Anda di halaman 1dari 20

STUDENT PROJECT

OCCLUSAL ADJUSTMENT: A CASE REPORT


“OCCLUSAL DISEASE”

Pembimbing : drg. Ni Kadek Eka Widiadnyani, Sp.KG


Penguji : drg. Louise Cinthia Hutomo, Sp.Ort

KELOMPOK SGD 3
Luh Putu Nitya Wirasasi 1702551002
Livica Sanggra Dewi Yanna 1702551004
Made Yuda Pradnyana 1702551008
Ni Putu Rahayuni 1702551032
Ni Wayan Nilawati 1702551035
Ni Putu Diva Candra Dewi 1702551039
Muhammad Rafif Musyaffa 1702551045
Yuliartanty Ernandarini 1602551007
Made Ayu Nadya Ksata Yadnya 1602551046

PROGRAM STUDI SARJANA KEDOKTERAN GIGI


DAN PROFESI DOKTER GIGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas kasih
karunia dan rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan penugasan makalah berupa case
report (journal reading) yang berjudul “Occlusal Disease” dengan baik dan tepat
pada waktunya. Penugasan ini disusun dalam rangka memenuhi mata kuliah pada
blok Clinical Dental Science VIII. Dalam penyusunan student project ini, berbagai
bantuan, petunjuk, serta saran dan masukan kami dapatkan dari banyak pihak. Oleh
karena itu, dalam kesempatan ini kami berterimakasih kepada beberapa pihak yang
membantu melancarkan pembuatan dari Student Project ini, yaitu:
1. Dosen fasilitator drg. Ni Kadek Eka Widiadnyani, Sp.KG selaku pembimbing
student project. Penugasan yang kami buat ini tentulah tidak luput dari
kesalahan dan kekurangan, oleh karenanya masukan, saran, sanggahan, dan
koreksi sangatlah diperlukan dalam membuat penugasan selanjutnya agar
menjadi lebih baik.
2. Dosen Penguji drg. Louise Cinthia Hutomo, Sp.Ort yang juga selaku penguji
student project ini.
3. Serta teman-teman anggota SGD 3 yang telah menyusun student project ini
sehingga terselesaikan tepat pada waktunya.

Denpasar, 6 April 2021

Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL....................................................................................... i
KATA PENGANTAR.................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR...................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................
BAB II LAPORAN KASUS...........................................................................
BAB III KAITAN DENGAN TEORI...........................................................
3.1 Occlusal Disease........................................................................................
3.2 Gejala Occlusal Disease.............................................................................
a. Oral dyskinesia......................................................................................
b. Gejala aural (earache dan tinnitus).......................................................
c. Glosodynia (nyeri lidah)........................................................................
d. Tension-type headache..........................................................................
e. Vertigo...................................................................................................
3.3 Perawatan Occlusal Disease.......................................................................
a. Soft laser teraphy ..................................................................................
b. Selective grinding..................................................................................
c. Bite Plate................................................................................................
3.4 Kaitan dengan teori.....................................................................................
BAB IV PENUTUP.........................................................................................
4.1 Simpulan...................................................................................................
4.2 Saran.........................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit oklusal didefinisikan sebagai proses yang dapat mengakibatkan hilang


