Jessica de Queljoe
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510
email : jessicadequeljoe@yahoo.com
Pendahuluan
Manusia dapat hidup dan menjalani aktivitas sehari-harinya karena dibantu oleh
adanya tulang dan otot sebagai alat penggerak tubuh. Tulang mempunyai banyak fungsi yaitu
sebagai penunjang jaringan tubuh, pelindung organ tubuh, memungkinkan gerakan dan
berfungsi sebagai tempat penyimpan garam mineral, namun fungsi tersebut bisa saja hilang
dengan terjatuh, benturan, atau kecelakaan. Pengertian dari fraktur adalah terputusnya
kontinuitas tulang dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa.1
Tulang, otot dan sendi merupakan jaringan padat yang terdapat dalam tubuh yang
berfungsi sebagai alat gerak utama bagi tubuh. Dalam melaksanakan fungsinya ketiga
komponen tubuh ini saling berkaitan. Apabila salah satu komponennya saja mengalami
masalah seperti trauma atau cacat maka fungsi fisiologisnya tidak dapat dijalankan dengan
baik.1
Pembahasan
Anamnesis
Hal yang perlu ditanyakan pada pasien yang datang dengan keluhan pada ekstremitasnya
adalah:2
Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi
Lihat apakah terjadi pembengkakan jaringan lunak sekitar daerah yang mengalami
fraktur dan ada tidaknya defromitas. Melihat apakah ada penonjolan abnormal, angulasi,
rotasi, dan pemendekan. Cari functio lesa (hilangnya fungsi), bandingkan antara sinistra dan
dextra apakah ada kelainan atau tidak seperti panjang pendek kedua ekstermitas. Bengkak
dan deformitas ditentukan dengan inspeksi pada ekstremitas yang cedera dibandingkan
dengan anggota pada sisi yang lain. Tetapi bisa dikaburkan oleh adanya pembengkakan
jaringan lunak karena oedema dan hemorraghi. Prosessus styliodeus ulna dan radii pada
pergelangan tangan merupakan titik-titik yang pentingan untuk perbandingan.3
b. Palpasi
Merasakan adanya nyeri tekan atau tidak, namun selain di tempat trauma (selain
pemeriksaan nyeri sumbu) karena kalau tidak akan menambah trauma. Merasakan adanya
kalor atau tidak sebagai salah satu gejala inflamasi. Palpasi bertujuan untuk mengtahui ada
tidaknya rabaan pulsasi distal dari fraktur, nyeri tekan dan krepitasi. Pemeriksaan dapat
dikerjakan dengan menggerakan fragmen fraktur satu terhadap yang lain. Satu tangan
diletakkan diatas fragmen fraktur dan tangan yang lainnya diletakan dibawahnya.3,4
c. Pemeriksaan Gerak
Menguji kemampuan gerak ekstremitas dengan tes gerak sendi normal. Pada
ekstremitas normal, tidak akan menemukan kesulitan untuk melakukannya. Perhatikan
adanya krepitasi atau tidak, nyeri saat digerakkan, serta seberapa jauh gangguan-gangguan
fungsi gerak yang ditimbulkan oleh fraktur (range of motion) serta kekuatan ekstremitas
sendiri.5
Pada fraktur yang inkomlplit dan impacted tak ada gerakan yang abnormal. Jadi bila
tak ada gerakan yang abnormal belum tentu tak ada fraktur. Jika terdapat gerakan yang
abnormal, maka menunjukan tanda ini akan menimbulkan rasa nyeri dan menambah
kerusakan jaringan lunak setempat.5
d. Pemeriksaan Khusus
Menguji gerakan sendi dengan gerakan yang khusus dapat dilakukan oleh ekstremitas
yang tanpa mengalami gangguan/masalah.3
Pemeriksaan penunjang
Bila secara klinis ada atau diduga ada fraktur, maka harus dibuat 2 foto tulang yang
bersangkutan. Sebaiknya dibuat foto anteroposterior/AP dan lateral. Bila kedua proyeksi ini
tidak dapat dibuat karena keadaan pasien yang tidak mengizinkan, maka dibuat 2 proyeksi
yang tegak lurus satu sama lain. Bila hanya 1 proyeksi yang dibuat, ada kemungkinan fraktur
tidak dapat dilihat. 4
a. Ronsen
Menerapkan hukum DUA, yaitu: dua sendi (proksimal dan distal dari letak trauma),
dua sisi (anterior proksimal dan lateral), serta dua ekstremitas yang serupa (sebagai
perbandingan, ekstremitas sinistra dan dekstra).4
b. MRI
MRI telah menggantikan CT Scan di banyak tempat karena lebih sensitif dalam
banyak hal terutama dalam pemeriksaan soft tissue. MRI tidak hanya mampu mendeteksi
radang pada luka, akan tetapi juga mempunyai kemampuan untuk mendeteksi abnormalitas
dari ligament di sekeliling jaringan lunak dan struktur tulang. Akan tetapi dalam pemeriksaan
fraktur tulang CT Scan lebih baik, karena CT scan dapat memperlihatkan ostopenia, yang
biasanya paling awal ditemukan pada fatigue cortical bone injury, sedangkan MRI tidak
dapat mendeteksinya, karena MRI lebih efektif dalam mendeteksi ligamen dan radang pada
luka.4
c. CT-Scan
Dalam mendiagnosis fraktur femur, pemeriksaan CT-scan bermanfaat dalam
menggambarkan tingkat keterlibatan artikuler dan derajat tekanan fraktur. CT Scan banyak
dimanfaatkan untuk melihat karateristik dari fraktur dan menaksir derajat dari fraktur dan
robekannya dapat merencanakan intervensi bedah.6
CT rangka memberikan serangkaian tomogram, yang diterjemahkan oleh komputer
dan ditampilkan pada monitor, sehingga mewakili citra potongan lintang berbagai lapisan
(atau potongan) tulang. Teknik ini dapat membuat rekonstruksi cita bidang potongan lintang,
horizontal, sagital, dan koronal. Tujuan dilakukan CT rangka adalah untuk menentukan ada
dan luasnya tumor tulang primer, metastasis rangka, tumor jaringan lunak, cedera pada
ligament atau tendon, serta fraktur, berfungsi pula untuk mendiagnosis kelainan sendi yang
sulit dideteksi dengan metode lain.6
Pada fraktur, pemeriksaan laboratorium yang perlu diketahui adalah Hb dan
hematokrit sering rendah akibat pendarahan, laju endap darah (LED) meningkat bila
kerusakan jaringan lunak sangat luas. Pada masa penyembuhan fraktur, kadar kalsium serum
dan fosfor akan meningkat di dalam darah. Kadar normal kalsium serum adalah 4,5-5,5 mg/l
atau 8,0 -20,5 mg/dl, sedangkan kadar normal fosfor adalah 2,5-4,0 mg/dl dalam serum.7
Pengertian Fraktur
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuinitas jaringan tulang dan/atau
tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa atau trauma. Fraktur dapat terjadi
pada hampir semua tulang dalam tubuh manusia baik melibatkan jaringan tubuh atau organ
lain ataupun tidak mengganggu jaringan atau organ tubuh lain.8
Klasifikasi Fraktur
Working Diagnosa
Fraktur atau patah tulang adalah suatu keadaan yang disebabkan oleh trauma atau
oleh karena tenaga fisik. Working diagnosanya yaitu fraktur tertutup regio antebrachii dekstra
1/3 distal dengan adanya soft tissue swelling atau pembengkakan pada jaringan. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan gejala-gejala klinis seperti terdapat adanya pembengkakan atau
edema, deformitas pada antebrachii 1/3 distal. Pada palpasi teraba penonjalan fragmen tulang
pada dorsal os radius 1/3 distal, terdapat nyeri tekan dan tidak dapat digerakkan. Tanda-tanda
tersebut menunjukan adanya fraktur. Dan pada pemeriksaan penunjang ditemukan adanya
fraktur di regio antebrachii dekstra 1/3 distal yaitu 1/3 bagian bawah tulang tangan yang
menunjang diagnosis kerja. Gambaran kliniknya biasanya tampak jelas karena fraktur radius
ulna sering berupa fraktur yang disertai dislokasi fragmen fraktur. Pengobatannya berupa
reposisi tertutup dengan anestesi. Setelah tereduksi dilakukan pemasangan gips sampai ke
atas siku untuk 6-8 minggu. Mungkin pengobatan secara konservatif tidak memuaskan karena
mudah terjadi dislokasi kembali fragmen di dalam gips. Apabila secara reduksi tertutup tidak
berhasil maka tindakan operatif menjadi pilihan. 6
Fraktur radius saja biasanya terjadi akibat suatu trauma langsung dan sering terjadi
pada bagian proksimal radius. Fraktur ini sulit direposisi secara tertutup atau akan mengalami
redislokasi bila berhasil. Oleh karena itu dianjurkan reposisi terbuka dan biasanya dipasang
fiksasi intern dengan plat jenis kompresi. 6
Fraktur ulna biasanya disebabkan oleh trauma langsung misalnya menangkis pukulan
dengan lengan bawah. Relatif sering terjadi fraktur yang tidak berubah posisinya. Pengobatan
biasanya konservatif dengan pemasangan gips. Kadang juga terjadi fraktur yang terdislokasi,
dalam hal ini harus diteliti apakah ada juga fraktur tulang radius atau dislokasi sendi
radioulnar. Pada fraktur yang kominutif dapat terjadi penyatuan lambat atau pseudoartritis
dan ini memerlukan tindakan operatif disertai cangkok tulang. 6
Trauma yang menyebabkan fraktur di daerah pergelangan tangan atau radius distal
biasanya merupakan trauma langsung, yaitu jatuh pada permukaan tangan sebelah volar atau
dorsal. Jatuh pada permukaan tangan sebelah volar menyebabkan dislokasi fragmen fraktur
sebelah distal ke arah dorsal (fraktur colles) dan sebaliknya jatuh pada permukaan tangan
sebelah dorsal menyebabkan dislokasi fragmen distal ke arah volar (fraktur smith). 6
1. Trauma
Fraktur akibat trauma adalah jenis fraktur yang sering terjadi, misalnya jatuh,
kecelakaan lalu lintas, kecelakaan dalam berolahraga atau olahraga yang
berlebihan.10
2. Fraktur patologis
Fraktur yang terjadi pada tulang karena adanya kelainan/penyakit yang
menyebabkan kelemahan pada tulang. Fraktur patologis dapat terjadi secara
spontan atau akibat trauma ringan.10
3. Fraktur stress
Terjadi karena adanya trauma yang terus menerus pada suatu tempat tertentu,
misalnya pada pelari jarak jauh, penari ballet, dan sebagainya.10
Epidemiologi
Badan kesehatan dunia (WHO) mencatat terdapat lebih dari 7 juta orang meninggal
dikarenakan insiden kecelakaan dan sekitar 2 juta orang mengalami kecacatan fisik. Hasil
data Riset Kesehatan Dasar (RIKERDAS) tahun 2011, di Indonesia terjadinya fraktur yang
disebabkan oleh cedera yaitu karena jatuh, kecelakaan lalu lintas dan trauma tajam / tumpul.
Dari 45.987 peristiwa terjatuh yang mengalami fraktur sebanyak 1.775 orang (3,8 %),
dari 20.829 kasus kecelakaan lalu lintas, mengalami fraktur sebanyak 1.770 orang (8,5 %),
dari 14.127 trauma benda tajam / tumpul, yang mengalami fraktur sebanyak 236 orang (1,7
%).6
Patofisiologi
Fraktur terjadi apabila ada suatu trauma yang mengenai tulang, dimana trauma
tersebut kekuatannya melebihi kekuatan tulang, ada 2 faktor yang mempengaruhi terjadinya
fraktur yaitu ekstrinsik (meliputi kecepatan,durasi trauma yang mengenai tulang, arah dan
kekuatan), intrinsik (meliputi kapasitas tulang mengabsorbsi energi trauma, kelenturan,
kekuatan adanya densitas tulang. Yang dapat menyebabkan terjadinya patah pada tulang
bermacam-macam antara lain trauma (langsung dan tidak langsung), akibat keadaan patologi
serta secara spontan. Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada tulang dan
terjadi fraktur pada daerah tekanan. Trauma tidak langsung terjadi apabila trauma dihantarkan
ke daerah yang lebih jauh dari daerah fraktur, pada keadaan ini biasanya jaringan lunak tetap
utuh. Tekanan pada tulang dapat berupa tekanan berputar, membengkok, kompresi bahkan
tarikan. Sementara kondisi patologis disebabkan karena kelemahan tulang sebelumnya akibat
kondisi patologis yang terjadi di dalam tulang. Sementara fraktur spontan terjadi akibat stress
tulang yang terjadi terus menerus misalnya pada olahragawan.10
Gejala Klinis
Penatalaksanaan Fraktur
Pengelolaan patah tulang secara umum mengikuti prinsip pengobatan kedokteran pada
umumnya yaitu yang pertama dan utama adalah jangan cederai pasien. cedera iatrogen
tambahan pada pasien terjadi akibat tindakan yang salah dan tindakan yang berlebihan.4
a. Menghilangkan / mengurangi rasa nyeri. Nyeri berasal dari sekitar tulang yang fraktur
dan atau spasme otot, umumnya rasa nyeri hilang dengan imobilisasi dan pemberian
obat analgetik. 4
b. Reposisi dan mempertahankan posisi/imobilisasi. Reposisi dilakukan sesempurna
mungkin, dapat dilakukan secara tertutup atau terbuka atau dengan operasi.
Imobilisasi dari luar dilakukan dengan menggunakan alat traksi kontinu atau gips, dari
dalam dilakukan dengan fiksasi dalam dengan menggunakan “plate” atau “nail”
melalui cara operasi. 4
c. Rehabilitasi dilakukan untuk mengembalikan fungi secara optimal dengan
memberikan latihan gerakan otot secara isotonic atau isometric. 4
Agar penyembuhan atau penyambungan patah tulang terjadi secara normal, sejumlah
persyaratan harus dipenuhi: 12
1. Viabilty of fragment (suplai darah utuh) artinya fragmen tulang yang patah tersebut
jaringan masih tersuplai darah dengan baik sehingga masih hidup.12
2. Immobilitas : tulang yang patah tidak boleh bergerak, hal ini dapat dicapai dengan
tidak bergerak, imobilisasi eksternal.12
3. Tidak ada infeksi.12
Proses penyembuhan umumnya sama untuk semua jenis patah tulang, yakni melalui
serangkaian tahapan, sehingga terbentuk tulang baru dan mengisi di daerah retak atau celah
antara patahan tulang sehingga menyambung sempurna. Jika patah tulang parah, masalah
yang memperlambat proses penyembuhan dapat terjadi.12
Komplikasi Fraktur
Infeksi, infeksi dapat terjadi karena penolakan tubuh terhadap implant berupa internal
fiksasi yang dipasang pada tubuh pasien. Infeksi juga dapat terjadi karena luka yang tidak
steril.13
Penyembuhan fraktur berkisar antara 12-16 minggu pada orang dewasa. Pada anak-
anak waktu penyembuhan sekitar ½ waktu penyembuhan orang dewasa. Pada kasus fraktur
yang berat penyembuhan dapat terjadi berbulan-bulan. Penilaian penyembuhan frakur ( union
) didasarkan atas union secara klinis dan union secara radiologik.13
Penilaian secara klinis dilakukan dengan pemeriksaan pada daerah fraktur dengan
melakukan pembengkokan pada daerah fraktur, pemutaran dan kompresi untuk mengetahui
adanya gerakan atau perasaan nyeri pada penderita. Keadaan ini dapat dirasakan oleh
pemeriksa atau penderita sendiri. Apabila tidak ditemukan pergerakan maka secara klinis
telah terjadi union fraktur.13
Penutup
Fraktur atau patah tulang dapat terjadi pada siapa saja dan pada bagian tubuh apa saja.
Sebagian besar fraktur disebabkan oleh adanya trauma. Pada Fraktur antebrachii terjadi
kontinuitas pada radius dan ulna. Oleh karena itu, jika terjadi fraktur harus ditangani segera,
supaya masalah fraktur bisa berdampak buruk.
Daftar Pustaka
1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M. Buku ajar ilmu penyakit dalam.
Jakarta: Interna Publishing; 2009.h.25-7.
2. Davies K. Nyeri tulang dan otot. Jakarta: Erlangga; 2007.h.90-2.
3. Dunphy B. Pemeriksaan Fisik Bedah. Jakarta: Yayasan Essentia Media; 2007.
4. Universitas airlangga. Pedoman diagnosis dan terapi. Surabaya; 2006.h.137-40.
5. Ekayuda I. Radiologi diagnostik. Jakarta: Gaya baru; 2005. h. 32.
6. Kowalak JP. Buku pegangan uji dignostik. Jakarta: EGC; 2009.h.795-820.
7. Suratun, Heryati, Manurung S, dkk. Klien gangguan system musculoskeletal. Jakarta:
EGC; 2008.h.15-32.
8. Sjamsuhidajat R, Jong WD. Buku ajar ilmu bedah. Edisi Revisi. Jakarta: EGC;
2008.h.1138-76.
9. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi 6.
Jakarta; EGC; 2005.h.1365-8.
10. Way LW, Doherty GM. Surgical diagnosis and treatment. 11th Ed, International Ed. USA
: McGraw-Hil; 2003.h.1144-284.
11. Rasjad C. Pengantar ilmu bedah ortopedi. Edisi ke-3. Jakarta: Yarsif Watampone; 2007.
hal 451-4.
12. Hoppenfeld S. Terapi dan rehabilitasi fraktur. Jakarta: EGC; 2011.h. 353-9.
13. Sabiston. Buku ajar bedah. Jakarta: EGC; 2000. h. 384-5.