Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN


FRAKTUR HUMERUS

oleh
Tania Lestari, S.Kep.
NIM 202311101065

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2020
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan pendahuluan yang dibuat oleh :

Nama : Tania Lestari, S.Kep


NIM : 202311101065
Judul : LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN
PADA PASIEN FRAKTUR HUMERUS

telah diperiksa dan disahkan oleh pembimbing pada:

Hari : Senin
Tanggal : 21 Desember 2020

Probolinggo, 21 Desember 2020

Pembimbing Akademik Stase Keperawatan


Penanggungjawab Stase Keperawatan Bedah FKep UNEJ
Bedah FKep UNEJ

Ns. Siswoyo, M. Kep.


Ns. Mulia Hakam, M. Kep., Sp.Kep.MB NIP. 19800412 200604 1 002
NIP 19810319 201404 1 001
BAB 1. KONSEP PENYAKIT

1.1 Definisi
Fraktur merupakan salah satu masalah muskuloskeletal dan salah
satu masalah yang sering ditemui di layanan kesehatan diseluruh dunia,
fraktur juga menimbulkan kecacatan atau disabilitas dimana terdapat
putusnya kontinuitas struktur dari tulang tersebut. Kondisi fraktur dapat
terjadi dalam bentuk retakan, tulang terpecah belah dan menyebabkan
fragmen tulang tidak pada tempatnya (displace) (Apley G.A., dan
Solomon, L., 2010). Siregar dkk., (2020) menyebutkan fraktur adalah
gangguan muskuloskeletal yang disebabkan karena rusaknya bagian
tulang. Humerus merupakan tulang tunggal yang terdapat di bagian lengan
atas yang terdiri dari kepala humerus, leher surgikal serta tuber of humerus
yang terletak di dasar humerus dan tuberosita deltoid (Nugrahaeni, 2020).
Fraktur humerus yakni rusaknya kontinuitas jaringan pada daerah tulang
humerus yang disebabkan oleh redupaksa pada tulang tersebut atau
terdapat tekanan ekternal yang lebih besar sebingga dapat diserat oleh
tulang humerus (Noordiati, 2018). Sedangkan menurut Tim Riset
IDNmedis, (2020) fraktur humerus merupakan kejadian patah tulang pada
bagian anggota gerak lengan atas, yang sebagian besar terjadi pada bagian
tengah atau ujung dekat bahu. Seseorang yang mengalami fraktur humerus
biasanya akan mengalami retak atau bahkan pecah menjadi dua bagian
sehingga dapat merobek kulit dan merusak saraf.
1.2 Epidemiologi

Kejadian fraktur humerus kebanyakan terjadi pada lanjut usia


karena disebabkan oleh faktor yang tidak bisa mempertahankan cedera
akibat penetrasi atau energi yang tinggi (Carroll,2017). Menurut World
Health Organization (2013), kurang lebih terdapat 1,3 juta orang di dunia
mengalami kasus fraktur. Prevelensi kasus fraktur di Indonesia yang paling
sering terjadi yaitu fraktur femur sebesar 39% diikuti fraktur humerus
(15%), serta fraktur tibia dan fibula (11%) (Kemenkes RI, 2013). Riset
Kesehatan Dasar (2012) Pada kasus fraktur humerus di Jawa Timur pada
tahun 2011 menunjukan prevalensi yang tinggi sebesar yaitu 71,4%
dengan rata-rata pasien laki-laki yang berusia 15-45 tahun.
1.3 Anatomi

