FRAKTUR
Dosen pengampu:
Leny Arini Manafe
Di susun oleh:
Nama : Kristiani A. Timbuleng
Nim: 19 18 0036
Tingkat/Semester: 2/4
2. Etiologi Fraktur
a. Trauma langsung
Benturan pada lengan bawah yang menyebabkan patah tulang radius dan ulna,
patah tulang pada tempat benturan.
b. Trauma tidak langsung
Jatuh bertumpu pada lengan yang menyebabkan patah tulang klavikula, patah
tulang tidak pada tempat benturan melainkan oleh karena kekuatan trauma
diteruskan oleh sumbu tulang dan terjadi fraktur di tempat lain
c. Etiologi lain
• Trauma tenaga fisik ( Tabrakan, benturan )
• Penyakit pada tulang ( proses penuaan, kanker tulang)
• Degenerasi
3. Klasifikasi
Berikut ini terdapat beberapa klasifikasi Fraktur sebagaimana yang dikemukakan
oleh para ahli:
A. Menurut Depkes RI (1995), berdasarkan luas dan garis traktur meliputi:
1) Fraktur komplit adalah patah atau diskontinuitas jaringan tulang yang luas sehingga
tulang terbagi menjadi dua bagian dan garis patahnya menyeberang dari satu sisi ke
sisi lain serta mengenai seluruh korteks.
2) Fraktur inkomplit adalah patah atau diskontinuitas jaringan tulang dengan garis patah
tidak menyeberang, sehingga tidak mengenai seluruh korteks (masih ada korteks
yang utuh).
B. Menurut Black dan Matassarin (1993) yaitu fraktur berdasarkan hubungan dengan dunia
luar, meliputi:
1) Fraktur tertutup yaitu fraktur tanpa adanya komplikasi, kulit masih utuh, tulang tidak
keluar melewati kulit.
2) Fraktur terbuka yaitu fraktur yang merusak jaringan kulit, karena adanya hubungan
dengan lingkungan luar, maka fraktur terbuka potensial terjadi infeksi. Fraktur
terbuka dibagi menjadi 3 grade yaitu:
a) Grade I : Robekan kulit dengan kerusakan kulit dan otot.
b) Grade II : Seperti grade I dengan memar kulit dan otot.
c) Grade III : Luka sebesar 6-8 cm dengan kerusakan pembuluh darah, syaraf, otot
dan kulit.
C. Long (1996) membagi fraktur berdasarkan garis patah tulang, yaitu:
1) Green Stick yaitu pada sebelah sisi dari tulang ( retak dibawah lapisan periosteum) /
tidak mengenai seluruh kortek, sering terjadi pada anak-anak dengan tulang lembek.
2) Transverse yaitu patah melintang ( yang sering terjadi ).
3) Longitudinal yaitu patah memanjang.
4) Oblique yaitu garis patah miring.
5) Spiral yaitu patah melingkar.
6) Communited yaitu patah menjadi beberapa fragmen kecil
D. Black dan Matassarin (1993) mengklasifikasi lagi fraktur berdasarkan kedudukan fragmen
yaitu:
1) Tidak ada dislokasi.
2) Adanya dislokasi, yang dibedakan menjadi:
a. Disklokasi at axim yaitu membentuk sudut.
b. Dislokasi at lotus yaitu fragmen tulang menjauh.
c. Dislokasi at longitudinal yaitu berjauhan memanjang.
d. Dislokasi at lotuscum controltinicum yaitu fragmen tulang menjauh dan over lapp
( memendek ).
4. Manifestasi Klinis
menyampaikan manifestasi klinik fraktur adalah sebagai berikut:
A. Nyeri
Nyeri dirasakan langsung setelah terjadi trauma. Hal ini dikarenakan adanya spasme otot,
tekanan dari patahan tulang atau kerusakan jaringan sekitarnya.
B. Bengkak / edema.
Edema muncul lebih cepat dikarenakan cairan serosa (protein plasma) yang terlokalisir pada
daerah fraktur dan extravasi daerah di jaringan sekitarnya.
C. Memar / ekimosis
Merupakan perubahan warna kulit sebagai akibat dari extravasi daerah di jaringan sekitarnya.
D. Spame otot
Merupakan kontraksi otot involunter yang terjadi disekitar fraktur.
E. Penurunan sensasi
Terjadi karena kerusakan syaraf, tertekannya syaraf karena edema.
F. Gangguan fungsi
Terjadi karena ketidakstabilan tulang yang fraktur, nyeri atau spasme otot, paralysis dapat
terjadi karena kerusakan syaraf.
G. Mobilitas abnormal
Adalah pergerakan yang terjadi pada bagian-bagian yang pada kondisi normalnya tidak
terjadi pergerakan. Ini terjadi pada fraktur tulang panjang.
H. Krepitasi
Merupakan rasa gemeretak yang terjadi jika bagian-bagaian tulang digerakkan.
I. Deformitas
Abnormalnya posisi dari tulang sebagai hasil dari kecelakaan atau trauma dan pergerakan
otot yang mendorong fragmen tulang ke posisi abnormal, akan menyebabkan tulang kehilangan
bentuk normalnya.
J. Gambaran X-ray menentukan fraktur
Gambaran ini akan menentukan lokasi dan tipe fraktur
Anamnesis
Biasanya penderita datang dengan suatu trauma (traumatik, fraktur), baik yang hebat
maupun trauma ringan dan diikuti dengan ketidakmampuan untuk menggunakan anggota
gerak. Anamnesis harus dilakukan dengan cermat, karena fraktur tidak selamanya terjadi di
daerah trauma dan mungkin fraktur terjadi pada daerah lain.
Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan awal penderita, perlu diperhatikan adanya:
1. Syok, anemia atau perdarahan
2. Kerusakan pada organ-organ lain, misalnya otak, sumsum tulang belakang atau organ-
organ dalam rongga toraks, panggul dan abdomen
3. Fraktur predisposisi, misalnya pada fraktur patologis
Pemeriksaan lokal
1. Inspeksi (Look)
- Bandingkan dengan bagian yang sehat
- Perhatikan posisi anggota gerak
- Keadaan umum penderita secara keseluruhan
- Ekspresi wajah karena nyeri
- Lidah kering atau basah
- Adanya tanda-tanda anemia karena perdarahan
- Apakah terdapat luka pada kulit dan jaringan lunak untuk membedakan fraktur
tertutup atau fraktur terbuka
- Ekstravasasi darah subkutan dalam beberapa jam sampai beberapa hari
- Perhatikan adanya deformitas berupa angulasi, rotasi dan kependekan
- Lakukan survei pada seluruh tubuh apakah ada trauma pada organ-organlain
- Perhatikan kondisi mental penderita
- Keadaan vaskularisasi
2. Palpasi (Feel)
Palpasi dilakukan secara hati-hati oleh karena penderita biasanya mengeluh sangatnyeri.
- Temperatur setempat yang meningkat
- Nyeri tekan; nyeri tekan yang bersifat superfisial biasanya disebabkan oleh
kerusakan jaringan lunak yang dalam akibat fraktur pada tulang
- Krepitasi; dapat diketahui dengan perabaan dan harus dilakukan secara hati-hati
- Pemeriksaan vaskuler pada daerah distal trauma berupa palpasi arteri radialis,
arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior sesuai dengan anggota gerak yang
terkena
- Refilling (pengisian) arteri pada kuku, warna kulit pada bagian distal daerah
trauma , temperatur kulit
- Pengukuran tungkai terutama pada tungkai bawah untuk mengetahui adanya
perbedaan panjang tungkai
3. Pergerakan (Move)
Pergerakan dengan mengajak penderita untuk menggerakkan secara aktif dan pasif
sendi proksimal dan distal dari daerah yang mengalami trauma. Pada pederita dengan
fraktur, setiap gerakan akan menyebabkan nyeri hebat sehingga uji pergerakan tidak boleh
dilakukan secara kasar, disamping itu juga dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan
lunak seperti pembuluh darah dan saraf.
5. Pemeriksaan Radiologi.
- Sinar –X
Dengan pemeriksaan klinik kita sudah dapat mencurigai adanya fraktur.
Walaupun demikian pemeriksaan radiologis diperlukan untuk menentukan
keadaan, lokasi serta eksistensi fraktur. Untuk menghindari nyeri serta kerusakan
jaringan lunak selanjutnya, maka sebaiknya kita mempergunakan bidai yang
bersifat radiolusen untuk imobilisasi sementara sebelum dilakukan pemeriksaan
radiologis.
Tujuan pemeriksaan radiologis:
Untuk mempelajari gambaran normal tulang dan sendi.
Untuk konfirmasi adanya fraktur.
Untuk mengetahui sejauh mana pergerakan dan konfigurasi fragmen serta
pergerakannya.
Untuk mengetahui teknik pengobatan.
Untuk menentukan apakah fraktur itu baru atau tidak.
Untuk menentukan apakah fraktur intra-artikuler atau ekstra-artikuler.
Untuk melihat adanya keadaan patologis lain pada tulang.
Untuk melihat adanya benda asing.
- Pemeriksaan dengan sinar-X harus dilakukan dengan ketentuan ´Rules of Two´:
Dua pandangan
Fraktur atau dislokasi mungkin tidak terlihat pada film sinar-X tunggal dan
sekurang-kurangnya harus dilakukan 2 sudut pandang (AP & Lateral/Oblique).
Dua sendi
Pada lengan bawah atau kaki, satu tulang dapat mengalami fraktur atau
angulasi. Tetapi angulasi tidak mungkin terjadi kecuali kalau tulang yang lain juga
patah, atau suatu sendi mengalami dislokasi. Sendi-sendi diatas dan di bawah
fraktur keduanya harus disertakan dalam foto sinar-X.
Dua tungkai
Pada sinar-X anak-anak epifise dapat mengacaukan diagnosis fraktur. Foto
pada tungkai yang tidak cedera akan bermanfaat.
6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Fraktur Terbuka penanggulangan fraktur terbuka
Beberapa prinsip dasar pengelolaan fraktur tebuka:
- obati fraktur terbuka sebagai satu kegawatan.
- adakan evaluasi awal dan diagnosis akan adanya kelainan yang dapat
menyebabkan kematian.
- berikan antibiotic dalam ruang gawat darurat, di kamar operasi dan setelah operasi.
- segera dilakukan debrideman dan irigasi yang baik
Fraktur dengan luka yang hebat memerlukan suatu fraksi skeletal atau
reduksi terbuka dengan fiksasi eksterna tulang. fraktur grade II dan III sebaiknya
difiksasi dengan fiksasi eksterna.
- Penutupan kulit
Apabila fraktur terbuka diobati dalam waktu periode emas (6-7 jam mulai dari
terjadinya kecelakaan), maka sebaiknya kulit ditutup. hal ini dilakukan apabila
penutupan membuat kulit sangat tegang. dapat dilakukan split thickness skin-graft
serta pemasangan drainase isap untuk mencegah akumulasi darah dan serum pada
luka yang dalam. luka dapat dibiarkan terbuka setelah beberapa hari tapi tidak lebih
dari 10 hari. kulit dapat ditutup kembali disebut delayed primary closure. yang perlu
mendapat perhatian adalah penutupan kulit tidak dipaksakan yang mengakibatkan
sehingga kulit menjadi tegang.
- Pemberian antibiotic
Pemberian antibiotik bertujuan untuk mencegah infeksi. antibiotik diberikan
dalam dosis yang adekuat sebelum, pada saat dan sesuadah tindakan operasi
Proses penyembuhan
Suatu fraktur dimulai sejak terjadi fraktur sebagai usaha tubuh untuk memperbaiki
kerusakan – kerusakan yang dialaminya. Penyembuhan dari fraktur dipengaruhi oleh
beberapa faktor lokal dan faktor sistemik, adapun faktor lokal:
a. Lokasi fraktur
b. Jenis tulang yang mengalami fraktur.
c. Reposisi anatomis dan immobilasi yang stabil.
d. Adanya kontak antar fragmen.
e. Ada tidaknya infeksi.
f. Tingkatan dari fraktur.
Adapun faktor sistemik adalah :
a. Keadaan umum pasien
b. Umur
c. Malnutrisi
d. Penyakit sistemik.
1. Fase Inflamasi:
Tahap inflamasi berlangsung beberapa hari dan hilang dengan berkurangnya
pembengkakan dan nyeri. Terjadi perdarahan dalam jaringan yang cidera dan pembentukan
hematoma di tempat patah tulang. Ujung fragmen tulang mengalami devitalisasi karena
terputusnya pasokan darah terjadi hipoksia dan inflamasi yang menginduksi ekpresi gen dan
mempromosikan pembelahan sel dan migrasi menuju tempat fraktur untuk memulai
penyembuhan. Produksi atau pelepasan dari faktor pertumbuhan spesifik, Sitokin, dapat
membuat kondisi mikro yang sesuai untuk :
(1) Menstimulasi pembentukan periosteal osteoblast dan osifikasi intra membran pada
tempat fraktur,
(2) Menstimulasi pembelahan sel dan migrasi menuju tempat fraktur, dan
(3) Menstimulasi kondrosit untuk berdiferensiasi pada kalus lunak dengan osifikasi
endokondral yang mengiringinya.
Berkumpulnya darah pada fase hematom awalnya diduga akibat robekan pembuluh
darah lokal yang terfokus pada suatu tempat tertentu. Namun pada perkembangan
selanjutnya hematom bukan hanya disebabkan oleh robekan pembuluh darah tetapi juga
berperan faktor-faktor inflamasi yang menimbulkan kondisi pembengkakan lokal. Waktu
terjadinya proses ini dimulai saat fraktur terjadi sampai 2 – 3 minggu.
2. Fase proliferasi
Kira-kira 5 hari hematom akan mengalami organisasi, terbentuk benang-benang
fibrin dalam jendalan darah, membentuk jaringan untuk revaskularisasi, dan invasi fibroblast
dan osteoblast. Fibroblast dan osteoblast (berkembang dari osteosit, sel endotel, dan sel
periosteum) akan menghasilkan kolagen dan proteoglikan sebagai matriks kolagen pada
patahan tulang. Terbentuk jaringan ikat fibrous dan tulang rawan (osteoid). Dari periosteum,
tampak pertumbuhan melingkar. Kalus tulang rawan tersebut dirangsang oleh gerakan mikro
minimal pada tempat patah tulang. Tetapi gerakan yang berlebihan akan merusak struktur
kalus. Tulang yang sedang aktif tumbuh menunjukkan potensial elektronegatif. Pada fase ini
dimulai pada minggu ke 2 – 3 setelah terjadinya fraktur dan berakhir pada minggu ke 4 – 8.
Jenis-jenis Kalus
Dikenal beberapa jenis kalus sesuai dengan letak kalus tersebut berada terbentuk
kalus primer sebagai akibat adanya fraktur terjadi dalam waktu 2 minggu Bridging (soft)
callus terjadi bila tepi-tepi tulang yang fraktur tidak bersambung. Medullary (hard) Callus
akan melengkapi bridging callus secara perlahan-lahan. Kalus eksternal berada paling luar
daerah fraktur di bawah periosteum periosteal callus terbentuk di antara periosteum dan
tulang yang fraktur. Interfragmentary callus merupakan kalus yang terbentuk dan mengisi
celah fraktur di antara tulang yang fraktur. Medullary callus terbentuk di dalam medulla
tulang disekitar daerah fraktur.
4. Stadium Konsolidasi
Dengan aktifitas osteoklast dan osteoblast yang terus menerus, tulang yang
immature (woven bone) diubah menjadi mature (lamellar bone). Keadaan tulang ini
menjadi lebih kuat sehingga osteoklast dapat menembus jaringan debris pada daerah fraktur
dan diikuti osteoblast yang akan mengisi celah di antara fragmen dengan tulang yang baru.
Proses ini berjalan perlahan-lahan selama beberapa bulan sebelum tulang cukup kuat untuk
menerima beban yang normal.
5. Stadium Remodelling.
Fraktur telah dihubungkan dengan selubung tulang yang kuat dengan bentuk yang
berbeda dengan tulang normal. Dalam waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun terjadi
proses pembentukan dan penyerapan tulang yang terus menerus lamella yang tebal akan
terbentuk pada sisi dengan tekanan yang tinggi. Rongga medulla akan terbentuk kembali
dan diameter tulang kembali pada ukuran semula. Akhirnya tulang akan kembali mendekati
bentuk semulanya, terutama pada anak-anak. Pada keadaan ini tulang telah sembuh secara
klinis dan radiologi.
Fase Inflamasi
Fase Proliferasi
Fase Pembentukan
Fase Remodelling
Komplikasi
Komplikasi awal fraktur maksila dapat berupa pendarahan ekstensif serta gangguan
pada jalan nafas akibat pergeseran fragmen fraktur, edema, dan pembengkakan soft tissue.
Infeksi pada luka maksilari lebih jarang dibandingkan pada luka fraktur mandibula. Padahal
luka terkontaminasi saat tejadi cedera oleh segmen gigi dan sinus yang juga mengalami
fraktur. Infeksi akibat fraktur yang melewati sinus biasanya tidak akan terjadi kecuali
terdapat obstruksi sebelumnya. Pada Le Fort II dan III, daerah kribiform dapat pula
mengalami fraktur, sehingga terjadi rhinorrhea cairan serebrospinal. Selain itu, kebutaan
juga dapat terjadi akibat pendarahan dalam selubung dural nervus optikus. Komplikasi akhir
dapat berupa kegagalan penyatuan tulang yang mengalami fraktur, penyatuan yang salah,
obstruksi sistem lakrimal, anestesia/hipoestesia infraorbita, devitalisasi gigi,
ketidakseimbangan otot ekstraokuler, diplopia, dan enoftalmus. Kenampakan wajah juga
dapat berubah (memanjang, retrusi).