Anda di halaman 1dari 20

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Identifikasi merupakan tahapan penting untuk memastikan keberadaan
korban, untuk menentukan identitas dan otensitas selengkap-lengkapnya demi
menegakkan kebenaran dari suatu kepentingan hukum. Karena menyangkut
juga status hukum keluarga yang ditinggalkan. Identifikasi benar-benar sangat
dibutuhkan karena pada akhirnya berkaitan dengan berbagai hal antara lain
status perkawinan seseorang, harta (warisan, asuransi, maupun tunjangan)
maupun keinginan untuk menghormati korban sesuai agama ataupun
keyakinan.
Dokter gigi manapun dapat berhadapan dengan situasi dimana ia harus
memeriksa orang yang terluka akibat gigitan, terutama pada kasus KDRT,
kekerasan pada anak, perkosaan, dan kasus-kasus kriminal lainnya. Kondisi
luka yang diderita bisa saja remeh atau serius dan orang yang terluka dapat
saja hidup atau mati.
Oleh karena itu, sangatlah penting bagi dokter gigi untuk memiliki
kemampuan mengidentifikasi dan mendeskripsikan luka, yang mungkin saja
memiliki dampak serius medikolegal dikemudian hari. Oleh karenanya,
sangatlah esensial untuk memeriksa dengan seksama dan benar serta
mengidentifikasi dan mendeskripsikan, dengan deskripsi lengkap yang tertulis
dan dokumentasi foto yang diambil saat pemeriksaan berbagai tipe luka yang
ada.
1.2 Rumusan Masalah
1. Jelaskan definisi luka bekas gigitan dan patomekanisme dari luka
bekas gigitan pada scenario dengan menggunakan histology, anatomi,
dan fisiologi!
2. Apa saja karakteristik dari luka bekas gigitan (perbedaan gigitan
manusia dan hewan)?
1

3. Bagaimana derajat/tingkat keparahan luka bekas gigitan sesuai hukum


yang berlaku?
4. Jelaskan tahapan dalam menganalisa luka bekas gigitan!
5. Jelaskan deskripsi luka bekas gigitan pada scenario!
6. Bagaimana cara menentukan luka bekas gigitan post mortem dan ante
mortem?
7. Bagaimana peranan dokter gigi sebagai saksi ahli dalam menentukan
luka bekas gigitan dan peran visum et revertum pada scenario?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian luka bekas gigitan dan patomekanisme
dari luka bekas gigitan dengan menggunakan histology, anatomi, dan
fisiologi.
2. Untuk mengetahui karakteristik dari luka bekas gigitan ( perbedaan
gigitan manusia dan hewan).
3. Untuk mengetahui derajat/tingkat keparahan luka bekas gigitan sesuai
hukum yang berlaku.
4. Untuk mengetahui tahapan dalam menganalisa luka bekas gigitan
5. Untuk mengetahui deskripsi luka bekas gigitan.
6. Untuk mengetahui cara menentukan luka bekas gigitan post mortem
dan ante mortem.
7. Untuk mengetahui peran dan fungsi visum et revertum.

BAB 2
BATASAN TOPIK
2.1 Skenario
Seorang perempuan berumur 32 tahun datang ke IRD RS Bhayangkara
ditemani penyidik yang membawa SPV. Dari hasil anamnesis diketahui kalau ia
digigit oleh selingkuhannya. Luka tersebut berada pada lengan kiri pasien. Dokter
yang menangani pasien lalu meminta pendapat keahlian kepada dokter gigi yang
bertugas di rumah sakit.

2.2 Kata kunci

1.
2.
3.
4.
5.

Digigit
Luka pada lengan kiri pasien
SPV
Perempuan 32 tahun
Dokter yang menangani pasien meminta pendapat keahlian dokter gigi

2.3 Pertanyaan
1. Jelaskan definisi luka bekas gigitan dan patomekanisme dari luka bekas
gigitan pada scenario dengan menggunakan histology, anatomi, dan
fisiologi!
2. Apa saja karakteristik dari luka bekas gigitan ( perbedaan gigitan manusia
dan hewan)?
3. Bagaimana derajat/tingkat keparahan luka bekas gigitan sesuai hukum
yang berlaku?
4. Jelaskan tahapan dalam menganalisa luka bekas gigitan!
5. Jelaskan deskripsi luka bekas gigitan pada scenario!
6. Bagaimana cara menentukan luka bekas gigitan post mortem dan ante
mortem?
7. Bagaimana peranan dokter gigi sebagai saksi ahli dalam menentukan luka
bekas gigitan dan peran visum et revertum pada scenario?

