Anda di halaman 1dari 53

KEPANITERAAN BAGIAN RADIOLOGI

LAPORAN HASIL ANALISIS BITE MARK

Disusun oleh:

Mutma Inna 11/311546/KG/08801


Marta Ulina Naibaho 11/311574/KG/08803
Astriana Wahyu Christine 11/311611/KG/08804
Safarina Suhada 11/311634/KG/08805
Atfirani Tri Sukma 11/311644/KG/08806

BAGIAN RADIOLOGI DENTOMAKSILOFASIAL


FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2016

i
DAFTAR ISI

JUDUL............................................................................................................................. i
DAFTAR ISI.................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………………... 2
A. Analisis Bitemark: Penggunaan Polieter Pada Pengumpulan Data Dasar,
Konservasi dan Perbandingan.................................................................... 2
B. Ekstraksi DNA Saliva Liur Manusia Yang Diendapkan Pada Kulit dan
Penggunaannya Dalam Prosedur Identifikasi Forensik............................. 3
C. Analisis Bitemark…………...................................................................... 5
D. Teeth As Weapon Of Violence – Identification Of Bitemark
Perpetrators………………………………………………………………. 11
E. Forensic Dentistry : 2 Bitemark and Bite Injuries….................................... 15
BAB III METODE ANALISIS BITE MARK................................................................ 19
A. Metode Penentuan Jenis Kelamin............................................................... 20
B. Metode Penentuan Usia............................................................................. 22
C. Metode Penentuan Ras ………………………………………………….. 23
BAB IV HASIL TRACING BITE MARK ……………………………………............ 26
A. Gigitan Tangan................................................................................................... 26
a. Hasil Pengukuran Mesiodistal Gigi pada Model Gigi Tersangka dan
Gigitan Tangan (dalam mm) ................................................................. 26
b. Hasil Pencetakan..................................................................................... 27
c. Hasil Penapakan...................................................................................... 27
d. Analisis Hasil Tracing............................................................................. 27
B. Gigitan Apel...................................................................................................…. 28
a. Hasil Pengukuran Mesiodistal Gigi pada Model Gigi Tersangka dan
Gigitan Apel (dalam mm)......................................................................... 28
b. Hasil Pencetakan..................................................................................... 28
c. Hasil Penapakan..................................................................................... 29
d. Analisis Hasil Tracing........................................................................... 29
C. Pembahasan ………………………………………………………………….. 29

ii
BAB V PEMBAHASAN ……………………………………………………............ 33
A. Pembusukan .................................................................................................... 34
B. Perbedaan bitemark manusia dan hewan......................................................... 41
C. Penggunaan radiograf panoramik dalam analisis metode…………………… 42
D. Metode Kvaal................................................................................................... 43
E. Review Jurnal………………………………………………………………... 45
BAB VI KESIMPULAN……………………………………………………………. 47
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………….. 48

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Ilmu kedokteran forensik merupakan cabang ilmu kedokteran yang berfokus pada hukum
dan masalah legal. Kedokteran forensik mencakup pemeriksaan kematian atau cedera yang tidak
dapat dijelaskan. Ilmu kedokteran forensik memanfaatkan kemampuan ilmu kedokteran untuk
membantu penegakan hukum dan memecahkan masalah-masalah di bidang hukum. Kedokteran
gigi forensik merupakan bagian dari ilmu kedokteran forensik. Kedokteran gigi forensik
menggunakan rekam medik dan data gigi geligi untuk mengidentifikasi korban/barang bukti.
Kedokteran gigi forensik dapat membantu identifikasi untuk menentukan usia, ras,
riwayat dental dan status sosioekonimi dari korban yang tidak teridentifikasi. Bite mark atau jejas
gigitan dapat berupa luka lecet tekan berbentuk garis lengkung terputus-putus hematoma atau
luka robek dengan tepi rata, luka gigitan umumnya masih baik strukturnya sampai 3 jam pasca
trauma, setelah itu dapat berubah bentuk akibat elastisitas kulit (Mansjoer, 2000). Bite mark
manusia umumnya tampak sebagai daerah kontusi atau abrasi berbentuk bulat atau elips. Pada
beberapa kasus, permukaan kulit dapat juga mengalami laserasi atau potongan jaringan dapat
terlepas seutuhnya (Brogdon, 1998).
Proses membandingkan bite mark dengan gigi-geligi tersangka mencakup analisis dan
pengukuran ukuran, bentuk, dan posisi gigi individual (van der Velden, dkk., 2006). Identifikasi
bitemark didasarkan pada individualitas sebuah gigi yang digunakan untuk mencocokkan bekas
gigitan dengan tersangka. Bentuk gigi dan bentuk rahang merupakan ciri khusus dari seseorang,
sehingga dapat dikatakan tidak ada gigi atau rahang yang identik pada dua orang berbeda.
Apabila bite mark dapat dianalisis dengan tepat, maka dapat menunjukkan fakta-fakta serta
orang-orang yang terlibat dalam suatu kasus kejahatan tersebut (Kaur dkk., 2013).
Teknik dasar untuk pemeriksaan bitemark didasarkan pada interpretasi bukti fotografi
bitemark dibandingkan dengan model dari gigi tersangka. Kualitas dan ketepatan bitemark
tergantung pada banyak faktor, yang meliputi perubahan oleh waktu, lokasi ditemukannya
bitemark, kerusakan pada jaringan lunak, kemiripan gigi antar individu, serta kualitas hasil
fotografi, cetakan, dan pengukuran. Jika hasil analisis bite mark benar dan sesuai dengan model
gigi yang ada, hal tersebut dapat membuktikan keterlibatan seseorang dalam kasus kejahatan
tertentu (Kaur dkk., 2013).

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Analisis Bitemark: Penggunaan Polieter Pada Pengumpulan Data Dasar, Konservasi,


Dan Perbandingan
Bitemark didefinisikan menjadi pola yang dibuat oleh gigi pada kulit, makanan, dan benda
yang kenyal. Kedaan yang paling sering dalam forensic adalah pola gigitan gigi pada kulit, hal
ini dapat dianalisis melalui keadaan unik pada gigi yang tertera pada kulit. Pola gigitan dapat
digunakan dalam mengobservasi pertama kali pada kejahatan, terutama kejahatan seksual.
Pelaku mungkin dapat menggigit korban atau sebaliknya korban yang menggigit pelaku sebagai
pertahanan diri kemungkinan perempuan menjadi korban lebih sering dibandingkan dengan pria.
Tempat yang paling sering menjadi sasaran adalah payudara dan lengan.
Bergantung pada lokasi anatomi, atau tekstur kulit, dan reaksi korban bekas gigitan dapat
distorsi karena dinamika gigitan, pembagian dari ukuran dan lengkung giginya.
Pengklasifikasian dari morfologi payudara manusia dapat dibedakan dengan ukuran dan tingkat
kekenyalan, keduanya merupakan elemen yang penting dalam mempelajari efek dari distorsi.
Distorsi diklasifikasikan menjadi distorsi primer (pada saat digigit), dan sekunder (ketika pola
gigitan di cetak).
Prosedur untuk menyimpan forensic kedokteran gigi adalah mengambil gambar, dicetak,
diinsisi, dan menyimpan bekas pola gigitan. Kejelasan dan sudut dari pola gigitan dapar berubah
dengan cepat baik pada individu yang hidup ataupun yang mati. Foto merupakan cara yang
paling sering digunakan untuk mengidentifikasi walaupun dengan cara ini memiliki kekurangan
dalam menggambarkan gambaran 3 dimensi dalam bentukan 2 dimensi. Computer dapat
digunakan untuk membantu proses analisis, kalibrasi, merekn gambaran keadaan gigi, dan
menunjukkan kesalahan perbndingan pola. Untuk memberikan gambaran 3 dimensi dapat
digunakan pencetakan dengan menggunakan gips stone tipe II dan selanjutkan dapat digunakan
menjadi alat studi dalam pemeriksaan ataupun penelitian, dapat pula menggunakan kulit babi
sebagai pengganti kulit manusia dalam penelitian.
American Board of Forensic Odontology (ABFO) merekomendasikan menggunakan bahan
cetak untuk mengambil pola gigitan. Bahan cetak yang digunakan harus sesuai dengan
American Dental Association dan prosedur pembuatannya harus mengikuti aturan pabrik. Bahan
cetak yang dianjurkan adalah hidrokoloid dan light-body vinyl polysiloxane (VPS). Polieter

2
merupakan bahan yang memiliki tingkat akura yang tinggi, stabilitas dalam waktu lama,
elastisitasnya baik dan resisten terhadap kerusakan. Dan keunggulan lainnya adalah bahan ini
dapat digunakan untuk permukaan yang basah dan area yang sulit dijangkau.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Fonseca dkk, didapatkan hasil bahwa menganalisis
pola gigitan secara manual atau dengan foto tidak seakurat ketika menggunakan computer, dan
untuk merekan pola gigitan dengan polieter dapat menunjukkan hasil yang lebih baik jia
dibandingkan denga gips stone tipe II dikarenakan polieter dapat mempertahankan bentuk dan
ukuran asli dari pola gigitan.

B. Ekstraksi DNA Dari Saliva Manusia yang Diendapkan Pada Kulit dan Penggunaannya
Dalam Prosedur Identifikasi Forensik
Bidang dental forensic melingkupi mengidentifikasi sisa tubuh manusia sebagai investasi
kejahatan ataupun bencana.forensik kedokteran gigi juga meliputi warna dan cairan organik dari
rongga mulut, perbandingan bitemark, investigasi trauma dan trauma mulut seperti kecelakaan
akibat kelalaian diri sendiri dan kesalahan perawatan gigi. Dalam investigasi criminal dalah satu
hal penting yang diperlukan adalah pelaku itu sediri dan hela yang mengidintifikasi pelaku
tersebut.
Forensik kedokteran gigi berkontribusi terhadap proses forensic dengan membandingkan
secara langsung gigi geligi dengan rekam medis dental atau dengan menentukan profil dari
individu tersebut berdasarkan umur pada saat kematian, jenis kelamin, dan kemungkinan lainnya
yang bisa digunakan untuk mengidentifikasi korban.
Saliva mungkin saja ditemukan pada korban dari kejahatan kekerasan. Saliva dapat
dikumpulkan dari bitemark, puntung rokok, perangko, amplop dan objek lainnya. Tanda dari
saliva itu tidak terlihat, hal ini membuat saliva sulit untuk dikumpulkan dan
diidentifikasi.bagaimanapun daliva dapat digunakan untuk mengidentifikasikan melalui tes
amylase.
Pada bitemark kombinasi gigi dan bagian mulut lainnya menyebabkan adanya tanda pada
kulit korban atau beberapa objek yang dapat dibandingkan dengan karakteristik unik dari suspek
penggigit dengan menggunakan beberapa metologi. Tidak ada perjanjian diantara dokter gigi
forensic tentang keunikan dari gigi geligi atau perilaku manusia selama menggigit kulit.

3
Perbedaan distorsi dapat berbeda pada setiap tahap pada waktu menggigit, seperti distorsi
dinamika dan distorsi jaringan dan selama pemeriksaan dan pengumpulan barang bukti.
Selain bukti fisik berupa bitemark, bukti biologis dapat membantu investigasi. Selama proses
penggigitan saliva yang terkumpul pada kulit atau permukaan objek dalam jumlah yang cukup
dapat dilakukan tes DNA. Untuk melakukan hal tersebut area bitemark di swap menggunakan
standart operasi bitemark, dan DNA dapat diekstraksi dan dianalisis.
PCR memungkinkan replikasi 1000 kopi sekuens DNA secara in vitro, hal ini dimungkinkan
dilakukan penelitian dalan jumlah DNA yang sedikit. Polymorphic repair of short tandem repeats
(STR) utamanya digunakan pada fragmen kecil sehingga memungkinkan untuk mengevaluasi
DNA dari sampel dengan tingkat degradasi yang signifikan. Langkah yang paling penting dalam
prosedur ini adalah mengumpulkan DNA dari jumlah yang sedikit.
Aspek lain yang relevan terjadi ketika jumlah bukti yang tersedia adalah minimal, karena
sampel DNA mungkin tidak cukup untuk mencapai DNA. Mungkin, atau DNA saliva tidak
diekstraksi dalam jumlah yang cukup untuk memungkinkan amplifikasi. Kita harus
mempertimbangkan air liur yang mungkin memiliki mikroorganisme yang dapat menjadi sumber
dari DNA yang dapat diekstraksi dan dihitung. Hal itu menunjukkan bahwa DNA dari air liur
diendapkan pada kulit adalah ekstraksi DNA dan dapat digunakan dalam prosedur identifikasi
forensik. Deposisi air liur, koleksi sel ludah dan ekstraksi DNA prosedur-prosedur mungkin
mengurangi jumlah DNA.
Genotipe streptokokus dari bitemarks eksperimental meningkatkan kuantitas sel. Bila ada
campuran, kontaminasi dapat diakui selama penyelidikan kasus, membandingkan DNA korban
dan DNA dari tersangka.
Penelitian oleh Kanto dkk, didapatkan hasil penelitian menunjukkan bahwa sampel DNA dari
air liur kulit disimpan tidak bercampur dengan DNA kontrol, menguatkan hasil dari studi
sebelumnya. Prosedur standar untuk koleksi DNA dan ekstraksi dari air liur kulit dapat sangat
berguna untuk membantu memecahkan kasus kriminal, karena data penting dapat diperoleh
dengan menggunakan analisis DNA ludah. Oleh karena itu, analisis air liur yang diendapkan
pada kulit dapat dimasukkan ke dalam investigasi kriminal dan memiliki kekuatan diskriminatif
besar.

