Anda di halaman 1dari 10

BAB III

KAITAN TEORI
3.1 Bencana
3.1.1 Definisi
Menurut Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang
Penanggulangan Bencana, definisi bencana adalah peristiwa atau rangkaian
peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan
masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam
maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa
manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak
psikologis. Menurut WHO (2002) adalah setiap kejadian yang menyebabkan
kerusakan, gangguan ekologis, hilangnya nyawa manusia, atau
memburuknya derajat kesehatan atau pelayanan kesehatan pada skala tertentu
yang memerlukan respon dari luar masyarakat atau wilayah yang terkena.
Sedangkan bencana dapat didefinisikan sebagai peristiwa atau kejadian pada
suatu daerah yang mengakibatkan kerusakan ekologi, kerugian kehidupan
manusia, serta memburuknya kesehatan dan pelayanan kesehatan yang
bermakna sehingga memerlukan bantuan luar biasa dari pihak luar.
(Departemen Kesehatan RI, 2001).
Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa bencana merupakan
peristiwa atau kejadian yang dapat merugikan manusia baik berupa materiel
maupun non materiel.

3.1.2 Jenis – Jenis Bencana


(NILA MASIH SALAH )

5
3.2 DVI ( Disaster Victim Identification)
3.2.1 Definisi
DVI (Disaster Victim Identification) adalah suatu definisi yang
diberikan sebagai sebuah prosedur untuk mengidentifikasi korban mati akibat
bencana massal secara ilmiah yang dapat dipertanggung-jawabkan dan
mengacu kepada standar baku Interpol. Adapun proses DVI meliputi 5 fase,
dimana setiap fasenya mempunyai keterkaitan satu dengan yang lainnya,
yang terdiri dari ‘The Scene’, ‘The Mortuary’, ‘Ante Mortem Information
Retrieval’, ‘Reconciliation’ and ‘Debriefing’ (Dikshit, 2007).
Dalam melakukan proses tersebut terdapat bermacam-macam metode
dan teknik identifikasi yang dapat digunakan. Namun demikian Interpol
menentukan Primary Indentifiers yang terdiri dari Fingerprints, Dental
Records dan DNA serta Secondary Indentifiers yang terdiri dari Medical,
Property dan Photography. Prinsip dari proses identifikasi ini adalah dengan
membandingkan data Ante Mortem dan Post Mortem, semakin banyak yang
cocok maka akan semakin baik. Primary Identifiers mempunyai nilai yang
sangat tinggi bila dibandingkan dengan Secondary Identifiers (Dikshit, 2007).

3.2.2 Tujuan DVI


Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari 13.667 pulau
dengan batas luasnya sebesar 2.027.087 km2 mempunyai kurang lebih 129
gunung merapi. Secara geologis Indonesia terletak di pertemuan di antara 3
plat tektonik utama (Eurasia, Indo-Australia dan Mediterania) dan secara
demografi terdiri dari bermacam-macam etnik, agama, latar belakang sosial
dan budaya, dimana keadaan tersebut memberikan petunjuk bahwa
Indonesia berisiko tinggi sebagai negara yang rawan dari bencana alam
terjadinya gempa bumi, Tsunami, longsor, banjir maupun kecelakaan baik
darat, laut maupun udara. Bencana massal didefinisikan sebagai suatu
peristiwa yang disebabkan oleh alam atau karena ulah manusia, yang dapat
terjadi secara tiba-tiba atau perlahan-lahan, yang menyebabkan hilangnya
jiwa manusia, kerusakan harta benda dan lingkungan, serta melampaui
kemampuan dan sumber daya masyarakat untuk menanggulanginya.
Umumnya korban yang hidup telah banyak dapat diatasi oleh tim medis,
paramedis dan tim pendukung lainnya. Namun berbeda bagi korban yang
sudah mati yang perlu ditangani secara khusus dengan membentuk tim
khusus pula. Dalam penggolongannya bencana massal dibedakan menjadi 2
tipe. Pertama : Natural Disaster, seperti Tsunami, gempa bumi, banjir, tanah
longsor dan sejenisnya. Sedangkan yang kedua, dikenal sebagai ‘Man Made
Disaster’ yang dapat berupa kelalaian manusia itu sendiri seperti:
kecelakaan udara, laut, darat, kebakaran hutan dan sejenisnya serta akibat
ulah manusia yang telah direncanakannya seperti pada kasus terorisme
(Asep, 2007 ; Eddy, 2006).
Berdasarkan hal tersebut, maka dibentuklah DVI (Disaster Victim
Identification) yang merupakan suatu definisi yang diberikan sebagai
sebuah prosedur untuk mengidentifikasi korban mati akibat bencana massal
secara ilmiah yang dapat dipertanggung-jawabkan dan mengacu kepada
standar baku Interpol (Dikshit, 2007).

3.2.3 Prosedur DVI


Bencana alam yang terjadi sangatlah beraneka ragam, hal ini
mengakibatkan prosedur identifikasi korban yang dikerjakan oleh tim DVI
juga sangatlah bervariasi dan tentunya tetap disesuaikan dengan standar
DVI Interpol. Ketika terjadi bencana dan tim telah dibentuk, maka
rangkaian DVI dimulai. Segala bentuk pemeriksaan meliputi pengambilan
gambar, perekaman dan pelabelan yang dikerjakan sekaligus dengan
pemeriksaan informasi postmortem akan dicatat pada formulir DVI
Interpol (Satuan Kesehatan Mabes Polri, 2017).

3.2.4 Phase DVI


Saat bencana terjadi, ada beberapa tahapan prosedur untuk
mengidentifikasi korban bencana dan melibatkan kolaborasi antar profesi
dalam satu tim. Tim DVI   terdiri dari ahli patologi forensik, ahli antropologi
forensik, ahli biologi molekuler forensik, dokter gigi forensik, fotografer, dan
teknisi. Indonesia menggunakan prosedur DVI INTERPOL untuk pemulihan
dan identifikasi korban bencana massal. Tidak setiap negara menggunakan
prosedur ini, misalnya: Amerika Serikat tidak menggunakan prosedur
INTERPOL DVI ini. Tahap mengidentifikasi korban bencana massal terdiri
dari scene (pencarian dan evakuasi jenazah), fase kamar jenazah tempat
dilakukan pemeriksaan postmortem, fase kompilasi data antemortem, dan
fase rekonsiliasi.

a) Scene (Pencarian dan Evakuasi Jenazah)


Pada fase awal ini, tim DIV datang menuju tempat kejadian untuk
melakukan pencarian jenazah, pencarian bagian tubuh, pelabelan,
dokumentasi, serta memasukkan jenazah ke dalam kantong jenazah. Tiap-
tiap kantong jenazah diberikan label orange yang memuat informasi tim
pemeriksa, lokasi penemuan dan nomer tubuh mayat, serta diberikan label
putih untuk barang-barang korban yang tercecer.  Proses ini akan
membantu dalam proses penyidikan selanjutnya (Indriati, 2014). Pemetaan
wilayah bencana harus dilakukan oleh tim DVI dengan cara mebuat sektor
atau zona pada TKP dengan ukuran 5 x 5 m yang disesuaikan dengan
situasi geografis (Depkes RI, 2007).
b) Fase Postmortem (Pemeriksaan Pada Kamar Jenazah)
Pada fase ini, dilakukan berbagai pemeriksaan yang keseluruhannya
dilakukan untuk memperoleh dan mencatat data selengkap-lengkapnya
mengenai mayat korban. Pemeriksaan postmortem umumnya dilakukan
pada kamar jenazah rumah sakit. Kegiatan yang berlangsung di kamar
jenazah diantaranya
1. Kantong jenazah dari korban bencana akan dibawa ke kamar jenazah
setelah pengambilan sidik jari, dan menandatangani formulir
pelacakan, mendapatkan informasi dari mana jenazah itu berasal.
2. Catat nomor kantong jenazah dan cocokkan dengan formulir DVI
postmortem yang berwarna pink.
3. Dilakukan tahapan pembersihan jenazah dengan cara dimandikan dan
dilakukan pencatatan.
4. Antropologi forensik mengidentifikasi jenis kelamin, usia, perawakan,
keturunan.
5. Lakukan rontgen dada jika banyak korban berusia lanjut untuk
mendeteksi kemungkinan alat pacu jantung.
6. Patologi forensik melakukan otopsi, mencatat tato, bekas luka, bukti
luka, penyakit, dan kelainan fisik.
7. Dokter gigi forensic melakukan pemeriksaan gigi yang meliputi
pengambilan radiografi gigi untuk mengetahui ada tambalan gigi, gigi
tiruan, mahkota gigi untuk sesuai dengan catatan gigi yang tersedia.
8. Ambil sampel untuk kemungkinan tes DNA di masa depan.
9. Dalam kasus fragmentasi tubuh, catat fragmentasi tubuh: bagian tubuh
mana yang hilang, kanan atau kiri, atas atau bawah. Tahap ini berguna
untuk mengidentifikasi tubuh tanpa kepala dan kepala tanpa tubuh.
10. Pengambilan sampel untuk pemeriksaan DNA (darah, jaringan),
semua data pemeriksaan postmortem dicatat dalam formulir pink
(Indriati, 2014).

Gambar 1. formulir pink untuk mecatat data pemeriksaan


postmortem

c)  Fase Antemortem

Fase pengumpulan data antemortem, yaitu pengumpulan data dari anggota


keluarga, teman, dokter, dokter gigi (rekam medis-untuk pencocokan ciri
identifikasi primer). Data yang dikumpulkan meliputi tanda-tanda vital,
karakter tertentu, perhiasan, jam tangan, pakaian (untuk pencocokan
sebagai ciri identifikasi sekunder). Data antemortem dikumpulkan melalui
informasi yang diberikan oleh anggota keluarga dan catatan medis dan gigi
dari jenazah. Beberapa contoh pertanyaan yang dapat diajukan untuk pihak
keluarga untuk memenuhi proses identifikasi adalah sebagai berikut :
1. Kapan terakhir kali Anda bertemu dengannya?
2. Pakaian apa yang dia pakai?
3. Merek jam tangan apa yang dia pakai?
4. Apakah Anda tahu ukuran sepatunya?
5. Apakah Anda tahu seberapa tinggi dia?
6. Apakah Anda memiliki foto terbaru?
7. Apakah dia pernah dioperasi, jika ada di bagian tubuh mana?
8. Apakah dia memiliki ciri fisik yang unik seperti tato di dalam
tubuhnya; jenis tato, tahi lalat, atau tanda lahir apa ?
9. Apakah Anda tahu apakah dia memiliki SIM?
10. Bisakah Anda mendapatkan catatan gigi dari dokter gigi sebelumnya
11. Bisakah Anda memberi kami rekam medis dari perawatan medis
sebelumnya?

Gambar 2. Semua data antemortem dicatat dalam bentuk formulir


berwarna kuning (Indriati, 2014).
d) Fase Rekonsiliasi

Fase rekonsiliasi merupakan fase ketika pemeriksaan post mortem dibahas


agar sesuai dengan data antemortem yang didapat dari pihak keluarga.
Untuk membandingkan data antemortem dengan data postmortem sering
menimbulkan perdebatan sering terjadi ketika sulit menyatukan data
terkait. Metode identifikasi primer seperti gigi, sidik jari, DNA dan
metode identifikasi sekunder: properti, medis, fotografi, dokumen
ditemukan kecocokan oleh semua pihak yang memberikan bukti dan bukti
maka korban akan teridentifikasi positif serta ditandatangani dan diberi
tanggal (Indriati, 2014). Korban yang telah diidentifikasi akan
direkonstruksi hingga didapatkan kondisi tubuh terbaik dan kemudian
dikembalikan pada keluarganya untuk dimakamkan. Namun, korban yang
tidak teridentifikasi maka data postmortem jenazah tetap disimpan sampai
ditemukan data antemortem yang sesuai dengan temuan postmortem
jenazah, dan pemakaman jenazah menjadi tanggung jawab organisasi yang
memimpin komando DVI (Satuan Kesehatan Mabes Polri, 2017).

3.2.5 Target Operasi DVI

Adapun target menjalankan operasi DVI diantaranya :

1.  Teridentifikasi

Proses identifikasi terhadap korban dari suatu bencana menjadi


penting karena dapat membantu untuk menentukan identitas para korban
tersebut dalam peristiwa-peristiwa yang memiliki karakteristik sebagai
bencana massal (mass disaster), baik bencana yang diakibatkan oleh
peristiwa alam (natural disaster) seperti gunung meletus, gempa bumi,
tsunami dan lain-lain, bencana yang diakibatkan oleh ulah manusia (man
made disaster) seperti tindak kriminalitas (peledakan bom oleh teroris),
human error yang mengakibatkan kecelakaan pesawat, kereta api maupun
lalu lintas lainnya, serta bencana yang diakibatkan oleh kombinasi ulah
manusia dan peristiwa alam sebagai suatu proses sebab akibat-seperti
tanah longsor akibat penggundulan hutan secara illegal (Idries, 1997).
Prinsipnya adalah pemeriksaan identitas seseorang memerlukan berbagai
metode dari yang sederhana sampai yang rumit.

 a. Metode sederhana

- Cara visual, dapat bermanfaat bila kondisi mayat masih baik,


cara ini mudah karena identitas dikenal melalui penampakan luar
baik berupa profil tubuh atau muka. Cara ini tidak dapat
diterapkan bila mayat telah busuk, terbakar, mutilasi serta harus
mempertimbangkan faktor psikologi keluarga korban (sedang
berduka, stress, sedih, dll)

- Melalui kepemilikan (properti) identitas cukup dapat dipercaya


terutama bila kepemilikan tersebut (pakaian, perhiasan, surat jati
diri) masih melekat pada tubuh korban.

- Dokumentasi, foto diri, foto keluarga, foto sekolah, KTP atau


SIM dan lain sebagainya.

b. Metode ilmiah, antara lain:

- Sidik jari
- Serologi,
- Odontologi,
- Antropologi dan
- Biologi (Bernard, 1996)

2.      Human Remain Management (HRM)

Dengan cara :

1. Beri label dan nomor

2. Catat data post mortem secara singkat

3. Kemudian di foto

4. Masukkan ke dalam body bag


5. Kenali ditempat dari visual, property, data medis
dll

6. Bila dikenali serahkan kepada anggota


keluarganya dan apabila

tidak dikenali dimakamkan dengan nomor dan label (Interpol,

2007).

3.  Mass Graved Yard

Sebuah penguburan massal adalah penguburan yang berisi beberapa


jenazah, yang mungkin atau mungkin tidak diidentifikasi sebelum
pemakaman. PBB telah mendefinisikan sebuah penguburan kriminal
massal sebagai situs pemakaman yang berisi tiga atau lebih korban
eksekusi. Meskipun definisi yang pasti tidak bulat disepakati, penguburan
massal biasanya dibuat setelah banyak orang meninggal atau terbunuh, dan
ada keinginan untuk menguburkan mayat secepatnya demi masalah
sanitasi. Meskipun penguburan massal dapat digunakan dalam konflik
besar seperti perang dan kejahatan, di zaman modern penguburan dapat
digunakan setelah kelaparan, epidemi atau bencana alam (Oxford
University, 2015).

3.2.6 Kendala DVI


(KAK NANDA)

3.3 Kaitan Kasus dan Teori

Anda mungkin juga menyukai