Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN FRAKTUR FEMUR DI


POLI ORTHOPEDI RUMAH SAKIT DAERAH
dr. SOEBANDI JEMBER

oleh:
Wafda Niswatun Nadhir, S.Kep.
NIM 182311101116

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan pada Pasien dengan Fraktur Femur di Poli Orthopedi RSD
dr. Soebandi Jember telah disetujui dan disahkan pada

Hari, Tanggal :

Tempat : Poli Orthopedi RSD dr. Soebandi Jember

Jember, Mei 2019

Pembimbing Akademik Stase Pembimbing Klinik


Keperawatan Bedah Poli Orthopedi
FKep Universitas Jember RSD dr. Soebandi Jember

Ns. Mulia Hakam, M.Kep., Sp. Kep.MB Ns. M. Shodiqin, M.Kep., Sp.Kep.MB., CWCS
NIP 19810319 201 404 1 001 NIP 19681212 199103 1 010

\
1. Konsep Teori Penyakit

1.1 Review Anatomi Fisiologi


Tulang femur merupakan tulang pipa terpanjang dan terbesar didalam tulang
kerangka pada bagian pangkal yang berhubungan dengan asetabulum membentuk
kepala sendi yang disebut kaput femoris. Disebelah atas dan bawah dari kolumna
femoris terdapat laju yang disebut trokanter mayor dan trokanter minor. Dibagian
ujung membentuk persendian lutut, terdapat 2 buah tonjolan yang disebut
kondilus lateralis, diantara kedua kondilus ini terdapat lekukan tempat letaknya
tulang tempurung lutut (patella) yang disebut fosa kondilus.

Gambar 1. Anatomi tulang femur


Otot pada tulang femur antara lain:
a. Otot Anterior
1) Rektus femur: bagian tengah di depan paha anterior; merentang dari pelvis
bagian bawah melewati persendian pangul dan femur. Berfungsi untuk ekstensi
tungkai di lutut dan fleksi paha di panggul.
2) Vastus lateralis: otot terbesar dari keempat vastus lainnya, terletak di sisi lateral
paha; merentang dari sisi proksimal paha ke superior tibia. Berfungsi untuk
ekstensi tungkai pada lutut.
3) Vastus medialis: otot tebal yang terletak pada permukaan medial paha;
membentuk tonjolan yang besar di sisi inferior medial paha. Berfungsi untuk
ekstensi tungkai pada lutut.
4) Vastus intermedius: terletak pada bagian anterior tulang femur di antara vastus
lateralis dan vastus medialis, lebih dalam dari rektus femur. Berfungsi untuk
ekstensi tungkai pada lutut.
5) Sartorius: otot superfisial yang panjang berbentuk pita yang berasal dari bahian
atas sisi lateral pelvis, melewati paha secara melintang. Berfungsi untuk fleksi
tungkai pada paha; fleksi paha pada pelvis.
6) Grasilis: otot superfisial tipis yang panjang pada paha bagian dalam; terletak di
antara sisi medial bawah pelvis dan sisi medial atas (tibia). Berfungsi untuk
fleksi dan rotasi tungkai kearah medial; aduksi paha.
b. Otot Posterior
1) Biseps femur: otot berkepala dua yang melapisi sisi posterior dan lateral paha
terletak di antara pelvis interior dan tiia superior. Berfungsi untuk fleksi dan
rotasi secara lateral tungkai pada lutut.
2) Semitendinosus: terletak di bagian belakang di antara pelvis bagian bawah dan
tungkai bagian atas (tibia). Berfungsi untuk fleksi dan rotasi secara medial
tungkai pada lutut; ekstensi paha pada panggul.
3) Semimembranosus: otot dengan tendon membranosus yang origo nya terletak
elbih dalam dari semitedinosus. Berfungsi untuk fleksi dan rotasi secara medial
tungkai pada lutut; ekstensi paha pada panggul.
Gambar 2. Otot pada tulang Femur

Sistem persyarafan yang berada pada tulang femur (Moffat & Faiz, 2002),
antara lain:
a. Syaraf anterior femur, yaitu nervus femoralis adalah saraf yang mensuplai
otot fleksor paha dan kulit pada paha anterior, regia panggul, dan tungkai
bawah atau nervus yang menginnervasi muskulus anterior.
b. Syaraf medial femur, yaitu nervus obturatorius adalah saraf perifer utama
dari ekstremitas bawah yang berfungsi menginnervasi muskulus adduktor
c. Syaraf posterior femur, yaitu nervus iskiadikus adalah saraf yang terbesar
dalam tubuh manusia yang mempersarafi regio cruralis dan pedis serta
otot-otot bagian di bagian dorsal regio femoris, seluruh otot pada crus dan
pedis, serta seluruh persendian pada ekstremitas inferior.

Sistem perdarahan pada tulang femur, antara lain:


a. Arteri digluteal dan posterior daerah paha
1) Arteri glutealis
2) Arteri glutealis inferior
3) Arteri pudenda interna
b. Arteri anterior dan medial paha
1) Arteri femoralis
2) Arteri profunda femoris
3) Arteri femoralis sirkumfleksa lateral
4) Arteri femoralis medial sirkumfleksa
5) Arteri obturtor
c. Vena pada tulag femur
1) Vena saphena besar
2) Ven femoralis (Brunner & Suddarth, 2001)

1.2 Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, yang biasanya disertai
dengan luka sekitar jaringan lunak, kerusakan otot, ruptur tendon, kerusakan
pembuluh darah, dan luka organ-organ tubuh dan ditentukan sesuai jenis dan
luasnya, terjadinya fraktur jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang
besar dari yang dapat diabsorbsinya (Smeltzer, 2001).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan
luasnya (Brunner & Suddarth, 2001). Fraktur merupakan salah satu gangguan atau
masalah yang terjadi pada sistem muskuloskeletal yang menyebabkan perubahan
bentuk dari tulang maupun otot yang melekat pada tulang. Fraktur dapat terjadi di
berbagai tempat dimana terdapat persambungan tulang maupun tulang itu sendiri.
Salah satu contoh dari fraktur adalah yang terjadi pada tulang femur.
Dari beberapa penjelasan tentang fraktur femur di atas, dapat disimpulkan
bahwa fraktur femur merupakan suatu keadaan dimana terjadinya kehilangan
kontinuitas tulang femur yang dapat disebabkan oleh trauma langsung maupun
trauma tidak langsung disertai dengan adanya kerusakan jaringan lunak.

1.3 Klasifikasi
Klasifikasi fraktur secara umum:

a. Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan).


1) Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih
(karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi. Pada fraktur tertutup
ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak
sekitar trauma, yaitu:
a) Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa ceddera
jaringan lunak sekitarnya.
b) Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan
jaringan subkutan.
c) Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan
lunak bagian dalam dan pembengkakan.
d) Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang
nyata dan ancaman sindroma kompartement.
2) Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara
hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya
perlukaan kulit.

b. Berdasarkan komplit atau ketidak klomplitan fraktur.


1) Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang
atau melalui kedua korteks tulang seperti terlihat pada foto.
2) Fraktru Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh
penampang tulang seperti:
3) Hair Line Fraktur (patah retidak rambut)
4) Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks
dengan kompresi tulang spongiosa di bawahnya.

5) Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi


korteks lainnya yang terjadi pada tulang panjang
c. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme
trauma.
1) Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang
dan merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
2) Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut
terhadap sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasijuga.
3) Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral
yang disebabkan trauma rotasi.
4) Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi
yang mendorong tulang ke arah permukaan lain.
5) Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau
traksi otot pada insersinya pada tulang

d. Berdasarkan jumlah garis patah.


1) Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan
saling berhubungan

2) Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi
tidak berhubungan.
3) Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi
tidak pada tulang yang sama.
e. Berdasarkan pergeseran fragmen tulang.
1) Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi
kedua fragmen tidak bergeser dan periosteum masih utuh.
2) Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang
yang juga disebut lokasi fragmen, terbagi atas:
3) Dislokasi ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah
sumbu dan overlapping).
4) Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).
5) Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauh).
f. Berdasarkan posisi frakur
Sebatang tulang terbagi menjadi tiga bagian :
1) 1/3 proksimal
2) 1/3 medial
3) 1/3 distal
g. Fraktur Kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.
h. Fraktur Patologis: fraktur yang diakibatkan karena proses patologis
Klasifikasi fraktur femur (Muttaqin, 2008) terbagi menjadi:
a. Fraktur leher femur
Fraktur leher femur merupakan jenis fraktur yang sering ditemukan pada
orang tua terutama wanita usia 60 tahun ke atas disertai tulang yang
osteoporosis. Fraktur leher femur pada anak anak jarang ditemukan fraktur ini
lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada anak perempuan dengan
perbandingan 3:2. Insiden tersering pada usia 11-12 tahun.
b. Fraktur subtrokanter
Fraktur subtrokanter dapat terjadi pada semua usia, biasanya disebabkan
trauma yang hebat. Pemeriksaan dapat menunjukkan fraktur yang terjadi
dibawah trokanter minor.
c. Fraktur intertrokanter femur
Pada beberapa keadaan, trauma yang mengenai daerah tulang femur. Fraktur
daerah troklear adalah semua fraktur yang terjadi antara trokanter mayor dan
minor. Frkatur ini bersifat ekstraartikular dan sering terjadi pada klien yang
jatuh dan mengalami trauma yang bersifat memuntir. Keretakan tulang terjadi
antara trokanter mayor dan minor tempat fragmen proksimal cenderung
bergeser secara varus. Fraktur dapat bersifat kominutif terutama pada korteks
bagian posteomedial.
d. Fraktur diafisis femur
Fraktur diafisis femur dapat terjadi pada daerah femur pada setiap usia dan
biasanya karena trauma hebat, misalnya kecelakaan lalu lintas atau jatuh dari
ketinggian.
e. Fraktur suprakondilar femur
Daerah suprakondilar adalah daerah antar batas proksimal kondilus femur dan
batas metafisis dengan diafisis femur. Trauma yang mengenai femur terjadi
karena adanya tekanan varus dan vagus yang disertai kekatan aksial dan
putaran sehingga dapat menyebabkan fraktur pada daerah ini. Pergeseran
terjadi karena tarikan otot.

1.4 Etiologi
a. Fraktur akibat peristiwa trauma
Sebagian fraktur disebabkanoleh kekuatan yang tiba-tiba berlebihan yang
dapat berupa pemukulan, penghancuran, perubahan tempat. Bila tekanan
kekuatan langsungan, tulang dapat pada tempat yang terkena dan jaringan
lunak juga pasti akan ikut rusak serta kerusakan pada kulit.
b. Akibat kelelahan atau tekanan
Retak dapat terjadi pada tulang seperti halnya pada logam dan benda lain
akibat tekanan berulang. Hal ini sering terjadi pada atlet, penari atau calon
tentara yang berbaris atau berjalan dalam jarak jauh.
c. Fraktur patologik karena kelemahan pada tulang
Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal bila tulang tersebut lunak
(misalnya oleh tumor) atau tulang-tulang sangat rapuh.