BAB 3
PEMBAHASAN
3.1 Luka bekas gigitan
3.1.1 Definisi luka bekas gigitan
Menurut William Eckert pada tahun 1992, bahwa yang dimaksud dengan
bite mark ialah tanda gigitan dari pelaku yang tertera pada kulit korban dalam
bentuk luka, jaringan kulit maupun jaringan ikat dibawah kulit sebagai akibat dari
pola permukaan gigitan dari gigi-gigi pelaku melalui kulit korban.
Menurut Bowes dan Bell pada tahun 1955 mengatakan bahwa bite mark
merupakan suatu perubahan fisik pada bagian tubuh yang disebabkan oleh kontak
atau interdigitasi antara gigi atas dengan gigi bawah sehingga struktur jaringan
terluka baik oleh gigi manusia maupun hewan.
Menurut Sopher pada tahun 1976 bahwa bite mark, baik bite mark yang
ditimbulkan oleh hewan berbeda dengan manusia oleh karena perbedaan
morfologi dan anatomi gigig eligi serta bentuk rahangnya.
Menurut Curran dan kawan-kawan pada tahun 1680 bahwa bite mark pada
hewan buas yang dominan membuat luka adalah gigi caninus atau taring yang
berbentuk kerucut.
Menurut Levine pada tahun 1976 bahwa bite mark baik pola permukaan
kunyah maupun permukaan hasil gigitan yang mengakibatkan putusnya jaringan
kulit, dan dibawahnya baik pada jaringan tubuh manusia maupun pada buahbuahan tertentu misalnya buah apel dapat ditemukan baik korban hidup maupun
yang sudah meninggal.
3.1.2 Patomekanisme luka bekas gigitan
Terdapat tiga mekanisme utama yang berkaitan dengan terbentuknya luka
bekas gigitan (bite mark), yakni: tekanan oleh gigi, tekanan oleh lidah, dan
kikisan dari gigi. Tanda yang berasal dari tekanan gigi disebabkan oleh aplikasi
tekanan dari incisal edge gigi anterior/ occlusal edge gigi posterior. Tingkat
keparahan bite mark tergantung dari durasi, derajat dari gaya yang diaplikasikan
5

dan derajat pergerakan dari gigi dan jaringan. Tampakan klinis dari tekanan oleh
gigi menampakan daerah yang pucat sebagai incisal edge dan memar dari incisal
margin. Tekanan yang berasal dari lidah terjadi pada saat benda (dalam hal ini
bagian tubuh korban) masuk ke dalam mulut, benda tersebut akan didorong oleh
lidah ke arah gigi geligi atau rugae palatal dan tanda tanda khas akan muncul
akibat tongue sucking/thrusting(isapan/ dorongan oleh lidah). Kikisan oleh gigi
disebabkan oleh permukaan gigi yang cenderung melibatkan gigi anterior.
Tampakan klinisnya dapat berupa goresan dan abrasi. Goresan dan abrasi
mengindikasikan irregularitas dan peculiaritas dari incisal edge dan berguna
dalam identifikasi.
Bite mark terjadi ketika mandibula menutup, diikuti oleh isapan pada kulit
(tekanan negatif), pada arah yang berlawanan, terjadi dorongan oleh lidah, yang
menimbulkan bekas yang dapat dilihat pada gigi insisivus dan

permukaan

lingualnya. Secara umum, ketika menggigit, gigi rahang atas berperan sebagai
penahan, sementara gigi rahang bawah berperan untuk menggigit. Bekas dari gigi
rahang atas dapat digunakan untuk melihat bentuk dan ukuran dari lengkung gigi.

