Anda di halaman 1dari 13

TERAPI PSIKOTIK

PSIKIATRI KEPANITERAAN KLINIK KEDOKTERAN JIWA


RSJD Dr. AMINO GONDOHUTOMO
PROVINSI JAWA TENGAH

Pembimbing Klinis : dr. Rihadini,Sp.KJ


dr. Sri Woroasih, Sp.KJ
dr. Hesti Anggriani, Sp.KJ, MM
dr. Linda Kartika Sari, Sp.KJ
dr. Siti Badriyah, Sp.KJ,M.Kes
dr. Muflihatunnaimah, M.Kes, Sp.KJ
dr. Witrie Sutaty MR, Sp.KJ

Institusi Pendidikan : Universitas Abdurrab

Nama : Zafitri Asrul


NIM : 2011901055
Periode Kepaniteraan Klinik : 08 November 2021 – 04 Desember 2021
TINJAUAN PUSTAKA

Sinonim : NEUROLEPTCIS, MAJOR TRANQUILLIZERS, ATARACTIS


ANTIPSYCHOTICS, ANTIPSYCHOTIC DRUGS, NEUROLEPTIKA
Obat Acuan : Cholrpomazine (CPZ)

Tabel 1. Sediaan Obat Anti-Psikosis dan Dosis Anjuran (yang Beredar di Indonesia
Menurut MIMS Vol 7, 2006)
1. Penggolongan
1. Obat anti psikosis tipikal
a. Phenothiazine
 Rantai aliphatic : Clorpromazine (Largactil)
 Rantai piperazin : Perphenazine (Trilafon)
Trifluoperazine (Stelazine)
Fluphenazine (Anatensol)
 Rantai piperidine : Thioridazine (Melleril)
b. Butyrophenon : Haloperidol (Haldol, Serenace,dll)
c. Diphenyl-butyl-piperidine : Piomozide (Orap)

