Anda di halaman 1dari 27

REFLEKSI KASUS Januari 2018

“Demam Tifoid”

Nama : Musyarafa
No. Stambuk : N111 17 058
Pembimbing : dr. Kartin Akune, Sp.A

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS TADULAKO
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA
PALU
2018
BAB I
PENDAHULUAN

Demam tifoid merupakan penyakit infeksi sistemik akut yang mengenai sistem
retikuloendotelial, kelenjar limfe saluran cerna, dan kandung empedu. Disebabkan
terutama oleh Salmonella enterica serovar typhi (S. typhi) dan menular melalui jalur
fecal-oral.Sampai saat ini demam tifoid masih menjadi masalah kesehatan masyarakat
serta berkaitan erat dengan sanitasi yang buruk terutama di negara-negara
berkembang.[1,2,3]
Demam tifoid merupakan penyakit endemis di Indonesia yang cenderung
meningkat pada masyarakat dengan standar hidup dan kebersihan yang rendah.
Etiologi utama di Indonesia adalah 96% kasus demam tifoid disebabkan oleh
Salmonella enterica subspecies enterica serovar typhi (S. typhi) dan sisanya
disebabkan oleh Salmonella enterica subspecies enterica serovar paratyphi A (S.
Partyphi A).91 % kasus demam tifoid terjadi pada umur 3-19 tahun, kejadian
meningkat setelah umur 5 tahun. Indonesia merupakan salah satu negara dengan
insidens demam tifoid, pada kelompok umur 5-15 tahun dilaporkan 180,3 per
100,000 penduduk. Penyakit demam tifoid termasuk penyakit menular yang
tercantum dalam Undang-undang nomor 6 Tahun 1962 tentang wabah.[2,3,4,5]
Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi, mulai dari gejala yang ringan
sekali hingga tidak terdiagnosis, dengan gejala yang khas (sindrom demam tifoid),
sampai dengan gejala klinis berat yang disertai komplikasi. Gejala klinis demam
tifoid pada anak cenderung tidak khas. Makin muda umur anak, gejala klinis demam
tifoid makin tidak khas. Umumnya perjalanan penyakit berlangsung dalam jangka
waktu pendek dan jarang menetap lebih dari 2 minggu. Beberapa gejala klinis demam
tifoid antara lain demam terus-menerus, gangguan saluran pencernaan, gangguan
kesadaran, hepatosplenomegali, bradikardia relatif dan gejala lain.[6]
Salmonella enterica serotipe typhi, sebagai penyebab demam tifoid merupakan
basil Gram negatif. Penyebaran Salmonella ke dalam makanan atau minuman bisa
terjadi akibat pencucian tangan yang kurang bersih setelah buang air besar maupun
setelah berkemih. Lalat bisa menyebarkan bakteri secara langsung dari tinja ke
makanan (oro-fecal). Masa inkubasi dalam tubuh penderita selama 7-14 hari. Selama
masa inkubasi tersebut mungkin akan ditemukan gejala prodromal yaitu perasaan
tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing, dan tidak bersemangat. Kemudian,
menyusul gejala klinis seperti demam, gangguan pencernaan, dan gangguan
kesadaran.[4,7]
Tatalaksana demam tifoid pada anak dibagi atas dua bagian besar, yaitu
tatalaksana umum dan bersifat suportif dan tatalaksana khusus berupa pemberian
antibiotik sebagai pengobatan kausal. Tatalaksana demam tifoid juga bukan hanya
tatalaksana yang ditujukan kepada penderita penyakit tersebut, namun juga ditujukan
kepada penderita karier Salmonella typhi.Pencegahan pada anak berupa pemberian
imunisasi tifoid dan profilaksis bagi traveller dari daerah non endemik ke daerah
yang endemik demam tifoid.[8]
Prognosis pasien demam tifoid tergantung pada umur anak, kondisi kesehatan
sebelum sakit, serotipe Salmonella dan komplikasi yang terjadi. Komplikasi yang
sering terjadi pada demam tifoid adalah perdarahan usus dan perforasi, sekitar 5%
penderita demam tifoid mengalami komplikasi ini. Komplikasi lain yang jarang
antara lain, miokarditis, pneumonia, pankreatitis, infeksi ginjal atau kandung kemih,
meningitis, serta timbulnya masalah psikiatri seperti mengigau, halusinasi, dan
paranoid psikosis. Pada Negara maju, angka kematian adalah <1%, sedangkan di
Negara berkembang bisa>10%.[6,9]
Berikut akan dibahas refleksi kasus mengenai pasien dengan demam tifoid yang
dirawat di RS Bhayangkara Palu.
BAB II
KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. T
Jenis kelamin : Perempuan
Tanggal lahir/Usia : 10 Juli 2005/ 11 tahun
Alamat : Jl. komodo
Agama : Islam
Waktu Masuk : 16 Januari 2018

B. ANAMNESIS
a. Keluhan Utama
Demam
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien masuk ke RS dengan keluhan demam. Demam dirasakan
sejak ± 6 hari sebelum masuk RS, demam terus-menerus, dan biasanya
memberat pada sore hingga malam hari, demam turun bila diberikan obat
penurun demam, setelah itu demam timbul kembali. Keluhan disertai
sakit perut terutama di area ulu hati, sakit kepala, pusing, badan terasa
lemas, nafsu makan menurun, mual, dan muntah sebanyak ± 5 kali sejak
demam, berisi makanan, volume sedikit, setiap makan pasien merasa
mual dan terkadang muntah. Pasien juga mengeluhkan susah buang air
besar, terakhir buang air besar ± 4 hari sebelum masuk RS, dengan
konsistensi biasa. Pasien menyangkal adanya batuk, flu, sesak, nyeri
menelan, mimisan, perdarahan gusi, maupun kejang. Pasien tidak
berkeringat dingin dan tidak menggigil, serta tidak ada riwayat berpergian
2 minggu terakhir. Keinginan minum pasien biasa dan buang air kecil
lancar.
c. Riwayat Penyakit Sebelumnya
Tidak pernah mengalami penyakit yang sama sebelumnya
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada di keluarga yang mengalami penyakit yang sama.
e. Riwayat Sosial-Ekonomi
Pasien berasal dari keluarga dengan sosial-ekonomi menengah.
f. Riwayat Kebiasaan dan Lingkungan
Pasien seorang anak yang aktif dan memiliki kebiasaan bermain
diluar lingkungan rumah dan kurang memperhatikan kebersihan tangan
sebelum makan. Pasien juga memiliki kebiasaan jajan sembarangan.
Pasien tinggal di lingkungan rumah yang padat dan di dekat rumah pasien
terdapat tempat pembuangan sampah.
g. Riwayat Kehamilan dan Persalinan
Pasien lahir secara spontan di rumah sakit, cukup bulan, dan
dibantu oleh bidan. Berat badan lahir 3000 gram, panjang badan 49 cm.
Selama kehamilan, ibu pasien tidak menderita sakit ataupun masalah
lainnya. Ibu pasien rajin melakukan kontrol ke puskesmas sebanyak 4
kali. Pasien merupakan anak ke 2 dari 3 bersaudara.
h. Kemampuan dan Kepandaian Bayi
Tumbuh dan kembang anak sesuai dengan usianya, dan saat ini
anak tidak mengalami keterlambatan atau gangguan tumbuh dan
kembang.
i. Anamnesis Makanan
Pasien hanya mendapatkan ASI mulai dari usia 0 hingga 1 tahun,
bubur saring mulai diberikan pada usia ± 5-6 bulan. Diberikan makanan
keluarga dimulai usia ± 1,5 tahun.
j. Riwayat Imunisasi
Imunisasi dasar lengkap.
C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Sakit Sedang
Kesadaran : Compos mentis
Berat Badan : 32 kg
Tinggi Badan : 141 cm
Status Gizi : CDC 91% gizi baik
Tanda Vital :
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Denyut Nadi : 86×/menit, kuat angkat, irama reguler
Respirasi :26×/menit, pola pernapasan reguler
Suhu axilla : 38,5 0C
1. Kulit:
Warna : Sawo matang
Efloresensi : Tidak ditemukan
Sianosis : Tidak ada
Turgor : Segera kembali
Kelembaban : Cukup
Lapisan lemak : Cukup
Rumple leede : (-)
2. Kepala:
Bentuk : Normocephalus
Rambut : Warna hitam, tampak kering, tidak mudah
dicabut, tebal, alopecia (-)
3. Mata:
Konjungtiva : Anemis (-/-)
Sklera : Ikterik(-/-)
Refleks kornea : (+/+)
Pupil : Bulat, isokor
Exophthalmus : (-/-)
Cekung : (-/-)

4. Hidung:
Pernafasan cuping hidung : tidak ada
Epistaksis : tidak ada
Rhinorrhea : tidak ada
5. Mulut:
Bau : tidak sedap
Bibir : Kering, sianosis (-), stomatitis (-)
Gigi : Tidak ditemukan karies
Gusi : Tidak ditemukan adanya perdarahan
6. Lidah:
Tremor : (-)
Kotor/Berselaput : (+)
Warna : Tepi lidah tampak hiperemis
7. Telinga:
Sekret : Tidak ditemukan
Serumen : Minimal
Nyeri : Tidak ada
8. Leher:
Kelenjar getah bening: Pembesaran(- /-), nyeri tekan (-)
Kelenjar Tiroid : Pembesaran (-), nyeri tekan (-)
Trake a : posisi central
Kaku Kuduk : (-)
Faring : Hiperemis(-)
Tonsil : T1-T1
9. Toraks:
a. Dinding Dada/Paru:
Inspeks : Ekspansi paru simetris bilateral kanan = kiri, tampak
retraksi(-), jejas (-), bentuk normochest, jenis
pernapasan thoraco-abdominal, pola pernapasan kesan
normal.
Palpasi : Ekspansi dada simetris, vocalfremitus simetris kanan =
kiri, nyeri tekan (-).
Perkusi : Sonor di semua lapang paru
Auskultasi : Bronchovesicular (+/+)
Suara napas tambahan: Ronkhi (-/-), Whezzing(-/-)
b. Jantung :
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Pulsasi ictus cordis teraba pada SIC V arah medial
linea midclavicula sinistra
Perkusi : Batas atas: SIC II linea midclavicularis dextra et
parasternalis sinistra
Batas kiri: SIC V linea midclavicularis sinistra
Batas kanan: SIC V linea parasternalis dextra
Auskultasi : Bunyi jantung S1 dan S2 murni reguler, bunyi
tambahan: murmur (-), gallop (-).
10. Abdomen:
Inspeksi : Tampak datar, kesan normal
Auskultasi : Peristaltik (+), kesan normal
Perkusi : Bunyi timpani (+) diseluruh abdomen, dullness (+)
pada area hepar & lien. Asites (-)
Palpasi : Nyeri tekan epigastrium(+), distensi (-),
Hati : Tidak teraba
Lien : Tidak teraba
Ginjal : Tidak teraba
11. Anggota Gerak:
a. Ekstremitas superior: Akral hangat (+/+), edema (-/-)
b. Ekstremitas inferior:Akral hangat (+/+), edema (-/-)
12. Genitalia:Dalam batas normal
+/+
13. Otot-Otot: Eutrofi +/+, kesan normal
++/++ −/−
14. Refleks: Fisiologis (++/++), patologis (−/−)

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
17/01/2017
Hasil Rujukan Satuan
Hematologi Rutin
Hemoglobin 14,7 11,5 – 15,5 g/dl
Leukosit 6,53 4,5 – 14,5 103/uL
Eritrosit 4,9 4 – 5,2 106/uL
Trombosit 254 150 – 450 103/uL
Hematokrit 41 35 – 45 %

Hitung Jenis Leukosit:


Basofil 0 0-1 %
Eosinofil 0 2-4 %
Neutrofil Batang 0 3-5 %
Neutrofil Segmen 76 50-70 %
Limfosit 17 25-40 %
Monosit 7 2-8 %

MCV 76 80-94 fl
MCH 24 27-31 pg
MCHC 37 35-45 %

Serologi – Widal
S. typhi O 1/160 Titer < 1/320
S. par. A-O 1/160 Titer < 1/160
S. par. B-O 1/160 Titer < 1/160

S. par. C-O 1/160 Titer < 1/160


S. typhi H 1/160 Titer < 1/160
S. par. A-H 1/80 Titer < 1/160
S. par. B-H 1/160 Titer < 1/160
S. par. C-H 1/80 Titer < 1/160
E. RESUME
Pasien anak perempuan usia 11 tahun, berat badan 32 kg masuk ke RS
dengan keluhan febris, dirasakan sejak ± 6 hari sebelum masuk RS, febris
memberat pada sore hingga malam hari. Disertai epigastricpain, cephalgia,
malaise, anorexia, nausea, dan muntah ± 5 kali. Konstipasi sejak ± 4 hari
sebelum masuk RS. Pasien menyangkal adanya batuk, flu, sesak, nyeri
menelan, mimisan, perdarahan gusi, maupun kejang. Pasien tidak berkeringat
dingin dan tidak menggigil, serta tidak ada riwayat berpergian 2 minggu
terakhir. Buang air kecil lancar.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan, kesadaran compos mentis, tekanan
darah 120/80 mmHg, denyut nadi 86×/menit kuat angkat, pernapasan
26×/menit, suhu axilla 38,50C, mulut berbau tidak sedap, bibir kering, rambut
kering, lidah kotor dengan tepi lidah tampak hiperemis, thorax: dbn,
abdomen:nyeri tekan epigastrium (+). Hasil pemeriksaan laboratorium
hematologi rutin menunjukkan leukosit 6,53×103/uL, trombosit 254×103/uL,
dan hematocrit 41 %. Hasil serologi – tes Widal S. typhi O 1/320.
F. DIAGNOSIS
Diagnosis kerja : Demam tifoid

G. TERAPI
Non-Medikamentosa
- Tirah baring
- Diet makanan lunak dan tidak berserat
- Menjaga higienitas personal
Medikamentosa
- IVFD Ringer Lactat 20 gtt/m
- Chloramphenicol 4×2 tab
- Paracetamol syr 4x2 cth
- Ranitidine 2×1/2 tab (75mg)

H. ALTERNATIF PEMERIKSAAN
- Kultur Salmonella
I. FOLLOW UP
Hari/Tanggal: Rabu, 18 Januari 2017
S Demam (+) hari ke-7, naik turun
Muntah (+) 1 kali, Sakit perut (-), sakit kepala (-), batuk
(-), flu (-)
BAB biasa, 1 ×
BAK lancar
O Keadaan Umum: Sakit Sedang
Kesadaran: Compos Mentis
Denyut Nadi : 88x/menit, kuat angkat
Respirasi : 22 x/menit
Suhu Tubuh : 37,6 C
Berat Badan : 32 kg
Tinggi Badan : 141 cm
Status Gizi : CDC 91% gizi baik
Paru
- Inspeksi : Ekspansi paru simetris bilateral
- Palpasi : Vocal Fremitus kanan = kiri
- Perkusi : Sonor +/+
- Auskultasi : Bronchovesicular +/+, Ronkhi -/-,
Wheezing -/-
Jantung
- Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
- Palpasi : Pulsasi ictus cordis teraba pada SIC V
arah medial linea midclavicula sinistra
- Perkusi : Batas atas:SIC II linea midclavicularis
dextra et parasternalis sinistra.
Batas kiri: SIC V linea midclavicularis
sinistra.
Batas kanan: SIC V linea parasternalis
dextra.
- Auskultasi : Bunyi jantung S1 dan S2 murni reguler,
bunyi tambahan: murmur (-), gallop (-).
Abdomen
- Inspeksi : Tampak datar, kesan normal
- Auskultasi : Peristaltik (+), kesan normal
- Perkusi : Bunyi timpani (+) diseluruh abdomen,
dullness (+) pada area hepar & lien.
- Palpasi : Nyeri tekan epigastrium (+),
Organomegaly (-)
Pemeriksaan Lain
- Lidah kotor : (+)
- Ekstremitas : Akral hangat
- Turgor : Kembali segera

Hasil Laboratorium:
DR: 17/01/2017
HB : 14,7 g/dL
WBC : 6,53 ×103/uL
RBC : 4,9 ×106/uL
PLT : 254 ×103/uL
HCT : 41 %
WIDAL: 17/01/2017
S. typhi O : 1/320
S. typhi H : 1/160
A Demam Tifoid
P - IVFD Ringer Lactat 20 gtt/m
- Chloramphenicol 4×2 tab
- Paracetamol syr 4x2 cth
- Ranitidine 2×1/2 tab (75mg)
Hari/Tanggal: Kamis, 19 Januari 2017
S Demam (-) hari ke-8, bebas demam hari ke 1
Muntah (-) Sakit perut (-), sakit kepala (+), batuk (-), flu
(-)
BAB biasa
BAK lancar
O Keadaan Umum: Sakit Sedang
Kesadaran: Compos Mentis
Denyut Nadi : 80 x/menit, kuat angkat
Respirasi : 23 x/menit
Suhu Tubuh : 36,7 C
Berat Badan : 32 kg
Tinggi Badan : 141 cm
Status Gizi : CDC 91% gizi baik
Paru
- Inspeksi : Ekspansi paru simetris bilateral
Palpasi : Vocal Fremitus kanan =
kiri
- Perkusi : Sonor +/+
- Auskultasi : Bronchovesicular +/+, Ronkhi -/-,
Wheezing -/-
Jantung
- Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
- Palpasi : Pulsasi ictus cordis teraba pada SIC V
arah medial linea midclavicula sinistra
- Perkusi : Batas atas:SIC II linea midclavicularis
dextra et parasternalis sinistra.
Batas kiri: SIC V linea midclavicularis
sinistra.
Batas kanan: SIC V linea parasternalis
dextra.
- Auskultasi : Bunyi jantung S1 dan S2 murni reguler,
bunyi tambahan: murmur (-), gallop (-).
Abdomen
- Inspeksi : Tampak datar, kesan normal
- Auskultasi : Peristaltik (+), kesan normal
- Perkusi : Bunyi timpani (+) diseluruh abdomen,
dullness (+) pada area hepar & lie
- Palpasi : Nyeri tekan (+),Organomegaly (-)
Pemeriksaan Lain
- Lidah kotor : (+)
- Ekstremitas : Akral hangat
- Turgor : Kembali segera

A Demam Tifoid
P - IVFD Ringer Lactat 20 gtt/m
- Chloramphenicol 4×2 tab
- Paracetamol syr 4x2 cth
- Ranitidine 2×1/2 tab (75mg)
Hari/Tanggal: Jumat, 20 Januari 2017
S Demam hari ke-9, Bebas demam hari ke-2
mual (-), sakit kepala (-),
Muntah (-), Sakit perut (-), sakit kepala (-), batuk (-), flu
(-)
BAB biasa
BAK lancar
O Keadaan Umum: Sakit Sedang
Kesadaran: Compos Mentis
Denyut Nadi : 84 x/menit, kuat angkat
Respirasi : 28 x/menit
Suhu Tubuh : 36,5 C
Berat Badan : 32 kg
Tinggi Badan : 141 cm
Status Gizi : CDC 91% gizi baik
Paru
- Inspeksi : Ekspansi paru simetris bilateral
- Palpasi : Vocal Fremitus kanan = kiri
- Perkusi : Sonor +/+
- Auskultasi : Bronchovesicular +/+, Ronkhi -/-,
Wheezing -/-
Jantung
- Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
- Palpasi : Pulsasi ictus cordis teraba pada SIC V
arah medial linea midclavicula sinistra
- Perkusi : Batas atas:SIC II linea midclavicularis
dextra et parasternalis sinistra.
Batas kiri: SIC V linea midclavicularis
sinistra.
Batas kanan: SIC V linea parasternalis
dextra.
- Auskultasi : Bunyi jantung S1 dan S2 murni reguler,
bunyi tambahan: murmur (-), gallop (-).
Abdomen
- Inspeksi : Tampak datar, kesan normal
- Auskultasi : Peristaltik (+), kesan normal
- Perkusi : Bunyi timpani (+) diseluruh abdomen,
dullness (+) pada area hepar & lien.
- Palpasi : Nyeri tekan (-), meteorismus (-).
Organomegaly (-)
Pemeriksaan Lain
- Lidah kotor :( )
- Ekstremitas : Akral hangat
- Turgor : Kembali segera
A Demam Tifoid
P Chloramphenicol 4×2 tab
Paracetamol syr 4x2 cth
Ranitidine 2×1/2 tab (75mg)
Boleh Pulang
BAB III
DISKUSI KASUS

Demam tifoid (tifus abdominalis, enteric fever, Eberth disease) adalah penyakit
infeksi akut pada usus halus (terutama didaerah illeosecal) dengan gejala demam
selama 7 hari atau lebih, gangguan saluran pencernaan, dan gangguan kesadaran.
Penyakit ini ditandai oleh demam berkepanjangan, ditopang dengan bakterimia tanpa
keterlibatan struktur endotelial atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus
multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuklear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus,
dan Peyer’s patch.[1]
Demam tifoid (termasuk para-tifoid) disebabkan oleh Salmonellatyphi,
SalmonellaparatyphiA,Salmonellaparatyphi B, dan SalmonellaparatyphiC. Jika
penyebabnya adalah Salmonella paratyphi, gejalanya lebih ringan dibanding dengan
yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Bakteri ini termasuk bakteri Gram negatif
yang memiliki flagel, tidak berspora, motil, berbentuk batang, berkapsul, dan bersifat
fakultatif anaerob dengan karakteristik antigen O, H, dan Vi. Pada minggu pertama
sakit, demam tifoid sangat sukar dibedakan dengan penyakit demam lainnya. Untuk
memastikan diagnosis diperlukan pemeriksaan biakan bakteri untuk konfirmasi.[5,10]

Gambar 3.1 Salmonella enterica serovar typhi[11]

Salmonellatyphi masuk ke dalam tubuh manusia melalui mulut bersamaan


dengan makanan dan minuman yang terkontaminasi oleh tinja atau urin penderita
demam tifoid dan mereka yang diketahui sebagai carrier (pembawa) demam tifoid.
Pada beberapa Negara berkembang yang masih menjadi daerah endemik demam
tifoid, kasus yang terjadi umumnya disebabkan oleh pencemaran air minum dan
sanitasi yang buruk. Setelah bakterisampai ke lambung, maka mula-mula timbul
usaha pertahanan non spesifik yang bersifat kimiawi yaitu, adanya suasana asam oleh
asam lambung dan enzim yang dihasilkannya. Ada beberapa faktor yang
menentukan apakah bakteri dapat melewati barier asam lambung, yaitu (1) jumlah
bakteri yang masuk dan (2) kondisi asam lambung.[5,6]
Gambar 3.2 Patofisiologi Demam Tifoid[12]