1.5 Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala fraktur femur (Brunner & Suddarth, 2001) terdiri atas:
a. Nyeri
Nyeri yang terjadi terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen
tulang dimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk
bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen
tulang. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan
cenderung bergerak secara tidak alamiah. Pergeseran fragmen pada fraktur
lengan atau tungkai menyebabkan deformitas ekstremitas, yang bisa diketahui
dengan membandingkan dengan ekstremitas yang normal. Ektremitas tak
dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada
integritas tulang tempat melekatnya otot.

b. Pemendekan tulang
Terjadi pada fraktur panjang karena kontraksi otot yang melekat di atas dan
dibawah tempat fraktur. Leg length discrepancy (LLD) atau perbedaan
panjang tungkai bawah adalah masalah ortopedi yang biasanya muncul di

masa kecil, di mana dua kaki seseorang memiliki panjang yang tidak sama.
Penyebab dari masalah Leg length discrepancy (LLD), yaitu osteomielitis,
tumor, fraktur, hemihipertrofi, di mana satu atau lebih malformasi vaskular
atau tumor (seperti hemangioma) yang menyebabkan aliran darah di satu sisi
melebihi yang lain. Pengukuran Leg length discrepancy (LLD) terbagi
menjadi, yaitu true leg length discrepancy dan apparent leg length
discrepancy.True leg length discrepancy adalah cara megukur perbedaan
panjang tungkai bawah dengan mengukur dari spina iliaka anterior superior
ke maleolus medial dan apparent leg length discrepancy adalah cara megukur
perbedaan panjang tungkai bawah dengan mengukur dari xiphisternum atau
umbilikus ke maleolus medial.
c. Krepitus tulang (derik tulang)
Krepitasi tulang terjadi akibat gerakan fragmen satu dengan yang lainnya.
d. Pembengkakan dan perubahan warna tulang
Pembengkakan dan perubahan warna tulang terjadi akibat trauma dan
perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini terjadi setelah beberapa jam
atau hari.
1.6 Patofisiologi
Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Tertutup bila tidak
terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Sedangkan fraktur
terbuka bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar oleh
karena perlukaan di kulit. Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di
sekitar tempat patah ke dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan
lunak juga biasanya mengalami kerusakan. Reaksi perdarahan biasanya timbul
hebat setelah fraktur. Sel- sel darah putih dan sel anast berakumulasi
menyebabkan peningkatan aliran darah ketempat tersebut aktivitas osteoblast
terangsang dan terbentuk tulang baru umatur yang disebut callus. Bekuan fibrin
direabsorbsi dan sel- sel tulang baru mengalami remodeling untuk membentuk
tulang sejati. Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut syaraf yang
berkaitan dengan pembengkakan yang tidak di tangani dapat menurunkan asupan
darah ke ekstrimitas dan mengakibatkan kerusakan syaraf perifer. Bila tidak
terkontrol pembengkakan akan mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan,
oklusi darah total dan berakibat anoreksia mengakibatkan rusaknya serabut syaraf
maupun jaringan otot. Komplikasi ini di namakan sindrom compartment. (Brunner
& Suddarth, 2002).

1.7 Komplikasi
Komplikasi setelah fraktur adalah syok yang berakibat fatal dalam beberapa jam
setelah cedera, emboli lemak, yang dapat terjadi dalam 48 jam atau lebih, dan
sindrom kompartemen, yang berakibat kehilangan fungsi ekstremitas permanen
jika tidak ditangani segera. Adapun beberapa komplikasi dari fraktur femur yaitu:
a. Syok
Syok hipovolemik atau traumatik akibat pendarahan (baik kehilangan darah
eksterna maupun interna) dan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang
rusak dapat terjadi pada fraktur ekstremitas, toraks, pelvis, dan vertebra
karena tulang merupakan organ yang sangat vaskuler, maka dapat terjadi
kehilangan darah dalam jumlah yang besar sebagai akibat trauma, khususnya
pada fraktur femur pelvis.
b. Emboli lemak
Setelah terjadi fraktur panjang atau pelvis, fraktur multiple atau cidera remuk
dapat terjadi emboli lemak, khususnya pada pria dewasa muda 20-30 tahun.
Pada saat terjadi fraktur globula lemak dapat termasuk ke dalam darah karna
tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau karna
katekolamin yang di lepaskan oleh reaksi stres pasien akan memobilitasi
asam lemak dan memudahkan terjadiya globula lemak dalam aliran darah.
Globula lemak akan bergabung dengan trombosit membentuk emboli, yang
kemudian menyumbat pembuluh darah kecil yang memasok otak, paru, ginjal
dan organ lain. Awitan dan gejalanya yang sangat cepat dapat terjadi dari
beberapa jam sampai satu minggu setelah cidera, gambaran khasnya berupa
hipoksia, takipnea, takikardi dan pireksia.
c. Sindrom Kompertemen
Sindrom kompartemen adalah suatu kondisi dimana terjadi peningkatan
tekanan interstisial di dalam ruangan yang terbatas, yaitu di dalam
kompartemen osteofasial yang tertutup. Peningkatan tekanan intra
kompartemen akan mengakibatkan berkurangnya perfusi jaringan dan
tekanan oksigen jaringan, sehingga terjadi gangguan sirkulasi dan fungsi
jaringan di dalam ruangan tersebut. Ruangan tersebut terisi oleh otot, saraf
dan pembuluh darah yang dibungkus oleh tulang dan fascia serta otot-otot
individual yang dibungkus oleh epimisium. Sindrom kompartemen ditandai
dengan nyeri yang hebat, parestesi, paresis, pucat, disertai denyut nadi yang
hilang. Secara anatomi sebagian besar kompartemen terletak di anggota gerak
dan paling sering disebabkan oleh trauma, terutama mengenai daerah tungkai
bawah dan tungkai atas.
d. Nekrosis avaskular tulang
Cedera, baik fraktur maupun dislokasi, seringkali mengakibatkan iskemia
tulang yang berujung pada nekrosis avaskular. Nekrosis avaskuler ini sering
dijumpai pada kaput femoris, bagian proksimal dari os. Scapphoid, os.
Lunatum, dan os. Talus (Suratum, 2008).
e. Atropi Otot
Atrofi adalah pengecilan dari jaringan tubuh yang telah mencapai ukuran
normal. Mengecilnya otot tersebut terjadi karena sel-sel spesifik yaitu sel-sel
parenkim yang menjalankan fungsi otot tersebut mengecil. Pada pasien
fraktur, atrofi terjadi akibat otot yang tidak digerakkan (disuse) sehingga
metabolisme sel otot, aliran darah tidak adekuat ke jaringan otot (Suratum,
dkk, 2008).
1.8 Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan rontgen : menetukan lokasi, luasnya fraktur, trauma, dan jenis


