Anda di halaman 1dari 10

TUGAS KEPANITERAAN

BAGIAN RADIOLOGI KLINIK

LAPORAN
ANALISIS BITE MARK

Oleh:
DWI TITI HARYANTI

(00/KG/7291)

MARLINA PUSPITA

(08/KG/8254)

APRIANTISAFITRI EKA

(08/KG/8260)

NOVITA RIZKA Y.

(08/KG/8263)

DINA ANJANI

(08/KG/8271)

Dosen Pembimbing: drg. Rurie Ratna S, MDSC

BAGIAN RADIOLOGI KLINIK


FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2012

PENDAHULUAN
Identifikasi ilmu kedokteran gigi forensik adalah semua aplikasi dari disiplin ilmu
kedokteran gigi yang terkait dalam suatu penyidikan dalam memperoleh data-data
postmortem, berguna untuk menentukan otentitas dan identitas korban maupun pelaku demi
kepentingan hukum dalam suatu proses peradilan dan menegakkan kebenaran (Lukman,
2006).
Dokter gigi forensik seringkali terlibat dalam identifikasi korban yang telah
meninggal. Perbandingan ciri-ciri khusus yang terdapat pada gigi asli maupun palsu serta
restorasi-restorasi gigi memungkinkan korban yang telah membusuk, terbakar, atau
termutilasi dapat diidentifikasi sebagai individu spesifik. Identifikasi korban yang telah
meninggal merupakan tugas yang paling sering dilakukan dokter gigi forensik, namun bidang
ilmu kedokteran gigi forensik yang paling menantang adalah analisis bite mark manusia atau
hewan yang ditemukan pada kulit atau objek-objek pada tempat kejadian perkara.
Perbandingan ciri-ciri unik yang ditemukan dengan ciri-ciri pada gigi tersangka dapat
mengungkapkan hubungan penting antara tersangka dan korban (Brogdon, 1998).
Bite mark manusia umumnya tampak sebagai daerah kontusi atau abrasi berbentuk
bulat atau elips. Pada beberapa kasus, permukaan kulit dapat mengalami laserasi atau
potongan jaringan dapat terlepas seutuhnya (Brogdon, 1998). Analisis bite mark manusia
merupakan bagian ilmu kedokteran gigi yang sulit karena elastisitas kulit, lokasi anatomis,
dan tekanan gigitan dapat menyebabkan berubahnya penampakan bite mark (van der Velden
dkk, 2006). Metode perbandingan bite mark dengan gigi geligi tesangka yang paling banyak
digunakan mencakup fabrikasi overlay. Terdapat beberapa cara untuk menghasilkan overlay
dari gigi geligi tersangka, yaitu hand tracing dari model studi gigi, hand tracing dari wax
impression, hand tracing dari gambar xerografis, serta metode berbasis komputer (van der
Velden, 2006).
Proses membandingkan bite mark dengan gigi-geligi tersangka mencakup analisis dan
pengukuran ukuran, bentuk dan posisi gigi individual (van der Velden dkk, 2006).
Ketidaksempurnaan atau irregularitas unik yang teridentifikasi baik pada perlukaan maupun
gigi tersangka merupakan indikator yang penting untuk menentukan kesesuaian bite mark
dengan gigi tersangka (Brogdon, 1998).

TINJAUAN PUSTAKA
Menurut Lukman pada tahun 2003, pola gigitan adalah suatu gambaran dari anatomi
gigi yang sangat karakteristik yang meninggalkan pola gigitan pada jaringan ikat manusia
baik disebabkan oleh hewan maupun manusia yang masing-masing individu sangat berbeda
sedangkan menurut William Eckert pada tahun 1992 bahwa yang dimaksud dengan pola
gigitan ialah bekas gigitan dari pelaku yang tertera pada kulit korban dalam bentuk luka,
jaringan kulit maupun jaringan ikat di bawah kulit sebagai akibat dari pola permukaan gigitan
dari gigi-gigi pelaku dengan perkataan lain pola gigitan merupakan suatu produksi dari gigigigi pelaku melalui kulit korban. Pola gigitan paling sering terdapat pada buah-buahan seperti
apel, pir dan bengkuang yang sangat terkenal dengan istilah apple bite mark (Lukman, 2006).
Analisa pola gigitan pada buah hanyalah buah tertentu saja misalnya pada apel yang
dikenal dengan apple bite mark, dapat pula pada buah pir dan bengkuang. Pola gigitan ini
adalah penapakan dari hasil gigitan yang putus akibat gigi atas yang beradu dengan gigi
bawah. Sehingga terlihat hasil dari gigitan permukaan bukalis dari gigi atas dengan gigi
bawah. Hal ini akan dilakukan pencetakan hasil gigitan apabila buah tersebut belum rusak
(Lukman, 2006).
Aplikasi ilmu forensik dalam membantu proses penyidikan di bidang hukum tidak
hanya menggunakan ilmu kedokteran namun juga menggunakan ilmu kedokteran gigi. Pada
forensik kedokteran gigi, digunakan rekam medis dental individu yang diperiksa, baik
sebagai korban maupun tersangka, yang sangat membantu menentukan keputusan akhir dari
kasus yang ada (Bowers, 2004).
Pencatatan data dalam rekam medis dibagi menjadi dua, yakni data Antemortem
(pencatatan data semasa hidup) dan data Postmortem (pencatatan data setelah kematian).
Pencatatan data Antemortem gigi dan rongga mulut biasanya berisikan identitas pasien,
keadaan umum pasien, odontogram (data gigi yang menjadi keluhan), data perawatan
kedokteran gigi, nama dokter gigi yang merawat, serta informed concent. Sedangkan pada
pencatatan data Postmortem, mula-mula dilakukan fotografi kemudian proses pembukaan
rahang untuk memperoleh data gigi dan rongga mulut, dilakukan pencetakan rahang atas dan
rahang bawah. Pencatatan gigi dilakukan pada odontogram sedangkan kelainan-kelainan di
rongga mulut dicatat pada kolom-kolom tertentu. Catatan ini dilampirkan dalam visum et
repertum korban (Lukman, 2006).
Dokter gigi forensik seringkali terlibat dalam identifikasi korban yang telah
meninggal. Perbandingan ciri-ciri khusus yang terdapat pada gigi asli maupun gigi palsu serta

restorasi-restorasi gigi memungkinkan korban yang telah membusuk, terbakar, atau


termutilasi dapat diidentifikasi sebagai individu spesifik. Perbandingan ciri-ciri unik yang
ditemukan dengan ciri-ciri pada gigi tersangka dapat mengungkapkan hubungan penting
antara tersangka dan korban (Brogdon, 1998).
Gigi merupakan salah satu objek pemeriksaan dalam suatu penyelidikan dan
penyidikan. Keuntungan gigi sebagai objek pemeriksaan antara lain:
1. Gigi geligi merupakan rangkaian lengkung secara anatomis, antropologis dan
morfologis mempunyai letak yang terlindungi dari otot-otot bibir dan pipi sehingga
apabila trauma mengenai otot-otot tersebut terlebih dahulu.
2. Gigi geligi sukar untuk membusuk kecuali gigi tersebut sudah mengalami nekrotik
atau gangren. Meskipun telah dikubur, umumnya organ tubuh lain bahkan tulang telah
hancur tetapi gigi tidak (masih utuh).
3. Gigi geligi di dunia ini tidak ada yang sama karena menurut SIMS dan Furnes bahwa
gigi manusia kemugkinan sama 1:2.000.000.000.
4. Gigi geligi memiliki ciri-ciri yang khusus apabila ciri-ciri tersebut rusak atau berubah
maka sesuai dengan pekerjaan dan kebiasaan menggunakan gigi bahkan setiap ras
mempunyai ciri yang berbeda.
5. Gigi geligi tahan asam keras, terbukti pada perstiwa Haigh yang terbunuh dan
direndam di dalam drum berisi asam pekat, jaringan ikatnya hancur sedangan giginya
masih utuh.
6. Gigi geligi tahan panas, apabila terbakar sampai dengan suhu 400C gigi tidak akan
hancur, kecuali dikremasi karena suhunya di atas 1000C. Gigi menjadi abu sekitar
suhu > 169C. Apabila gigi tersebut ditambal menggunakan amalgam maka bila
terbakar akan menjadi abu sekitar > 871C, sedangkan apabila gigi tersebut
menggunakan mahkota logam atau inlay alloy emas maka bia terbakar akan menjadi
abu sekitar suhu 871-1093C.
7. Gigi geligi dan tulang rahang secara ronsenografis, walaupun terdapat pecahanpecahan rahang pada ronsenogramnya dapat dilihat (interpretasi) kadang-kadang
terdapat anomali dari gigi dan komposisi tulang rahang yang khas.
8. Apabila korban telah dilakukan pencabutan gigi umumnya memakai gigi palsu
dengan berbagai macam model gigi palsu dan gigi palsu tersebut dapat ditelusuri atau
diidentifikasi. Menurut Scott apabila gigi palsu akrilik akan terbakar mnjadi abu pada
suhu 538-649C. Apabila memakai jembatan dari porselen maka akan menjadi abu
pada suhu 1093C.

9. Gigi geligi merupakan sarana terakhir di dalam identifikasi apabila sarana-sarana lain
atau organ tubuh lain tidak ditemukan.
(Lukman, 2006)

BAHAN DAN CARA


Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan yaitu:
1. Satu buah apel hijau untuk 1 kelompok
2. Model gigi RA dan RB milik masing-masing anggota kelompok
3. Spatula, rubber bowl, alginat, dan gips stone
4. Wadah untuk mencetak apel
5. Plastik transparan dan spidol marker
6. Plat kaca
7. Sliding caliper
Metode Analisis Bite mark
Studi analasis bite mark ini dilakukan dengan tahap-tahap kerja sebagai berikut:
1. Pembuatan cetakan gigi rahang atas (RA) dan rahang bawah (RB) masing-masing
anggota.
2. Salah satu anggota kelompok melakukan gigitan (gigitan dangkal dan gigitan dalam) pada
apel hijau yang telah disediakan.
3. Hasil gigitan dicetak dengan alginat dengan perluasan tepi area gigitan 1 cm. Cetakan
kemudian diisi dengan gips stone.
4. Identifikasi pola gigitan dan ciri spesifik gigi-gigi yang terlihat pada cetakan bite mark.
5. Mencocokkan hasil identifikasi bite mark dengan hasil cetakan rahang anggota kelompok.
Kemudian metetapkan dugaan tersangka.
6. Dilakukan penapakan (tracing) pada cetakan bite mark dan pada hasil cetakan rahang
anggota kelompok yang menjadi tersangka menggunakan plastik transparan dan
kemudian dihitung lebar mesiodistal gigi yang teridentifikasi pada bite mark.
7. Menentukan satu anggota kelompok sebagai pelaku gigitan sesuai dengan hasil tracing
dan perbandingan ciri spesifik yang telah dilakukan.
8. Dilakukan perhitungan lebar mesiodistal dari model gigi orang yang dianggap sebagai
pelaku gigitan.

9. Membandingkan hasil pengukuran lebar mesiodistal gigi dari hasil penapakan bite mark
dan dari model gigi, kemudian distorsi yang diperoleh dicatat dalam tabel.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pada simulasi analisis bite mark digunakan buah apel hijau sebagai media bite mark
dengan alasan buah apel hijau memiliki tekstur yang keras sehingga jika digunakan sebagai
media bite mark akan didapatkan hasil cetakan gigitan yang jelas dan akurat dibandingkan
dengan buah lainnya. Akan tetapi kulit buah apel hijau kaku sehingga mudah robek.
A. Identifikasi Hasil Cetakan Gigitan
1. Pada gigitan dangkal terdapat 4 cetakan gigi rahang atas (RA), yaitu gigi 12, 11, 21,
dan 22. Sedangkan pada rahang bawah (RB) terdapat 5 cetakan gigi, yaitu gigi 32,
31,41, 42, dan terlihat cetakan tipis gigi 43.
2. Cetakan gigi anterior RB terlihat lebih dalam dibandingkan RA, hal ini kemungkinan
dikarenakan karena tekanan gigitan RB yang lebih besar dibandingkan tekanan gigitan
dari gigi-gigi RA.
3. Pada gigitan dalam terdapat 4 cetakan gigi RA, yaitu gigi 12, 11, 21, dan 22. Sedangkan
pada RB terdapat 6 cetakan gigi, yaitu gigi 33, 32, 31, 41, 42, dan 43.
4. Pada gigitan dalam RB di distal gigi 33 terdapat cetakan tipis gigi 34. Cetakan tersebut
tipis dan tidak sempurna, kemungkinan dikarenakan kurangnya tekanan yang berasal
dari gigi 34 ke gigitan apel, sehingga cetakan tidak sempurna.
5. Pada cetakan gigitan dalam rahang bawah terlihat jelas bahwa terdapat cetakan gigi
anterior yang diluar lengkung, cetakan gigi diluar lengkung tersebut diduga adalah gigi
42 yang mesio labio torsiversi.
6. Pada cetakan gigitan dalam maupun dangkal tidak ditemukan adanya diastema (tidak
ditemukan adanya celah antar gigitan), gigi yang hilang (tidak ditemukan adanya celah
seukuran gigi), benda asing (karena tidak ditemukan cetakan benda asing pada pola bite
mark), penggunaan gigi tiruan (kedalaman pola gigitan yang ditemukan bervariasi).
7. Pada cetakan gigitan dangkal maupun dalam ditemukan adanya bekas gigitan yang
tumpang tindih yang menunjukkan adanya crowding anterior pada gigi rahang bawah.

Gigitan Dangkal
B. Cetakan Model Anggota Kelompok
Cetakan rahang Bayu Yudanto:

Cetakan rahang Andri Rahmat U.:

Cetakan rahang Putu Ghea

Gigitan Dalam

C. Kesamaan Hasil Identifikasi Bite mark dengan Hasil Cetakan Rahang Anggota
1. Adanya kesamaan pada cetakan gigitan dalam rahang bawah terlihat jelas bahwa
terdapat cetakan gigi anterior yang diluar lengkung, cetakan gigi diluar lengkung
tersebut diduga adalah gigi 42 yang mesiolabiotorsiversi. Ciri khas tersebut sama
dengan ciri spesifik yang ditemukan pada model gigi rahang bawah Bayu Yudanto.
2. Adanya bekas gigitan yang tumpang tindih pada gigi anterior rahang bawah yang
ditemukan pada cetakan gigitan dangkal dan dalam memiliki kesamaan dengan
crowding gigi anterior pada cetakan gigi rahang bawah Bayu Yudanto, sedangkan
pada cetakan gigi rahang bawah Andri Rahmat dan Putu Ghea tidak ditemukan.
3. Tracing Dugaan Tersangka
Hasil tracing gigitan dangkal

Hasil tracing gigi rahang atas


Bayu Yudanto

Hasil tracing gigitan dalam

Hasil tracing gigi rahang bawah


Bayu Yudanto

4. Hasil Pengukuran Mesiodistal Gigi pada Model Gigi dan Bite mark (dalam mm)
Lebar Mesiodistal Gigi
Eleme
n
11
12
13
21
22
23
31
32
33
41
42
43

pada Model
Incisal
Badan Gigi
Gigi
8,8
7,9
6,7
6,0
8,6
7,7
8,7
7,1
6,5
6,0
8,3
7,3
5,7
5,1
6,2
5,7
6,8
6,4
5,7
5,6
6,2
5,6
6,6
6,0

Gigitan
Dangka

Distorsi

Dalam

l
8,1
6,3
7,9
6,8
5,4
5,8
6,2
5,8
6,2

Gigitan

0,2
0,3
0,8
0,8
0,3
0,1
0,3
0,2
0,2

8,4
7,3
9,8
8,4
6,2
6,4
6,9
6,0
6,6
6,8

Distorsi

0,4
0,6
1,1
1,9
0,4
0,2
0,1
0,3
0,4
0,2

Hasil perbandingan dari pengukuran mesiodistal gigi dan bitemark terdapat hasil
distorsi lebih besar pada gigitan dalam karena pada gigi cetakan bitemark terdapat tumpang
tindih gigi anterior yang menyebabkan kesulitan dalam pengukuran sehingga hasil yang
didapat tidak akurat.
Perbandingan Bite mark dengan Beberapa Model Gigi
1. Cetakan model gigi Bayu Yudanto
Berdasarkan perbandingan antara bite mark dengan model gigi, tersangka memiliki
ukuran mesiodistal yang hampir sama dengan bitemark. Tersangka memiliki malposisi
pada gigi 42 yang mesio labio torsiversi. Oleh karena itu, Bayu Yudanto dianggap paling
sesuai dengan bitemark.
2. Cetakan model gigi Putu Ghea R
Berdasarkan perbandingan antara bite mark dengan model gigi, pelaku gigitan tidak
memiliki malposisi pada gigi 42 yang sama dengan bite mark. Selain itu, perbedaan
ukuran mesio distal gigi dengan bite mark juga cukup jauh sehingga Putu Ghea
dieliminasi dari daftar tersangka.

3. Cetakan model gigi Andri Rachmat U


Berdasarkan perbandingan antara bite mark dengan model gigi, terdapat perbedaan yaitu
pelaku gigitan tidak memiliki malposisi gigi. Ukuran mesio distal gigi Andri dengan
gigitan bitemark juga berbeda. Dengan pertimbangan tersebut, Andri dieliminasi dari
daftar tersangka.

KESIMPULAN
Berdasarkan analisis bite mark yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa:

Pelaku yang menggigit apel pada kasus bite mark ini adalah Bayu Yudanto
Terdapat distorsi yang besar antara lebar mesiodistal pelaku dengan bekas gigitan di
apel, hal ini kemungkian disebabkan perbedaan tekanan dengan sudut rahang, posisi
badan saat menggigit serta pencetakan yang kurang baik.

DAFTAR PUSTAKA
Bowers,M., 2004, Forensic Dentistry: A Field Investigators Handbook, Academic Press
(Elsevier Publishing).
Brogdon, B.G, 1998, Forensic Radiology, CRC Press, New York.
Lukman, Djohansyah, 2006, Buku Ajar Ilmu Kedokteran Gigi Forensik jilid 2, Sagung Seto,
Jakarta.
Van der Velden A., Spiessens m., and Willems G., 2006, Bite mark Analysis and Comparison
Using Image Perception Technology, The Journal of Forensic Odonto-Stomatology
24(1):14-17.

Anda mungkin juga menyukai