Caput femur membentuk sekitar 2/3 dari permukaan spheris. Kecuali pada tempat dimana ada
perlekatan ligamentum capitis femoris (fovea capitis femoris), seluruh caput femur ditutupi oleh
kartilago artikularis. Kartilago artikularis ini paling tebal ada pada anterosuperior, sedang pada
caput femur paling tebal ada antero-lateral. Caput femur menghadap antero-superomedial,
pada permukaan postero-inferiornya terdapat fovea. Permukaan anterior caput femur dibatasi
anteromedial terhadap arteri femoralis oleh tendo dari otot psoas mayor, bursa psoas dan kapsula
artikularis (Moore, 2006).
Collum femur paling sempit ada pada bagian tengahnya dan bagian paling lebar adalah pada
bagian lateral. Collum menghubungkan caput terhadap corpus femur dengan sudut inklinasi
kurang 12° lebih 125°. Hal ini memfasilitasi pergerakan pada sendi coxae dimana tungkai dapat
mengayun secara bebas terhadap pelvis (Solomon et al., 2010). Sudut collum femur terus-
menerus berkurang dari 150° setelah lahir hingga mencapai 125° pada usia dewasa dikarenakan
adanya perubahan bentuk tulang sebagai respon dari perubahan pola tekanan (Byrne, 2010).
1.1 ANATOMI MAKRO
Collum femur berada pada posisi rotasi lateral terhadap corpus femur. Sudut yang terjadi disebut
sebagai sudut anteversi, besar sudut ini adalah 10°-15°, walaupun disebutkan sangat bervariasi
antar individu dan populasi. Perlekatan collum terhadap corpus pada aspek anterior ditandai oleh
linea intertrochanterica sedangkan pada aspek posterior oleh crista 15 intertrichanterica. Terdapat
banyak foramina vascular pada collum femur terutama pada aspek anterior dan postero-superior
(Standring, 2005).
Intertrochanter femur terletak di antara trochanter mayor dan trochanter minor pada permukaan
anterior dan basis collum femur. Intertrochanter ini merupakan tempat menempelnya ligamen
iliofemoral, dimana itu merupakan ligamen terbesar dalam kerangka tubuh manusia. Ligamen ini
berfungsi untuk menguatkan sendi kapsul pada panggul (Timothy, 2008).
1.1 ANATOMI MAKRO
Ada dua jenis tulang, yaitu tulang kompakta (padat) dan tulang spongiosa (cancellous
bone). Tulang kompakta dibentuk oleh matriks tulang yang tersusun berlapis-lapis disebut
lamel. Lamel tersusun mengelilingi saluran Havers. Saluran Havers beserta lamel havers
masing-masing disebut sistem Havers atau osteon. Diantara sistem Havers satu dan
lainnya terdapat lamel yang iregular dan tidak disertai oleh saluran Havers, disebut lamel
interstitial. Saluran Havers satu sama lain dihubungkan oleh saluran horizontal disebut
saluran Vokman yang terisi pembuluh darah dan berhubungan dengan rongga sumsum
tulang.
1.2 ANATOMI
MIKRO
Osteosit terdapat didalam lakuna,
tersusun mengikuti sistem lamel. Osteosit
memiliki cabang sitoplasma yang
panjang dan halus, di dalam sediaan
tampak sebagai kanalikuli. Kanalikuli
berjalan tegak lurus terhadap lakuna dan
saling berhubungan dengan kanalikuli
osteosit di sebelahnya.
1.2 ANATOMI MIKRO
Tulang spongiosa tersusun oleh balok-balok tulang yang bercabang-cabang dan
saling berhubungan membentuk anyaman tulang. Di antara anyaman tulang ini
terdapat ruang yang terisi sumsum tulang.
sumber : Syamsir, M. 2014. Muskuloskeletal Gerak Tubuh Manusia. Jakarta: Bagian Anatomi Fakultas
Kedokteran Universitas Yarsi
1.4 VASKULARISASI
Terdapat dua kelompok pembuluh vena, yaitu vena superficialis dan vena profunda (berjalan
mengikuti arteri yang bersangkutan).
