur
Klasifikasi klinis:
1. Fraktur tertutup (close fraktur): bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang
dengan dunia luar
2. Fraktur terbuka (open fraktur): bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan
dunia luar karena adanya perlukaan pada kulit
3. Fraktur dengan komplikasi, misalnya malunion, delayed union, nonunion, infeksi
tulang (Nurarif dan Kusuma, 2015).
Fraktur dapat dikategorikan berdasarkan:
1. Jumlah garis
a. Simple fraktur: terdapat satu garis fraktur
b. Multiple fraktur: lebih dari satu garis fraktur
c. Comminutive fraktur: lebih banyak garis fraktur dan patah yang menjadi fragmen
kecil
2. Luas garis fraktur
a. Fraktur inkomplit: tulang tidak terpotong secara total
b. Fraktur komplikasi: tulang terpotong total
c. Hair line fraktur: garis fraktur tidak tampak
3. Bentuk fragmen:
a. Green stick: retak pada sebelah sisi dari tulang (sering pada anak-anak)
b. Fraktur transversal: fraktur fragmen melintang
c. Fraktur obligue: fraktur fragmen miring
d. Fraktur spiral: fraktur fragmen melingkar (Nurarif dan Kusuma, 2015).
Fraktur Neck Femur
Fraktur leher femur adalah yang terjadi pada fraktur leher femur terjadi pada
proksimal hingga garis intertrokanter pada regio intrakapsular tulang panggul.
Fraktur ini seirng terjadi pada wanita usia di atas 60 tahun dan biasanya berhubungan
dengan osteoporosis. Fraktur leher femur disebabkan oleh trauma yang biasanya terjadi
karena kecelakaan, jatuh dari ketinggian atau jatuh dari sepeda dan biasanya disertai
trauma pada tempat lain. Jatuh pada daerah trokanter baik karena kecelakaan lalu lintas
atau jatuh dari tempat yang tidak terlalu tinggi seperti terpeleset di kamar mandi di
mana panggul dalam keadaan fleksi dan rotasi dapat menyebabkan fraktur leher
femur. Ada tiga klasifikasi dari fraktur neck femur berdasarkan lokasi anatomi terjadinya
fraktur menurut Pauwels antara lain (Goel, 2014):
1. Tipe 1 : fraktur dengan garis fraktur 30
2. Tipe II : fraktur dengan garis fraktur 50
3. Tipe III : fraktur dengan garis fraktur 70

