Anda di halaman 1dari 15

BAB III

PEMBAHASAN
3.1 Pengertian Asma
Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia, hal
ini tergambar dari data studi survei kesehatan rumah tangga (SKRT) di berbagai propinsi di
Indonesia. Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1986 menunjukkan asma
menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab kesakitan (morbiditas) bersama-sama dengan
bronkitis kronik dan emfisema.
Asma merupakan gangguan keradangan kronik saluran napas yang melibatkan banyak
sel dan elemennya. Keradangan kronik menyebabkan peningkatan kepekaan jalan napas yang
menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi (wheezing), sesak napas, dada terasa
berat dan batuk-batuk terutama malam hari dan dini hari.
Asma masa kanak-kanak meupakan suatu masalah kesehatan masyarakat yang
berbahaya. Lebih dari setengah dari semua kasus asma terdapat pada usia sebelum umur 10
tahun. Kini lebih dari 30% anak-anak mengalami penyakit ini selama tahun pertama
kehidupan dan 10%-20% akan menderita asma yang didiagnosis pada akhir masa kanakkanak. Lebih banyak ketidakhadiran disekolah disebabkan oleh asma daripada keadaan
kronik lainnya.
3.2 Etiologi dan Patogenesis
Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi berperan,
terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, netrofil dan sel epitel. Faktor
lingkungan dan berbagai faktor lain berperan sebagai penyebab atau pencetus inflamasi
saluran napas pada pasien asma. Inflamasi terdapat pada berbagai derajat asma baik pada

asma intermiten maupun asma persisten. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan


hiperesponsif (hipereaktifitas) jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang
berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama pada malam dan/atau
dini hari. Episodik tersebut berkaitan dengan sumbatan saluran napas yang luas, bervariasi
dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.

Mekanisme utama timbulnya gejala asma diakibatkan hipereaktivitas bronkus,


sehingga pengobatan utama asma adalah mengatasi bronkospasme. Konsep terkini yaitu asma
merupakan suatu proses inflamasi kronik yang khas, melibatkan dinding saluran respiratorik,
menyebabkan terbatasnya aliran udara dan peningkatan reaktivitas saluran nafas. Gambaran
khas adanya inflamasi saluran respiratorik adalah aktivasi eosinofil, sel mast, makrofag, dan
sel limfosit T pada mukosa dan lumen saluran respiratorik. Proses inflamasi ini terjadi
meskipun asmanya ringan atau tidak bergejala (PP IDAI,2004).
Reaksi imunologik yang timbul akibat paparan dengan alergen awalnya menimbulkan
fase sensitisasi. Akibatnya terbentuk Ig E spesifik oleh sel plasma. Ig E melekat pada Fc
reseptor pada membran sel mast dan basofil. Bila ada rangsangan berikutnya dari alergen
serupa, akan timbul reaksi asma cepat.
3.3 Faktor Risiko

Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu (host) dan faktor
lingkungan. Faktor pejamu tersebut adalah:
- predisposisi genetik asma
- alergi
- hipereaktifitas bronkus
- jenis kelamin
- ras/etnik
Faktor lingkungan dibagi 2, yaitu :
a. Yang mempengaruhi individu dengan kecenderungan /predisposisi asma untuk berkembang
menjadi asma
b. Yang menyebabkan eksaserbasi (serangan) dan/atau menyebabkan gejala asma menetap.
Faktor lingkungan yang mempengaruhi individu dengan predisposisi asma untuk
berkembang menjadi asma adalah :
- alergen di dalam maupun di luar ruangan, seperti mite domestik, alergen binatang,
alergen kecoa, jamur, tepung sari bunga
- sensitisasi (bahan) lingkungan kerja
- asap rokok
- polusi udara di luar maupun di dalam ruangan
- infeksi pernapasan (virus)
- diet

- status sosioekonomi
- besarnya keluarga
- obesitas
Sedangkan faktor lingkungan yang menyebabkan eksaserbasi dan/atau menyebabkan gejala
asma menetap adalah :
- alergen di dalam maupun di luar ruangan
- polusi udara di luar maupun di dalam ruangan
- infeksi pernapasan
- olah raga dan hiperventilasi
- perubahan cuaca
- makanan, additif (pengawet, penyedap, pewarna makanan)
- obat-obatan, seperti asetil salisilat
- ekspresi emosi yang berlebihan
- asap rokok
- iritan antara lain parfum, bau-bauan yang merangsang

3.4 Gejala
Gejala asma bersifat episodik, seringkali reversibel dengan/atau tanpa pengobatan.
Gejala awal berupa :

- batuk terutama pada malam atau dini hari


- sesak napas
- napas berbunyi (mengi) yang terdengar jika pasien menghembuskan napasnya
- rasa berat di dada
- dahak sulit keluar.
Gejala yang berat adalah keadaan gawat darurat yang mengancam jiwa. Yang
termasuk gejala yang berat adalah:
- Serangan batuk yang hebat
- Sesak napas yang berat dan tersengal-sengal
- Sianosis (kulit kebiruan, yang dimulai dari sekitar mulut)
- Sulit tidur dan posisi tidur yang nyaman adalah dalam keadaan duduk
- Kesadaran menurun
3.5 Diagnosis Asma
Penegakkan diagnosis untuk penyakit asma didasarkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penungjang ( Ramailah, 2006 )
a. Anamanesis
Didapatkan keluhan episodik berupa batuk kronik berulang, mengi, sesak atau berat di
dada. Adanya penyakit alergi yang lain pada pasien ataupun keluarganya seperti
rhinitis alergika, dermatis atopik, dll. Selain itu perlu diketahui faktor pencetus
serangan dapat memicu timbulnya serangan.

Faktor faktor pencetus pada asma yaitu:

Infeksi virus saluran napas : influenza

Pemajanan terhadap allergen tungau, debu rumah, bulu binatang

Pemajanan terhadap iritan asap rokok, minyak wangi

Kegiatan jasmani : lari

Ekspresi emosiaonal takut, marah, frustasi

Obat obat aspirin, penyekat beta, OAINS

Lingkungan kerja : uapzat kimia

Polusi udara

Pengawet makanan : sulfit

Lain lain : haid, kehamilan, sinusitis

Yang membedakan asma dengan penyakit paru lainnya yaitu pada serangan asma
dapat hilang dengan atau tanpa obat, artinya serangan asma tanya diobati ada yang
hilang dengan sendirinya.

b. Pemeriksaan Fisik
Penemuan tanda pada pemeriksaan fisik pasien asma tergantung derajat
obstruksi saluran napas antara lain terdapat ekspirasi memanjang, mengi, hiperinflasi
dada, pernafasan cepat sianosis, dll.
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan uji fungsi paru sebelum dan sesudah pemberian metakolin atau
bronkodilator sebelum dan sesudah olahraga dapat membantu menegakan diagnosis
asma.
Uji fungsi paru sederhana dengan peak flow meter atau yang lebih lengkap

dengan spirometer, uji yang lain dapat melalui provokasi bronkus dengan histamin,
metakolin, latihan ( exercise ), udara kering, dan dingin, atau dengan NaCl hipertonis.
Penggunaan peak flow meter merupakan hal penting dan perlu diupayakan, karena
selain mendukung diagnosis, juga menegetahui keberhasilan untuk tatalaksana asma,
selain itu dapat juga menggunakan lembar catatan harian sebagai alternative.
Pemeriksaan penungjang lainnya yang dapat dilakukan antara lain :
pemeriksaan sputum, eosinofil total, uji kulit, kadar total IgE atau spesifik IgE, foto
dada dan analisagas darah.

3.6 Klasifikasi Dan Derajat Asma


Berdasarkan faktor penyebabnya asma dibagi menjadi : (Hartantyo, 1997)
a. Asma ekstrinsik
Asma eksentrik adalah bentuk asma paling umum yang disebabkan karena reaksi
alergi penderita terhadap alergen dan tidak membawa pengaruh apa apa terhadap
organ yang sehat.
b. Asma intrinsik
Asma intrinsik adalah asma yang tidak responsif terhadap pemicu yang berasal dari
alergen. Asma ini disebabkan oleh stres, infeksi dan kondisi lingkungan yang buruk
seperti kelmbaban,suhu, polusi udara, dan aktivitas olahraga yang berlebihan.
Pembagian derajat asma dibuat oleh Phelan dkk ( dikutip dari Konsensus Pediatri
Internasional III tahun 1998 ) terbagi 3, yaitu:
a. Asma episodik jarang
Merupakan 75 % populasi pada anak. Ditandai oleh adanya episode < 1x setiap 4 6
minggu mengi setelah aktivitas berat, tidak terdapat gejala diantara episode serangan,
dan fungsi paru normal diantara serangan, Terapi profilaksis tidak dibutuhkan.

b. Asma episodik sering


Merupakan 20 % dari populasi asma pada anak. Ditandai dengan frekuensi serang
yang lebih sering dan timbul mengi saat aktivitas sedang, tetapi dapat dicegah dengan
pemberian agonis -2. Gejala kura dari satu kali per minggu dan fungsi paru diantara
serangan hampir normal. Terapi prfilaksis biasanya dibutuhkan.
c. Asma persisten
Terjadi pada sekitar 5% dari populasi. Ditandai dengan seringnya terjadi serangan,
mengi timbul saat aktivitas ringan, sangat dibutuhkan agonis -2 pada interval gejala.
Gejala timbul lebih dari tiga kali seminggu. Terapi profilaksis sangat dibutuhkan.

Menurut Global Initiative for Asthma (GINA) penggolongan asma berdasarkan beratnya
penyakit dibagi 4 ( empat ), yaitu :
1. Asma Intermiten ( asma jarang )
Gejala kurang dari seminggu
Serangan singkat
Gejala pada malam hari < 2 kali dalam sebulan
FEV 1 atau PEV > 80%
PEF atau FEV 1 variabilitas 20% - 30%
2. Asma mild persistent ( asma persistent ringan )
Gejala lebih dari sekali seminggu
Serangan mengganggu aktivitas dan tidur
Gejala pada malam hari > 2 kali sebulan
FEV 1 atau PEV > 80%
PEF atau FEV 1 variabilitas < 20% - 30%
3. Asma moderate persistent ( asma persistent sedang )
Gejala setiap hari
Serangan mengganggu aktivitas dan tidur
Gejala pada malam hari > 1 kali dalam seminggu
FEV 1 atau PEV 60% - 80%
PEF atau FEV 1 variabilitas > 30%
4. Asma severe persistent ( asma persistent berat )
Gejala setiap hari
Serangan terus menerus
Gejala pada malam hari setiap hari
Terjadi pembatasan aktivitas fisik
FEV 1 atau PEF = 60%
PEF atau FEV 1 variabilitas > 30 %

3.6 Hubungan penyakit Asma dengan perawatan kedokteran gigi


3.6.1 Dental Management
Tujuan terapi asma adalah untuk membatasi paparan terhadap agen pemicu,
memungkinkan aktivitas normal, memperbaiki dan menjaga fungsi normal paru-paru,
meminimalkan frekuensi dan keparahan serangan, mengontrol gejala kronik dan nocturnal,
dan menghindari efek samping obat-obatan. Tujuan itu dilakukan dengan mengedukasi pasien
dan mencegah atau mengeliminasi faktor pencetus (misalnya berhenti merokok) dan kondisi
comorbid yang mengacaukan management, membuat rencana untuk self-monitoring rutin,
dan perawatan follow-up.Pemilihan obat antiasma berdasarkan tipe dan keparahan asma dan
apakah obat yang digunakan untuk kontrol jangka panjang atau cepat reda. Untuk
management jangka panjang dan profilaksis asma persistent gunakan inhaled inflammatory

agent sebagai obat pertama (agennya adalah preparasi kortikosteroid dengan inhibitor
leukotrien sebagai alternative). -adrenergic agonis direkomendasikan untuk asma
intermittent dan merupakan agen sekunder yang sebaiknya ditambahkan untuk asma
persistent jika obat antiinflamatory tidak cukup sendiri.Obat alternative adalah penstabil sel
mast (cromolyn dan nedocromil), immunomodulator, dan theophylline.
Inhaled corticosteroid adalah medikasi antiinflamatori paling efektif, bekerja dengan
mengurangi respons inflamatori dan mencegah pembentukan sitokin, adhesi molekul, dan
enzim inflamatori. Dosis aerosol adalah 2 (untuk ringan sampai sedang) sampai 4 kali sehari
(untuk parah). Onset umumnya setelah 2 jam dan puncaknya 6 jam kemudian. Penggunaan
jangka panjang jarang berhubungan dengan efek samping sistemik, dosis maximum yang
direkomendasikan adalah 1,5 mg per hari dari inhaled beclomethasone dipropionate atau
ekuivalen tidak berlebihan. Penggunaan steroid sistemik ditujukan untuk asma yang kebal
terhadap inhaled corticosteroid dan bronchodilator, dan untuk penggunaan selama fase
penyembuhan serangan asma akut. Inhaled steroid sering digunakan dalam kombinasi dengan
long-acting 2-adrenergic bronchodilator. Omalizumab yang menghambat IgE digunakan
untuk terapi aditif pada pasien dengan asma persisten parah yang memiliki pemicu asma.
Untuk meredakan serangan asma akut, gunakan inhaled short-acting 2-adregenic agonis
karena bronkodilatori cepat dan sifat merelaksasi otot polos. Short-acting 2-adregenic
agonis menghasilkan bronkodilasi dengan mengaktifkan reseptor 2 pada sel-sel otot polos
saluran pernapasan, umumnya dalam 5 menit atau kurang. Inhalasi dengan kortikosteroid,
inhaled cromolyn sodium, dan oral anticholinergik tidak digunakan karena onsetnya lama.
Tujuan utama dental management pada pasien asma adalah untuk mencegah serangan
asma akut. Langkah pertama dengan mengidentifikasi riwayat, penilaian untuk menerangkan
detail mengenai masalah, bersama dengan pencegahan faktor pencetus. Pertanyaannya
meliputi tipe asma, zat pemicu, frekuensi dan keparahan serangan, waktu terjadinya serangan,
apakah masalah saat ini atau dahulu, cara menangani serangan, apakah pasien menerima
perawatan kegawatdaruratan saat serangan akut. Indikasi penyakit yang parah: eksaserbasi
sering, intoleran terhadap olahraga, FEV1 kurang dari 60%, penggunaan beberapa obat, dan
riwayat kegawatdaruratan untuk serangan akut.
Stabilitas penyakit dinilai selama wawancara komponen riwayat dan pemeriksaan klinis
dan hasil pengukuran lab. Bernapas pendek, mendesah, peningkatan respirasi (lebih dari 50%
normal), FEV1 yang jatuh lebih dari 10% atau di bawah 80% dari puncak FEV1, jumlah
eosinofil yang naik

50/mm3, kepatuhan penggunaan obat yang buruk, kunjungan

kegawatdaruratan dalam 3 bulan terakhir menunjukkan stabilitas buruk. Penggunaan lebih

dari 1,5 canister beta agonis inhaler per bulan (lebih dari 200 inhalasi per bulan) atau
penggandaan penggunaan bulanan mengindikasikan resiko tinggi serangan asma parah.Untuk
asma parah dan tidak stabil, dianjurkan konsultasi dengan dokter pasien.Perawatan dental
rutin sebaiknya ditunda sampai tercapai kontrol yang lebih baik.
Modifikasi selama dental management preoperative dan operatif pasien dengan asma dapat
meminimalkan kemungkinan serangan.Pasien yang memiliki asma nocturnal sebaiknya
dirawat pada siang hari (late morning).Penggunaan operatory odorant (misalnya methyl
methacrylate)

sebaiknya

dikurangi

sebelum

pasien

dirawat.Pasien

diinstruksikan

menggunakan obat-obatannya secara rutin, membawa inhalernya pada tiap kunjungan, dan
memberitahu dokter gigi gejala awal serangan asma.Inhalasi profilaktik pada permulaan
kunjungan berguna untuk mencegah serangan asma.Alternatifnya, pasien diminta membawa
spirometer dan daily expiratory record ke tempat praktik.Dokter gigi dapat meminta pasien
menghembuskan napas ke dalam spirometer dan mencatat volume akhir.Jatuhnya fungsi
paru-paru yang signifikan (sampai di bawah 80% puncak FEV1 atau jatuh lebih besar 10%
dari nilai sebelumnya) mengindikasikan penggunaan profilaktik inhaler atau dirujuk ke
dokter.Penggunaan pulse oximeter berguna untuk menentukan tingkat kejenuhan oksigen
pasien. Pada pasien sehat, nilainya antara 97%-100%, sedangkan jatuh hingga 91% atau di
bawahnya mengindikasikan pertukaran oksigen yang parah dan perlu intervensi.
Semua staf sebaiknya berusaha mengidentifikasi pasien yang gelisah dan memberikan
suasana yang bebas stress melalui hubungan dan keterbukaan. Sedasi preoperative dan
operatif dapat diperlukan, inhalasi nitrous oxide-oxygen paling baik.Oral premedication dapat
dilakukan dengan benzodiazepine dosis kecil yang bekerja pendek.Alternative pada anak
adalah hydroxyzine, untuk sifat antihistamin dan sedatif, dan ketamine yang menyebabkan
bronkodilasi.Barbiturate dan narkotik, khususnya meperidin, adalah obat pelepas antihistamin
yang memicu serangan.
Penggunaan anestesi lokal tanpa epinefrin atau levonordefrin oleh paparan dapat
disarankan pada pasien dengan penyakit sedang sampai parah.Dokter gigi sebaiknya
berdiskusi dengan pasien mengenai adanya respons terdahulu terhadap anestesi lokal dan
alergi terhadap sulfite dan sebaiknya berkonsultasi dengan dokter.
Pemberian obat yang mengandung aspirin atau NSAID pada pasien asma tidak disarankan,
karena proses menelan aspirin berhubungan dengan permulaan serangan asma pada sebagian
kecil pasien. Barbiturate dan narcotic tidak digunakan karena juga memicu serangan
asma.Antihistamin memiliki sifat menguntungkan namun sebaiknya digunakan hati-hati
karena efek drying. Pasien yang mengonsumsi preparasi theophylline sebaiknya tidak

diberikan macrolide antibiotic (misalnya erythromycin dan azithromycin) atau ciprofloxacin


hydrochloride, karena agen tersebut berinteraksi dengan theophyline untuk menghasilkan
toxic blood level dari theophylline.
3.6.2 Manifestasi pada Oral
Gejala nasal, allergic rhinitis, dan mouth breathing umum terjadi pada asma ekstrinsik.
Pasien asma dengan mouth breathing telah mengubah fungsi nasorespiratory, yang dapat
berhubungan dengan peningkatan ketinggian anterior atas dan total anterior, palatal vault
lebih tinggi, overjet lebih besar, dan prevalensi crossbite lebih tinggi.
Medikasi dapat berkontribusi pada penyakit mulut. Contohnya, 2 angonis inhaler
mengurangi aliran saliva 25%-30%, menurunkan pH plak, dan berhubungan dengan
peningkatan prevalensi gingivitis dan karies pada pasien denan asma sedang sampai berat.
Gastroesofageal acid reflux biasa terjadi pada pasien asma dan dieksaserbasi oleh
penggunaan 2-agonist dan theophyilline. Reflux ini dapat berkontribusi pada erosi email.
Candidiasis (tipe pseudomembran akut) terjadi pada 5% pasien yang menggunakan inhalasi
steroid untuk waktu yang lama pada dosis tinggi.Pasien sebaiknya menerima instruksi
penggunaan inhaler yang tepat dan perlunya berkumur.Sakit kepala adalah efek samping
antileukotrien dan theophylline.
3.6.3 Penanganan Kegawatdaruratan
Tanda-tanda dan gejala serangan asma akut harus dikenali dengan cepat: tidak mampu
menyelesaikan kalimat dengan sekali napas, bronkodilator tidak efektif meredakan dyspnea,
jatuhnya FEV1 yang ditentukan dengan spirometri, tachypnea dengan tingkat pernapasan 25
kali/menit atau lebih, tachycardia dengan detak jantung 110 kali/menit atau lebih,
diaphoresis, penggunaan otot asesoris, paradoxical pulse. Inhaler short-acting 2-adregenic
agonis adalah bronkodilator paling efektif dan cepat. Long-lasting 2 agonis drug seperti
salmeterol dan kortikosteroid tidak bekerja cepat. Dengan serangan asma parah, gunakan
injeksi subkutan epinefrin (0,3-0,5 mL, 1:1000) atau inhalasi epinefrin. Perawatan pendukung
meliputi pemberian positive-flow oxygenation, mengulang dosis bronkodilator seperlunya
tiap 20 menit, memonitor tanda-tanda vital (termasuk kejenuhan oksigen), dan mengaktivasi
emergency medical system, jika diperlukan. Tidak ada modifikasi perawatan yang diperlukan
untuk pasien asma.

3.6.4 DENTAL MANAGEMENT OF PATIENT WITH ASTHMA


(President Calvin Coolidges Asthma and Modern of Asthma Patient in Dental Setting,
William J. Maloney, D.D.S.; Maura P. Maloney D.D.S., web.b.ebscohost.com, diakses pada
hari Kamis, 20 Februari 2014 pukul 08.29)
-

Asma dapat menjadi penyebab kegawatdaruratan yang serius di praktik dokter gigi,
maka dari itu dokter gigi harus familiar dengan cara manajemen dental pasien asma.

Pada praktik dental, asma akut dapat dipicu oleh allergen, ketakutan, kepanikan, pasta
gigi, fissure sealant, debu enamel gigi atau methyl methacrylate.

Pasien dengan asma harus membawa bronchodilating agentnya setiap ke dokter gigi
dan harus diletakan di tempat yang terlihat dan mudah diambil.

Larutan eponefrin dapat digunakan untuk mengobati eksaserbasi akut terhadap


nebulasi bronchodilator.

Oksigen harus tersedia

Masih ada perdebatan mengenai penggunaan vasokonstriktor pada pasien asma.


Sesungguhnya telah tebukti aman namun Peruse et al merekomendasikan untuk tidak
menggunakan anastesi local dengan vasokonstriktor pada pasien asma dengan
ketergantungan terhadap kortikosteroid.

Analagesik pilihan untuk pasien asma : Acetaminophen. Narkotika dan barbiturates


harus dihindari sebab 20% dari pasien asma mengalami eksaserbasi parah dari
bronchokonstriksi setelah menelan obat.

Asma dikaitkan dengan karies tinggi, peningkatan insiden gingivitis, perubahan


mukosa mulut, oral candidiasis akibat inhaler/glukokortikois, kelainan orofasial.

BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan

Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia.


Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1986 menunjukkan asma menduduki urutan
ke-5 dari 10 penyebab kesakitan (morbiditas) bersama-sama dengan bronkitis kronik dan
emfisema.
Asma merupakan gangguan keradangan kronik saluran napas yang melibatkan banyak
sel dan elemennya. Keradangan kronik menyebabkan peningkatan kepekaan jalan napas yang
menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi (wheezing), sesak napas, dada terasa
berat dan batuk-batuk terutama malam hari dan dini hari.
Berikut beberapa hal yang harus dipahami penderita asma dan dokter gigisebelum
dilakukan perawatan : Pada praktik dental, asma akut dapat dipicu oleh allergen, ketakutan,
kepanikan, pasta gigi, fissure sealant, debu enamel gigi atau methyl methacrylate, Pasien
dengan asma harus membawa bronchodilating agentnya setiap ke dokter gigi dan harus
diletakan di tempat yang terlihat dan mudah diambil, Larutan eponefrin dapat digunakan
untuk mengobati eksaserbasi akut terhadap nebulasi bronchodilator, Oksigen harus tersedia,
dan analagesik pilihan untuk pasien asma : Acetaminophen. Narkotika dan barbiturates harus
dihindari sebab 20% dari pasien asma mengalami eksaserbasi parah dari bronchokonstriksi
setelah menelan obat.

Daftar Pustaka
Utomo.Haryono. (2012). Mengurangi Gejala Asma Alergi dengan Bantuan Dokter gigi. Tesis
Program Pasca Sarjana FKG Universitas Airlangga. vol. 39 no. 2, th. 2012

Soengkono. Isnaini. 2003. Perawatan gigi dan mulut anak penderita asma dan Prospek
untuk
pencegahannya. Bagian ilmu penyakit mulut Universitas Islam Sumatera Utara
Pharmaceutical Care untuk Penyakit Asma, Bakti Husada. 2007
President Calvin Coolidges Asthma and Modern of Asthma Patient in Dental Setting,
William J. Maloney, D.D.S.; Maura P. Maloney D.D.S., web.b.ebscohost.com,
diakses pada hari Kamis, 20 Februari 2014 pukul 08.29

Anda mungkin juga menyukai