Anda di halaman 1dari 12

PEMICU 2 BLOK 18

Si Butet yang Pemalu

OLEH:

Mujahidah

180600222

KELOMPOK 9

DOSEN FASILITATOR:

Dr.Ervina, drg.,Sp.Ort(K)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER GIGI

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2020
Pemicu 2

Nama Pemicu : Si Butet yang pemalu

Penyusun : Siti Bahirrah,drg.,Sp.Ort (K), Mimi Marina Lubis,drg.,Sp.Ort


(K), Cek Dara Manja,drg.,Sp.RKG

Hari/tanggal : Senin/ 23 November 2020

Pasien perempuan umur 9 tahun 11 bulan datang bersama Ibunya ke RSGM USU
dengan keluhan gigi depan atas yang tidak rapi. Pada pemeriksaan ekstra oral bentuk
wajah mesofasial, profil wajah cembung, wajah simetris. Pada pemeriksaan model rahang
atas; gigi 11, 21 lebih kelabial dari posisi normal, gigi 12 posisinya lebih kepalatal, gigi
22 bagian distal berputar ke labial, gigi 24 lebih ke bukal dari posisi normal. Gigi 13 dan
23 posisinya dibawah garis oklusi. Gigi 16 dan 26 berpindah posisi kearah mesial.
Terdapat ruang sebesar 1 mm antara gigi 11 dan 21. Pada pemeriksaan model rahang
bawah; bagian mesial gigi 31 lebih ke lingual dari normal, bagian distal gigi 32 berputar
kearah lingual, bagian distal gigi 34 lebih ke lingual dari normal, bagian distal gigi 35
dan 45 berputar kearah bukal, bagian mesial gigi 36 berputar kearah lingual, gigi 44 lebih
ke lingual dari posisi normal. Gigi 35 dan 43 posisinya lebih menjauhi garis oklusi.
Terdapat ruang sebesar 0,5 mm antara gigi 36 dan 35 serta antara gigi 43 dan 42.

Overjet 11/41: 6 mm, 21/31: 6 mm. Overbite 11/41: 2 mm, 21/31: 2 mm. Hubungan
molar pertama permanen kanan dan kiri Klas II Angle.

Lebar mesiodistal 11, 21 = 9 mm, 12, 22 = 8 mm. Tempat yang tersedia untuk gigi 11 s/d
12=15 mm, 21 s/d 22= 14mm. Tempat yang tersedia untuk gigi 13 s/d 15= 23mm, 23 s/d
25= 21 mm. Lebar mesiodistal gigi 31 dan 41= 6 mm, 32 dan 42= 6 mm. Tempat yang
tersedia untuk gigi 41 s/d 42= 12 mm, 31 s/d 32= 11,5 mm. Tempat yang tersedia untuk
gigi 33 s/d 35= 23 mm, 43 s/d 45= 25 mm.

Pada pemeriksaan radiografi panoramik tidak terdapat kelainan.


Hasil pemeriksaan sefalometri lateral menunjukkan sudut SNA = 81°; SNB = 76°, NaPog
= 12°, MP:SN= 45°, NSGn = 75°, I:SN = 112°, I:MP = 90°, Bidang E: Ls = 4 mm,
Bidang E: Li = 4 mm.

Pertanyaan:

1. Jelaskan analisis model rahang atas, rahang bawah dan model dalam keadaan
oklusi arah sagital, transversal dan vertikal pada kasus tersebut!
2. Jelaskan analisis ruang (metode Moyers) yang dibutuhkan pada kasus diatas!
3. Jelaskan hasil analisis sefalometri pada kasus tersebut!
4. Jelaskan diagnosis dan etiologi kasus diatas!
5. Apabila kualitas radiografi panoramik dan sefalometri kurang bagus dan harus
dilakukan pengulangan, berapa lama boleh dilakukan pengulangan foto. Sebutkan
alasannya!
6. Berapa dosis maksimal yang boleh terpapar pada pasien selama satu tahun, dan
apa alasannya?
Jawaban:

1. Jelaskan analisis model rahang atas, rahang bawah dan model dalam
keadaan oklusi arah sagital, transversal dan vertikal pada kasus tersebut!
Analisis Model Rahang Atas:
 Gigi 11 dan 21 lebih kelabial dari posisi normal → Labio Versi (Arah
Sagital).
 Gigi 12 lebih ke palatal dari posisi normal → Palato Versi (Arah Sagital).
 Gigi 22 bagian distal berputar ke labial → Distolabio Torsi Versi (Arah
Transversal).
 Gigi 24 lebih ke bukal dari posisi normal → Buko Versi (Arah Transversal).
 Gigi 16 dan 26 berpindah posisi kearah mesial → Mesio Trans Versi (Arah
Transversal).
 Gigi 13 dan 23 posisinya dibawah garis oklusi → Infraversi (Arah Vertikal).
 Gigi 11 dan 21 terdapat ruang sebesar 1 mm → Diastema Anterior (Arah
Sagital).
Analisis Model Rahang Bawah:
 Gigi 31 bagian mesial lebih ke lingual dari normal → Mesiolinguo Versi
(Arah Transversal).
 Gigi 32 bagian distal berputar kearah lingual → Distolinguo Torsi Versi
(Arah Transversal).
 Gigi 34 bagian distal lebih ke lingual dari normal → Distolinguo Versi
(Arah Transversal).
 Gigi 35 dan 45 bagian distal berputar kearah bukal → Distobuko Torsi
Versi (Arah Transversal).
 Gigi 36 bagian mesial berputar kearah lingual → Mesiolinguo Torsi Versi
(Arah Transversal).
 Gigi 44 lebih ke lingual dari normal → Linguo Versi (Arah Transversal).
 Gigi 35 dan 43 posisinya lebih menjauhi garis oklusi → Infraversi (Arah
Vertikal).
 Gigi 35 dan 36 serta gigi 43 dan 42 terdapat ruang 0,5 mm → Diastema
Posterior (Arah Sagital).
Analisis Model Dalam Keadaan Oklusi:
 Overjet 11/41 & 21/31: 6 mm → Arah Sagital.
 Overbite 11/41 & 21/31: 2 mm → Arah Vertikal.
 Hubungan molar pertama permanen kanan dan kiri Klas II Angle → Arah
Sagital.
2. Jelaskan analisis ruang (metode Moyers) yang dibutuhkan pada kasus
diatas!

Analisis Moyers mempunyai tabel probabilitas Moyers yang digunakan untuk


memperkirakan ukuran gigi 3, 4, 5 yang akan erupsi, baik pada rahang atas maupun
rahang bawah sehingga analisis Moyers digunakan untuk mengukur ruangan yang
tersedia pada geligi pergantian. Pada analisis Moyers ukuran gigi insisiv permanen
rahang bawah memiliki hubungan dengan ukuran kaninus dan premolar yang belum
tumbuh baik pada rahang atas maupun rahang bawah. Gigi insisiv rahang bawah telah
dipilih untuk pengukuran pada analisis Moyers karena gigi ini muncul lebih dulu di
dalam rongga mulut pada masa geligi pergantian, mudah diukur secara akurat, dan secara
langsung seringkali terlibat dalam masalah penanganan ruangan. Moyers menyarankan
penggunaan tabel probabilitas pada level 75 % yang dijadikan acuan karena
dianggap sebagai level yang aman dari maloklusi, contohnya diastema dan
crowded.

Prosedur pengukuran Moyers:

 Ukur menggunakan jangka sorong lebar mesiodistal tiap gigi insisif rahang
bawah, kemudian jumlahkan. Pada pengukuran rahang atas maupun rahang
bawah keduanya menggunakan keempat insisif rahang bawah.
 Gunakan daftar probabilitas Moyers , untuk rahang bawah dapat dilihat pada
table bagian mandibular sedangkan rahang atas bagian maksila. Cara pembacaan,
jumlah lebar dari gigi insisif yang terletak pada kolom bagian atas, dan lihat lebar
jumlah caninus, premolar pertama dan kedua yang terletak di kolom bagian
bawah, lihat pada derajat kepercayaan 75%.

Pengukuran predikssi ruang pada pasien perempuan tersebut menggunakan analisis


Moyers:
 Lebar mesiodistal gigi 31 dan 41= 6 mm, 32 dan 42= 6 mm. Maka jumlah lebar
keempat insisif bawah= 24 mm.
 Kemudian dilihat pada table Moyers derajat kepercayaan 75%.
 Untuk rahang bawah dapat lihat pada bagian mandibular untuk perempuan,
dengan jumlah lebar keempat insisif bawah 24 mm maka didapatkan prediksi
ruang untuk gigi caninus, premolar 1&2 rahang bawah= 21,9 mm
 Untuk rahang atas dapat lihat pada bagian maksila untuk perempuan, dengan
jumlah lebar keempat insisif bawah 24 mm maka didapatkan prediksi ruang untuk
gigi caninus, premolar 1&2 rahang atas= 21,6 mm

Sumber:

 Amalia DBU, Sutjiati R, Leliana Sandra DAP. Nance and Moyers Analysis Study
on Measurement of Available Space in the Mandibular Dental Arch.
Stomatognatic (J.K.G Unej) 2012; 9(2): 69-72.
3. Jelaskan hasil analisis sefalometri pada kasus tersebut!

Hasil analisis sefalometri pada kasus tersebut adalah dilihat dari sudut SNA,
dimana sudut SNA adalah sudut yang dibentuk oleh garis SN dan titik A. Sudut ini
menyatakan posisi maksila yang diwakili titik A terhadap basis kranial (SN). Normalnya
SNA adalah 820 ± 2 (80-84). Pada kasus, sudut SNA pasien tersebut 81 0 artinya posisi
maksila terhadap basis kranial dalam kategori normal.

Dilihat dari sudut SNB, dimana sudut SNB adalah sudut yang dibentuk oleh garis
SN dan titik B. Sudut ini menyatakan posisi mandibular terhadap basis kranial.
Normalnya sudut SNB 800 ± 2 (78-82). Pada kasus, sudut SNB pasien tersebut 76 0, sudut
SNB pasien lebih kecil dari normal, berarti mandibula terletak lebih ke posterior (kelas 2
skeletal) atau retrognati/retrusif mandibula.

Dilihat dari sudut Na-Pog, dimana sudut Na-Pog untuk menentukan konveksitas
wajah skeletal (downs). Nilai normal NaPog: 0 0 (range: -8,5-100). Pada kasus, NaPog =
120 maka A didepan N Pog cembung (+).

Dilihat dari sudut MP:SN, dimana untuk menentukan rotasi mandibular (Steiner)
relasi mandibular terhadap basis kranii dalam arah vertikal. Nilai normal: 32 0. Pada
kasus, nilai MP:SN = 450 yang menunjukkan nilai tersebut lebih besar dari nilai normal
(rotasi searah jarum jam).

Dilihat dari sudut NSGn, dimana sudut yang menunjukkan pola pertumbuhan
wajah skeletal. Nilai normal NSGn = 66 0. Pada kasus, nilai NSGn = 75 0 yang
menunjukkan nilainya lebih besar dari normal (vertikal).
Dilihat dari sudut I:SN, dimana nilai normal : 104 0. Pada kasus, nilai I:SN = 1120
yang menunjukkan nilai tersebut lebih besar dari normal (proklinasi).

Dilihat dari sudut I:MP, dimana nilai normal 900. Pada kasus, nilai I:MP = 900
(normal).

4. Jelaskan diagnosis dan etiologi kasus diatas!


Diagnosis
 Klas II: Hubungan molar, dimana cusp disto-buccal dari molar permanen
pertama maksila beroklusi pada groove buccal molar permanen pertama
mandibula. Ada dua tipe klas II yang umum dijumpai, klas II umumnya
dikelompokkan menjadi dua divisi : Klas II divisi 1, lengkung gigi
mempunyai hubungan Klas 2, dengan gigi-gigi Insisvus sentral dan lateralis
atas proklinasi,dan overjet insisal lebih besar.
 Overjet
Overjet adalah jarak horizontal antara gigi-gigi insisivus atas dan bawah pada
keadaan oklusi, yang diukur pada ujung incisal insisvus atas. Overjet
tergantung pada inklinasi dari gigi-gigi insisvus dan hubungan antero-
posterior dari lengkung gigi. Jika gigi rahang atas berada pada lingual gigi
insisivus rahang bawah, hubungan tersebut digambarkan sebagai underjet.
Ukuran Overjet normal berkisar 0 - 4,0 mm (Bishara,2001), sedangkan pada
kasus, overjet sudah melebihi dari nilai normal.
Etiologi
Maloklusi merupakan penyimpangan dari pertumbuhkembangan disebabkan
faktor-faktor tertentu. Secara garis besar etiologi suatu maloklusi dapat digolongkan
dalam beberapa faktor herediter dan faktor lokal (Profit, 2007).
a. Faktor Herediter Pada populasi primitif yang terisolir jarang dijumpai maloklusi
yang berupa disproporsi ukuran rahang dan gigi. Pada populasi modern lebih
sering ditemukan maloklusi disbanding populasi primitif diduga karena adanya
kawin campur yang menyebabkan peningkatan prevalensi maloklusi
(Profit,2013). Pengaruh herediter dapat bermanifestasi dalam dua hal, yaitu :
1) Disproporsi ukuran gigi dan ukuran rahang yang menghasilkan maloklusi
berupa gigi berdesakan atau maloklusi berupa diastema multipel.
2) Disproporsi ukuran, posisi dan bentuk rahang atas dan rahang bawah yang
menghasilkan relasi rahang yang tidak harmonis. Dimensi kraniofasial,
ukuran dan jumlah gigi sangat mempengaruhi faktor genetic atau herediter
sedangkan dimensi lengkung geligi dipengaruhi oleh faktor lokal.
b. Faktor Lokal
1) Gigi sulung tanggal dini dapat berdampak pada susunan gigi permanen.
Semakin muda umur pasien pada saat terjadi tanggal maka gigi sulung
semakin besar akibatnya pada gigi permanen. Insisivus yang tanggal dini
tidak begitu berdampak tetapi kaninus sulung akan menyebabkan pergeseran
garis median.
2) Persistensi gigi sulung Oover retained deciduous teeth berarti gigi sulung
yang sudah melewati waktu tanggal tetapi tidak tanggal.
3) Trauma yang mengenai gigi sulung dapat menggeser benih gigi permanen.
Bila terjadi trauma pada saat mahkota gigi permanen sedang terbentuk dapat
terjadi dilaserasi, yaitu akar gigi yang mengalami distorsi bentuk.
4) Jaringan lunak, tekanan dari otot bibir, pipi dan lidah memberi pengaruh
yang besar terhadap letak gigi. Meskipun tekanan otot-otot ini jauh lebih
kecil dibanding tekanan otot pengunyahan tetapi berlangsung lebih lama.
5) Kebiasaan buruk, suatu kebiasaan yang berdurasi sedikitnya 6 jam sehari,
berfrekuensi cukup tinggi dengan intensitas yang cukup dapat menyebabkan
maloklusi. Kebiasaan mengisap jari atau benda-benda lain dalam waktu yang
berkepanjangan dapat menyebabkan maloklusi.

Sumber:

 Bishara, S. E. (2001). Textbook of Orthodontics. Philadelphia London New York:


Company, W.B Saunders.
5. Apabila kualitas radiografi panoramik dan sefalometri kurang bagus dan
harus dilakukan pengulangan, berapa lama boleh dilakukan pengulangan
foto. Sebutkan alasannya!
Sebuah radiograf yang baik adalah yang menyediakan banyak informasi, memiliki
densitas serta kontras yang tepat, memiliki outline yang tajam, dan memiliki bentuk
struktur dan ukuran yang sama dengan objek yang di radiografi.

Masalah yang sering ditemukan dalam radiografi adalah karena kesalahan teknik
radiografi atau kesalahan dalam processing. Kesalahan yang sering timbul adalah seperti
gambar yang terang, gelap, gambar pecah-pecah, spot hitam dan putih, gambar kuning-
kecoklatan dan berkabut, pinggiran hitam dan putih, atau ada tergores emulsi atau sidik
jari.

Jika terjadi kesalahan atau hasil radiografi kurang bagus dan harus dilakukan
pengulangan, boleh dilakukan foto pengulangan kapan saja dengan persetujuan pasien,
karena seorang pasien tidak ada batasan dosis. Dan keputusan yang diambil pada
investigasi harus didasarkan pada pemikiran indikasi yang tepat, hasil yang diharapkan,
hasil yang dapat mempengaruhi diagnosis dan perawatan, klinisi memiliki pengetahuan
memadai dari sifat fisik.

6. Berapa dosis maksimal yang boleh terpapar pada pasien selama satu tahun,
dan apa alasannya?

Pasien yang mendapat paparan radiasi karena kebutuhan untuk pemeriksaan


penyakitnya tidak memiliki batasan dosis terpapar. Jika prosedur pembenaran dan
optimisasi telah dilakukan dengan benar, sebenarya nilai batas dosis hampir tidak perlu
diberlakukan. Ketika akan melakukan pemeriksaan radiografi pada pasien, klinisi harus
mengambil keputusan yang tepat yang didasarkan pada pemikiran indikasi yang tepat,
hasil yang diharapkna, hasil yang dapat mempengaruhi diagnosis dan perawatan, klinisi
memiliki pengetahuan yang memadai dari sifat fisik dan efek biologi dari radiasi ionisasi.

Pada rekomendasi ICRP (International Commission on Radiological Protection)


tahun 2007 telah dilakukan revisi dalam sistem proteksi radiasi yang memberikan
panduan tentang prinsip dasar dalam melaksananakan proteksi pada pemeriksaan
radiologis yang lebih tepat. Limitasi dosis kemudian dianggap tidak relevan lagi
khususnya untuk paparan radiasi pengion dalam bidang medis (pada pasien) karena
ketika digunakan pada waktu, besaran dosis, serta tujuan atau indikasi yang tepat maka
pemeriksaan radiologis menjadi alat yang sangat penting dalam penatalaksanaan berbagai
kondisi patologis dengan lebih adekuat. Oleh karena itu, paparan radiasi pengion untuk
indikasi medis tidak lagi memiliki limitasi dosis tetapi digunakan suatu istilah yang
disebut diagnostic reference level (DRL) sebagai nilai referensi. Hal ini dipertegas
kembali oleh ICRP pada tahun 2007 dengan mengkategorikan paparan radiasi pengion
menjadi tiga yaitu occupational exposures, public exposures, dan medical exposures di
mana aplikasi limitasi dosis hanya berlaku untuk occupational dan public exposures.
Penerapan proteksi radiasi pada medical exposures untuk kebutuhan pencitraan
diagnostik selanjutnya tetap mengedepankan prinsip justifikasi dan optimasi. Konsep
justifikasi bermakna bahwa setiap keputusan memberikan paparan radiasi untuk
kebutuhan medis harus memiliki manfaat lebih besar bagi pasien daripada potensi
kerugian yang mungkin terjadi. Optimasi adalah konsep yang menitikberatkan setiap
pemeriksaan radiografi harus memiliki kualitas diagnostik yang memadai namun tetap
menjaga dosis yang diterima oleh pasien serendah mungkin. Oleh karena itu, dalam
setiap pemeriksaan radiologi kedokteran gigi harus memenuhi beberapa hal seperti
mengoptimalkan prosedur pencitraan agar dapat diterima secara diagnostik, kurang dari
nilai ambang batas dosis untuk menghindari efek deterministik, dan meminimalkan risiko
efek stokastik dalam suatu rentang tertentu yang dapat diterima.

Occupational exposures didefinisikan sebagai semua paparan radiasi pengion


yang diperoleh seseorang sebagai akibat dari aktivitasnya sebagai pekerja radiasi
misalnya radiografer. Adapun untuk medical exposures yang terkait dengan pemeriksaan
diagnostik termasuk pemeriksaan radiologi kedokteran gigi, prosedur radiologis
intervensi maupun radioterapi tidak ada limitasi dosis karena pertimbangan kebutuhan
pasien. Sedangkan public exposures adalah semua paparan radiasi yang diterima
seseorang diluar occupational dan medical exposures. Pencetusan diagnostic reference
level (DRL) oleh ICRP pada tahun 1996 sebagai bentuk upaya optimasi proteksi radiasi
pada pasien dengan mengatur dosis tiap prosedur pencitraan medis. Hal yang perlu
diketahui adalah DRL bukanlah dosis yang disarankan atau dosis ideal untuk prosedur
pemeriksaan radiologis tertentu namun konsep ini mewakili tingkat dosis yang perlu
diselidiki kelayakannya dalam mencapai tingkat kualitas hasil pencitraan yang
dibutuhkan sehingga nilai DRL bertindak sebagai trigger dalam pencapaian peningkatan
kualitas hasil pemeriksaan radiologis tetapi dengan dosis yang dapat disesuaikan atau
diminimalisir.

Sumber:

 Hiswara E. Buku Pintar Proteksi dan Keselamatan Radiasi di Rumah Sakit.


Jakarta: BATAN Press, 2015: 27.
 Rahman F, Nurrachman A. Paradigma baru konsep proteksi radiasi di bidang
radiologi: kedokteran gigi: ALARA menjadi ALADAIP. JRDI 2020; 4(2): 28-9.

Anda mungkin juga menyukai