Anda di halaman 1dari 13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sefalometri
Sefalometrik adalah ilmu yang mempelajari pengukuran-pengukuran yang
bersifat kuantitatif terhadap bagian-bagian tertentu dari kepala untuk mendapatkan
informasi tentang pola kraniofasial. Alat ini digunakan untuk mempelajari
pertumbuhan maksilofasial serta perubahan bentuk wajah. Alat ini selain membantu
dalam bidang orthodontik juga membantu dalam bidang bedah mulut. Manfaat
sefalometri radiografik adalah :
1. Mempelajari

pertumbuhan

dan

perkembangan

kraniofasial.

Dengan

membandingkan sefalogram-sefalogram yang diambil dalam interval waktu


yang berbeda, untuk mengetahui arah pertumbuhan dan perkembangan
kraniofasial.
2. Diagnosis atau analisis kelainan kraniofasial. Untuk mengetahui faktor-faktor
penyebab maloklusi (seperti ketidakseimbangan struktur tulang muka).
3. Mempelajari tipe fasial. Relasi rahang dan posisi gigi-gigi berhubungan erat
dengan tipe fasial. Ada 2 hal penting yaitu : (1) posisi maksila dalam arah
antero-posterior terhadap kranium dan (2) relasi mandibula terhadap maksila,
sehingga akan mempengaruhi bentuk profil : cembung, lurus atau cekung.
4. Merencanakan perawatan ortodontik. Analisis dan diagnosis yang didasarkan
pada perhitungan-perhitungan sefalometrik dapat diprakirakan hasil perawatan
ortodontik yang dilakukan.
5. Evaluasi kasus-kasus yang telah dirawat. Dengan membandingkan sefalogram
yang diambil sebelum, sewaktu dan sesudah perawatan ortodontik.

6. Analisis fungsional. Fungsi gerakan mandibula dapat diketahui dengan


membandingkan posisi kondilus pada sefalogram yang dibuat pada waktu
mulut terbuka dan posisi istirahat.
7. Penelitian

Diagnosis Sefalometrik (cephalometric diagnosis) adalah diagnosis mengenai


oklusi gigi-geligi yang ditetapkan berdasarkan atas data-data pemeriksaan dan
pengukuran pada sefalogram (Rontgen kepala).

2.2 Titik, Bidang, dan Sudut Sefalometri


2.2.1 Titik-titik pada Sefalometri
1. Titik jaringan keras
a. Sella (S): terletak di tengah dari outline fossa pituitary (sella turcica)
b. Nasion (N): terletak di bagian paling inferior dan paing anterior dari tulang
frontal, berdekatan dengan sutura frontonasalis.
c. Orbitale (Or): terletak pada titik paling inferior dari outline tulang orbital.
Sering pada gambaran radiografi terlihat outline tulang orbital kanan dan
kiri. Untuk itu maka titik orbitale dibuat di pertengahan dari titik orbitale
kanan dan kiri.
d. Titik A (A): terletak pada bagian paling posterior dari bagian depan tulang
maksila. Biasanya dekat dengan apeks akar gigi insisif sentral atas.
e. Titik B (B): terletak pada titik paling posterior dari batas anterior
mandibula, biasanya dekat dengan apeks akar gigi insisif sentral bawah.
f. Pogonion (Pog): terletak pada bagian paling anterior dari dagu.

g. Gnathion (Gn): terletak pada outline dagu di pertengahan antara titik


pogonion dan menton.
h. Menton (Me): terletak bagian paling inferior dari dagu.
i. Articulare (Ar): terletak pada pertemuan batas inferior dari basis kranii dan
permukaan posterior dari kondilus mandibula.
j. Gonion (Go): terletak pada pertengahan dari sudut mandibula.
k. Porion (Po): terletak pada bagian paling superior dari ear rod (pada batas
superior dari meatus auditory external).

2. Titik jaringan lunak


a. Soft tissue glabella (G): titik paling anterior dari bidang midsagital dari
dahi.
b. Pronasale (Pr): titik paling depan dari ujung hidung.
c. Labrale superius (Ls): titik tengah di pinggir superior dari bibir atas.
d. Labrale inferius (Li): titik tengah di pinggir inferior dari bibir bawah.
e. Soft tissue pogonion (Pog): titik paling anterior dari kontur jaringan lunak
dagu.

2.2.2 Bidang-bidang sefalometrik


a. Frankfort horizontal: Po-Or
b. Sella-nasion: S-N
c. Facial: N-Pog
d. Mandibular: Go-Me
e. Ramus: diperoleh dari permukaan rata-rata dari permukaan inferior posterior
ramus mandibula, melalui titik articulare (Ar)

2.2.3 Sudut-sudut yang menggambarkan hubungan skeletal


a.

SN-Pog: hubungan posisi anteroposterior dari dagu terhadap garis yang


melalui basis kranii anterior.

b.

SNA: hubungan posisi anteroposterior dari basis apikal maksila terhadap


garis yang melalui basis kranii anterior.

c.

SNB: hubungan posisi anteroposterior dari basis apikal mandibula terhadap


garis yang melalui basis kranii anterior.

d.

ANB: hubungan posisi anteroposterior dari maksila terhadap posisi


anteroposterior dari mandibula. Maloklusi kelas II yang parah sering
dihubungkan dengan nilai ANB yang besar.

e.

Sudut facial (N-Pog-FH): hubungan posisi anteroposterior dagu terhadap


bidang Frankfort horizontal.

f.

FMA atau MP-FH: kemiringan sudut bidang mandibula terhadap bidang


Frankfort horizontal.

g.

MP-SN: kemiringan sudut bidang mandibula terhadap bidang Frankfort


horizontal.

2.2.4 Sudut sudut yang Menggambarkan Dental


a)

< I : T yaitu sudut interinsisal perpotongan sumbu I atas dan I bawah

b) < I : SN yaitu kedudukan insisifus atas terhadap basis cranii


c)

< T : MP yaitu kedudukan insisifus bawah terhadap mandibula bawah

d) Jarak I : Apog (milimeter) panjang I ke A-Pog yang diukur dengan rol

2.3 Analisa Sefalometri


Analisis sefalometri diperlukan oleh klinisi untuk memperhitungkan hubungan
fasial dan dental dari pasien dan membandingkannya dengan morfologi fasial dan
dental yang normal. Analisis ini akan membantu klinisi dalam perawatan ortodontik
ketika membuat diagnosis dan rencana perawatan, serta melihat perubahan-perubahan
selama perawatan dan setelah perawatan ortodontik selesai.
Pada saat ini, analisis sefalometri dari pasien yang dirawat ortodontik merupakan
suatu kebutuhan. Metode analisis sefalometri radiografik antara lain dikemukakan
oleh : Downs, Steiner, Rickett, Tweed, Schwarz, McNamara dan lain-lain.
Berdasarkan metode-metode tersebut dapat diperoleh informasi mengenai morfologi
dentoalveolar, skeletal dan jaringan lunak pada tiga bidang yaitu sagital, transversal
dan vertikal.

Analisis sefalometri sekarang semakin dibutuhkan untuk dapat mendiagnosis


maloklusi dan keadaan dentofasial secara lebih detil dan lebih teliti tentang:
a.

Pertumbuhan dan perkembangan serta kelainan kraniofasial

b.

Tipe muka / fasial baik jaringan keras maupun jaringan lunak

c.

Posisi gigi-gigi terhadap rahang

d.

Hubungan rahang atas dan rahang bawah terhadap basis kranium

2.3.1 Analisis Dental


1. Maxillary Incisor Position
Letak dan inklinasi aksial gigi insisif atas ditentukan dengan menghubungkan
gigi tersebut ke garis N-A. Gigi insisif atas terhadap garis N-A dibaca dalam derajat
untuk menentukan hubungan angular gigi-gigi insisif atas, sedangkan apabila dibaca
dalam mm, memberikan informasi posisi gigi insisif lebih di depan/belakang dari
garis N-A.
Jarak permukaan gigi insisif paling labial terhadap garis N-A sebesar 4 mm di
depan garis N-A, dan inklinasi aksialnya membentuk sudut 22 dengan garis N-A.
Pembacaan sudut saja tidak cukup (gambar 6-8), demikian juga apabila hanya
pembacaan jarak saja (gambar 6-9). Maxillary Incisor Angle ini untuk mengetahui
posisi insisif terhadap facial skeleton.

2. Mandibular Incisor Position


Letak gigi insisif bawah dalam arah antero-posterior dan angulasinya ditentukan
dengan menghubungkan gigi tersebut dengan garis N-B. Pengukuran gigi insisif
bawah terhadap garis N-B dalam mm menunjukkan posisi gigi di depan/ belakang
garis N-B. Pembacaan gigi insisif sentral bawah terhadap garis N-B dalam derajat
menentukan inklinasi aksial gigi tersebut.
Titik paling labial gigi insisif sentral bawah terletak 4 mm di depan garis NB,
sedangkan inklinasi aksial gigi ini terhadap garis N-B sebesar 25.

3. Interincisal Angle
Untuk mengetahui inklinasi gigi insisif dan relasi gigi insisif atas dan bawah.
Merupakan perpanjangan garis dari tepi insisal dan apeks akar gigi insisif atas dan
bawah. Sudut ini kecil bila inklinasi gigi insisif lebih ke labial dari basis gigi- geligi.
Rentang 130 - 150, rerata 135,4.

4. Incisor-Mandibular Plane Angle (IMPA)


Dibentuk dari perpotongan bidang mandibula dan perpanjangan garis dari tepi
insisal-apeks akar gigi insisif sentral bawah. Sudut ini positif apabila inklinasi gigi
insisif lebih ke labial dari basis gigi-geligi. Rentang -8,5 - +7, rerata +1,4.

2.3.2 Analisa Skeletal


1. Maksila
Posisi antero-posterior maksila terhadap kranium diukur dengan sudut SNA.
Sudut ini untuk menentukan prognatisme maksila. Sudut SNA untuk menentukan
apakah maksila protrusif atau retrusif terhadap basis kranial. Rerata sudut SNA 82; >
82 berarti maksila protrusif; < 82 maksila retrusif.

2. Mandibula
Posisi antero-posterior mandibula terhadap basis kranium ditentukan dengan
sudut SNB. Sudut SNB untuk mengetahui apakah mandibula protrusif atau retrusif
terhadap basis kranial. Rerata sudut SNB 80; < 80 menunjukkan mandibula resesif;
> 80 menunjukkan mandibula prognatik.

3. Hubungan maksila dan mandibula


Posisi antero-posterior maksila dan mandibula satu terhadap lainnya diukur
dengan sudut ANB. Rerata sudut ANB 2; jika > 2 menunjukkan kecenderungan
skeletal Kelas II; jika < 2 dan terbaca kurang dari 0 (-1, -2, -3) menunjukkan
mandibula di depan maksila atau hubungan skeletal Kelas III.

2.3.3 Analisis Jaringan Lunak


Analisis jaringan lunak meliputi penilaian adaptasi jaringan lunak terhadap profil
tulang dengan pertimbangan ukuran, bentuk, dan postur bibir seperti terlihat pada
gambaran sefalogram lateral.
Steiner S-line untuk menentukan keseimbangan wajah jaringan lunak sering
digunakan oleh ortodontis saat ini. Menurut Steiner, bibir dalam keseimbangan yang
baik, apabila menyentuh perpanjangan garis dari kontur jaringan lunak dagu ke
pertengahan S yang dibentuk oleh tepi bawah hidung. Garis ini disebut sebagai S-line.

2.4 Kelemahan Sefalometrik


1. Kesalahan sefalometer:
Kesalahan dalam pembuatan sefalogram: posisi subjek tidak benar, waktu
penyinaran tidak cukup, penentuan jarak sagital-film tidak tepat. Kesalahan ini dapat
diatasi dengan pengalaman dan teknik pemotretan yang benar.
Pembesaran dan distorsi. Makin besar jarak sumber sinar X terhadap film maka
semakin sejajar arah sinar X sehingga distorsi dan pembesaran semakin

kecil. Makin dekat jarak film terhadap objek semakin kecil terjadi pembesaran. Hal
ini dapat dikurangi dengan menggunakan teknik pemotretan yang benar.
2. Kesalahan penapakan dan metode yang digunakan
Kesalahan penapakan karena kurang terlatih atau kurangnya pengetahuan tentang
anatomi atau referensi sefalometrik. Hal ini dapat diatasi dengan latihan-latihan dan
pengalaman.
Kesalahan metode yang digunakan pada umumnya karena pengukuran 3 dimensi
menjadi 2 dimensi, kesalahan interpretasi perubahan akibat pertumbuhan dan
perawatan. Pembacaan sudut saja tidak cukup demikian juga apabila hanya
pembacaan jarak saja. Maxillary Incisor Angle ini untuk mengetahui posisi insisif
terhadap facial skeleton.

SUMBER :
Ardhana,wayan. 2011. Sefalometri. FKG UGM
Rahardjo,Pambudi. 2012. Orthodonti Dasar Edisi 2. Airlangga University Press:
Surabaya.

Anda mungkin juga menyukai