Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN

“Fraktur”

Oleh :
Muhammad Tarmidzi Idris
NIM.2111102412116

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KALIMANTAN TIMUR
SAMARINDA
2021
1. Pengertian
Fraktur adalah terputusnya kontuinitas tulang yang ditentukan sesuai jenis dan luasnya, fraktur terjadi jika tulang
dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya (Smelzter & Bare, 2002).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, kebanyakan fraktur akibat dari trauma, beberapa fraktur sekunder
terhadap proses penyakit seperti osteoporosis, yang menyebabkan fraktur yang patologis (Mansjoer, 2001).
Fraktur adalah setiap patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik ( Price & Wilson, 2006).
Fraktur terbuka merupakan suatu fraktur dimana terjadi hubungan dengan lingkungan luar melalui kulit sehingga
terjadi kontaminasi bakteri sehingga timbul komplikasi berupa infeksi. luka pada kulit dapat berupa tusukan tulang yang
tajam keluar menembus kulit atau dari luar oleh karena tertembus misalnya oleh peluru atau trauma langsung (chairuddin
rasjad,2008).
Fraktur terbuka merupakan suatu keadaan darurat yang memerlukan penanganan yang terstandar untuk
mengurangi resiko infeksi. selain mencegah infeksi juga diharapkan terjadi penyembuhan fraktur dan restorasi fungsi
anggota gerak. beberapa hal yang penting untuk dilakukan dalam penanggulangan fraktur terbuka yaitu operasi yang
dilakukan dengan segera, secara hati-hati, debrideman yang berulang-ulang, stabilisasi fraktur, penutupan kulit dan bone
grafting yang dini serta pemberian antibiotik yang adekuat (chairuddin rasjad,2008). Patah tulang terbuka adalah patah
tulang dimana fragmen tulang yang bersangkutan sedang atau pernah berhubungan dunia luar (PDT ortopedi,2008)
Fraktur tibia, pedis dan manus adalah rusaknya kontunuitas tulang tibia paroksimal, pedis phalanx paroksimal
digiti 1, ujung distal metatarsal 1, oblique phalanx paroksimal digiti 2, ujung distal metatarsal 2 dan manus paroksimal
digiti 4,5 yang dapat disebabkan oleh trauma baik secara langsung atau tidak langsung.

2. Etiologi Fraktur
a. Trauma langsung
Benturan pada lengan bawah yang menyebabkan patah tulang radius dan ulna, patah tulang pada tempat benturan.
b. Trauma tidak langsung
Jatuh bertumpu pada lengan yang menyebabkan patah tulang klavikula, patah tulang tidak pada tempat benturan
melainkan oleh karena kekuatan trauma diteruskan oleh sumbu tulang dan terjadi fraktur di tempat lain
c. Etiologi lain
•    Trauma tenaga fisik ( Tabrakan, benturan )
•    Penyakit pada tulang ( proses penuaan, kanker tulang)
•    Degenerasi
3. Klasifikasi
Berikut ini terdapat beberapa klasifikasi Fraktur sebagaimana yang dikemukakan oleh para ahli:
A. Menurut Depkes RI (1995), berdasarkan luas dan garis traktur meliputi:
1) Fraktur komplit adalah patah atau diskontinuitas jaringan tulang yang luas sehingga tulang terbagi menjadi dua bagian
dan garis patahnya menyeberang dari satu sisi ke sisi lain serta mengenai seluruh korteks.
2) Fraktur inkomplit adalah patah atau diskontinuitas jaringan tulang dengan garis patah tidak menyeberang, sehingga
tidak mengenai seluruh korteks (masih ada korteks yang utuh).
B. Menurut Black dan Matassarin (1993) yaitu fraktur berdasarkan hubungan dengan dunia luar, meliputi:
1) Fraktur tertutup yaitu fraktur tanpa adanya komplikasi, kulit masih utuh, tulang tidak keluar melewati kulit.
2) Fraktur terbuka yaitu fraktur yang merusak jaringan kulit, karena adanya hubungan dengan lingkungan luar, maka
fraktur terbuka potensial terjadi infeksi. Fraktur terbuka dibagi menjadi 3 grade yaitu:
a) Grade I : Robekan kulit dengan kerusakan kulit dan otot.
b) Grade II : Seperti grade I dengan memar kulit dan otot.
c) Grade III : Luka sebesar 6-8 cm dengan kerusakan pembuluh darah, syaraf, otot dan kulit.
C. Long (1996) membagi fraktur berdasarkan garis patah tulang, yaitu:
1) Green Stick yaitu pada sebelah sisi dari tulang ( retak dibawah lapisan periosteum) / tidak mengenai seluruh kortek,
sering terjadi pada anak-anak dengan tulang lembek.
2) Transverse yaitu patah melintang ( yang sering terjadi ).
3) Longitudinal yaitu patah memanjang.
4) Oblique yaitu garis patah miring.
5) Spiral yaitu patah melingkar.
6) Communited yaitu patah menjadi beberapa fragmen kecil

D. Black dan Matassarin (1993) mengklasifikasi lagi fraktur berdasarkan kedudukan fragmen yaitu:
1) Tidak ada dislokasi.
2) Adanya dislokasi, yang dibedakan menjadi:
a. Disklokasi at axim yaitu membentuk sudut.
b. Dislokasi at lotus yaitu fragmen tulang menjauh.
c. Dislokasi at longitudinal yaitu berjauhan memanjang.
d. Dislokasi at lotuscum controltinicum yaitu fragmen tulang menjauh dan over lapp ( memendek ).

4. Manifestasi Klinis
Lewis (2006) menyampaikan manifestasi klinik fraktur adalah sebagai berikut:
A. Nyeri
Nyeri dirasakan langsung setelah terjadi trauma. Hal ini dikarenakan adanya spasme otot, tekanan dari patahan tulang
atau kerusakan jaringan sekitarnya.
B. Bengkak / edema.
Edema muncul lebih cepat dikarenakan cairan serosa (protein plasma) yang terlokalisir pada daerah fraktur dan extravasi
daerah di jaringan sekitarnya.
C. Memar / ekimosis
Merupakan perubahan warna kulit sebagai akibat dari extravasi daerah di jaringan sekitarnya.
D. Spame otot
Merupakan kontraksi otot involunter yang terjadi disekitar fraktur.
E. Penurunan sensasi
Terjadi karena kerusakan syaraf, tertekannya syaraf karena edema.
F. Gangguan fungsi
Terjadi karena ketidakstabilan tulang yang fraktur, nyeri atau spasme otot, paralysis dapat terjadi karena kerusakan
syaraf.
G. Mobilitas abnormal
Adalah pergerakan yang terjadi pada bagian-bagian yang pada kondisi normalnya tidak terjadi pergerakan. Ini terjadi
pada fraktur tulang panjang.
H. Krepitasi
Merupakan rasa gemeretak yang terjadi jika bagian-bagaian tulang digerakkan.
I. Deformitas
Abnormalnya posisi dari tulang sebagai hasil dari kecelakaan atau trauma dan pergerakan otot yang mendorong fragmen
tulang ke posisi abnormal, akan menyebabkan tulang kehilangan bentuk normalnya.
J. Gambaran X-ray menentukan fraktur
Gambaran ini akan menentukan lokasi dan tipe fraktur
Anamnesis
Biasanya penderita datang dengan suatu trauma (traumatik, fraktur), baik yang hebat maupun trauma ringan dan diikuti
dengan ketidakmampuan untuk menggunakan anggota gerak. Anamnesis harus dilakukan dengan cermat, karena fraktur tidak
selamanya terjadi di daerah trauma dan mungkin fraktur terjadi pada daerah lain.

Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan awal penderita, perlu diperhatikan adanya:
1. Syok, anemia atau perdarahan
2. Kerusakan pada organ-organ lain, misalnya otak, sumsum tulang belakang atau organ-organ dalam rongga toraks, panggul
dan abdomen
3. Fraktur predisposisi, misalnya pada fraktur patologis

Pemeriksaan lokal
1. Inspeksi (Look)
- Bandingkan dengan bagian yang sehat
- Perhatikan posisi anggota gerak
- Keadaan umum penderita secara keseluruhan
- Ekspresi wajah karena nyeri
- Lidah kering atau basah
- Adanya tanda-tanda anemia karena perdarahan
- Apakah terdapat luka pada kulit dan jaringan lunak untuk membedakan fraktur tertutup atau fraktur terbuka
- Ekstravasasi darah subkutan dalam beberapa jam sampai beberapa hari
- Perhatikan adanya deformitas berupa angulasi, rotasi dan kependekan
- Lakukan survei pada seluruh tubuh apakah ada trauma pada organ-organlain
- Perhatikan kondisi mental penderita
- Keadaan vaskularisasi
2. Palpasi (Feel)
Palpasi dilakukan secara hati-hati oleh karena penderita biasanya mengeluh sangatnyeri.
- Temperatur setempat yang meningkat
- Nyeri tekan; nyeri tekan yang bersifat superfisial biasanya disebabkan oleh kerusakan jaringan lunak yang dalam
akibat fraktur pada tulang
- Krepitasi; dapat diketahui dengan perabaan dan harus dilakukan secara hati-hati
- Pemeriksaan vaskuler pada daerah distal trauma berupa palpasi arteri radialis, arteri dorsalis pedis, arteri tibialis
posterior sesuai dengan anggota gerak yang terkena
- Refilling (pengisian) arteri pada kuku, warna kulit pada bagian distal daerah trauma , temperatur kulit
- Pengukuran tungkai terutama pada tungkai bawah untuk mengetahui adanya perbedaan panjang tungkai
3. Pergerakan (Move)
Pergerakan dengan mengajak penderita untuk menggerakkan secara aktif dan pasif sendi proksimal dan distal dari daerah
yang mengalami trauma. Pada pederita dengan fraktur, setiap gerakan akan menyebabkan nyeri hebat sehingga uji pergerakan
tidak boleh dilakukan secara kasar, disamping itu juga dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan lunak seperti pembuluh
darah dan saraf.

5. Pemeriksaan Radiologi.
- Sinar –X
Dengan pemeriksaan klinik kita sudah dapat mencurigai adanya fraktur. Walaupun demikian pemeriksaan
radiologis diperlukan untuk menentukan keadaan, lokasi serta eksistensi fraktur. Untuk menghindari nyeri serta
kerusakan jaringan lunak selanjutnya, maka sebaiknya kita mempergunakan bidai yang bersifat radiolusen untuk
imobilisasi sementara sebelum dilakukan pemeriksaan radiologis.
Tujuan pemeriksaan radiologis:
 Untuk mempelajari gambaran normal tulang dan sendi.
 Untuk konfirmasi adanya fraktur.
 Untuk mengetahui sejauh mana pergerakan dan konfigurasi fragmen serta pergerakannya.
 Untuk mengetahui teknik pengobatan.
 Untuk menentukan apakah fraktur itu baru atau tidak.
 Untuk menentukan apakah fraktur intra-artikuler atau ekstra-artikuler.
 Untuk melihat adanya keadaan patologis lain pada tulang.
 Untuk melihat adanya benda asing.
- Pemeriksaan dengan sinar-X harus dilakukan dengan ketentuan ´Rules of Two´:
 Dua pandangan
Fraktur atau dislokasi mungkin tidak terlihat pada film sinar-X tunggal dan sekurang-kurangnya harus dilakukan
2 sudut pandang (AP & Lateral/Oblique).
 Dua sendi
Pada lengan bawah atau kaki, satu tulang dapat mengalami fraktur atau angulasi. Tetapi angulasi tidak mungkin
terjadi kecuali kalau tulang yang lain juga patah, atau suatu sendi mengalami dislokasi. Sendi-sendi diatas dan di bawah
fraktur keduanya harus disertakan dalam foto sinar-X.
 Dua tungkai
Pada sinar-X anak-anak epifise dapat mengacaukan diagnosis fraktur. Foto pada tungkai yang tidak cedera akan
bermanfaat.

- Pencitraan Khusus : Umumnya dengan foto polos kita dapat mendiagnosis fraktur, tetapi perlu dinyatakan apakah
fraktur terbuka atau tertutup, tulang mana yang terkena dan lokalisasinya, apakah sendi juga mengalami fraktur serta
bentuk fraktur itu sendiri. Konfigurasi fraktur dapat menentukan prognosis serta waktu penyembuhan fraktur,
misalnya penyembuhan fraktur transversal lebihlambat dari fraktur oblik karena kontak yang kurang. Kadang-kadang
fraktur atau keseluruhan fraktur tidak nyata pada sinar-X biasa.Tomografi mungkin berguna untuk lesi spinal atau
fraktur kondilus tibia. CT atau MRI mungkin merupakan satu-satunya cara yang dapat membantu, sesungguhnya
potret transeksional sangat penting untuk visualisasi fraktur secara tepat pada tempat yang sukar. Radioisotop
scanning berguna untuk mendiagnosis fraktur-tekanan yang dicurigai atau fraktur tak bergeser yang lain.

6. Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk menahan. Tapi apabila tekanan eksternal
yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan
rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam
korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan
terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah.
Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi,
eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses
penyembuhan tulang nantinya Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur.
7. Patway

8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Fraktur Terbuka penanggulangan fraktur terbuka
Beberapa prinsip dasar pengelolaan fraktur tebuka:
- obati fraktur terbuka sebagai satu kegawatan.
- adakan evaluasi awal dan diagnosis akan adanya kelainan yang dapat menyebabkan kematian.
- berikan antibiotic dalam ruang gawat darurat, di kamar operasi dan setelah operasi.
- segera dilakukan debrideman dan irigasi yang baik
- ulangi debrideman 24-72 jam berikutnya
- stabilisasi fraktur.
- biarkan luka tebuka antara 5-7 hari
- lakukan bone graft autogenous secepatnya
- rehabilitasi anggota gerak yang terkena
TAHAP-TAHAP PENGOBATAN FRAKTUR TERBUKA
- Pembersihan luka
Pembersihan luka dilakukan dengan cara irigasi dengan cairan NaCl fisiologis secara mekanis untuk
mengeluarkan benda asing yang melekat.
- Eksisi jaringan yang mati dan tersangka mati (debridemen)
Semua jaringan yang kehilangan vaskularisasinya merupakan daerah tempat pembenihan bakteri sehingga
diperlukan eksisi secara operasi pada kulit, jaringan subkutaneus, lemak, fascia, otot dan fragmen2 yang lepas
- Pengobatan fraktur itu sendiri
Fraktur dengan luka yang hebat memerlukan suatu fraksi skeletal atau reduksi terbuka dengan fiksasi eksterna
tulang. fraktur grade II dan III sebaiknya difiksasi dengan fiksasi eksterna.
- Penutupan kulit
Apabila fraktur terbuka diobati dalam waktu periode emas (6-7 jam mulai dari terjadinya kecelakaan), maka
sebaiknya kulit ditutup. hal ini dilakukan apabila penutupan membuat kulit sangat tegang. dapat dilakukan split thickness
skin-graft serta pemasangan drainase isap untuk mencegah akumulasi darah dan serum pada luka yang dalam. luka dapat
dibiarkan terbuka setelah beberapa hari tapi tidak lebih dari 10 hari. kulit dapat ditutup kembali disebut delayed primary
closure. yang perlu mendapat perhatian adalah penutupan kulit tidak dipaksakan yang mengakibatkan sehingga kulit
menjadi tegang.
- Pemberian antibiotic
Pemberian antibiotik bertujuan untuk mencegah infeksi. antibiotik diberikan dalam dosis yang adekuat sebelum,
pada saat dan sesuadah tindakan operasi

Terdapat beberapa tujuan penatalaksanaan fraktur menurut Henderson (1997), yaitu mengembalikan atau memperbaiki
bagian-bagian yang patah ke dalam bentuk semula (anatomis), imobilisasi untuk mempertahankan bentuk dan memperbaiki
fungsi bagian tulang yang rusak.
A. Reposisi / reduksi
Jenis-jenis fracture reduction ( reposisi ) yaitu:
1. Manipulasi atau close reduction
Adalah tindakan non bedah untuk mengembalikan posisi, panjang dan bentuk. Close reduksi dilakukan
dengan local anesthesia ataupun umum.
2. Open reduction
Adalah perbaikan bentuk tulang dengan tindakan pembedahan. sering dilakukan dengan internal fixasi
menggunakan kawat, screws, pins, plate, intermedullary rods atau nail. Kelemahan tindakan ini adalah
kemungkinan infeksi dan komplikasi berhubungan dengan anesthesia. Jika dilakukan open reduksi internal fixasi
pada tulang (termasuk sendi) maka akan ada indikasi untuk melakukan ROM.
Salah satunya adalah tindakan ORIF(Open Reduction Internal Fixation) atau fiksasi internal dengan
pembedahan terbuka akan mengimmobilisasi fraktur dengan melakukan pembedahan dengan memasukan paku,
sekrup atau pin ke dalam tempat fraktur untuk memfiksasi bagian-bagian tulang yang fraktur secara bersamaan.
a) Indikasi ORIF
- Fraktur yang tak bisa sembuh
- Fraktur yang tidak bisa direposisi tertutup
- Fraktur yang dapat direposisi tapi sulit dipertahankan
- Fraktur yang memberikan hasil baik dengan operasi.
3. Traksi
Alat traksi diberikan dengan kekuatan tarikan pada anggota yang fraktur untuk meluruskan bentuk tulang. Ada 2
macam yaitu:
a. Skin Traksi
Skin traksi adalah menarik bagian tulang yang fraktur dengan menempelkan plester langsung pada kulit untuk
mempertahankan bentuk, membantu menimbulkan spasme otot pada bagian yang cedera, dan biasanya digunakan
untuk jangka pendek (48-72 jam0

b. Skeletal traksi
Adalah traksi yang digunakan untuk meluruskan tulang yang cedera pada sendi panjang untuk mempertahankan
bentuk dengan memasukkan pins / kawat ke dalam tulang.
4. Immobilisasi
Setelah dilakukan reposisi dan posisi fragmen tulang sudah dipastikan pada posisi baik hendaknya di
immobilisasi dan gerakkan anggota badan yang mengalami fraktur diminimalisir untuk mencegah fragmen tulang
berubah posisi.
PENANGANAN FISIOTERAPI PADA FRAKTUR
A. Latihan fisiologis otot
Mengikuti imobilisasi, otot disekitar bagian yang fraktur akan kehilangan volume, panjang dan kekuatannya. Adalah
penting jika program latihan yang aman ditentukan dan dievaluasi dibawah pengawasan fisioterapi untuk mengembalikan
panjang dan fisiologis otot. Dan mencegah komplikasi sekunder yang biasanya mengikuti. Latihan untuk menjaga fisiologis
otot dilakukan sedini mungkin.
B. Mobilisasi sendi
Kekakuan sendi sering terjadi dan menjadi masalah utama ketika anggota gerak badan tidak digerakkan dalam beberapa
minggu. Focus fisioterapi adalah melatih dengan teknik dimana dapat menambah dan mengembalikan lingkup gerak sendi
yang terpengaruh ketika fraktur sudah sembuh.
Jangan menggunakan teknik “Force Passive”, karena bisa menyebabkan Reflex Sympathetic Diystrophy dan Heterotopic
Ossification. Gunakan waktu dan gravitasi atau berat badan pasien sendiri.
Bila di gips, mobilisasi sendi mulai diberikan secara hati – hati pada minggu kedua. Sedangkan bila dengan internal
fixasi, bisa diberikan sedini mungkin.
C. Edukasi jalan
Jika fraktur memerlukan penggunaan alat bantu jalan, fisioterapi dapat menunjukkan alat yang paling sesuai dan cara
jalannya untuk mendukung kesembuhan optimal dan aman.
Demi amannya, Latihan jalan dilakukan secara bertahap, yaitu :
1. Non Weight Bearing
Adalah berjalan dengan tungkai tidak diberi beban ( menggantung ). Dilakukan selama 3 minggu setelah di operasi.
2. Partial Weight Bearing
Adalah berjalan dengan tungkai diberi beban hanya dari beban tungkai itu sendiri. Dilakukan bila callus telah mulai
terbentuk ( 3 – 6 minggu ) setelah operasi.
3. Full Weight Bearing
Adalah berjalan dengan beban penuh dari tubuh. Dilakukan setelah 3 bulan pasca operasi dimana tulang telah terjadi
konsolidasi secara kuat.

Proses penyembuhan
Suatu fraktur dimulai sejak terjadi fraktur sebagai usaha tubuh untuk memperbaiki kerusakan – kerusakan yang
dialaminya. Penyembuhan dari fraktur dipengaruhi oleh beberapa faktor lokal dan faktor sistemik, adapun faktor lokal:
a. Lokasi fraktur
b. Jenis tulang yang mengalami fraktur.
c. Reposisi anatomis dan immobilasi yang stabil.
d. Adanya kontak antar fragmen.
e. Ada tidaknya infeksi.
f. Tingkatan dari fraktur.
Adapun faktor sistemik adalah :
a. Keadaan umum pasien
b. Umur
c. Malnutrisi
d. Penyakit sistemik.

1. Fase Inflamasi:
Tahap inflamasi berlangsung beberapa hari dan hilang dengan berkurangnya pembengkakan dan nyeri. Terjadi
perdarahan dalam jaringan yang cidera dan pembentukan hematoma di tempat patah tulang. Ujung fragmen tulang mengalami
devitalisasi karena terputusnya pasokan darah terjadi hipoksia dan inflamasi yang menginduksi ekpresi gen dan
mempromosikan pembelahan sel dan migrasi menuju tempat fraktur untuk memulai penyembuhan. Produksi atau pelepasan dari
faktor pertumbuhan spesifik, Sitokin, dapat membuat kondisi mikro yang sesuai untuk :
(1) Menstimulasi pembentukan periosteal osteoblast dan osifikasi intra membran pada tempat fraktur,
(2) Menstimulasi pembelahan sel dan migrasi menuju tempat fraktur, dan
(3) Menstimulasi kondrosit untuk berdiferensiasi pada kalus lunak dengan osifikasi endokondral yang mengiringinya.
Berkumpulnya darah pada fase hematom awalnya diduga akibat robekan pembuluh darah lokal yang terfokus pada suatu
tempat tertentu. Namun pada perkembangan selanjutnya hematom bukan hanya disebabkan oleh robekan pembuluh darah tetapi
juga berperan faktor-faktor inflamasi yang menimbulkan kondisi pembengkakan lokal. Waktu terjadinya proses ini dimulai saat
fraktur terjadi sampai 2 – 3 minggu.

2. Fase proliferasi
Kira-kira 5 hari hematom akan mengalami organisasi, terbentuk benang-benang fibrin dalam jendalan darah, membentuk
jaringan untuk revaskularisasi, dan invasi fibroblast dan osteoblast. Fibroblast dan osteoblast (berkembang dari osteosit, sel
endotel, dan sel periosteum) akan menghasilkan kolagen dan proteoglikan sebagai matriks kolagen pada patahan tulang.
Terbentuk jaringan ikat fibrous dan tulang rawan (osteoid). Dari periosteum, tampak pertumbuhan melingkar. Kalus tulang
rawan tersebut dirangsang oleh gerakan mikro minimal pada tempat patah tulang. Tetapi gerakan yang berlebihan akan merusak
struktur kalus. Tulang yang sedang aktif tumbuh menunjukkan potensial elektronegatif. Pada fase ini dimulai pada minggu ke 2
– 3 setelah terjadinya fraktur dan berakhir pada minggu ke 4 – 8.

3. Fase Pembentukan Kalus


Merupakan fase lanjutan dari fase hematom dan proliferasi mulai terbentuk jaringan tulang yakni jaringan tulang
kondrosit yang mulai tumbuh atau umumnya disebut sebagai jaringan tulang rawan. Sebenarnya tulang rawan ini masih dibagi
lagi menjadi tulang lamellar dan wovenbone. Pertumbuhan jaringan berlanjut dan lingkaran tulang rawan tumbuh mencapai sisi
lain sampai celah sudah terhubungkan. Fragmen patahan tulang digabungkan dengan jaringan fibrous, tulang rawan, dan tulang
serat matur. Bentuk kalus dan volume dibutuhkanuntuk menghubungkan efek secara langsung berhubungan dengan jumlah
kerusakan dan pergeseran tulang. Perlu waktu tiga sampai empat minggu agar fragmen tulang tergabung dalam tulang rawan
atau jaringan fibrous. Secara klinis fragmen tulang tidak bisa lagi digerakkan. Regulasi dari pembentukan kalus selama masa
perbaikan fraktur dimediasi oleh ekspresi dari faktor-faktor pertumbuhan. Salah satu faktor yang paling dominan dari sekian
banyak faktor pertumbuhan adalah Transforming Growth Factor-Beta 1 (TGF-B1) yang menunjukkan keterlibatannya dalam
pengaturan differensiasi dari osteoblast dan produksi matriks ekstra seluler. Faktor lain yaitu: Vascular Endothelial Growth
Factor (VEGF) yang berperan penting pada proses angiogenesis selama penyembuhan fraktur. (chen,et,al,2004).
Pusat dari kalus lunak adalah kartilogenous yang kemudian bersama osteoblast akan berdiferensiasi membentuk suatu
jaringan rantai osteosit, hal ini menandakan adanya sel tulang serta kemampuan mengantisipasi tekanan mekanis. Proses
cepatnya pembentukan kalus lunak yang kemudian berlanjut sampai fase remodelling adalah masa kritis untuk keberhasilan
penyembuhan fraktur.
Jenis-jenis Kalus
Dikenal beberapa jenis kalus sesuai dengan letak kalus tersebut berada terbentuk kalus primer sebagai akibat adanya
fraktur terjadi dalam waktu 2 minggu Bridging (soft) callus terjadi bila tepi-tepi tulang yang fraktur tidak bersambung.
Medullary (hard) Callus akan melengkapi bridging callus secara perlahan-lahan. Kalus eksternal berada paling luar daerah
fraktur di bawah periosteum periosteal callus terbentuk di antara periosteum dan tulang yang fraktur. Interfragmentary callus
merupakan kalus yang terbentuk dan mengisi celah fraktur di antara tulang yang fraktur. Medullary callus terbentuk di dalam
medulla tulang disekitar daerah fraktur.

4. Stadium Konsolidasi
Dengan aktifitas osteoklast dan osteoblast yang terus menerus, tulang yang immature (woven bone) diubah menjadi
mature (lamellar bone). Keadaan tulang ini menjadi lebih kuat sehingga osteoklast dapat menembus jaringan debris pada daerah
fraktur dan diikuti osteoblast yang akan mengisi celah di antara fragmen dengan tulang yang baru. Proses ini berjalan perlahan-
lahan selama beberapa bulan sebelum tulang cukup kuat untuk
menerima beban yang normal.

5. Stadium Remodelling.
Fraktur telah dihubungkan dengan selubung tulang yang kuat dengan bentuk yang berbeda dengan tulang normal. Dalam
waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun terjadi proses pembentukan dan penyerapan tulang yang terus menerus lamella
yang tebal akan terbentuk pada sisi dengan tekanan yang tinggi. Rongga medulla akan terbentuk kembali dan diameter tulang
kembali pada ukuran semula. Akhirnya tulang akan kembali mendekati bentuk semulanya, terutama pada anak-anak. Pada
keadaan ini tulang telah sembuh secara klinis dan radiologi.

Fase Inflamasi
Fase Proliferasi

Fase Pembentukan

Fase Remodelling

Komplikasi
Komplikasi awal fraktur maksila dapat berupa pendarahan ekstensif serta gangguan pada jalan nafas akibat pergeseran
fragmen fraktur, edema, dan pembengkakan soft tissue. Infeksi pada luka maksilari lebih jarang dibandingkan pada luka fraktur
mandibula. Padahal luka terkontaminasi saat tejadi cedera oleh segmen gigi dan sinus yang juga mengalami fraktur. Infeksi
akibat fraktur yang melewati sinus biasanya tidak akan terjadi kecuali terdapat obstruksi sebelumnya. Pada Le Fort II dan III,
daerah kribiform dapat pula mengalami fraktur, sehingga terjadi rhinorrhea cairan serebrospinal. Selain itu, kebutaan juga dapat
terjadi akibat pendarahan dalam selubung dural nervus optikus. Komplikasi akhir dapat berupa kegagalan penyatuan tulang yang
mengalami fraktur, penyatuan yang salah, obstruksi sistem lakrimal, anestesia/hipoestesia infraorbita, devitalisasi gigi,
ketidakseimbangan otot ekstraokuler, diplopia, dan enoftalmus. Kenampakan wajah juga dapat berubah (memanjang, retrusi).

ORIF (Open Reduction Internal Fixation)


Ialah operasi untuk memperbaiki patah tulang. Open reduction berarti dokter membuat sayatan (cut) untuk mencapai
tulang dan memindahkan kembali ke posisi normal. Internal fiksasi berarti sekrup logam, plate, jahitan, atau batang yang
ditempatkan pada tulang untuk tetap di tempat sementara menyembuhkan. Operasi ini dilakukan untuk memperbaiki patah
tulang yang tidak akan sembuh dengan baik dengan cast atau splint saja. Operasi ini harus memungkinkan tulang untuk sembuh
dengan benar. Ketika hal itu terjadi, klien akan merasa lebih sedikit nyeri dan lebih mampu bergerak
Indikasi ORIF:
 Tulang patah menjadi banyak potongan-potongan
 Tulang mencuat dari kulit
 Tulang tidak berbaris dengan benar
 Closed reduction (tanpa membuka kulit) dilakukan sebelum dan tidak sembuh dengan baik
 Sendi terkilir
Manfaat ORIF
 Penurunan rasa sakit dan membantu tulang dapat sembuh dengan benar
 Mengembalikan fungsi normal tulang
 Mencegah cedera lebih lanjut
Risiko dan komplikasi yang potensial
 Risiko Pendarahan yang akan membutuhkan transfusi darah
 Infeksi
 Reaksi alergi terhadap anestesi
Risiko yang terkait dengan ORIF:
 Kerusakan saraf yang mengurangi sensasi pada daerah fraktur
 Nyeri, bengkak, atau kesulitan bergerak
 Penyembuhan lengkap dari tulang
 Peningkatan tekanan (sindrom kompartemen) yang dapat merusak otot dan jaringan
 Blood clot, mungkin mengarah ke jantung (emboli paru)
 Kejang otot
ORIF biasanya merupakan operasi darurat. Berapa lama operasi berlangsung tergantung pada seberapa parah istirahat
adalah. Dalam banyak kasus, operasi berlangsung beberapa jam.
Anestesi.
Anastesi diberikan untuk mengurangi rasa nyeri saat operasi Klien mungkin akan diberikan General anestesi sehingga
klien akan tidur melalui prosedur dan tidak merasakan apa-apa. Klien mungkin juga akan diberikan nerve block untuk
mengurangi rasa sakit setelah operasi.
Insisi.
Dokter bedah akan membuat sayatan (cut) di kulit di atas tulang.
Memindahkan tulang ke tempatnya.
Dokter bedah akan memperbaiki tulang ke posisi yang benar. Pelat logam, batang,
suture, dan / atau sekrup kemudian akan diterapkan untuk memperbaiki tulang. X-ray dapat digunakan untuk evaluasi setelah
perangkat yang terpasang.
Closing incision.
Sayatan akan ditutup dengan jahitan atau stitches dan ditutup dengan perban. Sebuah cast atau splint akan diletakkan
untuk melindungi perbaikan seperti menyembuhkan.
Recovery.
Setelah operasi, klien akan dibawa ke ruang pemulihan dan dipantau sampai klien terjaga dan dalam kondisi baik.
Sirkulasi, sensasi, dan gerakan akan diperiksa sering. Pasien dengan fraktur kaki kadang-kadang tinggal lebih lama. Pemulihan
lengkap biasanya memakan waktu 3 sampai 12 bulan. Lama waktu yang dibutuhkan tergantung pada seberapa parah fraktur dan
apakah saraf dan pembuluh darah rusak. Dokter mungkin merekomendasikan terapi fisik selama pemulihan klien.
Seorang terapis fisik dapat mengajarkan latihan untuk membantu klien memperoleh kembali kekuatan dan gerak.
Latihan-latihan ini mungkin diperlukan bagi klien untuk dapat menggunakan lengan atau kaki seperti semula. Mengelola rasa
sakit Anda dengan baik. Dokter akan merekomendasikan resep atau obat nyeri. Pastikan untuk membelinya sebelum klien
pulang ke rumah, dan mengambil seperti yang direkomendasikan. Jika anti nyeri tidak mengelola rasa sakit klien dengan baik,
hubungi dokter.
Tinggikan ekstremitas yang terkena di atas jantung untuk 48 jam pertama. Instruksikan menggunakan es untuk
mengurangi pembengkakan. Jaga sayatan bersih dan tertutup. Jangan menempatkan berat badan atau tekanan pada fase
penyembuhan ekstremitas, bahkan untuk keseimbangan atau untuk memposisikan sendiri. Jika klien akan pulang pastikan klien
menggunakan sling, kruk, atau kursi roda. Proses penyembuhan harus menunggu tulang untuk sembuh sepenuhnya, biasanya
memakan waktu 3 sampai 12 bulan.
Konsultasi ke dokter apabila memiliki:
a. Demam lebih 101,5 ° F (38,5 ° C)
b. Iritasi kulit
c. Ekstremitas yang dingin, pucat, biru, atau bengkak
d. Nyeri yang tidak dikendalikan oleh obat
e. Perdarahan
f. Sesak napas atau kesulitan bernapas
g. Nyeri dada atau detak jantung cepat yang datang tiba-tiba

II .TEORI ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN FRAKTUR


A. PENGKAJIAN
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan
ketelitian tentang masalah-masalah klien sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan keperawatan.
Keberhasilan proses keperawatan sangat bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas:
1. Anamnesa
a. Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai, status perkawinan, pendidikan,
pekerjaan, asuransi, golongaH darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis.
b. Keluhan Utama
DS ( Data Subjektif ) : Pasien mengeluh rasa nyeri pada bagian yang mengalami fraktur ( femur , humerus , tibia ,
fibula , dll ) . Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
a) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor presipitasi nyeri.
b) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien. Apakah seperti terbakar,
berdenyut, atau menusuk.
c) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana
rasa sakit terjadi.
d) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien
menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
e) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.
DO ( Data Objektif ) : Pasien tampak meringis kesakitan , pasien tampak memegangi bagian yang mengalami
fraktur , pasien tampak menangis , pasien tampak lemas, dan lain-lain.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang nantinya membantu dalam
membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga
nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan
mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut
akan menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s yang menyebabkan
fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt
beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya
fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang
cenderung diturunkan secara genetik
f. Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan
masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam
masyarakat
g. Riwayat Keperawatan dan Pengkajian Fisik:
Gejala-gejala fraktur tergantung pada lokasi, berat dan jumlah kerusakan pada struktur lain. Berdasarkan
klasifikasi Doenges dkk. (2000) riwayat keperawatan yang perlu dikaji adalah:
h. Aktivitas istirahat
Tanda : Keterbatasan / kehilangan fungsi pada bagian terkena mungkin segera setelah fraktur itu sendiri atau
terjadi secara sekunder dari pembengkakan jaringan nyeri.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN FRAKTUR


1. Gangguan integritas kulit/jaringan ( fraktur )
2. Nyeri akut berhubungan dengan refleksi spasme otot, gerakan fragmen tulang yang patah, oedema jaringan, dan cedera
pada jaringan lunak.
3. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang terpadannya terhadap informasi
C. Intervensi

No Diagnosa Kep Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi


1 Gangguan integritas Setelah dilakukan tindakan 1.1 identifikasi gangguan integritas kulit
kulit/jaringan keperawatan ….. x 24 jam diharapkan 1.2 ubah posisi tiap 2 jam sekali
integritas kulit dan jaringan meningkat 1.3 anjurkan minum air yang cukup
dengan kriteria hasil : 1.4 anjrkan meningkatkan asupan nutrisi
- Nyeri (5) 1.5 anjurkan meningkatkan asupan sayur buah.
- Perdarahan (5)
Ket :
1 : meningkat
2 : cukup meningkat
3 : sedang
4 : cukup menurun
5 : menurun
2. Nyeri Akut Setelah dilakukan tindakan 2.1 idetntifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi
keperawatan …… x 24 jam 2.2 identifikasi skala nyeri
diharapkan nyeri berkurang dengan 2.3 kontrol lingkungan
kriteria hasil : 2.4 berikan terappi non-farmakologi
- Keluhan nyeri (5) 2.5 kolaborasi terapi farmakologi
- Meringis (5)
- Gelisah (5)
Ket :
1 : meningkat
2 : cukup meningkat
3 : sedang
4 : cukup menurun
5 : menurun
3. Deficit pengetahuan Setelah dilakukan tindakan 3.1 identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima
keperawatan …… x 24 jam informasi
diharapkan pengetahuan meningat 3.2 sedaiakan materi dan jadwal penkes
dengan kriteria hasil : 3.3 jadwalkan pendidikan kesehatan sesuai
- Perilaku sesuai anjuran (5) kesepakatan
- Kemampuan menjelaskan 3.4 berikan kesempatan untuk bertanya
suatu topic (5) 3.5 jelaskan factor resiko yang dapat memengaruhi
Ket : keseahatan
1 :menurun
2 : cukup menurun
3 : sedang
4 : cukup meningkat
5 : meningkat
C. DAFTAR KEPUSTAKAAN

Doenges M.E. (1989) Nursing Care Plan, Guidlines for Planning Patient Care (2 nd
ed ). Philadelpia, F.A. Davis Company.
Long, B.C. (1996).  Perawatan Medikal Bedah : Suatu Pendekatan Proses
 Keperawatan. Alih Bahasa, Yayasan Ikatan Alumni pendidikan
Keperawatan Padjadjaran.YPKAI: Bandung
Price A.S. (2006). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.  EGC: Jakarta.
Smeltzer,S.C & Bare B.G. (2006) . Buku ajar keperawatan medical bedah , Edisi 8.
EGC : Jakarta
Mansjoer,dkk. ( 2000).  Kapita Selekta Kedokteran, edisi ketiga jilid 2.Media
Aesculapis : Fakultas kedokteran Universitas Indonesia
Sartono, dkk. (2013). Basic Trauma Cardiac Life Suport- BTCLS.  GADAR MEDIK 
INDONESIA
Hudak, Gallo. (1996).  Keperawatan kritis , pendekatan holistik, edisi IV. EGC :
Jakarta

Anda mungkin juga menyukai