PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Identifikasi merupakan tahapan penting untuk memastikan keberadaan
korban, untuk menentukan identitas dan otensitas selengkap-lengkapnya demi
menegakkan kebenaran dari suatu kepentingan hukum. Karena menyangkut
juga status hukum keluarga yang ditinggalkan. Identifikasi benar-benar sangat
dibutuhkan karena pada akhirnya berkaitan dengan berbagai hal antara lain
status perkawinan seseorang, harta (warisan, asuransi, maupun tunjangan)
maupun keinginan untuk menghormati korban sesuai agama ataupun
keyakinan.
Dokter gigi manapun dapat berhadapan dengan situasi dimana ia harus
memeriksa orang yang terluka akibat gigitan, terutama pada kasus KDRT,
kekerasan pada anak, perkosaan, dan kasus-kasus kriminal lainnya. Kondisi
luka yang diderita bisa saja remeh atau serius dan orang yang terluka dapat
saja hidup atau mati.
Oleh karena itu, sangatlah penting bagi dokter gigi untuk memiliki
kemampuan mengidentifikasi dan mendeskripsikan luka, yang mungkin saja
memiliki dampak serius medikolegal dikemudian hari. Oleh karenanya,
sangatlah esensial untuk memeriksa dengan seksama dan benar serta
mengidentifikasi dan mendeskripsikan, dengan deskripsi lengkap yang tertulis
dan dokumentasi foto yang diambil saat pemeriksaan berbagai tipe luka yang
ada.
1.2 Rumusan Masalah
1. Jelaskan definisi luka bekas gigitan dan patomekanisme dari luka
bekas gigitan pada scenario dengan menggunakan histology, anatomi,
dan fisiologi!
2. Apa saja karakteristik dari luka bekas gigitan (perbedaan gigitan
manusia dan hewan)?
1
BAB 2
BATASAN TOPIK
2.1 Skenario
Seorang perempuan berumur 32 tahun datang ke IRD RS Bhayangkara
ditemani penyidik yang membawa SPV. Dari hasil anamnesis diketahui kalau ia
digigit oleh selingkuhannya. Luka tersebut berada pada lengan kiri pasien. Dokter
yang menangani pasien lalu meminta pendapat keahlian kepada dokter gigi yang
bertugas di rumah sakit.
1.
2.
3.
4.
5.
Digigit
Luka pada lengan kiri pasien
SPV
Perempuan 32 tahun
Dokter yang menangani pasien meminta pendapat keahlian dokter gigi
2.3 Pertanyaan
1. Jelaskan definisi luka bekas gigitan dan patomekanisme dari luka bekas
gigitan pada scenario dengan menggunakan histology, anatomi, dan
fisiologi!
2. Apa saja karakteristik dari luka bekas gigitan ( perbedaan gigitan manusia
dan hewan)?
3. Bagaimana derajat/tingkat keparahan luka bekas gigitan sesuai hukum
yang berlaku?
4. Jelaskan tahapan dalam menganalisa luka bekas gigitan!
5. Jelaskan deskripsi luka bekas gigitan pada scenario!
6. Bagaimana cara menentukan luka bekas gigitan post mortem dan ante
mortem?
7. Bagaimana peranan dokter gigi sebagai saksi ahli dalam menentukan luka
bekas gigitan dan peran visum et revertum pada scenario?
BAB 3
PEMBAHASAN
3.1 Luka bekas gigitan
3.1.1 Definisi luka bekas gigitan
Menurut William Eckert pada tahun 1992, bahwa yang dimaksud dengan
bite mark ialah tanda gigitan dari pelaku yang tertera pada kulit korban dalam
bentuk luka, jaringan kulit maupun jaringan ikat dibawah kulit sebagai akibat dari
pola permukaan gigitan dari gigi-gigi pelaku melalui kulit korban.
Menurut Bowes dan Bell pada tahun 1955 mengatakan bahwa bite mark
merupakan suatu perubahan fisik pada bagian tubuh yang disebabkan oleh kontak
atau interdigitasi antara gigi atas dengan gigi bawah sehingga struktur jaringan
terluka baik oleh gigi manusia maupun hewan.
Menurut Sopher pada tahun 1976 bahwa bite mark, baik bite mark yang
ditimbulkan oleh hewan berbeda dengan manusia oleh karena perbedaan
morfologi dan anatomi gigig eligi serta bentuk rahangnya.
Menurut Curran dan kawan-kawan pada tahun 1680 bahwa bite mark pada
hewan buas yang dominan membuat luka adalah gigi caninus atau taring yang
berbentuk kerucut.
Menurut Levine pada tahun 1976 bahwa bite mark baik pola permukaan
kunyah maupun permukaan hasil gigitan yang mengakibatkan putusnya jaringan
kulit, dan dibawahnya baik pada jaringan tubuh manusia maupun pada buahbuahan tertentu misalnya buah apel dapat ditemukan baik korban hidup maupun
yang sudah meninggal.
3.1.2 Patomekanisme luka bekas gigitan
Terdapat tiga mekanisme utama yang berkaitan dengan terbentuknya luka
bekas gigitan (bite mark), yakni: tekanan oleh gigi, tekanan oleh lidah, dan
kikisan dari gigi. Tanda yang berasal dari tekanan gigi disebabkan oleh aplikasi
tekanan dari incisal edge gigi anterior/ occlusal edge gigi posterior. Tingkat
keparahan bite mark tergantung dari durasi, derajat dari gaya yang diaplikasikan
5
dan derajat pergerakan dari gigi dan jaringan. Tampakan klinis dari tekanan oleh
gigi menampakan daerah yang pucat sebagai incisal edge dan memar dari incisal
margin. Tekanan yang berasal dari lidah terjadi pada saat benda (dalam hal ini
bagian tubuh korban) masuk ke dalam mulut, benda tersebut akan didorong oleh
lidah ke arah gigi geligi atau rugae palatal dan tanda tanda khas akan muncul
akibat tongue sucking/thrusting(isapan/ dorongan oleh lidah). Kikisan oleh gigi
disebabkan oleh permukaan gigi yang cenderung melibatkan gigi anterior.
Tampakan klinisnya dapat berupa goresan dan abrasi. Goresan dan abrasi
mengindikasikan irregularitas dan peculiaritas dari incisal edge dan berguna
dalam identifikasi.
Bite mark terjadi ketika mandibula menutup, diikuti oleh isapan pada kulit
(tekanan negatif), pada arah yang berlawanan, terjadi dorongan oleh lidah, yang
menimbulkan bekas yang dapat dilihat pada gigi insisivus dan
permukaan
lingualnya. Secara umum, ketika menggigit, gigi rahang atas berperan sebagai
penahan, sementara gigi rahang bawah berperan untuk menggigit. Bekas dari gigi
rahang atas dapat digunakan untuk melihat bentuk dan ukuran dari lengkung gigi.
Tekanan oleh
lidah
dokter
yang
memeriksa
cedera
harus
menyimpulkan
dengan
10
(2)
Memar
jelas
(3)
sangat jelas
(4) Laserasi
11
Berdasarkan pada scenario, terlihat adanya bekas gigitan dan tampak memar
maka derajat luka bekas gigitan tersebut termasuk dalam score dua (memar
terlihat jelas) yaitu terlihat area luka disebabkan oleh gigi tetapi kulit masih tetap
utuh.
12
dilakukan
pencetakan
pada
bite
mark
manusia
haruslah digunakan bahan cetak yang flow sistem antara lain alginat dan
sejenisnya. Kemudian untuk organ tubuh yang bulat adalah yang
paling sulit untuk dilakukan pencetakan ini dicetak menggunakan
masker dari kain keras yang digunting dan dibentuk sesuai dengan
daerah sekitar bite mark sehingga bahan cetak yang flow sistem
tidak berhambur keluar dari daerah sekitar bite mark karena dijaga
oleh masker yang digunakan tersebut.
6. Cara Mencetak Bite mark
Mencetak bite mark terdapat berbagai cara antara lain dengan
menggunakan mangkok cetak dari masker kain keras atau dengan
menggunakan kain sepanjang diameter cetakan dan berlapis-lapis.
Selanjutnya diaduk bahan cetak yang flow sistem ditempatkan dan
ditekan dengan getaran pada sekitar bite mark kemudian mangkok
cetak diisi setengah dari mangkok oleh bahan yang flow sistem kemudian
disajikan satu dengan bahan flow sistem bite mark.
7.
Hasil Cetakan
Hasil cetakan dari Bite mark menghasilkan suatu model dari gips yang
telah di cor dengan menggunakan dentalstone tipe II dari model negative
kemudian dicekatkan giginya pada okludator atau artikulator apabila
gigitannya tidak stabil. Hal ini dapat diketahui terdapat bite mark
rahang atas maupun rahang bawah.
13
malam merah ataupun keju untuk mendapatkan model gigitan yang dapat
dipelajari
Berdasarkan gambar dari hasil foto close up pada scenario diatas, lokasi luka
tidak dapat ditentukan secara objektif. Terlihat satu luka lecet tekan tertutup dan
terlihat adanya eritema dengan ukuran luka 5,5 cm X 4,3 cm. pada luka tampak
tonjolan gigi yang tegas, dengan batas yang jelas, dan terlihat adanya gigi yang
malposisi.
14
Gambaran klinis dari luka bekas gigitan tergantung dari beberapa variabel,
misalnya lokasi anatomi (deposisi lemak; jaringan keras di bawahnya; ketebalan,
elastisitas, dan vaskularisasi kulit), banyaknya gigi yang berkontak pada kulit,
besar kekuatan, arah dan jenis gigitan, oklusi dari penggigit dan kesehatan
mulutnya. Ketika korban individu masih hidup, efek penyembuhan akan
mengubah tampakan dari luka bekas gigitan seiring dengan waktu. Selain itu,
jaringan yang mengalami luka, terutama kulit, menunjukkan karakteristik
inflamasi yaitu eritema (kemerahan), pembengkakan, panas, dan rasa sakit.
Sedangkan untuk luka bekas gigitan post mortem, tanda makroskopik tersebut
tidak terlihata kibat tidak adanya reaksi vital yang terjadi dan biasanya telah
terjadi perubahan post mortem.
Pada
gambaran
mikroskopik,
luka
bekas
gigitan
ante
mortem
menunjukkan sel darah merah yang mengalami ekstravasasi pada jaringan adipose
dan sedikit perluasan kelapisan otot. Sementara pada luka bekas gigitan post
mortem tidak menunjukkan adanya sel darah merah yang mengalami ekstravasasi
baik pada jaringan ikat, jaringan adiposa, ataupun lapisan otot.
3.7 Peran dan fungsi visum et revertum
Visum et Repertum (VeR) merupakan salah satu bantuan yang sering
diminta oleh pihak penyidik (polisi) kepada dokter menyangkut perlukaan pada
tubuh manusia. Visum et Repertum (VeR) merupakan alat bukti dalam proses
peradilan yang tidak hanya memenuhi standar penulisan rekam medis, tetapi juga
harus memenuhi hal-hal yang disyaratkan dalam sistem peradilan. Sebuah VeR
yang baik harus mampu membuat terang perkara tindak pidana yang terjadi
dengan melibatkan buktibukti forensik yang cukup.
Menurut Budiyanto et al, dasar hukum VeR adalah sebagai berikut:7 Pasal
133KUHAPmenyebutkan:
(1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban
baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang
merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli
15
kepada
ahli
kedokteran
kehakiman
atau
dokterdanatauahlilainnya.
(2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan
luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.
Yang berwenang meminta keterangan ahli adalah penyidik dan penyidik
pembantu sebagaimana bunyi pasal 7(1) butir h dan pasal 11 Kitab UndangUndangHukumAcaraPidana (KUHAP). Penyidik yang dimaksud adalah penyidik
sesuai dengan pasal 6(1) butir a, yaitu penyidik yang pejabat Polisi Negara RI.
Penyidik tersebut adalah penyidik tunggal bagi pidana umum, termasuk pidana
yang berkaitan dengan kesehatan dan jiwa manusia. Oleh karena VeR adalah
keterangan ahli mengenai pidana yang berkaitan dengan kesehatan jiwa manusia,
maka penyidik pegawai negeri sipil tidak berwenang meminta VeR, karena
mereka hanya mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi
dasar hukumnya masing-masing (Pasal 7(2) KUHAP.6,7 Sanksi hukum bila
dokter menolak permintaan penyidik adalah sanksi pidana : Pasal 216 KUHP:
Barangsiapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang
dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi
sesuatu, atau oleh pejabat berdasarkan tugasnya, demikian pula yang diberi
kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana; demikian pula barangsiapa
dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan
guna menjalankan ketentuan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat
bulan dua minggu atau denda paling banyak sembilan ribu rupiah.
Visum et repertum adalah salah satu alat bukti yang sah sebagaimana
tertulis dalam pasal 184 KUHP. Visum et repertum turut berperan dalam proses
pembuktian suatu perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia. VeR
menguraikan segala sesuatu tentang hasil pemeriksaan medic yang tertuang di
dalam bagian pemberitaan, yang karenanya dapat dianggap sebagai pengganti
barang bukti. Visum et repertum juga memuat keterangan atau pendapat dokter
mengenai hasil pemeriksaan medik tersebut yang tertuang di dalam bagian
kesimpulan.
16
17
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Luka bekas gigitan (bite mark) merupakan suatu perubahan fisik pada
bagian tubuh yang disebabkan oleh kontak atau interdigitasi antara gigi atas
dengan gigi bawah sehingga struktur jaringan terluka baik oleh gigi manusia
maupun hewan.
Bite mark terjadi ketika mandibula menutup, diikuti oleh isapan pada kulit
(tekanan negatif), pada arah yang berlawanan, terjadi dorongan oleh lidah, yang
menimbulkan bekas yang dapat dilihat pada gigi insisivus dan
permukaan
lingualnya. Secara umum, ketika menggigit, gigi rahang atas berperan sebagai
penahan, sementara gigi rahang bawah berperan untuk menggigit. Bekas dari gigi
rahang atas dapat digunakan untuk melihat bentuk dan ukuran dari lengkung gigi.
Luka bekas gigitan hewan biasanya dapat dibedakan dari luka bekas
gigitan manusia karena adanya perbedaan pada bentuk rahang dan morfologi gigi
yang spesifik. Gigitan hewan biasanya menyebabkan terjadinya luka robek, yang
menghasilkan laserasi pada kulit dan luka terbuka. Gigitan hewan misalnya
anjing, yang merupakan gigitan hewan paling sering terjadi, dikarakteristikkan
dengan lengkung gigi anterior yang sempit dan terdiri dari luka gigitan yang
dalam pada daerah yang kecil. Gigitan anjing (hewan karnivora lainnya) biasanya
lebih sering menyebabkan terjadinya avulse pada jaringan manusia pada
saatdigigit. Selain itu, misalnya pada luka bekas gigitan kucing biasanya
berukuran kecil dan bulat dengan adanya gigi taring yang tajam akibat dari bentuk
kerucut dari gigi tersebut.
4.2 Saran
Diharapkan kepada mahasiswa agar dapat meningkatkan pemahaman dengan
mencari tahu hal-hal yang belum dideskripsikan dalam makalah ini dan lebih
meningkatkan kerja sama yang lebih baik dalam pelaksanaan dan pembuatan
makalah selanjutnya.
18
Daftar pustaka
1. Lukman D. Ilmu kedokteran gigi forensik 2. Jakarta; CV Sagung Seto.
2006. P.115.
2. Kaur S, Krishan K, Chatterjee PM, Kanchan T. Analysis and identification
of bite marks in forensic casework. OHDM 2013; 12(3): 128.
3. Silva RHA, Musse J, Melani RFH, Oliveira RN. Human bite mark
identification and DNA technology in forensic dentistry. BrazJOralSci
2006; 5(19): 1194.
4. Kaur S, Krishan K, Chatterjee PM, Kanchan T. Analysis and identification
of bite marks in forensic casework. OHDM Journal. 2013:12(3).
5. Avon SL. Forensic odontology : the roles and responsibilities of the
dentist. Journal of The Canadian Dental Association. 2004:70(7).p.456.
6. Kaur S, Krishan K, Chatterjee PM, Kanchan T. Analysis an identification
of bite marks in forensic casework. OHDM 2013; 12(3): 123-131.
7. Lukman D. Ilmu kedokteran gigi forensik 2. Jakarta; CV Sagung
Seto. 2006. Hal.1-4, 115-133
19
20