“FRAKTUR FEMUR”
Oleh:
1. Bagus Adi Sucipto
2. Devi Putri
1.2 Tujuan
1. Tujuan umum
Melaporkan kasus fraktur femur pada salah satu pasien di RSD Dr. Soebandi
Jember.
2. Tujuan khusus
a. Menggambarkan tinjauan pustaka mengenai fraktur femur
b. Menggambarkan pengkajian perioperatif yang dilakukan pada pasien dengan
diagnosa fraktur femur di RSD Dr. Soebandi Jember termasuk instrumen
tehnik.
1.3 Manfaat
Hasil laporan kasus ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis dalam bidang
keperawatan dalam pengelolaan kasus fraktur femur.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan
yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, 2000). Fraktur merupakan suatu
keadaan dimana terjadi disintegritas tulang, penyebab terbanyak adalah kecelakaan tetapi
faktor lain seperti degenerative juga dapat berpengaruh terhadap kejadian fraktur
(Brunner & Suddarth, 2008).
Fraktur femur adalah diskontinuitas atau hilangnya struktur dari tulang femur
(Mansjoer, 2000). Sedangkan menurut Sjamsuhidajat & Jng (2005) fraktur femur adalah
fraktur pada tulang femur yang disebabkan oleh benturan atau trauma langsung maupun tidak
langsung. Fraktur femur juga didefinisikan sebagai hilangnya kontinuitas tulang paha, kondisi
fraktur femur secara klinis bisa berupa fraktur femur terbuka yang disertai adanya kerusakan
jaringan lunak (otot, kulit, jaringan saraf dan pembuluh darah) dan fraktur femur tertutup
yang dapat disebabkan oleh trauma langsung pada paha.
Ujung bawah femur memilki condylus medialis dan lateralis, yang di bagian
posterior dipisahkan oleh incisura intercondylaris. Permukaan anterior condylus
dihubungkan oleh permukaan sendi untuk patella. Kedua condylus ikut membentuk
articulation genu. Di atas condylus terdapat epicondylus lateralis dan medialis. Tuberculum
adductorium berhubungan langsung dengan epicondylus medialis (Thompson, 2002).
Vaskularisasi femur berasal dari arteri iliaka komunis kanan dan kiri. Saat arteri ini memasuki
daerah femur maka disebut sebagai arteri femoralis. Tiap-tiap arteri femoralis
kanan dan kiri akan bercabang menjadi arteri profunda femoris, ramiarteria
sirkumfleksia femoris lateralis asenden, rami arteria sirkumfleksia femoris lateralis
desenden, arteri sirkumfleksia femoris medialis dan arteria perforantes. Perpanjangan dari
arteri femoralis akan membentuk arteri yang memperdarahi daerah genu dan
ekstremitas inferior yang lebih distal. Aliran balik darah menuju jantung dari bagian femur
dibawa oleh vena femoralis kanan dan kiri (Thompson, 2002).
2.3 Klasifikasi
Jenis-jenis fraktur femur dibagi menjadi 2 yaitu (Mansjoer, 2000) :
1. Fraktur batang femur
Fraktur batang femur mempunyai insiden yang cukup tinggi di antara jenis-jenis
patah tulang. Umumnya fraktur femur terjadi pada batang femur 1/3 tengah.
Fraktur di daerah kaput, kolum, trokanter, subtrokanter, suprakondilus biasanya
memerlukan tindakan operatif.
2. Fraktur kolum femur
Dapat terjadi akibat trauma langsung, pasien terjatuh dengan posisi miring dan
trokanter mayor langsung terbentur pada benda keras seperti jalanan. Pada
trauma tidak langsung, fraktur kolum femur terjadi karena gerakan eksorotasi
yang mendadak dari tungkai bawah.
2.4 Etiologi
Lewis (2000) berpendapat bahwa tulang bersifat relatif rapuh namun
mempunyai cukup kekuatan dan gaya pegas untuk menahan tekanan. Menurut Brunner
dan Suddarth (2008), penyebab atau etiologi terjadinya fraktur yaitu :
1. Trauma
2. Gaya meremuk
3. Gerakan puntir mendadak
4. Kontraksi otot ekstrim
5. Keadaan patologis: osteoporosis, neoplasma
6. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit
2.5 Patofisiologi
Fraktur terjadi ketika tulang mendapatkan energi kinetik yang lebih besar dari
yang dapat tulang serap. Fraktur itu sendiri dapat muncul sebagai akibat dari berbagai
peristiwa diantaranya pukulan langsung, penekanan yang sangat kuat, puntiran, kontraksi
otot yang keras atau karena berbagai penyakit lain yang dapat melemahkan otot. Pada
dasarnya ada dua tipe dasar yang dapat menyebabkan terjadinya fraktur, kedua
mekanisme tersebut adalah: Yang pertama mekanisme direct force dimana energi kinetik
akan menekan langsung pada atau daerah dekat fraktur. Dan yang kedua adalah dengan
mekanisme indirect force, dimana energi kinetik akan disalurkan dari tempat tejadinya
tubrukan ke tempat dimana tulang mengalami kelemahan. Fraktur tersebut akan terjadi
pada titik atau tempat yang mengalami kelemahan. Pada saat terjadi fraktur periosteum,
pembuluh darah, sumsum tulang dan daerah sekitar jaringan lunak akan mengalami
gangguan. Sementara itu perdarahan akan terjadi pada bagian ujung dari tulang yang patah
serta dari jaringan lunak (otot) terdekat. Hematoma akan terbentuk pada medularry canal
antara ujung fraktur dengan bagian dalam dari periosteum. Jaringan tulang akan segera
berubah menjadi tulang yang mati. Kemudian jaringan nekrotik ini akan secara intensif
menstimulasi terjadinya peradangan yang dikarakteristikkan dengan terjadinya
vasodilatasi, edema, nyeri, hilangnya fungsi, eksudasi dari plasma dan leukosit serta
infiltrasi dari sel darah putih lainnya. Proses ini akan berlanjut ke proses pemulihan
tulang yang fraktur tersebut (http://www.ilmukeperawatan.com/askep.html)
2.7 Penatalaksanaan
Prinsip penanganan fraktur adalah mengembalikan posisi patahan tulang ke posisi
semula (reposisi) dan mempertahankan posisi itu selama masa penyembuhan fraktur
(Sjamsuhidajat & Jong, 2010). Penatalaksanaan fraktur dapat dilakukan secara operatif dan
non operatif. Penatalaksanaan non‒operatif antara lain dengan cara proteksi tanpa reposisi
dan imobilisasi, imobilisasi luar tanpa reposisi (seperti pembidaian), reposisi
dengan cara manipulasi yang diikuti dengan imobilisasi, dan reposisi dengan traksi terus
menerus selama masa tertentu pada beberapa minggu, lalu diikuti dengan imobilisasi (seperti
pemasangan gips). Penatalaksanaan operatif berupa reposisi yang diikuti dengan imobilisasi
dengan fiksasi eksterna, reposisi secara non‒operatif yang diikuti dengan pemasangan
fiksator tulang secara operatif dan reposisi secara operatif diikuti dengan fiksasi interna
(Sjamsuhidajat & Jong, 2010).
Penatalaksanaan fraktur dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, salah
satunya dengan fiksasi internal atau dikenal juga Open Reduction Internal Fixation (ORIF).
Metode ORIF telah banyak digunakan. Pada umumnya metode ini digunakan plate, screw
dan kawat atau intramedullary (IM) wire untuk menstabilkan tulang (Lakatos, 2014).
Metode ini memiliki kekurangan berupa risiko tinggi infeksi (Sjamsuhidajat & Jong, 2010).
Selain itu, komplikasi dari ORIF adalah non union, kegagalan implantasi dan refraktur
(Solomon et al., 2010).
2. Intra operatif
No. Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Rencana Tindakan
1. Resiko cedera berhubungan NOC : Risk Control Surgical precaution:
dengan anestesi. Setelah dilakukan tindakan keperawatan, a) Tidurkan klien pada meja operasi
resiko cedera dapat terhindari. dengan posisi sesuai kebutuhan.
b) Monitor penggunaan instrumen dan
kasa.
c) Pastikan tidak ada instrumen,
jarum atau kasa yang tertinggal
dalam tubuh klien.
2. Resiko infeksi berhubungan NOC : Infection control NIC : Kontrol infeksi intra operasi
dengan prosedur invasif Selama dilakukan tindakan operasi tidak terjadi a) Gunakan pakaian khusus ruang
pembedahan. transmisi agent infeksi, dengan kriteria hasil: operasi
a) Alat dan bahan yang dipakai tidak b) Pertahankan prinsip aseptik dan
terkontaminasi antiseptik
3. Resiko hipotermi berhubungan NOC : Temperature control NIC : Pengaturan temperature
dengan ruangan yang dingin. Setelah dilakukan tindakan keperawatan, a) Atur suhu ruangan yang nyaman
pasien tidak mengalami hipotermi, dengan b) Lindungi area diluar wilayah
kriteria hasil pasien tidak menggigil. operasi.
c) Gunakan cairan infus hangat
d) Irigasi hangat
3. Post operatif
No. Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Rencana Tindakan
1. Nyeri akut berhubungan dengan NOC : Pain control, Pain level NIC : Pain Management
agen injury fisik Setelah dilakukan tindakan keperawatan, nyeri a) Monitor tanda-tanda vital
yang dirasakan klien dapat berkurang dengan b) Lakukan pengkajian nyeri secara
kriteria hasil: komprehensif termasuk lokasi,
a) Klien melaporkan nyeri berkurang (skala 6 karakteristik, durasi, frekuensi,
ke skala 1) kualitas dan faktor presipitasi
b) Klien menyatakan merasa nyaman setelah c) Observasi reaksi nonverbal dari
nyeri berkurang ketidaknyamanan
c) Tanda-tanda vital dalam rentang normal d) Kontrol lingkungan yang dapat
mempengaruhi nyeri seperti suhu
ruangan, pencahayaan dan
kebisingan
e) Ajarkan tentang teknik non
farmakologi: napas dalam,
relaksasi, distraksi, kompres
hangat/ dingin
f) Tingkatkan istirahat
g) Kolaborasi: Berikan analgetik
untuk mengurangi nyeri
3.1 Pengkajian
Ruang : Ruang Pre Operasi
Nama : Sdr. M
Umur : 17 tahun
Diagnosa Medis : CF Femur
No. Register : 254xxxx
Alamat : Krajan 1/1, Gunung Malang, Sumberjambe
Tanggal MRS : 1 Mei 2019
Tanggal Pengkajian : 7 Mei 2019
3. Timbang Terima
1) Situation
Pasien elektif
2) Background
Diagnosa Pra Operatif CF Femur
Rencana operasi ORIF Femur
RPD : Tidak ada
Alergi : Tidak ada
Darah : 2 pack PRC dengan golongan darah O
Marking : Perlu
Informed Consent : Ada
Konsultasi : Anestesi sudah dilakukan
Foto : Ada
Pemeriksaan Lab : Ada
Alat bantu : Tidak ada
Vital Sign : TD (130/80 mmHg), N (80 x/menit), S
(36,5ºC), RR (18 x/menit)
Kesadaran : Composmentis
Keluarga : Menunggu di ruang tunggu.
3) Assesment
Pasien siap di transport
4) Recommendation
Didampingi oleh transporter dan perawat, transport dengan branchard.
4. Sign In
Sign in dilakukan di ruang Pre Operasi oleh perawat dengan mengisi daftar
tilik pembedahan.
5. Transfer
Pasien ditransfer dari ruang pre op ke ruang operasi oleh perawat anestesi
dan dipindahkan dari branchard ke meja operasi.
6. Positioning
Pasien diposisikan supinasi.
7. Anestesi
Pasien diberikan general anestesi oleh dokter anestesi dan perawat anestesi.
8. Aseptik
Perawat membersihkan area operasi dengan menggunakan povidone iodine
10% dan dilanjutkan dengan drapping.
9. Time out
Perawat sirkuler membacakan time out.
