“Fraktur”
Oleh :
Muhammad Tarmidzi Idris
NIM.2111102412116
2. Etiologi Fraktur
a. Trauma langsung
Benturan pada lengan bawah yang menyebabkan patah tulang radius dan ulna, patah tulang pada tempat benturan.
b. Trauma tidak langsung
Jatuh bertumpu pada lengan yang menyebabkan patah tulang klavikula, patah tulang tidak pada tempat benturan
melainkan oleh karena kekuatan trauma diteruskan oleh sumbu tulang dan terjadi fraktur di tempat lain
c. Etiologi lain
• Trauma tenaga fisik ( Tabrakan, benturan )
• Penyakit pada tulang ( proses penuaan, kanker tulang)
• Degenerasi
3. Klasifikasi
Berikut ini terdapat beberapa klasifikasi Fraktur sebagaimana yang dikemukakan oleh para ahli:
A. Menurut Depkes RI (1995), berdasarkan luas dan garis traktur meliputi:
1) Fraktur komplit adalah patah atau diskontinuitas jaringan tulang yang luas sehingga tulang terbagi menjadi dua bagian
dan garis patahnya menyeberang dari satu sisi ke sisi lain serta mengenai seluruh korteks.
2) Fraktur inkomplit adalah patah atau diskontinuitas jaringan tulang dengan garis patah tidak menyeberang, sehingga
tidak mengenai seluruh korteks (masih ada korteks yang utuh).
B. Menurut Black dan Matassarin (1993) yaitu fraktur berdasarkan hubungan dengan dunia luar, meliputi:
1) Fraktur tertutup yaitu fraktur tanpa adanya komplikasi, kulit masih utuh, tulang tidak keluar melewati kulit.
2) Fraktur terbuka yaitu fraktur yang merusak jaringan kulit, karena adanya hubungan dengan lingkungan luar, maka
fraktur terbuka potensial terjadi infeksi. Fraktur terbuka dibagi menjadi 3 grade yaitu:
a) Grade I : Robekan kulit dengan kerusakan kulit dan otot.
b) Grade II : Seperti grade I dengan memar kulit dan otot.
c) Grade III : Luka sebesar 6-8 cm dengan kerusakan pembuluh darah, syaraf, otot dan kulit.
C. Long (1996) membagi fraktur berdasarkan garis patah tulang, yaitu:
1) Green Stick yaitu pada sebelah sisi dari tulang ( retak dibawah lapisan periosteum) / tidak mengenai seluruh kortek,
sering terjadi pada anak-anak dengan tulang lembek.
2) Transverse yaitu patah melintang ( yang sering terjadi ).
3) Longitudinal yaitu patah memanjang.
4) Oblique yaitu garis patah miring.
5) Spiral yaitu patah melingkar.
6) Communited yaitu patah menjadi beberapa fragmen kecil
D. Black dan Matassarin (1993) mengklasifikasi lagi fraktur berdasarkan kedudukan fragmen yaitu:
1) Tidak ada dislokasi.
2) Adanya dislokasi, yang dibedakan menjadi:
a. Disklokasi at axim yaitu membentuk sudut.
b. Dislokasi at lotus yaitu fragmen tulang menjauh.
c. Dislokasi at longitudinal yaitu berjauhan memanjang.
d. Dislokasi at lotuscum controltinicum yaitu fragmen tulang menjauh dan over lapp ( memendek ).
4. Manifestasi Klinis
Lewis (2006) menyampaikan manifestasi klinik fraktur adalah sebagai berikut:
A. Nyeri
Nyeri dirasakan langsung setelah terjadi trauma. Hal ini dikarenakan adanya spasme otot, tekanan dari patahan tulang
atau kerusakan jaringan sekitarnya.
B. Bengkak / edema.
Edema muncul lebih cepat dikarenakan cairan serosa (protein plasma) yang terlokalisir pada daerah fraktur dan extravasi
daerah di jaringan sekitarnya.
C. Memar / ekimosis
Merupakan perubahan warna kulit sebagai akibat dari extravasi daerah di jaringan sekitarnya.
D. Spame otot
Merupakan kontraksi otot involunter yang terjadi disekitar fraktur.
E. Penurunan sensasi
Terjadi karena kerusakan syaraf, tertekannya syaraf karena edema.
F. Gangguan fungsi
Terjadi karena ketidakstabilan tulang yang fraktur, nyeri atau spasme otot, paralysis dapat terjadi karena kerusakan
syaraf.
G. Mobilitas abnormal
Adalah pergerakan yang terjadi pada bagian-bagian yang pada kondisi normalnya tidak terjadi pergerakan. Ini terjadi
pada fraktur tulang panjang.
H. Krepitasi
Merupakan rasa gemeretak yang terjadi jika bagian-bagaian tulang digerakkan.
I. Deformitas
Abnormalnya posisi dari tulang sebagai hasil dari kecelakaan atau trauma dan pergerakan otot yang mendorong fragmen
tulang ke posisi abnormal, akan menyebabkan tulang kehilangan bentuk normalnya.
J. Gambaran X-ray menentukan fraktur
Gambaran ini akan menentukan lokasi dan tipe fraktur
Anamnesis
Biasanya penderita datang dengan suatu trauma (traumatik, fraktur), baik yang hebat maupun trauma ringan dan diikuti
dengan ketidakmampuan untuk menggunakan anggota gerak. Anamnesis harus dilakukan dengan cermat, karena fraktur tidak
selamanya terjadi di daerah trauma dan mungkin fraktur terjadi pada daerah lain.
Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan awal penderita, perlu diperhatikan adanya:
1. Syok, anemia atau perdarahan
2. Kerusakan pada organ-organ lain, misalnya otak, sumsum tulang belakang atau organ-organ dalam rongga toraks, panggul
dan abdomen
3. Fraktur predisposisi, misalnya pada fraktur patologis
Pemeriksaan lokal
1. Inspeksi (Look)
- Bandingkan dengan bagian yang sehat
- Perhatikan posisi anggota gerak
- Keadaan umum penderita secara keseluruhan
- Ekspresi wajah karena nyeri
- Lidah kering atau basah
- Adanya tanda-tanda anemia karena perdarahan
- Apakah terdapat luka pada kulit dan jaringan lunak untuk membedakan fraktur tertutup atau fraktur terbuka
- Ekstravasasi darah subkutan dalam beberapa jam sampai beberapa hari
- Perhatikan adanya deformitas berupa angulasi, rotasi dan kependekan
- Lakukan survei pada seluruh tubuh apakah ada trauma pada organ-organlain
- Perhatikan kondisi mental penderita
- Keadaan vaskularisasi
2. Palpasi (Feel)
Palpasi dilakukan secara hati-hati oleh karena penderita biasanya mengeluh sangatnyeri.
- Temperatur setempat yang meningkat
- Nyeri tekan; nyeri tekan yang bersifat superfisial biasanya disebabkan oleh kerusakan jaringan lunak yang dalam
akibat fraktur pada tulang
- Krepitasi; dapat diketahui dengan perabaan dan harus dilakukan secara hati-hati
- Pemeriksaan vaskuler pada daerah distal trauma berupa palpasi arteri radialis, arteri dorsalis pedis, arteri tibialis
posterior sesuai dengan anggota gerak yang terkena
- Refilling (pengisian) arteri pada kuku, warna kulit pada bagian distal daerah trauma , temperatur kulit
- Pengukuran tungkai terutama pada tungkai bawah untuk mengetahui adanya perbedaan panjang tungkai
3. Pergerakan (Move)
Pergerakan dengan mengajak penderita untuk menggerakkan secara aktif dan pasif sendi proksimal dan distal dari daerah
yang mengalami trauma. Pada pederita dengan fraktur, setiap gerakan akan menyebabkan nyeri hebat sehingga uji pergerakan
tidak boleh dilakukan secara kasar, disamping itu juga dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan lunak seperti pembuluh
darah dan saraf.
5. Pemeriksaan Radiologi.
- Sinar –X
Dengan pemeriksaan klinik kita sudah dapat mencurigai adanya fraktur. Walaupun demikian pemeriksaan
radiologis diperlukan untuk menentukan keadaan, lokasi serta eksistensi fraktur. Untuk menghindari nyeri serta
kerusakan jaringan lunak selanjutnya, maka sebaiknya kita mempergunakan bidai yang bersifat radiolusen untuk
imobilisasi sementara sebelum dilakukan pemeriksaan radiologis.
Tujuan pemeriksaan radiologis:
Untuk mempelajari gambaran normal tulang dan sendi.
Untuk konfirmasi adanya fraktur.
Untuk mengetahui sejauh mana pergerakan dan konfigurasi fragmen serta pergerakannya.
Untuk mengetahui teknik pengobatan.
Untuk menentukan apakah fraktur itu baru atau tidak.
Untuk menentukan apakah fraktur intra-artikuler atau ekstra-artikuler.
Untuk melihat adanya keadaan patologis lain pada tulang.
Untuk melihat adanya benda asing.
- Pemeriksaan dengan sinar-X harus dilakukan dengan ketentuan ´Rules of Two´:
Dua pandangan
Fraktur atau dislokasi mungkin tidak terlihat pada film sinar-X tunggal dan sekurang-kurangnya harus dilakukan
2 sudut pandang (AP & Lateral/Oblique).
Dua sendi
Pada lengan bawah atau kaki, satu tulang dapat mengalami fraktur atau angulasi. Tetapi angulasi tidak mungkin
terjadi kecuali kalau tulang yang lain juga patah, atau suatu sendi mengalami dislokasi. Sendi-sendi diatas dan di bawah
fraktur keduanya harus disertakan dalam foto sinar-X.
Dua tungkai
Pada sinar-X anak-anak epifise dapat mengacaukan diagnosis fraktur. Foto pada tungkai yang tidak cedera akan
bermanfaat.
- Pencitraan Khusus : Umumnya dengan foto polos kita dapat mendiagnosis fraktur, tetapi perlu dinyatakan apakah
fraktur terbuka atau tertutup, tulang mana yang terkena dan lokalisasinya, apakah sendi juga mengalami fraktur serta
bentuk fraktur itu sendiri. Konfigurasi fraktur dapat menentukan prognosis serta waktu penyembuhan fraktur,
misalnya penyembuhan fraktur transversal lebihlambat dari fraktur oblik karena kontak yang kurang. Kadang-kadang
fraktur atau keseluruhan fraktur tidak nyata pada sinar-X biasa.Tomografi mungkin berguna untuk lesi spinal atau
fraktur kondilus tibia. CT atau MRI mungkin merupakan satu-satunya cara yang dapat membantu, sesungguhnya
potret transeksional sangat penting untuk visualisasi fraktur secara tepat pada tempat yang sukar. Radioisotop
scanning berguna untuk mendiagnosis fraktur-tekanan yang dicurigai atau fraktur tak bergeser yang lain.
6. Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk menahan. Tapi apabila tekanan eksternal
yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan
rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam
korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan
terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah.
Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi,
eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses
penyembuhan tulang nantinya Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur.
7. Patway
8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Fraktur Terbuka penanggulangan fraktur terbuka
Beberapa prinsip dasar pengelolaan fraktur tebuka:
- obati fraktur terbuka sebagai satu kegawatan.
- adakan evaluasi awal dan diagnosis akan adanya kelainan yang dapat menyebabkan kematian.
- berikan antibiotic dalam ruang gawat darurat, di kamar operasi dan setelah operasi.
- segera dilakukan debrideman dan irigasi yang baik
- ulangi debrideman 24-72 jam berikutnya
- stabilisasi fraktur.
- biarkan luka tebuka antara 5-7 hari
- lakukan bone graft autogenous secepatnya
- rehabilitasi anggota gerak yang terkena
TAHAP-TAHAP PENGOBATAN FRAKTUR TERBUKA
- Pembersihan luka
Pembersihan luka dilakukan dengan cara irigasi dengan cairan NaCl fisiologis secara mekanis untuk
mengeluarkan benda asing yang melekat.
- Eksisi jaringan yang mati dan tersangka mati (debridemen)
Semua jaringan yang kehilangan vaskularisasinya merupakan daerah tempat pembenihan bakteri sehingga
diperlukan eksisi secara operasi pada kulit, jaringan subkutaneus, lemak, fascia, otot dan fragmen2 yang lepas
- Pengobatan fraktur itu sendiri
Fraktur dengan luka yang hebat memerlukan suatu fraksi skeletal atau reduksi terbuka dengan fiksasi eksterna
tulang. fraktur grade II dan III sebaiknya difiksasi dengan fiksasi eksterna.
- Penutupan kulit
Apabila fraktur terbuka diobati dalam waktu periode emas (6-7 jam mulai dari terjadinya kecelakaan), maka
sebaiknya kulit ditutup. hal ini dilakukan apabila penutupan membuat kulit sangat tegang. dapat dilakukan split thickness
skin-graft serta pemasangan drainase isap untuk mencegah akumulasi darah dan serum pada luka yang dalam. luka dapat
dibiarkan terbuka setelah beberapa hari tapi tidak lebih dari 10 hari. kulit dapat ditutup kembali disebut delayed primary
closure. yang perlu mendapat perhatian adalah penutupan kulit tidak dipaksakan yang mengakibatkan sehingga kulit
menjadi tegang.
- Pemberian antibiotic
Pemberian antibiotik bertujuan untuk mencegah infeksi. antibiotik diberikan dalam dosis yang adekuat sebelum,
pada saat dan sesuadah tindakan operasi
Terdapat beberapa tujuan penatalaksanaan fraktur menurut Henderson (1997), yaitu mengembalikan atau memperbaiki
bagian-bagian yang patah ke dalam bentuk semula (anatomis), imobilisasi untuk mempertahankan bentuk dan memperbaiki
fungsi bagian tulang yang rusak.
A. Reposisi / reduksi
Jenis-jenis fracture reduction ( reposisi ) yaitu:
1. Manipulasi atau close reduction
Adalah tindakan non bedah untuk mengembalikan posisi, panjang dan bentuk. Close reduksi dilakukan
dengan local anesthesia ataupun umum.
2. Open reduction
Adalah perbaikan bentuk tulang dengan tindakan pembedahan. sering dilakukan dengan internal fixasi
menggunakan kawat, screws, pins, plate, intermedullary rods atau nail. Kelemahan tindakan ini adalah
kemungkinan infeksi dan komplikasi berhubungan dengan anesthesia. Jika dilakukan open reduksi internal fixasi
pada tulang (termasuk sendi) maka akan ada indikasi untuk melakukan ROM.
Salah satunya adalah tindakan ORIF(Open Reduction Internal Fixation) atau fiksasi internal dengan
pembedahan terbuka akan mengimmobilisasi fraktur dengan melakukan pembedahan dengan memasukan paku,
sekrup atau pin ke dalam tempat fraktur untuk memfiksasi bagian-bagian tulang yang fraktur secara bersamaan.
a) Indikasi ORIF
- Fraktur yang tak bisa sembuh
- Fraktur yang tidak bisa direposisi tertutup
- Fraktur yang dapat direposisi tapi sulit dipertahankan
- Fraktur yang memberikan hasil baik dengan operasi.
3. Traksi
Alat traksi diberikan dengan kekuatan tarikan pada anggota yang fraktur untuk meluruskan bentuk tulang. Ada 2
macam yaitu:
a. Skin Traksi
Skin traksi adalah menarik bagian tulang yang fraktur dengan menempelkan plester langsung pada kulit untuk
mempertahankan bentuk, membantu menimbulkan spasme otot pada bagian yang cedera, dan biasanya digunakan
untuk jangka pendek (48-72 jam0
b. Skeletal traksi
Adalah traksi yang digunakan untuk meluruskan tulang yang cedera pada sendi panjang untuk mempertahankan
bentuk dengan memasukkan pins / kawat ke dalam tulang.
4. Immobilisasi
Setelah dilakukan reposisi dan posisi fragmen tulang sudah dipastikan pada posisi baik hendaknya di
immobilisasi dan gerakkan anggota badan yang mengalami fraktur diminimalisir untuk mencegah fragmen tulang
berubah posisi.
PENANGANAN FISIOTERAPI PADA FRAKTUR
A. Latihan fisiologis otot
Mengikuti imobilisasi, otot disekitar bagian yang fraktur akan kehilangan volume, panjang dan kekuatannya. Adalah
penting jika program latihan yang aman ditentukan dan dievaluasi dibawah pengawasan fisioterapi untuk mengembalikan
panjang dan fisiologis otot. Dan mencegah komplikasi sekunder yang biasanya mengikuti. Latihan untuk menjaga fisiologis
otot dilakukan sedini mungkin.
B. Mobilisasi sendi
Kekakuan sendi sering terjadi dan menjadi masalah utama ketika anggota gerak badan tidak digerakkan dalam beberapa
minggu. Focus fisioterapi adalah melatih dengan teknik dimana dapat menambah dan mengembalikan lingkup gerak sendi
yang terpengaruh ketika fraktur sudah sembuh.
Jangan menggunakan teknik “Force Passive”, karena bisa menyebabkan Reflex Sympathetic Diystrophy dan Heterotopic
Ossification. Gunakan waktu dan gravitasi atau berat badan pasien sendiri.
Bila di gips, mobilisasi sendi mulai diberikan secara hati – hati pada minggu kedua. Sedangkan bila dengan internal
fixasi, bisa diberikan sedini mungkin.
C. Edukasi jalan
Jika fraktur memerlukan penggunaan alat bantu jalan, fisioterapi dapat menunjukkan alat yang paling sesuai dan cara
jalannya untuk mendukung kesembuhan optimal dan aman.
Demi amannya, Latihan jalan dilakukan secara bertahap, yaitu :
1. Non Weight Bearing
Adalah berjalan dengan tungkai tidak diberi beban ( menggantung ). Dilakukan selama 3 minggu setelah di operasi.
2. Partial Weight Bearing
Adalah berjalan dengan tungkai diberi beban hanya dari beban tungkai itu sendiri. Dilakukan bila callus telah mulai
terbentuk ( 3 – 6 minggu ) setelah operasi.
3. Full Weight Bearing
Adalah berjalan dengan beban penuh dari tubuh. Dilakukan setelah 3 bulan pasca operasi dimana tulang telah terjadi
konsolidasi secara kuat.
Proses penyembuhan
Suatu fraktur dimulai sejak terjadi fraktur sebagai usaha tubuh untuk memperbaiki kerusakan – kerusakan yang
dialaminya. Penyembuhan dari fraktur dipengaruhi oleh beberapa faktor lokal dan faktor sistemik, adapun faktor lokal:
a. Lokasi fraktur
b. Jenis tulang yang mengalami fraktur.
c. Reposisi anatomis dan immobilasi yang stabil.
d. Adanya kontak antar fragmen.
e. Ada tidaknya infeksi.
f. Tingkatan dari fraktur.
Adapun faktor sistemik adalah :
a. Keadaan umum pasien
b. Umur
c. Malnutrisi
d. Penyakit sistemik.
1. Fase Inflamasi:
Tahap inflamasi berlangsung beberapa hari dan hilang dengan berkurangnya pembengkakan dan nyeri. Terjadi
perdarahan dalam jaringan yang cidera dan pembentukan hematoma di tempat patah tulang. Ujung fragmen tulang mengalami
devitalisasi karena terputusnya pasokan darah terjadi hipoksia dan inflamasi yang menginduksi ekpresi gen dan
mempromosikan pembelahan sel dan migrasi menuju tempat fraktur untuk memulai penyembuhan. Produksi atau pelepasan dari
faktor pertumbuhan spesifik, Sitokin, dapat membuat kondisi mikro yang sesuai untuk :
(1) Menstimulasi pembentukan periosteal osteoblast dan osifikasi intra membran pada tempat fraktur,
(2) Menstimulasi pembelahan sel dan migrasi menuju tempat fraktur, dan
(3) Menstimulasi kondrosit untuk berdiferensiasi pada kalus lunak dengan osifikasi endokondral yang mengiringinya.
Berkumpulnya darah pada fase hematom awalnya diduga akibat robekan pembuluh darah lokal yang terfokus pada suatu
tempat tertentu. Namun pada perkembangan selanjutnya hematom bukan hanya disebabkan oleh robekan pembuluh darah tetapi
juga berperan faktor-faktor inflamasi yang menimbulkan kondisi pembengkakan lokal. Waktu terjadinya proses ini dimulai saat
fraktur terjadi sampai 2 – 3 minggu.
2. Fase proliferasi
Kira-kira 5 hari hematom akan mengalami organisasi, terbentuk benang-benang fibrin dalam jendalan darah, membentuk
jaringan untuk revaskularisasi, dan invasi fibroblast dan osteoblast. Fibroblast dan osteoblast (berkembang dari osteosit, sel
endotel, dan sel periosteum) akan menghasilkan kolagen dan proteoglikan sebagai matriks kolagen pada patahan tulang.
Terbentuk jaringan ikat fibrous dan tulang rawan (osteoid). Dari periosteum, tampak pertumbuhan melingkar. Kalus tulang
rawan tersebut dirangsang oleh gerakan mikro minimal pada tempat patah tulang. Tetapi gerakan yang berlebihan akan merusak
struktur kalus. Tulang yang sedang aktif tumbuh menunjukkan potensial elektronegatif. Pada fase ini dimulai pada minggu ke 2
– 3 setelah terjadinya fraktur dan berakhir pada minggu ke 4 – 8.
4. Stadium Konsolidasi
Dengan aktifitas osteoklast dan osteoblast yang terus menerus, tulang yang immature (woven bone) diubah menjadi
mature (lamellar bone). Keadaan tulang ini menjadi lebih kuat sehingga osteoklast dapat menembus jaringan debris pada daerah
fraktur dan diikuti osteoblast yang akan mengisi celah di antara fragmen dengan tulang yang baru. Proses ini berjalan perlahan-
lahan selama beberapa bulan sebelum tulang cukup kuat untuk
menerima beban yang normal.
5. Stadium Remodelling.
Fraktur telah dihubungkan dengan selubung tulang yang kuat dengan bentuk yang berbeda dengan tulang normal. Dalam
waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun terjadi proses pembentukan dan penyerapan tulang yang terus menerus lamella
yang tebal akan terbentuk pada sisi dengan tekanan yang tinggi. Rongga medulla akan terbentuk kembali dan diameter tulang
kembali pada ukuran semula. Akhirnya tulang akan kembali mendekati bentuk semulanya, terutama pada anak-anak. Pada
keadaan ini tulang telah sembuh secara klinis dan radiologi.
Fase Inflamasi
Fase Proliferasi
Fase Pembentukan
Fase Remodelling
Komplikasi
Komplikasi awal fraktur maksila dapat berupa pendarahan ekstensif serta gangguan pada jalan nafas akibat pergeseran
fragmen fraktur, edema, dan pembengkakan soft tissue. Infeksi pada luka maksilari lebih jarang dibandingkan pada luka fraktur
mandibula. Padahal luka terkontaminasi saat tejadi cedera oleh segmen gigi dan sinus yang juga mengalami fraktur. Infeksi
akibat fraktur yang melewati sinus biasanya tidak akan terjadi kecuali terdapat obstruksi sebelumnya. Pada Le Fort II dan III,
daerah kribiform dapat pula mengalami fraktur, sehingga terjadi rhinorrhea cairan serebrospinal. Selain itu, kebutaan juga dapat
terjadi akibat pendarahan dalam selubung dural nervus optikus. Komplikasi akhir dapat berupa kegagalan penyatuan tulang yang
mengalami fraktur, penyatuan yang salah, obstruksi sistem lakrimal, anestesia/hipoestesia infraorbita, devitalisasi gigi,
ketidakseimbangan otot ekstraokuler, diplopia, dan enoftalmus. Kenampakan wajah juga dapat berubah (memanjang, retrusi).
Doenges M.E. (1989) Nursing Care Plan, Guidlines for Planning Patient Care (2 nd
ed ). Philadelpia, F.A. Davis Company.
Long, B.C. (1996). Perawatan Medikal Bedah : Suatu Pendekatan Proses
Keperawatan. Alih Bahasa, Yayasan Ikatan Alumni pendidikan
Keperawatan Padjadjaran.YPKAI: Bandung
Price A.S. (2006). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. EGC: Jakarta.
Smeltzer,S.C & Bare B.G. (2006) . Buku ajar keperawatan medical bedah , Edisi 8.
EGC : Jakarta
Mansjoer,dkk. ( 2000). Kapita Selekta Kedokteran, edisi ketiga jilid 2.Media
Aesculapis : Fakultas kedokteran Universitas Indonesia
Sartono, dkk. (2013). Basic Trauma Cardiac Life Suport- BTCLS. GADAR MEDIK
INDONESIA
Hudak, Gallo. (1996). Keperawatan kritis , pendekatan holistik, edisi IV. EGC :
Jakarta