fraktur.
b. Scan tulang, temogram, CT scan/MRI :memperlihatkan tingkat keparahan
fraktur, juga dan mengidentifikasi kerusakan jaringan linak.
c. Arteriogram : dilakukan bila dicurigai adanya kerusakan vaskuler.
d. Hitung darah lengkap : Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau
menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada
multipel trauma) peningkatan jumlah SDP adalah proses stres normal
setelah trauma.
e. Kretinin : trauma otot meningkatkan beban tratinin untuk klien ginjal.
f. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilingan darah, tranfusi
mulpel atau cedera hati
1.9 Penatalaksanaan
Tindakan penanganan fraktur dibedakan berdasarkan bentuk dan lokasi serta usia.
Berikut adalah tindakan pertolongan awal pada penderita fraktur:
a. Kenali ciri awal patah tulang memperhatikan riwayat trauma yang terjadi
karena benturan, terjatuh atau tertimpa benda keras yang menjadi alasan kuat
pasien mengalami fraktur.
b. Jika ditemukan luka yang terbuka, bersihkan dengan antiseptik dan bersihkan
perdarahan dengan cara dibebat atau diperban.
c. Lakukan reposisi (pengembalian tulang ke posisi semula) tetapi hal ini tidak
boleh dilakukan secara paksa dan sebaiknya dilakukan oleh para ahli dengan
cara operasi oleh ahli bedah untuk mengembalikan tulang pada posisi semula.
d. Pertahankan daerah patah tulang dengan menggunakan bidai atau papan dari
kedua posisi tulang yang patah untuk menyangga agar posisi tetap stabil.
e. Berikan analgetik untuk mengaurangi rasa nyeri pada sekitar perlukaan.
f. Beri perawatan pada perlukaan fraktur baik pre operasi maupun post operasi.
Prinsip penanganan fraktur adalah mengembalikan posisi patahan tulang ke posisi
semula (reposisi) dan mempertahankan posisi itu selama masa penyembuhan
patah tulang (imobilisasi). (Sjamsuhidajat & Jong, 2005)
Penatalaksanaan yang dilakukan adalah :
a. Fraktur Terbuka
Merupakan kasus emergensi karena dapat terjadi kontaminasi oleh bakteri dan
disertai perdarahan yang hebat dalam waktu 6-8 jam (golden period). Kuman
belum terlalu jauh meresap dilakukan : pembersihan luka, exici, hecting situasi,
antibiotik.
Ada bebearapa prinsipnya yaitu :
1) Harus ditegakkan dan ditangani dahulu akibat trauma yang membahayakan
jiwa: airway, breathing, circulation.
2) Semua patah tulang terbuka adalah kasus gawat darurat yang memerlukan
penanganan segera yang meliputi pembidaian, menghentikan perdarahan
dengan perban tekan, menghentikan perdarahan besar dengan klem.
Dengan terbukanya barier jaringan lunak maka patah tulang tersebut
terancam untuk terjadinya infeksi seperti kita ketahui bahwa periode 6 jam
sejak patah tulang tebuka luka yang terjadi masih dalam stadium
kontaminsi (golden periode) dan setelah waktu tersebut luka berubah
menjadi luka infeksi. Oleh karena itu penanganan patuah tulang terbuka
harus dilakukan sebelum golden periode terlampaui agar sasaran akhir
penanganan patah tulang terbuka, tercapai walaupun ditinjau dari segi
prioritas penanganannya. Tulang secara primer menempati urutan prioritas
ke 6. Sasaran akhir di maksud adalah mencegah sepsis, penyembuhan
tulang, pulihnya fungsi.
3) Pemberian antibiotika.
Mikroba yang ada dalam luka patah tulang terbuka sangat bervariasi
tergantung dimana patah tulang ini terjadi. Pemberian antibiotika yang
tepat sukar untuk ditentukan hany saja sebagai pemikiran dasar.
Sebaliklnya antibiotika dengan spektrum luas untuk kuman gram positif
maupun negatif.
4) Debridement dan irigasi sempurna.
Debridemen untuk membuang semua jaringan mati pada darah patah
terbuka baik berupa benda asing maupun jaringan lokal yang mati. Irigasi
untuk mengurangi kepadatan kuman dengan cara mencuci luka dengan
larutan fisiologis dalam jumlah banyak baik dengan tekanan maupun tanpa
tekanan.
5) Stabilisasi.
Untuk penyembuhan luka dan tulang sangat diperlukan stabilisasi fragmen
tulang, cara stabilisasi tulang tergantung pada derajat patah tulang
terbukanya dan fasilitas yang ada. Pada derajat 1 dan 2 dapat
dipertimbangkan pemasangan fiksasi dalam secara primer. Untuk derajat 3
dianjurkan pemasangan fiksasi luar. Stabilisasi ini harus sempurna agar
dapat segera dilakukan langkah awal dari rahabilitasi penderita.
6) Penutup luka.
7) Rehabilitasi.
b. Seluruh Fraktur
1) Rekognisis/Pengenalan
Riwayat kejadian harus jelas untuk mentukan diagnosa dan tindakan
selanjutnya.
2) Reduksi/Manipulasi/Reposisi
Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti
semula secara optimun. Dapat juga diartikan Reduksi fraktur (setting
tulang) adalah mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan
rotasfanatomis.
3) OREF
Penanganan intraoperatif pada fraktur terbuka derajat III yaitu dengan cara
reduksi terbuka diikuti fiksasi eksternal (open reduction and external
fixation=OREF) sehingga diperoleh stabilisasi fraktur yang baik.
Keuntungan fiksasi eksternal adalah memungkinkan stabilisasi fraktur
sekaligus menilai jaringan lunak sekitar dalam masa penyembuhan fraktur.
Penanganan pascaoperatif yaitu perawatan luka dan pemberian antibiotik
untuk mengurangi risiko infeksi, pemeriksaan radiologik serial, darah
lengkap, serta rehabilitasi berupa latihan-latihan secara teratur dan
bertahap sehingga ketiga tujuan utama penanganan fraktur bisa tercapai,
yakni union (penyambungan tulang secara sempurna), sembuh secara
anatomis (penampakan fisik organ anggota gerak; baik, proporsional), dan
sembuh secara fungsional (tidak ada kekakuan dan hambatan lain dalam
melakukan gerakan).
4) ORIF
ORIF adalah suatu bentuk pembedahan dengan pemasangan internal
fiksasi pada tulang yang mengalami fraktur. Fungsi ORIF untuk
mempertahankan posisi fragmen tulang agar tetap menyatu dan tidak
mengalami pergeseran. Internal fiksasi ini berupa Intra Medullary Nail
biasanya digunakan untuk fraktur tulang panjang dengan tipe fraktur
tranvers.
5) Retensi/Immobilisasi
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali
seperti semula secara optimun. Imobilisasi fraktur. Setelah fraktur
direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau dipertahankan dalam
posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat
dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna
meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin dan teknik gips, atau
fiksator eksterna. Implan logam dapat digunakan untuk fiksasi interna
yang berperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur.
6) Rehabilitasi
Menghindari atropi dan kontraktur dengan fisioterapi. Segala upaya
diarahkan pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Reduksi dan
imobilisasi harus dipertahankan sesuai kebutuhan. Status neurovaskuler
(mis. pengkajian peredaran darah, nyeri, perabaan, gerakan) dipantau, dan
ahli bedah ortopedi diberitahu segera bila ada tanda gangguan
neurovaskuler.
1.10 Pathway
2. Rencana Asuhan Klien Dengan Fraktur Femur
2.1 Pengkajian
Pada tahap pengkajian dapat dilakukan anamnesa/wawancara terhadap pasien
dengan fraktur femur yaitu :
a. Identitas pasien
1) Nama : Nama pasien
2) Usia : usia lebih dari 60 tahun dimana tulang sudah mengalami
osteoporotik, penderita muda ditemukan riwayat mengalami
kecelakaan, fraktur batang femur pada anak terjadi karena jatuh
waktu bermain dirumah atau disekolah
3) Suku : Suku pasien
4) Pekerjaan : Pekerjaan pasien
5) Alamat : Alamat pasien
b. Riwayat keperawatan
1) Riwayat perjalanan penyakit
a) Keluhan utama klien datang ke RS atau pelayanan kesehatan :
nyeri pada paha
b) Apa penyebabnya, waktu : kecelakaan atau trauma, berapa
jam/menit yang lalu
c) Bagaimana dirasakan, adanya nyeri, panas, bengkak dll
d) Perubahan bentuk, terbatasnya gerakan
e) Kehilangan fungsi
f) Apakah klien mempunyai riwayat penyakit osteoporosis
2) Riwayat pengobatan sebelumnya
a) Apakan klien pernah mendapatkan pengobatan jenis
kortikosteroid dalam jangka waktu lama
b) Apakah klien pernah menggunakan obat-obat hormonal, terutama
pada wanita
c) Berapa lama klien mendapatkan pengobatan tersebut
d) Kapan klien mendapatkan pengobatan terakhir
c. Pemeriksaan fisik Mengidentifikasi tipe fraktur
1) Inspeksi daerah mana yang terkena
a) Deformitas yang nampak jelas
b) Edema, ekimosis sekitar lokasi cedera
c) Laserasi, Perubahan warna kulit, Kehilangan fungsi daerah yang
cidera
2) Palpasi
Bengkak, adanya nyeri dan penyebaran, Krepitasi, Nadi, observasi
spasme otot sekitar daerah fraktur

d. Pemeriksaan Penunjang
1) Foto Rontgen
a) Untuk mengetahui lokasi fraktur dan garis fraktur secara langsung
b) Mengetahui tempat dan tipe fraktur
c) Biasanya diambil sebelum dan sesudah dilakukan operasi dan
selama proses penyembuhan secara periodik
2) Artelogram dicurigai bila ada kerusakan vaskuler
3) Hitung darah lengkap HT mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau
menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada
trauma multiple)

2.2 Diagnosa Keperawatan


Pre-Operasi
1. Nyeri akut berhubungan dengan spasme otot dan kerusakan sekunder
pada fraktur
2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan cedera jaringan
sekitar/fraktur
3. Ansietas berhubungan dengan prosedur pengobatan atau
pembedahan
4. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan fraktur terbuka dan
kerusakan jaringan lunak
Intra Operasi
5. Resiko syok hipovolomik berhubungan dengan perdarahan akibat
pembedahan
Post-Operasi
6. Nyeri akut berhubungan dengan proses pembedahan
7. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan luka pembedahan
8. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma jaringan post
pembedahan
2.3 Intervensi Keperawatan

Pre-operasi

Diagnosa
No. Tujuan dan kriteria hasil Intervensi Rasional
keperawatan
1. Nyeri akut NOC NIC
berhubungan 1. Tingkat nyeri Manajemen nyeri
dengan spasme otot 2. Kontrol nyeri 1. Lakukan pengkajian nyeri secara 1. Mengetahui karakteristik
dan kerusakan 3. Tingkat kenyamanan komprehensif termasuk lokasi, nyeri secara menyeluruh
sekunder pada Kriteria Hasil : karakteristik, durasi, frekuensi, untuk menentukan
kualitas dan faktor presipitasi intervensi selanjutnya
fraktur 1. Mampu mengontrol nyeri
2. Observasi reaksi nonverbal dari 2. Mengetahui
(tahu penyebab nyeri, mampu
ketidaknyamanan perkembangan respon
menggunakan tehnik
3. Kurangi faktor presipitasi nyeri nyeri
nonfarmakologi untuk
4. Ajarkan tentang teknik non 3. Mengurangi peningkatan
mengurangi nyeri, mencari
farmakologi nyeri
bantuan)
5. Evaluasi keefektifan kontrol nyeri 4. Meniminalkan nyeri yang
2. Melaporkan bahwa nyeri
6. Kolaborasikan dengan dokter jika dirasakan
berkurang dengan
ada keluhan dan tindakan nyeri 5. Mengetahui keefektifan
menggunakan manajemen nyeri
tidak berhasil intervensi
3. Mampu mengenali nyeri
6. Pengobatan medis untuk
(skala, intensitas, frekuensi
mengurangi nyeri
dan tanda nyeri)
4. Menyatakan rasa nyaman
setelah nyeri berkurang
5. Tanda vital dalam rentang normal
2. Hambatan NOC NIC
mobilitas fisik 1. Gerakan: aktif Latihan Kekuatan
berhubungan 2. Tingkat mobilitas 1. Ajarkan dan berikan dorongan 1. Pasien dapat termotivasi
dengan cedera 3. Perawatan diri: ADL pada klien untuk melakukan untuk melakukan program
jaringan Kriteria Hasil : program latihan secara rutin latihan
sekitar fraktur 1. Klien meningkat dalam Latihan untuk ambulasi 2. Mencegah resiko cedera
aktivitas fisik 1. Ajarkan teknik ambulasi & 3. Memudahkan pasien
2. Mengerti tujuan dari perpindahan yang aman kepada untuk melakukan
peningkatan mobilitas klien dan keluarga. mobilisasi
3. Memverbalisasikan perasaan 2. Sediakan alat bantu untuk klien 4. Pasien terus termotivasi
dalam meningkatkan kekuatan dan seperti kruk, kursi roda, dan untuk tetap melakukan
kemampuan berpindah walker ambulasi
4. Memperagakan penggunaan 3. Beri penguatan positif untuk 5. Klien dan keluarga
alat Bantu untuk mobilisasi berlatih mandiri dalam batasan memahami mobilisasi
(walker) yang aman. dengan benar
Latihan mobilisasi dengan kursi 6. Klien termotivasi untuk
roda memperkuat anggota
1. Ajarkan pada klien & keluarga tubuh
tentang cara pemakaian kursi roda 7. Klien tidak akan
& cara berpindah dari kursi roda mengalami kekakuan
ke tempat tidur atau sebaliknya. sendi dan keluarga dapat
2. Dorong klien melakukan latihan membantu klien untuk
untuk memperkuat anggota tubuh mobilisasi
3. Ajarkan pada klien/ keluarga
tentang cara penggunaan kursi
roda
3. Resiko tinggi NOC : NIC :
infeksi 1. Status imun Kontrol infeksi 1. Untuk mencegah infeksi
berhubungan 2. Kontrol resiko 1. Bersihkan lingkungan setelah yang ditularkan oleh
dengan fraktur Kriteria Hasil : dipakai pasien lain pasien lain
terbuka dan 1. Klien bebas dari tanda dan 2. Gunakan sabun antimikrobia 2. Memotong rantai infeksi
kerusakan jaringan gejala infeksi untuk cuci tangan 3. Memotong rantai infeksi
lunak 2. Menunjukkan kemampuan 3. Cuci tangan setiap sebelum dan 4. Tenaga kesehatan dapat
untuk mencegah timbulnya sesudah tindakan keperawatan mencegah infeksi
infeksi 4. Gunakan baju, sarung tangan nosokomial
3. Jumlah leukosit dalam sebagai alat pelindung 5. Resiko infeksi tidak
batas normal 5. Pertahankan lingkungan aseptik terjadi
4. Menunjukkan perilaku hidup sehat selama pemasangan alat 6. Diet makanan tinggi
6. Tingktkan intake nutrisi protein untuk
7. Berikan terapi antibiotik bila mempercepat
perlu penyembuhan luka
7. Untuk mencegah atau
mengobati infeksi
4. Ansietas NOC NIC
berhubungan Kontrol ansietas Penurunan kecemasan
dengan prosedur Kriteria hasil: 1. Tenangkan klien 1. Kecemasan tidak
pengobatan atau 1. Monitor intensitas kecemasan 2. Berikan informasi tentang meningkat
pembedahan 2. Menyikirkan tanda kecemasan diagnosa prognosis dan tindakan 2. Pasien dapat memahami
3. Mencari informasi 3. Kaji tingkat kecemasan dan reaksi terkait keadaannya
untuk menurunkan fisik pada tingkat kecemasan 3. Mengetahui tingkat
kecemasan 4. Gunakan pendekatan dan kecemasan untuk
4. Merencanakan strategi koping sentuhan menentukan intervensi
5. Menggunakan teknik 5. Temani pasien untuk mendukung selanjutnya
relaksasi untuk menurunkan keamanan dan penurunan rasa 4. Empati petugas kesehatan
kecemasan takut dapat dirasakan pasien
6. Melaporkan penurunan durasi 6. Sediakan aktifitas untuk 5. Kecemasan tidak
dan episode cemas menurunkan ketegangan meningkat
7. Melaporkan tidak adanya 7. Intruksikan kemampuan klien 6. Pengalihan terhadap
manifestasi fisik dan untuk menggunakan teknik kecemasan yang dirasakan
kecemasan relaksasi pasien
8. Tidak adaa manifestasi 5. Mengurangi kecemasan
perilaku kecemasan pasien
Intra-Operatif