10. Instrumentasi Tehnik dan Operating Tehnik Intraoperatif
a. Team operasi : Operator, Asisten, Instrumen, dan Sirkulator
b. Set Ruangan
1) Alat on steril di ruangan
Alat on steril ruangan
Meja operasi
Lampu Operasi
Mesin suction
Troli Waskom
Standar Infus
ESU
Meja mayo
Meja instrument
Back table
Tempat sampah
Gunting verban
2) Alat steril
a. Alat di meja mayo
Alat di Meja Mayo Jumlah
1. Desinfeksi Klem 1
2. Towel klem 4
3. Scalpel handle no. 3 2
4. Pincet cirurgis 2
5. Pincet anatomis 1
6. Gunting metzembaum 1
7. Gunting kasar 1
8. Gunting benang 1
9. Klem pean bengkok 2
10. Klem kocher 2
11. Needle holder 2
12. Haak tajam gigi dua 2
13. Langenbeck 2
14. Bengkok 1
15. Cucing 2
16. Kanul suction 1
17. Hak femur (Rek) 2
18. Bone reduction 2
19. Knable tang 2
20. Hoffman 2
21. Raspatorium 1
22. Elevator 1
23. Bone curet 1
b. Set Tambahan
Set Tambahan
1. Bor listrik
a. Baterai
b. chuky key (kunci bor)
c. Drill bit
2. Plate
3. Screw
4. Depth gauge
5. Tapper
6. Screw driver
4.1 Kesimpulan
Fraktur femur adalah diskontinuitas atau hilangnya struktur dari tulang femur
(Mansjoer, 2000). Sedangkan menurut Sjamsuhidajat & Jong (2005) fraktur femur
adalah fraktur pada tulang femur yang disebabkan oleh benturan atau trauma
langsung maupun tidak langsung. Fraktur femur juga didefinisikan sebagai hilangnya
kontinuitas tulang paha, kondisi fraktur femur secara klinis bisa berupa fraktur femur
terbuka yang disertai adanya kerusakan jaringan lunak (otot, kulit, jaringan saraf dan
pembuluh darah) dan fraktur femur tertutup yang dapat disebabkan oleh trauma
langsung pada paha.
Selain itu perlu diketahui tentang prinsip penanganan fraktur adalah
mengembalikan posisi patahan tulang ke posisi semula (reposisi) dan
mempertahankan posisi itu selama masa penyembuhan fraktur (Sjamsuhidajat &
Jong, 2010). Penatalaksanaan fraktur dapat dilakukan secara operatif dan non
operatif. Penatalaksanaan non‒operatif antara lain dengan cara proteksi tanpa
reposisi dan imobilisasi, imobilisasi luar tanpa reposisi (seperti
pembidaian), reposisi dengan cara manipulasi yang diikuti dengan imobilisasi, dan
reposisi dengan traksi terus menerus selama masa tertentu pada beberapa minggu,
lalu diikuti dengan imobilisasi (seperti pemasangan gips). Penatalaksanaan operatif
berupa reposisi yang diikuti dengan imobilisasi dengan fiksasi eksterna, reposisi
secara non‒operatif yang diikuti dengan pemasangan fiksator tulang secara operatif
dan reposisi secara operatif diikuti dengan fiksasi interna (Sjamsuhidajat & Jong,
2010).
Penatalaksanaan fraktur dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, salah
satunya dengan fiksasi internal atau dikenal juga Open Reduction Internal Fixation
(ORIF). Metode ORIF telah banyak digunakan. Pada umumnya metode ini
digunakan plate, screw dan kawat atau intramedullary (IM) wire untuk menstabilkan
tulang (Lakatos, 2014). Metode ini memiliki kekurangan berupa risiko tinggi infeksi
(Sjamsuhidajat & Jong, 2010). Selain itu, komplikasi dari ORIF adalah non union,
kegagalan implantasi dan refraktur (Solomon et al., 2010).
4.2 Saran
Jika ada kesalahan dan kekurangan dari penulisan, penulis mengharapkan
masukan yang dapat memperbaiki.
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. 2008. Buku ajar Keperawatan Medical Bedah. Jakarta : EGC.
Lakatos R. 2014. General principles of internal fixation. Diakses pada tanggal 8 Mei
2019. http://emedicine.medscape.com/article/1269987-overview#aw2aab6b2
Lewis, et all. 2000. (7nd ed). Medical surgical nursing. St Louis: Mosby.
Mansjoer Arif, dkk. 2002. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius.
Sjamsuhidajat R, Jong WD. 2010. Buku Ajar Bedah Edisi Ke-3. Jakarta: EGC.
Thomson JD, Jonna K. 2014. Open reduction and internal fixation of distal femoral
fractures in adult. Diakses pada tanggal 8 Mei 2019.
http://emedicine.medscape.com/article/2000429-overview