2. Obat anti psikosis atipikal


a. Benzamide : Sulpride (Dogmatil)
b. Dibenzodiazepin : Clozapine (Clozaril)
Olanzapine (Zyprexa)
Quetiapine (Seroquel)
Zetopine (Lodopin)
c. Benzisoxazol : Resperidon (Risperdal)
Aripiprazole (Abilify)
2. Indikasi Penggunaan
Gejala Sasaran (target syndrome) : Sindrom Psikosis
Butir-butir diagnostik Sindrom Psikosis
 Hendaya berat dalam kemampuan daya menilai realitas (reality testing
ability), bermanifestasi dalam gejala : kesadaran diri (awareness) yang
terganggu, daya nilai norma sosial (judgement) terganggu, dan daya tilikan
diri (insight) terganggu
 Hendaya berat dalam fungsi-fungsi mental, bermanifestasi dalam gejala
POSITIF : gangguan asosiasi pikiran (inkohherensi), isi pikiran yang tidak
wajar (waham), gangguan persepsi (halusinasi), gangguan perasaan (tidak
sesuai dengan situasi), perilaku yang aneh atau tidak terkendali
(disorganized), dan gejala NEGATIF : gangguan perasaan (afek tumpul,
respon emosi minimal), gangguan hubungan sosial (menarik diri, pasif,
apatis), gangguan proses pikir (lambat, terhambat), isi pikiran yang
stereotip dan tidak ada insiatif, perilaku yang sangat terbatas dan cenderung
menyendiri (abulia).
 Hendaya berat dalam fungsi kehidupan sehari-hari, bermanifestasi dalam
gejala : tidak mampu bekerja, menjalin hubungan sosial, dan melakukan
kegiatan rutin
Sindrom Psikosis dapat terjadi pada :
 Sindrom Psikosis Fungsional : Skizofrenia, Psikosis paranoid, Psikosis
Afektir, Psikosis Reaktif singkat dll
 Sindrom Psikosis organic : Sindrom Delirium, Dementia, Intoksikasi
alkohol, dll
3. Mekanisme Kerja
Hipotesis : Sindrom Psikosis terjadi berkaitan dengan aktivitas
neurotransmitter Dopamine yang meningkat. (Hiperaktivitas sistem dopaminergik
sentral).
Mekanisme kerja Obat anti-psikosis tipikal adalah memblokade Dopamine
pada reseptor pasca-sinaptik neuron di Otak, khususnya di sistem limbik dan sistem
ekstrapiramidal (Dopamine D2 receptor antagonists), sehingga efektif untuk gejala
POSITIF. Sedangkan Obat anti-psikosis atipikal disamping berafinitas terhadap
“Dopamine D2 Receptors”, juga terhadap “Serotonin 5 HT2 Receptors” (Serotonin-
dopamine antagonists), sehingga efektif juga untuk gejala NEGATIF.
4. Profil Efek Samping
Efek samping obat anti-psikosis dapat berupa :
 Sedasi dan inhibisi psikomotor (rasa mengantuk, kewaspadaan berkurang,
kinerja psikomotor menurun, kemampuan kognitif menurun)
 Gangguan otonomik (hipotensi, antikolinergik/parasimpatolitik: mulut
kering, kesulitan miksi & defekasi, hidung tersumbat, mata kabur, tekanan
intraokuler meninggi, gangguan irama jantung)
 Gangguan ekstrapiramidal (distonia akut, akathisia, sindrom parkinson :
tremor, bradikinesia, rigiditas).
 Gangguan endokrin (amenorrhoe, gynaecomastia), metabolik (Jaundice),
hematologik (agranulocytosis), biasanya pada pemakaian jangka panjang.
Efek samping dapat juga “irreversible” : tardive dyskinesia (gerakan berulang
involunter pada : lidah, wajah, mulut/rahang, dan anggota gerak, dimana pada waktu
tidur gejala tersebut menghilang). Biasanya terjadi pada pemakaian jangka panjang
(terapi pemeliharaan) dan pada pasien usia lanjut. Efek samping ini tidak berkaitan
dengan dosis obat anti-psikosis (non dose related).
Bila terjadi gejala tersebut : obat anti-psikosis perlahan-lahan dihentikan, bisa
dicoba pemberian obat Reserpine 2,5 mg/h, (dopamine depleting agent), pemberian
obat antiparkinson atau L-dopa dapat memperburuk keadaan. Obat pengganti anti-
psikosis yang paling baik adalah Clozapine 50-100 mg/h.
Pada penggunaan obat anti-psikosis jangka panjang, secara periodik harus
dilakukan pemeriksaan laboratorium : darah rutin, urine lengkap, fungsi hati, fungsi
ginjal, untuk deteksi dini perubahan akibat efek samping obat.