atau rusaknya permukaan gigi yang dapat menyebabkan terjadinya gangguan fungsi,
rasa nyeri atau keduanya. Penyakit ini disebabkan oleh perbedaan antara posisi otot
dan habitual occlusal position (HOP). Penyakit oklusal dapat dikatakan sebagai
temporomandibular disorder, namun istilah penyakit oklusal lebih tepat digunakan
karena menjelaskan perbedaan anara posisi otot dan habitual occlusal position (HOP)
(Lytle, 2001; Torii, 2018).
Konsep penyakit oklusal belum mampu dipahami oleh sebagaian besar dokter
gigi sehingga penyakit ini tidak langsung dikenali pada fase-fase awal terjadinya.
Dokter gigi mengenali gejala dari penyakit oklusal ini ialah terjadinya keausan karena
tekanan pada permukaan gigi yang diakibatkan oleh bruxism. Namun kondisi ini
merupakan tingkatan lanjut dari penyakit oklusal. Brill et al tahun 1959 menjelaskan
bahwa ketepan dari posisi otot dan gigi (intercuspal) merupakan kondisi yang
fisiologis, sedangkan terjadinya tidak ketepatan dari kedua posisi ini menjadi indikasi
kondisi patologis dari penyakit oklusal (Lytle, 2001; Torii, 2018).
Rasa nyeri dan lelah pada otot wajah dan mastikasi atau nyeri temporomandibula
(TMJ) merupakan manifestasi gejala yang paling umum berhubungan dengan
penyakit oklusal. Sering kali gejala ini tidak diketahui oleh seorang dokter gigi karena
jarang dilaporkan oleh pasien. Selain rasa nyeri dan lelah otot, gejala penyakit oklusal
lainnya seperti leher terasa kaku, sakit kepala, nyeri wajah, sakit telinga, bunyi klik
ketika membuka atau menutup mulut (Khan, 2013).
Perawatan penyakit oklusal untuk mengubah habitual occlusal position dan
mendapatkan posisi otot fisiologis dilakukan penyesuaian oklusal menggunakan bite
plate-induced occlusal position (BPOP). BPOP bekerja sebagai referensi posisi otot
dan menganalisis oklusi pasien dengan temporomandibular disorder. Penyesuaian
oklusal dilakukan berbasis bukti dari bite plate-induced occlusal position (BPOP)
kemudian dilakukan penyesuaian berdasarkan hasil analisis oklusal yang dievaluasi
(Torii & Chiwata 2010; Torii,2018).
Berdasarkan uraian diatas maka penulis mengangkat topik berupa laporan kasus
mengenai penyakit oklusal dengan penatalaksanaan penyesuaian oklusal
menggunakan bite plate-induced occlusal position (BPOP).
BAB II
LAPORAN KASUS

Kasus I
Seorang pasien wanita 17 tahun datang mengunjungi dokter gigi dengan keluhan
utamanya yaitu sakit di daerah TMJ kanannya disertai clicking. Pasien merupakan
seorang pelajar SMA dan merupakan anak dari seorang dokter gigi. Pasien menyadari
keluhan clicking sejak usianya 12 tahun. Pasien didiagnosis mengalami bilateral disk
displacement dengan reduksi disertai artralgia. Setelah menggunakan bite plate, rasa
sakitnya reda dan analisis terhadap BPOP dilakukan. Analisis menunjukkan prematur
kontak pada molar kedua pada kedua sisi.
Pemeriksaan pertama pada 23 Maret 1993, dilakukan pencetakan untuk membuat
full coverage type bite plate. Pasien pertama kali menggunakan bite plate pada 30
Maret. Pada tanggal 1 April, rasa nyerinya reda dan diambil pencatatan wax BPOP.
Model gigi dipasangkan pada artikulator bersamaan dengan catatan wax BPOP.
Penyesuaian oklusal dilakukan pada model kemudian pada rongga mulut pasien
merujuk pada model. Prosedur yang sama dilakukan hingga kontak oklusal di kedua
sisi diperoleh. Penyesuaian oklusal dilakukan sebanyak 4 kali, clicking dan nyeri
hilang secara total setelah 5 minggu perawatan.

Kasus II
Seorang pasien perempuan berusia 25 tahun datang ke dokter gigi dengan
keluhan utama keterbatasan dalam membuka rahang serta nyeri pada pelipis kanan,
leher dan bahu. Pasien menyebutkan bahwa ia sering mengalami nyeri pada TMJ sisi
kirinya dan keterbatasan dalam membuka rahang. Tidak ada riwayat kesehatan yang
menonjol. Tidak terdeteksi adanya deviasi midline, overbite dan overjet sangat
minimal. Pembukaan rahang maksimum tanpa bantuan adalah 28mm.
Pasien mengatakan adanya nyeri tekan pada pemeriksaan palpasi pada TMJ kiri,
temporalis anterior kanan, platisma kanan dan sternokleidomastoideus serta
pterigoideus eksternal dan medial kiri. Pada saat membuka rahang, terlihat deviasi ke
sebelah kiri. Pasien melaporkan telinga kirinya terasa tersumbat dan adanya gejala
pada mata yaitu refleks kedip pada mata bagian bawahnya.
Gambar 1. Pemeriksaan palpasi pada pasien
Pasien didiagnosa nyeri myofacial dengan pembukaan rahang terbatas. Pasien

dibuatkan bite plate dan setelah 1 minggu pemakaian, pembukaan rahang maksimum
tanpa bantuan meningkat menjadi 45mm. Setelah 2 minggu pemakaian, semua nyeri
tekan hilang kecuali pterygoideus eksternal dan medial kiri serta pada
sternokleidomastoideus.

Gambar 2. Pasien menggunakan bite plate

Gambar 3. Lebar pembukaan rahang pasien meningkat


Model gigi ditanamkan pada artikulator dengan catatan wax BPOP dan mounting
plate rahang atas digerakkan ke bawah hingga gigi berkontak. Kontak prematur
dianalisis dan didapatkan hasil yaitu adanya kontak prematur molar kedua pada kedua
sisi.
Gambar 4. Prematur kontak terdeteksi pada molar kedua di kedua sisi rahang
Diskrepansi oklusal HOP dan BPOP diperiksa pada artikulator. Indikator merah
merupakan BPOP dan indikator biru merupakan HOP. HOP pasien mengalami
deviasi kearah antero-lateral pada sisi kiri dan postero-madial pada sisi kanan.
Prematur kontak dihilangkan pada model dan dilakukan grinding pada rongga mulut
pasien sesuai dengan yang dilakukan pada model. Setelah dilakukan penyesuaian
oklusal, pasien tidak lagi mengalami nyeri tekan pada pemeriksaan palpasi. Setelah
penyebab dihilangkan, rasa nyeri pada otot bahu, leher dan bagian temporal kanan
hilang secara total. Gejala pada mata juga hilang dan pasien dinyatakan sembuh
sekitar 3 bulan setelah pemeriksaan pertama.

Kasus III
Seorang pasien laki-laki 51 tahun datang dengan keluhan utama yaitu adanya
keterbatasan saat membuka mulut dan nyeri pada TMJ kiri. Pasien tidak sadar akan
adanya clicking pada kunjungan pertamanya. Pembukaan rahang maksimum tanpa
bantuan adalah 25mm.
Pasien dibuatkan bite plate dan setelah 2 minggu pemakaian, pembukaan
maksimum rahangnya meningkat menjadi 46mm dan model gigi ditanamkan pada
artikulator. Pasien didiagnosa mengalami disk displacement tanpa reduksi dan
keterbatasan dalam membuka rahang. Karena kondilus tidak bergerak dengan mulus,
maka dilakukan soft laser teraphy pada TMJ kiri. Soft laser teraphy dan bite plate
dilakukan selama 3 bulan dan setelah itu kondilus dapat bergerak dengan mulus dan
nyeri pada TMJ mulai reda. Setelah gejala reda, model gigi rahang atas dan bawah
ditanamkan pada artikulator bersama dengan catatan wax BPOP. Terdapat celah semu
berbentuk wedge pada kedua sisi rahang. Celah tersebut ditutup dengan restorasi.
Setelah itu, tidak ada gejala yang berulang setelah 14 tahun follow-up sementara
restorasi mengalami keausan karena pemakaian dan harus dilakuakan sedikit
perbaikan.

Gambar 5. Pasien menggunakan bite plate

Gambar 6. Soft laser teraphy

Gambar 7. Celah wedge-shaped pada model gigi di artikulator


Gambar 8. Oklusi pasien setelah dilakukan penisian celah wegde shapeddengan restorasi
BAB III
KAITAN TEORI

3.1 Occlusal Disease


Occlusal disease merupakan berbagai macam gejala yang ditimbulkan akibat
adanya perbedaan antara Habitual Occlusal Positions (HOP) dan Muscular Positions
(MP). Occlusal disease juga dikenal dengan istilah temporomandibular disorder.
Occlusal disease ditandai dengan adanya rasa gejala nyeri yang timbul akibat dari
kelainan oklusi. Gelaja yang dapat timbul berupa rasa kaku pada leher, nyeri pada
wajah, nyeri pada telinga, serta clicking pada saat membuka dan menutup mulut.
Kelainan oklusi dapat ditimbulkan oleh adanya kerusakan restorasi, tooth
hypermobility, dan kebiasaan buruk (Khan et al., 2013).
Pada jurnal disebutkan penggunaan istilah occlusal disease lebih tepat
dibandingkan temporomandibular disorder dikarenakan gejala yang timbul murni
disebabkan oleh adanya perbedaan nilai antara habitual occlusal positions dan
muscular postion (MP). Muscular positions (MP) merupakan posisi oklusi dimana
rahang menutup akibat pergerakan volunteer otot pada posisi tubuh yang tegak.
Habitual Occlusal Positions (HOP) merupakan pergerakan penutupan rahang yang
dipengaruhi oleh keadaan gigi geligi. Habitual Occlusal Positions (HOP) pada
masing masing individu cenderung berbeda – beda. Dalam keadaan ideal habitual
occlusal positions dan muscular positions memiliki nilai yang sama, akan tetapi pada
beberapa individu, posisi habitual occlusal positions dan muscular positions memiliki
nilai yang berbeda sehingga dapat menyebabkan timbulnya keadaan patologis
(Kuttab, 2018).
Beberapa manifestasi kasus occlusal disease yaitu berupa oral dyskinesia,
painful tongue and burning mouth syndrome, dan vertigo. Oral dyskinesia merupakan
gangguan yang dapat terdiri dari adanya kelainan, gerakan yang terhambat, dan
gerakan yang tak terkendali pada lidah, bibir dan rahang (Blanchet et al., 2005).
Manifestasi nyeri lainnya yang timbul pada student project ini adalah painful tongue
and burning mouth syndrome. Burning mouth syndrome adalah nyeri kronis dengan
karakteristik adanya rasa “sensasi terbakar” di dalam rongga mulut (Teruel dan Patel,
2019).
Burning mouth syndrome juga dikenal dengan istilah stomatodynia, glossodynia,
oral dysesthesia, dan stomatopyrosis. Vertigo merupakan manifestasi nyeri
selanjutnya yang terdapat dalam kasus ini. Vertigo merupakan kumpulan gejala yang
terjadi akibat adanya gangguan pada sistem keseimbangan. Keluhan yang dapat
ditemukan pada individu dengan keadaan vertigo berupa rasa berputar atau keluhan
berupa rasa ditarik atau didorong terhadap bidang vertikal (Setiawati dan Susianti,
2016).

3.2 Gejala Occlusal Disease


Gejala yang berhubungan dengan penyakit oklusal diantaranya, oral dyskinesia,
glossodynia (nyeri lidah), burning mouth syndrome, tension-type headache, gejala
aural (sakit telinga dan tinnitus, dan vertigo (Torii, 2016).
a. Oral dyskinesia
Oral dyskinesia terdiri dari gerakan abnormal, tidak sadar, dan tidak
terkendali yang terutama mengenai lidah, bibir, dan rahang. Dimana oral
dyskinesia sering muncul dengan kompleksitas, distribusi, dan tingkat keparahan
yang berbeda-beda. Oral dyskinesia mungkin merupakan sumber nyeri yang
tidak dapat dikenali yang memiliki beberapa penyebab potensial diantaranya
kekakuan otot, degenerasi TMJ, cidera rahang bawah, lesi traumatis mukosa dan
gingiva, atau gangguan retensi dengan perpindahan perangkat prostetik gigi
(Blanchet dkk, 2005).
b. Gejala aural (earache dan tinnitus)
Gejala aural (earache dan tinnitus) diduga disebabkan oleh kontraksi
sinkronis otot tensor timpani dan otot pengunyahan (Torii, 2018).
c. Glossodynia (nyeri lidah) dan burning mouth syndrome
Glossodynia (nyeri lidah) dan burning mouth syndrome diduga karena chorda
tympani terjepit di antara malleus dan incus dengan tegangan tensor tympani
yang dihasilkan secara serempak dengan kontraksi otot pengunyahan. Chorda
tympani bercabang dari saraf wajah dan melewati antara malleus dan incus,
kemudian bergabung dengan saraf lingual, yang bertugas untuk mengecap dan
mengeluarkan air liur (Torii, 2018).
d. Tension-type headache
Tension-type headache dianggap berkaitan dengan ketegangan otot
pengunyahan (Torii, 2018). Sakit kepala tipe ini bisa infrequent episodic atau
frequent episodic. Infrequent episodic tension-tension type headache didiagnosis
berdasarkan serangan ≤1 yang berlangsung selama 30 menit hingga 7 hari dan
ditandai dengan nyeri bilateral, nonpulsating, nyeri ringan, dengan atau tanpa
nyeri perikranial. Tipe frequent episodic menunjukkan karakteristik yang sama
dan didiagnosis berdasarkan serangan >1 tetapi <15 serangan perbulan selama ≥3
bulan (Abouelhuda dkk, 2017).
e. Vertigo
Asosiasi vertigo dengan TMD telah diperdebatkan selama bertahun-tahun.
Beberapa studi epidemiologi telah mencoba untuk menunjukkan mekanisme
interaksi dan hubungan antara vertigo dan TMD, tetapi topik ini masih
kontroversial. Adapun hipotesis menurut Williamsons bahwa vertigo dapat
terjadi karena rangsangan nyeri yang disebabkan oleh jaringan peridiskal TMJ,
yang menghasilkan penyempitan arteri di daerah temporal dan menurunkan
suplai darah ke bagian vestibula telinga bagian dalam (Marchiori dkk, 2014).
3.3 Perawatan Occlusal Disease
a. Soft Laser Terapy
Perawatan soft laser teraphy juga sering disebut dengan low level laser
therapy (LLLT), merupakan metode perawatan yang diperkenalkan pertama kali
pada tahun 1966, dengan menginisiasi perbaikan jaringan mengunakan aplikasi
dari low-energy laser ruby. LLLT adalah perawatan sumber cahaya non-invasif
yang menghasilkan satu panjang gelombang cahaya. LLLT tidak memancarkan
panas, suara, atau getaran. LLLT juga disebut fotobiologi atau biostimulasi.
LLLT dipercaya dapat mempengaruhi fungsi sel jaringan ikat (fibroblas),
mempercepat perbaikan jaringan ikat dan bertindak sebagai agen anti inflamasi
(Intan, 2016).
Mekanisme kerja LLLT telah dicoba dianalisis pada beberapa penelitian in
vitro. Mekanismenya dipengaruhi oleh jenis sel yang terpapar, panjang
gelombang dan dosis. Adapun Fungsi utama dari sinar leser ini yaitu
(Wimardhani,2010):
1. Fungsi analgesik (λ=630-650nm, λ=780900nm)
2. Fungsi antiinflamasi (dengan panjang gelombang yang sama)
3. Fungsi perbaikan jaringan (λ=780-805nm)
Keuntungan dari penggunaan LLLT sendiri sama dengan keuntungan
menggunakan laser pada umumnya, yaitu memperbaiki hemostatik pada daerah
pembedahan sehingga memudahkan operator bekerja dengan baik karena daerah
kerja yang bersih dan penurunan rasa sakit bila dilakukan dengan metode laser.
Penyembuhan yang baik pada jaringan setelah operasi juga sangat cepat
dibandingkan dengan perawatan pembedahan, mengurangi terbentuknya jaringan
parut yang akan mengurangi kerusakan jaringan kolateral, kurangnya trauma,
pengontrolan terhadap dalamnya kerusakan jaringan dan pembaharuan sel
myofibroblastic pada luka dan dapat digunakan pada daerah yang sulit dijangkau.
Kelemahan dari penggunaan laser sendiri yaitu dari segi biaya perawatan dengan
terapi laser sangat mahal, hal ini dikarenakan alatnya yang mahal dan tambahan
biaya operator profesional untuk melakukan prosedur perawatan (Wimardhani,
2010).
b. Selektif Grinding
Selektif Grinding atau penyelarasan oklusal adalah tindakan yang dilakukan
untuk membentuk kembali permukaan oklusal gigi dengan pengasahan untuk
menciptakan hubungan kontak yang harmonis antara gigi geligi rahang atas dan
bawah.
Tujuan dilakukannya selektif grinding yaitu:
1. Memodifikasi permukaan oklusal gigi-gigi dengan mengasah pada lokasi
tertentu.
2. Menghilangkan kontak oklusal yang menyimpang.
3. Memperoleh demensi vertikal yang benar.
4. Menciptakan relasi kontak yang harmonis antara gigi geligi rahang atas
dan bawah.
Secara garis besar prosedur selektif grinding terdiri dari beberapa tahap yaitu:
1. Menjelaskan tindakan selektif grinding kepada pasien.
2. Penyelarasan posisi interkuspal untuk mendapatkan kontak yang simultan
dengan banyak titik kontak.
3. Penyingkiran kontak yang berlebih pada gigi incisivus dalam posisi
interkuspal.
4. Pemolesan permukaan gigi (Julian dan Risky, 2018).
c. Bite plate
Bite plate merupakan alat yang terbuat dari resin transparan dan dipasang
pada gigi, sehingga melindungi gigi dari kontak dengan gigi pada rahang yang
berlawanan. Bite plate juga memungkinkan otot-otot rahang rileks dan
memberikan kenyamanan di area rahang. Bite plate berguna sebagai tambahan
untuk terapi periodontik dan ortodontik. Bite plate dapat digunakan sebagai alat
diagnostik, untuk membebaskan gigi dari trauma dengan cara memperbaiki
artikulasinya, untuk memungkinkan ekstrusi gigi dan mencegah deformitas
tulang sekitarnya serta menghilangkan trauma oklusal yang mungkin disebabkan
oleh kebiasaan parafungsional yang dapat berkembang selama pergerakan gigi
ortodontik. Mengenakan bite plate bisa sangat tidak nyaman pada awalnya. Alat
ini mencegah gigi-gigi bersentuhan (Torii, 2018).
BPOP didefinisikan sebagai posisi di mana pasien secara sadar menutup
mulutnya sambil duduk dalam posisi tegak setelah memakai bite plate dan
kemudian melepaskan plat tersebut. Penyesuaian oklusal dilanjutkan sampai
kontak oklusal bilateral diperoleh di BPOP. Hasil perawatan dievaluasi
menggunakan indeks disfungsi subjektif (SDI) dan indeks disfungsi klinis
helkimo (CDI) sebelum dan setelah penyesuaian oklusal. Perubahan dalam dua
indeks ini antara pemeriksaan pertama dan pemeriksaan tindak lanjut satu tahun
kemudian dianalisis. Selain itu, perbedaan antara HOP dan BPOP diukur secara
tiga dimensi sebelum dan sesudah pengobatan (Torii, 2018).
3.4 Kaitan Dengan Teori
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN

4.1 Simpulan
Occlusal disease merupakan gejala yang timbul akibat adanya perbedaan antara
habitual occlusal positions (HOP) dan muscular position (MP). Occlusal disease di
tandai dengan adanya rasa nyeri yang timbul akibat dari kelainan oklusi. Gejala yang
daapat timbul yaitu berupa rasa kaku pada leher, nyeri pada wajah, nyeri pada telinga,
serta clicking pasa saat membuka dan menutup mulut. Kelainan ini disebabkan oleh
kerusakan restorasi, tooth hypermobility, dan kebiasaan buruk.
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan yaitu dengan menggunakan bite plate
yang terbuat dari resin transparan untuk membebaskan gigi dari trauma dengan cara
memperbaiki diskrepansi antara MP dan HOP. Perawatan soft laser teraphy atau
sering disebut juga low level laser therapy merupakan terapi menggunakan aplikasi
dari low-energy laser ruby. Perawatan soft laser teraphy dapat menginisiasi
perbaikan jaringan TMJ yang mengalami trauma atau cidera akibat adanya occlusal
disease. Selective grinding atau penyelarasan oklusal juga merupakan perawatan yang
dapat dilakukan untuk membentuk kembali permukaan oklusal gigi dengan
pengasahan sehingga menciptakan hubungan kontak yang baik antara gigi geligi
rahang atas dan rahang bawah.
4.2 Saran
Berdasarkan student project yang telah dibuat terdapat beberapa saran yang dapat
diberikan:
a. Saran bagi mahasiswa kedokteran gigi
Mahasiswa kedokteran gigi diharapkan mampu memahami dan mengidentifikasi
penyakit oklusal (occlusal disease) dan terapi perawatan untuk penyakit oklusal.
b. Saran bagi dokter gigi
Dokter gigi diharapkan mampu memahami dan mengidentifikasi penyakit oklusal
(occlusal disease) dan terapi perawatan untuk dapat mengatasi penyakit oklusal
pada pasien.
c. Saran bagi peneliti selanjutnya
Peneliti selanjtnya diharapkan lebih banyak mencari informasi dan refrensi terbaru
dan valid terkait penyakit oklusal (occlusal disease) dan terapi perawatan yang
dapat menunjang penelitian selanjutnya untuk menjadi lebih baik lagi.

DAFTAR PUSTAKA

Abouelhuda, A. M., Kim, H. S., Kim, S. Y., & Kim, Y. K. (2017). Association
between headache and temporomandibular disorder. Journal of the Korean
Association of Oral and Maxillofacial Surgeons, 43(6), 363–367.
https://doi.org/10.5125/jkaoms.2017.43.6.363

Blanchet, P.J., Rompré, P.H., Lavigne, G.J. and Lamarche, C., 2005. Oral dyskinesia:
A clinical overview. International Journal of Prosthodontics, 18(1), pp.10–
19.
Intan,andi. 2016. Efek Sinergis dari Pemberian Amoxicilin dan Low Level Laser
Therapy pada Klebsiella Pneumoniae.
Julia,lovina & Rizki,shela. 2018. Prinsip-Prinsip Selektif Grinding. Scribd.com.
Online at https://www.scribd.com/document/380091513/Prinsip-Prinsip-
Selektif-Grinding-Oklusal-Adjustment-Koronoplasti,

Khan, M.T. et al., 2013. Neuromuscular dentistry: Occlusal diseases and posture.
Journal of Oral Biology and Craniofacial Research, 3(3), pp.146–150.
Available at: http://dx.doi.org/10.1016/j.jobcr.2013.03.003.

Khan, M.T., Verma, S.K., Maheshwari, S., Zahid, S.N. and Chaudhary, P.K., 2013.
Neuromuscular dentistry: Occlusal diseases and posture. Journal of oral
biology and craniofacial research, 3(3), pp.146-150

Kuttab, J.I., 2018. Dental health and prevention. The 5-Minute Pediatric Consult, 8th
Edition, 1(Figure 3), pp.272–273.

Lytle, J.D., 2001. Occlusal disease revisited: Part I--Function and parafunction.
International
Marchiori, L. L., Oltramari-Navarro, P. V., Meneses-Barrivieira, C. L., Melo, J. J.,
Macedo, J., Bruniera, J. R., Gorres, V. C., & Navarro, R. 2014. Probable
Correlation between Temporomandibular Dysfunction and Vertigo in the
Elderly. International archives of otorhinolaryngology, 18(1), 49–53.
https://doi.org/10.1055/s-0033-1358583 Journal of Periodontics &
Restorative Dentistry, 21(3).
M Kessler J. Periodontol. 1980. The bite plate--an adjunct in periodontic and
orthodontic therapy.

Setiawati, M. and Susianti, 2016. Diagnosis dan Tatalaksana Vertigo. Majority, 5(4),
pp.91–95.XTeruel, A. and Patel, S., 2019. Burning mouth syndrome: A review of
etiology, diagnosis, and management. General Dentistry, 67(2), pp.24–29. e, 6(1),
pp.1-8.
Torii, K., 2018. Occlusal disease. J Den Health Res, 1, pp.1-10.

Torii, K. and Chiwata, I., 2010. Occlusal adjustment using the bite plate-induced
occlusal position as a reference position for temporomandibular disorders: a
pilot study. Head & Face Medicin
Torii, K., Chiwata, I. 2010. Occlusal adjustment using the bite plate-induced occlusal
position as a reference position for temporomandibular disorders: a pilot
study. Head Face Med 6, 5

Torii, K,. 2016. Coxalgia and temporomandibular disorders: a case report.


International Archives of Medicine. 10.3823/2165.

Wimardhani, Yuniardini.2010. ow-Level Laser Therapy for Treatment of Oral


Mucositis. Journal of Dentistry Indonesia 17(3):93-100

Anda mungkin juga menyukai