Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PEMICU 2 BLOK 18

“Gigi tidak rapi dan susah menggigit makanan”

Disusun oleh :

Michael D.J. Siregar

Kelompok pemicu : 2

190600176
BAB I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Maloklusi merupakan suatu keaadan abnormal dentofasial yang mengganggu fungsi


pengunyahan, penelanan, berbicara serta keserasian wajah. Di Indonesia, prevalensi maloklusi
mencapai 80% serta menjadi masalah kesehatan gigi dan mulut ketiga setelah karies dan
penyakit periodontal. Radiografi sefalometri merupakan metode standar untuk mendapatkan
gambaran radiografi tulang tengkorak yang bermanfaat untuk membuat rencana perawatan dan
memeriksa perkembangan dari pasien yang sedang menjalani perawatan ortodonti. Sefalometri
didefenisikan sebagai ilmu yang mempelajari pengukuran yang bersifat kuantitatif terhadap
bagian tertentu dari kepala untuk mendapat informasi tentang pola kraniofasial.

1.2 Deskripsi pemicu

Pasien Laki-laki umur 9 tahun datang bersama Ibunya ke RSGM USU dengan keluhan gigi
depan atas yang tidak rapi dan susah menggigit makanan dari depan. Pada pemeriksaan ekstra
oral tipe wajah hipereuryprosop,profil wajah cembung, wajah simetris. Pada pemeriksaan model
rahang atas ; gigi 11,21 lebih ke labial dari posisi normal, gigi 12 dan 22 bagian mesial posisinya
lebih kepalatal dari posisi normal, gigi 24 bagian mesialnya lebih ke palatal dari posisi normal.
Gigi 11 dan 21 posisinya dibawah garis oklusi. Pada pemeriksaan model rahang bawah ;. Bagian
mesial gigi 32 dan 42 lebih ke lingual dari normal, bagian distal gigi 41 lebih ke labial dari posisi
normal.

Overjet 11/41 : 5,5 mm, 21/31: 6 mm. Overbite 11/41: -3 mm, 21/31 : -3,5 mm. Hubungan
molar pertama permanen kanan Klas I dan kiri Klas II Angle.

Lebar mesiodistal 11,21 = 9 mm, 12,22 = 8 mm. Tempat yang tersedia untuk gigi 11 s/d 12 =
14 mm, 21 s/d 22 = 14 mm. Tempat yang tersedia untuk gigi 13 s/d 15 = 24 mm, 23 s/d 25 =
22,5 mm. Lebar mesiodistal gigi 31 dan 41=6 mm, 32,42 = 6,5 mm. Tempat yang tersedia untuk
gigi 41 s/d 42 =10 mm, 31 s/d 32 =10 mm. Tempat yang tersedia untuk gigi 33 s/d 35 = 24 mm,
43 s/d 45 = 24 mm.

Pada pemeriksaan radiografi panoramik tidak terdapat kelainan

Hasil pemeriksaan sefalometri lateral menunjukkan sudut SNA = 82°; SNB = 75°, NaPog
= 11°, MP:SN= 47°, NSGn = 79°, I:SN = 110°, I:MP = 87° , Bidang E: Ls = 3,5 mm, Bidang E:
Li = 4,5 mm.
BAB II

Pembahasan
1. Jelaskan analisis model rahang atas, rahang bawah dan model dalam keadaan oklusi
arah sagital, transversal dan vertikal pada kasus tersebut (Orto)

Sumber : Ardhana, W. 2010. Diagnosis Ortodontik. Universitas Gadjah Mada

Model individual RA dan RB arah sagittal

1. Posisi gigi

Gigi 11 dan 21  Labioversi, karena lebih ke labial dari posisi normal

Gigi 12 dan 22  Palatoversi, karena bagian mesialnya lebih ke palatal dari posisi normal

Gigi 24  Palatoversi, karena bagian mesialnya lebih ke palatal dari posisi normal

Gigi 32 dan 42  Linguoversi, karena lebih ke lingual dari posisi normal

Gigi 41  Labioversi, karena lebih ke labial dari posisi normal

2. Kurva of spee

Normalnya 0 – 1,5 mm

Model individual RA dan RB arah transversal

1. Posisi gigi

Gigi 11 dan 21  Labioversi, karena lebih ke labial dari posisi normal

Gigi 12 dan 22  Torsi versi, karena bagian mesialnya lebih ke palatal dari posisi normal

Gigi 24  Torsi versi, karena bagian mesialnya lebih ke palatal dari posisi normal

Gigi 32 dan 42  Linguoversi, karena lebih ke lingual dari posisi normal

Gigi 41  Labioversi, karena lebih ke labial dari posisi normal


2. Midline RA

Model individual RA dan RB arah vertikal

Gigi 11 dan 21  Supraversi, karena melewati garis oklusi

Model oklusi sentrik arah sagittal

1. Relasi Molar Pertama Permanen

Hubungan Molar pertama pemanen kanan Klas I dan kiri Klas II Angle, sehingga relasi
molar pertama permanen adalah Klas II Angle Sub-Divisi.

2. Overjet

11/41 = 5,5 mm

21/31 = 6 mm

Model oklusi sentrik arah transversal

1. Pergeseran garis midline

Diukur dengan cara titik pada tengah vovea palatina dan pada pertemuan rugae palatina
dihubungkan dari post ke labial insisal gigi insisivus.

2. Tidak terdapat palatal ataupun bukal crossbite

Model oklusi sentrik arah vertikal

1. Overbite

11/41 = -3 mm

21/31 = -3,5 mm

2. Tidak terdapat openbite maupun deepbite


2. Jelaskan analisis ruang (metode Moyers) yang dibutuhkan pada kasus diatas (Orto)

Sumber : Al-Kabab, F. A., Ghoname, N. A., & Banabilh, S. M. (2014). Proposed regression
equations for prediction of the size of unerupted permanent canines and premolars in Yemeni
sample. Journal of orthodontic science, 3(3), 68.

Berdasarkan kasus, diketahui bahwa lebar mesio-distal gigi 31 dan 41 = 6 mm, lebar
mesio-distal 32 dan 42 adalah 6,5 mm. Jadi lebar mesio-distal keempat insisivus RB adalah =
6+6+6,5+6,5 = 25 mm. Jika kita masukkan ke tabel, maka untuk ruang yang dibutuhkan C, P1,
P2 Rahang Atas adalah 23,0 mm sedangkan ruang yang dibutuhkan C, P1, P2 Rahang Bawah
adalah 22,8 mm.

Diskrepansi Anterior Kanan RA

Lebar mesio distal 11 + 12 = 9 + 8 = 17

Available space gigi 11 s/d 12 = 14

Selisih = -3 mm (kurang ruang) (available space < jumlah lebar mesio distal)

Diskrepansi Anterior Kiri RA


Lebar mesio distal 21 + 22 = 9 + 8 = 17

Available space gigi 21 s/d 22 = 14

Selisih = -3 mm (kurang ruang) (available space < jumlah lebar mesio distal)

Diskrepansi Posterior Kanan RA

Lebar mesio distal C, P1, P2 RA= 23,0

Available space gigi 13 s/d 15 = 24

Selisih = +1 mm (lebih ruang) (available space > jumlah lebar mesio distal)

Diskrepansi Posterior Kiri RA

Lebar mesio distal C, P1, P2 RA= 23,0

Available space 23 s/d 25 = 22,5

Selisih = -0,5 mm (kurang ruang) (available space < jumlah lebar mesio distal)

Diskrepansi Anterior Kanan RB

Lebar mesio distal 41 + 42 = 6 + 6,5 = 12,5

Available space 41 s/d 42 = 10

Selisih = - 2,5 mm (kurang ruang) (available space < jumlah lebar mesio distal)

Diskrepansi Anterior Kiri RB

Lebar mesio distal 31 + 32 = 6 + 6,5 = 12,5

Available space 31 s/d 32 = 10

Selisih = -2,5 mm (kurang ruang) (available space < jumlah lebar mesio distal)

Diskrepansi Posterior Kanan RB

Lebar mesio distal C, P1, P2 RB = 22,8


Available space 43 s/d 45 = 24

Selisih = +1,2 mm (lebih ruang) (available space > jumlah lebar mesio distal)

Diskrepansi Posterior Kiri RB

Lebar mesio distal C, P1, P2 RB = 22,8

Available space 33 s/d 35 = 24

Selisih = +1,2 mm (lebih ruang) (available space > jumlah lebar mesio distal)

-6

-3 -3

+1 -0,5

+1,2 +1,2

-2,5 -2,5

-5

3. Jelaskan hasil analisis skeletal, dental dan jaringan lunak sefalometri pada kasus
tersebut (Orto)

Sumber : Brahmanta, A. (2016). SEFALOMETRI: Analisis Dasar.

De Jesus, J. Y. (2000). Re-Examining the Norm Concept in Cephalometrics: Associations


Between Subjective Assessments and Deviations from Cephalometric Norms. AIR FORCE INST
OF TECH WRIGHT-PATTERSONAFB OH.

Pengukuran Normal Hasil Keterangan

Skeletal
Relasi maksila terhadap basis kranii dalam arah antero-
S N A° 82° (± 2) 82º
posterior : Normal
Relasi mandibula terhadap basis kranii dalam arah
S N B° 80° (± 2) 75º
antero-posterior: Retrognasi
A N B° 2° (± 2) +7º Relasi rahang (selisih SNA dengan SNB): Klass II (+)

Konveksivitas wajah wajah skeletal: perpanjangan garis


Na Pog° 0° (-8,5º – 10º) 11º A-pog lebih di anterior dari garis NA, konveksitas wajah
skeletal cembung

Rotasi mandibula, relasi mandibula terhadap basis kranii


MP : SN° 32° (± 2) 47º
dalam arah vertikal: Searah jarum jam

N S Gn° 66° 79º Pola pertumbuhan wajah skeletal: Vertikal

Dental

I : I° 131° -

I : SN° 104° 110º Proklinasi

I : MP° 90° 87º Normal

I : NA 4 mm -

I : APog 2 mm -

I : NB° 4 mm -

Jaringan Lunak

Bidang E : LS -4 mm 3,5 mm Bibir di depan garis estetis

Bidang E : Li -2 mm 4,5 mm Bibir di depan garis estetis


4. Jelaskan diagnosis dan etiologi kasus diatas (Orto)

Sumber : Singh G. Textbook of orthodontics. 2nd ed. New Delhi:Jaypee Brothers Medical
Publishers

Maulida, M. M. A. (2019). Gambaran Kejadian Maloklusi Angle pada Siswa SLB Negeri
Semarang (Doctoral dissertation, Universitas Muhammadiyah Semarang).

Maloklusi Klas II Angle : Sub-Divisi

Ketika relasi molar maloklusi klas II terjadi hanya pada salah satu sisi, maka maloklusi
tersebut dikategorikan sebagai sub divisi dari divisi maloklusi tersebut. Berdasarkan kasus,
diketahui bahwa hubungan molar pertama permanen kanan Klas I dan kiri Klas II Angle.
Etiologi maloklusi

Penyebab maloklusi menurut Moyers adalah:

1. Faktor keturunan, termasuk sistem neuromuskuler, tulang, gigi, dan bagian lunak lain
selain otot dan saraf
2. Gangguan pertumbuhan dari asal yang tidak diketahui
3. Trauma, baik yang terjadi sebelum lahir (prenatal), cedera saat lahir, serta trauma setelah
dilahirkan (postnatal)
4. Keadaan fisik baik prenatal maupun postnatal
5. Kebiasaan, seperti menghisap jari yang dapat menyebabkan insisivus rahang atas lebih ke
labial sedangkan insisivus rahang bawah ke lingual, menjulurkan lidah, menggigit kuku,
menghisap dan menggigit bibir
6. Penyakit yang terdiri dari penyakit sistemik, kelainan endokrin, serta penyakit lokal
(gangguan saluran pernapasan, penyakit gusi, jaringan penyangga gigi, tumor, dan gigi
berlubang)
7. Malnutrisi (Premkumar, 2015).

Etiologi maloklusi menurut Graber berasal dari:

Faktor umum, meliputi:

1. Herediter
2. Kerusakan kongenital, misalnya celah palatum, cerebral palsy, dan sifilis
3. Lingkungan, terdiri dari prenatal seperti trauma dan pola makan ibu saat kehamilan; serta
postnatal seperti cedera kelahiran, cerebral palsy, dan cedera TMJ
4. Kondisi metabolis, seperti ketidakseimbangan endokrin, gangguan metabolis, dan penyakit
infeksi
5. Defisiensi nutrisi
6. Kebiasaan abnormal dan penyimpangan fungsional
 Pola menyusui yang abnormal, seperti postur rahang bawah maju, menyusui
nonfisiologis, dan tekanan pada bukal yang berlebih
 Mengisap jari Insidensi mengisap jari bervariasi dari 16-45%. Tekanan yang terjadi saat
seseorang mengisap jari dapat memberikan tekanan langsung ke gigi. Tekanan tersebut
juga mengubah tekanan pada pipi dan bibir, sehingga mempengaruhi keseimbangan
normal. Anak-anak yang tidur dengan mengisap jarinya memberikan tekanan yang lebih
 Posisi lidah dan kebiasaan menjulurkan lidah Posisi dari lidah sangat penting dalam
menentukan terjadinya maloklusi. Posisi istirahat lidah yang normal adalah ujung lidah
berada di belakang insisivus rahang bawah, dan bagian tepi lidah berada pada permukaan
linguo oklusal dari gigi posterior rahang bawah.
 Menggigit bibir dan jari
 Kebiasaan menelan yang abnormal
 Kekurangan dalam berbicara
 Kelainan pernapasan
 Tonsil dan adenoid
 Bruxism
7. Postur
8. Trauma (Premkumar, 2015).

Faktor lokal, meliputi:

1. Anomali jumlah gigi (supernumerary teeth dan missing teeth)


2. Anomali bentuk dan ukuran gigi
3. Anomali bentuk bibir
4. Premature loss Gigi desidui selain berfungsi sebagai organ untuk mastikasi juga berfungsi
sebagai space maintainer. Pada periode geligi bercampur terdapat sebanyak 48 gigi pada
prosesus alveolar secara bersamaan. Kehilangan gigi yang tidak sesuai waktunya dapat
mengacaukan pertumbuhan gigi-geligi dan menyebabkan terjadinya maloklusi.
5. Prolonged retention Gigi desidui yang terlambat tanggal dapat mengacaukan pola
pertumbuhan gigi permanen. Gigi yang paling sering mengalami prolonged retention adalah
gigi kaninus desidui dan molar kedua desidui.
6. Keterlambatan erupsi gigi permanen Beberapa hal yang dapat menyebabkan terlambatnya
erupsi gigi permanen antara lain adanya supernumerary tooth, gigi desidui tanggal sebelum
waktunya, kelainan endokrin, ankilosis, serta kelainan genetik.
7. Erupsi abnormal
8. Ankilosis
9. Karies
10. Tumpatan yang kurang baik (Premkumar, 2015).

5. Apa saja faktor yang mempengaruhi kualitas radiograf? Bagaimana kualitas radiograf
panoramic dan sefalometri diatas? (Radiologi Dental)

Sumber : Noor, V. A. (2019). JAMINAN KUALITAS RADIOGRAF PANORAMIK DIGITAL


DITINJAU DARI SEGI ARTEFAK PADA RUMAH SAKIT DI KOTA SEMARANG (Doctoral
dissertation, Universitas Islam Sultan Agung).

Zambri, Mohd & Mohamed Makhbul, Mohd Zambri & Burhaunudin, Rashidah & Nurazreena,
Wan & Wan Hassan, Wan Nurazreena (2016). An Audit of the Quality of Lateral Cephalometric
Radiographs for Orthodontic Treatment.

Foto panoramik

Faktor yang mempengaruhi kualitas radiograf meliputi identifikasi pasien, artefak,


coverage area, posisi pasien, densitas ketajaman kontras dan kualitas dilihat secara keseluruhan.
Kualitas radiograf mempengaruhi dalam menentukan suatu diagnosis. Kualitas radiograf
dikatakan excellent menandakan tidak terdapat kesalahan pada persiapan pasien, exposure,
posisi, processing atau penanganan film. Kualitas radiograf diagnostically acceptable
menandakan terdapat beberapa kesalahan saat persiapan pasien, exposure, posisi, processing atau
penanganan film namun tanpa mengganggu diagnosis. Kualitas unacceptable menandakan
terdapat kesalahan saat persiapan pasien, exposure, posisi, processing atau penanganan film dan
mengganggu dari diagnosis (Whaites dan Drage, 2013). Dalam kasus diatas, foto panoramic
tersebut masuk ke kategori buruk, tetapi dapat didiagnosa, terdapat distorsi pada daerah sinus
yang menyebabkan gambaran tersebut dikategorikan buruk.

Foto Sefalometri

Parameter yang merupkan penanda penting dalam radiografi sefalometrik lateral:

1. Posisi kepala yang benar


Posisi kepala alami adalah posisi standard an dapat direproduksi dari kepala dalam postur
tegak. Mata terfokus pada satu titik tetap pada jarak setinggi mata. Posisi ini melengkapi
penilaian ekstra-oral dan reproduksivitas dianggap dapat diterima secara klinis secara
konsisten.

2. Struktur penting yang berpusat pada film

Ini akan memastikkan bahwa semua landmark yang dipilih dapat digunakan untuk diagnosis
dan perencanaan pengobatan

3. Nama dan Nomor rekam medis rumah sakit

Semua radiografi sefalometri lateral harus memiliki identitas pasien untuk mencegah
kesalahan penempatan radiografi sefalometrik lateral dan tertukar dengan pasien lain.

4. Kontras yang bagus

Pengaruh kontras akan memastikan visibilitas semua landmark penting

5. Visibilitas jaringan lunak yang baik

Analisis jaringan lunak meningkatkan pemelihataan ciri-ciri wajah normal karena


karakteristik abnormal dikoreksi dengan perawatan ortodontik dan pembedahan

6. Titik ‘A’

Titik A adalah titik terdalam pada kelengkungan permukaan tulang rahang atas antara tulang
belakang hidung anterior dan puncak alveolar gigi seri tengah atas. Ini adalah poin penting
untuk menentukan posisis rahang atas secara sagittal dalam kaitannya dengan basis kranial.

7. Titik ‘B’

Titik B adalah titik paling posterior ke garis dari infradental ke pogonion pada permukaan
anterior dari garis simfisial mandibula. Ini adalah poin penting untuk menentukan posisi
mandibula secara sagittal dalam kaitannya dengan basis kranial/

8. Nasion
Ini diposisikan di persimpangan sutura frontonasal pada titiik paling posterior pada kurva di
jembatan hidung. Posisi nasion dapat mempengaruhi pengukuran SNA, SNB, dan ANB.

9. Sella

Ini adalah pusat fossa hipofisis tulang sphenoid. Landmark ini terletak di dalam region
kraniofasial dan digunakan untuk mengukur posisi rahang atas dan rahang bawah dalam
hubungannya untuk tengkorak dan untuk diri mereka sendiri.

10. Gigi seri terlihat dan angulasinya terukur

Evaluasi inklinasi insisivus rahang atas dan rahang bawah merupakan aspek penting dalam
perencanaan perawatan ortodontik, penilaian kemajuan perawatan, serta penentuan hasil
perawatan.

6. Apabila kualitas radiografi panoramik dan sefalometri kurang bagus dan harus
dilakukan pengulangan, berapa lama boleh dilakukan pengulangan foto (Radiologi Dental)

Sumber : Khidir NAN et al. A review study on patient’s radiation dose form diagnostic
radiography. International Journal of Science (IJSR), 2013;2(6):373-374.

Angin L. Radiation Safety In Dental Practice. California Dental Assocation 2014:16,57.

Apabila kualitas radiografi panoramik dan sefalometri kurang bagus dan harus dilakukan
pengulangan, maka untuk itu tidak ada periode waktu tertentu yang direkomendasikan antara
pengulangan radiografi. Ronten panoramik memiliki dosis yang sangat rendah. Dosis radioasi
yang dipublikasikan adalah dosis efektif kisaran 9μSv - 26μSv. Radiogarfi panoramik memiliki
risiko radiasi yang setara dengan kira-kira 1-3 hari radioasi non-medis. Begitu juga dosis efektif
25mGy cm2 untuk dewasa dan anak - anak pada lateral sefalometri. Radiasi non medis
mencakup radiasi kosmik, radon, bahan radioaktif alami di tanah, bahan bangunan. Sehingga
untuk radiografi panoramik dan sefalometri tidak ada alasan atau acuan untuk menunda
pengambilan foto radiografi jika diperlukan perawatan ortodontik atau selain perawatan
ortodontik.
Pengulangan radiografi akan mengakibatkan pemaparan yang tidak perlu baik kepada
pasien maupun operator. Pemaparan berulang mungkin diperlukan karena kualitas radiografi
yang buruk atau jika radiograf tidak memberikan informasi klinis yang diperlukan. Dapat
dihindari dengan perencanaan pemeriksaan yang cermat dan teliti agar tidak terulang lagi.
Karena sangat diperlukan visualisasi yang baik untuk menentukan perawatan pada pasien.
Eksposur yang berulang dikarenakan kesalahan teknis dapat diminimalisir dengan pemilihan
faktor eksposur yang tepat sesuai dengan wilayah yang sedang di radiografi, kecepatan reseptor
gambar dan prosedur pemrosesan.

Tetapi untuk pasien yang pertama sekali dalam melakukan foto rontgen, sangat masuk
akal dan dimaklumi dikarenakan pasien belum pernah atau beradaptasi ketika proses
pengambilan foto rontgen. Pasien bisa saja bergerak ketika proses pemindaian atau pengambilan
foto panoramik, tidak menahan lidah di langi-langit mulut, atau pasien merasa takut dan gelisah
ketika pengambilan foto sefalometri terutama pasien anak-anak sehingga foto rontgen yang
dihasilkan tidak optimal. Hal ini penyebab paling umum adalah pasien yang beradaptasi serta
pasien tidak memahami apa yang diberitahu oleh operator sehingga pengambilan ulang foto pada
keadaan ini adalah paling umum. Meskipun terlihat sederhana pada proses pengambilan foto
rontgen, foto panoramik dan sefalometri tersebut sangat berpengaruh pada posisi dan adaptasi
pasien.

7. Berapa dosis maksimal yang boleh terpapar pada pekerja radiasi dan pasien selama satu
tahun? (Radiologi Dental)

Sumber : Purba, Y. S., & Sari, P. I. (2020). Pengukuran Paparan Dosis Sinar X Sebelum dan
Sesudah Pengendalian Pada Proses Pekerjaan Radiologi di RS Islam Jakarta Tahun 2020.

Menurut BAPETEN Nomor 34 pada tahun 2013 nilai dosis tertinggi yang diterima
pekerja radiasi di Indonesia sebesar 21,85 mSv, nilai dosis terendah 1,20 mSv, dan rata-rata 1,20
mSv. Pada tahun 2011-2012 nilai minimum dosis yang diterima pekerja radiasi masing-masing
sebesar 1,20 mSv dan nilai maksimum dosis yang diterima masing-masing sebesar 25,03 mSv
dan 23,64 mSv. Sedangkan nilai rata-rata dosis yang diterima secara keseluruhan sebesar 1,20
mSv, nilai ini di bawah NBD (Nilai Batas Dosis) yang dipersyaratkan yaitu sebesar 20 mSv.
Nilai Batas Dosis ialah dosis terbesar yang diizinkan oleh BAPETEN yang dapat diterima oleh
pekerja radiasi dan anggota masyarakat dalam jangka waktu tertentu dan tanpa menimbulkan
efek genetik dan somatik yang berarti akibat pemanfaatan tenaga nuklir.

Nilai Batas Dosis untuk anggota masyarakat pada ayat (1) huruf c ditetapkan dengan ketentuan:

a. Dosis Efektif sebesar 1 mSv (satu milisievert) per tahun;


b. Dosis Ekivalen untuk lensa mata sebesar 15 mSv (limabelas milisievert) per tahun; dan
c. Dosis Ekivalen untuk kulit sebesar 50 mSv (limapuluh milisievert) per tahun.
BAB III

Penutup

3.1 Kesimpulan

Maloklusi merupakan suatu keaadan abnormal dentofasial yang mengganggu fungsi


pengunyahan, penelanan, berbicara serta keserasian wajah. Di Indonesia, prevalensi maloklusi
mencapai 80% serta menjadi masalah kesehatan gigi dan mulut ketiga setelah karies dan
penyakit periodontal. Radiografi merupakan pemeriksaan penunjang yang terbilang penting
dalam membantu mendiagnosis suatu maloklusi. Radiografi yang paling sering digunakan dalam
kasus maloklusi adalah radiografi panoramic dan juga radiografi sefalometri.

3.2 Saran

Sebaiknya sebagai seorang praktisi dalam melakukan radiografi harus mempertimbangkan


tentang radiasi kan berkemungkinan terpapar kepada pasien dan kepada praktisi itu sendiri.
Untuk mengurangi paparan radiasi kepada pasien, sebaiknya operator tidak terlalu banyak
mengulang dalam melakukan tindakan radiografi.
Daftar Pustaka
1. Ardhana, W. 2010. Diagnosis Ortodontik. Universitas Gadjah Mada
2. Al-Kabab, F. A., Ghoname, N. A., & Banabilh, S. M. (2014). Proposed regression equations
for prediction of the size of unerupted permanent canines and premolars in Yemeni
sample. Journal of orthodontic science, 3(3), 68.
3. Brahmanta, A. (2016). SEFALOMETRI: Analisis Dasar.
4. De Jesus, J. Y. (2000). Re-Examining the Norm Concept in Cephalometrics: Associations
Between Subjective Assessments and Deviations from Cephalometric Norms. AIR FORCE
INST OF TECH WRIGHT-PATTERSONAFB OH.
5. Singh G. Textbook of orthodontics. 2nd ed. New Delhi:Jaypee Brothers Medical Publishers
6. Maulida, M. M. A. (2019). Gambaran Kejadian Maloklusi Angle pada Siswa SLB Negeri
Semarang (Doctoral dissertation, Universitas Muhammadiyah Semarang).
7. Noor, V. A. (2019). JAMINAN KUALITAS RADIOGRAF PANORAMIK DIGITAL
DITINJAU DARI SEGI ARTEFAK PADA RUMAH SAKIT DI KOTA SEMARANG (Doctoral
dissertation, Universitas Islam Sultan Agung).
8. Purba, Y. S., & Sari, P. I. (2020). Pengukuran Paparan Dosis Sinar X Sebelum dan Sesudah
Pengendalian Pada Proses Pekerjaan Radiologi di RS Islam Jakarta Tahun 2020.
9. Khidir NAN et al. A review study on patient’s radiation dose form diagnostic radiography.
International Journal of Science (IJSR), 2013;2(6):373-374.
10. Angin L. Radiation Safety In Dental Practice. California Dental Assocation 2014:16,57.

Anda mungkin juga menyukai