Obat anti-psikosis hampir tidak pernah menimbulkan kematian akibat
overdosis atau untuk bunuh diri. Namun demikian untuk menghindari akibat yang
kurang menguntungkan sebaiknya dilakukan “lavage lambung” bila obat belum lama
dimakan.
5. Interaksi Obat
 Antipsikosis + Antipsikosis lain = potensial efek samping obat dan tidak ada
bukti lebih efektif (tidak ada efek sinergis antara 2 obat anti-psikosis).
Misalnya, Chlorpromazine + Reserpine potensial efek hipotensif
 Antipsikosis + Antidepresan trisiklik efek samping antikolinergik meningkat
(hati-hati pada pasien dengan hipertrofi prostat, glaukoma, ileus, penyakit
jantung).
 Antipsikosis + ECT= dianjurkan tidak memberikan obat anti-psikosis pada
pagi hari sebelum dilakukan ECT (Electro Convulsive Therapy) oleh karena
angka mortalitas yang tinggi.
 Antipsikosis + antikonvulsan = ambang konvulsi menurun, kemungkinan
serangan kejang meningkat, oleh karena itu dosis antikonvulsan harus lebih
besar (dose-related). Yang paling minimal menurunkan ambang kejang adalah
obat anti-psikosis Haloperidol.
 Antipsikosis + Antasida = efektivitas obat antipsikosis menurun disebabkan
gangguan absorbsi.
6. Cara Penggunaan
Pemilihan Obat
 Pada dasarnya semua obat anti-psikosis mempunyai efek primer (efek
klinis) yang sama pada dosis ekivalen, perbedaan terutama pada efek
sekunder (efek samping : sedasi, otonomik, ekstrapiramidal).
 Pemilihan jenis obat anti-psikosis mempertimbangkan gejala psikosis yang
dominan dan efek samping obat. Pergantian obat disesuaikan dengan dosis
ekivalen.
Misalnya pada contoh sebagai berikut:
Chlorpromazine dan Thiridazine yang efek samping sedatif kuat terutama
digunakan terhadap Sindrom Psikosis dengan gejala dominan : gaduh gelisah,
hiperaktif, sulit tidur, kekacauan pikiran, perasaan dan perilaku, dll. Sedangkan
Trifluoperazine, Fluphenazine, dan Haloperidol yang efek samping sedatif
lemah digunakan terhadap Sindrom Psikosis dengan gejala dominan : apatis,
menarik diri, perasaan tumpul, kehilangan minat dan insiatif, hipoaktif,
waham, halusinasi, dll. Tetapi obat yang terakhir ini paling mudah
menyebabkan timbulnya gejala ekstrapiramidal pada pasien yang rentan
terhadap efek samping tersebut perlu digantikan dengan Thioridazine (dosis
ekivalen) dimana efek samping ekstrapiramidalnya sangat ringan. Untuk
pasien yang sampai timbul “tardive dyskinesia” obat anti psikosis yang tanpa
efek samping ekstrapiramidal adalah Clozapine.
 Apabila obat anti-psikosis tertentu tidak memberikan respon klinis dalam
dosis yang sudah optimal setelah jangka waktu yang memadai, dapat
diganti dengan obat anti-psiosis lain (sebaiknya dari golongan yang tidak
sama), dengan dosis ekivalen-nya, dimana profil efek samping belum tentu
sama.
 Apabila dalam riwayat penggunaan obat anti-psikosis sebelumnya, jenis
obat anti-psikosis tertentu yang sudah terbukti efektif dan ditolelir dengan
baik efek samping-nya, dapat dipilih kembali untuk pemakaian sekarang.
 Apabila gejala negatif (afek tumpul, penarikan diri, hipobulia, isi pikiran
miskin) lebih menonjol dari gejala positif (waham, halusinasi, bicara
kacau, perilaku tak terkendali) pada pasien Skizofrenia, pilihan obat
antipsikosis –atipikal perlu dipertimbangkan. Khususnya pada penderita
Skizofrenia yang tidak dapat mentolelir efek samping ekstrapiramidal atau
mempunyai risiko medik dengan adanya gejala ekstrapiramidal
(neuroleptic induced medical complication).
7. Pengaturan Dosis
Dalam pengaturan dosis perlu mempertimbangkan :
 Onset efek primer (efek klinis) : sekitar 2-4 minggu
Onset efek sekunder (efek samping) : sekitar 2-6 jam
 Waktu paruh : 12 – 14 jam (pemberian obat 1-2
x/hari)
 Dosis pagi dan malam dapat berbeda untuk mengurangi dampak dari efek