Vena superficialis terdiri atas vena saphena magna dan vena saphena parva.
a. Vena saphena magna
Merupakan lanjutan dari vena marginalis, tampak di sebelah ventral malleolus medialis, berjalan
ascendens di sebelah medial, tiba di sebelah dorsal condylus medialis tibiae et femoris, selanjutnya
berada di sebelah medial, masuk ke dalam fossa ovalis dan bermuara ke dalam vena femoralis.
sumber : Bagian Anatomi FK UNHAS. 2015. Buku Ajar Diktat Anatomi Biomedik I. Makassar: Fakultas
Kedokteran UNHAS
2. MEMAHAMI DAN MENJELASKAN
FRAKTUR
2.1 DEFINISI
1.Faktor Usia
2.Jenis Kelamin
Wanita jauh lebih mungkin mengalami fraktur, karena tulang-tulang
wanita (usia 25-30) umumnya lebih kecil dan kurang padat dari tulang-
tulang pria.
3.Merokok dan Mengonsumsi alkohol
4.Menggunakan steroid (kortikosteroid) dalam dosis tinggi
5.Arthritis Rheumatoid dan gangguan kronis lainnya, seperti
penyakit celiac, chorn, dan kolitis ulserativa.
2.3 KLASIFIKASI
Menurut Black dan Matasarin (1997), fraktur dibagi berdasarkan dengan kontak dunia luar,
yaitu meliputi fraktur tertutup dan terbuka.
1.Fraktur tertutup
Merupakan fraktur tanpa adanya komplikasi, kulit masih utuh, tulang tidak keluar melalui kulit.
2.Fraktur terbuka
Merupakan fraktur yang merusak jaringan kulit, karena adanya hubungan dengan lingkungan
luar, maka fraktur terbuka sangat berpotensi menjadi infeksi. Fraktur terbuka dibagi lagi
menjadi tiga grade, yaitu Grade I, II, dan III.
a. Grade I adalah robekan kulit dengan kerusakan kulit dan otot.
b. Grade II seperti grade 1 dengan memar kulit dan otot.
c. Grade III luka sebesar 6-8 cm dengan kerusakan pembuluh darah, syaraf, kulit dan otot.
3. Fraktur komplikasi
Merupakan fraktur yang disertai dengan adanya suatu komplikasi seperti malunion, delayed
union, nounion, dan infeksi tulang (Bucholz dkk., 2006).
2.3 KLASIFIKASI
Klasifikasi fraktur berdasarkan bentuk dan kaitannya dengan mekanisme trauma:
1.Fraktur transversal
Fraktur dengan bentuk garis patah tegak lurus terhadap sumbu panjang tulang, apabila
segmen yang patah dari tulang direposisi atau direduksi ke tempat semula, maka segmen
akan kembali stabil dan akan mudah dikontrol dengan bidai gips. Fraktur ini terjadi akibat
terjadinya trauma angulasi (langsung).
2.Fraktur oblik
Fraktur dengan garis patah membentuk sudut terhadap tulang. Fraktur ini juga merupakan
akibat dari trauma angulasi.
3.Fraktur spiral
Fraktur dengan arah garis patah yang membentuk spiral ini dapat terjadi karena torsi pada
ekstermitas. Kondisi seperti ini dapat menimbulkan terjadinya kerusakan jaringan lunak dan
dapat cenderung cepat sembuh dengan tindakan imobilisasi luar.
2.3 KLASIFIKASI
4. Fraktur kompresi
Fraktur yang terjadi jika dua tulang menumpuk pada tulang ketiga yang ada di antaranya,
misalkan satu vertebra menumpuk dengan vertebra lain. Fraktur ini dapat terjadi karena
aksial fleksi yang mendorong tulang ke arah permukaan lain.
5. Fraktur avulsi
Fraktur yang memisahkan fragmen tulang pada tempat insisi tendon dan ligament,
contohnya fraktur patella. Fraktur ini terjadi karena adanya trauma tarikan atau traksi otot
pada insersinya pada tulang.
2.3 KLASIFIKASI
2.4 PATOFISIOLOGI
Menurut Black dan Matassarin (1993) serta Patrick dan Woods (1989). Ketika patah
tulang, akan terjadi kerusakan di korteks, pembuluh darah, sumsum tulang dan
jaringan lunak. Akibat dari hal tersebut adalah terjadi perdarahan, kerusakan tulang
dan jaringan sekitarnya. Keadaan ini menimbulkan hematom pada kanal medulla
antara tepi tulang dibawah periostium dengan jaringan tulang yang mengatasi
fraktur. Terjadinya respon inflamasi akibat sirkulasi jaringan nekrotik ditandai dengan
vasodilatasi dari plasma dan leukosit. Ketika terjadi kerusakan tulang, tubuh mulai
melakukan proses penyembuhan untuk memperbaiki cidera, tahap ini menunjukkan
tahap awal penyembuhan tulang. Hematom yang terbentuk bisa menyebabkan
peningkatan tekanan dalam sumsum tulang yang kemudian merangsang
pembebasan lemak dan gumpalan lemak tersebut masuk kedalam pembuluh
darah yang mensuplai organ-organ yang lain. Hematom menyebabkn dilatasi
kapiler di otot, sehingga meningkatkan tekanan kapiler, kemudian menstimulasi
histamin pada otot yang iskemik dan menyebabkan protein plasma hilang dan
masuk ke interstitial. Hal ini menyebabkan terjadinya edema. Edema yang terbentuk
akan menekan ujung saraf yang bila berlangsung lama bisa menyebabkan
syndroma comportement.
2.4 PATOFISIOLOGI
2.5 MANIFESTASI KLINIS
3. Pada fraktur tulang panjang, terjadi pemendekan tulang (1-2 inchi) yang sebenarnya
karena kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur.
4. Saat ekstermitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang dinamakan
krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya.
5. Pembengkakakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat
trauma dan pendarahan yang mengikuti fraktur.
2.6.1 Anamnesis
2.6 DIAGNOSIS
Anamnesis harus dilakukan dengan cermat, karena fraktur tidak selamanya terjadi di daerah trauma
dan mungkin fraktur terjadi pada daerah lain. Penderita biasanya datang karena adanya nyeri,
pembengkakan, gangguan fungsi anggota gerak, krepitasi atau datang dengan gejala-gejala lain.
b. Palpasi (feel)
Palpasi dilakukan secara hati-hati oleh karena penderita biasanya mengeluh sangat nyeri. Krepitasi
dapat diketahui dengan perabaan dan harus dilakukan secara hati-hati. Pemeriksaan vaskuler pada
daerah distal trauma berupa palpasi arteri radialis, arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior sesuai
dengan anggota gerak yang terkena.
c. Move
menghimbau penderita untuk menggerakkan secara aktif dan pasif sendi proksimal dan distal dari
daerah yang mengalami trauma.
2.6 DIAGNOSIS
2.6.3 Pemeriksaan Penunjang
a. Foto rontgen (X-ray) untuk menentukan lokasi dan luasnya fraktur.
b. Scan tulang, tomogram, atau CT/MRI scan untuk memperlihatkan fraktur secara
lebih jelas dan mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
2.Retensi
Bertujuan untuk mencegah pergeseran fragmen dan mencegah pergerakan yang dapat
mengancam penyatuan. Pemasangan plat atau traksi dimaksudkan untuk
mempertahankan reduksi ekstermitas yang mengalami fraktur.
3. Rehabilitasi
Mengembalikan aktivitas fungsional seoptimal mungkin.
2.8 PENCEGAHAN
1.Pencegahan primer
-> Dapat dilakukan dengan upaya menghindari terjadinya trauma benturan, terjatuh atau
kecelakaan lainnya.
2.Pencegahan sekunder
-> Dapat dilakukan dengan upaya menghindari terjadinya trauma benturan, terjatuh atau
kecelakaan lainnya. Demi menghindari lebih parahnya fraktur yang terjadi, maka penderita harus
diangkat dengan posisi yang benar. Pengobatan yang dilakukan dapat berupa traksi, pembidaian
dengan gips atau dengan fiksasi internal maupun eksternal.
3.Pencegahan Tersier
-> Bertujuan untuk mengurangi terjadinya komplikasi yang lebih berat dan memberikan tindakan
pemulihan yang tepat untuk menghindari atau mengurangi kecacatan. Pengobatan yang dilakukan
disesuaikan dengan jenis dan beratnya fraktur dengan tindakan operatif dan rehabilitasi.
Rehabilitasi medis diupayakan untuk mengembalikan fungsi tubuh untuk dapat kembali melakukan
mobilisasi seperti biasanya. Upaya rehabilitasi antara lain, seperti meminimalkan bengkak,
memantau status neurovaskuler, mengontrol ansietas dan nyeri, latihan dan pengaturan otot,
partisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari, dan melakukan aktivitas ringan secara bertahap.
2.9 KOMPLIKASI
1.Sindrom Emboli Lemak
Hal ini terjadi ketika gelembung – gelembung lemak terlepas dari sumsum tulang dan mengelilingi
jaringan yang rusak. Gelombang lemak ini akan melewati sirkulasi dan dapat menyebabkan oklusi
pada pembuluh – pembuluh darah pulmonary yang menyebabkan sukar bernafas.
4.Osteomyelitis
Infeksi dari jaringan tulang yang mencakup sumsum dan korteks tulang dapat berupa exogenous
(infeksi masuk dari luar tubuh) atau hematogenous (infeksi yang berasal dari dalam tubuh).
3. MEMAHAMI DAN MENJELASKAN
ISTITHA’AH
3.1 DEFINISI
Menurut KBBI, istitha’ah artinya kemampuan; mampu untuk sesuatu.
Menurut istilah, Istitha’ah adalah kemampuan yang wajib atasnya untuk melakukan sesuatu,
dan Imam Ibnu Taimiyyah membatasinya dengan tidak adanya bahaya bagi seorang
mukallaf.
Rukhsah secara bahasa adalah mempermudah dan meringankan dalam satu urusan.
Kalimat ‘rakhkhasha fil amri’ berarti memudahkan urusan tersebut. Secara istilah rukhsah
merupakan hukum yang tetap berdasarkan dalil yang berbeda dengan dalil syar’i karena
pertimbangan uzur mukallaf,” (Syekh Ali Jum’ah Muhammad, Al-Hukmus Syar’i indal
Ushuliyyin, [Kairo, Darus Salam: 2013 M/1434 H], halaman 78)
3.2 HUKUM
Shalat adalah kewajiban setiap individu muslim mukallaf yang harus ditunaikan
dalam keadaan apapun. Untuk itu, dalam hubungannya dengan kondisi dan
kehidupan, misalnya sakit, seorang muslim tetap melaksanakan solat dengan cara :
Jika orang yang sakit mampu berdiri dengan memakai tongkat atau bersandar di
dinding, maka dia harus berdiri. Jika tidak mampu berdiri, boleh shalat dengan
duduk, baring, dan seterusnya. Akan tetapi harus diingat bahwa semua rukun
shalat tetap dilaksanakan seperti berdiri, ruku’, sujud, dan seterusnya.
3.3 TATACARA
Dalam shalat duduk, seseorang rukuk dengan membungkukkan sedikit
badan dan sujud dengan membungkukkan badan lebih rendah
daripada rukuk
Noorisa, Riswanda; Apriliwati, Dwi; Aziz, Abdul; Bayusentono, Sulis. 2017. THE CHARACTERISTIC OF PATIENTS
WITH FEMORAL FRACTURE IN DEPARTMENT OF ORTHOPAEDIC AND TRAUMATOLOGY RSUD DR. SOETOMO
SURABAYA 2013 – 2016