Masa inkubasi demam tifoid bervariasi tergantung pada besarnya jumlah


bakteri yang menginfeksi dan kekebalan/daya tahan tubuh penderita. Menurut J. Chin
masa inkubasi berlangsung antara 3 hari sampai 1 bulan, dengan rata-rata 8-14 hari.
Sedangkan menurut Jenkins dan Gillespie menyebutkan sejak masuknya S. typhi
sampai menunjukkan gejala penyakit antara 3 sampai 56 hari dengan rata-rata 10
sampai 20 hari. Cammie F Laser menyebutkan masa inkubasi berlangsung antara 3
sampai dengan 21 hari. Sedangkan pada anak periode inkubasi demam tifoid antara 5-
40 hari dengan rata-rata antara 10-14 hari.[2,10]
Untuk menimbulkan infeksi, diperlukan Salmonella typhi sebanyak 103-109
yang tertelan melalui makanan atau minuman. Keadaan asam lambung (pH <2) dapat
menghambat multiplikasi Salmonella. Sebagian bakteri yang tidak mati akan
mencapai usus halus tepatnya di ileum dan jejenum yang memiliki mekanisme
pertahanan lokal berupa motilitas dan flora normal usus. Tubuh berusaha
menghanyutkan bakteri keluar dengan usaha pertahanan tubuh non spesifik yaitu oleh
kekuatan peristaltik usus. Di samping itu adanya bakteri anaerob di usus juga akan
merintangi pertumbuhan bakteri dengan pembentukan asam lemak rantai pendek
yang akan menimbulkan suasana asam. Bila bakteri berhasil mengatasi mekanisme
pertahanan tubuh di lambung, maka bakteri akan melekat pada permukaan usus. Pada
dasasrnya, apabila respon imunitas (Imunoglobulin A) usus kurang baik, maka
bakteri akan menembus sel-sel epitel (terutama sel M), selanjutnya ke lamina propria.
Di lamina propria bakteri berkembang biak dan ditelan oleh sel-sel fagosit terutama
makrofag. Bakteri dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag, kemudian
dibawa ke Plaque’s Peyeri di ileum distal.[2,5]
Tahapan selanjutnya, bakteri akan menuju kelenjar getah bening mesenterika.
Melalui ductus torasikus, bakteri yang terdapat di dalam makrofag masuk ke dalam
sirkulasi darah mengakibatkan bakteremia pertama yang tidak menimbulkan gejala.
Kemudian, menyebar ke organ bakteriakan masuk kedalam organ–organ system
retikuloendotelial (RES) terutama di hepar dan limpa sehingga organ tersebut akan
membesar disertai nyeri pada perabaan.Di organ-organ ini bakteri meninggalkan sel-
sel fagosit dan berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid, setelah melalui waktu
tertentu (periode inkubasi) yang lamanya ditentukan oleh jumlah dan virulensi kuman
serta respon imun penjamu, maka S. typhi akan keluar dari habitatnya. Dari sini
bakteri akan masuk ke dalam sirkulasi darah, sehingga terjadi bakteremia kedua yang
simptomatis (menimbulkan gejala klinis). Disamping itu bakteri yang ada didalam
hepar akan masuk ke dalam kandung empedu dan berkembang biak disana, lalu
bakteri tersebut bersama dengan asam empedu dikeluarkan dan masuk ke dalam usus
halus. Sebagian bakteri ini akan dikeluarkan melalui feses dan sebagian lagi bakteri
akan menginvasi epitel usus kembali dan menimbulkan tukak pada mukosa diatas
plaque peyeri yang dapat mengakibatkan terjadinya perdarahan dan perforasi usus
yang menimbulkan gejala peritonitis.[1]
Pada masa bakteremiabakteri mengeluarkan endotoksin yang susunan
kimianya sama dengan somatic antigen (lipopolisakarida). Endotoksin sangat
berperan membantu proses radang lokal dimana bakteri ini berkembang biak yaitu
merangsang sintesa dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang
meradang. Selanjutnya zat pirogen yang beredar di darah mempengaruhi pusat
termoregulator di hypothalamus yang mengakibatkan terjadinya demam. Sedangkan
gejala pada saluran pencernaan disebabkan oleh kelainan pada usus.[1,4,5]
Semua pasien demam tifoid selalu menderita demam pada awal penyakit.
Penampilan demam pada kasus demam tifoid mempunyai istilah khusus yaitu step-
ladder temperature chart yang ditandai dengan demam timbul insidious, kemudian
naik secara bertahap tiap harinya dan mencapai titik tertinggi pada akhir minggu
pertama, setelah itu demam akan bertahan tinggi dan pada minggu ke-4 demam terus
turun secara lisis, kecuali apabila terjadi fokus infeksi seperti kolesistitis, abses
jaringan lunak, maka demam akan menetap. Pada kasus demam sudah tinggi, demam
tifoid dapat disertai gejala sistem saraf pusat, seperti kesadaran berkabut atau delirum
atau obtundasi, atau penurunan kesadaran mulai apatis sampai koma.[2] Gejala-
gejala klinis yang biasa ditemukan pada demam tifoid, yaitu :[5]
1. Demam
Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat
febris remittent dan tidak terlalu tinggi. Pada minggu I, suhu tubuh cenderung
meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat pada
sore hari dan malam hari. Dalam minggu II, penderita terus berada dalam
keadaan demam. Dalam minggu III suhu berangsur-angsur turun dan normal
kembali pada akhir minggu III.[5]
2. Gangguan saluran cerna
Pada mulut; nafas berbau tidak sedap, bibir kering, dan pecah-pecah
(rhagaden), lidah ditutupi oleh selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan
tepinya kemerahan. Pada abdomen dapat dijumpai adanya kembung
(meteorismus). Hepar dan lien yang membesar disertai nyeri pada perabaan.
Biasanya terdapat juga konstipasi pada anak yang lebih tua dan remaja, akan
tetapi dapat juga normal bahkan terjadi diare pada anak yang lebih muda.[5]
3. Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walau tidak berapa dalam, dapat
berupa apatis sampai somnolen.[5]
Gejala sistemik lain yang menyertai timbulnya demam adalah nyeri kepala,
malaise, anoreksia, nausea, myalgia, nyeri perut dan radang tenggorokan, gejala
gastrointestinal bervariasi, pasien dapat mengeluhkan diare, obstipasi, atau obstipasi
kemudian disusul episode diare. Pada sebagian pasien, lidah tampak kotor dengan
putih ditengah sedangkan tepi dan ujungnya tampak kemerahan. Adapun, bradikardi
relatif jarang dijumpai pada anak.[2]
Diagnosis demam tifoid pada kasus ini ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.Berdasarkan hasil
anamnesis,ditemukan febris, dirasakan sejak ± 6 hari sebelum masuk RS, febris
continuous/remittent, memberat pada sore hingga malam hari, turun dengan antipiretik.
Disertai epigastricpain, cephalgia, malaise, anorexia, nausea, dan vomiting 5 kali. Konstipasi
sejak ± 4 hari sebelum masuk RS. Pada pemeriksaan fisik didapatkan, kesadaran
compos mentis, tekanan darah 120/80 mmHg, denyut nadi 86×/menit kuat angkat, 26
×/menit, suhu axilla 38,50C, mulut berbau tidak sedap, bibir kering, rambut kering, coated
tongue dengan tepi lidah tampak hiperemis,abdomen: nyeri tekan epigastrium (+). Temuan-
temuan ini telah sesuai dengan teori menyangkut gambaran klinis demam tifoid yang
telah diuraikan sebelumnya.
Gambaran klinis pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan
bahkan asimtomatik. Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis
bila hanya berdasarkan gejala klinis. Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis
demam tifoid perlu ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan.
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid
meliputi pemeriksaan darah tepi, bakteriologis dan serologis, serta pemeriksaan
kuman secara molekuler.[1,3,5,13]
Pada kasus ini, hasil pemeriksaan laboratorium hematologi rutin menunjukkan
leukositosis yaitu 6,53×103/uL, trombosit normal 254×103/uL, hematocrit normal
yaitu 41%, Hemoglobin normal 14,7 g/dl, begitupun Eritrosit normal 4,9 ×106/uL.
Hasil serologi – tes Widal S. typhi O 1/320. Teorinya, pada penderita demam tifoid
dapat dijumpai anemia, jumlah leukosit normal, bisa menurun atau meningkat,
mungkin didapatkan trombositopenia dan hitung jenis biasanya normal atau sedikit
bergeser ke kiri, mungkin didapatkan aneosinofilia dan limfositosis relatif, terutama
pada fase lanjut.Penelitian oleh beberapa ilmuwan mendapatkan bahwa hitung jumlah
dan jenis leukosit serta laju endap darah tidak mempunyai nilai sensitivitas,
spesifisitas dan nilai ramal yang cukup tinggi untuk dipakai dalam membedakan
antara penderita demam tifoid atau bukan, akan tetapi adanya leukopenia dan
limfositosis relatif menjadi dugaan kuat diagnosis demam tifoid.[14]
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi
dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau dari rose
spots. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah
ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada
stadium berikutnya di dalam urine dan feses. Hasil biakan yang positif memastikan
demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena
hasilnya tergantung pada beberapa faktor. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah
positif 40-80% atau 70-90% dari penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-
50% pada akhir minggu ketiga. Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita
yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume darah dan
rasio darah dengan media kultur yang dipakai.Bakteri dalam feses ditemukan
meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga minggu ketiga (75%) dan turun
secara perlahan. Biakan urine positif setelah minggu pertama. Biakan sumsum tulang
merupakan metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan
hasil positif didapat pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan
penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini terutama bermanfaat
untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan terapi atau dengan kultur darah
negatif sebelumnya. Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai
sensitivitas yang rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan
(5-7 hari) serta peralatan yang lebih canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak
praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai metode diagnosis baku dalam pelayanan
penderita.[14]
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid
dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi maupun
mendeteksi antigen itu sendiri. Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada
demam tifoid ini meliputi : (1) uji Widal; (2) tes TUBEX ®; (3) metode enzyme
immunoassay (EIA); (4) metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA); dan
(5) pemeriksaan dipstik.[14]
Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan sejak
tahun 1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara antibodi aglutinin
dalam serum penderita yang telah mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap
antigen somatik (O) dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama
sehingga terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan
aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum. Penelitian pada anak oleh Choo
dkk (1990) mendapatkan sensitivitas dan spesifisitas masing-masing sebesar 89%
pada titer O atau H >1/40 dengan nilai prediksi positif sebesar 34.2% dan nilai
prediksi negatif sebesar 99.2%.Beberapa penelitian pada kasus demam tifoid anak
dengan hasil biakan positif, ternyata hanya didapatkan sensitivitas uji Widal sebesar
64-74% dan spesifisitas sebesar 76-83%.Interpretasi dari uji Widal ini harus
memperhatikan beberapa faktor antara lain sensitivitas, spesifisitas, stadium penyakit;
faktor penderita seperti status imunitas dan status gizi yang dapat mempengaruhi
pembentukan antibodi; gambaran imunologis dari masyarakat setempat (daerah
endemis atau non-endemis); faktor antigen; teknik serta reagen yang digunakan.[14]
Penatalaksaan penderita dengan demam tifoid yang secara garis besar ada 3
bagian yaitu:[5]
a) Perawatan
b) Diet
c) Medikamentosa
Penderita demam tifoid perlu dirawat di rumah sakit untuk isolasi, observasi
serta pengobatan. Penderita harus istirahat 5-7 hari bebas panas, tetapi tidak harus
tirah baring sempurna. Mobilisasi dilakukan sewajarnya, sesuai dengan situasi dan
kondisi penderita. Pada penderita dengan kesadaran yang menurun harus diobservasi
agar tidak terjadi aspirasi serta tanda-tanda komplikasi demam tifoid yang lain
termasuk buang air kecil dan buang air besar perlu mendapat perhatian.[1,4]
Dahulu penderita diberi makan diet yang terdiri dari bubur saring, kemudian
bubur kasar dan akhirnya nasi sesuai dengan tingkat kekambuhan penderita. Banyak
penderita tidak senang diet demikian, karena tidak sesuai dengan selera dan ini
mengakibatkan keadaan umum dan gizi penderita semakin mundur dan masa
penyembuhan ini menjadi makin lama.[1,5]
Beberapa penelitian menganjurkan makanan padat dini yang wajar sesuai
dengan keadaan penderita dengan memperhatikan segi kualitas maupun kuantitas
ternyata dapat diberikan dengan aman. Kualitas makanan disesuaikan kebutuhan baik
kalori, protein, elektrolit, vitamin maupun mineralnya serta diusahakan makan yang
rendah/bebas selulose, menghindari makan iritatif sifatnya. Pada penderita dengan
gangguan kesadaran maka pemasukan makanan harus lebih diperhatikan.[1,5]
Obat-obat antimikroba yang sering digunakan antara lain, Kloramfenikol,
Tiamfenikol, Cotrimoxazol, Ampisilin, Amoksisilin, Seftriakson, Sefiksim. Berikut
pilihan terapi antibiotic yang diberikan untuk demam tifoid: [1,8]
Komplikasi demam tifoid dikelompokkan adalah komplikasi neuropsikiatrik;
gastrointestinal (perdarahan dan perforasi usus); sepsis dan syok sepsis; kelainan
hematologik seperti anemia hemolitik dan koagulopati intravaskular diseminata
(KID); kelainan jantung seperti miokarditis dan endokarditis; serta infeksi lain seperti
meningitis, pneumonia, hepatitis, nefritis, kolesistitis, artritis septik dan sebagainya.
Komplikasi dapat terjadi baik pada saat pertama dirawat atau terjadi selama
perawatan. Komplikasi yang secara nyata ditimbulkan oleh sebab lain seperti alergi
obat dan akibat prosedur tindakan yang diberikan tidak dicatat sebagai komplikasi
demam tifoid.[15]
Penyulit pada demam tifoid, dapat dibagi menjadi:[16]
- Intraintestinal: perforasi usus atau perdarahan saluran cerna: suhu menurun,
nyeri abdomen, muntah, nyeri tekan pada palpasi, bising usus menurun sampai
menghilang, defance musculaire positif, dan pekak hati menghilang.
- Ekstraintestinal: tifoid ensefalopati, hepatitis tifosa, meningitis, pneumonia,
syok septik, pielonefritis, endocarditis, osteomyelitis, dll.
Pemantauan terapi dapat dilakukan dengan mengevaluasi demam melalui
monitor suhu, apabila pada hari ke-4-5 setelah pengobatan demam tidak reda, maka
harus segera kembali dievaluasi adakah komplikasi, sumber infeksi lain, resistensi S.
typhi terhadap antibiotik, atau kemungkinan salah menegakkan diagnosis. Pasien
dapat dipulangkan apabila tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik, nafsu makan
membaik, klinis perbaikan, dan tidak dijumpai komplikasi. Pengobatan dapat
dilanjutkan di rumah.[16]
Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan
kesehatan sebelumnya, dan ada atau tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan
terapi antibiotik yang adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara berkembang, angka
mortalitasnya >10%, mortalitas pada penderita yang dirawat 6%, biasanya karena
keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan yang meningkatkan
kemungkinan komplikasi dan waktu pemulihan.[1,5]
DAFTAR PUSTAKA

1. Sidabutar S, Satari HI. Pilihan Terapi Empiris Demam Tifoid pada Anak:
Kloramfenikol atau Seftriakson?. Sari Pediatri. 2010; 11 (6): 434-439.
2. Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak
Infeksi Dan Penyakit Tropis. Edisi 1. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Hal 367-75.
3. Rampengan TH. Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak. Edisi 2. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC; 2008. Hal 46-62.
4. Pusponegoro HD, dkk. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Edisi 1.
Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2004. Hal91-4.
5. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson Textbook of
Pediatrics. 18th ed. Philadelphia: 2007. Hal. 1186-1190.
6. Bambang WT. Kajian Faktor Pengaruh Terhadap Penyakit Demam Tifoid pada
Balita Indonesia. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan. 2009; 12 (4).
7. Syamsul A. Hubungan Tingkat Demam dengan Hasil Pemeriksaan Hematologi
pada Penderita Demam Tifoid. Lecturer of Histology Departement Medical
Faculty Lambung MangkuratUniversity.
8. Hadinegoro SR, Kadim M, Devaera Y, Idris NS, Ambarsari CG. Update
Management of Infectious Diseases and Gastrointestinal Disorders. Jakarta:
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM; 2012.
9. Widagdo. Masalah dan Tatalaksana Penyakit Anak dengan Demam. Jakarta:
Sagung Seto; 2011.
10. Lubis R. Faktor Resiko Kejadian Penyakit Demam Tifoid Penderita yang
Dirawat di RSUD dr. Soetomo Surabaya. Tesis; 2008.
11. Tumbelaka AR. Typhoid Fever in Children. Division of Infectious Diseases &
Tropical Pediatrics, Department of Child HealthFMUI – Cipto Mangunkusumo
General Hospital. Jakarta: 2010.
12. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata K M, Setiati S. In: Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 5. Jilid III. Jakarta: InternaPublishing; 2010.
13. Tumbelaka AR. Tatalaksana Terkini Demam Tifoid Pada Anak. Simposium
Infeksi-Pediatri Tropik dan Gawat Darurat pada Anak. IDAI Cabang Jawa
Timur. Malang: IDAI Jawa Timur; 2005.
14. Prasetyo RV, Ismoedijanto. Metode Diagnostik Demam Tifoid Pada Anak.
Divisi Tropik dan Penyakit Infeksi Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK
UNAIR/RSU Dr. Soetomo Surabaya. 2005; 1-11.
15. Setiabudi D, Madiapermana K. Demam Tifoid pada Anak Usia di bawah 5
Tahun di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS Hasan Sadikin, Bandung. Sari
Pediatri. 2009; 7 (1): 9-14.
16. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati
ED (editor). Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta:
Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2009.

Anda mungkin juga menyukai