4
C. Analisis Bitemark

Pada percobaan tindakan kriminal, kedokteran gigi forensik dapat digunakan dengan 2 cara:
1) untuk mengidentifikasi pelaku pembunuhan melalui pemeriksaan gigi geligi 2) untuk
menghubungkan terdakwa dengan kejahatan berdasarkan bekas gigitan. Keduanya merupakan
prosedur yang berbeda dan kesalahan dalam membedakan keduanya sering menyebabkan
masalah.

a) Indikasi keadaan gigi


Identifikasi keadaan gigi berdasarkan asumsi bahwa setiap individu memiliki keunikan yang
berbeda. Pada individu dewasa terdapat 32 gigi dengan 5 permukaan. sehingga terdapat 160
permukaan gigi yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi karakteristik. Restorasi itu
sediri dapat dibedakan menurut bahan dan ukuran yang dapat memberikan penialaian
tersendiri dalam mengidentifikasi suatu individu. selain restorasi, jumlah gigi, protesa, karies,
malposisi, rotasi, paska perawatan saluran akar, pola tulang, hubungan gigitan, dan patologi
mulut lainnya dapat mendukung identifikasi karakteristik suatu individu. Pengadilan telah
menerima identifikasi dental untuk membangun identitas korban pembunuhan, dengan
beberapa kasus yang terjadi pada tahun 90-an. Berdasarkan satu pengadilan, identifikasi
dental tidak dapat secara serius ditentang karena struktur gigi yang terdapat pada individu
dapat digunakan untuk mengidentifikasi korban meninggal, karena struktur individu satu dan
individu lainnya dapat dibedakan.

b) Analisis Bitemark
Prosedur kedua, analisis bitemark sudah digunakan selama 50 tahun untuk mendirikan
hubungan antara pelaku dan tindak kejahatan. Bitemark paling sering ditemukan pada
kejahatan seksual, kejahatan pada anak, kejahatan fisik seperti pembunuhan. Korban laki-laki
paling sering ditemukan bekas gigitan pada lengan dan bahu, sedangkan pada wanita biasa
ditemukam pada payudara, lengan dan kaki. Pada 101 kasus yang diobservasi, lebih dari
1bitemark ditemukan 48% pada semua kasus.Bitemark ditemukan pada 81,3% pada individu

5
dewasa dan 16,7% ditemukan pada anak usia dibawah 18 tahun. Bitemark dihubungkan
dengan beberapa kejahatan seperti pembunuhan, termasuk percobaan pembunuhan sebanyak
53,9%, pemerkosaan sebanyak 20,8%, pelecehan seksual 9,7%, kekerasan pada anak 9,7%,
perampokan 3,3% dan penculikan 12,6%.
1) Teori keunikan
Identifikasi suspek dilakukan dengan mencocokan gigi geligi dengan bitemark yang
ditemukan pada korban, dimana berdasarkan teori gigi geligi setiap individu memiliki keunikan.
Berdasarkan hal tesebut perbandingan bitemark memiliki orinsip yang sama dengan
mengidentifikasi korban pembunuhan, meskipun pengadilan telah menerima teori tersebut,
terdapat perbedaan signifikan dalam pengaplikasian keduanya pada kedokteran gigi forensic.
Pada 1976, ketika perbandingan bitemark pertama kali dipelajari salah satu penulis menemukan
masalah: bite mark tidak akan pernah bisa meniru secara akurat keadaan dari gigi asli. Hal ini
berdasarkan fakta bahwa bitemark hanyadapat mencangkup beberapa gigi. Lebih lanjut bahan
(makanan atau kulit manusia) dimana tanda ditinggalkan, biasanya ditemukan dalam keadaan
tidak sesuai untuk dilakukan pencetakan dengan pengkerutan dan distorsi. Akhirnya tanda
tersebut hanya mewakili beberapa gigi, terbatas pada gigi yang digunakan menggigit pada sudut-
sudut gigi depan dan mekanisme identifikasipun berdesa pada setiap kasus. Tidak ada
pengetahuan yang tepat yang dapat membedakan antara menggigit makanan dan menggunakan
giginya untuk melawa atau untuk pertahanan diri.
Dalam pemeriksaan keaadaan gigi, tidak semua gigi dapat terlihat pada area bekas gigitan,
hanya sebatas 4-8 gigi, dan 5 permukaan mulutpun tidak semuanya dapat tergambar pada area
gigitan, hanya pada area depan gigi yang digunakan untuk menggigit. Oleh karena itu
identifikasi tidak dapat ditegakkan hanya dengan keunikan, karena tidak semua keunikan dapat
tergambar pada kulit area bekas gigitan atau objek lainnya. Bagaimanapun juga, beberapa
peneliti berpendapat bahwa bekas gigitan pada kulit dapat menggambarkan keunikan kan
karakteristik individu, nsmun beberapa penelitian tidak setuju. namun bitemark masih dapat
digunakan bergantung pada a) akurasi bekas gigitan itu sendiri, b) keunikan dari gigi geligi, c)
teknik menganalisis.

2) Metode perbandingan

6
Dari beberapa metode yang telah dilaporkan, pengidentifikasian bekas gigitan dapat
disimpulkan dalam 3 langkah yaitu: 1) registrasi baik berupa bitemark dan gigi geligi individu
yang dicurigai menjadi tersangka, 2) perbandingan gigi geligi dengan bitemark, 3) mengevaluasi
adanya persamaan dan perbedaan antara cetakan bitemark dan cetakan gigi individu yang
dicurigai menjadi tersangka.
Registrasi bitemark menggunakan fotografi merupakan metode yang dilakukan pada semua
kasus, karena pada fotografi dapat diperbesar hingga ukuran sebenarnya agar dapat dilakukan
perbandingan. Bitemark yang potensial harus segera dikenali, karena kejelasan dan bentuk dari
bitemark dapat berubah dalam waktu relatif singkat baik pada korban hidup ataupun meninggal.
Tempat yang didapati adanya bitemark pada jaringan kulit harus segera dicetak, dan model yang
dihasilkan dapat digunakan untuk perbandingan. Pada korban meninggal, bitemark harus
dilakukan dengan eksisi. Error dapat ditemui pada tahapan apapun. Jika terdapat sisa saliva harus
digunakan untuk tes DNA.
Kedua model dianalisis menggunakan metode yang bervariasi. Perbandingan dapat secara
langsung maupun tidak langsung. Peneliti dapat menggunakan model gigi tersangka
dibandingkan dengan foto bitemark seukuran aslinya, sedangkan yang baru-baru ini
menggunakan lapisan transparan. Perbandingan menggunakan komputer juga dilakukan.

3) Pencarian
Sangat mudah untuk menyimpulkan bahwa keadaan gigi geligi individu dan bitemark tidak
sesuai dan lalu menemukan yang sesuai, karena pada kenyataannya kemungkinan
ketidaksesuaian tersebut dikarenakan individu yang dicurigai memang tidak membuat bekas
gigitan tersebut. Peneliti kedokteran gigi forensik menjelaskan mengenai adanya variasi bitemark
yang konsisten, yaitu bahwa bitemark dapat memiliki lengkung yang lebih besar atau lebih kecil
dari lengkung sebenarnya, hal tersebut dipengaruhi dari lokasi adanya bitemark, pasif, tidak
sadar, atau gerakan bertahannya pelaku atau korban, derajat kedalam gigitan selama menggigit
dan manipulasi manual.

4) Subjektivitas
Perbandingan pada bitemark ini sangat tergantung pada subjektivitas pengamat. Terjadi
kontroversi mengenai validasi bitemark karena 4 hal yaitu: 1) gigitan bukan merupakan hasil

7
akurat dari gigi geligi, 2) gigitan mencakup jumlah gigi yg terbatas, 3) kulit bukan material cetak
yang sesuai, dan 4) hasil yang sama dapat memiliki mekanisme yang berbeda.

5) ABFO Guidelines
Pada tahun 1984, American Board of Forensic Odontology (ABFO) mengadopsi petunjuk
untuk menganalisi bitemark, termasuk sistem penilaian. Menurut panitia penyusunan, sistem
penilaian telah menunjukkan metode evaluasi yang menghasilkan tingkat kehandalan yang tinggi
di kalangan pengamat. Selain itu, pedoman penilaian adalah awal dari pendekatan yang benar-
benar ilmiah untuk menganilisis bitemark. Sementara Broad menerbitkan pedoman yang
menyarankan penggunaan sistem penilaian, penulis merekomendasikan bahwa semua
odontologis menunggu hasil penelitian lebih lanjut sebelum mengacu pada penghitungan titik
yang tepat dalam proses pembuktian. Penulis percaya bahwa penelitian lebih lanjut diperlukan
mengenai kuantifikasi bukti bekas gigitan sebelum penghitungan titik yang tepat bisa diandalkan
dalam pengadilan.
6) Penelitian
Tahun 1975 melibatkan identifikasi gigitan yang terbuat dari kulit babi yaitu: identifikasi
salah satu gigitan dibuat pada kulit babi berkisar antara 24% identifikasi yang salah dalam
kondisi laboratorium ideal, sebesar 91% identifikasi salah ketika gigitan difoto 24 jam setelah
gigitan dibuat. Tahun 1999 ABFO melakukan pelatihan, yaitu diplomat ABFO berusaha untuk
mencocokkan 4 bitemark dengan 7 model gigi, dan menghasilkan 63,5% false positif. Sebuah
studi 2001 dari gigitan pada kulit babi ditemukan identifikasi false positif dari 11,9-22,0% untuk
berbagai kelompok odontologis forensik (15,9% false positif untuk diplomat ABFO), dengan
beberapa diplomat ABFO bernasib jauh lebih buruk.
7) DNA Exoneration
Analisis DNA telah mengubah perdebatan mengenai reliabilitas bitemark. Di V. Krone, dua
ahli yang berpengalaman menyimpulkan bahwa terdakwa telah membuat tanda gigitan yang
ditemukan pada korban pembunuhan namun, kemudian dibebaskan dari tuduhan melalui tes
DNA. Pengadilan telah mengakui bitemark sebagai tanda pembanding dalam pembunuhan,
pemerkosaan,dan kasus pelecehan anak. Hampir semua kasus, bukti pertama kali ditawarkan
oleh penuntutan. Salah satu kasus bitemark terlibat gigi palsu dan kawat gigi. Beberapa kasus

8
yang melibatkan bitemark pada bahan makanan yang ditemukan di TKP seperti, apel, sepotong
keju, dan roti.
c) Admissibility & Weight If Bitemark
Pengadilan memutuskan bahwa bukti bite mark yang ada dapat dibandingkan dengan kasus
pembunuhan, pemerkosaan, dan kekerasan pada anak kecil. Pada kasus kasus virtual, bukti bukti
itu ditetapkan sebagai alat untuk mengusut suatu kasus. Pada beberapa kasus bukti bitemark
dibandingkan dengan tanda tanda pada tubuh terdakwa. Salah satu tanda bite mark dapat
melibatkan gigi tirua, penggunaan alat orthodonti, gigitan keju, dan sandwich, bahkan beberapa
kasus melibatkan gigitan anjing. Sebagai tambahan data untuk menetapkan identitas pelaku,
bukti bitemark ditunjukkan untuk melihat ketidakcocokan menjadi orangtua, kekerasan pada
suatu daerah, dan bukti bukti ketidaksenonohan yang terjadi.
1) Awal Kasus Bite mark
Kasus bite mark yang pertama kali dilaporakan adalah di pengadilan America yang
dimunculkan oleh Doyle v. State, diputuskan pada tahun 1954 di Texas Court of Criminal
Appeals. Bite mark yang dihasilkan pada kasus ini adalah adanya jaringan manusia yang
tertinggal. Para ahli yang ikut mengidentifikasi adalah dokter gigi dan pemadam kebakaran yang
mempunyai basic untuk mengidentifikasi.
Dua dekade kemudian, Patterson V. State, kasus Texas yang lain pun diputuskan. Pengadilan
menyocokkan keadaan gigi yang ditemukan dengan keadaan yang terdapat pada korban. Para
ahli kemudian tidak menemukan kecocokan. Walaupun begitu, dia dapat menyocokkan tanda
tersebut pada salah satu keadaan gigi pasien.
Kasus berikutnya, People v.Marx, yang pertama kalai mempelopori bite mark. Pengadilan in
Marx menghindari test Frye, yang meminta untuk menerima teknik novel oleh komunitas sains
sebagai prasyarat untuk dapat diterima. Tapi setelah itu, kasus Marx tidak dapat digunakan
karena menggunakan pendekatan tiga dimensi.
2) (Judicial Acceptance) Penerimaan secara hukum
Menurut istilah dan silsilah pengadilana, adanya bukti bukti bite mark kemudian dapat
diterima sebagai salah satu bukti hukum. Pada tahun 1992, diperkenalkan untuk naik banding
pada pada 193 kasus dan telah diterima di 35 daerah. Bukti buktinya di dapat tanpa melibatkan
Frye test. Walaupun begitu, dengan membandingkan bite mark yang ada, tapi diperlukan pula

9
komunikasi dengan komunitas sains untuk dapat diterima secara scientific dab dapat pula
dipercaya secara luas.
3) Kasus Post-Daubert
Dampak dari Daubert v. Merrel Dow Pharmaceuticals, Ins bukti bite mark telah ditetapkan,
tetapi ada salah satu komentator yang mengatakan bahwa keputusan Daubert itu hanya
menghasilkan efek yang kecil untuk penentuan bite mark analisis. Keputusan ini sangat banyak
didebatkan. Daubert kembali menetapkan standard yang lebih jauh yang dapat diperhitungkan.
Tidak adanya penelitian empiris menybabkan materi yang dihasilkan tidak di terima.

4) Kasus Bite Mark Missisippi


Kasus ini, dibuat oleh Dr. Michael West yang merupakan tokoh yang kontroversi. Pada Bank
v. State pada tahun 1997 yang merupakan kasus utamanya berupa kasus pembunuhan, West
menguji kasus yang dituntut dengan mencocokan tanda tanda bite mark yang ada dengan seporsi
sandwich bologna yang ditemukan pada tempat kejadian. Para ahli menggunakan foto sandwich
tersebut karena sudah hancur. Tetapi sampai pada akhirnya tidak dapat ditemukan kesimpulan
yang tepat dan akurat.
Pada Books v.State, ada kasus yang ditentukan pada tahun 1999 oleh Dr. West. Pada tahun
2001 ada penentuan menggunaan bukti DNA, yang diputuskan juga oleh Dr. West. Dan pada
waktu itu, dia dipekerjakan untuk membandingkan bite mark yang ada pada kasus pembunuhan
dengan cara menggunakan foto dan autopsi model dental dengan foil. Dia mengatakan bahwa
pola pola yang ada pada bite mark itu hanya odontologist yang bisa menganalisa kasus ini,
padahal DNA telah memulainya terlebih dahulu.
Pada tahun 2003 kembali mengajukan perbandingan bite mark, dan sekali lagi pendapatnya
ditolak, dan tidak diterima, dan bahkan disebut sebagai “Junk Science” .
5) Kasus lain
Pada daerah Timmendequas, bukti bukti bite mark, berkomentar bahwa, pendapat hukum dari
berbagai macam ahli hukum menentukan bawa analisis bite mark telah mendapatkan penerimaan
secara umum, oleh karena itulah dapat diterima. Lebih dari tiga puluh daerah
mempertimbangkan penemuan tersebut dan kemudian tidak ada satupun daerah yang menolak
bite mark ditetapkan sebagai bukti yang tidak dipercaya.
6) Pendapat khusus

10
Pada beberapa kasus telah ditetapkan bahwa bitemark akan selalu konsisten dengan gigi
pelaku atau terdakwa. Pada kasus lain, para ahli telah menguji bahwa kasus tersebut “highly
probable” atau “very highly probable” yang mana, pelakunya membuat tanda. Masih pada kasus
lain, para ahli membuat identifikasi yang positive.
7) Beberapa ketidaksetujuan diantara para ahli
Penilaian yang berbeda beda dari beberapa ahli memungkinkan untuk terjadinya perbedaan
argumen antar satu ahli dengan yang lain.

8) Kualifikasi Ahli
Pada akhirnya para ahli menetapkan bahwa kualifikasi yang disampaikan oleh Dr. West
adalah yang paling dapat diterima karena telah diputuskan oleh American Board of Forensic
Odontology dan telah ditandatangai dari International Association if Identificationand the
American Academy of Forensic Sciences
9) Bukti Statistik
Para ahli telah menyimpulkan bahwa teori ataupun kemungkinan yang ada dan yang telah
melewati peradilan sudah datapi diterima. Walaupun begitu, para ahli tidak menunjukkan
perhitungan secara matematis yang dapat dikoputerisasi.
Para ahli juga menyimpulkan bahwa mereka telah mengkonfirmasi individualitas dari gigi
anterior manusia yang merepresentsaikan bitemark pada kulit manusia. Penilaian yang subjektif
dari kucing ataupun pelaku yang dinilai masih memerlukan penelitian yang lebih lanjut.

D. Teeth As Weapon Of Violence – Identification Of Bitemark Perpetrators


Gigi dapat sebagai senjata jika seseorang berada dalam situasi genting. Gigi setiap manusia
itu unik dan berbeda satu dengan yang lainnya. Ukuran, bentuk dan pola dari gigitan yang
dihasilkan gigi anterior atas dan bawah lengkung gigi merupakan sesuatu yang spesifik dan
individual. Bentuk yang individual dan spesifik tersebut disebabkan karena urutuan erupsi gigi
anterior dan posterior yang berbeda beda. Gigi caninus pasti mendorong jalan keluar giginya
pada lengkung gigi, yang biasanya akan mempengaruhi pergerakan secara bodily (bodily
movement), rotasi dan juga perpindahan dari gigi gigi lainnya (displacement).

11
Pola yang dihasilkan akan menjadi identitas seseorang. Jumlah dan derajat gigitan yang
terjadi, akan berubah pada tiap kasusnya. Setiap anggota di dental office harus tau dan harus
familiar dengan keberadaan dan penampakan dari tanda bitemark.
Biasanya keajadian ini terjadi pada kekerasan fisik, kekerasan seksual dari anak anak, suami
istri dan orang tua. Kesadaran dan pelaporan dari kejadian yang diinvestigasi akan menyetop
atau memberhentikan siklus kekerasan dari beberapa kejadian yang belum terungkap. Biasanya
dokter gigi dibantu dengan konsultant untuk membantu menilai bukti bukti dari bite mark yang
ada dan ditemukan.

- Bitemarks dapat ditemukan pada korban korban dari kekerasan kriminal


- Dokter gigi umum boleh memberikan penjelasan ( bersaksi ) mengenai bitemark dari pasien
pasien mereka
- Bitemarks merupakan complex wound (luka compleks) yang memerlukan analisa yang baik
- Bitemarks merupakan sumber dari bukti bukti fisik dan biologis.

1) Tipe tipe penyajian dari luka luka bitemark


Human bitemark biasanya ditemukan pada kulit korban, dan biasanya sering ditemukan di
badan korban. WANITA biasa digigit di payudara dan kaki selama penyerangan seksual. PRIA
biasanya digigit di lengan dan bahu. Lengan dan tangan tergigit biasanya terkena karena
menangkis penyerang.
Penampakan human bite dideskripsikan seperti ellptical (berbentuk elips) ataupun luka
sirkular yang mempunyai karakter spesifik dari gigi giginya. Lukanya akan berbentuk seperti
donut dengan tampakan karakteristik diperimeter (garis keliling) mark tersebut. Terdiri dari dua
bentukan lengkung U yang terbagi dua pada basisnya dan terdapat jarak diantaranya. Tipe dari
perlukaan, rata rata berdiameter 25-40 mm. Luka memar dapat terlihat dari tanda tanda yang
dihasilkan oleh gigi. Perdarahan extravascular diakibatkan karena tekanan dari gigi yang
menekan jaringan ke dalam dari tanda perimeter.
Tanda tanda bitemarks dengan bukti bukti yang jelas dapat digunakan untuk membandingkan
gigi yang dicurigai. Dapat pula mengidentifikasi tipe tipe gigi dengan karakteristik klass.
Misalnya gigi insisivus akan membuat perlukaan RECTANGULAR (persegi), sedangkan gigi

12
caninus akan membuat perlukaan TRIANGULAR (segitiga), tapi perlu juga tau karakteristik
individual dari seseorang untuk mengetahui secara kuat siapa pelakunya.
Gigi yang ada yang menjadi tanda tanda unik dari individual tersebut dapat juga menjadi
tanda yang jelas dari individu, misalnya fracture, adanya gigi yang rotasi, pola atrisi, malformasi
yang terjadi, dan lain sebagainya, yang dapat digunakan sebagai acuan untuk mencari pelaku
berdasarkan luka yang ada.
Tekanan yang kuat dapat membuat penetrasi dan gigitan sampai ke dalam lapisan kulit. Kalau
waktu penggigitan luka semakin banyak terbuang dari saat penggigitan, difusi dari luka memar
serta perubahan luka akan mempengaruhi dan mengurangi bukti yang ada, bisa pada korban
penggigitan orang hidup tetapi juga pada individual yang meninggal.

2) Koleksi bukti dan tanda dari korban gigitan


Kesempatan yang paling baik dan hanya satu yaitu mengumpulkan bukti bukti yang didapat
ketika pertemuan pertama kali dan yang terlihat pertama kali. Jika dokter gigi menemukan pola
pola, sebaiknya dilaporkan kepada polisi ataupun masyarakat sosial yang mempunyai asas
hukum, lalu dokter gigi dokter gigi harus melengkapi daftar daftar prosedur untuk
mengumpulkan bukti bukti seperti :
a) Dokumentasi
Buat catatan dari perlukaan yang ada, termasuk deskriptif, narrative dan dokumen
dokumen yang menunjukkan kemunculan fisik, warna, ukuran, dan arah dari luka.
- Apa yang berlokasi pada tubuh?
- Bagaimana kontur dan elastisitasnya?
- Dapatkah perbedaan antara tanda dari atas dan bawah gigi ditentukan?
- Apa tipe dari luka yang muncul? Cuts? Memar? Garukan?
b) Fotografi
Ambil foto keseluruhan dan foto close up menggunakan kamera intraoral dengan lensa
mikro (micro lens) dan dua duanya ada yang dengan warna dan film hitam putih.
Menggunakan ukuran yang digunakan sebagai acuan, seperti penggaris yang ditempatkan
di tempat yang sama dimana lukanya dapat terlihat saat di foto untuk mendapatkan
pengukuran yang akurat. Pastikan posisi kamera di atas lokasi luka. Lensa kamera harus
tegak lurus dengan kulit yang tergigit untuk mengurangi distorsi pada fotografi.

13
c) Saliva Swab
Saliva biasa ada di kulit selama menggigit ataupun menghisap kulit korban, ini dapat
dianalisis. Analisis menggunakan TEKNIK DOUBLE SWAB. Pertama kali, yaitu dengan
swab menggunakan kapas lembab oleh air destilasi, digunakan untuk mencuci permukaan
yang berkontak dengan lidah dan bibir menggunakan light pressure dan juga dengan
gerakan sirkular. Kedua, swab yang kedua kali yang merupakan kapas kering, digunakan
untuk mengusap kelembapan yang tertinggal pada kulit saat swab yang pertama kali.
Kedua swab didiamkan pada suhu ruang selama 45 menit sebelum diantarkan ke polisi
untuk ditest.
Kedua swab harus disimpan pada suhu dingin dan kering untuk mengurangi degradasi
DNA salivanya dan pertumbuhan bakteri yang dapat mengkontaminasi sampel. Sampel
harus diantarkan secepatnya ke laboratorium. Sampel harus terdiri dari usapan bukal
ataupun sampel darah secara keseluruhan.
d) Impression (Cetakan)
Membuat cetakan yang akurat untuk melihat potongan, abrasi, dan lain lain. Biasanya
menggunakan vinyl polysiloxane, polyether ataupun bahan cetakan lain yang tersedia.
Dental akrilik ataupun plaster dapat digunakan untuk membuat cetakan yang keras.
Cetakan ini akan menghasilkan cetakan yang akurat yang mencatat permukaan kulit.

e) Luka Pertama
Perhatian medis harus sesegera mungkin dilakukan pada korban yang hidup, karena
gigitan manusia lebih besar berpotensi infeksi daripada gigitan hewan. Perlukaan yang
terajdi di kulit harus secepat mungkin ditangani.

f) Koleksi bukti dari tersangka pengigit (Bite Supect)


Penampakan yang dapat terlihat dan bkti bukti fisik yang dapat dinilai dari Bite suspect :
1) Pemeriksaan Klinis
Keadaan ekstraroral dan intraoral diperiksa dan penemuan klinik juga dicatat. Pada
pasien dicatat pula status dengan keadaan gigi secara keseluruhan dan bagaimana
artikulasi mandibulanya. Beberapa hasil dari pemeriksaan klinis ini adalah mobilitas

14
gigi, ada atau tidak poket periodontal, bagian bagian gigi yang direstorasi, diastema,
fraktur, karies, dan juga fungsi fungsi otot otot pengunyahan.
2) Fotografi
Foto muka penuh dan foto profil dibutuhkan untuk menggambarkan bagaimana
hubungan oklusi lengkung gigi atas dan bawah.
3) Cetakan
Dibutuhkan cetakan penuh gigi geligi secara fisik yang akurat. Cetakan yang
dibutuhkan misalnya vinyl polysiloxane ataupun polyether dapat pula digunakan.

4) Sampel Gigitan (Bite Sample)


Sampel dari gigitan tersangka disimpan dalam bentuk keadaan oklusi sentrik
menggunakan wafer ataupun wax baseplate atau bisa juga dengan putty, kemudian di
foto setelah dibuat.

g) Forensik dari perbandingan fisik saksi


Dilakukan perbandingan dari temuan temuan klinis gigi yang didapat, berupa ukuran,
bentuk, posisi gigi gigi individual ataupun secara keseluruhan, temuan klinis tersebut
dibandingkan dengan keadaan fotografi dengan ukuran sesungguhnya dengan berbagai teknik,
salah satunya dengan menggunakan komputer agar akurat. Perbandingan dapat dilakukan dengan
membandingkan foto dengan bitemark yang ada, gigitan yang dihasilkan oleh pelaku dengan
bitemark yang sesungguhnya atau dapat pula membandingkan gambaran radiografi ataupun
menggunakan SEM (scanning electron microscopy).

h) Gigitan manusia sebagai bukti biologi forensik


Saat menggigit, menghisap ataupun mencium pasti akan ada saliva yang terdosit pada kulit,
keberadaan saliva dapat menjadi bukti yang dapat digunakan untuk mengecek DNA pelaku.
Dengan analisis DNA, dapat dibandingkan DNA profile dengan beberapa suspect yang diduga.
Pengambilan saliva suspect dengan cara bucal swab saliva tersebut ataupun dengan mengambil
sampe darah keseluruhan menggunakan lancet. Teknik double swab sudah terbukti efektif
digunakan menjadi bukti yang didapat dari kulit dan benda benda lain.Kesimpulan yang

15
dianalisis dari bukti bukti dan bitemark yang ada dapat membantu menyelesaikan permasalahan
kriminal, dengan dibantu oleh kesediaan dokter gigi pula untuk mengenali serta mengumpulkan
data yang dibutuhkan pada kasus kriminal interpersonal.

E. Forensic Dentistry : 2 Bitemark and Bite Injuries


Perlukaan atau tanda bitemark biasanya di temukan di beberapa tindak kriminal, yang diikuti
oleh kekerasan anak anak, suami istri dan juga orang tua. Bitemark biasanya muncul akibat dari
proses penyerangan dan juga proses pertahanan diri. Biasanya letak anatomis yang biasa terdapat
tanda bitemark bermacam macam di angota tubuh korban.
Pada wanita tercatat empat kali lebih sering menjadi korban gigitan dari pada pria. Wanita
biasanya digigit di bagian payudara, lengan, dan kaki dan bahkan pada anak anak pada organ
genital mereja, lengan ataupun punggung. Kebanyakan pria lebih sering tergigit di daerah
tangan, punggung dan lengan bahkan wajah. Lokasi anatomi dari bitemark adalah penting unutk
menentukan analisa yang selanjutnya. Payudara menjadi bagian yang paling sering menjadi
lokasi gigitan oleh tersangka. Struktur payudara yang mobile dan lunak cepat mengalami
deformasi dan sulit untuk menganalisa data yang ada, dibandingkan dengan lokasi anatomi
gigitan di lengan ataupun tangan.
Bitemark merupakan tipe perlukaan yang terlihat sebagai perlukaan yang semi sirkular yang
dipisahkan oleh dua lengkung gigi dari gigi rahang atas ataupun gigi rahang bawah. Ada tiga
factor yang mempengaruhi keparahan dari tanda bitemark yang ada :
- Tekanan yang dihasilkan saat perlukaan itu terjadi
- Lokasi anatomi pengigitan
- Seberapa lama waktu antara perlukaan itu terakhir kali terjadi
Keparahan tanda bitemark yang dihasilkan merupakan keadaan pembantu untuk membantu
para ahli forensic untuk menentukan apakah tanda tanda bitemark yanga da dapat dibandingkan
dengan orang orang yang terduka bersalah. BItemark yang masih terlihat dalam waktu beberap
waktu biasanya mempunya riwayat nyeri yang hebat, dan biasanya dapat menajdi serius. Dan
bagi korban yang mempunyai riwayat menjadi korban gigitan, yang terlihat kulitnya rusak, patut
untuk mendapatkan perawatan kulit dengan perhatian khusus.
Bukti bukti yang penting yang diperlukan untuk menganalisis pelaku adalah foto. Beberapa
pengambilan foto perlu disediakan termasuk :

16
- Dengan atau tanpa menggunakan ABFO dengan skala nomor 2
- Foto dengan warna hitam putih
- Nyala dan mematikan flash atau pencahayaan
- Foto badan secara keseluruhan, dan lokasi perlukaan
- Foto close up
- UV fotografi dari perlukaan tersebut
- Jika perlukaan ada di daerah tubuh yang bergerak, diposisikan kulit dengan posisi yang
tepat dan pas untuk mendapatkan foto tanda perlukaan
Foto seluruhnya sebaiknya diambil dengan menggunakan kamera 90◦ dan tegak lurus
terhadap perlukaan. Selain soto foto yang diperlukan dan sebaiknya dikumpulkan pula :
- Cetakan gigi dari korban, ini untuk menganalisis dan memastikan apakah ini adalah
gigitan dia pribadi dan juga sebagai pembanding gigitan yang dicurigai sebagai pelaku
- DNA Swabbing dari lokasi perlukan, ini harus diswab dan dibersihkan sebanyak 2 kali.
- Cetakan dari gigitan perlukan, ini akan membantu untuk menganalisis untuk
mendapatkan detail 3 dimensi
Selain mengumpulkan hal tersebut diatas, penilaian dental juga diperlukan, seperti dental
chart yang dihasilkan dengan tanda tanda detail mengenai kondisi gigi, ada atau tidak modifikasi
dental yang dilakukan. Lengkung gigi atas dan bawah juga dilihat untuk mengetahui apakah
memakan gigi tiruan, cetakan yang dibutuhkan adalah cetakan dengan dan tanpa menggunakan
gigi palsu tersebut. Pencetakan menggunakan alginate juga diperbolehkan dan harus diisi
cetakannya, yang dilakukan tidak boleh lebih dari 1-2 jam untuk mencegah kontraksi cetakan
alginate. Ada pula menggunakan bahan cetakan PVS, yang mana mempunya keuntungan dapat
diisi berkali kali ketika memang da kesalahan dalam mengisi cetakan.
Adapun range atau tingkatan dari kesimpulan ditentukan atau tidaknya suatu perlukaan
menjadi suatu biteamark. Menurut AMERICAN BOARD OF FORENSIC ODONTOLOGY,
tingkatan tersebut adalah:
 Exclusion - injury tersebut bukanlah suatu bitemark
 Possible bitemark – perlukaan menunjukkan bentuk ataupun pola yang bias atau tidak
merupakan akibat dari mengigitan, tidak dapat ditentukan

17
 Probable bitemark – bentuk atau pula yang ada adalah dengan jelas dapat tertera atau
dapat mendukung keadaan tersebut adalah benar karena gigitan, dan bukan karean fakator
lain
 Definite bitemark – tidak ada keraguan, bahwa tanda tersebut adalah karena gigitan oleh
pelaku
Ada lagi teknik untuk menganalisis, yaitu menggunakan alat transparan overlay untuk
mendapatkan pola yang akurat dari gigi gigi pelaku. Teknik overlay dapat digunakan untuk
mendapatkan pola gigitan dari pelaku., yaitu dengan rasio 1:1. Teknik overlay dapat didapatkan
dengan menggambar pola gig, yaitu dengan :
 Computer based
 Two types radiografi
 Xerographic
 Tracing dengan manual (hand tracing)
Sejauh ini yang paling sering dilakukan adalah tracing dengan manual dan adapun range
atau tingkatan dari kesimpulan ditentukan oleh ODONTOLOGY, tingkatan tersebut adalah:
 Excluded – adanya discrepansi antar bitemark dan gigi gigi pelaku yang dicurigai
 Inconclusive – tidak ada tanda tanda forensic yang detal untuk digambarkan atau beberapa
kesilpulan antara gigi pelaku yang dicurigai dan perlukaan bitemark
 Possible biter – gigi gigi yang terlihat terlihat ada yang bisa dikira dan diduga dan juga
keadaan gigi gigi lainnya
 Probable biter – pelaku yang dicurigai adalah yang paling mungkin menghasilkan gigitan
tersebut, dan kebanyakan orang disekitar populasi itu tidak ada yang mempunyai gigitan
yang mirip
 Reasonable medical certainly – pelaku diidentifikasi dengan latiahn dan analisi secara
keseluruhan yang didapat dan sudah kesimpulan hamper mendekati kebenaran.

18
BAB III
METODE ANALISIS BITE MARK

Peralatan dan bahan yang digunakan:


1. Alat tulis
2. Apel hijau / apel malang
3. Penggaris atau sliding caliper skala 0,02
4. Model gigi rahang atas dan rahang bawah
5. Spatula dan rubber bowl
6. Sendok cetak
7. Alginat dan dental stone
8. Plastik mika
9. Spidol transparan ukuran F
10. Glassplate

Tahap kerja dan analisis bite mark


1. Model gigi rahang atas dan rahang bawah milik semua anggota kelompok dikumpulkan
terlebih dahulu.
2. Satu anggota kelompok melakukan gigitan pada apel hijau yang telah disediakan, satu
gigitan dangkal, dan satu gigitan dalam.
3. Lakukan pencetakan hasil gigitan tersebut dengan alginat, perluasan tepi area gigitan 1
cm.
4. Identifikasi pola gigitan dan ciri-ciri gigi-geligi yang terlibat (selengkap-lengkapnya).
5. Lakukan penapakan (tracing) pada cetakan gigitan menggunakan plastik transparan.
6. Bandingkan ciri-ciri yang telah diidentifikasikan pada cetakan gigi tadi dengan model
gigi rahang atas dan rahang bawah milik semua anggota kelompok.

19
7. Tentukan anggota kelompok sebagai pelaku gigitan yang sesuai dengan identifikasi yang
telah digunakan.
8. Lakukan penapakan (tracing) pada model studi orang yang dianggap sebagai pelaku
gigitan tersebut.
9. Bandingkan dengan hasil penapakan pada cetakan gigi yang telah dibuat dan catatlah
distorsi yang diperoleh.
10. Buatlah laporan singkat tentang analisis bitemark yang telah anda laksanakan pada loog
book.

Odontologi forensik merupakan cabang ilmu kedokteran gigi yang menganalisis bukti gigi
untuk identifikasi manusia. Identifikasi individu melalui gigi geligi merupakan salah satu bentuk
identifikasi primer dalam bidang forensik. Identifikasi primer dilakukan melalui pemeriksaan
sidik jari, DNA, dan gigi geligi, sedangkan identifikasi sekunder dilakukan melalui pemeriksaan
visual, antropometri, dan pemeriksaan medis. Gigi merupakan bagian yang paing kuat dari tubuh
manusia dan memiliki daya tahan yang tinggi terhadap kerusakan. Gigi geligi memainkan peran
penting dalam menetapkan jenis kelamin, usia, dan ras korban.

A. Metode Perkiraan Jenis Kelamin

Berbagai sifat gigi seperti morfologi, ukuran mahkota dan panjang akar memiliki
karakteristik berbeda untuk jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Identifikasi jenis kelamin
merupakan tahap identifikasi pertama untuk menentukan identitas korban. Hal ini penting
terutama pada kejadian bencana massal yang menyebabkan kerusakan yang parah atau terpisah-
pisahnya bagian tubuh manusia sehingga sulit untuk diidentifikasi. Perbedaan ukuran antara gigi
laki-laki dan perempuan ini merupakan salah satu bentuk dari seksual dimorfisme, yaitu
perubahan dimensi pada sebagian jaringan yang disebabkan oleh perbedaan jenis kelamin
dimana perubahan dimensi tersebut merujuk pada perbedaan ukuran dan bentuk antara laki-laki
dan perempuan. Banyak penelitian yang sudah membuktikan bahwa dari semua gigi manusia,
gigi kaninus maksila dan mandibula merupakan gigi yang menunjukan dimorfisme seksual
tertinggi (Jha dkk., 2015).

20
Gigi kaninus digunakan karena daya tahan di rongga mulut dan paling sedikit dilakukan
ekstraksi karena rendahnya insidensi karies dan penyakit periodontal. Lebar mesiodostal gigi
kaninus maksila dan mandibular sebelah kanan dan kiri serta jarak interkaninus diukur
menggunakan sliding caliper pada model studi. Berdasarkan penelitian Jha dkk. (2015), lebar
mesiodostal gigi kaninus maksila dan mandibular sebelah kanan dan kiri lebih besar pada laki-
laki daripada perempuan. Jarak interkaninus pada maksila dan mandibula laki-laki juga lebih
besar pada laki-laki maupun perempuan.

Berdasarkan penelitian Singh dkk. (2015) dalam menentukkan jenis kelamin dapat digunakan
morfometrik dari kaninus mandibula. Cetakan rahang mandibula digunakan sebagai analisis
model studi. Gigi kaninus yang dianggap sebagai pengukuran mesiodistal terakurat diukur
dengan menggunakan sliding caliper. Jarak interkaninus yang diukur antara cups kaninus kanan
dan kiri mandibula.

Mandibular canina index observasi (MCIo) = lebar mesiodistal mahkota kaninus mandibula /
jarak interkaninus

Mandibular canine index standar (MCIs) = (mean male MCI – Standar Deviasi) + (mean
female MCI + Standar Deviasi) / 2

21
B. Metode Perkiraan Usia

Salah satu metode prakiraan usia dengan menggunakan radiograf adalah metode Tooth
Coronal Index (TCI). Metode ini berdasarkan hubungan antara usia kronologis dan ukuran pulpa.
Ukuran pulpa mengecil seiring bertambahnya usia karena deposisi dentin sekunder dan hal ini
merupakan proses yang berlangsung terus-menerus sepanjang hidup. Oleh karena itu, pulpa gigi
dapat digunakan sebagai parameter untuk memprakirakan usia individu.

Pada metode ini digunakan gigi molar dan premolar sebagai perkiraan pengukuran ruang
pulpa. Ada dua bagian yang diukur pada metode ini:
1. Tinggi mahkota (CH) yang diukur secara vertical dari garis CEJ sampai ke ujung cups
mahkota tertinggi.
2. Tinggi koronal pulpa (CPHC) yang diukur secara vertikaldari garis servical sampai ujung
tertinggi dari tanduk pulpa.

22
Prakiraan usia dapat diukur dengan memasukkan hasil pengukuran dalam suatu rumus yaitu:

TCI= CPCH x 100 / CH


(Firdaus dkk,. 2013)

Penentuan umur menggunakan rumus untuk kelompok juga ditentukan:


Age (kombinasi) = 10.940 + 0.447 x TCI sample
Age (male) = 8.545 + 0.392 x TCI
Age (Female) = 9.195 + 0.454 x TCI
(Morsi dkk., 2015)

C. Metode Perkiraan Ras

Metode menggunakan ras ini ditentukan untuk mengidentifikasi individual berdasarkan


morpologi dental analisis. Populasi yang dikatan mirip memiliki perbedaan yang dilihat dari
dimensi gigi. Secara umum, ras dapat dibagi dalam berbagai kelompok menurut Schnutenhaus
dan Rosing (1998), yaitu

1. Europids
2. Negrids
3. Mongolids

23
4. Melanesids

Pola umum dari perbedaan keturunan dilihat dari ukuran gigi dimana orang Afrika memiliki gigi
yang besar, khususnya gigi posterior. Gigi pada orang Asia memiliki ukuran gigi posterior
sedang dibandingkan orang Afrika. Gigi posterior orang Eropa berukuran kecil dengan gigi
anterior yang berukuran besar. Menurut Hanira dan Ishida (2005) gigi orang Australia dianggap
gigi yang memiliki ukuran paling besar bila dibandingkan yang lainnya, kemudian diikuti
dengan Melanisian, Micronesian, sub-Saharan Africa, dan Amerika. Asia tenggara dan Asia
timur serta pilinesian memiliki ukuran gigi dengan ukuran sedang, sedangkan Philiphine
Negritos, Jomon, Ainu, Western Eurasian memiliki ukuran kecil.

Ukuran gigi-geligi dapat dibedakan antara lelaki dan perempuan, dilihat dari lebar mesiodistal
dan buco-linguanya dari tiap kelompok.

24
25
BAB IV
HASIL dan PEMBAHASAN TRACING BITE MARK

A. Gigitan Tangan
1. Hasil Pengukuran Mesiodistal Gigi pada Model Gigi Tersangka dan Gigitan Tangan
Lebar Lebar Lebar Lebar
Lebar Lebar
Mesiodistal Mesiodistal Mesiodistal Mesiodistal
Eleme Mesiodistal Mesiodistal
Gigitan Gigitan Gigitan Gigitan
n Gigi pada Gigitan Model
Model 2 Model 3 Model 4 Model 5
Tangan (mm) 1 (mm)
(mm) (mm) (mm) (mm)
13 - 8.60 8.22 8.00 8.10 8.00
12 6.3 6.90 7.80 7.00 7.20 5.70
11 8.00 8.20 8.70 8.80 8.30 7.80
21 8.20 8.60 8.30 9.00 8.20 7.60
22 6.50 7.00 7.40 7.00 6.70 5.40
23 - 8.00 8.56 7.66 8.00 8.00
33 - 7.00 7.14 6.92 7.00 8.00
32 4.90 6.60 6.40 6.20 6.10 5.70
31 5.20 5.90 5.50 5.70 5.40 5.10
41 5.00 5.60 5.40 5.80 5.50 5.00
42 5.20 5.90 6.10 6.10 6.00 5.30
43 - 7.40 7.30 6.88 6.70 7.86
Berdasarkan lebar mesiodistal gigi secara keseluruhan ditetapkan model nomor 1 menjadi suspek
tersangka gigitan pada tangan.
Lebar Lebar
Mesiodistal Mesiodistal
Elemen Distorsi (mm)
Gigi pada Gigitan Model
Tangan (mm) nomor 1 (mm)
13 - 8.60
12 6.3 6.90 - 0.6
11 8.00 8.20 - 0.2
21 8.20 8.60 - 0.4
22 6.50 7.00 - 0.5
23 - 8.00
33 - 7.00
32 4.90 6.60 - 1.7
31 5.20 5.90 - 0.7
41 5.00 5.60 - 0.6

26
42 5.20 5.90 - 0.7
43 - 7.40

2. Hasil Pencetakan

Gambar 1. Hasil pencetakan gigitan tangan

3. Hasil Penapakan

Gambar 2. Hasil penapakan gigitan tangan

4. Analisis Hasil Tracing


1. Pada bite mark gigitan tangan terdapat 4 catatan gigitan sempurna pada RA, yaitu
gigi 12 11 21 22. Pada gigitan tangan RB juga didapatkan 4 catatan gigitan
sempuran, yaitu gigi 32 31 41 42.

27
2. Pada bite mark RA terlihat adanya malposisi gigi 21 (mesio labioversi) sedangkan
pada RB terlihat adanya malposisi gigi 32 (linguoversi) dan 41 (mesio linguoversi).

B. Gigitan Apel

1 Hasil Pengukuran Mesio Distal Gigi pada Model Gigi Tersangka dan Gigitan Apel
Lebar Mesiodistal Lebar Mesiodistal Gigi
Distorsi Model (mm)
Gigi pada Apel pada Model
Elemen Gigitan Gigitan Gigitan Gigitan Gigitan Gigitan
Dangkal Dalam Dangkal Dalam Dangkal Dalam
(mm) (mm) (mm) (mm) (mm) (mm)
11 6.30 9.40 7.28 8.33 -0.98 1.07
12 7.30 7.00 6,26 7.00 1.04 0.00
21 6.30 8.80 7.33 8.33 -1.03 -0.47
22 4.90 6.00 6.21 6.91 -1.31 -0.91
31 6.70 7.10 5.45 5.85 1.25 1.25
32 6.60 5.10 6.11 6.12 0.19 -1.02
41 5.20 6.00 5.50 5.75 -0.30 -0.25
42 6.40 6.70 6.00 5.95 -0.40 0.75

2. Hasil Pencetakan

Gambar 3a. Hasil pencetakan gigitan dalam Gambar 3b. Hasil Pencetakan gigitan dangkal

28
3. Hasil Penapakan

Gambar 4a. Hasil pencetakan gigitan dalam Gambar 4b. Hasil Pencetakan gigitan dangkal

4. Analisis Hasil Tracing


1. Pada gigitan dalam RA terdapat 4 catatan gigitan sempurna, yaitu gigi 11 12 21 22, dan
pada gigitan dalam RB terdapat 4 catatan gigitan sempurna, yaitu gigi 32 31 41 42. Pada
gigitan dangkal bite mark RA terdapat 4 catatan gigitan sempurna, yaitu gigi 12 11 21 22,
sedangkan pada gigitan RB terdapat 4 catatan gigitan sempurna yaitu gigi 32 31 41 42.
2. Gigitan dangkal lebih mudah diidentifikasi karena batasnya masih cukup terlihat.
Sedangkan pada gigitan dalam terutama gigitan RB lebih sulit diidentifikasi dibandingkan
gigitan dangkal.
3. Pada gigitan dangkal bite mark RA terlihat adanya malposisi gigi 21 sedangkan pada RB
terlihat adanya malposisi pada gigi 32 dan 41.

C. PEMBAHASAN
1. Analisis Bitemark
a) Perbandingan Bite Mark Gigitan Tangan dengan Model Gigi
Berdasarkan hasil pengukuran mesio-distal gigi tersangka yang dicocokkan dengan
mesio-distal bite mark gigitan tangan diperoleh 1 orang yang dicurigai sebagai
tersangka,yaitu model gigi nomor 1.

29
1) Cetakan model gigi nomor 1
Berdasarkan perbandingan antara bite mark dengan model gigi, model nomor 1
memiliki ukuran mesiodistal gigi yang hampir sama dengan yang tercetak pada bite
mark. Selain itu terdapat kesamaan antara lengkung gigi 12 11 21 22 dengan
lengkung yang tercetak pada bite mark. Gigi 21 terdapat malposisi yaitu
mesiolabiorsiversi. Gigi insisivus RB model 1 juga terdapat gigi malposisi. Dengan
pertimbangan tersebut, gigi model nomor 6 dianggap yang paling sesuai dengan
bitemark.
b) Perbandingan Bite Mark Gigitan Dangkal pada Apel dengan Model Gigi
Berdasarkan hasil tracing diperoleh 1 orang yang dicurigai sebagai pelaku gigitan
dangkal pada apel yaitu model nomor 1. Berikut ini analisis dari tersangka:
Pada gigitan dangkal hanya dua gigi yang tercetak, sehingga sangat susah dibedakan
dengan gigitan modelnya. Pada tracing anterior rahang atas terdapat gambaran yang
sejajar, sedangkan pada rahang bawah anterior terlihat sedikit tidak sejajar.
c) Perbandingan Bite mark Gigitan Dalam dengan Model Gigi
Berdasarkan hasil tracing diperoleh 1 model yang dicurigai sebagai pelaku gigitan dalam
apel yaitu model nomor 1. Berikut ini analisis dari tersangka:
Pada tracing rahang bawah anterior terlihat gigi geligi anterior 32, 41 terlihat lebih kearah
lingual . Anterior bawah 31 dan 42 terlihat datar dan sejajar tidak terjadi malposisi.
Dari ketiga tracing baik pada gigitan tangan, gigitan apel dangkal dan apel dalam menunjukkan
bahwa terdapat satu pelaku yang sama yaitu nomor 1.

2. Analisis Jenis Kelamin


Untuk menentukan jenis kelamin digunakan metode analisis Canina dan Inter Canina
maksila dan mandibular (Jha dkk, 2015).
Lebar
Eleme Mesiodistal Lebar Mesiodistal Gigitan
n Gigi pada berdasarkan jurnal (mm)
model (mm)
Laki-laki Perempuan
13 8.60 7.30 5.40
23 8.00 7.20 5.40
33 7.00 6.60 5.50

30
43 7.40 6.50 5.00

Lebar Inter Lebar Inter Canina


Canina Model berdasarkan Jurnal (mm)
(mm) Laki-Laki Perempuan
Maksila 31.80 33.80 29.90
Mandibula 22.00 27.70 24.80

Berdasarkan perbandingan diatas, disimpulkan bahwa suspek berdasarkan lebar


mesiodistal berjenis kelamin laki-laki, namun berdasarkan intercanina suspek berjenis
kelamin perempuan. Oleh karena itu, dilakukan analisis lanjut menggunakan mandibular
canine index (Singh dkk, 2016).
43 : 7.4 mm
Male : 7.19 ± 2.23 = 9.42 – 4.96  Male : 7.40 mm
Female : 6.30 ± 0.35 = 6.65 – 5.95

33 : 7.00 mm
Male : 7.32 ± 2.46 = 9.78 – 4.86  Male 7.00 mm
Female : 6.35 ± 0.35 = 6.70 – 6.0
Dari Analisis diatas, disimpulkan bahwa suspek berjenis kelamin laki-laki

3. Analisis Usia
Untuk menentukan usia suspek digunakan metode tooth coronal index (Firdaus dkk,
2013).
TCI = CPCH x 100 / CH
CPCH = 3.33
CP = 7.2
𝟑.𝟑 𝑿 𝟏𝟎𝟎
TCI = = 𝟒𝟓
𝟕.𝟐

Male = 8.545 + (0.329) (45)


= 8.545 + 14.805
= 23.35
Umur suspek adalah 23 Tahun

31
4. Analisis Ras
Lebar Mesiodistal Gigi pada Lebar Bukal-Lingual Gigi
Elemen model (mm) pada model (mm)
RA RB RA RB
I1 8.33 (as) 6.04 (as) 7.00 (as) 5.60 (e)
I2 8.12 (as) 6.20 (as) 6.00 (e) 6.20 (as)
C 8.60 (af) 7.10 (e) 7.90 (as) 7.60 (as)
P1 7.22 (af) 7.00 (as) 9.20 (as) 7.45 (as)
P2 7.27 (as) 7.10 (as) 9.30 (as) 8.10 (as)
M1 11.00 (af) 11.50 (af) 12.00 (as) 12.00 (as)
M2 9.14 (af) 10.90 (as) 11.18 (as) 10.32 (as)
Ket :
(as) = Asia
(e) = Eropa
(af) = Africa
Berdasarkan analisis ukuran mesiodistal dan bukal-lingual disimpulkan bahwa suspect tergolong
dalam ras Asia.

32
BAB V
PEMBAHASAN

A. Pembusukan

1. Definisi

Pembusukan adalah keadaan dimana jaringan lunak tubuh mengalami penghancuran oleh

proses autolisa dan aktivitas mikroorganisme. Autolisis adalah kerusakan jaringan dan organ

melalui proses kimiawi yang disebabkan oleh enzim intraseluler. Organ yang kaya dengan enzim

akan mengalami proses autolisis lebih cepat daripada organ yang tidak memiliki enzim, sehingga

pankreas akan mengalami autolisis lebih cepat daripada jantung. Autolisis ini tidak dipengaruhi

oleh mikroorganisme, oleh karena itu pada mayat yang bebas hama misalnya mayat bayi dalam

kandungan tetap berlangsung proses autolisis (Dahlan, 2000; Di Maio Domnick, 2000; Idries,

1997). Proses autolisis terjadi akibat dari pengaruh enzim yang dilepaskan oleh sel-sel yang

sudah mati. Mula-mula yang terkena ialah nukleoprotein yang terdapat pada kromatin sesudah itu

sitoplasmanya. Kemudian dinding sel akan mengalami kehancuran akibatnya jaringan menjadi

lunak atau mencair. Pelepasan enzim dalam autolisis akan dipercepat dengan panas, diperlambat

dengan dingin, dan dihentikan dengan dengan pembekuan atau rusaknya enzim dengan terlalu

panas (Dahlan, 2000).

Proses pembusukan yang kedua disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme dan

fermentasi. Setelah kematian, flora normal traktus gastrointestinal menyebar keseluruh tubuh

menyebabkan pembusukan. Sebagian besar oksigen dalam tubuh menurun, menyebabkan

lingkungan menjadi anaerob sehingga mudah dirusak oleh bakteri yang berperan dalam

pembusukan. Sebagian besar bakteri pada tubuh terdapat pada caecum, oleh karena itu tanda-

33
tanda eksternal pembusukan pertama kali terlihat di abdomen. Mikroorganisme penyebab utama

pembusukan adalah Clostridium Welchii yang biasanya terdapat pada usus besar. Apabila

Clostridium Welchii mulai tumbuh pada satu organ parenkim, maka sitoplasma dari organ sel

tersebut akan mengalami desintegrasi dan nukleusnya akan dirusak sehingga sel menjadi lisis.

Kemudian sel-sel menjadi lepas sehingga jaringan kehilangan strukturnya. Secara mikroskopis

bakteri dapat dilihat menggumpal pada rongga-rongga jaringan, dimana bakteri tersebut banyak

memproduksi gelembung gas. Ukuran gelembung gas yang tadinya kecil dapat cepat membesar

menyerupai honey combed appearance. Lesi ini dapat dilihat pertama kali pada hati (Dahlan,

2000; Dautartas, 2009).

2. Mekanisme Pembusukan

Pada orang yang sudah mati semua sistem pertahanan tubuh hilang sehingga

mikroorganisme pembusuk tersebut dapat leluasa memasuki pembuluh darah dan menggunakan

darah sebagai media untuk berkembang biak. Bakteri tersebut menyebabkan hemolisa, pencairan

bekuan-bekuan darah yang terjadi sebelum atau sesudah mati, pencairan trombus atau emboli,

perusakan jaringanjaringan dan pembentukan gas-gas pembusukan. Proses tersebut mulai tampak

kurang lebih 48 jam sesudah mati (Dahlan, 2000).

Tanda awal pembusukan akan tampak warna kehijauan didaerah dinding abdomen

bawah, lebih banyak terlihat pada fossa illiaca kanan tepatnya didaerah caecum, karena daerah

tersebut banyak mengandung cairan dan bakteri serta letaknya dekat dengan dinding perut.

Pewarnaan akan menyebar keseluruh abdomen kemudian ke daerah dada, pada saat ini akan

tercium bau pembusukan. Warna hijau disebabkan karena terjadi suatu morbling, yaitu hasil dari

hemolisis pembuluh darah dengan reaksi dari hemoglobin dan hidrogen sulfida sehingga

menyebabkan pembuluh darah berwarna coklat kehijau-hijauan. Selain banyak ditemukan pada

abdomen dan paru, bakteri pembusukan juga banyak ditemukan pada sistem vena, sehingga

gambaran marbling ini terlihat jelas pada bahu, dada bagian atas, abdomen bagian bawah dan

34
paha. Apabila proses pembusukan cepat, gambaran pembuluh balik yang seperti jaring-jaring

tersebut akan tampak dalam waktu 24 jam.

Terjadi pula pelebaran pembuluh darah superficial disebabkan karena desakan gas

pembusukan yang ada di dalamnya sehingga pembuluh darah serta cabang-cabangnya tampak

lebih jelas, seperti pohon gundul (arborescent pattern atau arborescent mark). Lapisan permukaan

epidermis dapat dengan mudah terlepas disebut ‘skin slippage’. (Dahlan, 2000; Di Maio

Domnick, 2000; Idries, 1997; Knight, 1996).

Awal minggu kedua terjadi pembentukan gas dalam tubuh yang dimulai dari lambung

dan usus. Pembentukan gas ini menyebabkan naiknya tegangan abdomen dan perut akan tampak

menggelembung. Tekanan pada abdomen akibat pembentukan gas, akan menyebabkan keluarnya

cairan merah kehitaman dari mulut dan hidung. Sebagian besar cairan berasal dari saluran

pernafasan dan 11 lambung. Pembengkakan yang terjadi pada seluruh tubuh mengakibatkan berat

badan mayat yang tadinya 57 - 63 kg sebelum mati menjadi 95 - 114 kg sesudah mati. Gas dalam

jaringan tubuh akan menimbulkan kesan seperti krepitasi, yaitu apabila daerah tersebut diraba

akan teraba derik udara. Pada daerah scrotum, penis dan buah dada gelembung pembusukan

biasanya akan tampak jelas (Idries, 1997; Knight, 1996).

Tiga atau empat minggu kemudian kuku, rambut kepala, aksila dan pubis mudah dicabut

dan dilepaskan karena danya disintegrasi pada akarnya (Dautartas, 2009). Wajah akan tampak

menggembung, mata akan tertutup erat karena penggembungan pada kedua kelopak mata, bibir

akan menggembung dan mencucur, lidah akan menggembung dan terjulur keluar sehingga mayat

sulit dikenali identitasnya (Knight, 1996).

Tekanan intra abdominal dapat menyebabkan pengeluaran urin dan feses. Prolaps uteri

dan pengeluaran fetus setelah kematian pada wanita hamil disebabkan juga oleh tekanan intra

abdominal. Tekanan pada rongga dada meningkat karena adanya gas pembusukan didalam

rongga abdomen, sehingga menyebabkan udara dan cairan pembusukan yang berasal dari trakea

35
dan bronkus terdorong keluar, bersama dengan keluarnya cairan darah melalui mulut dan hidung

(Knight, 1996).

Proses pembusukan akan berlanjut dengan menciutnya organ-organ dalam akan tetapi

tetap dapat dikenali. Pembusukan organ dalam akan terjadi dengan kecepatan yang berbeda, salah

satu faktor yang berperan dalam kecepatan pembusukan adalah banyak sedikitnya darah yang

terdapat pada organ dalam tersebut. Organ dalam yang paling cepat membusuk ialah otak, hati,

lambung, 12 usus halus, limpa, rahim wanita hamil atau nifas. Perubahan warna pada dinding

lambung terutama di fundus dapat dilihat dalam 24 jam pertama setelah kematian. Difusi cairan

dari kandung empedu kejaringan sekitarnya, menyebabkan perubahan warna pada jaringan

sekitarnya menjadi coklat kehijauan. Pada hati dapat dilihat gambaran honey combs appearance,

limpa menjadi sangat lunak dan mudah robek, serta otak menjadi lunak. Organ yang lambat

membusuk ialah esofagus, jantung, paru-paru, difragma, ginjal dan kandung kemih. Organ yang

paling lambat mengalami pembusukan adalah prostat pada laki-laki dan rahim pada wanita yang

tidak dalam keadaan hamil atau nifas, karena strukturnya yang berbeda dengan jaringan lain yaitu

jaringan fibrous, sehingga pada keadaan dimana telah terjadi pembusukan lanjut, kedua organ

dalam tersebut dapat dipakai sebagai petunjuk menentukan jenis kelamin mayat tersebut (Dahlan,

2000; Idries, 1997).

Tahap terakhir dari pembusukan adalah skeletonization, yaitu menyisakan sedikit atau

bahkan tidak ada jaringan lunak, sehingga hanya terlihat tulang. Proses ini dapat bertahan

berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun, hingga akhirnya terjadi penghancuran tulang.

Skeletonization lebih tergantung pada keadaan lingkungan daripada pembusukan secara alami.

Mikrooganisme dalam tanah, cuaca dan keasaman tanah berpengaruh terhadap keutuhan tulang.

Ketika pembusukan tubuh sampai pada tahap ini, penentuan waktu kematian bisa sangat sulit

(Dautartas, 2009; Knight, 1996).

3. Faktor yang mempengaruhi proses pembusukan

36
Pembusukan dapat dipengaruhi oleh faktor tertentu yang dapat mempercepat atau

memperlampat proses pembusukan. Faktor yang mempengaruhi lamanya pembusukan ada dua

yaitu faktor luar dan faktor dalam. Faktor luar adalah faktor yang dapat mempengaruhi lamanya

pembusukan dari luar, sedangkan faktor dalam dari tubuh mayat itu sendiri (Dahlan, 2000;

Department of Forensic Medicine, 1995; Dautartas, 2009; Miller, 2002; Gleason, 2008).

A. Faktor Luar, yaitu:

1) Suhu disekitar mayat

Proses pembusukan yang paling optimal terjadi pada suhu 70° F- 100° F

(21°C-38°C). Suhu yang optimal akan membantu pemecahan proses biokimiawi

dan sangat menguntungkan untuk pertumbuhan bakteri sehingga proses

pembusukan dapat terjadi lebih cepat. Pada suhu dibawah 50°F (10°C) atau diatas

100°F (38°C) proses pembusukan akan menjadi lebih lambat, proses pembusukan

menjadi lebih lambat akibat terhambatnya pertumbuhan mikroorganisme.

2) Kelembapan udara

Pada proses pembusukan memerlukan kelembapan udara, lingkungan

yang lembab akan mendorong proses pembusukan sedangkan lingkungan yang

kering akan memperlambat proses pembusukan. Mayat yang dikeringkan atau

berada ditempat yang kering akan menyebabkan mummifikasi.

3) Ketersediaan Oksigen

Kandungan oksigen yang berkurang pada lingkungan akan memperlambat

proses pembusukan, karena oksigen diperlukan oleh bakteri aerob yang berperan

dalam proses pembusukan. Pada penelitian Mnat (1987) yang mengamati sebuah

kuburan masal, dimana salah satu mayat dibuka dari atas dada sampai bawah

perut, menunjukkan hilangnya semua organ dada dan jaringan lunak yang terkait.

37
4) Lingkungan

Tubuh yang teredam air kecepatan pembusukan akan melambat karena

pendinginan tubuh. Sementara, apabila tubuh diangkat dari air, kecepatan

dekomposisi akan meningkat karena sudah diencerkan oleh air dan tekanan

atmosfer yang tinggi.Mayat yang berada dipermukaaan proses pembusukan akan

terjadi lebih cepat daripada mayat yang dikubur dalam tanah.

5) Pakaian

Fungsi pakaian bisa mempercepat atau memperlambat fungsi

pembusukan. Pakaian akan mencegah mikroorganisme masuk kedalam tubuh

melalui udara sehingga proses pembusukan dapat dihambat. Akan tetapi apabila

keadaan udara dingin, maka pakaian akan membantu mempertahankan temperatur

menyebabkan tubuh dapat ditinggali oleh beberapa jenis mikroorganisme,

sehingga proses pembusukan akan dipercepat.

6) Serangga

Aktivitas serangga merupakan faktor penting dalam proses pembusukan,

yaitu dapat mempercepat proses pembususkan. Lalat akan hinggap pada mayat

karena tertarik oleh bau yang dikeluarkan, kemudian akan meletakan telurnya

pada mayat tersebut. Serangga ini senang bertelur didaerah yang tidak terkena

sinar matahari, yaitu disekitar lubang mulut, hidung, mata alat kelamin. Telur ini

kemudian akan menetas menjadi belatung dalam waktu 8-14 jam. Belatung akan

merusak jaringan lunak dan otot, dengan cara protein yang ada dalam jaringan

dibusukkan sehingga menyebabkan sebagian besar daerah mencair. Belatung

dapat menyebarkan bakteri keseluruh tubuh dalam perjalanannya, sehingga dapat

38
merusak jaringan lunak dalam waktu singkat. Belatung juga menghasilkan banyak

panas sehingga akan merangsang proses pembusukan selanjutnya. Aktivitas

serangga dipengaruhi oleh suhu lingkungan dan paparan sinar matahari. Paparan

sinar matahari langsung akan mempercepat aktivitas serangga dalam proses

pembusukan tetapi populasinya kecil, sedangkan pada daerah yang teduh

menunjukkan populasi serangga besar tetapi onsetnya kecil.

B. Faktor dalam yaitu:

1. Umur

Pada mayat orang tua, proses pembusukannya lebih lambat disebabkan

lemak tubuhnya relatif lebih sedikit. Pembusukan yang lambat juga terjadi 16

pada mayat bayi yang baru lahir dan belum pernah diberi makan, karena pada

mayat tersebut belum pernah dimasuki bakteri pembusuk.

2. Jenis kelamin

Jumlah lemak subkutan pada wanita lebih banyak, sehingga dapat

mempertahankan panas tubuh sedikit lebih lama dan sedikit mempercepat proses

pembusukan. Selain itu tidak ada yang mempengaruhi perbedaan jenis kelamin.

3. Sebab kematian

Mayat orang mati mendadak lebih lambat proses pembusukannya daripada

yang mati karena penyakit kronis. Demikian pula pada mayat orang yang mati

karena keracunan kronis dari zat asam karbol, arsen, antimo dan zink klorida akan

lebih cepat proses pembusukannya. Jika kematian karena infeksi atau septikemia,

akan mempercepat pembusukan karena bakteri.

39
4. Keadaan mayat

Proses pembusukan akan cepat terjadi pada tubuh mayat yang gemuk,

edematus, luka-luka dan mayat wanita yang mati sesudah melahirkan. Pada

keadaan mayat dengan luka tembus dan tusuk membuat larva lalat mudah masuk

kedalam tubuh, sehingga proses pembusukan lebih mudah terjadi. Sedangkan

proses pembusukan yang lambat terjadi pada mayat yang ketika hidupnya

mengalami dehidrasi, karena jumlah air yang kecil pada tubuh tidak memberikan

tempat yang baik untuk perkembangan mikroorganisme.

4. Validitas alat bukti pada tahap pembusukan mayat

Pembusukan mayat nama lainnya dekomposisi dan putrefection. Pembusukan mayat

adalah proses degradasi jaringan terutama protein akibat autolisis dan kerja bakteri pembusuk

terutama Klostridium welchii. Bakteri ini menghasilkan asam lemak dan gas pembusukan berupa

H2S, HCN, dan AA. H2S akan bereaksi dengan hemoglobin (Hb) menghasilkan HbS yang

berwarna hijau kehitaman. Syarat terjadinya degradasi jaringan yaitu adanya mikroorganisme dan

enzim proteolitik. Proses pembusukan telah terjadi setelah kematian seluler dan baru tampak oleh

kita setelah kira-kira 24 jam kematian. Kita akan melihatnya pertama kali berupa warna kehijauan

(HbS) di daerah perut kanan bagian bawah yaitu dari sekum (caecum). Lalu menyebar ke seluruh

perut dan dada dengan disertai bau busuk.

Ada 17 tanda pembusukan, yaitu wajah dan bibir membengkak, mata menonjol, lidah

terjulur, lubang hidung dan mulut mengeluarkan darah, lubang lainnya keluar isinya seperti feses

(usus), isi lambung, dan partus (gravid), badan gembung, bulla atau kulit ari terkelupas,

aborescent pattern/ marbling yaitu vena superfisialis kulit berwarna kehijauan, pembuluh darah

bawah kulit melebar, dinding perut pecah, skrotum atau vulva membengkak, kuku terlepas,

rambut terlepas, organ dalam membusuk, dan ditemukannya larva lalat. Organ dalam yang cepat

membusuk antara lain otak, lien, lambung, usus, uterus gravid, uterus post partum, dan darah.

40
Organ yang lambat membusuk antara lain paru-paru, jantung, ginjal dan diafragma.

Organ yang paling lambat membusuk antara lain kelenjar prostat dan uterus non gravid. Larva

lalat dapat kita temukan pada mayat kira-kira 36-48 jam pasca kematian. Berguna untuk

memperkirakan saat kematian dan penyebab kematian karena keracunan. Saat kematian dapat kita

perkirakan dengan cara mengukur panjang larva lalat. Penyebab kematian karena racun dapat kita

ketahui dengan cara mengidentifikasi racun dalam larva lalat.

Ada sembilan faktor yang mempengaruhi cepat lambatnya pembusukan mayat, yaitu :

1. Mikroorganisme. Bakteri pembusuk mempercepat pembusukan.

2. Suhu optimal yaitu 21-37 C mempercepat pembusukan.

3. Kelembaban udara yang tinggi mempercepat pembusukan.

4. Umur. Bayi, anak-anak dan orang tua lebih lambat terjadi pembusukan.

5. Konstitusi tubuh. Tubuh gemuk lebih cepat membusuk daripada tubuh kurus.

6. Sifat medium. Udara : air : tanah (1:2:8).

7. Keadaan saat mati. Oedem mempercepat pembusukan. Dehidrasi memperlambat

pembusukan.

8. Penyebab kematian. Radang, infeksi, dan sepsis mempercepat pembusukan. Arsen,

stibium dan asam karbonat memperlambat pembusukan.

9. Seks. Wanita baru melahirkan (uterus post partum) lebih cepat mengalami

pembusukan. Pada pembusukan mayat kita juga dapat menginterpretasikan suatu

kematian sebagai tanda pasti kematian, untuk menaksir saat kematian, untuk

menaksir lama kematian, serta dapat membedakannya dengan bulla intravital (Al-

Fatih II, 2007).

B. Perbedaan pola gigitan hewan dan manusia

41
Lesi yang dihasilkan oleh gigitan merupakan objek analisis forensik dan salah satu pertimbangan

pertama adalah untuk menentukan asal penyebabnya, apakah dari hewan atau manusia. Salah satu

parameter dari identifikasi adalah pengukuran jarak intercanina, sebagai cetakan gigi anterior

biasanya yang paling jelas dan cenderung dapat diukur. Jarak intercanina atas pada orang dewasa

dapat berkisar 25-40 mm. Jarak yang kurang dari 25 mm telah dianggap sebagai anak-anak, tetapi

pengakuan tanda gigi desidui pada bekas gigitan mungkin menjadi indikator yang lebih baik. Gigitan

yang dihasilkan oleh anjing dan hewan lain sering menyebabkan banyak kerusakan dengan laserasi

jaringan dan avulsi, sedangkan gigitan manusia dapat mencakup berbagai macam luka dari bruising,

abrasi, laserasi, dan terkadang avulsi jaringan. Anjing domestik (Canisfamiliaris) dan manusia

memiliki morfologi yang berbeda pada gigi dan lengkungnya. Mengingat hanya anjing domestik,

jarak intercanina mungkin berbeda dengan jenis hewan dan beratnya. Jarak pada anjing domestic

Amerika Utara berkisar antara 13-48 mm pada maxilla, dan 6-49 mm pada mandibula (Tedeschi-

Oliveira dkk., 2011).

Gigitan manusia mencerminkan gigi taring yang biasanya juga meliputi gigi seri karena kerataan

relatif tepi gigi manusia bila dibandingkan dengan hewan. Sesuatu yang harus disertakan dalam

prosedur diagnosis adalah bahwa karnivora memiliki 6 gigi seri dan 2 gigi taring yang sangat besar

per lengkungnya, dibandingkan lengkung manusia yang hanya memiliki 4 gigi seri dan gigi taring

yang ukurannya lebih kecil (Stavrianos dkk., 2011). Jika seseorang hanya mempertimbangkan

morfologi dan anatomi gigi anjing dan manusia, pasti akan ada kesulitan dalam membedakan tanda-

tanda yang dihasilkan oleh 2 spesies yang berbeda. Tetapi mengingat dinamika yang dikenakan

selama proses menggigit dan reaksi korban, apa yang diamati bukan cetakan gigi sederhana pada

suatu substrat. Ketika kualitas luka gigitan memungkinkan identifikasi lesi yang menusuk, yang

mengarah pada penetrasi gigi caninus, jarak antara tanda-tanda tersebut diukur untuk mengetahui

asal spesiesnya (Tedeschi-Oliveira dkk., 2011).

C. Penggunaan Hal Radiograf Panoramik dalam metode analisis

42
Radiografi panoramik adalah teknik untuk menghasilkan gambar tomografi tunggal dari
struktur wajah yang meliputi baik lengkung gigi rahang atas dan rahang bawah dan struktur
pendukungnya. Kerugian utama radiografi panoramik adalah radiograf tidak menampilkan
detail anatomi dengan baik seperti yang tersedia pada radiografi periapikal, sehingga tidak
dapat mendeteksi lesi karies kecil, struktur dari periodontal dan penyakit periapikal.
Permukaan proksimal gigi premolar juga biasanya tumpang tindih. Masalah lain yang terkait
dengan radiografi panoramik termasuk pembesaran yang tidak sama dan distorsi geometrik
pada gambar (White dan Pharoah, 2000). Pembesaran atau distorsi gambar pada radiograf
panoramik sebesar 10% sampai 25%, bergantung pada letak obyek terhadap bidang gambar
(focal trough). Dengan demikian pada radiograf panoramik tidak dapat dilakukan
pengukuran langsung, termasuk lebar mesio-distal gigi, karena besarnya distorsi yang terjadi
di berbagai regio (Laster et al., 2005).

D. Metode Kvaal
Gigi geligi mengalami perubahan ukuran ruang pulpa karena adanya pembentukan dentin
sekunder. Hal tersebut menjadi dasar pengukuran dalam prakiraan usia menurut Kvaal
(Gambar 1) dan TCI. Pada metode Kvaal3 dilakukan observasi berdasarkan gambaran
radiografik periapikal gigi mandibula dan maksila yaitu gigi insisivus satu, insisivus dua,
dan premolar dua rahang atas, insisivus dua, kaninus, dan premolar satu rahang bawah.
Parameter yang diukur meliputi panjang maksimum gigi, panjang pulpa, panjang akar pada
sisi mesial, lebar pulpa pada garis a (CEJ), garis c (pertengahan akar) dan garis b
(pertengahan antara garis c dan a, lebar akar pada garis a (CEJ), garis c (pertengahan akar),
dan garis b (pertengahan antara garis c dan a). Rasio yang dihitung: rasio panjang akar dan
panjang gigi (T), rasio panjang pulpa dan panjang gigi (R), rasio panjang pulpa dan panjang
akar (P), rasio lebar pulpa dan lebar akar pada titik a (A), rasio lebar pulpa dan lebar akar
pada titik b (B), rasio lebar pulpa dan lebar akar pada titik c (C), rata-rata nilai seluruh rasio
(M), rata-rata nilai dari rasio lebar dari titik b dan c (W), rata-rata nilai dari rasio panjang P
dan R (L), perbedaan antara W dan L (W-L). Kemudian rata-rata dari semua nilai (M), rata-
rata dari rasio lebar B dan C (W), dan rata-rata rasio panjang P dan R, dimasukkan ke dalam
rumus (tabel 2).

43
Rumus yang digunakan adalah :
Umur = 37.3 – 25(M) – 5.5 (W-L)

Dari gambaran radiografi panoramik (mengukur gigi Premolar kedua RA), didapatkan nilai :
𝑃𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝐺𝑖𝑔𝑖 22 𝑚𝑚
T = 𝑃𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝐴𝑘𝑎𝑟 = = 1.42 mm
15.4 𝑚𝑚

𝑃𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝑃𝑢𝑙𝑝𝑎 𝑑𝑖 𝑇𝑎𝑛𝑑𝑢𝑘 18.5 𝑚𝑚


P= = = 1.2 mm
𝑃𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝐴𝑘𝑎𝑟 15.4 𝑚𝑚

44
𝑃𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝑃𝑢𝑙𝑝𝑎 𝐶𝐸𝐽 15 𝑚𝑚
R= = = 0.68 mm
𝑃𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝐺𝑖𝑔𝑖 22 𝑚𝑚

𝐿𝑒𝑏𝑎𝑟 𝑃𝑢𝑙𝑝𝑎 3.3 𝑚𝑚


A= di titik A = = 0.5 mm
𝐿𝑒𝑏𝑎𝑟 𝐴𝑘𝑎𝑟 6.6 𝑚𝑚
𝐿𝑒𝑏𝑎𝑟 𝑃𝑢𝑙𝑝𝑎 2.9 𝑚𝑚
B= di titik B = = 0.46 mm
𝐿𝑒𝑏𝑎𝑟 𝐴𝑘𝑎𝑟 6.3 𝑚𝑚
𝐿𝑒𝑏𝑎𝑟 𝑃𝑢𝑙𝑝𝑎 1.9 𝑚𝑚
C= di titik C = = 0.35 mm
𝐿𝑒𝑏𝑎𝑟 𝐴𝑘𝑎𝑟 5.3 𝑚𝑚

Sehingga didapatkan :
1.42+1.2+ 0.68+0.5+0.46+0.35 𝑚𝑚
M = rata-rata semua ratio = = 0.76 mm
6 𝑚𝑚
0.46+0.35 𝑚𝑚
W = rata-rata B dan C = = 0.40 mm
2 𝑚𝑚
1.2+0.68 𝑚𝑚
L = rata-rata P dan R = = 0.94 mm
2 𝑚𝑚

Rumus :
Umur = 37.3 – 25(M) – 5.5 (W-L)
Umur = 37.3 – 19 – 2.75
Umur = 21 Tahun

E. Review Jurnal

Pengumpulan data pada analisis bitemark, dimulai dari pengusapan saliva pada kulit yang
terlihat adanya bitemark. Pengusapan dilakukan sebanyak dua kali, yang pertama yaitu
pengusapan dengan kassa basah dilanjutkan dengan pengusapan kassa kering. Saliva yang
telah terambil dengan kapas kemudian digunakan untuk melihat DNA dengan cara
penggandaan saliva menggunakan teknik PCR. Hasil kemudian di analisis di laboratorium.

Tahapan selanjutnya yang dilakukan adalah pencetakan bitemark pada kulit menggunakan
bahan cetak. Bahan cetak yang dapat digunakan adalah alginat dengan bahan pengisi polyeter
atau dapat juga menggunakan gipstone tipe II. Polyeter ataupun gipstone dapat menghasilkan
hasil cetaan bitemark yang baik, namun menurut Fonseca, dkk, bahan pengisi polyeter dapat
menghasilkan hasil cetakan yang lebih baik dibandingkan dengan gipstone karena polyeter
lebih akurat, stabil, lebih elastis, dan lebih tahan terhadap sobekan. Selain cetakan bitemark
yang ada, cetakan dari gigi terduga juga disimpan dalam bentuk keadaan oklusi sentrik
menggunakan wax baseplate atau bisa juga dengan putty.

45
Pengumpulan data analisis dilanjutkan dengan pencatatan dan pengumpulan data
dokumentasi yang didapat pada lokasi bitemark, dapat berupa kemunculan fisik, lokasi,
warna, ukuran, dan arah luka. Photografi bitemark juga dibutuhkan sebagai data penunjang,
pengambilan gambar foto bitemark menggunakan kamera yang diposisikan 90o dari bitemark.
Pada bitemark diletakkan penggaris yang digunakan sebagai pengukur bitemark. Pastikan
posisi kamera di atas lokasi luka. Lensa kamera harus tegak lurus dengan kulit yang tergigit
untuk mengurangi distorsi pada fotografi.

Pada praktikum bitemark yang dilakukan kelompok ini hanya melakukan pencetakan
bitemark menggunakan alginat dan diisi dengan gipstone. Pencetaan digunakan
menggunakan alginat yang mencetak gigitan dangkal pada tangan, gigitan dalam pada apel
dan gigitan dangkal pada apel. Cetakan gipstone kemudian dianalisa dan di tracing menjadi
pola pola mesial distal pada plastik transparan untuk kemudian dihitung besar mesial distal
dari 6 gigi anterior. Data tambahan yang dimiliki untuk praktikum ini adalah menggunakan
foto rontgen panoramik.

46
BAB VI
KESIMPULAN

1. Dari analisis yang telah dilakukan, diketahui bahwa pelaku gigitan dalam dan dangkal
pada buah apel serta gigitan tangan dilakukan oleh subjek no. 1
2. Untuk mengetahui jenis kelamin, usia dan ras suspek dilakukan dengan berbagai metode
sehingga diketahui bahwa suspek berusia 23 Tahun, berjenis kelamin laki-laki, dan
termasuk dalam ras Asia.
3. Untuk praktikum selanjutnya disarankan untuk melengkapi beberapa data dokumentasi
yang dapat digunakan sebagai data tambahan, dan dapat pula dilengkapi dengan foto
bitemark dan foto gigi dalam kondisi oklusi sentrik yang difoto dengan penggaris di
samping bitemark sebagai alat bantu pengukur besar bitemark.

47
DAFTAR PUSTAKA

Bassendale, M., 2009, Disaster Victim Identification After Mass Fatality Events, Royal Roads
University.
Dahlan S. 2000. Ilmu Kedokteran Forensik Pedoman Bagi Dokter dan Penegak Hukum. Semarang:
Universitas Semarang.
Dautartas Angela Madelaine. 2009. The Effect of Various Coverings on The Rate of Human
Decomposition [Thesis]. University of Tennessee [cited 2014 March 03]. Available from:
http://trace.tennessee.edu/utk_gradthes/69
Di Maio Domnick J, Di Maio Vincent J.M. 2000. Time of Death Forensic Pathology. CRC Press: Inc.

Fonseca, G. M., Farah, M. A., Blaskovich, S. V. O., 2009, Bitemark Analysis: Use of Polyether
In Evidence Collection, Conservation, and Comparison, Journal of Forensic Dental
Sciences, 66-72.
Gianelli, P.C., 2008, Bite Mark Analysis, Case Research Paper Series in Legal Studies, 1-40
Hanihara T, and Ishida H., 2005, Metric dental variation of major human populations, Am J Phys
Anthropol, 128: 287–298.
Jha, P.C., Sanghamesh, M.C., Alok, A., Singh, S., Bharti, B.B., and Raj, R., 2015, Dimorphism
of Canine: A Diagnostic Value in Gender Identification - A Clinical Study, International
Journal of Scientific Study, 3(8): 81-84.
Kanto, E. A., et.al., 2005., DNA Extraction from Human Saliva Deposited on Skin and its Use in
Forensic Identification Procedures, Braz Oral Res, 19(3):216-22.
Kaur, S., Krishan, K., Chatterjee, P.M., Kanchan, T., 2013, Analysis and Identification of Bite
Marks in Forensic Casework, OHDM, 12(3): 127-31.
Krishan, K., Kanchan, T., dan Garg, A.K., 2015, Dental evidence in forensic identification – An
Overview, Methodologi and Prsent Status, The Open Dentistry Journal, 9:250-256.
Laster W.S., Ludlow, J.B., Bailey, L.J., and Hershey, H.G., 2005, Accuracy of measurements of
mandibular anatomy and prediction of asymmetry in panoramic radiographic images,
Dentomaxillofac Radiol, 34:343-349.
Lessig R, Wenzel V, dan Weber M, 2006, Bite Mark Analysis in forensic Routine Case Work,
EXCLI Journal 2006;5:93-102
Morsi, E., Rezk, H.M., Aziza, A., and El-Sherbiny, M., 2015, Tooth Coronal Pulp Index as a
Tool for Age Estimation in Egyptian Population, Journal of Forensic Science and
Criminology, 3(2): 1-8.
Sharma, Ridhima, and Anurag Srivastava. “Radiographic Evaluation of Dental Age of Adults
Using Kvaal’s Method.” Journal of Forensic Dental Sciences 2.1 (2010): 22–26. PMC.
Web. 21 Apr. 2016.
Schnutenhaus, S., and Rosing F.W., 1998, Dental Anthropology: Fundamentals, Limits, and
Prospects, Springer, New York, 522–535.

48
Singh, .K., Gupta, A., Padmavathi, B.N., Kumar, S., Roy, S., and Kumar, A., 2015, Mandibular
canine index: A reliable predictor for gender identification using study cast in Indian
population, Indian Journal of Dental Research, 26(4): 396-399.
Pilloud M.A., Hefner J.T., Hanihara T., Hayashs A., 20014, The use of tooth crown
measurement in the assessment of ancestry, J Forensic Sci, VOL.59, No.6
Van der Velden, A., Spiessens, M., Willems, G., 2006, Bite mark analysis and comparison using
image perception technology, The journal of forensic odonto-stomatology, 24(1): 14-17
White, S.C., and Pharoah, M.J., 2000, Oral Radiologi Principle and Interpretation, 5th ed.,
Mosby Elsevier, Missouri, 191.

49
50

Anda mungkin juga menyukai