Humerus atau tulang pangkal lengan merupakan tulang terpanjang


dan terbesar pada bagian ekstremitas superior. Humerus bersendi pada
bagian proksimal dengan scapula dan pada bagian distal bersendi pada
siku lengan dengan dua tulang ulna dan radius. Ujung proksimal humerus
memiliki bentuk kepala bulat (caput humeri) yang bersendi dengan
kavitas glenoidalis dari skapula untuk membentuk articulatio gleno-
humeri. Pada bagian distal dari caput humeri terdapat collumanatomicum
yang terlihat sebagai sebuah lekukan oblik. Tuberculum majus
merupakan sebuah proyeksi lateral pada bgian distal dari collum
anatomicum. Tuberculum majus merupakan penanda tulang bagian
paling lateral yang teraba pada regio bahi. Antara tuberculum majus dan
tuberculum minus terdapat sebuah lekukan yang disebut sebagai sulcus
intertubercularis. Collum chirurgicum merupakan suatu penyempitan
humerus pada bagian distal dari kedua tuberculum, dimana caput humeri
perlahan berubah menjadi corpus humeri. Bagian tersebut dinamakan
collum chirurgicum karena fraktur sering terjadi pada bagian ini (Tortora
dan Derrickson, 2009).
Corpus humeri merupakan bagian humerus yang berbentuk seperti
silinder pada ujung proksimalnya, tetapi berubah secara perlahan menjadi
berbentuk segitiga hingga akhirnya menipis dan melebar pada ujung
distalnya. Pada bagian lateralnya, yakni di pertengahan corpus humeri,
terdapat daerah berbentuk huruf V dan kasar yang disebut sebagai
tuberositas deltoidea. Daerah ini berperan sebagai titik perlekatan tendon
musculus deltoideus. Beberapa bagian yang khas merupakan penanda
yang terletak pada bagian distal dari humerus. Capitulum humeri
merupakan suatu struktur seperti tombol bundar pada sisi lateral
humerus, yang
bersendi dengan caput radii. Fossa radialis merupakan suatu depresi
anterior di atas capitulum humeri, yang bersendi dengan caput radii ketika
lengan difleksikan. Trochlea humeri, yang berada pada sisi medial dari
capitulum humeri, bersendi dengan ulna. Fossa coronoidea merupakan
suatu depresi anterior yang menerima processus coronoideus ulna ketika

lengan difleksikan. Fossa olecrani merupakan.


Secara anatomis tulang humerus terbagi menjadi tiga bagian yaitu:
1. Bagian atas humerus/kaput (ujung atas)
Sepertiga dari ujung atas humerus terdiri atas sebuah kepala yang
membuat sendi dengan rongga glenoid dari skapula dan merupakan
bagian dari bangunan sendi bahu. Di bawahnya terdapat bagian yang
lebih ramping disebut leher anatomik. Di sebelah luar ujung atas di
bawah leher anatomik terdapat sebuah benjolan yaitu tuberositas
mayor dan di sebelah depan terdapat sebuah benjolan lebih kecil yaitu
tuberositas minor. Di antara tuberositas terdapat celah bisipital (sulkus
intertuberkularis) yang membuat tendon dari otot bisep. Di bawah
tuberositas terdapat leher chirurgis yang mudah terjadi fraktur
(Pearce, 2009).
2. Corpus humerus (badan humerus)

Sebelah atas berbentuk silinder tetetapi semakin ke bawah semakin


pipih. Di sebelah lateral batang, tepat di atas pertengahan disebut
tuberositas deltoideus (karena menerima insersi otot deltoid). Sebuah
celah benjolan oblik melintasi sebelah belakang, batang, dari sebelah
medial ke sebelah lateral dan memberi jalan kepada saraf radialis atau
saraf muskulo-spiralis sehingga disebut celah spiralis atau radialis
(Pearce, 2009).
3. Bagian bawah humerus (ujung bawah)
Berbentuk lebar dan agak pipih di mana permukaan bawah sendi dibentuk
bersama tulang lengan bawah. Trokhlea yang terletak di sisi sebelah dalam
berbentuk gelendong-benang tempat persendian dengan ulna dan di sebelah
luar terdapat kapitulum yang bersendi dengan radius. Pada kedua sisi
persendian ujung bawah humerus terdapat epikondil yaitu epikondil lateral
dan medial ( Pearce, 2009)
1.4 Etiologi

Menurut Wahyuningsih dan Kusmiyati, (2017), fraktur humerus


merupakan akibat dari trauma yaitu terdapat tekanan yang berlebihan
pada tulang. Adapun trauma dinedakan menjadi 2 jenis antara lain
sebagai beikut:

1. Trauma langsung, pada fraktur dengan trauma langsung biasanya


terjadi akibat benturan pada tulang dengan aden pecedera sehingga
menyebabkan fraktur di tempat benturan. Trauma ini mengakibatkan
tekanan langsung pada tulang sehingga fraktur terjadi pada daerah
trauma, biasanya fraktur yang terjadi bersifat kominutif disertai
kerusakan jaringan lunak.
2. Trauma tidak langsung, dimana trauma ini terjadi benturan pada
tulang dan titik benturan dengan terjadinya fraktur berjauhan. Trauma
tidak langsung terjadi apabila trauma dihantarkan ke daerah yang lebih
jauh dari daerah fraktur. Trauma pada tulang dapat berupa:
a) tekanan berputar : fraktur bersifat oblik atau spiral;
b) tekanan membengkok : fraktur transversal;
c) tekanan sepanjang aksis : fraktur impaksi atau dislokasi;
d) kompresi vertikal : fraktur kominutif atau memecah;
e) trauma karena remuk serta trauma karena tarikan pada ligamen
atau tendon akan menarik sebagian tulang.
3. Penyebab yang lain yang dapat terjadinya fraktur adalah gerakan
terpintir, kontraksi otot ekstem, keadaan patologis seperti osteoporosis,
neoplasma. Menurut Ridwan dkk., (2018) trauma merupakan penyebab
masalah fraktur yang berada pada posisi pertama yang menyebabkan
kematian tersering pada usia 1-44 tahun di seluruh dunia maju, dimana
WHO memperkirakan jikan pada tahun 2020 kejadian kecelakaan lalu
lintas meningkat dan berada pada posisi tiga teratas penyebab kematian
dini dan cedera.
1.5 Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala dari fraktur humerus menurut Wahyuningsih dan


Kusmiyati, (2017) adalah sebagai berikut:
1. Nyeri, akan terjadi secara terus menerus dan bertambah berat hinggs
fragmen tulang diimobilisasi.
2. Deformitas, merupakan perubahan bentuk akibat pergeseran fragmen
pada fraktur lengan dan tungkai, deformitas dapat diketahui dengan
membandingkan ekstremitas yang normal. Deformitas akan
menyebabkan ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan baik
dikarenakan otot sebagai tempat melekat tulang mengalami gangguan.
3. Krepitus (derik tulang yang terasa akibat gesekan antara fragmen satu
dengan lainnya).
4. Pembengkakan dan perubahan warna, terjadi akibat trauma dan
pendarahan yang mengikuti fraktur.
5. Berkurangnya gerakan tangan yang sakit serta disertai kurangnya
sensasi yang dapat terjadi karena adanya gangguan saraf akifat fraktur
yang dialami
6. Hilangnya fungsi normal dan pergerakan abnormal karena
ketidakstabilan tulang
1.6 Patofisiologi

Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya


pegas untuk menahan tekanan. Namun apabila tekanan eksternal yang
datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma
pada tulang yang mengakibatkan rusak atau terputusnya kontinuitas
tulang. Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf
dalam korteks, marrow dan jaringan lunak yang membungkus tulang
rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah
hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke
bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini
menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai dengan
vasodlatasi, eksudasi plasma dan leukosit serta infiltrasi sel darah putih.
Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan nantinya
(Meihartati, dkk 2018).
1.7 Proses Penyembuhan

Adapun proses penyembuhan tulang dibagi menjadi 5 tahap


penyembuhan antara lain sebagai berikut:
1. Hematoma
Stadium I berlangsung antara 24-48 jam dan perdarahan berhenti sama
sekali, pembentukan hematon ini terjadi karena robeknya pembuluh
darah di area fraktur sehingga sel darah akan membentuk fibrin guna
melindungi tulang yang rusak serta tempat tumbuhnya kapiler baru dan
fibroblast.
2. Proliferasi
Proliferasi merupakan tahap dimana jaringan seluler yang berisi
cartilage keluar dari ujung– ujung fragmen dan berasal dari periosteum,
endosteum,dan bone marrow yang telah mengalami trauma. Sel-sel
yang mengalami proliferasi terus masuk ke dalam lapisan yang lebih
dalam dan disanalah osteoblast beregenerasi dan terjadi proses
osteogenesis. Dalam beberapa hari terbentuk tulang baru yang
menggabungkan kedua fragmen tulang yang patah. Fase ini
berlangsung selama 8 jam setelah fraktur sampai selesai, tergantung
frakturnya.
3. Pembentukan callus
Potensi kondrogenik dan osteogenik akan dimiliki oleh sel yang terus
berkembangapabila penanganan tepat sel tersebut akan mulai
membentuk tulang dan juga kartilago. Massa sel yang tebal dengan
tulang yang imatur dan kartilago, membentuk kallus atau bebat pada
permukaan endosteal dan periosteal. Sementara tulang yang imatur
menjadi lebih padat sehingga gerakan pada tempat fraktur berkurang
pada 4 minggu setelah fraktur menyatu.
4. Konsolidasi
Fase dimana terjadi penyatuan pada kedua ujung tulang. Lamellar akan
terbentuk aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut. Ini adalah proses
yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang kuat
untuk membawa beban yang normal.
5. Remodelling
Proses dimana tulang mulai terbentuk kembali atau tersambung dengan
baik dalam beberapa bulan atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk
ulang oleh proses resorbsi dan pembentukan tulang yang terus-
menerus. Lamellae yang lebih tebal diletakkan pada tempat yang
tekanannya lebih tinggi, dinding yang tidak dikehendaki dibuang,
rongga sumsum dibentuk, dan akhirnya dibentuk struktur yang mirip
dengan normalnya.
1.8 Klasifikasi
Menurut Ortopaedics Trauma Association (OTA) pada Karna (2018)
klasifikasi fraktur diafisi humerus terbagi menjadi tiga tipe yaitu :
a. Fraktur sederhana atau simple fracture, fraktur sederhana ini terdiri
3 jenis retakan atau patahan seperti patahan berbentuk spiral, oblik
(>30°), dan transversa (<30°).

