Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN KASUS

“FRAKTUR FEMUR”

Oleh:
1. Bagus Adi Sucipto
2. Devi Putri

PELATIHAN SCRUB NURSE KAMAR BEDAH


RSD Dr. SOEBANDI JEMBER
2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan yang
umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, 2000). Fraktur merupakan suatu
keadaan dimana terjadi disintegritas tulang, penyebab terbanyak adalah kecelakaan tetapi
faktor lain seperti degenerative juga dapat berpengaruh terhadap kejadian fraktur
(Brunner & Suddarth, 2008).
Fraktur femur adalah diskontinuitas atau hilangnya struktur dari tulang femur
(Mansjoer, 2000). Sedangkan menurut Sjamsuhidajat & Jong (2005) fraktur femur adalah
fraktur pada tulang femur yang disebabkan oleh benturan atau trauma langsung maupun tidak
langsung. Fraktur femur juga didefinisikan sebagai hilangnya kontinuitas tulang paha, kondisi
fraktur femur secara klinis bisa berupa fraktur femur terbuka yang disertai adanya kerusakan
jaringan lunak (otot, kulit, jaringan saraf dan pembuluh darah) dan fraktur femur tertutup
yang dapat disebabkan oleh trauma langsung pada paha.
World Health Organization (WHO) mencatat pada tahun 2011-2012 terdapat 5,6 juta
orang meninggal dunia dan 1,3 juta orang menderita fraktur akibat kecelakaan lalu lintas
(WHO, 2011). Menurut Depkes RI 2011, dari sekian banyak kasus fraktur di indonesia,
fraktur pada ekstremitas bawah akibat kecelakaan memiliki prevalensi yang paling tinggi
diantara fraktur lainnya yaitu sekitar 46,2%. Dari 45.987 orang dengan kasus fraktur
ekstremitas bawah akibat kecelakaan, 19.629 orang mengalami fraktur pada tulang femur
(Depkes RI, 2011). Sedangkan Aukerman (2008) melaporkan bahwa insiden fraktur femur
terjadi sebesar 1-2 kejadian pada per 10.000 jiwa penduduk setiap tahun.
Terdapat beberapa penyebab terjadinya fraktur menurut Brunner dan Suddarth
(2008), yaitu trauma, gaya meremuk, gerakan puntir mendadak, kontraksi otot ekstrim,
keadaan patologis (seperti osteoporosis, neoplasma), pembengkakan dan perubahan
warna lokal pada kulit.
Selain itu perlu diketahui tentang prinsip penanganan fraktur adalah mengembalikan
posisi patahan tulang ke posisi semula (reposisi) dan mempertahankan posisi itu selama masa
penyembuhan fraktur (Sjamsuhidajat & Jong, 2010). Penatalaksanaan fraktur dapat dilakukan
secara operatif dan non operatif. Penatalaksanaan non‒operatif antara lain dengan cara
proteksi tanpa reposisi dan imobilisasi, imobilisasi luar tanpa reposisi (seperti
pembidaian), reposisi dengan cara manipulasi yang diikuti dengan imobilisasi, dan reposisi
dengan traksi terus menerus selama masa tertentu pada beberapa minggu, lalu diikuti dengan
imobilisasi (seperti pemasangan gips). Penatalaksanaan operatif berupa reposisi yang diikuti
dengan imobilisasi dengan fiksasi eksterna, reposisi secara non‒operatif yang diikuti dengan
pemasangan fiksator tulang secara operatif dan reposisi secara operatif diikuti dengan fiksasi
interna (Sjamsuhidajat & Jong, 2010).
Penatalaksanaan fraktur dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, salah satunya
dengan fiksasi internal atau dikenal juga Open Reduction Internal Fixation (ORIF). Metode
ORIF telah banyak digunakan. Pada umumnya metode ini digunakan plate, screw dan kawat
atau intramedullary (IM) wire untuk menstabilkan tulang (Lakatos, 2014). Metode ini
memiliki kekurangan berupa risiko tinggi infeksi (Sjamsuhidajat & Jong, 2010). Selain itu,
komplikasi dari ORIF adalah non union, kegagalan implantasi dan refraktur (Solomon et al.,
2010).

1.2 Tujuan
1. Tujuan umum
Melaporkan kasus fraktur femur pada salah satu pasien di RSD Dr. Soebandi
Jember.
2. Tujuan khusus
a. Menggambarkan tinjauan pustaka mengenai fraktur femur
b. Menggambarkan pengkajian perioperatif yang dilakukan pada pasien dengan
diagnosa fraktur femur di RSD Dr. Soebandi Jember termasuk instrumen
tehnik.

1.3 Manfaat
Hasil laporan kasus ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis dalam bidang
keperawatan dalam pengelolaan kasus fraktur femur.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan
yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, 2000). Fraktur merupakan suatu
keadaan dimana terjadi disintegritas tulang, penyebab terbanyak adalah kecelakaan tetapi
faktor lain seperti degenerative juga dapat berpengaruh terhadap kejadian fraktur
(Brunner & Suddarth, 2008).
Fraktur femur adalah diskontinuitas atau hilangnya struktur dari tulang femur
(Mansjoer, 2000). Sedangkan menurut Sjamsuhidajat & Jng (2005) fraktur femur adalah
fraktur pada tulang femur yang disebabkan oleh benturan atau trauma langsung maupun tidak
langsung. Fraktur femur juga didefinisikan sebagai hilangnya kontinuitas tulang paha, kondisi
fraktur femur secara klinis bisa berupa fraktur femur terbuka yang disertai adanya kerusakan
jaringan lunak (otot, kulit, jaringan saraf dan pembuluh darah) dan fraktur femur tertutup
yang dapat disebabkan oleh trauma langsung pada paha.

2.2 Anatomi Fisiologi


Femur adalah tulang terpanjang dan terkuat pada tubuh. Tulang femur
menghubungkan antara tubuh bagian panggul dan lutut. Kata “ femur” merupakan bahasa
latin untuk paha. Femur pada ujung bagian atasnya memiliki caput, collum, trochanter major
dan minor. Bagian caput merupakan lebih kurang dua pertiga berbentuk seperti bola dan
berartikulasi dengan acetabulum dari tulang coxae membentuk articulation coxae. Pada pusat
caput terdapat lekukan kecil yang disebut fovea capitis, yaitu tempat perlekatan ligamentum
dari caput. Sebagian suplai darah untuk caput femoris dihantarkan sepanjang ligamen ini dan
memasuki tulang pada fovea (Thompson, 2002).
Bagian collum, yang menghubungkan kepala pada batang femur, berjalan ke bawah,
belakang, lateral dan membentuk sudut lebih kurang 125 derajat, pada wanita sedikit lebih
kecil dengan sumbu panjang batang femur. Besarnya sudut ini perlu diingat karena dapat
berubah karena penyakit (Thompson, 2002).
Trochanter major dan minor merupakan tonjolan besar pada batas leher dan batang.
Yang menghubungkan dua trochanter ini adalah linea intertrochanterica di depan dan crista
intertrochanterica yang mencolok di bagian belakang, dan padanya terdapat tuberculum
quadratum (Thompson, 2002).
Bagian batang femur umumnya berbentuk cembung ke arah depan. Berbentuk licin
dan bulat pada permukaan anteriornya, pada bagian belakangnya terdapat linea aspera,
tepian linea aspera melebar ke atas dan ke bawah. Tepian medial berlanjut ke bawah sebagai
crista supracondylaris medialis menuju tuberculum adductorum pada condylus medialis.
Tepian lateral menyatu ke bawah dengan crista supracondylaris lateralis. Pada permukaan
postertior batang femur, di bawah trochanter major terdapat tuberositas glutealis, yang ke
bawah berhubungan dengan linea aspera. Bagian batang melebar kearah ujung distal dan
membentuk daerah segitiga datar pada permnukaan posteriornya, disebut fascia poplitea
(Thompson, 2002).

Ujung bawah femur memilki condylus medialis dan lateralis, yang di bagian
posterior dipisahkan oleh incisura intercondylaris. Permukaan anterior condylus
dihubungkan oleh permukaan sendi untuk patella. Kedua condylus ikut membentuk
articulation genu. Di atas condylus terdapat epicondylus lateralis dan medialis. Tuberculum
adductorium berhubungan langsung dengan epicondylus medialis (Thompson, 2002).
Vaskularisasi femur berasal dari arteri iliaka komunis kanan dan kiri. Saat arteri ini memasuki
daerah femur maka disebut sebagai arteri femoralis. Tiap-tiap arteri femoralis
kanan dan kiri akan bercabang menjadi arteri profunda femoris, ramiarteria
sirkumfleksia femoris lateralis asenden, rami arteria sirkumfleksia femoris lateralis
desenden, arteri sirkumfleksia femoris medialis dan arteria perforantes. Perpanjangan dari
arteri femoralis akan membentuk arteri yang memperdarahi daerah genu dan
ekstremitas inferior yang lebih distal. Aliran balik darah menuju jantung dari bagian femur
dibawa oleh vena femoralis kanan dan kiri (Thompson, 2002).
2.3 Klasifikasi
Jenis-jenis fraktur femur dibagi menjadi 2 yaitu (Mansjoer, 2000) :
1. Fraktur batang femur
Fraktur batang femur mempunyai insiden yang cukup tinggi di antara jenis-jenis
patah tulang. Umumnya fraktur femur terjadi pada batang femur 1/3 tengah.
Fraktur di daerah kaput, kolum, trokanter, subtrokanter, suprakondilus biasanya
memerlukan tindakan operatif.
2. Fraktur kolum femur
Dapat terjadi akibat trauma langsung, pasien terjatuh dengan posisi miring dan
trokanter mayor langsung terbentur pada benda keras seperti jalanan. Pada
trauma tidak langsung, fraktur kolum femur terjadi karena gerakan eksorotasi
yang mendadak dari tungkai bawah.

