PEMBAHASAN
3.1 Pengertian Asma
Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia, hal
ini tergambar dari data studi survei kesehatan rumah tangga (SKRT) di berbagai propinsi di
Indonesia. Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1986 menunjukkan asma
menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab kesakitan (morbiditas) bersama-sama dengan
bronkitis kronik dan emfisema.
Asma merupakan gangguan keradangan kronik saluran napas yang melibatkan banyak
sel dan elemennya. Keradangan kronik menyebabkan peningkatan kepekaan jalan napas yang
menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi (wheezing), sesak napas, dada terasa
berat dan batuk-batuk terutama malam hari dan dini hari.
Asma masa kanak-kanak meupakan suatu masalah kesehatan masyarakat yang
berbahaya. Lebih dari setengah dari semua kasus asma terdapat pada usia sebelum umur 10
tahun. Kini lebih dari 30% anak-anak mengalami penyakit ini selama tahun pertama
kehidupan dan 10%-20% akan menderita asma yang didiagnosis pada akhir masa kanakkanak. Lebih banyak ketidakhadiran disekolah disebabkan oleh asma daripada keadaan
kronik lainnya.
3.2 Etiologi dan Patogenesis
Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi berperan,
terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, netrofil dan sel epitel. Faktor
lingkungan dan berbagai faktor lain berperan sebagai penyebab atau pencetus inflamasi
saluran napas pada pasien asma. Inflamasi terdapat pada berbagai derajat asma baik pada
Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu (host) dan faktor
lingkungan. Faktor pejamu tersebut adalah:
- predisposisi genetik asma
- alergi
- hipereaktifitas bronkus
- jenis kelamin
- ras/etnik
Faktor lingkungan dibagi 2, yaitu :
a. Yang mempengaruhi individu dengan kecenderungan /predisposisi asma untuk berkembang
menjadi asma
b. Yang menyebabkan eksaserbasi (serangan) dan/atau menyebabkan gejala asma menetap.
Faktor lingkungan yang mempengaruhi individu dengan predisposisi asma untuk
berkembang menjadi asma adalah :
- alergen di dalam maupun di luar ruangan, seperti mite domestik, alergen binatang,
alergen kecoa, jamur, tepung sari bunga
- sensitisasi (bahan) lingkungan kerja
- asap rokok
- polusi udara di luar maupun di dalam ruangan
- infeksi pernapasan (virus)
- diet
- status sosioekonomi
- besarnya keluarga
- obesitas
Sedangkan faktor lingkungan yang menyebabkan eksaserbasi dan/atau menyebabkan gejala
asma menetap adalah :
- alergen di dalam maupun di luar ruangan
- polusi udara di luar maupun di dalam ruangan
- infeksi pernapasan
- olah raga dan hiperventilasi
- perubahan cuaca
- makanan, additif (pengawet, penyedap, pewarna makanan)
- obat-obatan, seperti asetil salisilat
- ekspresi emosi yang berlebihan
- asap rokok
- iritan antara lain parfum, bau-bauan yang merangsang
3.4 Gejala
Gejala asma bersifat episodik, seringkali reversibel dengan/atau tanpa pengobatan.
Gejala awal berupa :
Polusi udara
Yang membedakan asma dengan penyakit paru lainnya yaitu pada serangan asma
dapat hilang dengan atau tanpa obat, artinya serangan asma tanya diobati ada yang
hilang dengan sendirinya.
b. Pemeriksaan Fisik
Penemuan tanda pada pemeriksaan fisik pasien asma tergantung derajat
obstruksi saluran napas antara lain terdapat ekspirasi memanjang, mengi, hiperinflasi
dada, pernafasan cepat sianosis, dll.
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan uji fungsi paru sebelum dan sesudah pemberian metakolin atau
bronkodilator sebelum dan sesudah olahraga dapat membantu menegakan diagnosis
asma.
Uji fungsi paru sederhana dengan peak flow meter atau yang lebih lengkap
dengan spirometer, uji yang lain dapat melalui provokasi bronkus dengan histamin,
metakolin, latihan ( exercise ), udara kering, dan dingin, atau dengan NaCl hipertonis.
Penggunaan peak flow meter merupakan hal penting dan perlu diupayakan, karena
selain mendukung diagnosis, juga menegetahui keberhasilan untuk tatalaksana asma,
selain itu dapat juga menggunakan lembar catatan harian sebagai alternative.
Pemeriksaan penungjang lainnya yang dapat dilakukan antara lain :
pemeriksaan sputum, eosinofil total, uji kulit, kadar total IgE atau spesifik IgE, foto
dada dan analisagas darah.
Menurut Global Initiative for Asthma (GINA) penggolongan asma berdasarkan beratnya
penyakit dibagi 4 ( empat ), yaitu :
1. Asma Intermiten ( asma jarang )
Gejala kurang dari seminggu
Serangan singkat
Gejala pada malam hari < 2 kali dalam sebulan
FEV 1 atau PEV > 80%
PEF atau FEV 1 variabilitas 20% - 30%
2. Asma mild persistent ( asma persistent ringan )
Gejala lebih dari sekali seminggu
Serangan mengganggu aktivitas dan tidur
Gejala pada malam hari > 2 kali sebulan
FEV 1 atau PEV > 80%
PEF atau FEV 1 variabilitas < 20% - 30%
3. Asma moderate persistent ( asma persistent sedang )
Gejala setiap hari
Serangan mengganggu aktivitas dan tidur
Gejala pada malam hari > 1 kali dalam seminggu
FEV 1 atau PEV 60% - 80%
PEF atau FEV 1 variabilitas > 30%
4. Asma severe persistent ( asma persistent berat )
Gejala setiap hari
Serangan terus menerus
Gejala pada malam hari setiap hari
Terjadi pembatasan aktivitas fisik
FEV 1 atau PEF = 60%
PEF atau FEV 1 variabilitas > 30 %
agent sebagai obat pertama (agennya adalah preparasi kortikosteroid dengan inhibitor
leukotrien sebagai alternative). -adrenergic agonis direkomendasikan untuk asma
intermittent dan merupakan agen sekunder yang sebaiknya ditambahkan untuk asma
persistent jika obat antiinflamatory tidak cukup sendiri.Obat alternative adalah penstabil sel
mast (cromolyn dan nedocromil), immunomodulator, dan theophylline.
Inhaled corticosteroid adalah medikasi antiinflamatori paling efektif, bekerja dengan
mengurangi respons inflamatori dan mencegah pembentukan sitokin, adhesi molekul, dan
enzim inflamatori. Dosis aerosol adalah 2 (untuk ringan sampai sedang) sampai 4 kali sehari
(untuk parah). Onset umumnya setelah 2 jam dan puncaknya 6 jam kemudian. Penggunaan
jangka panjang jarang berhubungan dengan efek samping sistemik, dosis maximum yang
direkomendasikan adalah 1,5 mg per hari dari inhaled beclomethasone dipropionate atau
ekuivalen tidak berlebihan. Penggunaan steroid sistemik ditujukan untuk asma yang kebal
terhadap inhaled corticosteroid dan bronchodilator, dan untuk penggunaan selama fase
penyembuhan serangan asma akut. Inhaled steroid sering digunakan dalam kombinasi dengan
long-acting 2-adrenergic bronchodilator. Omalizumab yang menghambat IgE digunakan
untuk terapi aditif pada pasien dengan asma persisten parah yang memiliki pemicu asma.
Untuk meredakan serangan asma akut, gunakan inhaled short-acting 2-adregenic agonis
karena bronkodilatori cepat dan sifat merelaksasi otot polos. Short-acting 2-adregenic
agonis menghasilkan bronkodilasi dengan mengaktifkan reseptor 2 pada sel-sel otot polos
saluran pernapasan, umumnya dalam 5 menit atau kurang. Inhalasi dengan kortikosteroid,
inhaled cromolyn sodium, dan oral anticholinergik tidak digunakan karena onsetnya lama.
Tujuan utama dental management pada pasien asma adalah untuk mencegah serangan
asma akut. Langkah pertama dengan mengidentifikasi riwayat, penilaian untuk menerangkan
detail mengenai masalah, bersama dengan pencegahan faktor pencetus. Pertanyaannya
meliputi tipe asma, zat pemicu, frekuensi dan keparahan serangan, waktu terjadinya serangan,
apakah masalah saat ini atau dahulu, cara menangani serangan, apakah pasien menerima
perawatan kegawatdaruratan saat serangan akut. Indikasi penyakit yang parah: eksaserbasi
sering, intoleran terhadap olahraga, FEV1 kurang dari 60%, penggunaan beberapa obat, dan
riwayat kegawatdaruratan untuk serangan akut.
Stabilitas penyakit dinilai selama wawancara komponen riwayat dan pemeriksaan klinis
dan hasil pengukuran lab. Bernapas pendek, mendesah, peningkatan respirasi (lebih dari 50%
normal), FEV1 yang jatuh lebih dari 10% atau di bawah 80% dari puncak FEV1, jumlah
eosinofil yang naik
dari 1,5 canister beta agonis inhaler per bulan (lebih dari 200 inhalasi per bulan) atau
penggandaan penggunaan bulanan mengindikasikan resiko tinggi serangan asma parah.Untuk
asma parah dan tidak stabil, dianjurkan konsultasi dengan dokter pasien.Perawatan dental
rutin sebaiknya ditunda sampai tercapai kontrol yang lebih baik.
Modifikasi selama dental management preoperative dan operatif pasien dengan asma dapat
meminimalkan kemungkinan serangan.Pasien yang memiliki asma nocturnal sebaiknya
dirawat pada siang hari (late morning).Penggunaan operatory odorant (misalnya methyl
methacrylate)
sebaiknya
dikurangi
sebelum
pasien
dirawat.Pasien
diinstruksikan
menggunakan obat-obatannya secara rutin, membawa inhalernya pada tiap kunjungan, dan
memberitahu dokter gigi gejala awal serangan asma.Inhalasi profilaktik pada permulaan
kunjungan berguna untuk mencegah serangan asma.Alternatifnya, pasien diminta membawa
spirometer dan daily expiratory record ke tempat praktik.Dokter gigi dapat meminta pasien
menghembuskan napas ke dalam spirometer dan mencatat volume akhir.Jatuhnya fungsi
paru-paru yang signifikan (sampai di bawah 80% puncak FEV1 atau jatuh lebih besar 10%
dari nilai sebelumnya) mengindikasikan penggunaan profilaktik inhaler atau dirujuk ke
dokter.Penggunaan pulse oximeter berguna untuk menentukan tingkat kejenuhan oksigen
pasien. Pada pasien sehat, nilainya antara 97%-100%, sedangkan jatuh hingga 91% atau di
bawahnya mengindikasikan pertukaran oksigen yang parah dan perlu intervensi.
Semua staf sebaiknya berusaha mengidentifikasi pasien yang gelisah dan memberikan
suasana yang bebas stress melalui hubungan dan keterbukaan. Sedasi preoperative dan
operatif dapat diperlukan, inhalasi nitrous oxide-oxygen paling baik.Oral premedication dapat
dilakukan dengan benzodiazepine dosis kecil yang bekerja pendek.Alternative pada anak
adalah hydroxyzine, untuk sifat antihistamin dan sedatif, dan ketamine yang menyebabkan
bronkodilasi.Barbiturate dan narkotik, khususnya meperidin, adalah obat pelepas antihistamin
yang memicu serangan.
Penggunaan anestesi lokal tanpa epinefrin atau levonordefrin oleh paparan dapat
disarankan pada pasien dengan penyakit sedang sampai parah.Dokter gigi sebaiknya
berdiskusi dengan pasien mengenai adanya respons terdahulu terhadap anestesi lokal dan
alergi terhadap sulfite dan sebaiknya berkonsultasi dengan dokter.
Pemberian obat yang mengandung aspirin atau NSAID pada pasien asma tidak disarankan,
karena proses menelan aspirin berhubungan dengan permulaan serangan asma pada sebagian
kecil pasien. Barbiturate dan narcotic tidak digunakan karena juga memicu serangan
asma.Antihistamin memiliki sifat menguntungkan namun sebaiknya digunakan hati-hati
karena efek drying. Pasien yang mengonsumsi preparasi theophylline sebaiknya tidak
Asma dapat menjadi penyebab kegawatdaruratan yang serius di praktik dokter gigi,
maka dari itu dokter gigi harus familiar dengan cara manajemen dental pasien asma.
Pada praktik dental, asma akut dapat dipicu oleh allergen, ketakutan, kepanikan, pasta
gigi, fissure sealant, debu enamel gigi atau methyl methacrylate.
Pasien dengan asma harus membawa bronchodilating agentnya setiap ke dokter gigi
dan harus diletakan di tempat yang terlihat dan mudah diambil.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Daftar Pustaka
Utomo.Haryono. (2012). Mengurangi Gejala Asma Alergi dengan Bantuan Dokter gigi. Tesis
Program Pasca Sarjana FKG Universitas Airlangga. vol. 39 no. 2, th. 2012
Soengkono. Isnaini. 2003. Perawatan gigi dan mulut anak penderita asma dan Prospek
untuk
pencegahannya. Bagian ilmu penyakit mulut Universitas Islam Sumatera Utara
Pharmaceutical Care untuk Penyakit Asma, Bakti Husada. 2007
President Calvin Coolidges Asthma and Modern of Asthma Patient in Dental Setting,
William J. Maloney, D.D.S.; Maura P. Maloney D.D.S., web.b.ebscohost.com,
diakses pada hari Kamis, 20 Februari 2014 pukul 08.29