Gambar 2. Tipe fraktur sederhana pada tulang humerus


A1 Fraktur Spiral (A1.1 Pada Sepertiga Proksimal, A1.2 Pada
Sepertiga Tengah, A1.3 Pada Sepertiga Distal)
A2 Fraktur Oblik (A2.1 Pada Sepertiga Proksimal, A2.2 Pada
Sepertiga Tengah, A2.3 Pada Sepertiga Distal)
A3 Fraktur Tranversa (A3.1 Pada Sepertiga Proksimal, A3.2
Pada Sepertiga Tengah, A3.3 Pada Sepertiga Distal
b. Fraktur baji atau wedge fracture, jenis fraktur ini memiliki 3
macam retakan juga yang berbentuk spiral wedge, bending wedge,
dan fragmented wedge.

Gambar 3. Tipe fraktur baji atau wedge fracture pada tulang humerus
B1 Fraktur Baji Spiral (B1.1 Pada Sepertiga Proksimal, B1.2 Pada
Sepertiga Tengah, B1.3 Pada Sepertiga Distal)
B2 Bending Wedge Fracture (B2.1 Pada Sepertiga Proksimal,
B2.2 Pada Sepertiga Tengah, B2.3 Pada Sepertiga Distal)
B3 Fragmental Wedge Fracture (B3.1 Pada Sepertiga Proksimal,
B3.2 Pada Sepertiga Tengah, B3.3 Pada Sepertiga Distal)
c. Fraktur kompleks atau complex fracture, jenis fraktur ini memiliki
3 jenis retakan juga seperti spiral, segemental, dan ireguler.

Gambar 4. Tipe fraktur kompleks atau complex fracture pada tulang


humerus
C1 Fraktur Spiral Kompleks
C2 Fraktur Segmental Kompleks
C3 Fraktur Ireguler
1.9 Pemeriksaan Penunjang
Menurut Asrizal (2014) pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan untuk memastikan terjadinya fraktur pada tulang tubuh manusia
dapat dilakukan pemeriksaan rontgen yang bertujuan untuk melihat
lokasi/luas daerah retakan/trauma pada tulang yang mengalami cedera.
Selain itu, Scan tulang seperti Fomogram, CT Scan/MRI dapat dilakukan
untuk melihat adanya fraktur dan juga dapat digunakan untuk melihat
adanya kerusakan pada jaringan lunak. Arteriogram dapat dilakukan
apabila ada kerusakan pada vaskuler. Pemeriksaan darah lengkap yang
melihat kadar HT yang dapat meningkat atau menurun yang
mengidentifikasi adanya perdarahan akibat trauma multiple, Hb, Leukosit,
Laju Endap Darah, golongan darah dan lainnya.
1.10 Komplikasi
Potensi terjadinya komplikasi setelah dilakukan proses pembedahan
dari fraktur humerus ini sebagai berikut :
a. Malunion, merupakan patah tulang yang telah sembuh dalam posisi
yang tidak seharusnya
b. Delayed union, merupakan kegagalan dalam kesembuhan patah tulang
yang tidak sesuai dengan waktu yang dibutuhkan untuk menyambung
kembali.
c. Non-union, merupakan kegagalan fraktur dalam menyambungkan
tulang kembali dalam tatanan yang seharusnya lengkap, kuat, dan stabil
setelah 6-9 bulan.
d. Kelemahan, kaku, atau hilangnya rentan gerak pada bahu, lengan, dan
siku
e. Osteoartritis, peradangan sendi akibat rusaknya tulang rawan di bahu
atau siku
1.11 Penatalaksanaan
Saat mengalami cidera jaringan atau tulang, terdapat sebuah
tindakan awal yang sangat efektif untuk menghindari terjadinya
kerusakan yang lebih berat. Penanganan awal ini dinamakan RICE :
Gambar 5. Penatalaksanaan cidera dengan prinsip RICE
a. Rest atau istirahat, artinya adalah mengistirahatkan bagian tubuh
yang mengalami cidera sedangkan untuk tubuh yang lain
diperbolehkan untuk melakukan aktivitas. Tujuan dari istirahat
adalah untuk mencegah terjadinya cedera lanjutan dan membantu
proses penyembuhan luka lebih optimal
b. Ice atau memberikan efek dingin, artinya adalah untuk membantu
menurunkan suhu disekitar jaringan yang mengalami cedera.
Selain itu, pemberian kompres dingin ini dapat dilakukan dengan
cara pemberian buli-buli dingin atau es yang dilapisi dengan
handuk yang tujuannya adalah untuk mengatasi pembengkakan
dan membuat penyempitan pembuluh darah, mengurangi nyeri
dengan adanya efek sedative dingin. Pemberian dapat diberikan
setelah cidera yang berlangsung 15-20 menit secara berkala.
c. Compression atau pemberian penekanan kepada jaringan yang
mengalami cidera. Penekanan ini bisa dilaksanakan bersamaan
dengan pemberian kompres dingin yang tujuannya apabila ada
pendarahan berkelanjutan. Penanganan ini dilakukan dengan
pemberian elastic bandage pada bagian yang cidera.
d. Elevasi, artinya meninggikan bagian anggota tubuh yang
mengalami cidera melebihi ketinggian jantung sehingga dapat
membantu mendorong cairan keluar dari daerah pembengkakan.
Pathway