Klasifikasi fraktur femur (Muttaqin, 2008) terbagi menjadi:


1. Fraktur leher femur
Fraktur leher femur merupakan jenis fraktur yang sering ditemukan pada orang tua
terutama wanita usia 60 tahun ke atas disertai tulang yang osteoporosis. Fraktur
leher femur pada anak anak jarang ditemukan fraktur ini lebih sering terjadi pada
anak laki-laki daripada anak perempuan dengan perbandingan 3:2. Insiden tersering
pada usia 11-12 tahun.
2. Fraktur subtrokanter
Fraktur subtrokanter dapat terjadi pada semua usia, biasanya disebabkan trauma
yang hebat. Pemeriksaan dapat menunjukkan fraktur yang terjadi dibawah trokanter
minor.
3. Fraktur intertrokanter femur
Pada beberapa keadaan, trauma yang mengenai daerah tulang femur. Fraktur daerah
troklear adalah semua fraktur yang terjadi antara trokanter mayor dan minor. Frkatur
ini bersifat ekstraartikular dan sering terjadi pada klien yang jatuh dan mengalami
trauma yang bersifat memuntir. Keretakan tulang terjadi antara trokanter mayor dan
minor tempat fragmen proksimal cenderung bergeser secara varus. Fraktur dapat
bersifat kominutif terutama pada korteks bagian posteomedial.
4. Fraktur diafisis femur
Fraktur diafisis femur dapat terjadi pada daerah femur pada setiap usia dan biasanya
karena trauma hebat, misalnya kecelakaan lalu lintas atau jatuh dari ketinggian.
5. Fraktur suprakondilar femur
Daerah suprakondilar adalah daerah antar batas proksimal kondilus femur dan batas
metafisis dengan diafisis femur. Trauma yang mengenai femur terjadi karena adanya
tekanan varus dan vagus yang disertai kekatan aksial dan putaran sehingga dapat
menyebabkan fraktur pada daerah ini. Pergeseran terjadi karena tarikan otot.

2.4 Etiologi
Lewis (2000) berpendapat bahwa tulang bersifat relatif rapuh namun
mempunyai cukup kekuatan dan gaya pegas untuk menahan tekanan. Menurut Brunner
dan Suddarth (2008), penyebab atau etiologi terjadinya fraktur yaitu :
1. Trauma
2. Gaya meremuk
3. Gerakan puntir mendadak
4. Kontraksi otot ekstrim
5. Keadaan patologis: osteoporosis, neoplasma
6. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit
2.5 Patofisiologi
Fraktur terjadi ketika tulang mendapatkan energi kinetik yang lebih besar dari
yang dapat tulang serap. Fraktur itu sendiri dapat muncul sebagai akibat dari berbagai
peristiwa diantaranya pukulan langsung, penekanan yang sangat kuat, puntiran, kontraksi
otot yang keras atau karena berbagai penyakit lain yang dapat melemahkan otot. Pada
dasarnya ada dua tipe dasar yang dapat menyebabkan terjadinya fraktur, kedua
mekanisme tersebut adalah: Yang pertama mekanisme direct force dimana energi kinetik
akan menekan langsung pada atau daerah dekat fraktur. Dan yang kedua adalah dengan
mekanisme indirect force, dimana energi kinetik akan disalurkan dari tempat tejadinya
tubrukan ke tempat dimana tulang mengalami kelemahan. Fraktur tersebut akan terjadi
pada titik atau tempat yang mengalami kelemahan. Pada saat terjadi fraktur periosteum,
pembuluh darah, sumsum tulang dan daerah sekitar jaringan lunak akan mengalami
gangguan. Sementara itu perdarahan akan terjadi pada bagian ujung dari tulang yang patah
serta dari jaringan lunak (otot) terdekat. Hematoma akan terbentuk pada medularry canal
antara ujung fraktur dengan bagian dalam dari periosteum. Jaringan tulang akan segera
berubah menjadi tulang yang mati. Kemudian jaringan nekrotik ini akan secara intensif
menstimulasi terjadinya peradangan yang dikarakteristikkan dengan terjadinya
vasodilatasi, edema, nyeri, hilangnya fungsi, eksudasi dari plasma dan leukosit serta
infiltrasi dari sel darah putih lainnya. Proses ini akan berlanjut ke proses pemulihan
tulang yang fraktur tersebut (http://www.ilmukeperawatan.com/askep.html)

2.6 Manifestasi Klinis


Tanda dan gejala fraktur femur (Brunner & Suddarth, 2008) terdiri atas:
1. Nyeri
Nyeri yang terjadi terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
dimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah
yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung bergerak
secara tidak alamiah. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai
menyebabkan deformitas ekstremitas, yang bisa diketahui dengan membandingkan
dengan ekstremitas yang normal. Ektremitas tak dapat berfungsi dengan baik karena
fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat melekatnya otot.
3. Pemendekan tulang
Terjadi pada fraktur panjang karena kontraksi otot yang melekat di atas dan dibawah
tempat fraktur. Leg length discrepancy (LLD) atau perbedaan panjang tungkai
bawah adalah masalah ortopedi yang biasanya muncul di masa kecil, di mana dua
kaki seseorang memiliki panjang yang tidak sama. Penyebab dari masalah Leg
length discrepancy (LLD), yaitu osteomielitis, tumor, fraktur, hemihipertrofi, di
mana satu atau lebih malformasi vaskular atau tumor (seperti hemangioma) yang
menyebabkan aliran darah di satu sisi melebihi yang lain. Pengukuran Leg length
discrepancy (LLD) terbagi menjadi, yaitu true leg length discrepancy dan apparent
leg length discrepancy.True leg length discrepancy adalah cara megukur perbedaan
panjang tungkai bawah dengan mengukur dari spina iliaka anterior superior ke
maleolus medial dan apparent leg length discrepancy adalah cara megukur
perbedaan panjang tungkai bawah dengan mengukur dari xiphisternum atau
umbilikus ke maleolus medial.

4. Krepitus tulang (derik tulang)


Krepitasi tulang terjadi akibat gerakan fragmen satu dengan yang lainnya.
5. Pembengkakan dan perubahan warna tulang
Pembengkakan dan perubahan warna tulang terjadi akibat trauma dan perdarahan
yang mengikuti fraktur. Tanda ini terjadi setelah beberapa jam atau hari.

2.7 Penatalaksanaan
Prinsip penanganan fraktur adalah mengembalikan posisi patahan tulang ke posisi
semula (reposisi) dan mempertahankan posisi itu selama masa penyembuhan fraktur
(Sjamsuhidajat & Jong, 2010). Penatalaksanaan fraktur dapat dilakukan secara operatif dan
non operatif. Penatalaksanaan non‒operatif antara lain dengan cara proteksi tanpa reposisi
dan imobilisasi, imobilisasi luar tanpa reposisi (seperti pembidaian), reposisi
dengan cara manipulasi yang diikuti dengan imobilisasi, dan reposisi dengan traksi terus
menerus selama masa tertentu pada beberapa minggu, lalu diikuti dengan imobilisasi (seperti
pemasangan gips). Penatalaksanaan operatif berupa reposisi yang diikuti dengan imobilisasi
dengan fiksasi eksterna, reposisi secara non‒operatif yang diikuti dengan pemasangan
fiksator tulang secara operatif dan reposisi secara operatif diikuti dengan fiksasi interna
(Sjamsuhidajat & Jong, 2010).
Penatalaksanaan fraktur dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, salah
satunya dengan fiksasi internal atau dikenal juga Open Reduction Internal Fixation (ORIF).
Metode ORIF telah banyak digunakan. Pada umumnya metode ini digunakan plate, screw
dan kawat atau intramedullary (IM) wire untuk menstabilkan tulang (Lakatos, 2014).
Metode ini memiliki kekurangan berupa risiko tinggi infeksi (Sjamsuhidajat & Jong, 2010).
Selain itu, komplikasi dari ORIF adalah non union, kegagalan implantasi dan refraktur
(Solomon et al., 2010).

2.8 Diagnosa Medis


1. Pre operatif
a. Ansietas berhubungan dengan prosedur pembedahan yang akan dilakukan
b. Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurangnya pajanan informasi
2. Intra operatif
a. Resiko cedera berhubungan dengan anestesi.
b. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif pembedahan.
c. Resiko hipotermi berhubungan dengan ruangan yang dingin.
3. Post operatif
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen injury fisik
b. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif
2.9 Intervensi
1. Pre operatif
No. Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Rencana Tindakan
1. Ansietas berhubungan dengan NOC : Anxiety control NIC : Penurunan kecemasan
prosedur pembedahan yang akan Setelah dilakukan tindakan keperawatan, a) Gunakan pendekatan yang
dilakukan kecemasan klien berkurang dengan kriteria menenangkan
hasil: b) Libatkan keluarga untuk
a) Klien mampu mengidentifikasi dan mendampingi klien
mengungkapkan gejala cemas c) Instruksikan pada pasien untuk
b) Mengidentifikasi, mengungkapkan dan menggunakan tehnik relaksasi
menunjukkan tehnik untuk mengontrol d) Bantu pasien mengenal situasi
cemas yang menimbulkan kecemasan
c) Postur tubuh, ekspresi wajah, bahasa tubuh e) Dorong pasien untuk
dan tingkat aktivitas menunjukkan mengungkapkan perasaan,
berkurangnya kecemasan ketakutan, persepsi

2. Defisit pengetahuan NOC : Pengetahuan tentang penyakit NIC : Teaching


berhubungan dengan kurangnya Setelah dilakukan tindakan keperawatan, a) Observasi pengetahuan klien
pajanan informasi pasien mengerti tentang proses penyakit dan tentang penyakit dan prosedur
prosedur bedah yang akan dilakukan, dengan pembedahan yang akan
kriteria hasil: dilakukan.
a) Menjelaskan kembali tentang penyakit, b) Jelaskan tentang proses penyakit,
dan identifikasi kemungkinan
b) Prosedur pembedahan yang akan penyebab penyakit yang dialami.
dilakukan c) Jelaskan mengenai lawa waktu
pelaksaan prosedur operasi.
d) Jelaskan tujuan prosedur operasi.
e) Pastikan persetujuan operasi telah
ditandatangani.

2. Intra operatif
No. Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Rencana Tindakan
1. Resiko cedera berhubungan NOC : Risk Control Surgical precaution:
dengan anestesi. Setelah dilakukan tindakan keperawatan, a) Tidurkan klien pada meja operasi
resiko cedera dapat terhindari. dengan posisi sesuai kebutuhan.
b) Monitor penggunaan instrumen dan
kasa.
c) Pastikan tidak ada instrumen,
jarum atau kasa yang tertinggal
dalam tubuh klien.
2. Resiko infeksi berhubungan NOC : Infection control NIC : Kontrol infeksi intra operasi
dengan prosedur invasif Selama dilakukan tindakan operasi tidak terjadi a) Gunakan pakaian khusus ruang
pembedahan. transmisi agent infeksi, dengan kriteria hasil: operasi
a) Alat dan bahan yang dipakai tidak b) Pertahankan prinsip aseptik dan
terkontaminasi antiseptik
3. Resiko hipotermi berhubungan NOC : Temperature control NIC : Pengaturan temperature
dengan ruangan yang dingin. Setelah dilakukan tindakan keperawatan, a) Atur suhu ruangan yang nyaman
pasien tidak mengalami hipotermi, dengan b) Lindungi area diluar wilayah
kriteria hasil pasien tidak menggigil. operasi.
c) Gunakan cairan infus hangat
d) Irigasi hangat
3. Post operatif
No. Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Rencana Tindakan
1. Nyeri akut berhubungan dengan NOC : Pain control, Pain level NIC : Pain Management
agen injury fisik Setelah dilakukan tindakan keperawatan, nyeri a) Monitor tanda-tanda vital
yang dirasakan klien dapat berkurang dengan b) Lakukan pengkajian nyeri secara
kriteria hasil: komprehensif termasuk lokasi,
a) Klien melaporkan nyeri berkurang (skala 6 karakteristik, durasi, frekuensi,
ke skala 1) kualitas dan faktor presipitasi
b) Klien menyatakan merasa nyaman setelah c) Observasi reaksi nonverbal dari
nyeri berkurang ketidaknyamanan
c) Tanda-tanda vital dalam rentang normal d) Kontrol lingkungan yang dapat
mempengaruhi nyeri seperti suhu
ruangan, pencahayaan dan
kebisingan
e) Ajarkan tentang teknik non
farmakologi: napas dalam,
relaksasi, distraksi, kompres
hangat/ dingin
f) Tingkatkan istirahat
g) Kolaborasi: Berikan analgetik
untuk mengurangi nyeri

2. Resiko infeksi berhubungan NOC : Infection Control NIC : Infection Control


dengan prosedur invasif Setelah dilakukan tindakan keperawatan, a) Kaji suhu badan pasien dan tanda
diharapkan tidak terjadi infeksi pada klien vital
dengan kriteria hasil: b) Pertahankan teknik aseptif,
a) Klien tidak menunjukan adanya tanda- kebersihan tangan atau
tanda infeksi menggunakan alkohol sebelum
b) Tidak ada gangguan gastrointestinal kontak dengan pasien
c) Respirasi dalam batas normal (16-24 c) Batasi pengunjung bila perlu
x/menit) d) Mengkaji warna, turgor,
d) Temperatur dalam batas normal (37,5°C) kelenturan serta suhu kulit,
membran mukosa terhadap
kemerahan dan panas
e) Monitor tanda dan gejala infeksi
sistemik dan lokal. Evaluasi
keadaan pasien terhadap tempat-
tempat munculnya infeksi seperti
tempat penusukan jarum
intravena.
f) Kolaborasi pemberian antibiotik
sesuai ketentuan
BAB III
TINJAUAN KASUS

3.1 Pengkajian
Ruang : Ruang Pre Operasi
Nama : Sdr. M
Umur : 17 tahun
Diagnosa Medis : CF Femur
No. Register : 254xxxx
Alamat : Krajan 1/1, Gunung Malang, Sumberjambe
Tanggal MRS : 1 Mei 2019
Tanggal Pengkajian : 7 Mei 2019

1. Persiapan lingkungan kamar operasi


1) Menata ruangan dengan mengatur penempatan meja operasi, ESU,
mesin suction, meja mayo, back table, meja instrumen.
2) Memastikan mesin suction, mesin ESU, dan lampu operasi
dalam keadaan baik.
3) Mengatur suhu ruangan
4) Memberi perlak pada meja operasi.
2. Persiapan Pasien
1) Perawat kamar operasi memeriksa kesesuaian identitas pasien dengan
menanyakan nama sekaligus mengecek gelang identitas pasien.
2) Perawat kamar operasi memeriksan kelengkapan status pasien,
termasuk di dalamnya persetujuan informed consent.
3) Perawat mengganti baju pasien.
4) Perawat melakukan pengecekan site marking.
5) Perawat tidak lupa menanyakan kapan pasien mulai berpuasa.
6) Pasien dipastikan harus dalam keadaan bersih, yaitu mandi sebelum
dilaksanakannya pembedahan.
7) Perhiasan pasien dilepas semua baik cincin atau jam tangan dan juga
gigi palsu bila ada.
8) Untuk di ruang pembedahan, pasien diposisikan supine setelah
dipindahkan ke meja operasi.
9) Melakukan skin preparation ke dua dengan CHG 4%
10) Jangan lupa untuk memasukkan profilaksis sebelum pembedahan.

3. Timbang Terima
1) Situation
Pasien elektif
2) Background
 Diagnosa Pra Operatif CF Femur
 Rencana operasi ORIF Femur
 RPD : Tidak ada
 Alergi : Tidak ada
 Darah : 2 pack PRC dengan golongan darah O
 Marking : Perlu
 Informed Consent : Ada
 Konsultasi : Anestesi sudah dilakukan
 Foto : Ada
 Pemeriksaan Lab : Ada
 Alat bantu : Tidak ada
 Vital Sign : TD (130/80 mmHg), N (80 x/menit), S
(36,5ºC), RR (18 x/menit)
 Kesadaran : Composmentis
 Keluarga : Menunggu di ruang tunggu.
3) Assesment
Pasien siap di transport
4) Recommendation
Didampingi oleh transporter dan perawat, transport dengan branchard.
4. Sign In
Sign in dilakukan di ruang Pre Operasi oleh perawat dengan mengisi daftar
tilik pembedahan.
5. Transfer
Pasien ditransfer dari ruang pre op ke ruang operasi oleh perawat anestesi
dan dipindahkan dari branchard ke meja operasi.
6. Positioning
Pasien diposisikan supinasi.
7. Anestesi
Pasien diberikan general anestesi oleh dokter anestesi dan perawat anestesi.
8. Aseptik
Perawat membersihkan area operasi dengan menggunakan povidone iodine
10% dan dilanjutkan dengan drapping.
9. Time out
Perawat sirkuler membacakan time out.
10. Instrumentasi Tehnik dan Operating Tehnik Intraoperatif
a. Team operasi : Operator, Asisten, Instrumen, dan Sirkulator
b. Set Ruangan
1) Alat on steril di ruangan
Alat on steril ruangan
 Meja operasi
 Lampu Operasi
 Mesin suction
 Troli Waskom
 Standar Infus
 ESU
 Meja mayo
 Meja instrument
 Back table
 Tempat sampah
 Gunting verban
2) Alat steril
a. Alat di meja mayo
Alat di Meja Mayo Jumlah
1. Desinfeksi Klem 1
2. Towel klem 4
3. Scalpel handle no. 3 2
4. Pincet cirurgis 2
5. Pincet anatomis 1
6. Gunting metzembaum 1
7. Gunting kasar 1
8. Gunting benang 1
9. Klem pean bengkok 2
10. Klem kocher 2
11. Needle holder 2
12. Haak tajam gigi dua 2
13. Langenbeck 2
14. Bengkok 1
15. Cucing 2
16. Kanul suction 1
17. Hak femur (Rek) 2
18. Bone reduction 2
19. Knable tang 2
20. Hoffman 2
21. Raspatorium 1
22. Elevator 1
23. Bone curet 1
b. Set Tambahan
Set Tambahan
1. Bor listrik
a. Baterai
b. chuky key (kunci bor)
c. Drill bit
2. Plate
3. Screw
4. Depth gauge
5. Tapper
6. Screw driver

3) Bahan habis pakai


Bahan Habis Pakai Jumlah
1. Handscon steril ortho 7/7,5 4/4
2. Mess no. 10 2
3. Spuit 10 cc 4
4. Needle no. 25 1
5. Sufratule 5
6. Drain vacum no. 14 1
7. Underpad 2
8. Benang jenis synthetic absorbable no. 2/2-0 2/2
9. Benang jenis non absorbable no. 2-0 2
10. Soft band 6 inch 1
11. Elastic bandage 6 inch 2
12. NaCl 0,9% 2L
13. Kassa steril 60 buah
14. Darm has 2 buah
15. Betadine 150cc
4) Operating dan Instrument Tehnik
(1) Saat pasien berada di ruang premedikasi, lakukan proses sign
in sebelum dilakukan induksi anastesi, meliputi:
a. Konfirmasi identitas, area operasi, tindakan operasi, dan
lembar persetujuan operasi
b. Penandaan area operasi
c. Kesiapan mesin anestesi dan obat-obatannya
d. Kesiapan fungsi pulse oksimeter
e. Riwayat alergi pasien
f. Adanya penyulit airway atau resiko aspirasi
g. Resiko kehilangan darah
(2) Pindahkan pasien ke kamar operasi, dekatkan brankart dengan
meja operasi
(3) Pasang perlak di atas meja operasi
(4) Pindahkan pasien dari brankart ke meja operasi
(5) Pasang plat diatermi pada paha pasien
(6) Atur posisi pasien dalam posisi supinasi untuk di lakukan
general anastesi
(7) Cuci area operasi dengan CHG 4 %
(8) Keringkan dengan duk atau handuk
(9) Perawat instrumen melakukan scrubbing, gowning,dan gloving
(10) Perawat instrumen membantu operator dan asisten melakukan
scrubing, gowning, gloving
(11) Perawat instrument memberikan desinfeksi klem dan cucing
yang di dalamnya sudah diberi povidon iodine 10% dan kassa
untuk antisepsis daerah operasi
(12) Lakukan draping area operasi dan fiksasi dengan towel klem
(13) Pasang opsite pada area yang akan di lakukan insisi
(14) Pasang kabel couter dan conection suction yang disatukan
dengan kasa steril dan difiksasi ke doek menggunakan towel
klem
(15) Lakukan time out sebelum dilakukan insisi
(16) Berikan mess 1 (scalpel handle no.3 dan mess no. 10) untuk
insisi kulit bagian luar.
(17) Berikan double pincet kepada operator dan asisten serta couter,
pean klem serta kassa untuk merawat perdarahan.
(18) Berikan mess 2 (scalpel handle no. 3 dan mess no. 10) untuk
membuka lemak. Selanjutnya fascia dengan memberikan
gunting metzenboum untuk ekspose lapis demi lapis. Berikan
hak femur kepada asisten untuk memperluas lapang pandang
area operasi saat insisi sampai terlihat tulang.
(19) Setelah tulang terlihat, berikan hoffman kepada operator untuk
elevasi tulang agar terlihat lebih jelas. Berikan raspatorium
untuk membersihkan jaringan yang menempel pada tulang.
(20) Berikan bone reduction untuk mengetahui garis fraktur,
Berikan knable untuk kalus lalu berikan kuret tulang untuk
membersihkan fragmen tulang dari kalus / jaringan yang
timbul supaya tidak ada ganjalan saat menyatukan tulang yang
patah. Sedangkan asisten melakukan spooling.
(21) Operator melalukan evaluasi, lalu berikan bone reduction 2
kepada operator untuk melakukan reposisi, operator
memutuskan untuk memasang plate jika posisi sudah benar.
Pasang plate pada tulang femur dan difiksasi dengan bone
reduction.
(22) Berikan kepada operator bor listrik dengan drill bit untuk
melakukan pengeboran pada tulang, lalu berikan depth gauge
untuk mengukur kebutuhan screw yang akan digunakan,
setelah itu berikan tapper, lalu berikan screw driver beserta
screw sesuai ukuran. Langkah tersebut diulangi sampai
kebutuhan pemasangan screw tercapai, lalu cek stabilitas.
(23) Cuci luka dengan NS 0,9%, hisap dengan suction, bersihan
dengan darm has.
(24) Pasang drain no. 14
(25) Jahit luka operasi lapis demi lapis. Siapkan naldvoeder dan
pincet chirurgis, berikan kepada operator. Bagian fasian jahit
dengan benang synthetic absorbable no. 2, fat dijahit dengan
menggunakan benang jenis synthetic absorbable no. 2-0, dan
bagian kulit dijahit dengan menggunakan benang jenis non
absorbable no. 2-0. Berikan pean klem,kassa dan gunting
benang kepada asisten.
(26) Bersihkan luka dengan kassa yang dibasahi NaCl 0,9% dan
keringkan.
(27) Tutup luka dengan sufratul, kassa kering dan terakhir balut
dengan softban 6 inch dan elastic bandage 6 inch.
(28) Operasi selesai
(29) Bereskan alat, rendam di cairan enzimatic, dicuci dengan
menggunakan air biasa, dikeringkan, packing dan kirim ke
transit kotor.
11. Transfer dan timbang terima
Perawat anestesi memindah pasien dari ruang operasi ke ruang post operasi
kemudian melakukan timbang terima.
12. Evaluasi Alderete Score
Setelah perawatan 2 jam di ruang post op pasien di evaluasi menggunakan
alderete Score, Jika score 8 pasien di pindah ke ruang Bangsal dan Jika
score kurang dari 8 pasien di pindah ke ruang ICU.
13. Timbang terima
Perawat RR melakukan timbang terima dari ruang post op ke perawat
ruangan/Unit lain.

3.2 Analisa data


Intra operatif
No. Data Masalah Etiologi
1. DS: - Resiko cedera Anestesi
DO:
 Pasien mendapat general
anestesi
2. DS:- Resiko Suhu ruangan
DO: hipotermi dingin
 Suhu ruangan 22ºC
3.3 Rencana Asuhan Keperawatan
Intra operatif
No. Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Rencana Tindakan
1. Resiko cedera berhubungan NOC : Risk Control Surgical precaution:
dengan anestesi. Setelah dilakukan tindakan keperawatan, d) Tidurkan klien pada meja operasi
resiko cedera dapat terhindari. dengan posisi sesuai kebutuhan.
e) Monitor penggunaan instrumen dan
kasa.
f) Pastikan tidak ada instrumen,
jarum atau kasa yang tertinggal
dalam tubuh klien.
2. Resiko hipotermi berhubungan NOC : Temperature control NIC : Pengaturan temperature
dengan ruangan yang dingin. Setelah dilakukan tindakan keperawatan, a) Atur suhu ruangan yang nyaman
pasien tidak mengalami hipotermi, dengan b) Lindungi area diluar wilayah
kriteria hasil pasien tidak menggigil. operasi dengan menggunakan
selimut.
3.4 Implementasi
Intra operatif
1. Diagnosa pertama
a) Menidurkan klien pada meja operasi dengan posisi sesuai kebutuhan,
yaitu supinasi.
b) Memonitor penggunaan jumlah instrumen dan kasa.
c) Memastikan tidak ada instrumen, jarum atau kasa yang tertinggal dalam
tubuh klien.
2. Diagnosa kedua
a) Mengatur suhu ruangan yang nyaman
b) Melindungi area diluar wilayah operasi dengan menggunakan selimut
BAB IV
PEMBAHASAN

Bedasarkan pengkajian yang dilakukan kepada Sdr. M umur 17 tahun yang


mendapatkan diagnosa CF Femur di ruang Instalasi Bedah Sentral RSD dr Soebandi
Jember, didapatkan pasien memerlukan pemasangan ORIF. Pada hasil timbang
terima dengan perawat ruangan didapatkan data pasien tidak memiliki riwayat
penyakit menular ataupun alergi, terdapat simpanan darah 2 pack jenis PRC dengan
golongan darah O, tanda tanda vital yang didapatkan TD (130/80 mmHg) N (80
x/menit) S (36,5 ºC) RR (18 x/menit), kesadaran composmentis.
Pasien masuk kamar operasi didampingi perawat anastesi dan perawat bedah
dengan didorong menggunakan brankart. Sebelum proses pembedahan berlangsung
pasien diberikan antibiotik Ceftriaxone 2 gram. Sdr. M dipindahkan ke meja operasi
dan diposisikan supine. Perawat sirkuler melakukan skin preparation menggunakan
CHG 4 %. Sedangkan perawat instrumen cuci tangan, lalu menyiapkan set instrumen
dan bahan habis pakai yang diperlukan selama pasien dilakukan anastesi. Perawat
instrumen melakukan tindakan aseptic dengan menggunakan iodine povidone 10% di
daerah femur memutar dari dalam keluar dan dilakukan drapping.
Tindakan pembedahan dipimpin oleh operator dan asisten sekaligus perawat
instrumen. Pasien dilakukan pemasangan ORIF pada daerah femur dextra dan
dilakukan pemasangan drain. Setelah selesai, untuk wound dressing yang dilakukan
yaitu dengan membersihkan bekas aseptik pada bagian femur pasien menggunakan
kasa yang dibasahi larutan NaCl 0,9% dan keringkan. Tutup luka dengan sufratul dan
kasa, lalu dipasang soft band 6 inch + elastic bandage 6 inch. Terakhir dekontaminasi
alat ke dalam cairan enzimatik kemudian bilas menggunakan air bersih. Keringkan
alat dan lakukan packaging lalu mengirimnya ke transit kotor.
Dalam asuhan keperawatan perioperative yang telah dikaji adalah diagnosa
pada intra op yaitu risiko cidera dan resiko hipotermi.
BAB V
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Fraktur femur adalah diskontinuitas atau hilangnya struktur dari tulang femur
(Mansjoer, 2000). Sedangkan menurut Sjamsuhidajat & Jong (2005) fraktur femur
adalah fraktur pada tulang femur yang disebabkan oleh benturan atau trauma
langsung maupun tidak langsung. Fraktur femur juga didefinisikan sebagai hilangnya
kontinuitas tulang paha, kondisi fraktur femur secara klinis bisa berupa fraktur femur
terbuka yang disertai adanya kerusakan jaringan lunak (otot, kulit, jaringan saraf dan
pembuluh darah) dan fraktur femur tertutup yang dapat disebabkan oleh trauma
langsung pada paha.
Selain itu perlu diketahui tentang prinsip penanganan fraktur adalah
mengembalikan posisi patahan tulang ke posisi semula (reposisi) dan
mempertahankan posisi itu selama masa penyembuhan fraktur (Sjamsuhidajat &
Jong, 2010). Penatalaksanaan fraktur dapat dilakukan secara operatif dan non
operatif. Penatalaksanaan non‒operatif antara lain dengan cara proteksi tanpa
reposisi dan imobilisasi, imobilisasi luar tanpa reposisi (seperti
pembidaian), reposisi dengan cara manipulasi yang diikuti dengan imobilisasi, dan
reposisi dengan traksi terus menerus selama masa tertentu pada beberapa minggu,
lalu diikuti dengan imobilisasi (seperti pemasangan gips). Penatalaksanaan operatif
berupa reposisi yang diikuti dengan imobilisasi dengan fiksasi eksterna, reposisi
secara non‒operatif yang diikuti dengan pemasangan fiksator tulang secara operatif
dan reposisi secara operatif diikuti dengan fiksasi interna (Sjamsuhidajat & Jong,
2010).
Penatalaksanaan fraktur dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, salah
satunya dengan fiksasi internal atau dikenal juga Open Reduction Internal Fixation
(ORIF). Metode ORIF telah banyak digunakan. Pada umumnya metode ini
digunakan plate, screw dan kawat atau intramedullary (IM) wire untuk menstabilkan
tulang (Lakatos, 2014). Metode ini memiliki kekurangan berupa risiko tinggi infeksi
(Sjamsuhidajat & Jong, 2010). Selain itu, komplikasi dari ORIF adalah non union,
kegagalan implantasi dan refraktur (Solomon et al., 2010).
4.2 Saran
Jika ada kesalahan dan kekurangan dari penulisan, penulis mengharapkan
masukan yang dapat memperbaiki.
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2008. Buku ajar Keperawatan Medical Bedah. Jakarta : EGC.

Lakatos R. 2014. General principles of internal fixation. Diakses pada tanggal 8 Mei
2019. http://emedicine.medscape.com/article/1269987-overview#aw2aab6b2

Lewis, et all. 2000. (7nd ed). Medical surgical nursing. St Louis: Mosby.

Mansjoer Arif, dkk. 2002. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius.

Nanda. 2002. Nursing Diagnosis : Definition and Classification (2001-2002).


Philadelpia.

Sjamsuhidajat R, Jong WD. 2010. Buku Ajar Bedah Edisi Ke-3. Jakarta: EGC.

Solomon L, Warwick D, Nayagam S. 2010. Apley's System of Orthopaedics and


Fractures 9th ed. Liverpool: The Royal Liverpool University.

Thomson JD, Jonna K. 2014. Open reduction and internal fixation of distal femoral
fractures in adult. Diakses pada tanggal 8 Mei 2019.
http://emedicine.medscape.com/article/2000429-overview

Anda mungkin juga menyukai