Pendahuluan
Trauma adalah keadaan yang disebabkan oleh luka atau cidera. Trauma abdomen adalah
keadaan pada abdomen baik bagian dalam ataupun luar yang disebabkan oleh luka atau
cidera. Trauma tumpul abdomen yaitu trauma abdomen tanpa penetrasi ke dalam rongga
peritoneum, dapat diakibatkan oleh pukulan, benturan, ledakan, deselarasi, kompresi, atau
sabuk pengaman. Trauma tumpul abdomen sering kali ditemui pada unit gawat darurat.
Sebanyak 75% kasus trauma tumpul abdomen adalah sebagai akibat dari kecelakaan lalu
lintas, baik itu kendaraan dengan kendaraan maupun kendaraan dengan pejalan kaki.
Sedangkan trauma abdomen akibat pukulan sebanyak 15% dan jatuh sebanyak 9%.
Selebihnya adalah sebagai akibat dari child abuse dan domestic violence.
Pasien dengan trauma tumpul abdomen memerlukan penatalaksanaan yang cepat dan efisien.
Pada trauma ganda, abdomen merupakan bagian yang tersering mengalami cedera. Seorang
pasien yang terlibat kecelakaan serius harus dianggap cedera abdominal sampai terbukti lain.
Sampai saat ini cedera abdomen yang luput dari diagnosis masih merupakan penyebab
kematian yang dapat dicegah (preventable death) pada penderita dengan dengan trauma
batang tubuh (trunk). Kurangnya data mengenai riwayat kesehatan pasien, kronologis
kejadian, luka atau trauma lain yang dapat mengalihkan perhatian, dan perubahan status
mental sebagai akibat dari cedera kepala atau intoksikasi, membuat trauma tumpul abdomen
sulit untuk didiagnosis dan ditatalaksana. Pasien dengan trauma tumpul abdomen biasanya
datang dengan cedera abdominal dan extraabdominal yang memerlukan perawatan lanjut
yang rumit.
Nasogastric tube dipasang jika tidak ada kontraindikasi untuk dekompresi dan menilai ada
tidaknya darah. Jika pasien mengalami cedera maksilofacial maka digunakan orofaringeal
tube.4
Folley kateter dipasang dan urine diambil untuk pemeriksaan hematuria mikroskopik. Jika
ada kecurigaan cedera urethra atau buli-buli pada fraktur pelvis maka dilakukan uretrogram
retrograde sebelum melakukan pemasangan kateter.4
Pada kasus luka tusuk anamnesis yang teliti harus diarahkan pada waktu terjadinya
trauma, jenis dan ukuran senjata yang digunakan, jumlah tikaman dan bila mungkin
informasi tambahan harus diperoleh dari pasien mengenai hebatnya maupun lokasi
dari nyeri abdominalnya.1
Pada kasus ”gunshot wound”; kaliber dan kecepatan peluru (proyektil) senjata, jumlah
tembakan, jarak antara senjata dengan korban akan menentukan luasnya kerusakan
intraabdomen. Semua informasi ini adalah sangat penting, sama pentingnya dengan
pemeriksaan untuk diagnostik lainnya, dengan kata lain riwayat trauma bisa
memberikan keputusan akhir bagi klinisi untuk menentukan apakah perlu operasi atau
tidak.1,4
Trauma Abdomen Page 7
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada trauma abdomen memberikan sedikit informasi dan cenderung
menyesatkan. Pada 30 % pasien – pasien yang memerlukan tindakan operasi segera
pada pemeriksaan awal tidak khas . Hal ini akan meningkat menjadi 50 % pada pasien
dengan kesadaran menurun seperti trauma kepala atau mengalami intoksikasi (mabuk)
dan terjadi terutama pada trauma tumpul abdomen. Sehubungan dengan hal ini, bila
ditemukan adanya tanda-tanda peritonitis merupakan petunjuk bagi kita untuk
melakukan laparotomi segera tanpa menunggu pemeriksaan diagnostik lainnya. Untuk
itu pemeriksaan abdomen yang teliti, sistematik : (inspeksi , auskultasi, perkusi,
palpasi) harus dilakukan pada trauma abdomen.1,2
Inspeksi
Umumnya pasien harus diperiksa tanpa pakaian. Abdomen bagian depan dan
belakang, dada bagian bawah dan perineum diteliti apakah mengalami ekskoriasi
ataupun memar, adakah laserasi, liang tusukan, benda asing yang menancap,
omentum maupun bagian usus yang keluar, dan status kehamilan. Harus
dilakukan log-roll agar pemeriksaan lengkap.1
Adanya luka lecet di dinding perut, hal ini dapat memberikan petunjuk adanya
kemungkinan kerusakan organ di bawahnya. Adanya perdarahan di bawah kulit,
dapat memberikan petunjuk perkiraan organ-organ apa saja yang dapat
mengalami trauma di bawahnya. Adanya tanda jejas sabuk pengaman di abdomen
(seat belt sign), adanya ekimosis pada pinggang (Grey Turner Sign) merupakan
indikasi perdarahan retroperitoneal atau adanya ekimosis pada umbilicus (Cullen
Sign) yang menunjukkan adanya perdarahan peritoneal, tetapi hal ini biasanya
lambat dalam beberapa jam sampai hari. Adanya ekimosis pada perineum,
skrotum atau labia (Tanda coopernail) menunjukkan adanya fraktur pelvis.
Auskultasi
Pada auskultasi diperiksa apakah ada bising usus atau tidak, adanya darah di
retroperitoneum maupun gastrointestinal dapat mengakibatkan ileus yang
Perkusi
Dapat dinilai adanya udara bebas intraperitoneal jika pekak hepar menghilang.
Bila pada perkusi didapatkan bunyi redup kemungkinan adanya suatu
hemoperitoneum. Adanya “Shifting dullness” menunjukkan adanya cairan bebas
dalam rongga perut, berarti kemungkinan besar terdapat perdarahan dalam rongga
perut.1
Palpasi
Pada palpasi tanda yang bermakna untuk rangsang peritoneal adalah nyeri lokal
atau menyeluruh sampai dengan didapatkan adanya defans muskuler, dimana hal
ini sering sulit diperiksa pada orang-orang yang mengeraskan dinding abdomen
pada saat diperiksa. Pada palpasi juga bisa menilai stabilitas pelvis yaitu dengan
cara penekanan manual pada SIAS atau crista iliaca, jika timbul rasa nyeri
maupun krepitasi ini menandakan adanya fraktur pelvis 1
Pemeriksaan Rectum dan Perineal
Tujuan dari pemeriksaan rectal touche pada pasien trauma abdomen adalah menilai
respon tonus sfingter ani, menilai posisi prostat (adanya prostat melayang
menandakan adanya ruptur uretra) dan untuk menentukan apakah ada tulang pelvis
yang patah. Pada pasien dengan luka tusuk pemeriksaan rectum bertujuan menilai
tonus sfingter dan melihat adanya perdarahan karena perforasi usus1
Pemeriksaan Genitalia
Adanya darah pada meatus uretra merupakan tanda yang bermakna untuk
kemungkinan adanya cedera uretra. Inspeksi pada skrotum dan perineum dilakukan
untuk melihat ada tidaknya ekimosis maupun hematoma dengan dugaan yang sama
seperti diatas. Sedangkan robekan pada vagina bisa disebabkan karena luka tusuk
atau fragmen tulang dari fraktur pelvis.1
c. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah awal dilakukan untuk menentukan tipe darah dan “crossmatch”
pada pasien yang tidak stabil. Pemeriksaan laboratorium lainnya sangat sedikit
memberi arti kecuali bila digunakan sebagai ”baselines” untuk monitor
perkembangan klinis, seperti misalnya hematokrit serial untuk menilai jumlah
kehilangan darah, atau amylase untuk monitor trauma pankreas.5
2. Foto Polos Abdomen
Foto polos abdomen dilakukan pada penderita dengan hemodinamik yang
stabil.Kegunaan foto polos abdomen pada trauma abdomen sangat terbatas, kurang
lebih 800 ml cairan bebas dalam rongga peritoneum dibutuhkan untuk bisa terlihat
pada foto polos abdomen. Meskipun demikian, foto polos thoraks tegak dapat
menunjukkan adanya udara bebas intraperitoneal (sub diafragma) yang menunjukkan
adanya perforasi organ berongga. Demikian juga, adanya gambaran maagslang
(”nasogastric tube”) di rongga thoraks menunjukkan adanya ruptur diafragma.
Pemeriksaan radiologis yang teliti terhadap fraktur kosta, pelvis dan kolumna
vertebralis thorakolumbal akan memberikan perhatian langsung terhadap organ
visceral. 5
1. Kontraindikasi absolut yaitu pada pasien – pasien dengan indikasi yang jelas
untuk tindakan laparotomi.
2. Kontraindikasi relatif secara teknik sulit dilakukan seperti pada kegemukan
(obesitas morbid), pembedahan abdomen sebelumnya, kehamilan lanjut dan
koagulopati
Tehnik DPL :
- Tehnik terbuka
Blood > 10 ml
>20.000 – 100.000/mm3
Equivokal
WBC >500/mm3
Pemeriksaan USG dapat dengan cepat menunjukkan cairan bebas intraperitoneal dan
trauma organ padat, mampu mengevaluasi daerah retroperitoneum meskipun tanpa
4. Kecurigaan trauma retroperitoneal pada keadaan di mana hematuria tidak jelas pada
trauma buli-buli atau uretra.
2. Kontraindikasi relatif meliputi adanya pasien yang tidak kooperatif yang tidak
mudah ditenangkan dengan obat,alergi terhadap kontras media dan trauma pediatri.
6. Laparoskopi
Prosedur ini baik terutama untuk cedera pada diafragma. Keputusan untuk dilakukan
operasi atau pengobatan konservatif nonoperative pada trauma tumpul ( non
penetrans) dan trauma tajam(penetrans) abdomen memerlukan diagnosis yang
tepat,yang tidak selalu mungkin dengan teknik pencitraan, dimana ada bahaya besar
bahwa cedera pada diafragma atau usus mungkin terlewatkan. Untuk menghindari
kelalaian tersebut, laparatomi eksplorasi biasanya segera dilakukan, data
menunjukkan bahwa sampai 41% dari laparotomi eksplorasi ternyata non therapeutic
dan bisa, atau bisa saja, dihindari dengan laparoskopi.6
Trauma Abdomen Page 15
Laparoskopi diagnostik dengan opsi terapeutik hanya dilakukan pada pasien-pasien
yang stabil. Tiga trokar biasanya digunakan dan perut dieksplorasi secara sistematis,
dimulai dengan kuadran kanan atas dan searah jarum jam. Cedera pada Hollow viskus
dan luka pada diafragma dan mesenterium dapat dideteksi dan dijahit dengan
laparoskopi. Cedera organ parenkim bukan fokus utama laparoskopi, tetapi dengan
pendekatan laparoskopi, biasanya pasien yang stabil tidak lagi mengalami pendarahan
dan dapat ditutup dengan perekat jaringan dan tamponade kolagen untuk mencegah
perdarahan ulang. Penggunaan rutin laparoskopi dapat mencapai sensitivitas 90-100%
dalam trauma abdomen. Hal ini dapat mengurangi jumlah laparotomi yang tidak
perlu.6
Algoritma bertujuan untuk membantu klinisi dalam memberi petunjuk dalam membuat
keputusan. Pasien – pasien dengan tanda – tanda yang jelas untuk trauma abdomen dengan
atau tanpa haemoperitoneum masif tidak boleh ditunda dengan pemeriksaan – pemeriksaan
lainnya dan harus dilakukan resusitasi dan laparatomi segera. Sebaliknya pada pasien –
pasien dengan tanda – tanda klinik muncul setelah 12 jam dan menderita trauma resiko
rendah dengan pemeriksaan fisik yang tidak jelas harus diobservasi atau harus diperiksa USG
sebagai ”screening investigation”, untuk mencari cairan bebas dengan atau tanpa tanda –
tanda trauma pada organ. Sedangkan pasien dengan tanda – tanda klinik yang tertunda
dengan trauma resiko tinggi dan atau pemeriksaan fisik yang positif harus dilakukan
pemeriksaan CT Scan dan penanganan selanjutnya tergantung dari hasil CT Scan tersebut.
Pasien – pasien dengan riwayat dan pemeriksaan klinis dengan trauma resiko rendah yaitu
pemeriksaan fisik yang tidak jelas dan mekanisme trauma resiko rendah , dengan
hemodinamik yang stabil harus diperiksa USG sebagai pemeriksaan awal yang sederhana.
Sedangkan pasien dengan trauma resiko rendah dengan gejala klinik yang meragukan atau
gejala klinik yang positif dengan hemodinamik stabil harus diperiksa CT Scan . Sebaliknya
Trauma resiko tinggi dengan hemodinamik tidak stabil merupakan petunjuk bagi ahli bedah
untuk melakukan laparatomi segera. Pada pasien yang stabil, kecepatan dan akurasi
pemeriksaan DPL memberikan pilihan diagnostik yang aman, walaupun klinisi harus
menyingkirkan pemeriksaan yang lebih spesifik. Pemeriksaan DPL yang positif pada pasien
resiko tinggi menganjurkan laparatomi segera, jika hasilnya negatif harus diobservasi lanjut ,
sedangkan jika hasilnya meragukan maka harus dilakukan pemeriksaan CT scan sebagai
pilihan utama.
Adanya eviserasi adalah indikasi untuk dilakukannya operasi pada trauma abdomen
penetrans.Nyeri yang semakin bertambah, adanya peritonitis lokal gejala : Nyeri tekan lokal,
nyeri tekan lepas) nyeri difus atau yang sulit dilokalisir adalah indikasi untuk dilakukan
operasi eksplorasi.
Pada auskultasi adanya bunyi peristaltik pada rongga thoraks mungkin mengindikasikan
adanya cedera diafragma. Palpasi bisa mendeteksi nyeri tekan lokal atau general, spasme
otot. Nyeri tekan lepas meningkatkan kecurigaan dari cedera peritoneum.
Benda yang menusuk bisa mengakibatkan tamponade dan hemoragik yang tidak terkontrol
jika benda menusuk pembuluh darah besar. Oleh karenanya objek penetrans sebaiknya tidak
dipindahkan kecuali penanganan definitif dapat segera dilakukan.
Kekerasan dari rongga peritoneum terjadi lebih kurang 50 – 70 % dari luka tembus tusuk dari
dinding depan abdomen. Kira-kira setengahnya membutuhkan intervensi bedah, dengan kata
lain 25 -50 % pasien-pasien dengan luka tusuk dinding depan abdomen membutuhkan
operasi. 9
Ada tiga pertanyaan utama yang dibutuhkan dalam pendekatan algoritma untuk luka tusuk
dinding depan abdomen yaitu :
1. Tanda vital yang tidak stabil merupakan alasan utama untuk operasi emergency.
Harus diingat bahwa luka tusuk pada dada bagian bawah dapat mencederai organ –
organ intrathoraks seperti jantung dan paru, sehingga hipotensi pada keadaan ini dapat
saja bukan oleh kehilangan darah intraperitoneal.
2. Eviserasi dari organ intraperitoneal membawa resiko 60 % terhadap cedera organ
intraabdomen
3. Tanda –tanda peritonitis , keadaan ini tidak boleh ditunda denga pemeriksaan lain.
Eksplorasi dari luka dinding abdomen (” local wound exploration ”) dengan memakai
anastetik lokal bisa menentukan tembus tidaknya peritoneum. Pemeriksaan yang
negatif ( ”clearly negative” ) pasien bisa dipulangkan setelah perawatan luka.
Pemeriksaan yang positif atau ragu – ragu menentukan untuk intervensi atau
pemeriksaan lanjut.
Local wound exploration positif harus dilakukan laparatomi . seluruh pasien yang
dicurigai atau sudah jelas tembus peritoneum dan tanda – tanda vital stabil dianjurkan
untuk DPL. Saat ini , jika dicurigai trauma hepar dianjurkan untuk pemeriksaan CT
Scan. Laparaskopi juga banyak digunakan untuk menilai cedera organ intraperitoneal.
Operasi damage control adalah salah satu kemajuan besar dalam teknik bedah dalam 20
tahun terakhir. Prinsip - prinsip damage control lambat untuk dapat diterima oleh ahli bedah
di seluruh dunia, karena bertentangan dengan prinsip standar praktek bedah yaitu bahwa
operasi yang terbaik untuk pasien adalah prosedur definitif. Kira – kira 10 % dari trauma
abdomen sangat berat dan usaha untuk memperbaiki secara definitif tidak mungkin dilakukan
pada laparatomi awal. Pada pasien tersebut usaha ditujukan untuk mengontrol perdarahan dan
kebocoran gastrointestinal kemudian diikuti penutupan sementara dan direncanakan untuk
laparatomi ulang ( planned reoperation = planned relaparatomy ) setelah keadaan pasien
stabil. Keputusan untuk memutuskan cara ini ( ” damage control ”) harus dilakukan pada
awal prosedur operasi. Jika sudah terjadi hipotermi ( suhu kurang dari 34o C ) , koagulopati (
Simpulan
Trauma abdomen menempati peringkat ketiga sebagai penyebab kematian akibat trauma
setelah cedera kepala dan cedera pada dada. Trauma abdomen yang tidak diketahui /
terlewatkan dari pengamatan masih tetap menjadi momok penyebab kematian yang
seharusnya bisa dicegah( preventable death). Kunci sukses untuk penanganan trauma
abdomen adalah adanya kecurigaan yang besar untuk trauma abdomen ( high index of
suspicion) yaitu pemeriksa harus menganggap bahwa ada kerusakan organ intra
abdomen.Beberapa kemajuan dalam modalitas diagnostik membantu dalam penegakan
diagnosa pada trauma abdomen.
Penanganan berdasarkan algoritma sangat membantu klinisi dalam mengambil keputusan saat
mengahdapi penderita dengan trauma abdomen. Ultrasonography sekarang secara rutin
digunakan dalam penilaian awal pada penderita trauma tumpul abdomen dengan
hemodinamik stabil maupun tidak stabil. Sedangkan peningkatan resolusi CT scan dengan
multislice dan heliks CT scanner memungkinkan untuk mengidentifikasi yang lebih baik
adanya cedera pada organ dengan peningkatan kemampuan dalam hal derajat keparahan yang
terjadi pada organ. Hal ini pada akhirnya akan meningkatkan kemungkinan pendekatan
nonoperative lebih banyak untuk pasien – pasien tertentu dengan trauma tajam atau trauma
tumpul abdomen.
Perkembangan laparoskopi sebagai alat skrining yang lebih invasive menunjukkan kemajuan
yang menjanjikan dalam diagnostik sekaligus terapeutik pada penderita dengan trauma
abdomen, dan dapat menurunkan morbiditas pada kasus trauma abdomen serta lebih efektif
dalam hal biaya dan penggunaan sumber daya rumah sakit.Penanganan trauma abdomen yang
tepat dan sesuai dengan algoritma akan banyak membantu dalam menurunkan angka
mortalitas dan morbiditas pada trauma abdomen.