Anda di halaman 1dari 3

BAB 14 : Human Resource Management, Equality, and Diversity

(Manajemen SDM, Kesetaraan, dan Keberagaman)

Pada bab ini, akan membahas mengenai isu kesetaraan dan keberagaman dalam
praktik HRM. Hal ini diawali dengan adanya latar belakang yang sama menuju kesetaraan
kemudian menuju keberagaman bila ada perbedaan. Bab ini membahas kesenjangan antara
retorika dan realita yang ada pada praktiknya, melihat apa yang terbaik yang seharusnya
dilakukan, dan mencari siapa yang memiliki tanggung jawab dalam keragaman pada
organisasi yang sebagian besar dilihat dari persepektif Anglo-Amerika.

DARI KESETARAAN MENUJU KERAGAMAN


Terminologi mengenai kesetaraan menuju keragaman sudah diperdebatkan lebih
dari 20 tahun yang lalu. Namun saat ini, istilah keragaman atau diversity digunakan di
sebagian besar dunia industry seperi dalam “managing diversity”, “diversity management”
atau “diversity and inclusion”. Hal-hal penting yang terdapat dari pendekatan keragaman
yaitu pertimbangan individu yang lebih luas dan perbedaan berbasis kelompok sosial, kasus
bisnis, isu keragaman adalah tanggung jawab organisasi bukan hanya HR.

PENTINGNYA KESETARAAN DAN KERAGAMAN DALAM HRM


Fungsi SDM adalaah tempat tanggung jawab dimana kesetaraan dan keragaman
Melihat kebijakan dan praktik keragaman dalam bidang HRM penting karena fungsi SDM
adalah tempat tanggung jawab untuk kebijakan kesetaraan dan keragaman secara normal
berbeda. Terminologi apa pun yang digunakan dan terlepas dari berbagai kritik, kesetaraan
dan/atau masalah keragaman tanpa diragukan lagi menjadi semakin penting dalam bidang
HRM selama 30 tahun terakhir. Berbeda dengan pertengahan 1990-an, sebagian besar HRM
berkualitas dan panduan praktisi sekarang memiliki setidaknya satu bab tentang isu-isu
kesetaraan atau keragaman. keragaman telah menjadi bagian penting dari praktek HRM
dan bisa dibilang meningkat di profil. Sekilas tentang apapun statistik demografis atau survei
tenaga kerja di seluruh dunia menunjukkan bahwa meskipun bertahun-tahun undang-
undang anti-diskriminasi dan tindakan kesetaraan, masih banyak pekerjaan yang harus
dilakukan untuk memperbaiki situasi perempuan, kelompok etnis minoritas, disabilitas,
lesbian dan gay, dan lebih tua dan orang yang lebih muda di tempat kerja. Namun, terlepas
dari retorika kesetaraan dan keragaman menjadi pusat kebijakan HRM, saat dipraktekan
tidak selalu sesuai. Termotivasi oleh rasa frustrasi pada kemajuan yang terbatas, masalah
kesetaraan dan keragaman telah menjadi bagian dari kritik yang lebih luas terhadap HRM.
Menunjuk pada fakta bahwa isu kesetaraan dan keragaman masih sering absen dari diskusi
HRM di mana teori, kebijakan, dan praktik cenderung menasumsikan karyawan universal
generic.

APA ARTI KERAGAMAN DALAM TEORI HRM, KEBIJAKAN, DAN PRAKTEK?


Dalam hal ini, melihat sejumlah fitur utama HRM dan menegaskan bahwa model
HRM yang 'lunak' sebenarnya bisa menjadi masalah bagi perempuan dan kesetaraan
gender. Beberapa argumennya akan ditarik dalam bab ini. Perbedaan karakteristik
memberikan suatu kekayaan lingkungan bagi organisasi karena dapat membuat sudut
pandang dan produktivitas yang lebih besar tetapi tidak semua memiliki hasil yang positif.

KETIMPANGAN YANG TERDAPAT DALAM PRAKTEK DAN STRUKTUR HRM


Bagian dari kritik akademis HRM juga berkaitan dengan cara-cara di mana struktur
dan praktik HRM dapat merugikan untuk kemajuan kesetaraan dan keragaman dalam
organisasi. Berkenaan dengan Tindakan tentang gender, Dickens (1998a) melihat sebuah
fitur utama HRM (misalnya 'komitmen', 'fleksibilitas', 'penilaian seleksi' dan 'hadiah') dan
menegaskan bahwa model 'lunak' dari HRM mungkin sebenarnya lebih bermasalah untuk
perempuan dan kesetaraan gender daripada umumnya diakui. Dengan demikian, dia
berpendapat bahwa konsep 'komitmen' itu sendiri berjenis kelamin, sedangkan persyaratan
dalam 'fleksibilitas' untuk fleksibel secara numerik dan fungsional karyawan sebenarnya
dapat memperkuat kerugian yang dihadapi oleh perempuan. Studi Benschop (2001)
mengidentifikasi cara di mana strategi HRM dan aktivitas memediasi efek kinerja dari
keragaman, di mana HRM yang sangat tradisional pendekatan berarti bahwa setiap potensi
yang menguntungkan efek keragaman terlewatkan. Secara keseluruhan, Dickens
menyatakan: 'mereka yang berada dalam organisasi dengan komitmen terhadap kesetaraan
perlu' mengembangkan kepekaan terhadap cara di mana tampaknya teknik HRM netral
gender dapat berkontribusi pada proses gender'. Secara keseluruhan, mengingat kesulitan
sebenarnya mengelola keragaman dalam praktiknya, tidak begitu
mengejutkan bahwa dalam banyak kasus ada besar kesenjangan antara retorika kebijakan
keragaman dan praktik kebhinekaan yang pada kenyataannya cenderung untuk memiliki
lebih banyak kesinambungan dengan tradisional pendekatan kesetaraan. Komponen inti
kebijakan kesetaraan dan keragaman di tempat kerja masih mencerminkan fokus pada
kelompok sosial yang dilindungi dalam undang-undang anti-diskriminasi. Mengingat sulitnya
membuat kebijakan berdasarkan perbedaan individu, mungkin diharapkan bahwa kebijakan
keragaman biasanya ditargetkan pada sosial kelompok, yaitu perempuan, kulit hitam dan
minoritas orang etnis dan orang dengan disabilitas. Dalam hal ini, berkenaan dengan
pertanyaan tentang apa arti keragaman bagi HRM, tergoda untuk menjawab itu artinya
sangat sedikit dalam praktek, kecuali untuk peningkatan kebingungan bagi praktisi.
Kenyataannya, pengelolaan keragaman di organisasi masih menimbulkan masalah dan
seringkali terjebak pada konflik yang membuat orang tidak menghargai keragaman serta
tidak adanya cara dari organisasi untuk memanfaatkannya

SIAPA YANG BERTANGGUNG JAWAB PADA KERAGAMAN DALAM ORGANISASI


Dukungan yang lebih luas untuk kebijakan kesetaraan dan keragaman ini terlihat
sangat penting untuk hasil kesetaraan yang efektif, dan, sejalan dengan retorika HRM,
kebijakan akan perlu menjadi bagian dari sistem yang terintegrasi dan koheren. Kossek et al.
(2003) penelitian mendukung kebutuhan untuk terintegrasi secara horizontal mendukung
kebijakan untuk inisiatif keragaman. Di dalam studi mereka di AS, mereka menemukan
bahwa tujuannya meningkatkan keragaman tenaga kerja melalui kebijakan perekrutan
dapat memiliki konsekuensi negative untuk kohesi kelompok/tim, dan dapat mengarah pada
merugikan kelompok 'minoritas' yang direkrut (apakah ini perempuan, pekerja etnis kulit
hitam dan minoritas, pekerja cacat, dll.) jika kebijakan perekrutan tidak didukung oleh
kebijakan SDM tambahan. Kebijakan seperti itu akan dibutuhkan untuk memastikan bahwa
jumlah individu 'minoritas' yang cukup direkrut untuk menghindari isolasi dan bahwa
mereka diberi sumber daya (pelatihan, fungsional, informasi) untuk memungkinkan mereka
memasuki kelompok kerja di pijakan yang setara. Penelitian di Irlandia oleh Armstrong dkk.
(2010) menemukan bahwa itu adalah kombinasi HRM 'baik' dalam bentuk sistem kerja
berkinerja tinggi (terdiri dari serangkaian praktik SDM 'terbaik'), dengan sistem manajemen
keragaman dan kesetaraan (terdiri dari pelatihan keragaman, keragaman formal kebijakan
dan pemantauan tenaga kerja), yang mengarah pada keuntungan kinerja (produktivitas
buruh tinggi dan inovasi tenaga kerja).
Dalam beberapa hal, jajaran manager memiliki peran dalam kebijakan keragaman
implementasi, terlibat dalam aktivitas SDM sehari-hari dengan signifikansi keragaman yang
jelas seperti rekrutmen dan seleksi. Temuan menarik dalam data dari 2004 Workplace
Employment Relations Survey yaitu bahwa masalah kesetaraan adalah area yang dianggap
manager sebagai mereka memiliki sedikit otonomi. Situasi ini diubah dalam kumpulan data
2011, dengan kesetaraan dan keragaman menjadi daerah yang mengalami peningkatan
otonomi yang signifikan secara statistik. Bagaimanapun, 57% manager dalam suatu
perusahaan akan berkonsultasi dengan manager di tempat lain sebelum mengambil
tindakan atas masalah keragaman.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh pakar global, Michael Page di tahun
2018 menunjukkan bahwa dalam memperkerjakan karyawan setiap organisasi di Indonesia
cenderung memberikan prioritas perbedaan pada gender, agama, ras dan etnis
(www.michaelpage.co.id). Hasil itu didukung dengan penelitian Foley et al., (2015) yang
menjelaskan organisasi di China cenderung merekrut karyawan dengan berpatokan pada
aspek gender. Sedangkan menurut Stainback et al., (2018) organisasi di Amerika Serikat
mempekerjakan karyawan dengan selalu mempertimbangkan aspek ras dan etnis yang
dimiliki. Selain itu, perkembangan zaman, konsep dan kebijakan organisasi terus
berkembang dan berbeda dikarenakan isu-isu keragaman seperti gender, umur, kesempatan
kerja, kemampuan, ras dan etnis di setiap organisasi dan negara berbeda (Ahonen & Tienari,
2009). organisasi yang mampu mengelola keragaman dengan baik akan menciptakan
karyawan yang memiliki komitmen, kepuasan, kinerja tinggi dan mampu membuat
organisasi mencapai keunggulan. Keragaman karyawan dalam organisasi memberikan
kontribusi secara langsung terhadap inovasi. Keragaman tenaga kerja adalah sebuah
kekuatan bagi organisasi meskipun banyak orang menilai dari kasta, agama, dan lain-lain
sebagai suatu konflik tetapi jika dikelola dengan baik maka akan meningkatkan produktivitas
organisasi. Bentuk implementasi dari manajemen keragaman di dalam organisasi dapat
dilakukan dengan menyediakan fasilitas kerja dan keagamaan untuk mendukung kegiatan
karyawan, memberi cuti, pemberian jaminan kesehatan dan memberikan wadah aspirasi
melalui serikat pekerja dalam perusahaan. Bentuk implementasi manajemen keragaman
bisa dilakukan dengan memberikan kepercayaan penuh kepada karyawan minoritas dalam
proses melakukan kegiatan organisasi.

Anda mungkin juga menyukai