samping (dosis pagi kecil, dosis malam lebih besar) sehingga tidak begitu
mengganggu kualitas hidup pasien.
Mulai dengan “dosis awal” sesuai dengan “dosis anjuran”, dinaikkan setiap 2-3
hari  sampai mencapai “dosis efektif” (mulai timbul peredaran Sindrom Psikosis) 
dievaluasi setiap 2 minggu dan bila perlu dinaikkan  “dosis optimal” 
dipertahankan sekitar 8-12 minggu (stabilisasi)  diturunkan setiap 2 minggu 
“dosis maintenance”  dipertahankan 6 bulan sampai 2 tahun (diselingi “drug
holiday” 1-2 hari/minggu)  tapering off (dosis diturunkan tiap 2-4 minggu)  stop.
8. Lama Pemberian
Untuk pasien dengan serangan Sindrom Psikosis yang “multi episode” terapi
pemeliharaan (maintenance) diberikan paling sedikit selama 5 tahun. Pemberian yang
cukup lama ini dapat menurunkan derajat kekambuhan 2,5 – 5 kali.
Efek obat anti-psikosis secara relatif berlangsung lama, sampai beberapa hari
setelah dosis terakhir masih mempunyai efek klinis. Sehingga tidak langsung
menimbulkan kekambuhan setelah obat dihentikan, biasanya satu bulan kemudian
baru gejala Sindrom Psikosis kambuh kembali.
Hal tersebut disebabkan metabolisme dan ekskresi obat sangat lambat,
metabolit-metabolit masih mempunyai keaktifan anti-psikosis.
Pada umumnya pemberian obat anti-psikosis sebaiknya dipertahankan selama
3 bulan sampai 1 tahun setelah semua gejala psikosis mereda sama sekali. Untuk
“Psikosis Reaktif Singkat” penurunan obat secara bertahap setelah hilangnya gejala
dalam kurun waktu 2 minggu – 2 bulan.
Obat anti psikosis tidak menimbulkan gejala lepas obat yang hebat walaupun
diberikan dalam jangka waktu lama, sehingga potensi ketergantungan obat kecil sekali
Pada penghentian yang mendadak dapat timbul gejala “Cholinergic Rebound” :
gangguan lambung, mual, muntah, diare, pusing, gemetar dan lain-lain. Keadaan ini
akan mereda dengan pemberian “anticholinergic agent” (injeksi Sulfas Atropin
0,25mg (im), tablet Trihexyphenidyl 3 x 2mg/h).
Oleh karena itu pada penggunaan bersama obat anti-psikosis + antiparkinson,
bila sudah tiba waktu penghentian obat, obat antipsikosis dihentikan lebih dahulu,
kemudian baru menyusul obat antiparkinson.
9. Penggunaan Perinteral
Obat anti-psikosis “Long acting” (Fluphenazine Decanoate 25mg/cc atau
Haloperidol Decanoas 50mg/cc, im, setiap 2 – 4 minggu, sangat berguna untuk pasien
yang tidak mau atau sulit teratur makan obat ataupun yang tidak efektif terhadap
medikasi oral.
Sebaiknya sebelum penggunaan parenteral diberikan peroral lebih dahulu
beberapa minggu untuk melihat apakah terdapat efek hipersensitivitas.
Dosis mulai dengan ½ml setiap 2 minggu pada bulan pertama, kemudian baru
ditingkatkan menjadi 1ml setiap bulan.
Pemberian obat anti-psikosis “long acting” hanya untuk terapi stabilisasi dan
pemeliharaan (maintenance therapy) terhadap kasus Skizofrenia 15-25 % kasus
menunjukkan toleransi yang baik terhadap efek samping ekstrapiramidal.
10. Perhatian Khusus
 Efek samping yang sering timbul dan tindakan mengatasinya :
Penggunaan Chlorpromazine injeksi (im) : sering menimbulkan Hipotensi
Ortostatik pada waktu perubahan posisi tubuh (efek alfa adrenergic blockade).
Tindakan mengatasinya dengan injeksi Noradrenaline (Norepinephrine) sebagai
“alpha adrenergic stimulator”.
Dalam keadaan ini tidak diberikan Adrenaline oleh karena bersifat “alfa dan
beta adrenergic stimulator” sehingga efek beta adrenergic tetap ada dan dapat terjadi
shock.
Hipotensi ortostatik seringkali dapat dicegah dengan tidak langsung bangun
setelah mendapat suntikan dan dibiarkan tiduran selama sekitar 5 – 10 menit. Bila
dibutuhkan dapat diberikan Norepinephrine bitartrate (LEVOPHED Abbot atau
RAIVAS – Dexa Medica atau Vascon- Fahrenheit) Ampul 4mg/4 cc dalam infus
1000ml dextrose 5% dengan kecepatan infus 2-3cc/menit.
Obat anti-psikosis yang kuat (Haloperidol) sering menimbulkan gejala
Ekstrapiramidal / Sindrom Parkinson. Tindakan mengatasinya dengan tablet
Trihexyphenidyl (Artane) 3 – 4x 2mg/hari, sulfas atropine 0,50 – 0,75mg (im).
Apabila sindrom parkinson sudah terkendali diusahakan penurunan dosis secara
bertahap, untuk menentukan apakah masih dibutuhkan penggunaan obat anti
parkinson.
Secara umum dianjurkan penggunaan obat antiparkinson tidak lebih lama dari
3 bulan (risiko timbul “atropine toxic syndrome”). Tidak dianjurkan pemberian
“antiparkinson profilaksis”, oleh karena dapat mempengaruhi penyerapan/absorpsi
obat anti-psikosis sehingga kadarnya dalam plasma rendah dan dapat menghalangi
manifestasi gejala psikopatologis yang dibutuhkan untuk penyesuaian dosis obat anti-
psikosis agar tercapai dosis efektif.
 “Rapid Neuroleptizattion” : Haloperidol 5 – 10mg (im) dapat diulangi setiap 2
jam, dosis maksimum adalah 100mg dalam 24 jam. Biasanya dalam 6 jam sudah dapat
mengatasi gejala-gejala akut dari Sindrom Psikosis (agitasi, hiperaktivitas psikomotor,
impulsif menyerang, gaduh, gelisah, perilaku destruktif dll).
 Kontraindikasi :
a. Penyakit hati (hepato-toksik)
b. Penyakit darah (hemato-toksik)
c. Epilepsi (menurunkan ambang kejang)
d. Kelainan jantung (menghambat irama jantung)
e. Febris yang tinggal (thermoregulator di SSP)
f. Ketergantungan alkohol (penekanan SSP meningkat)
g. Penyakit SSP (parkinson, tumor otak, dll)
h. Gangguan kesadaran disebabkan “CNS-depressant” (kesadaran makin
memburuk)
 Pemakaian Khusus
a. Thioridazine dosis kecil sering digunakan untuk pasien anak dengan
hiperaktif, emosional labil dan perilaku destruktif. Juga sering digunakan
pada pasien usia lanjut dengan gangguan emosional (anxietas, depresi,
agitasi) dengan dosis 20-200 mg/hari.
b. Haloperidol dosis kecil untuk “Gilles de la Tourette’s Syndrome” sangat
efektif. Gangguan ini biasanya timbul mulai antara umur 2 sampai 15
tahun. Terdapat gerakan-gerakan involunter berulang, cepat dan tanpa
tujuan, yang melibatkan banyak kelompok otot (tics). Disertai tics vokal
yang multipel (misalnya suara “klik”, dengusan, batuk, menggeram,
menyalak, atau kata kata/kata kotor/koprolalia). Pasien mampu menahan
tics secara volunter selama beberapa menit sampai beberapa jam.
 Sindrom Neuropletik Maligna (SNM) merupakan kondisi mengancam
kehidupan akibat reaksi idiosinkrasi terhadap obat psikosis (khususnya pada
“long acting” dimana risiko ini lebih besar). Semua pasien yang diberikan obat
anti-psikosis mempunyai risiko untuk terjadi SNM tetapi dengan kondisi
dehidrasi, kelelahan atau malnutrisi, risiko ini akan menjedi lebih tinggi.
Butir-butir diagnostik SNM :
a. Suhu badan lebih dari 380C (hyperpirexia)
b. Terdapat sindrom ekstrapiramidal berat (rigidity)
c. Terdapat gejala disfungsi otonomik (incontinensia urinae)
d. Perubahan status mental
e. Perubahan tingkat kesadaran
f. Gejala tersembut timbul dan berkembang dengan cepat
 Pengobatan:
a. Hentikan segera obat anti-psikosis
b. Perawatan suportif
c. Obat dopamine agonist (bromokriptin 7,5 – 60mg/h 3 dd, I – dopa 2 x
100mg/h, atau amantadin 200mg/h)
 Pada pasien usia lanjut atau dengan Sindrom Psikosis Organik, obat
anti psikosis diberikan dalam dosis kecil dan minimal efek samping otonomik
(hipotensi ortostatik) dan sedasi-nya yaitu golongan “high potency
neuroleptics”, misalnya Haloperidol, Trifluoperazine, Flupherazine atau anti-
psikosis atipikal. Penggunaan pada wanita hamil, berisiko tinggi anak yang
dilahirkan menderita gangguan saraf ekstrapiramidal.
DAFTAR PUSTAKA

1. Maslim, R. 2007. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik. Edisi


ke-III. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai