Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN &

ASUHAN KEPERAWATAN
OPEN FRAKTUR
Disusun untuk Memenuhi Tugas Laporan Individu Profesi Ners Departemen Emergensi
di IGD RSUD NGUDI WALUYO WLINGI KAB. BLITAR

Oleh :
ANGGRAENI CITRA S.
NIM. 105070200131007
KELOMPOK 3

PROGRAM PROFESI NERS ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2015

FRAKTUR TERBUKA
DEFINISI
Fraktur terbuka merupakan suatu fraktur dimana terjadi hubungan dengan
lingkungan luar melalui kulit sehingga terjadi kontaminasi bakteri, sehingga timbul
komplikasi berupa infeksi.

ETIOLOGI
Fraktur terjadi bila ada suatu trauma yang mengenai tulang, dimana trauma
tersebut kekuatannya melebihi kekuatan tulang, 2 faktor yang mempengaruhi terjadinya
fraktur :
1. Ekstrinsik meliputi kecepatan dan durasi trauma yang mengenai tulang,
arah dan kekuatan trauma.
2. instrisik

meliputi

kapasitas

tulang

mengasorbsi

energi

trauma,

kelenturan, kekuatan dan densitas tulang.


Setelah fraktur lengkap, fragmen-fragmen biasanya bergeser. Sebagian oleh gaya
berat dan sebagian oleh tarikan otot yang melekat padanya. Pergeseran biasanya disebut
dengan aposisi, penjajaran (alignment), rotasi dan berubahnya panjang.
Semua fraktur terbuka harus dianggap terkontaminasi, sehingga mempunyai
potensi untuk terjadi infeksi. Pada fraktur tulang dapat terjadi pergeseran fragmenfragmen tulang. Pergeseran fragmen bisa diakibatkan adanya keparahan cedera yang
terjadi, gaya berat, maupun tarikan otot yang melekat padanya. Pergeseran fragmen
fraktur akibat suatu trauma dapat berupa :

1. Aposisi (pergeseran ke samping/ sideways, tumpang tindih dan berhimpitan/


overlapping, bertrubukan sehingga saling tancap/ impacted) : fragmen dapat
bergeser ke samping, ke belakang atau ke depan dalam hubungannya dengan
satu sama lain, sehingga permukaan fraktur kehilangan kontak. Fraktur biasanya
akan menyatu sekalipun aposisi tidak sempurna, atau sekalipun ujung-ujung
tulang terletak tidak berkontak sama sekali.
2. Angulasi (kemiringan/ penyilangan antara kedua aksis fragmen fraktur) :
fragmen dapat miring atau menyudut dalam hubungannya satu sama lain.
3. Rotasi (pemuntiran fragmen fraktur terhadap sumbu panjang) : salah satu
fragmen dapat berotasi pada poros longitudinal, tulang itu tampak lurus tetapi
tungkai akhirnya mengalami deformitas rotasional.
4. Panjang (pemanjangan atau pemendekan akibat distraction atau overlapping
antara fragmen fraktur) : fragmen dapat tertarik dan terpisah atau dapat tumpang
tindih, akibat spasme otot, menyebabkan pemendekan tulang.
Hubungan garis fraktur dengan energi trauma :
GARIS FRAKTUR
Transversal, oblik, spiral

MEKANISME TRAUMA
Angulasi/ memutar

ENERGI
Ringan

Kombinasi

Sedang

Variasi

Berat

(sedikit bergeser/ masih


ada kontak)
Butterfly, transversal
(bergeser), sedikit
kominutif
Segmental kominutif
(sangat bergeser)
KLASIFIKASI
Klasifikasi fraktur terbuka paling sering digunakan menurut Gustillo dan
Anderson (1976), yang menilai fraktur terbuka berdasarkan mekanisme cedera, derajat
kerusakan jaringan lunak, konfigurasi fraktur dan derajat kontaminasi. Kalsifikasi
Gustillo ini membagi fraktur terbuka menjadi tipe I, II, dan III :
TIPE
I
II
III

BATASAN
Luka bersih dengan panjang luka < 1 cm
Panjang luka >1 cm tanpa kerusakan jaringan lunak yang berat
Kerusakan jaringan lunak yang berat dan luas, fraktur segmental terbuka,

trauma amputasi, luka tembak dengan kecepatan tinggi, fraktur terbuka di


pertanian, fraktur yang perlu repair vaskulr dan fraktur yang lebih dari 8 jam
setelah kejadian.
Keterangan :

Tipe I berupa luka kecil kurang dari 1 cm akibat tusukan fragmen fraktur dan
bersih. Kerusakan jaringan lunak sedikit dan fraktur tidak kominutif. Biasanya
luka tersebut akibat tusukan fragmen fraktur atau in-out.

Tipe II terjadi jika luka lebih dari 1 cm tapi tidak banyak kerusakan jaringn
lunak dan fraktur tidak kominutif.

Tipe III dijumpai kerusakan hebat maupun kehilangan cukup luas pada kulit,
jaringan lunak dan putus atau hancurnya struktur neurovaskuler dengan
kontaminasi, juga termasuk fraktur segmental terbuka atau amputasi traumatik.
Kalsifikasi ini juga termasuk trauma luka tembak dengan kecepatan tinggi atau

high velocity, fraktur terbuka di pertanian, fraktur yang perlu repair vaskulr dan fraktur
yang lebih dari 8 jam setelah kejadian. Kemudian Gustillo membagi tipe III menjadi
subtipe, yaitu tipe IIIA, IIIB, dan IIIC :
TIPE
IIIA

BATASAN
Periostenum masih membungkus fragmen fraktur dengan kerusakan jaringn

IIIB

lunak yang luas


Kehilangan jaringn lunak yang luas, kontaminasi berat, periostenal striping

IIIC

atau terjadi bone expose


Disertai kerusakan arteri yang memerlukan repair tanpa melihat tingkat
kerusakan jaringn lunak

Keterangan :

Tipe IIIA terjadi apabila fragmen fraktur masih dibungkus oleh jaringan lunak,
walaupun adanya kerusakan jaringan lunak yang luas dan berat.

Tipe IIIB terjadi pada fragmen fraktur tidak dibungkus oleh jaringn lunak,
sehingga tulang terlihat jelas atau bone expose, terdapat pelepasan periosteum,
fraktur kominutif. Biasanya disertai kontaminasi masif dan merupakan trauma
high energy tanpa memandang luas luka.

Tipe IIIC terdapat trauma pada arteri yang membutuhkan perbaikan agar
kehidupan bagian distal dapat dipertahankan tanpa memandang derajat
kerusakan jaringan lunak.

Gustillo Anderson
DIAGNOSIS
Diagnosis fraktur terbuka dapat ditegakkan dengan riwayat penderita,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan radiologis.
Riwayat
Faktor trauma kecepatan rendah atau taruma kecepatan tinggi sangat penting
dalam menentukan klasifikasi fraktur terbuka karena akan berdampak pada kerusakan
jaringan itu sendiri. Riwayat trauma kecelakaan lalu lintas, jatuh dari tempat ketinggian,
luka tembak dengan kecepatan tinggi atau pukulan langsung oleh benda berat akan
mengakibatkan prognosis jelek dibanding trauma sederhana atau trauma olah raga.
Penting adanya deskripsi yang jelas mengenai keluhan penderita, biomekanisme trauma,
likasi dan derajat nyeri. Umur dan kondisi penderita sebelum kejadian seperti penyakit
hipertensi,

diabetes

melitus

dan

sebagainya

merupakan

faktor

yang

perlu

dipertimbangkan juga. Kalau fraktur terjadi akibat cedera ringan, curigailah lesi
patologi. Nyeri, memar, dan pembengkakan adalah gejala yang sering ditemukan, tetapi
gejala itu tidak membedakan fraktur dari cedera jaringan lunak. Deformitas jauh lebih
mendukung.
Selalu tanyakan mengenai gejala-gejala cedera yang berkaitan, seperti baal atau
hilangnya gerakan, kulit yang pucat/ sianosis, darah dalam urin, nyeri perut, hilangnya
kesadaran untuk sementara. Tanyakan juga tentang cedera sebelumnya.
Pemeriksaan fisik

Jaringan yang mengalami cedera juga harus ditangani dengan hati-hati. Untuk
menimbulkan krepitus atau gerakan yang abnormal tidak perlu menimbulkan nyeri,
diagnosis dengan foto rontgen lebih dapat diandalkan. Namun butir-butir pemeriksaan
klinik yang biasa harus selalu dipertimbangkan, kalau tidak kerusakan pada arteri dan
saraf dapat terlewatkan. Pemeriksaan yang harus dilakukan adalah identisifikasi luka
secara jelas dan gangguan neurovaskular bagian distal dan lesi tersebut. Pulsasi arteri
bagian distal penderita hipotensi akan melemah dan dapat menghilangkan sehingga
dapat terjadi kesalahan penilaian vaskular tersebut.bila disertai trauma kepala dan tulang
belakang maka akan terjadi kelainan sensasi nervus perifer di distal lesi tersebut.
Pemeriksaan kulit seperti kontaminasi dan tanda-tanda lain perlu dicatat.
Pemeriksaan yang dilakukan adalah :
1. Look (inspeksi)
Pembengkakan, memar, dan deformitas mungkin terlihat jelas, tetapi hal yang
penting adalah apakah kulit itu utuh atau tidak. Kalau kulit robek dan luka
memiliki hubungan dengan fraktur, cedera itu terbuka (compound).
2. Feel (palpasi)
Terdapat nyeri tekan setempat, tetapi perlu juga memeriksa bagian distal dari
fraktur untuk merasakan nadi dan untuk menguji sensasi. Cedera pembuluh
darah adalah keadaad darurat yang memerulkan pembedahan.
3. Movement (gerakan)
Krepitus dan gerakan abnormal dapat ditemukan, tetapi lebih pnting untuk
menanyakan apakah pasien dapat menggerakkan sendi-sendi di bagian distal
dari cedera.
Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan radiologis bertujuan untuk menentukan keparahan kerusakan
tulang dan jaringn lunak yang berhubungn dengan derajat energi dari trauma itu sendiri.
Bayangan udara di jaringan lunak merupakan petunjuk dalam melakukan pembersihan
luka atau irigasi dalam melakukan debridement. Bila bayangan udara tersebut tidak
berhubungan dengan daerah fraktur maka dapat ditentukan bahwa fraktur tersebut
adalah fraktur tertutup. Radiografi dapat terlihat bayangan benda asing disekitar lesi
sehingga dapat diketahui derajat keparahan kontaminasi disamping melihat kondisi
fraktur atau tipe fraktur itu sendiri. Diagnosis fraktur dengan tanda-tanda klasik dapat

ditegakkan secara klinis, namun pemeriksaan radiologis tetap diperlukan untuk


konfirmasi untuk melengkapi deskripsi fraktur, kritik medikolegal, rencana terapi dan
dasar untuk tindakan selanjutnya. Sedangkan untuk fraktur-fraktur yang tidak
memberikan gejala kalsik dalam menentukan diagnosa harus dibantu pemeriksaan
radiologis sebagai gold standart.
Untuk menghindari kesalahan maka dikenal formulasi hukum dua, yaitu ;
1. Dua pandangan
Fraktur atau dislikasi mungkin tidak terlihat pada film rontgentunggal, dan
sekurang-kurangnya harus dilakukan dua sudut pandang (anteroposterior dan
lateral).
2. Dua sendi
Pada lengan bawah atau kaki, satu tulang dapat mengalami fraktur dan angulasi.
Tetapi, angulasi tidak mungkin terjadi kecuali kalau tulang yang lain juga patah,
atau suatu sendi mengalami dislokasi. Sendi-sendi di atas dan di bawah fraktur
keduanya harus disertakan pada foto rontgen.
3. Dua tungkai
Pada rontgen tulang anak-anak epifisis yang normal dapat mengacaukan
diagnosis fraktur. Foto pada tungkai yang tidak cedera akan bermanfaat.
4. Dua cedera
Kekuatan yang hebat sering menyebabkan cedera pada lebih dari satu tingkat.
Karena itu, bila ada fraktur pada kalkaneus atau femur, perlu juga diambil foto
rontgen pada pelvis dan tulang belakang.
5. Dua kesempatan
Segera setelah cedera, suatu fraktur (skafoid karpal) mungkin sulit dilihat. Kalau
ragu-ragu, sebagai akibat resorpsi tulang, pemeriksaanlebih jauh 10-14 hari
kemudian dapat memudahkan diagnosis.

Pencitraan khusus
Kadang-kadang fraktur atau keseluruhan fraktur tidak nyata pada foto rontgen
biasa. Tomografi mungkin berguna untuk lesi spinal atau fraktur kondilus tibia. CT atau
MRI mungkin merupakan satu-satunya cara untuk menunjukkan apakah fraktur vertebra

mengancam akan menekan medula spinalis, sesungguhnya potret transeksional sangat


penting untuk visualisasi fraktur secara tepat pada tempat yang sukar misalnya
kalkaneus atau asetabulum, dan potret rekonstruksi tiga dimensi bahkan lebih baik.
Scanning radioisotop berguna untuk mendiagnosis fraktur tekanan yang dicurigai atau
fraktur tidak bergeser yang lain.
PENATALAKSANAAN
Banyak pasien dengan fraktur terbuka mengalami cedera ganda dan syok hebat.
Bagi mereka, terapi yang tepat di tempat kecelakaan sangat penting. Luka harus ditutup
dengan pembalut steril atau bahan yang bersih dan dibiarkan tidak terganggu hingga
pasien mencapai bagian rawat kecelakaan.
Di Rumah Sakit, penilaian umum yang cepat merupakan langkah yang pertama,
dan setiap keadaan yang membahayakan jiwa dapat diatasi. Luka kemudian diperiksa,
idealnya dipotret dengan kamera polaroid. Setelah itu dapat ditutup lagi dan dibiarkan
tidak terganggu hingga pasien berada di kamar bedah. Empat pertanyaan yang perlu
dijawab :
1. Bagaimana sifat luka tersebut.
2. Bagaimana keadaan kulit di sekitar luka.
3. Apakah sirkulasi cukup baik.
4. Apakah saraf utuh.
Semua fraktur terbuka, tidak peduli seberapa ringannya, harus dianggap
terkontaminasi, penting untuk mencoba mencegahnya infeksi. Untuk tujuan ini, perlu
diperhatikan empat hal yang penting :
1. Pembalutan luka dengan segera.
2. Profilaksis antibiotika.
3. Debridement luka secara dini.
4. Stabilisasi fraktur.
Penanganan fraktur terbuka
Pada kasus fraktur terbuka diperlukan ketepatan dan kecepatan diagnosis pada
penanganan agar komplikasi terhindar dari kematian atau kecacatan. Penatalaksanaan
fraktur terbuka derajat III meliputi tindakan life saving dan life limb dengan resusitasi

sesuai dengan indikasi, pembersihan luka dengan irigasi, eksisi jaringan mati dan
debridement, pemberian antibiotik (sebelum, selama, dan sesudah operasi), pemberian
anti tetanus, penutupan luka, stabilisasi fraktur dan fisioterapi. Tindakan definitif
dihindari pada hari ketiga atau keempat karena jaringan masih inflamasi/ infeksi dan
sebaiknya ditunda sampai 7-10 hari, kecuali dapat dikerjakan sebelum 6-8 jam pasca
trauma.
Prinsip penanganan fraktur terbuka derajat III secara umum adalah sebagai
berikut :
1. Pertolongan pertama
Secara umum adalah untuk mengurangi atau menghilangkan nyeri dan
mencegah gerakan-gerakan fragmen yang dapat merusak jaringan sekitarnya.
Stabilisasi fraktur bisa menggunakan splint atau bandage yang mudah dikerjakan
dan efektif. Luka ditutup dengan material yang bersih dan steril.
2. Resusitasi
Penatalaksanaan sesuai dengan ATLS (Advance Trauma Life Support) dengan
memberikan penanganan sesuai prioritas (resusitasi), bersamaan itu pula
dikerjakan penanganan fraktur terbuka agar terhindar dari komplikasi.
Kehilangn banyak darah pada frkatur terbuka derajat III dapat mengakibatkan
syok hipovolemik dan dapat diperberat oleh rasa nyeri yang dapat menyebabkan
syok neurogenik. Tindakan resusitasi dilakukan dilakukan bila ditemukan tanda
syok hipovolemik, gangguan nafas atau denyut jantung karena fraktur
terbukaseringkali bersamaan dengan cedera organ lain. Penderita diberikan
resusitasi cairan Ringer Laktat atau transfusi darah dan pemberian analgetik
selama tidak ada kontraindikasi. Pemeriksaan radiologis dilakukan setelah
pasien stabil.
3. Penilaian awal
Pemeriksaan yang teliti dan hati-hati merupakan dasar dalam observasi dan
penanganan awal yang memadai. Fakta-fakta pada pemeriksaan harus direkam
dengan baik termasuk trauma pada daerah atau organ lain dan komplikasi akibat
fraktur itu sendiri.
4. Terapi antibiotik dan anti tetanus serum (ATS)

Pemberian antibiotik sebaiknya diberikan segera mungkin setelah terjadinya


trauma. Antibiotik adalah yang berspektrum luas, yaitu sefalosporin generasi I
(cefazolin 1-2 gram) dan dikombinasikan dengan aminoglikosid (gentamisin 1-2
mg/kgBB tiap 8 jam) selama 5 hari. Selanjutnya perawatan luka dilakukan setiap
hari dengan memperhatikan sterilitas, dan pemberian antibiotik disesuaikan
dengan hasil kultur dan sensitifitas terbaru. Bila dalamperawatan ditemukan
gejala dan tanda infeksi, maka dilakukan pemeriksaan kultur dan sensitifitas
ulang untuk penyesuaian ualng pemberian antibiotik yang digunakan. Pemberian
anti tetanus diindikasikan pada fraktur kruris terbuka derajat III berhubungan
dengan kondisi luka yang dalam, luka yang terkontaminasi, luka dengan
kerusakan jaringan yang luas serta luka dengan kecurigaan sepsis. Pada
penderita yang belum pernah mendapat imunisasi anti tetanus dapat diberikan
gemaglobulin anti tetanus manusia dengan dosis 250 unit pada penderita diatas
usia 10 tahun dan dewasa, 125 unit pada usia 5-10 tahun dan 75 unit pada anak
dibawah 5 tahun. Dapat pula diberikan serum anti tetanus dari binatang dengan
dosis 1500 unit dengan tes subkutan0,1 selama 30 menit. Jika telah mendapat
imunisasi toksoid tetanus (TT) maka hanya diberikan 1 dosis boster 0,5 ml
secara intramuskular.
5. Debridement
Operasi bertujuan untuk membersihkan luka dari benda asing dan jaringan mati,
memberikan persediaan darah yang baik di seluruh bagian itu. Dalam anestesi
umum, pakaian pasien dilepas, sementara itu asisten mempertahankan traksi
pada tungkai yang mengalami cedera dan menahannya agar tetap ditempat.
Pembalut yang sebelumnya digunakan pada luka diganti dengan bantalan yang
steril dan kulit di sekelilingnya dibersihkan dan dicukur. Kemudian bantalan
tersebut diangkat dan luka diirigasi seluruhnya dengan sejumlah besar garam
fisiologis. Irigasi akhir dapat disertai obat antibiotika, misalnya basitrasin.
Turniket tidak digunakan karena akan lebih jauh membahayakan sirkulasi dan
menyulitkan pengenalan struktur yang mati. Jaringan itu kemudian ditangani
sebagai berikut :

Kulit

10

Hanya sesedikit mungkin kulit dieksisi dari tepi luka, pertahankan


sebanyak mungkin kulit. Luka perlu diperluas dengan insisi yang
terencana untuk memperoleh daerah terbuka yang memadai. Setelah
diperbesar, pembalut dan bahan asing lain dapat dilepas.

Fasia
Fasia dibelah secara meluas sehingga sirkulasi tidak terhalang.

Otot
Otot yang mati berbahaya, ini merupakan makanan bagi bakteri. Otot
yang mati ini biasanya dapat dikenal melalui perubahan warna yang
keungu-unguannya, konsistensinya yang buruk, tidak dapat berkontraksi
bila dirangsang dan tidak berdarah. Semua otot mati dan yang
kemampuan hidupnya meragukan perlu dieksisi.

Pembuluh darah
Pembuluh darah yang banyak mengalami perdarahan diikat dengan
cermat, tetapi untuk meminimalkan jumlah benang yang tertinggal
dalam luka, pembuluh darah yang kecil dijepit dengan gunting tang
arteri dan dipilin.

Saraf
Saraf yang terpotong biasanya terbaik dibiarkan saja. Tetapi, bila luka
itu bersih dan ujung-ujung saraf tidak terdiseksi, selubung saraf dijahit
dengan bahan yang tidak dapat diserap untuk memudahkan pengenalan
di kemudian hari.

Tendon
Biasanya, tendon yang terpotong juga dibiarkan saja. Seperti halnya
saraf, penjahitan diperbolehkan hanya jika luka itu bersih dan diseksi
tidak perlu dilakukan.

Tulang
Permukaan fraktur dibersihkan secara perlahan dan ditempatkan kembali
pada posisi yang benar. Tulang, seperti kulit, harus diselamatkan dan
fragmen baru boleh dibuang bila kecil dan lepas sama sekali.

Sendi

11

Cedera sendi terbuka terbaik diterapi dengan pembersihan luka,


penutupan sinovium dan kapsul, dan antibiotik sistemik : drainase atau
irigasi sedotan hanya digunakan kalau terjadi kontaminasi hebat.
Debridement dapat juga dilakukan dengan :

Pembersihan luka
Pembersihan luka dilakukan dengan cara irigasi dengan cairan NaCl
fisiologis secara mekanis untuk mengeluarkan benda asing yang
melekat.

Eksisi jaringan yang mati dan tersangka mati (debridement)


Semua jaringan yang kehilangan vaskularisasinya merupakan daerah
tempat pembenihan bakteri sehingga diperlukan eksisi secara operasi
pada kulit, jaringan subkutaneus, lemak, fasia, otot dan fragmenfragmen yang lepas.

Pengobatan fraktur itu sendiri


Fraktur dengan luka yang hebat memerlukan suatu traksi skeletal atau
reduksi terbuka dengan fiksasi eksterna tulang. Fraktur grade II dan III
sebaiknya difiksasi dengan fiksasi eksterna.

Penutupan kulit
Apabila fraktur terbuka diobati dalam waktu periode emas (6-7 jam
mulai dari terjadinya kecelakaan), maka sebaiknya kulit ditutup. Hal ini
tidak dilakukan apabila penutupan membuat kulit sangat tegang. Dapat
dilakukan split thickness skin-graft serta pemasangan drainase isap
untuk mencegah akumulasi darah dan serum pada luka yang dalam.
Luka dapat dibiarkan terbuka setelah beberapa hari tapi tidak lebih dari
10 hari. Kulit dapat ditutup kembali disebut delayed primary closure.
Yang perlu mendapat perhatian adalah penutupan kulit tidak dipaksakan
yang mengakibatkan sehingga kulit menjadi tegang.

Pemberian antibiotik
Pemberian antibiotik bertujuan untuk mencegah infeksi. Antibiotik
diberikan dalam dosis yang adekuat sebelum, pada saat dan seudah
tindakan operasi.

12

Pencegahan tetanus
Semua penderita dengan fraktur terbuka perlu diberikan pencegahan
tetanus. Pada penderita yang telah mendapat imunisasi aktif cukup
dengan pemberian toksoid tapi bagi yang belum, dapat diberikan 250
unit tetanus imunoglobulin (manusia).

6. Penanganan jaringan lunak


Pada kehilangan jaringan lunak yang luas dapat dilakukan soft tissue
tranplantation atau falap pada tindakan berikutnya, sedangkan tulang yang
hilang dapat dilakukan bone grafting setelah pengobatan infeksi berhasil baik.
7. Penutupan luka
Pada luka yang kecil dan tidak banyak kontaminasi setelah dilakukan
debridement dan irigasi dapat langsung dilakukan penutupan secara primer tanpa
tegangan. Pada luka yang luas dan dicurigai kontaminasi yang berat sebaiknya
dirawat secara terbuka, luka dibalut kassa steril dan dilakukan evaluasi setiap
hari. Setelah 5 7 hari dan luka bebas dan infeksi dapat dilakukan penutupan
kulit secara sekunder atau melalui tandur kulit. Pada anak sebaiknya dihindari
perawatan terbuka untuk menghindari terjadi khondrolisis yaitu kerusakan
epiphyseal plate akibat infeksi. Penyambungan tulang pada anak relatif lebih
cepat, maka reposisi dan fiksasi dikerjakan secepatnya untuk mencegahnya
deformitas.
8. Stabilitas fraktur
Dalam melakukan stabilitas fraktur awal penggunaangips sebagai temporary
splinting dianjurkan sampai dicapai penanganan luka yang adekuat, kemudian
bisa dilanjutkan dengan pemasangan gips sirkuler atau diganti fiksasi dalam
dengan plate and screw, intermedullary nail atau external fixator devices sebagai
terapi stabilisasi definitif. Pemasangan fiksasi dalam dapat dipasang setelah luka
jaringan luka baik dan diyakini tidak ada infeksi lagi. Penggunaan fiksasi luar
(external fixation devices) pada fraktur terbuka derajat III adalah salah satu
pilihan untuk memfiksasi fragmen-fragmen fraktur tersebut dan untuk
mempermudah perawatan luka harian.
Imobilisasi Gips (Plaster of Paris)

13

Penggunaan gips sebagai fiksasi agar fragmen-fragmen fraktur tidak bergeser


setelah dilakukan manipulasi / reposisi atau sebagai pertolongan yang bersifat sementara
agar tercapai imobilisasi dan mencegah fragmen fraktur tidak merusak jaringan lunak
disekitarnya. Keuntungan lain dari penggunaan gips adalah murah dan mudah
digunakan oleh setiap dokter, non toksik, mudah digunakan, dapat dicetak sesuai bentuk
anggota gerak, bersifat radiolusen dan menjadi terapi konservatif pilihan. Pada fraktur
terbuka derajat III, dimana terjadi kerusakan jaringan lunak yang hebat dan luka
terkontaminasi,

penggunaan

gips untuk stabilisasi fraktur

cukup

beralasan

untuk mempermudah perawatan luka. Setelah luka baik dan bebas infeksi penggunaan
gips untuk fiksasi fraktur dapat dilanjutkan untuk menunjang secondary bone healing
dengan pembentukan kalus.
Pemasangan fiksasi
Pemasangan fiksasi dalam sering menjadi pilihan terapi yang paling diperlukan
dalam stabilisasi fraktur pada umumnya termasuk fraktur kruris terbuka derajat III.
Pilihan metode yang dipergunakan untuk fiksasi dalam ada beberapa macam, yaitu:
1. Pemasangan plate and screws
Pemasangan fiksasi dalam pada fraktur terbuka mempunyai resiko tinggi terjadi
komplikasi infeksi, non-union dan refraktur. Pada penelitian awalnya
pemasangan plat pada fraktur terbuka diketahui telah memperbaiki fraktur
dengan penyambungan kortek langsung tanpa pembentukan kalus. Osteosit
langsung menyeberangi gap antar fragmen fraktur. Tapi pada kenyataannya
terjadi osteogenesis meduler dan sedikit pembentukan kalus periosteum. Pada
penelitian selanjutnya diketahui bahwa pada pemasangan plat itu sendiri telah
mengganggu vaskularisasi ke kortek tulang oleh plat yang berakibat gangguan
aliran darah yang menyebabkan nonunion. Mengatasi permasalahan ini para
pakar AO/ASIF dari Swiss telah menciptakan antara lain LCDCP (limited
contact dynamic compression plate) dan ada yang membuat inovasi baru dengan
merekonstruksi plat yang non-rigid dengan tidak memasang sekrup yang banyak
sehingga

terjadi

pembentukan

kalus

(Matter,

1997

cit.

Trafton,

2000 ). Pemasangan plat perlu hati-hati dalam melakukan irisan jaringan lunak
agar tidak terjadi kerusakan periosteum, fascia dan otot karena dapat

14

mengakibatkan non-union. Penutupan kulit diatas plat sering mengalami


kesulitan dan dapat terjadi nekrosis kulit atau infeksi superfisial. Untuk
pencegahan kerusakan jaringan lunak dilakukan dengan pemasangan plat
dibawah kulit dan sekrup langsung dipasang ke tulang dengan bantuan alat
fluoroskopi.
2. Pemasangan screws or wires
Untuk melakukan fiksasi fraktur diafisis jarang menghasilkan fraktur yang
stabil. Pemasangan screw banyak digunakan dalam fiksasi fraktuur intraartikuler
dan periartikuler, baik digunakan secara tunggal atau kombinasi bersamaan
dengan pemasangan plat atau external fixation device. (Behrens, 1996).
Pemasangan intramedullary nails/rods
Pada pemasangan reamed intramedullary nails dapat menyebabkan ujung-ujung
fragmen fraktur diafisis mengalami robekan periosteum kehilangan blood supply
sehingga meningkatkan kejadian infeksi dan non-union. Beberapa penelitian
awal menyimpulkan bahwa penggunaan undreamed intramedullary nails pada
fraktur tibia terbuka cukup aman terhadap vaskularisasi intrameduler dan
direkomendasikan untuk stabilisasi fraktur terbuka derajat I,II dan III A,
sedangkan untuk derajat IIIB dan IIIC sementara disarankan dengan traksi atau
fiksasi luar. Secondary nailing dilaksanakan setelah fiksasi luar dengan syarat
tidak ada tanda infeksi local maupun pin tract infection.
3. Pemasangan external fixation devices
Akhir-akhir ini pakar lebih tertarik pemasangan fiksasi luar daripada
pemasangan plat. Menurut Van der Linden dan Larson (1979) pada penelitian
pemasangan plat disbanding konservatif ternyata angka infeksi lebih tinggi pada
pemasangan plat seperti infeksi superfisial, nekross kulit dan osteomielitis.
Kejadian infeksi pada pemasangan plat akan memerulkan operasi berulang kali.
Sedangkan Clifford et al.( 1988) menyarankan pemasangan plat dilaksanakan
untuk stabilisasi fraktur terbuka derajat I dan derajat II dan fraktur avulse.
Menurut Bach dan Hansen (1989) yang membandingkan pemasangan plat
dengan fiksasi luar pada fraktur kruris terbuka menyimpulkan bahwa
pemasangan plat kurang ideal pada fraktur terbuka derajat II dan III. ( cit. CourtBrown et al., 1996). Penggunaan fiksasi luar yang pernah sangat popular di

15

Eropa dan Amerika mempunyai resiko terjadinya komplikasi pada tempat


masuknya pin (pin tract infection) sebesar 20-42 %, dan resiko terjadi malunion
sebagai akibat reduksi yang kurang memadai dan akibat pelepasan fiksasi yang
terlalu awal setelah lama pemasangan. Pda fraktur diafisis tibia, pemasangan
fiksasi luar dengan unilateral frame external fixator merupakan indikasi, tetapi
pada fraktur yang tibia proksimal atau lebih distal penggunaan multiplanar
external fixator yang lebih cepat. (Court-Brown et al., 1996).
KOMPLIKASI FRAKTUR TERBUKA
Komplikasi umum
Syok, koagulasi difus dan gangguan fungsi pernafasan terjadi selama 24 jam
pertama setelah cedera. Juga terdapat reaksi metabolic lambat terhadap cedera yang
terjadi beberapa hari atau beberapa minggu setelah cedera, ini mencangkup peningkatan
katabolisme dan membutuhkan dukungan gizi.

Sindroma peremukan (Crush syndrome)


Sindroma peremukan dapat terjadi kalau sejumlah besar massa otot remuk,

seperti tukang batu yang terjatuh, atau kalau suatu turniket dibiarkan terlalu lama. Bila
kompresi dilepaskan, asam miohematin (sitokrom C), akibat pemecahan otot, dibawa
oleh darah ke ginjal dan menyumbat tubulus. Penjelasan lainnya adalah terjadinya
spasme arteria renalis dan sel tubulus yang anoksia mengalami nekrosis.
Syok hebat, tungkai yang dilepaskan tidak memiliki nadi dan kemudian menjadi
merah, bengkak dan melepuh, sensasi dan tenaga otot dapat hilang. Sekresi ginjal
berkurang dan terjadi uremia keluaran rendah dengan asidosis. Kalau sekresi ginjal
pulih dalam seminggu, pasien dapat bertahan. Sebagian besar pasien, kecuali kalau
diterapi dengan dialysis ginjal, menjadi semakin mengantuk dan mati dalam 14 hari.
Untuk menghindari bencana, tungkai yang remuk hebat dan belum ditangani
selama beberapa jam harus diamputasi. Karena itu, kalau turniket dibiarkan selama
lebih dari 6 jam tungkai harus dikorbankan. Amputasi dilakukan di sebelah atas tempat
penekanan dan sebelum tekanan dilepaskan.
Setelah gaya tekan lenyap, amputasi tidak ada manfaatnya. Tungkai harus tetap
dingin dan syok pasien diterapi. Kalau terjadi oliguria, asupan cairan dan protein
dikurangi, karbohidrat diberikan (melalui mulut atau vena besar), katabolisme protein

16

dikurangi (dengan pemberian neomisin dan steroid anabolik) dan keseimbangan


elektrolit serum dipertahankan. Dialisis ginjal harus dimulai.

Trombosis vena dan emboli paru-paru


Trombosis vena dalam (DVT = deep venous thrombosis) adalah komplikasi

yang paling sering ditemukan pada cedera dan operasi. Insiden yang sebenarnya tidak
diketahui tetapi mungkin lebih besar dari 30 % (Hedges dan Kakkar, 1988). Trombosis
paling sering terjadi dalam vena-vena di btis, dan jarang dalam vena-vena proksimal dip
aha dan pelvis. Thrombosis terutama berasal dari tempat yang terakhir itu dan fragmen
bekunya dibawa ke paru-paru. Insiden emboli paru-paru setelah operasi ortopedik besar
sekitar 5% dan insiden emboli fatal sekitar 0,5%.
Penyebab utama DVT pada pasien pembedahan adalah hipokoagulabilitas darah,
terutama akibat aktivitas factor X oleh tromboplastin yang dilepas oleh jaringan rusak.
Sekali trombosis telah terjadi, factor-faktor sekunder menjadi penting, stasis dapat
diakibatkan oleh turniket atau pembalut yang ketat, tekanan terhadap meja bedah dan
kasur, dan imobilitas yang lama, kerusakan endotel dan peningkatan jumlah dan
kelengketan trombosit dapat diakibatkan oleh cedera atau operasi.
Pasien yang terbanyak menghadapi DVT adalah orang tua, pasien dengan
penyakit kardiovaskular, pasien yang tertahan di tempat tidur setelah cedera dan pasien
yang mengalami artroplasti pinggul (dimana pelebaran reaming pada tulang dan terlalu
banyak manipulasi pada tungkai dapat merupakan factor predisposisi tambahan).

Tetanus
Organism tetanus hanya berkembang dalam jaringan mati. Organism ini

menghasilkan eksotosin yang menuju susunan saraf pusat lewat darah dan saluran getah
bening perineural dari derah yang terinfeksi. Toksin terkait dalam sel tanduk anterior
sehingga tidak dapat dinetralkan oleh antitoksin.
Tetanus ditandai oleh kontraksi tonik, dan belakangan klonik, terutama pada otot
rahang dan muka (trismus, risus sardonicus), otot dekat luka itu sendiri, dan kemudian
pada leher dan badan. Pada akhirnya, diafragma dan otot interkostal dapat kejang dan
pasien mati karena asfiksia.
PROFILAKSIS
Imunisasi aktif pada seluruh masyarakat dengan toksoid tetanus hamper
mencapai ideal. Bagi pasien yang sudah diimunisasi, dosis booster toksoid diberikan

17

walaupun luka terseburt kecil. Pada pasien yang belum diimunisasi, pembersihan luka
yang cepat dan menyeluruh disertai antibiotic mungkin memadai, tetapi kalau luka
terkontaminasi dan terutama kalau operasi tertunda, sebaiknya diberikan antitoksin.
Serum kuda banyak membawa resiko anafilaksis, dan harus digunakan antitoksin
manusia (immunoglobulin tetanus). Kesempatan ini juga digunakan untuk memulai
imunisasi aktif dengan toksoid.
TERAPI
Bila tetanus telah terjadi, sebaiknya diberikan antitoksin intravena (antitoksin
manusia sebagai pllihan). Sedasi yang berat dan obat relaksan otot dapat membantu.
Intubasi trakea dan pernafasan terkendali digunakan untuk pasien dengan kesulitan
bernafas dan menelan.
Sindroma kompartemen
Fraktur pada lengan dan kaki dapat menimbulkan iskemia hebat sekalipun tidak
ada kerusakan pembuluh besar. Perdarahan, edema atau radang (infeksi) dapat
meningkatkan tekanan pada salah satu kompartemen osteofasia. Terdapat penurunan
aliran kapiler yang mengakibatkan iskemia otot, yang akan menyebabkan edema lebih
jauh, mengakibatkan tekanan yang lebih besar lagi dan iskemia lebih hebat, suatu
lingkaran setan yang berakhir. Setelah 12 jam atau kurang, dengan nekrosis saraf dan
otot dalam kompartemen. Saraf dapat mengalami regenerasi, tetapi otot sekali terkena
infark, tidak dapat pulih dan digantikan oleh jaringan fibrosa yang tidak elastic
(kontraktur iskemik Volkman). Rangkaian kejadian yang serupa dapat disebabkan oleh
pembengkakan suatu tungkai dalam suatu cetakan gips yang ketat.
Cedera saraf
Fraktur dapat disertai komplikasi cedera saraf. Keadaan ini terutama sering
ditemukan pada fraktur humerus atau cedera di sekitar lutut. Tanda-tanda yang member
petunjuk harus dicari dalam pemeriksaan awal. Pada cedera tertutup, saraf jarang
terputus, dan penyembuhan spontan harus ditunggu. Kalau belum terjadi penyembuhan
dalam waktu yang diharapkan, saraf harus dieksplorasi, kadang-kadang saraf terjebak
diantara fragmen-fragmen dan kadang-kadang ditemukan terpisah. Pada fraktur terbuka,
suatu lesi lengkap (neurotmesis) kemungkinan besar terjadi. Saraf dieksplorasi selama
debridement luka dan diperbaiki, atau sebagi prosedur sekunder 3 minggu kemudian.

18

Kompresi saraf akut kadang-kadang terjadi pada fraktur atau dislokasi di sekitar
pergelangan tangan. Keluhan baal atau parestesia dalam distribusi saraf ulnaris atau
medianus harus ditanggapi secara serius dan saraf dengan segera dieksplorasi dan
dilakukan dekompresi.
Cedera visceral
Fraktur pada badan sering disertai komplikasi cedera pada visera yang
dibawahnya, yang paling penting adalah penetrasi pada paru-paru dengan pneumotoraks
yang membahayakan jiwa setelah fraktur tulang rusuk dan rupture kandung kemih atau
uretra pada fraktur pelvis. Cedera ini membutuhkan terapi darurat, sebelum fraktur
ditangani.

Komplikasi belakang tulang


Nekrosis avaskular
Daerah tertrntu dikenal memiliki kecenderungan untuk mengalami iskemia dan

nekrosis tulang setelah cedera. Daerah-daerah itu adalah :


1. Kaput femoralis (setelah fraktur pada leher femur atau dislokasi pada pinggul).
2. Bagian proksimal dari skafoid (akibat fraktur pada pinggangnya).
3. Lunatum (setelah dislokasi).
4. Tubuh talus (setelah fraktur pada lehernya).
Tepatnya ini adalah komplikasi dini dari cedera tulang karena iskemia terjadi
selama beberapa jam pertama setelah fraktur atau dislokasi. Tetapi, efek-efek klinik dan
radiologi tidak terlihat sampai beberapa minggu atau bahkan beberapa bulan kemudian.
Penyatuan terlambat
Jangan sekali-kali mengandalkan untuk menentukan kapan terapi dapat
dihentikan. Kalau waktunya terlalu lama, digunakan istilah penyatuan terlambat.
Penyebabnya karena pasokan darah tidak cukup. Bila terjadi fraktur pada tulang yang
tidak memiliki serabut otot, terdapat resiko penyatuan lambat. Tulang yang mudah
terserang antara lain adalah tulang yang cenderung terkena nekrosis avaskular, dan juga
tibia bagian bawah(terutama fraktur ganda).
Infeksi fraktur terbuka lambat untuk menyatu, mungkin karena tidak banyak
hematoma di sekitar fraktur tempat kalus penyelubung terbentuk. Infeksi dapat
menunda penyatuan lebih jauh.
Pembebatan yang tidak benar ini mencangkup :

19

1. Pembebatan yang tidak mencukupi, karena itu gips standar di bawah


lutut tidak cukup menahan fraktur batang tibia.
2. Traksi yang terlalu banyak, yang menarik tulang hingga terpisah.
Tulang disampingnya utuh kalau satu tulang pada lengan bawah atau kaki tidak
patah, ujung-ujung frajtur pada tulang lainnya dapat tetap terpisah dan kemudian terjadi
penundaan.
Non union
Bila keterlambatan penyatuan tidak diketahui, meskipun fraktur telah diterapi
dengan memadai, cenderung terjadi non-union. Penyebab lain ialah adanya celah yang
terlalu lebar dan interposisi jaringan.
Celah terlalu lebar, kalau permukaan fraktur terpisah terlalu jauh, penyatuan
sangat lama atau mungkin tidak pernah terjadi. Celah dapat diakibatkan oleh fraktur
tembakan yang menghancurkan banyak bagian tulang. Akibat bagian tulang yang lepas
dalam kecelakaan yang menyebabkan fraktur. Reaksi otot dimana otot pasien sendiri
menarik kedua fragmen hingga terpisah (seperti pada fraktur patela), atau akibat terapi
dengan traksi yang berlebih.
Interposisi non-union dapat terjadi bila salah satru dari jaringan berikut ini
berada di antara ujung-ujung tulang periosteum (misalnya selapis periosteum pada
fraktur mata kaki), otot (misalnya fraktur femur dapat menembus otot kuadriseps),
kartilago (misalnya fraktur kondilus lateral humerus dapat demikian terputar sehingga
permukaan sendi kartilaginosa menghadap bahannya).
Malunion
Bila fragmen menyambung pada posisi yang tidak memuaskan (angulasi, rotasi
atau pemendekan yang tidak dapat diterima) fraktur itu dikatakan mengalami malunion.
Penyebabnya

adalah

tidak

tereduksinya

fraktur

secara

cukup,

kegagalan

mempertahankan reduksi ketika terjadi penyembuhan, atau kolaps yang berangsurangsur pada tulang yang osteoporotik atau kominutif.

Komplikasi belakang-jaringan lunak


Ulkus dekubitus (bed sores)
Ulkus dekubitus terjadi pada manusia atau pasien yang lumpuh. Kulit, terutama

di atas sakrum dan tumit, mudah terserang. Perawatan yang cermat dan aktivitas lebih

20

awal biasanya dapat mencegah ulkus dekubitus. Sekali ulkus ini terjadi, terapi sukar,
mungkin diperlukan eksisi jaringan nekrotik dan pencangkokan kulit.
Ruptur tendon
Ruptur belakangan pada tendon ekstensor polisis longus dapat terjadi 6-12
minggu setelah fraktur radius bagian bawah. Penjahitan langsung jarang berhasil dan
ketidakstabilan yang diakibatkannya diterapi dengan memindahkan tendon ekstensor
indisis peoprius ke ujung distal tendon ibu jari yang robek. Ruptur belakangan pada
kaput biseps panjang setelah fraktur leher humerus biasanya tidak memerlukan terapi.

21

Anda mungkin juga menyukai