Trauma Langsung Trauma tidak Langsung Kondisi patologis

Fraktur Humerus

Diskontinuitas tulang Pergeseran fragmen tulang

Perubahan jaringan sekitar


Nyeri Akut

Pergeseran fragmen tulang


Pelepasan histamin Laserasi kulit dan
Kurangnya informasi
jaringan

Gangguan fungsi protein plasma Defisit Pengetahuan


skeletal hilang Port de entry kuman Putus vena atau
arteri

Hambatan Penekanan
Mobilitas pembuluh Ancaman kematian
Resiko Infeksi Perdarahan

Penurunan
perfusi
Resiko Syok Krisis
situasional
Ketidakefektifa
n Perfusi
Ansietas
BAB 2. ASUHAN KEPERAWATAN

2.1 Pengkajian
1. Identitas Klien

Nama, umur, jenis kelamin, alamat rumah, agama atau kepercayaan,


suku bangsa, bahasa yang dipakai, status pendidikan dan pekerjaan
pasien.
2. Keluhan utama

Keluhan yang membuat pasien datang ke rumah sakit. Pada kasus-


kasus fraktur biasanya keluhan utama yang dirasakan yaitu sakit yang
sangat pada daerah terjadinya fraktur.
a. Mulai timbulnya keluhan atau waktu terjadinya fraktur
b. Sifat keluhan, biasanya pasien mengeluh sakit yang sangat parah
di daerah lokasi fraktur dan bahkan pasien tidak dapat berjalan
sendiri
c. Lokasi fraktur atau nyeri yang dirasakan pasien
d. Keluhan lain yang menyertai, apabila terjadi perdarahan hebat
biasanya pasien merasa pusing atau bahkan pingsan
e. Upaya yang dilakukan untuk mengatasi masalah kesehatan seperti
dibawa ke tukang pijit atau diberikan obat-obatan analgesic untuk
mengatasi nyeri sementara.
3. Riwayat kesehatan
a. Riwayat penyakit sekarang
Klien biasanya nyeri pada bagian yang mengalami fraktur di area
humerus. Nyeri dimulai ketika fraktur terjadi, fraktur biasanya terjadi
karena trauma langsung seperti kecelakaan ataupun karena trauma tidak
langsungseperti osteoporosis.
b. Riwayat kesehatan dahulu
Menentukan penyebab fraktur dan memberi petunjuk tentang
lamanya tulang untuk menyambung. Penyakit tertentu seperti
kanker tulang dan penyakit paget’s menyebabkan fraktur
patologis
sulit untuk menyambung. Diabetes dapat menghambat proses
penyembuhan tulang
c. Riwayat kesehatan keluarga
Bukan merupakan penyakit yang degenerative. Penyakit keluarga
yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah satu
faktor predisposisi terjadinya fraktur seperti diabetes,
osteoporosis dan kanker tulang.
4. Alergi
Lakukan pengkajian adanya riwayat alergi terutama terhadap obat-
obatan atau makanan. Kemudian tanyakan pula reaksi yang
ditimbulkan apabila terjadi alergi, dan tindakan apa yang dilakukan
pasien saat terjadi alergi.
5. Kebiasaan
Tanyakan kebiasaan pasien sehari-hari, serta tanyakan berapa lama kebiasaan
tersebut dilakukan.
1) Merokok (berapa batang /bungkus sehari)
2) Minum alkohol
3) Minum kopi
4) Minum obat – obatan
6. Pengkajian keperawatan
a. persepsi kesehatan & pemeliharaan kesehatan, meliputi kebiasaan
hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang mengganggu
metabolism kalsium, mengkonsumsi alcohol yang bisa
mengganggu keseimbangan dan kebiasaan klien melakukan
olahraga.
b. pola nutrisi/metabolik terdiri dari antropometri, biomedical sign,
clinical sign, diet pattern. Klien dengan fraktur harus
mengkonsumsi nutrisi melebih kebutuhan sehari-hari, seperti
kalsium, zat besi, protein, vitamin C dan lainnya untuk membantu
proses penyembuhan.
c. pola eliminasi: BAB dan BAK (frekuensi, jumlah, warna,
konsistensi, bau, karakter)
d. pola aktivitas & latihan: Activity Daily Living,status oksigenasi,
fungsi kardiovaskuler, terapi oksigen. Timbulnya nyeri,
keterbatasan gerak menyebabkan semua bentuk kegiatan klien
menjadi berkurang dan klien membutuhkan bantuan orang lain.

e. Pola tidur & istirahat: durasi, gangguan tidur, keadaan bangun


tidur. Klien fraktur akan mengalami nyeri, keterbatasan gerak
sehingga menggangu waktu tidur dan istirahat klien.
f. Pola kognitif & perceptual: fungsi kognitif dan memori, fungsi
dan keadaan indera. Biasanya klien akan mengalami gangguan
pada indra peraba terutama pada bagian distal fraktur.
g. Pola persepsi diri: gambaran diri, identitas diri, harga diri, ideal
diri, dan peran diri. Dampak yang timbul pada klien yang
mengalami fraktur yaitu ketakutan akan kecacatan akibat fraktur,
rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara
optimal dan pandangan akan dirinya yang salah.
h. Pola seksualitas & reproduksi : pola seksual dan fungsi
reproduksi. Klien tidak dapat melakukan hubungan seksual karena
harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta nyeri yang
dialami.
i. Pola peran & hubungan, klien akan kehilangan peran dalam
keluarga dan masyarakat karena klien harus menjalani rawat inap.
j. Pola manajemen & koping stress. Mekanisme koping yang
dialami klien dapat menjadi tidak efektif akibat ketakutan klien
akan kecacatan yang dapat timbul pada dirinya.
k. Sistem nilai dan keyakinan : oleh pasien maupun masyarakat.
Klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah
dengan baik terutama terhadap frekuensi dan konsentrasi dalam
beribadah akibat nyeri dan keterbatasan gerak.
7. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengetahui keadaan fraktur yang
dialami pasien secara lebih jelas. Pemeriksaan fisik meliputi primary
survey dan secondary survey.
1) Keadaan umum, tanda – tanda vital

2) Pengkajian Fisik (inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi): kepala,


mata, telinga, hidung, mulut, leher, dada, abdomen, urogenital,
ekstremitas, kulit dan kuku, dan keadaan lokal.

3) Pemeriksaan fraktur

a. Look / inspeksi

b. Feel / palpasi

c. Move / gerakan

d. Pemeriksaan gangguan fungsi


8. Pemeriksaan penunjang

a.Foto rongten digunakan untuk mengetahui lokasi dan garis fraktur.


b. X ray digunakan untuk menentukan jenis fraktu dan mekanisme
terjadinya trauma. Umumnya menggunakan proyeksi
anteroposterior dan lateral.
c.CT scan dapat digunakan untuk menggambarkan anatomi tulang
khusunya pada cedera plafon.
d. MRI digunakan untuk mengkaji adanya cedera pada tulang rawan,
ligament dan tendon.
2.2 Dianosa Keperawatan
1. Nyeri akut b.d agen cedera fisik
2. Hambatan mobilitas fisik b.d gangguan musculoskeletal
3. Defisiensi pengetahuan b.d kurang informasi terkait prosedur operasi
4. Ansietas b.d kurangnya pengetahuan terkait
kondisi fisik dan prosedur pembedahan
5. Gangguan perfusi jaringan b.d trauma
6. Resiko syok b.d perdarahan
7. Resiko infeksi b.d respon inflamasi
2.3 Tindakan Keperawatan (Nursing Care Plan)
No. Masalah Keperawatan Tujuan & Kriteria Hasil (SLKI) Intervensi (SIKI)
Pre Operatif (SDKI)
1. Nyeri akut (D0077) b.d Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen Nyeri (1.08238):
Definisi:
agen pecedera fisik: selama 1x24 jam nyeri akut pada pasien
dapat berkurang, dengan kriteria hasil: Mengidentifikasi dan mengolah pengalaman sensorik
pergeseran fragmen tulang atau emosional yang berkaitan dengan kerusakan
jaringan aktual atau fungsional, dengan onset
akibat fraktur. Kontrol nyeri (L.08063): mendadak atau lambat dan berintensitas ringan
Indikator Skor Skor yang
hingga berat yang berlangsung kurang dari 3 bulan.
saat ini dicapai
Tindakan:
Melaporkan nyeri 2 5
terkontrol
1) Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
Kemampuan 2 5
kualitas, intensitas nyeri, skala nyeri, respon nyeri
mengenali penyebab non verbal dan faktor yang memperberat dan
nyeri memperingan nyeri
Kemampuan 2 5 2) Ajarkan teknik nonfarmakologis ((mis. TENS,
penggunaan teknik hypnosis, akupresur, terapi musik, biofeedback,
non farmakologi terapi pijat, aroma terapi, teknik imajinasi
Keluhan nyeri 4 1 terbimbing, kompres hangat/dingin, terapi
bermain dan teknik massase punggung)
3) Fasilitasi istirahat dan tidur
4) Edukasi penyebab, periode dan pemicu nyeri

Tingkat Nyeri (L.08066):


Indikator Skor Skor yang Terapi Relaksasi (1.09326):
saat ini dicapai Definisi:
Keluhan nyeri 2 5 Menggunakan teknik peregangan untuk mengurangi
Frekuensi nafas 2 5 tanda dan gejala ketidaknyamanan seperti nyeri,
Tekanan darah 2 5 ketegangan otot dan kecemasan.
Tindakan:
1) Identifikasi teknik relaksasi yang pernah efektif
digunakan
2) Jelaskan tujuan, manfaat, batasan, dan jenis,
relaksasi yang tersedia (mis. music, meditasi,
napas dalam, relaksasi otot progresif)
3) Anjurkan sering mengulang atau melatih teknik
yang dipilih
4) Demonstrasikan dan latih teknik relaksasi (mis.
napas dalam, pereganganm atau imajinasi
terbimbing)

Pemberian Analgesik (1.09314):


Definisi:
Menyediakan dan memberikan agen farmakologis
untuk mengurngi atau menghilangkan nyeri.
Tindakan:
1) Kolaborasi pemberian dosis dan jenis analgesik,
sesuai indikasi
2) Diskusikan jenis analgesik yang disukai untuk
mencapai analgesia optimal, jika perlu
3) Identifikasi kesesuaian jenis analgesik (mis.
Narkotika, non-narkotika, atau NSAID) dengan
tingkat keparahan nyeri
4) Jelaskan efek terapi dan efek samping obat
5) Monitor tanda-tanda vital sebelum dan sesudah
pemberian analgesik.
2. Asietas (D.0080) b.d Setelah dilakukan tindakan Reduksi Ansietas (1.09314):
kurang terpapar informasi keperawatan selama 1x 24 jam, ansietas Definisi:
(prosedur pemberdahan), pada pasien dapat teratasi, dengan Meminimalkan kondisi individu dan pengalaman
subjektif individu terhadap objek yang tidak jelas dan
krisis situasional dan kriteria hasil:
spesifik akibat antisipasi bahaya yang
ancaman terhadap memungkinkan individu melakukan tindakan untuk
kematian Tingkat Ansietas (L.09093): menghadapi ancaman
Indikator Skor Skor Tindakan:
saat ini yang
1) Identifikasi saat tingkat anxietas berubah (mis.
dicapai
2 5
Kondisi, waktu, stressor)
Verbalisasi khawatir
akibat kondisi yang
2) Identifikasi kemampuan mengambil keputusan
dihadapi menurun
3) Monitor tanda ansietas (verbal dan non verbal)
Perilaku gelisah 2 5 4) Anjurkan keluarga untuk tetap bersama pasien,
menurun jika perlu
Perilaku tegang 2 5 5) Anjurkan melakukan kegiatan yang tidak
menurun kompetitif, sesuai kebutuhan
Konsentrasi membaik 2 5 6) Anjurkan mengungkapkan perasaan dan persepsi
Pola tidur membaik 2 5 7) Latih kegiatan pengalihan, untuk mengurangi
ketegangan
8) Latih penggunaan mekanisme pertahanan diri
yang tepat
9) Latih teknik relaksasi