Incisal edge ditandai dengan warna pucat

Incisal margin ditandai dengan memar

(Sumber Gambar: Modul 1 PBL Blok Forensik)

(Sumber gambar: Incisal edge. [internet]. www.google.co.id. Accessed 6 May


2016)

Tekanan oleh
lidah

(Sumber Gambar: Kaur S, Krishan K, Chatterjee PM, Kanchan T. Analysis and


identification of bite marks in forensic casework. OHDM 2013; 12(3): 128)

3.2 Karakteristik luka bekas gigitan


Luka bekas gigitan manusia terdiri dari dua bentuk lengkung rahang
berbentuk U yang merupakan lengkung rahang mandibula dan maksila yang
terpisah antara satu dengan yang lainnya. Lengkung gigi dari manusia dihasilkan
dari enam gigi anterior. Luka bekas gigitan manusia pada umumnya berbentuk
sirkular hingga oval dibandingkan dengan luka bekas gigitan hewan yang
biasanya berbentuk U. Ketika hanya gigi pada salah satu rahang yang berkontak
dengan kulit ketika digigit, maka hanya akan tampak tanda bentuk C. Diameter
dari luka bekas gigitan biasanya bervariasi antara 25-40 mm.Ukuran luka yang
diduga disebabkan oleh manusia harus ditentukan dari parameter yang diketahui
mengenai gigi geligi manusia. Akibat tekanan yang dihasilkan dari gigi dan
tekanan negatif yang disebabkan oleh lidah dan efek menghisap, terdapat
pendarahan ekstravaskular yang menyebabkan memar pada daerah tengah dari
luka bekas gigitan. Memar ini menunjukkan perubahan warna selama periode
waktu tertentu karena luka ini mengalami proses penyembuhan pada kulit dari
individu yang masih hidup.
Luka bekas gigitan hewan biasanya dapat dibedakan dari luka bekas
gigitan manusia karena adanya perbedaan pada bentuk rahang dan morfologi gigi
yang spesifik. Gigitan hewan biasanya menyebabkan terjadinya luka robek, yang
menghasilkan laserasi pada kulit dan luka terbuka. Gigitan hewan misalnya
anjing, yang merupakan gigitan hewan paling sering terjadi, dikarakteristikkan
dengan lengkung gigi anterior yang sempit dan terdiri dari luka gigitan yang
dalam pada daerah yang kecil. Gigitan anjing (hewan karnivora lainnya) biasanya
lebih sering menyebabkan terjadinya avulse pada jaringan manusia pada
saatdigigit. Selain itu, misalnya pada luka bekas gigitan kucing biasanya
berukuran kecil dan bulat dengan adanya gigi taring yang tajam akibat dari bentuk
kerucut dari gigi tersebut.
Karakteristik luka bekas gigitan, terdiri dari:
a. Karakteristik klas

Menurut Manual of American Board of Forensic Odontology (ABFO),


karakteristik klas merupakan suatu karekteristik atau pola yang
membedakan bekas gigitan dengan pola cederal ainnya.
Karakteristik klas merupakan formula dari lengkung rahang yang
tebentuk pada media yang digigit, dalam hal ini dapat berupa kulit
ataupun objek lainnya.
Karakteristik berdasarkan data dilihat dari:
- Bentuk oval atau pun bulat
- Dimensi maksimal/minimal dari rahang
- Hewan atau manusia
- Dewasa atau anak-anak
- Luka memar
b. Karakteristik individual
Karakteristik individual ada pola yang terbentuk oleh dari gigi
penggigit. Karakteristik individual dibagi atas dua sub kelompok:
- Karakteristikrahang
Karakteristik rahang merupakan pola yang menggambarkan
susunan gigi melalui bekas gigitan dan hubugannya dengan
lengkung rahang. Dapat dilihat berdasarkan; rotasi gigi, bukoversi
-

atau lingoversi, mesiodistal drifting, dan garis horizontal.


Karakteristik gigi
Karakteristik gigi merupakan pola yang menggambarkan variasi
dari setiap masing-masing gigi yang terbentuk pada masing-masing
gigi. Dalam hal ini dapat dilihat dari; angulasi gigi, fraktur, bentuk,
dan pola keausan gigi tersebut.

3.3 Tingkat keparahan luka


3.3.1 Penentuan derajat luka dari aspek hukum
Suatu perlukaan dapat menimbulkan dampak pada korban dari segi fisik,
psikis, sosial dan pekerjaan, yang dapat timbul segera, dalam jangka pendek,
ataupun jangka panjang. Dampak perlukaan tersebut memegang peranan penting
bagi hakim dalam menentukan beratnya sanksi pidana yang harus dijatuhkan
sesuai dengan rasa keadilan. Hukum pidana Indonesia mengenal delik
penganiayaan yang terdiri dari tiga tingkatan dengan hukuman yang berbeda yaitu
penganiayaan ringan (pidana maksimum 3 bulan penjara), penganiayaan (pidana
9

maksimum 2 tahun 8 bulan), dan penganiayaan yang menimbulkan luka berat


(pidana maksimum 5 tahun).
Ketiga tingkatan penganiayaan tersebut diatur dalam pasal 352 (1) KUHP
untuk penganiayaan ringan, pasal 351 (1) KUHP untuk penganiayaan, dan pasal
352 (2) KUHP untuk penganiayaan yang menimbulkan luka berat. Setiap
kecederaan harus dikaitkan dengan ketiga pasal tersebut. Untuk hal tersebut
seorang

dokter

yang

memeriksa

cedera

harus

menyimpulkan

dengan

menggunakan bahasa awam, termasuk pasal mana kecederaan korban yang


bersangkutan.
Rumusan hukum tentang penganiayaan ringan sebagaimana diatur dalam
pasal 352 (1) KUHP menyatakan bahwa penganiayaan yang tidak menimbulkan
penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian,
diancam, sebagai penganiayaan ringan. Jadi bila luka pada seorang korban
diharapkan dapat sembuh sempurna dan tidak menimbulkan penyakit atau
komplikasinya, maka luka tersebut dimasukkan ke dalam kategori tersebut.
Selanjutnya rumusan hukum tentang penganiayaan (sedang) sebagaimana diatur
dalam pasal 351 (1) KUHP tidak menyatakan apapun tentang penyakit. Sehingga
bila kita memeriksa seorang korban dan didapati penyakit akibat kekerasan
tersebut, maka korban dimasukkan ke dalam kategori tersebut.
Akhirnya, rumusan hukum tentang penganiayaan yang menimbulkan luka
berat diatur dalam pasal 351 (2) KUHP yang menyatakan bahwa Jika perbuatan
mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara
paling lama lima tahun. Luka berat itu sendiri telah diatur dalam pasal 90 KUHP
secara limitatif. Sehingga bila kita memeriksa seorang korban dan didapati salah
satu luka sebagaimana dicantumkan dalam pasal 90 KUHP, maka korban tersebut
dimasukkan dalam kategori tersebut. Luka berat menurut pasal 90 KUHP adalah :
jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh
sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut;

10

tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan


pencarian;
kehilangan salah satu panca indera;
mendapat cacat berat;
menderita sakit lumpuh;
terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih;
gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.

3.3.2 Derajat keparahan luka bekas gigitan :


(1) Memar yang sangat Tidak telihat tanda bekas gigitan, lengkung gigi yang
ringan

tidak terlihat jelas, yang mungkin dapat disebabkan


oleh hal lain selain gigi.

(2)

Memar

terlihat Terlihat area luka disebabkan oleh gigi tetapi kulit

jelas
(3)

masih tetap utuh.


Memar

terlihat Laserasi kecil yang disebabkan oleh gigi pada aspek

sangat jelas

yang paling parah dari luka, yang kemungkinan


dinilai sebagai luka bekas gigitan yang pasti.

(4) Laserasi

Terdapat beberapa area dari laserasi, dengan beberapa


memar.

(5) Avulsi sebagian

Terdapat beberapa laserasi yang mengindikasikan gigi


sebagai penyebab paling mungkin dari luka.

(6) Avulsi menyeluruh

Tepi luka yang bergerigi (tidak rata) mengindikasikan


bahwa gigi adalah penyebab dari luka tersebut. Bisa
saja merupakan luka bekas gigitan yang tidak terliha
tjelas.

11

Berdasarkan pada scenario, terlihat adanya bekas gigitan dan tampak memar
maka derajat luka bekas gigitan tersebut termasuk dalam score dua (memar
terlihat jelas) yaitu terlihat area luka disebabkan oleh gigi tetapi kulit masih tetap
utuh.

3.4 Tahapan dalam menganalisa


Analisa bite mark dilakukan hanyalah korban terdapat bite mark manusia.
Karena Bite mark oleh hewan dapat segera diketahui. Maka tim identifikasi
maupun tim penyidik haruslah dengan lincah dapat membedakan segera bite
mark hewan maupun bite mark manusia di tempat kejadian perkara atau pada
tubuh korban.
Cara menganalisa luka bekas gigitan
1. History (Riwayat): Riwayat dental dari tersangka gigitan harus diambil
segera setelah gigitan terjadi untuk mencocokan dengan luka bekas
gigitan, misalnya ada daerah edentulous.
2. Fotografi: Pengambilan foto diambil secara extraoral dan intraoral. Foto
ekstraoral terdiri dari citra wajah secara menyeluruh (full face) dan foto
profil (dari samping). Foto intraoral terdiri dari pandangan frontal, lateral
dua arah, dan pandangan oklusal dari setiap lengkung gigi. Foto
pembukaan maksimal dari mulut juga perlu dilakukan. Bila terdapat
bahan/ alat seperti makanan yang digunakan untuk uji gigitan (test bite),
maka hasilnya perlu dijelaskan dalam foto tersebut.
3. Pemeriksaan ekstraoral: Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat dan
mencatat jaringan jaringan yang mempengaruhi pergerakan dari proses
menggigit (biting dynamic). Perlu dilakukan pengukuran dari pembukaan

12

mulut maksimal yang dapat dilakukan tersangka dan adanya gangguan


dalam membuka dan menutup mulut pun harus dicatat.
4. Pemeriksaan intraoral: Pemeriksaan ini dilakukan dengan mengambil
saliva, lidah harus diperiksa ukuran maupun aktivitas lidah tersebut ketika
berfungsi. Selain itu status periodontal juga harus diperiksa bila ada
kegoyangan pada gigi.
5. Pencetakan: Dua lengkung rahang harus dicetak menggunakan bahan
cetak yang memenuhi spesifikasi ADA. Oklusi dan relasi rahang harus
dicatat. Apabila

dilakukan

pencetakan

pada

bite

mark

manusia

haruslah digunakan bahan cetak yang flow sistem antara lain alginat dan
sejenisnya. Kemudian untuk organ tubuh yang bulat adalah yang
paling sulit untuk dilakukan pencetakan ini dicetak menggunakan
masker dari kain keras yang digunting dan dibentuk sesuai dengan
daerah sekitar bite mark sehingga bahan cetak yang flow sistem
tidak berhambur keluar dari daerah sekitar bite mark karena dijaga
oleh masker yang digunakan tersebut.
6. Cara Mencetak Bite mark
Mencetak bite mark terdapat berbagai cara antara lain dengan
menggunakan mangkok cetak dari masker kain keras atau dengan
menggunakan kain sepanjang diameter cetakan dan berlapis-lapis.
Selanjutnya diaduk bahan cetak yang flow sistem ditempatkan dan
ditekan dengan getaran pada sekitar bite mark kemudian mangkok
cetak diisi setengah dari mangkok oleh bahan yang flow sistem kemudian
disajikan satu dengan bahan flow sistem bite mark.
7.

Hasil Cetakan
Hasil cetakan dari Bite mark menghasilkan suatu model dari gips yang
telah di cor dengan menggunakan dentalstone tipe II dari model negative
kemudian dicekatkan giginya pada okludator atau artikulator apabila
gigitannya tidak stabil. Hal ini dapat diketahui terdapat bite mark
rahang atas maupun rahang bawah.

8. Pembuatan sampel gigitan: Dalam menganalisa luka bekas gigitan perlu


dibuatkan sampel gigitan, misalnya dengan cara menggigit bahan seperti

13

malam merah ataupun keju untuk mendapatkan model gigitan yang dapat
dipelajari

3.5 Deskripsi luka

Berdasarkan gambar dari hasil foto close up pada scenario diatas, lokasi luka
tidak dapat ditentukan secara objektif. Terlihat satu luka lecet tekan tertutup dan
terlihat adanya eritema dengan ukuran luka 5,5 cm X 4,3 cm. pada luka tampak
tonjolan gigi yang tegas, dengan batas yang jelas, dan terlihat adanya gigi yang
malposisi.

Berdasarkan karakteristik luka tersebut maka jenis luka dapat

disimpulkan sebagai luka bekas gigitan manusia.


3.6 Perbedaan luka ante mortem dan post mortem

14

Gambaran klinis dari luka bekas gigitan tergantung dari beberapa variabel,
misalnya lokasi anatomi (deposisi lemak; jaringan keras di bawahnya; ketebalan,
elastisitas, dan vaskularisasi kulit), banyaknya gigi yang berkontak pada kulit,
besar kekuatan, arah dan jenis gigitan, oklusi dari penggigit dan kesehatan
mulutnya. Ketika korban individu masih hidup, efek penyembuhan akan
mengubah tampakan dari luka bekas gigitan seiring dengan waktu. Selain itu,
jaringan yang mengalami luka, terutama kulit, menunjukkan karakteristik
inflamasi yaitu eritema (kemerahan), pembengkakan, panas, dan rasa sakit.
Sedangkan untuk luka bekas gigitan post mortem, tanda makroskopik tersebut
tidak terlihata kibat tidak adanya reaksi vital yang terjadi dan biasanya telah
terjadi perubahan post mortem.
Pada

gambaran

mikroskopik,

luka

bekas

gigitan

ante

mortem

menunjukkan sel darah merah yang mengalami ekstravasasi pada jaringan adipose
dan sedikit perluasan kelapisan otot. Sementara pada luka bekas gigitan post
mortem tidak menunjukkan adanya sel darah merah yang mengalami ekstravasasi
baik pada jaringan ikat, jaringan adiposa, ataupun lapisan otot.
3.7 Peran dan fungsi visum et revertum
Visum et Repertum (VeR) merupakan salah satu bantuan yang sering
diminta oleh pihak penyidik (polisi) kepada dokter menyangkut perlukaan pada
tubuh manusia. Visum et Repertum (VeR) merupakan alat bukti dalam proses
peradilan yang tidak hanya memenuhi standar penulisan rekam medis, tetapi juga
harus memenuhi hal-hal yang disyaratkan dalam sistem peradilan. Sebuah VeR
yang baik harus mampu membuat terang perkara tindak pidana yang terjadi
dengan melibatkan buktibukti forensik yang cukup.
Menurut Budiyanto et al, dasar hukum VeR adalah sebagai berikut:7 Pasal
133KUHAPmenyebutkan:
(1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban
baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang
merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli

15

kepada

ahli

kedokteran

kehakiman

atau

dokterdanatauahlilainnya.

(2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan
luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.
Yang berwenang meminta keterangan ahli adalah penyidik dan penyidik
pembantu sebagaimana bunyi pasal 7(1) butir h dan pasal 11 Kitab UndangUndangHukumAcaraPidana (KUHAP). Penyidik yang dimaksud adalah penyidik
sesuai dengan pasal 6(1) butir a, yaitu penyidik yang pejabat Polisi Negara RI.
Penyidik tersebut adalah penyidik tunggal bagi pidana umum, termasuk pidana
yang berkaitan dengan kesehatan dan jiwa manusia. Oleh karena VeR adalah
keterangan ahli mengenai pidana yang berkaitan dengan kesehatan jiwa manusia,
maka penyidik pegawai negeri sipil tidak berwenang meminta VeR, karena
mereka hanya mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi
dasar hukumnya masing-masing (Pasal 7(2) KUHAP.6,7 Sanksi hukum bila
dokter menolak permintaan penyidik adalah sanksi pidana : Pasal 216 KUHP:
Barangsiapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang
dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi
sesuatu, atau oleh pejabat berdasarkan tugasnya, demikian pula yang diberi
kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana; demikian pula barangsiapa
dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan
guna menjalankan ketentuan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat
bulan dua minggu atau denda paling banyak sembilan ribu rupiah.
Visum et repertum adalah salah satu alat bukti yang sah sebagaimana
tertulis dalam pasal 184 KUHP. Visum et repertum turut berperan dalam proses
pembuktian suatu perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia. VeR
menguraikan segala sesuatu tentang hasil pemeriksaan medic yang tertuang di
dalam bagian pemberitaan, yang karenanya dapat dianggap sebagai pengganti
barang bukti. Visum et repertum juga memuat keterangan atau pendapat dokter
mengenai hasil pemeriksaan medik tersebut yang tertuang di dalam bagian
kesimpulan.

16

Bagi penyidik (polisi/polisi militer) VeR berguna untuk mengungkapkan


perkara. Bagi Penuntut Umum (Jaksa) keterangan itu berguna untuk menentukan
pasal yang akan didakwakan, sedangkan bagi hakim sebagai alat bukti formal
untuk menjatuhkan pidana atau membebaskan seseorang dari tuntutan hukum.

17

BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Luka bekas gigitan (bite mark) merupakan suatu perubahan fisik pada
bagian tubuh yang disebabkan oleh kontak atau interdigitasi antara gigi atas
dengan gigi bawah sehingga struktur jaringan terluka baik oleh gigi manusia
maupun hewan.
Bite mark terjadi ketika mandibula menutup, diikuti oleh isapan pada kulit
(tekanan negatif), pada arah yang berlawanan, terjadi dorongan oleh lidah, yang
menimbulkan bekas yang dapat dilihat pada gigi insisivus dan

permukaan

lingualnya. Secara umum, ketika menggigit, gigi rahang atas berperan sebagai
penahan, sementara gigi rahang bawah berperan untuk menggigit. Bekas dari gigi
rahang atas dapat digunakan untuk melihat bentuk dan ukuran dari lengkung gigi.
Luka bekas gigitan hewan biasanya dapat dibedakan dari luka bekas
gigitan manusia karena adanya perbedaan pada bentuk rahang dan morfologi gigi
yang spesifik. Gigitan hewan biasanya menyebabkan terjadinya luka robek, yang
menghasilkan laserasi pada kulit dan luka terbuka. Gigitan hewan misalnya
anjing, yang merupakan gigitan hewan paling sering terjadi, dikarakteristikkan
dengan lengkung gigi anterior yang sempit dan terdiri dari luka gigitan yang
dalam pada daerah yang kecil. Gigitan anjing (hewan karnivora lainnya) biasanya
lebih sering menyebabkan terjadinya avulse pada jaringan manusia pada
saatdigigit. Selain itu, misalnya pada luka bekas gigitan kucing biasanya
berukuran kecil dan bulat dengan adanya gigi taring yang tajam akibat dari bentuk
kerucut dari gigi tersebut.
4.2 Saran
Diharapkan kepada mahasiswa agar dapat meningkatkan pemahaman dengan
mencari tahu hal-hal yang belum dideskripsikan dalam makalah ini dan lebih
meningkatkan kerja sama yang lebih baik dalam pelaksanaan dan pembuatan
makalah selanjutnya.

18

Daftar pustaka
1. Lukman D. Ilmu kedokteran gigi forensik 2. Jakarta; CV Sagung Seto.
2006. P.115.
2. Kaur S, Krishan K, Chatterjee PM, Kanchan T. Analysis and identification
of bite marks in forensic casework. OHDM 2013; 12(3): 128.
3. Silva RHA, Musse J, Melani RFH, Oliveira RN. Human bite mark
identification and DNA technology in forensic dentistry. BrazJOralSci
2006; 5(19): 1194.
4. Kaur S, Krishan K, Chatterjee PM, Kanchan T. Analysis and identification
of bite marks in forensic casework. OHDM Journal. 2013:12(3).
5. Avon SL. Forensic odontology : the roles and responsibilities of the
dentist. Journal of The Canadian Dental Association. 2004:70(7).p.456.
6. Kaur S, Krishan K, Chatterjee PM, Kanchan T. Analysis an identification
of bite marks in forensic casework. OHDM 2013; 12(3): 123-131.
7. Lukman D. Ilmu kedokteran gigi forensik 2. Jakarta; CV Sagung
Seto. 2006. Hal.1-4, 115-133

8. Dolnak D, Matshes EW, Lew EO. 2006. Forensic Pathology: Principles


anda practice. Burlington: Elsevier; 168.
9. Dorion RBJ. 2011. Bite Mark Evidence: a Color Atlas and Text. 2 nd Ed.
CRC Press: Boca Raton; 242.
10. Afandi D. Visum et repertum perlukaan: aspek medikolegal dan penentuan
derajat luka. Maj Kedokt Indon 2010; 60(4): 189-93.
11. Rajshekar M, Kruger E, Tennant M. Bite marks: understanding the role of
general practitioners in forensic identification. Journal of International
Oral Health. 2012:4(2). p.1-8.
12. Mahajan A, Batra APS, Kurana BS, Seema, Kaur J. Role of bitemark
analysis in identification of a person. GJMEDPH 2012; 1(1): 57
13. Avon SL, Mayhall JT, Wood RE. Clinical and histopathological
examination of experimental bite marks in-vivo. The Journal of Forensic
Odonto-Stomatology. 2006:24(2).p. 53-62.

19

14. Afandi D. Visum et repertum perlukaan: aspek medikolegal dan penentuan


derajat luka. Maj Kedokt Indon, Volum: 60, Nomor: 4, April 2010.p.18991.

20

Anda mungkin juga menyukai