5. Resiko syok NOC NIC 1. Mengetahui perkembangan


hipovolomik Deteksi resiko Manajemen syok :volume perdarahan pasien
berhubungan dengan Kriteria hasil: 1. Monitor tanda dan gejala 2. Resiko syok hipovolemik
perdarahan akibat 1. Kenali tanda dan gejala yang perdarahan yang tidak terjadi
pembedahan mengindikasikan risiko konsisten 3. Memenuhi kebutuhan
2. Cari validasi dari risiko yg 2. Cegah kehilangan darah (ex : cairan pasien
dirasakan melakukan penekanan pada 4. Mengetahui perubahan
3. Pertahankan info terbaru tentang tempat terjadi perdarahan) komponen darah
riwayat keluarga 3. Berikan cairan IV 5. Keseimbangan kebutuhan
4. Pertahankan info terbaru tentang 4. Catat Hb/Ht sebelum dan darah
riwayat pribadi sesudah kehilangan darah sesuai
5. Gunakan sumber informasi indikasi
tentang risiko potensial 5. Berikan tambahan darah (ex
: platelet, plasma) yang
sesuai
Post-Operatif

Diagnosa
No. Tujuan dan kriteria hasil Intervensi Rasional
keperawatan
1. Nyeri akut NOC NIC
berhubungan 4. Tingkat nyeri Manajemen nyeri
dengan proses 5. Kontrol nyeri 7. Lakukan pengkajian nyeri secara 7. Mengetahui karakteristik
pembedahan 6. Tingkat kenyamanan komprehensif termasuk lokasi, nyeri secara menyeluruh
Kriteria Hasil : karakteristik, durasi, frekuensi, untuk menentukan
kualitas dan faktor presipitasi intervensi selanjutnya
6. Mampu mengontrol nyeri
8. Observasi reaksi nonverbal dari 8. Mengetahui
(tahu penyebab nyeri, mampu
ketidaknyamanan perkembangan respon
menggunakan tehnik
9. Kurangi faktor presipitasi nyeri nyeri
nonfarmakologi untuk
10. Ajarkan tentang teknik non 9. Mengurangi peningkatan
mengurangi nyeri, mencari
farmakologi nyeri
bantuan)
11. Evaluasi keefektifan kontrol nyeri 10. Meniminalkan nyeri yang
7. Melaporkan bahwa nyeri
12. Kolaborasikan dengan dokter jika dirasakan
berkurang dengan
ada keluhan dan tindakan nyeri 11. Mengetahui keefektifan
menggunakan manajemen nyeri
tidak berhasil intervensi
8. Mampu mengenali nyeri
12. Pengobatan medis untuk
(skala, intensitas, frekuensi
mengurangi nyeri
dan tanda nyeri)
9. Menyatakan rasa nyaman
setelah nyeri berkurang
10. Tanda vital dalam rentang normal
2. Kerusakan NOC : NIC 1. Tidak ada tekanan pada
integritas kulit Intergritas jaringan: kulit dan Manajemen tekanan luka
berhubungan membran mukus 1. Anjurkan pasien untuk 2. Mencegah terbentuknya
dengan trauma Kriteria Hasil : menggunakan pakaian yang luka yang baru
jaringan post 1. Integritas kulit yang baik bisa longgar 3. Terhindar dari infeksi
pembedahan dipertahankanMelaporkan adanya 2. Hindari kerutan pada tempat tidur Mencegah terjadinya
gangguan sensasi atau nyeri pada dekubitus
Jaga kebersihan kulit agar tetap
daerah kulit yang mengalami 5. Mengetahui perkembangan
gangguan bersih dan kering
mobilisasi pasien
2. Menunjukkan pemahaman dalam 3. Mobilisasi pasien (ubah posisi
6. Mengetahui nutrisi yang
proses perbaikan kulit dan pasien) setiap dua jam sekali
dikonsumsi pasien
mencegah terjadinya sedera 4. Monitor kulit akan adanya
7. Pasien tetap terjaga
berulang kemerahan
perawatan dirinya
3. Mampu melindungi kulit dan 5. Monitor aktivitas dan mobilisasi
mempertahankan kelembaban kulit pasien
dan perawatan alami 6. Monitor status nutrisi pasien
7. Memandikan pasien dengan sabun
dan air hangat
3. Resiko tinggi NOC : NIC :
infeksi 3. Status imun Kontrol infeksi 8. Untuk mencegah infeksi
berhubungan 4. Kontrol resiko 8. Bersihkan lingkungan setelah yang ditularkan oleh
dengan luka Kriteria Hasil : dipakai pasien lain pasien lain
pembedahan 5. Klien bebas dari tanda dan 9. Gunakan sabun antimikrobia 9. Memotong rantai infeksi
gejala infeksi untuk cuci tangan 10. Memotong rantai infeksi
6. Menunjukkan kemampuan 10. Cuci tangan setiap sebelum dan 11. Tenaga kesehatan dapat
untuk mencegah timbulnya sesudah tindakan keperawatan mencegah infeksi
infeksi 11. Gunakan baju, sarung tangan nosokomial
7. Jumlah leukosit dalam sebagai alat pelindung 12. Resiko infeksi tidak
batas normal 12. Pertahankan lingkungan aseptik terjadi
8. Menunjukkan perilaku hidup sehat selama pemasangan alat 13. Diet makanan tinggi
13. Tingktkan intake nutrisi protein untuk
14. Berikan terapi antibiotik bila mempercepat
perlu penyembuhan luka
14. Untuk mencegah atau
mengobati infeksi
2.4 Evaluasi
Evaluasi merupakan suatu tahap terakhir dalam suatu rangkaian proses
keperawatan yang harus dilakukan oleh perawat. Evaluasi keperawatan
dilakukan dengan cara membandingkan respon pasien setelah implementasi
dengan kriteria hasil yang telah ditentukan oleh perawat. Perawat memiliki 3
alternatif dalam menentukan pencapaian pada intervensi yang telah dilakukan
yaitu:
a. Teratasi
Perilaku pasien seusia dengan pernyataan tujuan dalam waktu atau tanggal
yang ditetapkab di tujuan
b. Teratasi sebagian
Pasien menunjukkan perilaku tetapi tidak sebaik yang ditentukan dalam
pernyataan kriteria hasil
c. Belum teratasi
Pasien tidak mampu menunjukkan perilaku yang diharapkan sesuai dengan
pernyataan tujuan
2.5 Discharge Planning

a. Persiapan Perawatan Rumah


Klien membutuhkan orang terdekat klien yang akan membantu perawatan
atau proses penyembuhan di rumah. Hal – hal yang perlu diperhatikan,
yaitu mencegah kemungkinan jatuh harus dihilangkan, ruangan harus
bebas atau minimal perabot untuk memudahkan pergerakan klien dengan
menggunakan kruk atau alat bantu lain.
b. Edukasi Klien dan Keluarga
Klien dengan fraktur biasanya dipulangkan kerumah dalam keadaan
memakai pembalut / bandage, splint, gips atau fiksasi eksternal. Perawat
harus menyiapkan instruksi verbal / tertulis untuk klien dan keluarga
tentang mengkaji dan merawaqt luka untuk meningkatkan penyembuhan
dan pencegahan infeksi.
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:
EGC.

Mansjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jakarta: Medica


Aesculpalus.

Moffat, D & Faiz, O. 2002. At a Glance Series Anatomi. Jakarta: PT. Glora
Aksara Pratama.

Muttaqin, A. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan


Muskuloskeletal. Jakarta:EGC.

Muttaqin, A. 2011. Buku Saku Gangguan Mulskuloskeletal Aplikasi pada Praktik


Klinik Keperawatan. Jakarta:EGC.

Rasjad, C. 2007. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Jakarta: PT.Yarsif Watampone.

Sherwood, L. 2001. Fisiologi Manusia;dari Sel ke Sistem. Edisi 2.Jakarta:EGC

Siddiqui, Z. 2015. Rehabilitations Following Intramedullary Nailing Of Femoral


Shaft Fracture: A Case Report. International Journal of Physical
Therapy & Rehabilitation Science. Vol 1 (1): 30-35.

Smeltzer Suzanne, C & Bare Brende, G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal –
Bedah Brunner & Suddarth Edisi 8. Jakarta: Kedokteran EGC

Smeltzer Suzanne C. & Bare, Brenda G. 2002 .Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah Brunner dan Suddarth (Ed.8, Vol. 1,2). Alih bahasa oleh Agung
Waluyu(dkk). Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai