Anda di halaman 1dari 8

Review Jurnal 1

Judul : Identifikasi Korban Bencana Massal: Praktik DVI Antara Teori dan
Kenyataan

Oleh : Henky, Oktavinda Safitry Bagian/SMF Ilmu Kedokteran Forensik FK


Universitas Udayana Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan
Medikolegal FK Universitas Indonesia (2012).

Pembahasan :

Belakangan ini di Indonesia angka kejadian bencana yang merenggut banyak


nyawa semakin meningkat. Menurut WHO, bencana adalah setiap kejadian yang
menyebabkan kerusakan, gangguan ekologis, hilangnya nyawa manusia atau
memburuknya derajat kesehatan atau pelayanan kesehatan pada skala tertentu yang
memerlukan respon dari luar masyarakat atau wilayah yang terkena. Badan Nasional
Penanggulangan Bencana telah memiliki data sebaran kejadian bencana di Indonesia
mulai dari tahun 1815 – 2012, dan angka kejadian bencana cenderung meningkat
dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir. Bencana itu sendiri ada yang merupakan
bencana alam, seperti banjir, gempa, longsor, gunung meletus, tsunami, serta angin
topan. Ada pula bencana yang diakibatkan oleh ulah manusia, misalnya ledakan bom
dan kecelakaan transportasi seperti pesawat jatuh, atau kapal tenggelam

Tujuan penelitian dari jurnal ini untuk mengidentifikasi korban meninggal


menggunakan praktik DVI yang mengacu pada prosedur The Scene, Post Mortem
Examination, Ante Mortem Information Retrieval, Reconciliation dan Debriefing.
Metode penelitian pada jurnal ini dilakukan dengan melakukan observasi langsung ke
lapangan, saat terlibat dalam operasi DVI.
Hasil pembahasan pada jurnal penelitian ini :
1. Pada fase pertama, tim datang ke TKP melakukan pemilahan antara
korban hidup dan korban mati selain juga mengamankan barang bukti
yang dapat mengarahkan pada pelaku apabila bencana yang terjadi
merupakan bencana yang diduga akibat ulah manusia. Pada korban
mati diberikan label sebagai penanda. Label ini harus memuat
informasi tim pemeriksa, lokasi penemuan, dan nomor tubuh/mayat.
Label ini akan sangat membantu dalam proses penyidikan selanjutnya.
2. Fase kedua dalam proses DVI adalah fase pemeriksaan mayat. Fase ini
dapat berlangsung bersamaan dengan fase pertama dan fase ketiga.
Pada fase ini, para ahli identifikasi, dokter forensik melakukan
pemeriksaan untuk mencari data postmortem sebanyak-banyaknya.
Sidik jari, pemeriksaan terhadap gigi, seluruh tubuh, dan barang
bawaan yang melekat pada mayat. Dilakukan pula pengambilan
sampel jaringan untuk pemeriksaan DNA.
3. Fase ketiga adalah fase pengumpulan data antemortem dimana ada tim
kecil yang menerima laporan orang yang diduga menjadi korban. Data
yang diminta mulai dari pakaian yang terakhir dikenakan, ciri-ciri
khusus (tanda lahir, tato, tahi lalat, bekas operasi, dan lain-lain), data
rekam medis dari dokter keluarga dan dokter gigi korban, data sidik
jari dari pihak berwenang (kelurahan atau kepolisian), serta sidik DNA
apabila keluarga memilikinya
4. Fase keempat yaitu fase rekonsiliasi apabila terdapat kecocokan antara
data Ante Mortem dan Post Mortem dengan kriteria minimal 1 macam
Primary Identifiers atau 2 macam Secondary Identifiers. Setelah
selesai keseluruhan proses identifikasi, dengan hasil memuaskan
maupun tidak, proses identifikasi korban bencana akan dilanjutkan
pada fase kelima yang disebut fase debriefing.
5. Fase kelima merupakan fase debriefing semua orang yang terlibat
dalam proses identifikasi berkumpul untuk melakukan evaluasi
terhadap semua hal yang berkaitan dengan pelaksanaan proses
identifikasi korban bencana, baik sarana, prasarana, kinerja, prosedur,
serta hasil identifikasi.

Secara teoritis, kelima fase DVI seharusnya dikerjakan sesuai standar pada
setiap kasus bencana. Namun pada kenyataannya, banyak hambatan dan kendala yang
ditemui di lapangan untuk menerapkan prosedur DVI.

Kesimpulan pembahasan pada jurnal penelitian ini secara teoritis, kelima fase
DVI seharusnya dikerjakan sesuai standar pada setiap kasus bencana namun dalam
kenyataannya sering kali menemui kendala teknis, maupun nonteknis. Jumlah jenazah
yang banyak, tempat penyimpanan jenazah yang minim, waktu yang terbatas, jumlah
dokter forensik yang terbatas, otoritas keluarga serta kurangnya koordinasi
menimbulkan masalah dalam menerapkan prosedur DVI secara konsisten.
Review Jurnal 2

Judul: Pendidikan Kesehatan yang Terintegrasi dalam Pengurangan Risiko Bencana:


Pembelajaran dari Wabah Penyakit Berikut Bencana Alam di Indonesia
Oleh: Dyshelly Nurkartika Pascapurnama; Aya Murakami. Haorile Chagan-Yasutan.
Toshio Hattori. Hiroyuki Sasaki. Shinichi Egawa. Sebuah Devisi Kerjasama
Internasional Untuk Bencana Kedokteram, Internasional Penelitian Institut
Sains Bahasa (Irides), Tohoku University, 2-1 Seiryo-Machi, Aoba-Ku,
Sandal 980-8573, Jepang (2017).

Pembahasan :

Kesehatan juga diprioritaskan dalam Kerangka Sendai Pengurangan Risiko


Bencana, yang merekomendasikan integrasi manajemen risiko bencana ke dalam
setiap tingkat pelayanan kesehatan dan sistem kesehatan nasional. Selain itu, karena
hubungan antara kesehatan dan keamanan terkait dengan munculnya kembali
penyakit menular, mengakhiri epidemi AIDS, tuberkulosis, malaria, dan diabaikan
penyakit tropis, sementara memerangi hepatitis, penyakit yang terbawa air dan
penyakit menular lainnya oleh 2030 telah menjadi Goal Pembangunan Berkelanjutan.
Selama dekade terakhir, Indonesia, sebuah negara yang rawan bencana, telah dilanda
bencana alam yang telah menghasilkan korban yang berjumlah besar, kerugian
langsung, dan rusaknya infrastruktur.
Dua bencana alam telah banyak menghancurkan: gempa bumi yang diikuti
tsunami di Aceh dan Sumatera Utara pada bulan Desember 2004, juga dikenal
sebagai Indian Ocean Tsunami dan gempa bumi di Provinsi Jawa Yogyakarta dan
Tengah pada Mei 2006. Selain dua bencana alam besar, bencana alam telah terjadi
seperti banjir, gempa bumi, tsunami, tanah longsor dan letusan besar gunung berapi.
Seiring dengan penurunan skala besar hidup, kerusakan infrastruktur, dan kerugian
material, masalah kesehatan telah menjadi masalah yang sangat penting setelah
bencana alam. Selamat harus menghadapi ancaman risiko kesehatan, terutama
penyakit menular, sebagai akibat dari pasokan terbatas kesehatan, layanan, dan
fasilitas. pengetahuan terbatas tentang risiko kesehatan bencana berikut, selain
kurangnya kesadaran, memberikan kontribusi untuk terjadinya penyakit menular yang
secara fundamental dapat dicegah.
Penelitian ini dilakukan untuk meninjau delapan bencana alam besar di
Indonesia yang diikuti oleh wabah penyakit menular. Metode penelitian pada jurnal
ini dilakukan dengan melakukan kajian literatur yang komprehensif publikasi asli
seperti artikel, laporan dan dokumen disaring selama Juni 2016 - Agustus 2016
menggunakan PubMed, Google Scholar, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
website, pemerintah website Indonesia, buku tentang manajemen bencana, dan
Sphere Project Handbook sebagai sumber daya yang tersedia.
Hasil pembahasan pada jurnal penelitian ini :
1. Pada tanggal 26 Desember 2004, gempa M 9.3 diikuti oleh tsunami, yang dikenal
sebagai Indian Ocean Tsunami 2004, memukul utara Pulau Sumatera. Kesehatan
risiko yang ditimbulkan oleh infeksi penyakit dan infrastruktur lainnya rusak
berat, termasuk diare, hepatitis A dan E, ISPA, campak, meningitis, malaria dan
demam berdarah.
2. Samudera Hindia tsunami 2004 diikuti oleh gempa kedua tiga bulan kemudian.
Gempa M 8.6 terjadi di sepanjang Pulau Nias Maret 2005. Kemudian, WHO
melaporkan setidaknya 987 kasus malaria dan 15 kasus demam berdarah terjadi
yang berkaitan langsung dengan tsunami Samudera Hindia tahun 2004.
3. Sebuah gempa M 6.4 merusak melanda Jawa Tengah dan Daerah Istimewa
Yogyakarta pada anggal 27 Mei 2006. Beberapa penyakit infeksi seperti ISPA,
campak, diare, demam berdarah, demam tifoid dilaporkan setelah gempa bumi.
Ada juga wabah tetanus. Penyebab diperkirakan sebagai sanitasi yang buruk dan
pasokan air terbatas, selain kurangnya kesadaran risiko kesehatan karena
perlindungan pribadi tidak digunakan.
4. Dua hari hujan lebat menyebabkan fl banjir yang dan tanah longsor di wilayah
Sinjai, Provinsi Sulawesi Selatan pada tanggal 19 Juni 2006, menewaskan 223
orang dan memerlukan evakuasi hampir 10.000 orang. Setelah acara tersebut,
diare terjadi di antara pengungsi sebagai akibat dari masalah sanitasi orang
menjadi tidak dapat menggunakan toilet biasa karena sistem air telah benar-benar
hancur.
5. Pada tanggal 17 Juli 2006, sebuah gempa M 7.7 dan tsunami melanda Provinsi
Jawa Barat, dan Jawa Tengah dan Yogyakarta. Khawatir tentang risiko yang
ditimbulkan oleh penyakit menular mengikuti acara, mulai vaksinasi massal
campak, tetanus, kolera, dan penyakit lainnya
6. Sebuah 7,6 M gempa melanda pusat kota Padang, Sumatera Barat pada 30
September 2009. menewaskan 1195 orang, ribuan dievakuasi. Lebih dari 100.000
rumah rusak. wabah meluas penyakit terjadi setelah bencana, lebih Desember
2010, lebih banyak kasus diare dan demam berdarah dilaporkan selama beberapa
hari.
7. Pada tanggal 25 Oktober 2010, terjadi gempa dan tsunami melanda Mentawai
Island. Bencana tersebut berkontribusi kehancuran daerah: 447 orang meninggal,
lebih dari 15.000 orang mengungsi, dan hampir seribu fasilitas infrastruktur
rusak. Orang-orang menjadi lebih rentan setelah bencana alam. Beberapa orang
terjangkit penyakit menular setelah di advertently menelan air kotor ketika
mereka tersapu oleh tsunami. Untuk menghindari ISPA wabah, perlu untuk
mengisolasi pembawa diduga penyakit untuk meminimalkan kemungkinan
penularan
8. letusan gunung berapi Merapi di Jawa Tengah dan Yogyakarta provinsi selama
Oktober - November 2010 adalah yang terbesar sejak 1872. Data yang DIBI
melaporkan ledakan menewaskan sedikitnya 300 orang. Setelah letusan, ada
beberapa kasus ISPA. Pengetahuan terbatas abu vulkanik yang disebabkan
kurangnya kesadaran, dan terbatas perlindungan pribadi yang memperburuk
kondisi, rendering orang lebih rentan.
Pendidikan memainkan peran penting dalam pengurangan risiko bencana (PRB)
di Indonesia Karena pasca Samudera Hindia bencana tsunami pemulihan, pemerintah
dan LSM telah mendukung peningkatan kapasitas PRB di masyarakat, termasuk
pembentukan proyek percontohan yang disebut Sekolah Siaga Bencana (SSB) atau
berbasis Sekolah Siaga Bencana (SDP) di 2009. Karena jumlah SDP terbatas, LSM
mencoba untuk mengembangkan SDP lain di daerah yang tidak tercakup dalam
program SSB pemerintah. Selanjutnya, pada 2011, Tsunami dan Mitigasi Bencana
Penelitian (TDMRC) Universitas Syiah Kuala memulai program serupa dengan SDP,
tetapi proyek ini dibawa dalam bentuk pelatihan yang independen dari kurikulum
sekolah.
Program SDP membantu sekolah memperkaya pemahaman mereka dalam
kesiapsiagaan bencana, persepsi risiko, dan bagaimana mereka dapat meningkatkan
selfcapacity. Sebagai contoh, siswa diajarkan untuk mempersiapkan tsunami peta
evakuasi dengan rute ke tempat evakuasi yang ditunjuk mereka. Pendekatan umum
digunakan untuk membangun ketahanan bencana di sekolah maupun di masyarakat.
Di sini, menerapkan PRB berbasis sekolah diharapkan untuk memudahkan
penyebaran informasi yang berkaitan dengan pengetahuan bencana, persepsi risiko,
dan kesadaran kepada keluarga siswa.
Melihat ke Jepang, negara yang rawan bencana negara, pendidikan bencana itu
sendiri telah dilaksanakan untuk waktu yang lama. Implementasi ini dibagi menjadi
dua kategori, program yang didanai pemerintah dan voluntarilyfunded. Pemerintah
sendiri bertanggung jawab di kota, prefektur dan tingkat nasional untuk menyediakan
pendidikan bencana publik. Berdasarkan Rencana Pengelolaan Dasar Bencana,
kerangka pendidikan disesuaikan ke dalam rencana regional, prefektur dan kota
sehingga menjadi spesifik di masing-masing daerah berdasarkan kebutuhan mereka.
Kata dan kota sehingga menjadi spesifik di masing-masing daerah berdasarkan
kebutuhan mereka.. Kata 'bosai' yang berarti pencegahan bencana yang didengungkan
oleh pemerintah Jepang, salah satu yang didirikan 1 September sebagai 'Hari
Pencegahan Bencana
Kesimpulan pembahasan pada jurnal penelitian ini menekankan pentingnya
pendidikan kesehatan terpadu di sekolah-sekolah dan pengurangan berbasis
masyarakat risiko bencana (PRB) rencana, termasuk penyebaran informasi, untuk
menciptakan komunitas tangguh. Menghadapi tantangan, sekolah dan pusat-pusat
komunitas dapat menjadi agen informasi promosi kesehatan menyebarkan sehingga
masyarakat menjadi lebih sadar risiko kesehatan dan praktik perilaku yang baik
terkait dengan pencegahan, respon, dan pemulihan. pendidikan dan promosi
kesehatan dapat diintegrasikan ke dalam program-program PRB berbasis pelatihan
kurikulum berbasis atau sebagai modul, kursus singkat, latihan, dan media cetak dan
visual.

Anda mungkin juga menyukai