Anda di halaman 1dari 4

1.

Defenisi Luka Bekas Gigitan


Luka bekas gigitan menurut ABFO yaitu pola yang tersisa di objek atau jaringan oleh
struktur gigi hewan atau manusia. Sementara Mac Donald mendeskripsikannya sebagai
tanda yang disebabkan oleh gigi itu sendiri atau kombinasi dengan bagian mulut lain.
Luka bekas gigitan adalah pola yang dihasilkan dari gigi-gigi manusia atau hewan dan
struktur terkait dalam mulut maupun menjadi penanda dalam bekal gigitan ini. Bekas
gigitan manusia menjadi salah satu bentuk kekerasan yang sering terjadi di pengadilan
criminal.1,2

Sumber:
1. Kaur S, Krishan K, Chatterjee M, Kanchan T. Analysis and identification bite marks in
forensic casework. OHDM 2013: 12(3); 127-31.
2. Rao DS, Ali IM, Annigeri RG. Bitemarks-A review. Journal of Dental Research and
Review, 2016, 3(1): 31-2.

2. Patomekanisme luka bekas gigitan


Mekanisme luka bekas gigitan adalah hasil dari terjadinya tekanan gigi pada kulit. Hal
ini dimulai ketika mandibula menutup diikuti dengan gaya hisap pada kulit (sebagai
tekanan negatif) pada arah yang berlawanan ada dorongan dari lidah. Pada saat terjadi
gigitan terdapat tiga mekanisme utama yang menghasilkan luka bekas gigitan, tiga
mekanisme utama tersebut adalah tekanan gigi, tekanan lidah, dan pengikisan dari
gigi.Tanda dari adanya tekanan gigi disebabkan tekanan langsung dari tepi insisal dari
gigi anterior/ oklusal dari gigi posterior.Keparahan dari bekas gigitan tergantung pada
waktu, tingkat kekuatan gigitan, tingkat gerakan antara gigi dan jaringan
lunak.Gambaran klinis dari tekanan gigi ditunjukkan dengan area pucat di sekitar
gigitan dan memar di daerah yang tergigit.Tekanan lidah disebabkan ketika objek gigitan
masuk ke dalam mulut dan tertekan oleh lidah dan pada daerah yang berlawanan terdapat
gigi/rugae palatinal dan tanda yang khas.Hal ini terjadi karena terjadi isapan/dorongan
pada lidah. Pengikisan gigi terjadi karena gigi mengikis kulit dan karena terdapat juga
gaya gigitan dari arah yang berlawanan yang juga mengikis kulit. Pengikisan ini
biasanya berasal dari gigi anterior.Gambaran klinisnya bisa dalam bentuk goresan dan
abrasi.1,2
Pada kulit jika terjadi tekanan yang cukup keras akan menjadikan sebagian kulit
mengalami reaksi dan menjadi merah. Pada tempat tersebut akan menjadi
pembengkakan akibat dilatasi kapiler yang merupakan suatu respon akibat tekanan.
Pembengkakan lokal disebabkan oleh permeabilitas kapiler. Setelah itu kemerahan
karena dilatasi arteriolar dan denafasi karena hambatan syaraf akan meimbulkan rasa
nyeri. Luka bekas gigitan biasanya menyebabkan traumatik jaringan dan terputusnya
kontinuitas jaringan serta kerusakan syaraf, terdapat zat zat yang berperan dalam
menstimulasi pengeluaran neurotransmitter seperti prostaglandin, histamin, bradikinin,
dan serotonin yang terdapat pada serabut eferen yaitu di daerah Medulla spinalis, rasa
sakit yang dihasilkan biasa dirasakan oleh tubuh jika ambang batas tubuh tidak dapat
lagi menahan rasa tersebut, nyeri ini biasanya diantarkan oleh serabut aferen dan syaraf
neurogenik.3

Sumber:
1. Rao DS, Ali IM, Annigeri RG. Bitemarks-A review. Journal of Dental Research and
Review, 2016, 3(1): 31-2.
2. Kaur S, Krishan K, Chatterjee M, Kanchan T. Analysis and identification bite marks in
forensic casework. OHDM 2013: 12(3); 127-31.
3. Silva RHA, Musse JDO, Melani RFH, Oliveira RN. Human bite mark identification and
DNA technology in forensic dentistry. Braz J Oral Sci 2006; 5(19) : 1193 - 97

3. Jenis-jenis pola bekas gigitan


Pola gigitan mempunyai derajat perlukaan sesuai dengan kerasnya gigitan, pada pola
gigitan manusia terdapat 6 kelas yaitu:
1) Kelas I : pola gigitan terdapat jarak dari gigi insisive dan kaninus.

Gambar 2.3 Kelas I


(Sumber : Lukman D. Ilmu kedokteran gigi forensik. jilid 2. Jakarta:
Sagung Seto; 2006. Hal. 115-9)

2) Kelas II : pola gigitan kelas II seperti pola gigitan kelas I tetapi terlihat
pola gigitan cusp bukalis dan palatalis maupun cusp bukalis dan cusp
lingualis tetapi derajat pola gigitannya masih sedikit.
Gambar 2.4 Kelas II
(Sumber : Lukman D. Ilmu kedokteran gigi forensik. jilid 2. Jakarta:
Sagung Seto; 2006. Hal. 115-9)
3) Kelas III: pola gigitan kelas III derajat luka lebih parah dari kelas II
yaitu permukaan gigit insisive telah menyatu akan tetapi dalamnya
luka gigitan mempunyai derajat lebih parah dari pola gigitan kelas
II.

Gambar 2.5 Kelas III


(Sumber : Lukman D. Ilmu kedokteran gigi forensik. jilid 2. Jakarta:
Sagung Seto; 2006. Hal. 115-9)
4) Kelas IV: pola gigitan kelas IV terdapat luka pada kulit dan otot di
bawah kulit yang sedikit terlepas atau rupture sehingga terlihat pola
gigitan irregular.

Gambar 2.6 Kelas IV


(Sumber : Lukman D. Ilmu kedokteran gigi forensik. jilid 2. Jakarta:
Sagung Seto; 2006. Hal. 115-9)
5) Kelas V: pola gigitan kelas V terlihat luka yang menyatu pola
gigitan insisive, kaninus dan premolar baik pada rahang atas
maupun bawah.

Gambar 2.7 Kelas V


(Sumber : Lukman D. Ilmu kedokteran gigi forensik. jilid 2. Jakarta:
Sagung Seto; 2006. Hal. 115-9)
6) Kelas VI: pola gigitan kelas VI memperlihatkan luka dari seluruh
gigitan dari rahang atas, rahang bawah, dan jaringan kulit serta
jaringan otot terlepas sesuai dengan kekerasan oklusi dan
pembukaan mulut

Gambar 2.8 Kelas VI


(Sumber : Lukman D. Ilmu kedokteran gigi forensik. jilid 2. Jakarta:
Sagung Seto; 2006. Hal. 115-9)

Sumber:
Lukman Djohansyah. Ilmu Kedokteran Gigi Forensik. Jilid 2. Sagung Seto : Jakarta.
2006. Hal 50-59.

Anda mungkin juga menyukai