Selain Pauwels, klasifikasi fraktur neck femur juga dikemukakan oleh Garden di mana
fraktur neck femur dibagi menjadi 4 yaitu (Goel, 2014):
1. Tipe I adalah fraktur yang tak sepenuhnya terimpaksi.
2. Tipe II adalah fraktur lengkap tetapi tidak bergeser.
3. Tipe III adalah fraktur lengkap dengan pergeseran sedang.
4. Tipe IV adalah fraktur yang bergeser secara hebat.
C. Etiologi
Fraktur dapat disebabkan oleh karena trauma baik langsung maupun tidak langsung.
trauma langsung seperti benturan pada tulang panggul yang menyebabkan fraktur leher
femur dan dapat berupa trauma tidak langsung misalnya jatuh tertumpu pada tangan yang
menyebabkan tulang klavikula dan radius distal patah. Fraktur juga dapat disebabkan
oleh karena proses patologi misalnya adanya tumor, infeksi atau osteoporosis pada tulang.
Penyebab primer fraktur adalah kecelakaan kendaraan bermotor atau jatuh, olahraga,
latihan berat dan malnutrisi. Penyebab fraktur yang lainnya ialah kelemahan tulang
akibat penyakit kanker atau osteoporosis, patah karena letih, patah tulang karena otot
tidak dapat mengabsorpsi energi seperti karena berjalan kaki terlalu jauh (Risnanto &
Insani, 2014). Penyebab fraktur antara lain:
1. Fraktur trumatic: adalah fraktur yang disebabkan oleh adanya benturan atau tenaga
fisik dari luar yang mengenai tulang sehingga menyebabkan terputusnya kontinuitas
tulang
2. Fraktur patologis: terjadi pada tulang karena adanya kelainan/penyakit yang
menyebabkan kelemahan pada tulang seperti infeksi, tumor, kelainan bawaan dan
dapat terjadi secara spontan atau akibat trauma ringan
3. Fraktur stres: terjadi karena adanya stres yang kecil dan berulang-ulang pada daerah
tulang yang menopang berat badan (Nurarif dan Kusuma, 2015).
D. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari fraktur adalah:
1. Nyeri yang terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
diimobilisasi
2. Kehilangan fungsi atau deformitas
3. Kelainan gerakan
4. Krepitus (bunyi derit tulang)
5. Pembengkakan dan perubahan warna akibat trauma dan perdarahan (Risnanto &
Insani, 2014)
E. Penatalaksanaan
Pada penanganan patah tulang, kita perlu melakukan beberapa tindakan yaitu reposisi,
fiksasi, dan rehabilitasi. Reposisi (reduksi) dan fiksasi dapat dilakukan secara operatif
maupun konservatif. Penanganan konservatif pada pasien dengan closed fracture neck
femur dapat dilakukan dengan skin traction dan buck extension. Prinsip penanganan
fraktur meliputi:
1. Reposisi (Reduction Traction)
Reduksi fraktur berarti mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan
rotasi anatomis. Reduksi tertutup yaitu mengembalikan fragmen tulang ke posisinya
(ujung-ujungnya saling berhubungan) dengan manipulasi dan traksi manual. Alat
yang digunakan biasanya traksi, bidai, dan alat yang lainnya. Reduksi terbuka
dilakukan dengan pendekatan bedah. Alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat,
sekrup,plat, dan paku. Traksi adalah tahanan yang dipakai dengan berat atau alat lain
untuk menangani kerusakan atau gangguan pada tulang dan otot. Tujuan traksi adalah
untuk menangani fraktur, dislokasi atau spasme otot dalam usaha untuk memperbaiki
deformitas dan mempercepat penyembuhan. Traksi memposisikan bagian tulang
yang patah agar pada tempat yang semestinya, sehingga jika posisi sudah sama, bisa
dilakukan pemasangan fiksasi internal didalamnya, agar memantapkan posisi
sehingga tulang bisa menyatu kembali (Risnanto dan insani, 2014).
a. Reduksi Tertutup
1) Skin traksi. Digunakan untuk penanganan patah tulang pada pasien anak dan
dewasa yang membutuhkan kekuatan tarikan sedang, dengan beban tidak
lebih dari lima kilogram serta lama pemasangan tidak lebih dari 3-4 minggu
karena dapat menyebabkan iritasi kulit. Adapun beberapa jenis skin traksi
yaitu :
a) Traksi buck. Ektensi buck (unilateral/bilateral) adalah bentuk traksi kulit
dimana tarikan diberikan pada satu bidang bila hanya imobilisasi parsial
atau temporer yang diinginkan. Traksi buck sering digunakan pada
ekstremitas inferior misalnya pada fraktur femur, pelvis dan lutut untuk
memberikan rasa nyaman setelah cidera pinggul sebelum dilakukan
fiksasi dengan intervensi bedah.

Gambar 1. Bucks Extension


b) Traksi Russell. Dapat digunakan pada fraktur plato tibia, menyokong lutut
yang fleksi pada penggantung dan memberikan gaya tarik horizontal
melalui pita traksi balutan elastis ketungkai bawah. Kegunaannya pada
orangtua dengan fraktur pelvis dan pada anak-anak dengan fraktur femur.

Gambar 2. Russell Traction


c) Traksi Dunlop adalah traksi pada ektermitas atas. Traksi horizontal
diberikan pada lengan bawah dalam posisi fleksi. Traksi ini digunakan
pada fraktur supracondylar humerus dan lengan tangan digantung dengan
skin traksi.
Gambar 3. Dunlop Traction
d) Traksi kulit Bryant disebut juga Gallows traction. Traksi ini sering
digunakan untuk merawat anak kecil (< 1 tahun) yang mengalami patah
tulang paha dan dislokasi sendi panggul. Traksi Bryant sebaiknya tidak
dilakukan pada anakanak yang berat badannya lebih dari 30 kg apabila
batas ini dilampaui maka kulit dapat mengalami kerusakan berat.

Gambar 4. Bryants Traction


2) Skeletal traksi. Traksi langsung pada tulang dengan menggunakan pins, wires,
screw untuk menciptakan kekutan tarikan besar (9-14 kilogram) serta waktu
yang lebih dari empat minggu, serta memiliki tujuan tarikan ke arah
longitudinal serta mengontrol rotasi dari fragmen tulang. Pada patah tulang
panjang digunakan steinmann pins (2-4,8mm) atau kirschner wires (7-15mm)
yang penggunaannya ditentukan oleh densitas tulang serta kekuatan tarikan
yang dibutuhkan. Beberapa tempat pemasangan pin seperti proksimal tibia,
kondilus femur, olekranon, kalkaneus, trokanter mayor atau bagian distal
metakarpal lalu diberi pemberat (Risnanto dan insani, 2014). traksi skeletal
ada dua yaitu traksi skeletal untuk jangka pendek pada fraktur femur sampai
tibia proksimal sedangkan traksi skeletal untuk jangka panjang dilakukan
pada fraktur femur sampai femur distal. Adapun beberapa jenis skeletal traksi
yaitu :
a) Thomas Splint

Gambar 5. Thomas Splint


b) Fisk Traction
Traksi ini digunakan pada fraktur supracondylair femur dengan bantuan
Thomas Splint yang dimodifikasi.

Gambar 6. Fisk Traction


c) Bohler Braun Frame

Gambar 7. Bohler Braun Frame Traction


d) Balanced Suspension

Gambar 8. Balanced Suspension Traction


e) Crutchfield tongs

Gambar 9. Crutchfield tongs Traction


b. Reduksi Terbuka (Fiksasi)
1) ORIF (Open Reduction Internal Fixation)
Fiksasi interna dilakukan dengan pembedahan untuk menempatkan piringan
atau batang logam pada pecahan-pecahan tulang misalnya pada fraktur femur,
tibia, humerus, atau lengan bawah. Indikasi pemasangan fiksasi interna adalah
fraktur tidak bisa di reduksi kecuali dengan operasi, fraktur yang tidak stabil
dan cenderung terjadi displacement kembali setelah reduksi fraktur dengan
penyatuan yang buruk dan perlahan (fraktur femoral neck), fraktur patologis,
fraktur multiple dimana dengan reduksi dini bisa meminimkan komplikasi.
Indikasi pemasangan ORIF antara lain:
2) OREF (Open Redution External Fixation)
OREF adalah reduksi terbuka dengan fiksasi internal di mana prinsipnya
tulang ditransfiksasikan di atas dan di bawah fraktur , sekrup atau kawat
ditransfiksi di bagian proksimal dan distal kemudian dihubungkan satu sama
lain dengan suatu batang lain. Fiksasi eksternal digunakan untuk mengobati
fraktur terbuka dengan kerusakan jaringan lunak . Alat ini memberikan
dukungan yang stabil untuk fraktur kominutif ( hancur atau remuk ). Pin yang
telah terpasang dijaga agar tetap terjaga posisinya , kemudian dikaitkan pada
kerangkanya. Fiksasi ini memberikan rasa nyaman bagi pasien yang
mengalami kerusakan fragmen tulang (Risnanto dan insani, 2014).
2. Imobilisasi
Imobilisasi dapat dilakukan dengan metode eksterna dan interna untuk
mempertahankan dan mengembalikan fungsi status neurovaskuler yang selalu
dipantau meliputi peredaran darah, nyeri, perabaan, gerakan. Perkiraan waktu
imobilisasi yang dibutuhkan untuk penyatuan tulang yang mengalami fraktur adalah
sekitar 3 bulan (Nurarif dan kusuma, 2015).
3. Rehabilitasi
Rehabilitasi adalah meningkatkan kembali fungsi dan normal dari tulang yang fraktur
dengan cara:
a. Peninggian untuk meminimalkan bengkak
b. Mengontrol ansietas dan nyeri
c. Latihan isometrik dan pengaturan otot
d. Partisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari
e. Melakukan aktivitas kembali secara bertahap (Nurarif dan kusuma, 2015).
F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada fraktur (Nurarif dan kusuma, 2015):
1. X-Ray, menentukan lokasi/luasnya fraktur/trauma
2. Foto Rontgen, untuk mengetahui lokasi fraktur, garis fraktur, dan tipe fraktur secara
langsung, biasanya diambil sebelum dan sesudah dilakukan operasi dan selama proses
penyembuhan secara periodik
3. Arteriogram dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan vaskuler.
4. Kreatinin. Trauma otot meningkatkan beban kretinin untuk klirens ginjal
5. Profil koagulasi, perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi atau cedera
hati.
6. CT scan/MRI untuk mendeteksi struktur fraktur yang kompleks.
7. Laboratorium :
a. Hb (Hemoglobin) mungkin meningkat (Hemokonsentrasi) atau juga dapat
menurun (perdarahan).
b. Leukosit meningkat sebagai respon stress normal setelah trauma.
c. Kreatinin, trauma meningkatkan beban kreatinin untuk klien dengan gangguan
ginjal
G. Komplikasi
Komplikasi fraktur menurut Price dan Wilson (2006) antara lain:
1. Komplikasi awal fraktur antara lain:
a. Syok Syok hipovolemik atau traumatic, akibat perdarahan (banyak kehilangan
darah eksternal maupun yang tidak kelihatan yang bias menyebabkan penurunan
oksigenasi) dan kehilangan cairan ekstra sel ke jaringan yang rusak, dapat
terjadi pada fraktur ekstrimitas, thoraks, pelvis dan vertebra.
b. Sindrom emboli lemak pada saat terjadi fraktur globula lemak dapat masuk
kedalam pembuluh darah karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari
tekanan kapiler atau karena katekolamin yang di lepaskan oleh reaksi stress
pasien akan memobilisasi asam lemak dan memudahkan terjasinya globula
lemak pada aliran darah.
c. Sindroma Kompartement merupakan masalah yang terjadi saat perfusi jaringan
dalam otot kurang dari yang dibutuhkan untuk kehidupan jaringan. Ini bisa
disebabkan karena penurunan ukuran kompartement otot karena fasia yang
membungkus otot terlalu ketat, penggunaan gibs atau balutan yang menjerat
ataupun peningkatan isi kompatement otot karena edema atau perdarahan
sehubungan dengan berbagai masalah (misalnya : iskemi,dan cidera remuk).
d. Kerusakan Arteri pecahnya arteri karena trauma bias ditandai denagan tidak ada
nadi, CRT menurun, syanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin
pada ekstrimitas yang disbabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan
posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
e. Infeksi diamna sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan.
Pada trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke
dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bias juga karena
penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat. Osteoaarthritis
atelofermoral apa bila tidak dilakukan reposisi patella tidak akurat, akan terjadi
ketidak sesuaian antara patella dan kondilus femur
f. Avaskuler nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau
terganggu yang bias menyebabkan nekrosis tulang dan di awali dengan adanya
Volkmans Ischemia (Smeltzer dan Bare, 2001).
2. Komplikasi dalam waktu lama atau lanjut fraktur antara lain:
a. Malunion dalam suatu keadaan dimana tulang yang patah telah sembuh dalam
posisi yang tidak seharusnya. Malunion merupaka penyembuhan tulang ditandai
dengan meningkatnya tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas).
Malunion dilakukan dengan pembedahan dan reimobilisasi yang baik.
b. Delayed Union adalah proses penyembuhan yang terus berjalan dengan
kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal. Delayed union
merupakankegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang
dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena penurunan suplai
darah ke tulang.
c. Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan memproduksi
sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion di tandai
dengan adanya pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang membentuk
sendi palsu atau pseuardoarthrosis. Hal ini juga disebabkan karena aliran darah
yang kurang (Price dan Wilson, 2006).
BAB II

KONSEP KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Biodata: meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai,
status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register,
tanggal MRS, diagnosa medis.
2. Keluhan utama: keterbatasan aktivitas, gangguan sirkulasi, rasa nyeri, dan gangguan
neurosensori
3. Riwayat kesehatan masa lalu: kelainan muskuloskeletal (jatuh, infeksi, trauma, da
fraktur), cara penanggulangan, dan penyakit
4. Riwayat kesehatan sekarang: kapan timbul masalah, riwayat trauma, penyebab,
gejala timbul tiba-tiba/perlahan, lokasi, obat yang diminum, dan cara
penanggulangannya.
5. Pemeriksaan fisik: keadaan umum dan kesadaran, keadaan integumen (kulit dan
kuku), kardiovaskuler (hipertensi dan takikardi), neurologis (spasme otot dan
kebas/kesemutan), keadaan ekstremitas, dan hematologi.
6. Riwayat psikososial: reaksi emosional, citra tubuh, dan sistem pendukung
7. Aktivitas/istirahat
Keterbatasan/kehilangan fungsi pada bagian yang terkena (fraktur itu sendiri atau
jaringan yang membengkak dan nyeri)
8. Sirkulasi
a. Hipertensi (kadang-kadang terlihat sebagai respn terhadap nyeri/ansietas) atau
hipotensi karena kehilangan banyak darah
b. Takikardia (sebagai respon stres, hipovolemia)
c. Penurunan/tak ada nadi pada bagian distal yang cidera, pengisian kapiler lambat,
pucat pada bagian yang terkena
d. Pembengkakan jaringan atau masa hematoma pada sisi cidera
9. Neurosensori
Gejala:
a. Hilang gerakan/sensasi, spasme otot
b. Kebas/kesemutan (Parestesis)
Tanda:
a. Deformitas lokal: angulasi abnormal, pemendekan, rotasi, krepitasi (bunyi
berderit), spasme otot, terlihat kelemahan atau hilang fungsi.
b. Agitasi (mungkin berhubungan dengan nyeri atau ansietas atau trauma lain).
10. Nyeri/kenyamanan
Gejala:
a. Nyeri berat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin terlokalisasi pada area
jaringan/kerusakan tulang; dapat berkurang pada imobilisasi), tak ada nyeri akibat
kerusakan saraf.
b. Spasme/kram otot (setelah imobilisasi)
11. Keamanan
Tanda:
a. Laserase kulit, avulsi jaringan, perdarahan, perubahan warna
b. Pembengkakan lokal (dapat meningkat secara bertahap atau tiba-tiba).
12. Pemeriksaan diagnostik: rontgen untuk mengetahui lokasi dan luas cedera, CT scan,
MRI, arteriogram, pemindaian tulang, darah lengkap, kreatinin, dan pemeriksaan
laboratorium lengkap untuk persiapan operasi.
13. Pola kebiasaan sehari-hari atau hobi.
ANALISA MASALAH KEPERAWATAN

Nama Pasien : Ny. L


Tanggal Lahir: 1/7/1932
Ruangan : Lontara 2 bawah belakang Kamar 9 bed 4
No. RM: 802187

No. Data Fokus Masalah


1. DS :
Klien mengatakan nyeri pada pinggang
P = nyeri memberat saat bergerak
Q = Tertusuk-tusuk
R = pinggang
S = Nyeri skala 3 Nyeri Akut
T= hilang timbul
DO :
Klien kesakitan saat beraktivitas
Skala nyeri : 3
TD : 130/90 MmHg
N : 88 kali/menit
P : 18 kali/menit
S :36,7oC
2. DS :
Klien mengatakan sulit merubah posisi
dikarenakan nyeri pada perutnya Hambatan mobilitas fisik
DO :
Rentang gerak terbatas
Aktivitas klien dibantu keluarga

3 DS :
Klien selalu bertanya kapan dapat
dioperasi
DO : Ansietas
klien tampak gelisah

B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan tingkat keparahan gejala
2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan tingkat nyeri
3. Ansietas berhubungan dengan tingkat rasa takut
C. Rencana Keperawatan

Diagnosa Keperawatan/ Rencana keperawatan


Masalah Kolaborasi
Tujuan dan Kriteria Intervensi
Hasil

1. Nyeri akut berhubungan NOC : NIC :


dengan tingkat keparahan Setelah dilakukan 1. Manajemen Nyeri
gejala tindakan keperawatan Lakukan pengkajian nyeri secara
DS : selama . Nyeri yang komprehensif termasuk lokasi,

Klien mengatakan dirasakan pasien karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas


nyeri pada pinggang berkurang dengan kriteria dan faktor presipitasi
P = nyeri memberat
saat bergerak hasil: Observasi reaksi nonverbal dari
Q = Tertusuk-tusuk 1. Kontrol nyeri ketidaknyamanan
R = pinggang
meningkat yang ditandai Bantu pasien dan keluarga untuk
S = Nyeri skala 3
T= hilang timbul dengan: mencari dan menemukan dukungan
Mampu mengenali nyeri Kontrol lingkungan yang dapat
DO :
(skala, intensitas, mempengaruhi nyeri seperti suhu
Klien kesakitan saat ruangan, pencahayaan dan kebisingan
frekuensi dan tanda
beraktivitas
Skala nyeri : 3 nyeri) Kurangi faktor presipitasi nyeri
TD : 130/90 MmHg
Mampu mengontrol Kaji tipe dan sumber nyeri untuk
N : 88 kali/menit
P : 18 kali/menit nyeri (tahu penyebab menentukan intervensi
S :36,7oC nyeri, mampu Ajarkan tentang teknik non farmakologi:
menggunakan tehnik napas dala, relaksasi, distraksi, kompres
nonfarmakologi untuk hangat/ dingin
mengurangi nyeri, Berikan analgetik untuk mengurangi
mencari bantuan) nyeri
Mampu menggunakan Tingkatkan istirahat
tindakan pengurangan Berikan informasi tentang nyeri seperti
nyeri tanpa analgetik penyebab nyeri, berapa lama nyeri akan

Melaporkan bahwa berkurang dan antisipasi

nyeri yang dirasakan ketidaknyamanan dari prosedur

terkontrol Monitor vital sign sebelum dan sesudah


pemberian analgesik pertama kali
Menggunakan analgetik
yang direkomendasikan

Diagnosa Keperawatan/ Rencana keperawatan


Masalah Kolaborasi
Tujuan dan Kriteria Intervensi
Hasil

2. Hambatan mobilitas NOC : NIC :


fisik berhubungan dengan Terapi Latihan : ambulasi
Setelah dilakukan
tingkat nyeri Monitoring vital sign sebelm/sesudah
tindakan keperawatan
DS : latihan dan lihat respon pasien saat
selama . hambatan

klien mengatakan mobilitas fisik pasien latihan
sulit merubah posisi Konsultasikan dengan terapi fisik
dikarenakan nyeri berkurang dengan kriteria
pada perutnya tentang rencana ambulasi sesuai
hasil:
DO : dengan kebutuhan
1. Kemampuan berpindah
Rentang gerak meningkat yang ditandai Bantu klien untuk menggunakan
terbatas tongkat saat berjalan dan cegah
Aktivitas klien dengan:
dibantu keluarga terhadap cedera
Kemampuan klien
Ajarkan pasien atau tenaga kesehatan
meningkat dalam
lain tentang teknik ambulasi
aktivitas fisik
Kaji kemampuan pasien dalam
Mengerti tujuan dari
mobilisasi
peningkatan mobilitas
Latih pasien dalam pemenuhan
Memverbalisasikan
kebutuhan ADLs secara mandiri
perasaan dalam
sesuai kemampuan
meningkatkan
Dampingi dan bantu pasien saat
kekuatan dan
mobilisasi dan bantu penuhi
kemampuan berpindah
kebutuhan ADLs pasien.
2. Tingkat nyeri
Berikan alat bantu jika klien
berkurang yang ditandai
memerlukan.
dengan:
Ajarkan pasien bagaimana merubah
Nyeri yang dilaporkan
posisi dan berikan bantuan jika
Panjangnya episode diperlukan
nyeri Monitor tingkat nyeri yang dirasakan
Ekspresi wajah pasien saat memberikan latihan atau
Tidak bisa membantu merubah posisi pasien
beristirahat

Diagnosa Keperawatan/ Rencana keperawatan


Masalah Kolaborasi
Tujuan dan Kriteria Intervensi
Hasil

3. Ansietas berhubungan NOC : NIC :


dengan tingkat rasa takut 1. Penurunan kecemasan
Setelah dilakukan
DS : Gunakan pendekatan yang
tindakan keperawatan
menenangkan
klien selalu bertanya selama . ansietas yang
kapan dapat Nyatakan dengan jelas harapan
dioperasi dirasakan pasien
terhadap perilaku pasien
DO : berkurang dengan kriteria
Jelaskan semua prosedur dan apa
klien tampak gelisah hasil:
yang dirasakan selama prosedur
1. Tingkat kecemasan
Temani pasien untuk memberikan
Klien mampu
keamanan dan mengurangi takut
mengidentifikasi dan
Berikan informasi faktual mengenai
mengungkapkan
diagnosis, tindakan prognosis
gejala cemas
Libatkan keluarga untuk
Mengidentifikasi,
mendampingi klien
mengungkapkan dan
Instruksikan pada pasien untuk
menunjukkan tehnik
menggunakan tehnik relaksasi
untuk mengontol
Dengarkan dengan penuh perhatian
cemas
Identifikasi tingkat kecemasan
Vital sign dalam batas
Bantu pasien mengenal situasi yang
normal
menimbulkan kecemasan
Postur tubuh, ekspresi
Dorong pasien untuk mengungkapkan
wajah, bahasa tubuh
perasaan, ketakutan, persepsi
dan tingkat aktivitas
menunjukkan
berkurangnya
kecemasan
BAB III

WOC

Trauma langsung Trauma tidak langsung Kondisi patologis

Fracture Neck
Femur

Diskontinuitas tulang Pergeseran fragmen Merangsang reseptor


tulang nyeri: nosiseptor

Deformitas transmisi ke medula


Perubahan jaringan
sekitar spinalis
Pelepasan mediator kimia: histamin
Deformitas transduksi ke korteks
Vasodilatasi serebri
Gangguan fungsi pembuluh darah
ekstremitas
perpindahan cairan Persepsi di
Hambatan Mobilitas intravaskuler ke intertitial hipotalamus
Fisik
Edema
Nyeri akut

Ansietas
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., & Wagner, C. M.(2013). Nursing
Interventions Classification (NIC), 7th. Elsevier.

Goel. (2014). Difficult Hip Fractures. New Delhi: Elsevier.

Herdman, T. H & Kamitsuru, S. (2015). NANDA International Nursing diagnosis definitions


and classification 2015-2017, 10th. Oxford: Wiley Blackwell

Moorhead, S. M., Johnson, Maas., M. L., & Swanson E. (2013). Nursing Outcomes
Classification (NOC), 5th. Elsevier

Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2015). Aplikasi asuhan keperawatan berdasarkan diagnosa
medis & nanda nic-noc. Jogjakarta: Mediaction.

Risnanto, & Insani, U. (2014). Buku ajar asuhan keperawatan medikal bedah (sistem
muskuloskeletal). Yogyakarta: Deepublish.

Smeltzer, S. C. (2015). Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth (12th ed.). Jakarta:
EGC.

Anda mungkin juga menyukai