3. Defisit pengetahuan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Edukasi prosedur tindakan (1.12442):
(D.0111) b.d kurang selama 1x24 jam, defisit pengetahuan Definisi:
terpapar informasi terkait pada pasien dapat teratasi, dengan Memberikan informasi tentang tindakan yang akan
dilakukan kepada pasien, baik bertujuan untuk
prosedur operasi kriteria hasil: diagnostik maupun untuk terapi

Tingkat Pengetahuan (L.12111): Tindakan:


Indikator Skor Skor yang
saat ini dicapai 1) Identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima
Kemampuan 2 4 informasi
menjelaskan tentang 2) Jelaskan tujuan dan manfaat tindaakan yang akan
suatu topik dilakukan (pembedahan)
Perilaku sesuai 2 4 3) Jelaskan perlunya tindakan dilakukan
dengan pengetahuan 4) Jelaskan keuntungan dan kerugian jika
Persepsi keliru 2 4 tindakan dilakukan
terhadap masalah 5) Jelaskan langkah-langkah tindaakan yang akan
menurun dilakukan
Perilaku membaik 2 4 6) Jelaskan persiapan pasien sebelum tindaakan
yang akan dilakukan
7) Ajarkan teknik untuk mengantisipasi
ketidaknyamanan akibat tindakan, jika perlu
DAFTAR PUSTAKA

Apley GA, Solomon L. 2010. Apley’s System of Orthopaedics and Fractures


(9th ed). London: Hodder Arnold, 687.

Asrizal, R. A. 2014. Closed fracture 1/3 middle femur dextra. Medula. 2(3):94–
100.

Carroll, E. A., Schweppe, M., Langfitt, M., Miller, A. N., & Halvorson, J. J.
2017. Management of Humeral Shaft Fractures. Journal of the American 8
Academy of Orthopaedic Surgeons, 20(7), 423–433.

Nugrahaeni, A. 2020. Pengantar Anatomi Fisiologi Manusia. Yogyakarta: Anak


Hebat Indonesia.

Pearce, Evelyn C. 2009. Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. Jakarta:


Gramedia.
PPNI. 2018a. Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria
Hasil Keperawatan. Edisi Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.

PPNI. 2018b. Standar Intervensi Keperawatan Indonesi: Definisi dan Tindakan


Keperawatan. Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.

Purwanto, H. 2016. Modul Bahan Ajar Cetak Keperawatan : Keperawatan


Medikal Bedah II. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Ridwan, U. N., A. Muthalib, dan P. A. M. Selomo. 2018. Karakteristik kasus


fraktur ekstremitas bawah di rumah sakit umum daerah dr h chasan boesoirie
ternate tahun 2018. Kieraha Medical Jornal. 1(1):301–316.
Riset Kesehatan Dasar. 2012. Angka Kejadian Fraktur di Indonesia. Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia.

Siregar, H. K., D. Tanjung, N. F. Sitepu, M. I. Keperawatan, F. Keperawatan, U.


S. Utara, K. M. Bedah, F. Keperawatan, dan U. Sumatera. 2020.
PENGARUH intervensi keperawatan berbasis model konseptual. 3(2):1–8.

Tim Riset IDNmedis. 2020. Fraktur Humerus (Fraktur Tulang Lengan Atas) :
Penyebab-Gejala dan Cara Mengobati. https://idnmedis.com/fraktur-humerus

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). 2018.


https://www.depkes.go.id/article/view/18110200003/potret-sehat indonesia-
dari-riskesdas-2018.html

Wahyuning Heni, P dan Kusmiyah Y.2017. Buku Bahan Ajar Kebidanan :


Anatomi Fisiologi. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai