Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN FRAKTUR FEMUR

DI PAVILIUN FLAMBOYAN UPTD. RSUD UNDATA PALU

DISUSUN OLEH:
HERIANTI
2020302030

CI LAHAN CI INSTITUSI

Ns. Masri Z. DG. Taha, S.Kep.,M.Kep Ns,Saka Adhijaya Pendit. S,Kep, M.Kep

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIDYA NUSANTARA PALU


PROGRAM PROFESI NERS
TAHUN 2021
LAPORAN PENDAHULUAN
FRAKTUR FEMUR
1. Konsep Teori
A. PENGERTIAN
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, retak atau patahnya tulang yang
utuh, yang biasanya disebabkan oleh trauma/rudapaksa atau tenaga fisik yang
ditentukan jenis dan luasnya trauma (Lukman & Ningsih, 2012). Menurut Smeltzer
(2018), fraktur adalah gangguan komplet atau tak-komplet pada kontinuitas struktur
tulang dan didefinisikan sesuai jenis keluasannya (Smeltzer, 2018).
Fraktur femur adalah diskontinuitas dari femoral shaft yang bisa terjadi akibat
trauma secara langsung (kecelakaan lalu lintas atau jatuh dari ketinggian), dan
biasanya lebih banyak dialami laki-laki dewasa (Desiartama, 2017).
B. ANATOMI FISIOLOGI
Femur atau tulang paha merupakan tulang yang memanjang dari panggul ke lutut
dan merupakan tulang terpanjang dan terbesar di dalam tubuh, panjang femur dapat
mencapai seperempat panjang tubuh. Femur dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu
ujung proksimal, batang, dan ujung distal. Ujung proksimal bersendi dengan
asetabulum tulang panggul dan ujung distal bersendi dengan patella dan tibia. Ujung
proksimal terdiri dari caput femoris, fores capitis femoris, collum femoris, trochanter
mayor, fossa trochanterica, trochanter minor, trochanter tertius, linea
intertrochanter, dan crista intertrochanterica.
Batang atau corpus femur merupakan tulang panjang yang mengecil di bagian
tengahnya dan berbentuk silinder halus dan bundar di depannya. Linea aspera
terdapat pada bagian posterior corpus dan memiliki dua komponen yaitu labium
lateral dan labium medial. Labium lateral menerus pada rigi yang kasar dan lebar
disebut tuberositas glutea yang meluas ke bagian belakang trochanter mayor pada
bagian proksimal corpus, sedangkan labium medial menerus pada linea spirale yang
seterusnya ke linea intertrochanterica yang menghubungkan antara trochanter mayor
dan trochanter minor.
Pada ujung distal terdapat bangunan-bangunan seperti condylus medialis,
condylus lateralis, epicondylus medialis, epicondylus lateralis, facies patellaris, fossa
intercondylaris, linea intercondylaris, tuberculum adductorium, fossa dan sulcus
popliteus, linea intercondylaris, tuberculum adductorium, fossa dan sulcus popliteus.
Condylus memiliki permukaan sendi untuk tibia dan patella.
Caput femur merupakan masa bulat berbentuk 2/3 bola, mengarah ke medial,
kranial, dan ke depan. Caput femur memiliki permukaan yang licin dan ditutupi oleh
tulang rawan kecuali pada fovea, terdapat pula cekungan kecil yang merupakan
tempat melekatnya ligamentum yang menghubungkan caput dengan asetabulum os
coxae. Persendian yang dibentuk dengan acetabulum disebut articulation coxae.
Caput femurs tertanam di dalam acetabulum bertujuan paling utama untuk fungsi
stabilitas dan kemudian mobilitas. Collum femur terdapat di distal caput femur dan
merupakan penghubung antara caput dan corpus femoris. Collum ini membentuk
sudut dengan corpus femur ± 125º pada laki-laki dewasa, pada anak sudut lebih besar
dan pada wanita sudut lebih kecil.

Gambar Anatomi femur

Paha dibagi menjadi tiga kompartemen yaitu fleksor, ekstensor, dan adduktor.
Kompartemen-kmpartemen yang menempati paha dibedakan berdasarkan lokasinya
yaitu di bagian anterior, medial, dan posterior. Kompartemen yang menempati
anterior pada diantaranya adalah:
a. Otot yang terdiri dari otot-otot fleksor panggul dan ekstensor lutut, yaitu m.
Sartorius, m. iliakus, m. psoas, m. pektineus, dan m. quadriceps femoris. b. Arteri
femoralis dan cabang-cabangnya.
c. Vena femoralis yang merupakan lanjutan dari v. poplitea dan v. saphena
magnasebagai aliran darah utama yang mengalir melalui hiatus safenus.
d. Limfatik dari kelenjar getah bening inguinalis profunda yang terletak sepanjang
bagian terminal v. femoralis.
e. Saraf yaitu n. femoralis
Kompartemen yang menempati medial paha diantaranya adalah:
1) Otot yang terdiri dari otot adduktor panggul yaitu m. grasilis, m. adductor longus, m.
adductor brevis, m. adductor magnus, dan m obturatorius eksternus.
2) Arteri yaitu a. profunda femoris, a. femoralis sirkumfleksa medialis dan rami
perforantes serta a. obturatoria.
3) Vena yaitu v. profunda femoris dan v. obturatoria.
4) Saraf yaitu divisi anterior dan posterior n. obturatorius
Kompartemen yang menempati posterior paha diantaranya adalah
(1)Otot yang merupakan otot hamstring dan berfungsi dalam fleksi lutut serta ekstensi
panggul. Diantaranya adalah: m. biseps femoris, m. semitendinosus, m.
semimembranosus, dan bagian hamstring dari m. adductor magnus.
(2)Arteri yaitu rami perforantes a. profunda femoris. c. Vena yaitu vv. Komitans arteri-
arteri kecil.d. Saraf yaitu n. ischiadikus.

C. ETIOLOGI
Fraktur disebabkan oleh pukulan langsung, gaya remuk, gerakan punter mendadak,
dan bahkan kontraksi otot ekstrem. Umumnya fraktur disebabkan oleh trauma dimana
terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang. Pada orang tua, perempuan lebih sering
mengalami fraktur daripada laki-laki yang berhubungan dengan meningkatnya insiden
osteoporosis yang terkait dengan perubahan hormon pada menopause (Lukman & Ningsih,
2012).
Penyebab fraktur menurut Jitowiyono dan Kristiyanasari (2010)
(dalam Andini, 2018) dapat dibedakan menjadi:
1. Cedera traumatik
Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh :
a. Cedera langsung adalah pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang patah
secara spontan
b. Cedera tidak langsung adalah pukulan langsung berada jauh dari lokasi benturan
c. Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak
2. Fraktur patologik
Kerusakan tulang akibat proses penyakit dengan trauma minor mengakibatkan :
a. Tumor tulang adalah pertumbuhan jaringan baru yang tidak terkendali
b. Infeksi seperti osteomielitis dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut
c. Rakitis
d. Secara spontan disebabkan oleh stres tulang yang terus menerus
Penyebab terbanyak fraktur adalah kecelakaan, baik itu kecelakaan kerja,
kecelakaan lalu lintas dan sebagainya. Tetapi fraktur juga bisa terjadi akibat faktor lain
seperti proses degeneratif dan patologi (Noorisa dkk, 2017).

D. PATOFISIOLOGI
Pada kondisi trauma, diperlukan gaya yang besar untuk mematahkan batang femur
individu dewasa. Kebanyakan fraktur ini terjadi karena trauma langsung dan tidak
langsung pada pria muda yang mengalami kecelakaan kendaraan bermotor atau jatuh dari
ketinggian. Kondisi degenerasi tulang (osteoporosis) atau keganasan tulang paha yang
menyebabkan fraktur patologis tanpa riwayat trauma, memadai untuk mematahkan tulang
femur (Muttaqin, 2012).
Kerusakan neurovaskular menimbulkan manifestasi peningkatan risiko syok, baik
syok hipovolemik karena kehilangan darah banyak ke dalam jaringan maupun syok
neurogenik karena nyeri yang sangat hebat yang dialami klien. Respon terhadap
pembengkakan yang hebat adalah sindrom kompartemen. Sindrom kompartemen adalah
suatu keadaan terjebaknya otot, pembuluh darah, jaringan saraf akibat pembengkakan lokal
yang melebihi kemampuan suatu kompartemen/ruang lokal dengan manifestasi gejala yang
khas, meliputi keluhan nyeri hebat pada area pembengkakan, penurunan perfusi perifer
secara unilateral pada sisi distal pembengkakan, CRT (capillary refill time) lebih dari 3
detik pada sisi distal pembengkakan, penurunan denyut nadi pada sisi distal pembengkakan
(Muttaqin, 2012).
Kerusakan fragmen tulang femur menyebabkan gangguan mobilitas fisik dan
diikuti dengan spasme otot paha yang menimbulkan deformitas khas pada paha, yaitu
pemendekan tungkai bawah. Apabila kondisi ini berlanjut tanpa dilakukan intervensi yang
optimal akan menimbulkan risiko terjadinya malunion pada tulang femur (Muttaqin, 2012).

F. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis fraktur menurut Smeltzer (2018) meliputi :
1. Nyeri akut terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi,
hematoma, dan edema
2. Kehilangan fungsi
3. Deformitas karena adanya pergeseran fragmen tulang yang patah
4. Pemendekan ekstremitas. Terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi
otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur
5. Krepitasi akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya
6. Edema local

G. KOMPLIKASI
Komplikasi Awal :
1. Syok
Syok hipovolemik atau traumatik, akibat perdarahan (baik kehilangan darah
eksterna maupun interna) dan kehilangan cairan ekstra sel ke jaringan yang rusak
(Smeltzer, 2015).
2. Sindrom emboli lemak
Pada saat terjadi fraktur, globula lemak dapat masuk kedalam darah karena
tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau karena katekolamin yang
dilepaskan oleh reaksi stress pasien akan memobilisasi asam lemak dan memudahkan
terjadinya globula lemak dalam aliran darah. Globula lemak akan bergabung dengan
trombosit membentuk emboli, yang kemudian menyumbat pembuluh darah kecil yang
memasok otak, paru, ginjal, dan organ lain. Awitan gejalanya yang sangat cepat dapat
terjadi dari beberapa jam sampai satu minggu setelah cedera, namun paling sering
terjadi dalam 24 sampai 72 jam (Smeltzer, 2015).
3. Sindrom kompartemen
Sindrom kompartemen merupakan masalah yang terjadi saat perfusi jaringan
dalam otot kurang dari yang dibutuhkan untuk jaringan, bisa disebabkan karena
penurunan kompartemen otot (karena fasia yang membungkus otot terlalu ketat atau
gips atau balutan yang menjerat) atau peningkatan isi kompartemen otot (karena edema
atau perdarahan) (Smeltzer, 2015).

Komplikasi Lambat :
1. Penyatuan terlambat atau tidak ada penyatuan
Penyatuan terlambat terjadi bila penyembuhan tidak terjadi dengan kecepatan
normal. Penyatuan terlambat mungkin berhubungan dengan infeksi sistemik dan distraksi
(tarikan jauh) fragmen tulang.
2. Nekrosis avaskuler tulang
Nekrosis avaskuler terjadi bila tulang kehilangan asupan darah dan mati. Tulang
yang mati mengalami kolaps atau diabsorpsi dan diganti dengan tulang baru
(Smeltzer, 2015).
3. Reaksi terhadap alat fiksasi interna
Alat fiksasi interna biasanya diambil setelah penyatuan tulang telah terjadi,
namun pada kebanyakan pasien alat tersebut tidak diangkat sampai menimbulkan
gejala. Masalah yang dapat terjadi meliputi kegagalan mekanis (pemasangan dan
stabilisasi yang tidak memadai), kegagalan material (alat yang cacat atau rusak),
berkaratnya alat, respon alergi terhadap campuran logam yang dipergunakan
(Smeltzer, 2015).

H. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. X-ray : untuk menentukan lokasi atau luasnya fraktur, mengetahui tempat dan tipe
fraktur, biasanya diambil sebelum dan sesudah dilakukan operasi dan selama proses
penyembuhan secara periodik.
Hal yang harus dibaca pada X-ray :
a. Bayangan jaringan lunak
b. Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik atau juga
rotasi
c. Trobukulasi ada tidaknya rare fraction
d. Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi
2. Scan tulang : mempelihatkan fraktur lebih jelas, mengidentifikasi kerusakan jaringan
lunak
3. Arteriogram : dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan vaskuler
4. Hitung darah lengkap : hemokonsentrasi mungkin meningkat, menurun pada
perdarahan, peningkatan leukosit sebagai respon terhadap peradangan.
5. Kreatinin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal
6. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi atau cedera
hati (Nurarif & Kusuma, 2015).
I. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan terapi latihan menurut Kuncara (2011) dalam Pramaswary
(2016) meliputi :
a. Active exercise
Pasien diinstruksikan untuk menggerakkan sendi melalui gerakan penuh atau
parsial yang ada sesuai keinginannya sendiri. Tujuan latihan kisaran gerak aktif adalah
menghindari kehilangan ruang gerak yang ada pada sendi. Latihan ini diindikasikan
pada fase awal penyembuhan tulang, saat tidak ada atau sedikitnya stabilitas pada
tempat fraktur. Umpan balik sensorik langsung pada pasien dapat membantu mencegah
gerakan yang dapat menimbulkan nyeri atau mempengaruhi stabilitas tempat fraktur.
b. Active assisted (gerak aktif dengan bantuan)
Pada latihan ini, pasien dilatih menggunakan kontraksi ototnya sendiri untuk
menggerakkan sendi, sedangkan professional yang melatih, memberikan bantuan atau
tambahan tenaga. Latihan ini paling sering digunakan pada keadaan kelemahan atau
inhibisi gerak akibat nyeri atau rasa takut, atau untuk meningkatkan kisaran gerak yang
ada. Pada latihan ini dibutuhkan stabilitas pada tempat fraktur, misalnya bila sudah ada
penyembuhan tulang atau sudah dipasang fiksasi fraktur.
c. Resisted exercise
Latihan penguatan meningkatkan kemampuan dari otot. Latihan ini
meningkatkan koordinasi unit motor yang menginvasi suatu otot serta keseimbangan
antara kelompok otot yang bekerja pada suatu sendi. Latihan penguatan bertujuan untuk
meningkatkan tegangan potensial yang dapat dihasilkan oleh elemen kontraksi dan
statis suatu unit otot-tendon.
d. Hold relax
Hold rilex adalah suatu latihan yang menggunakan otot secara isometrik
kelompok antagonis dan diikuti relaksasi otot tersebut. Dengan kontraksi isometrik
kemudian otot menjadi rileks sehingga gerakan kearah agonis lebih mudah dilakukan
dan dapat mengulur secara optimal. Tujuan dari latihan hold rilex ini adalah untuk
mengurangi nyeri dan meningkatkan lingkup gerak sendi (LGS). Indikasi dilakukannya
latihan hold rilex ini adalah pasien yang mengalami penurunan lingkup gerak sendi dan
merasakan nyeri, serta kontra indikasinya adalah pasien yang tidak dapat melakukan
kontraksi isometrik.
Yang harus diperhatikan pada waktu mengenal fraktur adalah :
a.    Recognisi/pengenalan.
Di mana riwayat kecelakaannya atau riwayat terjadi fraktur harus jelas.
b.   Reduksi/manipulasi.
Usaha untuk manipulasi fragmen yang patah sedapat mungkin dapat kembali seperti
letak asalnya.
c.    Retensi/memperhatikan reduksi
Merupakan suatu upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen
d.   Traksi
Suatu proses yang menggunakan kekuatan tarikan pada bagian tubuh dengan
memakai katrol dan tahanan beban untuk menyokong tulang.
e.    Gips
Suatu teknik untuk mengimobilisasi bagian tubuh tertentu dalam bentuk tertentu
dengan mempergunakan alat tertentu.
f.     Operation/pembedahan
Saat ini metode yang paling menguntungkan, mungkin dengan pembedahan.
Metode ini disebut fiksasi interna dan reduksi terbuka. Dengan tindakan operasi
tersebut, maka fraktur akan direposisi kedudukan normal, sesudah itu direduksi
dengan menggunakan orthopedi yang sesuai

J. PENCEGAHAN
1. Pasien dan keluarganya perlu dijelaskan mengenai cara mencegah jatuh pada pasien
lanjut usia.
2. Risiko jatuh meningkat dengan bertambahnya usia, sekitar 3-4 dari 10 orang di atas
usai 65 tahun jatuh setiap tahunnya. Tujuh puluh lima persen pasien dengan fraktur
panggul tidak akan kembali ke kondisi mereka sebelum kejadian. Demikian, bila pasien
sudah pernah jatuh sebelumnya, kemungkinan jatuh lagi di kemudian hari sangat tinggi.
Beberapa hal yang meningkatkan risiko jatuh adalah:
a. Kondisi sedang sakit
b. Perubahan medikasi yang dikonsumsi
c. Lingkungan yang baru atau tidak aman (contohnya ruangan dengan karpet atau
perabot yang meningkatkan risiko tersandung)
Cara mengurangi risiko jatuh:
a. Singkirkan barang-barang yang meningkatkan risiko jatuh, seperti perabot pendek,
karpet, kabel listrik. Tingkatkan penerangan di dalam rumah agar semua benda
terlihat. Hindari menyimpan barang di tempat tinggi
b. Gunakan sepatu yang kuat dan pas saat dipakai. Hindari berjalan tanpa sepatu, kaos
kaki, atau alas kaki yang licin
c. Tetap aktif dan lakukan olahraga ringan yang dapat meningkatkan kekuatan dan
keseimbangan seperti berenang atau berjalan kaki.
d. Gunakan tongkat atau walker bila disarankan oleh dokter, dan pastikan alat yang
digunakan berukuran sesuai dan pasien mengerti cara memakainya.
Bila pasien jatuh, sebaiknya periksa ke dokter meskipun tak ada keluhan. Akan
dilakukan pemeriksaan untuk mencari penyebab jatuh, menilai risiko jatuh kemudian
diberikan saran cara-cara untuk menghindari jatuh lagi.
2. Konsep Asuhan Keperwatan
Identitas pasien

Nama
Umur
Jenis Kelamin
Suku/Bangsa
Agama
Pekerjaan
Pendidikan
Gol.Darah
Alamat
Tanggungan
No.RM
Tgl Masuk Rs
Diagnosa

PRAOPERATIF
1. Ringkasan hasil anamnese preoperatif
Pengkajian pasien mulai dirawat di RSUD. Pada saat di ruang Instalasi Bedah
Sentral, penyebab pasien operasi, Lokasi yang akan dioperasi, pemeriksaan tanda-tanda
vital, GCS, kaji nyeri.
2. Hasil pemeriksaan fisik a.
Pemeriksaan fisik
a) Kepala & leher :
Kepala simetris, kulit kepala tampak bersih, tidak berketombe, tidak ada lesi, tidak
ada edema, tidak ada nyeri tekan, mata simetris kanan dan kanan, konjungtiva
ananemis, sklera anikterik, pupil isokor, telinga simertis, hidung simetris, bibir
simetris dan lembab, tidak ada stomatitis, tidak ada pembesaran kelenjar tyroid dan
tidak ada pembesaran vena jugularis, letak trakea lurus, nada karotis teraba.
b) Thorax (jantung & paru) :
Bentuk dada simetris, tidak terdapat retraksi dinding dada, tidak terdapat pelebaran
sela iga, tidak ada benjolan, tidk ada lesi, frekuensi nafas teratur, tidak tampak ictus
cordis, tidak terdapat nyeri tekan, ekspensii dada simetris antara kanan dan kiri,
suara pada lapang paru sonor dan suara pada area jantung redup, tidak ada pelebaran
jantung, suara nafas pada area lapang paru vesikuler, tidak ada suara nafas
tambahan, irama nafas teratur, terdengar bunyi janting 1 dan 2.
c) Abdomen :
Bentuk abdomen datar, tidak terdapat benjolan, tidak terdapat sterch mark, bising
usus 12-35 x/m, tidak terdapat pembesaran hepar, Tidak ada lesi, tidak ada edema,
tidak ada nyeri tekan, suara perkusi timpani, bising usus 8x/menit, tidak terdapat
pembesaran hepar, terdengar suara timpani di kuadran 1,2,3 dan 4
d) Ekstremitas (atas dan bawah):
Ekstermitas atas
Tampak vulnus excoriasi pada bagian tangan kiri dengan P: cm dan L: cm, tampak
kemerahan pada luka, pasien juga mengatakan merasa nyeri pada bagian luka,
tampak terpasang infus pada bagian tangan kanan, kedua akral teraba hangat,
Capillary Refill Time <2 detik.
Ekstermitas bawah
Terdapat fraktur femur pada paha kiri, terdapat nyeri tekan di bagian paha kiri, paha
kiri tampak bengkak, terdapat vulnus excoriasi pada bagian patela sebelah kiri
dengan P: 4cm dan L: 3cm. Pada bagian kaki sebelah kanan terdapat vulnus exoriasi
pada jari2 kaki. Akral teraba dingin, Capillary Refill Time <2 detik.
e) Kekuatan Otot
Tidak ada kelemahan otot pada bagian ekstemitas atas kanan dan kiri, tidak ada
kelemahan otot pada bagia ekstermitas bawah sebelah kanan dan terdapat kelamahan
otot pada bagian ekstermtas bawah sebelah kiri.
f) Genetalia & rectum
g) Pemeriksaan penunjang: Hasil laboratorium
INTRAOPERATIF
1. Pengkajian intraoperatif
Pada saat dilakukan operasi, hari tanggal dan jam posisi pasien di meja operasi,
pasien jenis anastesi dan efeknya lokasi dilakukan operasi , alamanya operasi
berjalan, dan ukur tanda-tanda vital, Tindakan operasi yang dilakukan.
2. Pemberian obat anestesi
3. Tahap-tahap/ kronologis pembedahan
4. Tindakan bantuan yang diberikan selama pembedahan
5. Komplikasi dini setelah pembedahan (saat pasien masih berada diruang operasi)
POST OPERASI
1. Pengkajian post operasi
Sejak pasien pindah ke: RR catat pukul berapa, Keluhan saat di RR/PACU: pasien
masih dalam pengaruh general anastesi, posisi pasien supinase. Pasien tampak
menggigil kedinginan, akral dingin, pasien tampak pucat.
a.Air Way : Terdapat secret pada jalan nafas, pasien terpasang OPA, suara nafas
gurgling
b.Breathing : Terlihat pengembangan dada, teraba hembusan nafas, RR
c.Sirkulasi : TD : N:, CRT S:,saturasi O2:
2. Observasi recovery room
3. Tanda-tanda Vital
4. Kesadaran :
5. Balance cairan
6. Pengobatan
7. Catatan penting lain
a. Pasien puasa sampai bising usus positif
b. Mobilisasi ditempat
c. Diit bubur biasa
8. Survey Sekunder, lakukan secara head to toe secara prioritas
1. Pre Operasi
a) Diagnosa Keperawatan
Ansietas
b) Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Tujuan Intervensi
Keperawatan
1. Pre operasi Setelah dilakukan asuhan 1. Monitor tanda-tanda
ansietas b.d krisis keperawatan diharapkan ansietas
situasional Ansietas berkurang 2. Monitor TTV
dengan KH : 3. Ciptakan suasana
1. Pasien tampak teraupetik untuk
rileks menumbuhkan
2. Pasien mengatakan kepercayaan
tidak cemas lagi 4. Temani pasien untuk
3. TTV dalam batas mengurangi kecemasan
normal 5. Anjurkan pasien
mengungkapkan apa
ang dirasakan
6. Gunakan pendekatan
yang tenang dan
meyakinkan
7. Ajarkan teknik
relaksasi nafas dalam
8. Jelaskan prosedur
termasuk sensasi yang
mungkin dialami
c) Implementasi

No Implementasi Evaluasi
1. Pre Operasi S:
1. Memonitor tanda-tanda ansietas Pasien mengatakan cemas
2. Mengukur TTV: TD, N,Suhu, RR berkurang dan sudah lebih rileks
3. Menciptakan suasana teraupetik O:
untuk menumbuhkan kepercayaan 1. TTV
4. Menemani pasien untuk TD :
mengurangi kecemasan N:
5. Menganjurkan pasien Suhu :
mengungkapkan apa yang 2. RR : 20 x/menit Pasien
dirasakan tampak lebih rileks
6. Menggunakan pendekatan yang 3. Pasien mengungkapkan apa
tenang dan meyakinkan yang diraskan
7. Mengajarkan teknik relaksasi nafas 4. Pasien sudah melakukan
dalam relaksasi nafas dalam
8. Menjelaskan prosedur termasuk 5. Pasien sudah mengerti
sensasi yang mungkin dialami tentang prosedur dan
sensasi yang mungkin
dialami

A : Masalah ansietas sebagian


teratasi
1. Pasien mengungkapkan apa
yang dirasakan
2. N, RR:
3. Pasien sudah melakukan
rileksasi nafas dalam
4. Pasien sudah mengerti
tentang prosedur dan
sensasi yang mungkin
dialami

P:
1. Monitor TTV
2. Anjurkan pasien
melakukanteknik distraksi
dan relaksasi
3. Anjurkan pasien untuk
berdoa

2. Intra Operasi
a) Diagnosa Keperawatan
Resiko cedera
b) Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Tujuan Intervensi
Keperawatan
1. Intra operasi Setelah dilakukan asuhan 1. Berikan petunjuk
resiko cedera b.d keperawatan diharapkan sederhana pada pasien
pengaturan posisi cidera tidak terjadi dengan tentang posisi operasi
bedah KH: 2. Letakkan elektroda
1. Tidak ada tanda- penetral
tanda cedera 3. Stabilkan meja operasi
4. Lakukan fiksasi pada
tubuh pasien dengan
meja operasi

c) Implementasi
No Implementasi Evaluasi

1. Memberikan petunjuk sederhana


1. pada pasien tentang posisi operasi O:
1
2. Meletakkan elektroda penetral . Pasien posisi lateral
2 Pasien elektrod
3. Menstabilkan meja operasi . terpasang a
penetr
4. Melakukan fiksasi pada tubuh al
pasien dengan meja operasi 3 Tubu pasie difiksasi
. h n
dengan meja operasi
A: Resiko cedera tidak
terjadi
P: Stabilkan tempat tidur
saat
memindahkan pasien

3. Post Operasi
a) Diagnosa Keperawatan
1) Bersihan jalan nafas tidak efektif
2) Resiko Hipotermi
b) Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Tujuan Intervensi
Keperawatan

1. Post Operasi Setelah dilakukan 1. Kaji keefektifan jalan


Bersihan jalan tindakan keperawatan nafas, gerakan dada,
nafas tidak
efektif diharapkan bersihan jalan frekuensi nafas
b.d efek agen nafas efektif dengan 2. Beri posisi nyaman
farmakologis criteria hasil : untuk meningkatkan
1
(anastesi) . Secret berkurang ventilasi
2
. RR dalam batas 3. Lakukan penghisapan
normal (22 x/m) lender
4. Kolaborasi dalam
pemberian oksigen
4l/menit

2. Resiko hipotermi Setelah dilakukan asuhan 1. Monitor TTV


b.d terpajan keperawatan diharapkan 2. Beri Selimut
suhu
lingkungan hipotermi tidak terjadi Penghangat
rendah dengan KH : 3. Monitor suhu ruangan
1
. Akral Hangat 4. Atur suhu ruangan
2
. Suhu tubuh
kembali normal
0 0
36,5 C – 37,5 C

c) Implementasi
No Implementasi Evaluasi

1. Post Operasi S: -
Mengkaji keefektifan jalan
1. nafas,
gerakan dada, frekuensi nafas O:
1
2. Memberi posisi nyaman untuk . RR:
2 Gerak dad
meningkatkan ventilasi . an a simetris
3. Melakukan penghisapan lendir kanan dan kiri
Berkolaborasi dalam 3 Secret
4. pemberian . berkurang
4 Pasien posisi
oksigen . ekstensi
5 Pasie terpasan
. n g O2

6 OPA tidak
. terpasang
A Bersihan jalan tida
: nafas k
efek
tif

P: Lakukan suction bila terdapat


sekr
et

:
4. Post Operasi S -
1. Memonitor TTV
2. Memberi selimut penghangat O:
1
3. Memonitor suhu ruangan . Pasien masih menggigil
2
4. Mengatur suhu ruangan . Akral dingin
3
. TTV
TD:
N:
S:
RR:
4
. Pasien terpasang selimut
5. Suhu ruangan sudah diatur
A : Masalah hipotermi tidak tejadi
P:
1. Memberikan TTV
2. Beri selimut penghangat
3. Monitor suhu ruangan
4. Pertahankan suhu ruangan
Tetap hangat
DAFTAR PUSTAKA

Black, J. M., & Hawks, J. H. (2014). Keperawatan Medika Bedah: Manajemen


Klinis Untuk Hasil yang Diharapkan. Ed. 8. Jakarta: PT Salemba Emban
Patria
Inayati, A. (2017). Hubungan Tingkat Kecemasan Dengan Peningkatan Tekanan
Darah Pada Pasien Praoperasi Elektif Diruang Bedah. Jurnal Wacana
Kesehatan , Vol 2.
Noor, Zairin. (2016). Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba
Medika.
PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: DefinisidanIndikator

Diagnostik. Edisi 1.Jakarta : DPP PPNI

PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: DefinisidanTindakan

Diagnostik. Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI

PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: DefinisidankriteriaHasil


KeperawatanrEdisi 1.Jakarta : DPP PPNI
Nurarif, Amin. Huda., & Kusuma, Hardhi. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasrkan Diagnosa Medis dan Nanda Nic-Noc Edisi Revisi Jilid 2.
Yogyakarta: Mediaction.
Oktasari, Vivi. (2016). Pengaruh Pendidikan Kesehatan Terhadap Pelaksanaan
Rentang Gerak Sendi Aktif Post Operasi Pada Pasien Fraktur Ekstermitas
di Ruang Bedah Trauma Center RSUP DR. M. Djamil Padang. Jurnal
Fakultas Keperawatan Universitas Andalas. https://scholar.google.co.id

Verdiansyah, R. (2018). Komunikasi Teraupetik Terhadap Tingkat Kecemasan


Pasien Sebelum Dilakukan Anestesi Regional. 106-111

Anda mungkin juga menyukai