Disusun oleh :
Kelompok pemicu : 2
190600176
BAB I
Pendahuluan
Pasien Laki-laki umur 9 tahun datang bersama Ibunya ke RSGM USU dengan keluhan gigi
depan atas yang tidak rapi dan susah menggigit makanan dari depan. Pada pemeriksaan ekstra
oral tipe wajah hipereuryprosop,profil wajah cembung, wajah simetris. Pada pemeriksaan model
rahang atas ; gigi 11,21 lebih ke labial dari posisi normal, gigi 12 dan 22 bagian mesial posisinya
lebih kepalatal dari posisi normal, gigi 24 bagian mesialnya lebih ke palatal dari posisi normal.
Gigi 11 dan 21 posisinya dibawah garis oklusi. Pada pemeriksaan model rahang bawah ;. Bagian
mesial gigi 32 dan 42 lebih ke lingual dari normal, bagian distal gigi 41 lebih ke labial dari posisi
normal.
Overjet 11/41 : 5,5 mm, 21/31: 6 mm. Overbite 11/41: -3 mm, 21/31 : -3,5 mm. Hubungan
molar pertama permanen kanan Klas I dan kiri Klas II Angle.
Lebar mesiodistal 11,21 = 9 mm, 12,22 = 8 mm. Tempat yang tersedia untuk gigi 11 s/d 12 =
14 mm, 21 s/d 22 = 14 mm. Tempat yang tersedia untuk gigi 13 s/d 15 = 24 mm, 23 s/d 25 =
22,5 mm. Lebar mesiodistal gigi 31 dan 41=6 mm, 32,42 = 6,5 mm. Tempat yang tersedia untuk
gigi 41 s/d 42 =10 mm, 31 s/d 32 =10 mm. Tempat yang tersedia untuk gigi 33 s/d 35 = 24 mm,
43 s/d 45 = 24 mm.
Hasil pemeriksaan sefalometri lateral menunjukkan sudut SNA = 82°; SNB = 75°, NaPog
= 11°, MP:SN= 47°, NSGn = 79°, I:SN = 110°, I:MP = 87° , Bidang E: Ls = 3,5 mm, Bidang E:
Li = 4,5 mm.
BAB II
Pembahasan
1. Jelaskan analisis model rahang atas, rahang bawah dan model dalam keadaan oklusi
arah sagital, transversal dan vertikal pada kasus tersebut (Orto)
1. Posisi gigi
Gigi 12 dan 22 Palatoversi, karena bagian mesialnya lebih ke palatal dari posisi normal
Gigi 24 Palatoversi, karena bagian mesialnya lebih ke palatal dari posisi normal
2. Kurva of spee
Normalnya 0 – 1,5 mm
1. Posisi gigi
Gigi 12 dan 22 Torsi versi, karena bagian mesialnya lebih ke palatal dari posisi normal
Gigi 24 Torsi versi, karena bagian mesialnya lebih ke palatal dari posisi normal
Hubungan Molar pertama pemanen kanan Klas I dan kiri Klas II Angle, sehingga relasi
molar pertama permanen adalah Klas II Angle Sub-Divisi.
2. Overjet
11/41 = 5,5 mm
21/31 = 6 mm
Diukur dengan cara titik pada tengah vovea palatina dan pada pertemuan rugae palatina
dihubungkan dari post ke labial insisal gigi insisivus.
1. Overbite
11/41 = -3 mm
21/31 = -3,5 mm
Sumber : Al-Kabab, F. A., Ghoname, N. A., & Banabilh, S. M. (2014). Proposed regression
equations for prediction of the size of unerupted permanent canines and premolars in Yemeni
sample. Journal of orthodontic science, 3(3), 68.
Berdasarkan kasus, diketahui bahwa lebar mesio-distal gigi 31 dan 41 = 6 mm, lebar
mesio-distal 32 dan 42 adalah 6,5 mm. Jadi lebar mesio-distal keempat insisivus RB adalah =
6+6+6,5+6,5 = 25 mm. Jika kita masukkan ke tabel, maka untuk ruang yang dibutuhkan C, P1,
P2 Rahang Atas adalah 23,0 mm sedangkan ruang yang dibutuhkan C, P1, P2 Rahang Bawah
adalah 22,8 mm.
Selisih = -3 mm (kurang ruang) (available space < jumlah lebar mesio distal)
Selisih = -3 mm (kurang ruang) (available space < jumlah lebar mesio distal)
Selisih = +1 mm (lebih ruang) (available space > jumlah lebar mesio distal)
Selisih = -0,5 mm (kurang ruang) (available space < jumlah lebar mesio distal)
Selisih = - 2,5 mm (kurang ruang) (available space < jumlah lebar mesio distal)
Selisih = -2,5 mm (kurang ruang) (available space < jumlah lebar mesio distal)
Selisih = +1,2 mm (lebih ruang) (available space > jumlah lebar mesio distal)
Selisih = +1,2 mm (lebih ruang) (available space > jumlah lebar mesio distal)
-6
-3 -3
+1 -0,5
+1,2 +1,2
-2,5 -2,5
-5
3. Jelaskan hasil analisis skeletal, dental dan jaringan lunak sefalometri pada kasus
tersebut (Orto)
Skeletal
Relasi maksila terhadap basis kranii dalam arah antero-
S N A° 82° (± 2) 82º
posterior : Normal
Relasi mandibula terhadap basis kranii dalam arah
S N B° 80° (± 2) 75º
antero-posterior: Retrognasi
A N B° 2° (± 2) +7º Relasi rahang (selisih SNA dengan SNB): Klass II (+)
Dental
I : I° 131° -
I : NA 4 mm -
I : APog 2 mm -
I : NB° 4 mm -
Jaringan Lunak
Sumber : Singh G. Textbook of orthodontics. 2nd ed. New Delhi:Jaypee Brothers Medical
Publishers
Maulida, M. M. A. (2019). Gambaran Kejadian Maloklusi Angle pada Siswa SLB Negeri
Semarang (Doctoral dissertation, Universitas Muhammadiyah Semarang).
Ketika relasi molar maloklusi klas II terjadi hanya pada salah satu sisi, maka maloklusi
tersebut dikategorikan sebagai sub divisi dari divisi maloklusi tersebut. Berdasarkan kasus,
diketahui bahwa hubungan molar pertama permanen kanan Klas I dan kiri Klas II Angle.
Etiologi maloklusi
1. Faktor keturunan, termasuk sistem neuromuskuler, tulang, gigi, dan bagian lunak lain
selain otot dan saraf
2. Gangguan pertumbuhan dari asal yang tidak diketahui
3. Trauma, baik yang terjadi sebelum lahir (prenatal), cedera saat lahir, serta trauma setelah
dilahirkan (postnatal)
4. Keadaan fisik baik prenatal maupun postnatal
5. Kebiasaan, seperti menghisap jari yang dapat menyebabkan insisivus rahang atas lebih ke
labial sedangkan insisivus rahang bawah ke lingual, menjulurkan lidah, menggigit kuku,
menghisap dan menggigit bibir
6. Penyakit yang terdiri dari penyakit sistemik, kelainan endokrin, serta penyakit lokal
(gangguan saluran pernapasan, penyakit gusi, jaringan penyangga gigi, tumor, dan gigi
berlubang)
7. Malnutrisi (Premkumar, 2015).
1. Herediter
2. Kerusakan kongenital, misalnya celah palatum, cerebral palsy, dan sifilis
3. Lingkungan, terdiri dari prenatal seperti trauma dan pola makan ibu saat kehamilan; serta
postnatal seperti cedera kelahiran, cerebral palsy, dan cedera TMJ
4. Kondisi metabolis, seperti ketidakseimbangan endokrin, gangguan metabolis, dan penyakit
infeksi
5. Defisiensi nutrisi
6. Kebiasaan abnormal dan penyimpangan fungsional
Pola menyusui yang abnormal, seperti postur rahang bawah maju, menyusui
nonfisiologis, dan tekanan pada bukal yang berlebih
Mengisap jari Insidensi mengisap jari bervariasi dari 16-45%. Tekanan yang terjadi saat
seseorang mengisap jari dapat memberikan tekanan langsung ke gigi. Tekanan tersebut
juga mengubah tekanan pada pipi dan bibir, sehingga mempengaruhi keseimbangan
normal. Anak-anak yang tidur dengan mengisap jarinya memberikan tekanan yang lebih
Posisi lidah dan kebiasaan menjulurkan lidah Posisi dari lidah sangat penting dalam
menentukan terjadinya maloklusi. Posisi istirahat lidah yang normal adalah ujung lidah
berada di belakang insisivus rahang bawah, dan bagian tepi lidah berada pada permukaan
linguo oklusal dari gigi posterior rahang bawah.
Menggigit bibir dan jari
Kebiasaan menelan yang abnormal
Kekurangan dalam berbicara
Kelainan pernapasan
Tonsil dan adenoid
Bruxism
7. Postur
8. Trauma (Premkumar, 2015).
5. Apa saja faktor yang mempengaruhi kualitas radiograf? Bagaimana kualitas radiograf
panoramic dan sefalometri diatas? (Radiologi Dental)
Zambri, Mohd & Mohamed Makhbul, Mohd Zambri & Burhaunudin, Rashidah & Nurazreena,
Wan & Wan Hassan, Wan Nurazreena (2016). An Audit of the Quality of Lateral Cephalometric
Radiographs for Orthodontic Treatment.
Foto panoramik
Foto Sefalometri
Ini akan memastikkan bahwa semua landmark yang dipilih dapat digunakan untuk diagnosis
dan perencanaan pengobatan
Semua radiografi sefalometri lateral harus memiliki identitas pasien untuk mencegah
kesalahan penempatan radiografi sefalometrik lateral dan tertukar dengan pasien lain.
6. Titik ‘A’
Titik A adalah titik terdalam pada kelengkungan permukaan tulang rahang atas antara tulang
belakang hidung anterior dan puncak alveolar gigi seri tengah atas. Ini adalah poin penting
untuk menentukan posisis rahang atas secara sagittal dalam kaitannya dengan basis kranial.
7. Titik ‘B’
Titik B adalah titik paling posterior ke garis dari infradental ke pogonion pada permukaan
anterior dari garis simfisial mandibula. Ini adalah poin penting untuk menentukan posisi
mandibula secara sagittal dalam kaitannya dengan basis kranial/
8. Nasion
Ini diposisikan di persimpangan sutura frontonasal pada titiik paling posterior pada kurva di
jembatan hidung. Posisi nasion dapat mempengaruhi pengukuran SNA, SNB, dan ANB.
9. Sella
Ini adalah pusat fossa hipofisis tulang sphenoid. Landmark ini terletak di dalam region
kraniofasial dan digunakan untuk mengukur posisi rahang atas dan rahang bawah dalam
hubungannya untuk tengkorak dan untuk diri mereka sendiri.
Evaluasi inklinasi insisivus rahang atas dan rahang bawah merupakan aspek penting dalam
perencanaan perawatan ortodontik, penilaian kemajuan perawatan, serta penentuan hasil
perawatan.
6. Apabila kualitas radiografi panoramik dan sefalometri kurang bagus dan harus
dilakukan pengulangan, berapa lama boleh dilakukan pengulangan foto (Radiologi Dental)
Sumber : Khidir NAN et al. A review study on patient’s radiation dose form diagnostic
radiography. International Journal of Science (IJSR), 2013;2(6):373-374.
Apabila kualitas radiografi panoramik dan sefalometri kurang bagus dan harus dilakukan
pengulangan, maka untuk itu tidak ada periode waktu tertentu yang direkomendasikan antara
pengulangan radiografi. Ronten panoramik memiliki dosis yang sangat rendah. Dosis radioasi
yang dipublikasikan adalah dosis efektif kisaran 9μSv - 26μSv. Radiogarfi panoramik memiliki
risiko radiasi yang setara dengan kira-kira 1-3 hari radioasi non-medis. Begitu juga dosis efektif
25mGy cm2 untuk dewasa dan anak - anak pada lateral sefalometri. Radiasi non medis
mencakup radiasi kosmik, radon, bahan radioaktif alami di tanah, bahan bangunan. Sehingga
untuk radiografi panoramik dan sefalometri tidak ada alasan atau acuan untuk menunda
pengambilan foto radiografi jika diperlukan perawatan ortodontik atau selain perawatan
ortodontik.
Pengulangan radiografi akan mengakibatkan pemaparan yang tidak perlu baik kepada
pasien maupun operator. Pemaparan berulang mungkin diperlukan karena kualitas radiografi
yang buruk atau jika radiograf tidak memberikan informasi klinis yang diperlukan. Dapat
dihindari dengan perencanaan pemeriksaan yang cermat dan teliti agar tidak terulang lagi.
Karena sangat diperlukan visualisasi yang baik untuk menentukan perawatan pada pasien.
Eksposur yang berulang dikarenakan kesalahan teknis dapat diminimalisir dengan pemilihan
faktor eksposur yang tepat sesuai dengan wilayah yang sedang di radiografi, kecepatan reseptor
gambar dan prosedur pemrosesan.
Tetapi untuk pasien yang pertama sekali dalam melakukan foto rontgen, sangat masuk
akal dan dimaklumi dikarenakan pasien belum pernah atau beradaptasi ketika proses
pengambilan foto rontgen. Pasien bisa saja bergerak ketika proses pemindaian atau pengambilan
foto panoramik, tidak menahan lidah di langi-langit mulut, atau pasien merasa takut dan gelisah
ketika pengambilan foto sefalometri terutama pasien anak-anak sehingga foto rontgen yang
dihasilkan tidak optimal. Hal ini penyebab paling umum adalah pasien yang beradaptasi serta
pasien tidak memahami apa yang diberitahu oleh operator sehingga pengambilan ulang foto pada
keadaan ini adalah paling umum. Meskipun terlihat sederhana pada proses pengambilan foto
rontgen, foto panoramik dan sefalometri tersebut sangat berpengaruh pada posisi dan adaptasi
pasien.
7. Berapa dosis maksimal yang boleh terpapar pada pekerja radiasi dan pasien selama satu
tahun? (Radiologi Dental)
Sumber : Purba, Y. S., & Sari, P. I. (2020). Pengukuran Paparan Dosis Sinar X Sebelum dan
Sesudah Pengendalian Pada Proses Pekerjaan Radiologi di RS Islam Jakarta Tahun 2020.
Menurut BAPETEN Nomor 34 pada tahun 2013 nilai dosis tertinggi yang diterima
pekerja radiasi di Indonesia sebesar 21,85 mSv, nilai dosis terendah 1,20 mSv, dan rata-rata 1,20
mSv. Pada tahun 2011-2012 nilai minimum dosis yang diterima pekerja radiasi masing-masing
sebesar 1,20 mSv dan nilai maksimum dosis yang diterima masing-masing sebesar 25,03 mSv
dan 23,64 mSv. Sedangkan nilai rata-rata dosis yang diterima secara keseluruhan sebesar 1,20
mSv, nilai ini di bawah NBD (Nilai Batas Dosis) yang dipersyaratkan yaitu sebesar 20 mSv.
Nilai Batas Dosis ialah dosis terbesar yang diizinkan oleh BAPETEN yang dapat diterima oleh
pekerja radiasi dan anggota masyarakat dalam jangka waktu tertentu dan tanpa menimbulkan
efek genetik dan somatik yang berarti akibat pemanfaatan tenaga nuklir.
Nilai Batas Dosis untuk anggota masyarakat pada ayat (1) huruf c ditetapkan dengan ketentuan:
Penutup
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran