Anda di halaman 1dari 18

Meet The Expert

Diagnosis dan Penatalaksanaan Korioretinitis

Oleh :

Muhammad Arief Ansyar 2140312035


Ulfa Aurel Fadhila 2140312125
Hardianti 1810311004
Hafiza Fauzia Nabillah 1810312085

Preseptor :
Prof. dr. Khalilul Rahman, Sp.M (K)

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR. M.DJAMIL PADANG
2022
KATA PENGANTAR

Pertama-tama kami ucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena berkat
limpahan rahmat dan hidayah-Nya penulis bisa menyelesaikan Meet the expert yang berjudul
“Diagnosis dan Tatalaksana Korioretinitis”. Meet the expert ini disusun untuk meningkatkan
pemahaman sekaligus pemenuhan kewajiban dalam mengikuti kepaniteraan klinik di Bagian
Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Andalas di RSUP Dr. M. Djamil,
Padang

Terimakasih penulis ucapkan kepada Prof. dr. Khalilul Rahman, Sp.M (K) selaku
pembimbing Meet the expert ini yang telah memberikan arahan dan petujuk, dan semua pihak
yang telah membantu dalam penulisan Meet the expert ini. Penulis menyadari sepenuhnya
bahwa Meet the expert ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, kritik masukan,
dan saran sangat kami harapkan.

Akhir kata, semoga Meet the expert ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Padang, 17 April 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ............................................................................................................................ iii


BAB I ......................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................................ 1
1.2 Batasan Masalah .......................................................................................................... 1
1.3 Tujuan Penulisan ......................................................................................................... 1
1.4 Metode Penulisan ........................................................................................................ 1
BAB II ........................................................................................................................................ 2
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................................ 2
2.1 Anatomi Mata Segmen Posterior ................................................................................ 2
2.2 Defenisi Korioretinitis ................................................................................................. 4
2.3 Epidemiologi Korioretinitis......................................................................................... 4
2.4 Etiologi dan Faktor Risiko Korioretinitis. ................................................................... 5
2.5 Patofisiologi Korioretinitis .......................................................................................... 6
2.6 Manifestasi Klinis Korioretinitis ................................................................................. 7
2.7 Penegakan Diagnosis Korioretinitis ............................................................................ 7
2.8 Diagnosis Banding Korioretinitis ................................................................................ 9
2.9 Tatalakasana Korioretinitis ....................................................................................... 10
2.10 Komplikasi Korioretinis ............................................................................................ 13
2.11 Prognosis Korioretinitis............................................................................................. 13
BAB III .................................................................................................................................... 14
PENUTUP................................................................................................................................ 14
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 15

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Korioretinitis adalah salah satu tipe dari uveitis yang melibatkan bagian segmen
posterior mata, termasuk juga peradangan yang terjadi di koroid dan retina. 1 Data
menunjukkan bahwa uveitis terjadi antara 52 hingga 341 kasus per 100.000 orang setiap
tahunnya di US.2 Kejadian uveitis tersebut menyebabkan setidaknya 2.8% hingga 10%
kebutaan di United States.3
Korioretinitis dapat disebabkan oleh berbagai patogen seperti virus, bakteri, jamur,
dan protozoa.4 Penyebab terbanyak kasus korioretinitis yaitu toksoplasma. Prevalensi
korioretinitis toksoplasma cukup tinggi terutama di negara tropis dengan iklim panas dan
lembab. Di United States, terdapat setidaknya 20% orang yang menderita korioretinitis
toksoplasma.5 Selain infeksi patogen, korioretinitis juga dapat disebabkan oleh beberapa
faktor sistemik seperti sarkoidosis dan penyakit bahcet.
Korioretinitis dapat menyebabkan penurunan ketajaman penglihatan hingga
kebutaan.1 Hal tersebut berisiko tinggi terutama jika terlambat dalam melakukan inisiasi
terapi. Oleh karena itu, terapi pada kasus ini difokuskan pada penyebab spesifik dan stabilisasi
pasien untuk mencegah kehilangan penglihatan.

1.2 Batasan Masalah


Meet the expert ini membahas tentang defenisi, epidemiologi, etiologi, faktor risiko,
patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis, tatalaksana, komplikasi, dan prognosis
korioretinitis

1.3 Tujuan Penulisan


Meet the expert ini membahas tentang defenisi, epidemiologi, etiologi, faktor risiko,
patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis, tatalaksana, komplikasi, dan prognosis
korioretinitis

1.4 Metode Penulisan


Metodeiyang dipakai.pada penulisaniMeet the expertaini adalah tinjauan pustaka yang
merujuk pada beberapa.literatur.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Mata Segmen Posterior

Bagian mata yang termasuk segmen posterior yaitu vitreus, sklera, koroid, retina, dan
nervus optikus.6

Gambar 2.1 Bola Mata.6

1. Vitreus
Vitreus adalah badan gelatin jernih dan avaskular yang membentuk dua pertiga
volume dan berat pada mata. Vitreus mengisi ruangan yang dibatasi oleh bagian lensa,
retina, dan diskus optikus. Basis vitreus mempertahankan penempelan yang kuat seumur
hidup ke lapisal epitel pars plana dan retina tepat di belakang ora serrate. Vitreus
mengandung air sekitar 99%. Sisanya meliputi 1% berupa kolagen dan asam hialuronat
yang memberi bentuk dan konsistensi mirip gel. 6
2. Sklera
Sklera merupakan jaringan padat berwarna putih serta berbatasan dengan korena di
sebelah anterior dan duramater nervus opticus di posterior. Pita kolagen dan jaringan
elastin membentang di sepanjang foramen sklera posterior membentuk lamina cribrosa,
yang diantaranya dilalui oleh berkas akson nervus opticus. Lapisan berpigmen coklat
pada permukaan dalam sclera adalah lamina fusca, yang membentuk lapisan luar ruang
subprakoroid. 6

2
3. Koroid
Koroid merupakan segmen posterior uvea yang berada di antara retina dan sclera.
Koroid tersusu atas tiga lapisan pembuluh darah koroid yaitu pembuluh darah besar,
sedang, dan kecil. Semakin dalam pembuluh darah di dalam koroid, maka semakin lebar
lumennya. Bagian dalam pembuluh darah koroid dialirkan melalui empat vena vorticosa,
satu di tiap kuadran posterior. Koroid di sebelah dalam dibatasi oleh membrane Bruch
dan di sebelah luar oleh sclera. Koroid melekat erat ke posterior pada tepi-tepi nervus
opticus. Di sebelah anteriornya, koroid bergabung dengan corpus ciliare.6
4. Retina
Retina merupakan lembaran jaringan saraf berlapis yang tipis dan semitransparan
melapisi bagian dalam dua pertiga posterior dinding bola mata. Lapisan retina dimulai
dari sisi dalam terdiri dari:6

Gambar 2.2 Lapisan Retina.6


a. Membrana limitans interna
b. Lapisan sel saraf
c. Lapisan sel ganglion
d. Lapisan pleksiform dalam
e. Lapisan inti dalam badan-badan sel bipolar
f. Lapisan pleksiform luar
g. Lapisan inti luar sel fotoreseptor
h. Membran limitans eksterna
i. Lapisan fotoreseptor segmen dalam dan luar batang dan kerucut
j. Epitel pigmen retina

3
5. Nervus Opticus
Serabut nervus opticus terdiri dari sekitar sejuta akson yang berasal dari sel-sel
ganglion retina. Nervus opticus ini muncul dari permukaan bagian posterior bola mata
melalui foramen sclera posterior. Serat-serat saraf mengalami mielinisasi saat keluar dari
mata. 80% nerbus opticus terdiri dari serat-serat visual yang bersinaps dalam korpus
genikulatum lateral, pada neuron-neuron yang aksonnya berakhir dalam korteks visual
primer lobus oksipital. 6

2.2 Defenisi Korioretinitis


Korioretinitis merupakan proses inflamasi yang melibatkan bagian segmen posterior
mata.5 Korioretinitis juga dapat diartikan sebagai salah satu bentuk dari uveitis yang terjadi
di bagian koroid dan retina mata.4 Korioretinitis termasuk kedalam klasifikasi uveitis bagian
posterior.
Korioretinis adalah inflamasi yang dapat terjadi baik karena infeksi ataupun non
infeksi.1 Korioretinitis yang disebabkan oleh infeksi dapat terjadi kongenital atau didapat.
Pada korioretinitis non infeksi biasanya dipengaruhi oleh penyakit sistemik
2.3 Epidemiologi Korioretinitis
Data epidemiologi dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa uveitis terjadi antara
52 dan 341 per 100.000 orang dalam satu tahun di AS dan bertanggung jawab atas 2,8 hingga
10% kasus kebutaan di Amerika Serikat. Toxoplasma chorioretinitis adalah penyebab paling
umum dari uveitis posterior di seluruh dunia dengan prevalensi yang lebih tinggi di negara-
negara tropis dengan iklim panas dan lembab. Angka kejadian ini menyumbang 25% dari
kasus uveitis posterior di AS. Di Amerika Serikat, antibodi terhadap Toksoplasma terdapat
pada hampir 20% orang. Ini merupakan patogen oportunistik utama dalam AIDS.7
Peningkatan usia dikaitkan dengan meningkatnya insiden korioretinitis yang lebih
tinggi. Korioretinitis kongenital terjadi pada awal perkembangan kelahiran. Chorioretinitis
didapat dapat terjadi pada semua umur. Korioretinitis pada pasien sampai 3 tahun dapat
disebabkan oleh sindorm samara seperti retinoblastoma atau leukemia. Penyebab
chorioretinitis pada kelompok umur ini adalah infeksi sitomegalovirus, toksoplasmosis,
sifilis, retinitis, herpes dan infeksi rubella. Dalam kelompok umur 4 – 15 tahun, penyebab
korioretinitis termasuk toksokariasis, toksoplasmosis, uveitis intermediet, infeksi
sitomegalovirus, sindrom samara, panensefalitis sklerosis subakut dan kurang sering infeksi
bakteri atau fungi pada segmen posterior. Dalam kelompok umur 16 – 40 tahun, yang

4
termasuk diagnosis diferensial adalah toksoplamosis, penyakit Behcet, sindro Vogt-
Koyanagi-Harada, sifilis, endoftalmitis candida dan kurang sering, infeksi bakteri endogen.
Pasien korioretinitis dan berumur diatas 40 tahun mungkin menderita sindrom nekrosis retina
akut, toksoplasmosis, infeksi sitomegalovirus, retinitis, sarcoma sel reticulum atau
krioptokokosis. Hal ini bertanggung jawab atas sekitar 30.000 kasus dan menyumbang sekitar
10 hingga 15% dari semua kasus kebutaan total di negara ini. Gangguan inflamasi okular
memengaruhi wanita lebih dari pria, dan mayoritas wanita yang terkena adalah usia subur.7,8

2.4 Etiologi dan Faktor Risiko Korioretinitis.


Uveitis Posterior (Korioretinitis) dapat disebabkan oleh:
a) Penyakit Infeksi :8
 Virus
CMV, herpes simpleks, herpes zoster, rubella, rubeola, HIV, virus epstein barr, virus
coxsackie, nekrosis retina akut.

 Bakteri
Mycobacterium tuberculosis, brucellosis, sifilis sporadic dan endemic, nocardia,
neisseria meningitidis, mycobacterium avium-intracellulare, yersinia, dan borrelia
(penyebab penyakit Lyme).

 Fungus
Candidia, histoplasma, cryptococcus, dan aspergillus.

 Parasit
Toxoplasma, toxocara, cysticercus, dan onchoherca.

b) Penyakit non infeksi : 8


 Autoimun
Penyakit Behcet, syndrome vogt-koyanagi-harada, poliarteritis nodosa, oftalmia
simpatis, vaskulitis retina

 Keganasan
Sarcoma sel reticulum, melanoma maligna, leukemia, lesi metastatik

 Etiologi tak diketahui


Sarkoidosis, koroiditis geografik, epitellopati pigment plakoid multifokal akut,
retinopati “birdshot”, epitellopati pigment retina

5
2.5 Patofisiologi Korioretinitis
Korioretinitis dapat terjadi akibat infeksi bakteri ataupun reaksi radang lainnya. Proses
inflamasi ini akan menyebabkan perubahan kondisi di strukur uvea itu sendiri. Bila
peradangan chorioretinitis terjadi di bagian perifer, maka tidak akan mengganggu pada tajam
penglihatan. Tajam penglihatan pada keadaan ini hanya terjadi pada akibat penyerbukan sel
radang ke dalam badan kaca atau media penglihatan. Makin tebal kekeruhan, akan
mengakibatkan bertambah beratnya penurunan ketajaman penglihatan. Radang infeksi ini
biasanya disebabkan infeksi yang meluas, seperti tuberkulosis dan infeksi fokal lainnya. 9
Tingkat keterlibatan okular bervariasi tergantung pada organisme. Toxoplasma gondii adalah
penyebab paling umum dari infeksi uveitis posterior di seluruh dunia. Infeksi ini biasanya
terjadi karena mengonsumsi kista jaringan yang ada dalam daging mentah atau setengah
matang atau dengan menelan ookista dalam kotoran kucing. Infeksi ini juga dapat ditularkan
secara transplasental. Hal ini dapat menyebabkan infeksi parah pada individu dengan
imunosupresi dan wanita hamil.7

Bila peradangan mengenai daerah macula lutea, maka penglihatan akan cepat menurun
tanpa terlihat tanda kelainan dari luar. Biasanya radang sentral ini disebabkan karena infeksi
kongenital akibat toxoplasmosis. Akibat terbentuknya jaringan fibroblast, akan terbentuk
jaringan organisasi yang merusak seluruh susunan jaringan koroid dan retina. Jaingan fibrosis
ini akan berwarna pucat putih. Warna putih ini juga terjadi akibat sclera terlihat melalui koroid
yang menipis. Biasanya bersama-sama dengan keadaan ini terjadi pergeseran pigmen koroid.9

Gambar 2.3. Area pada Uveitis Posterior.10

6
2.6 Manifestasi Klinis Korioretinitis
Pasien biasanya datang dengan gejala seperti timbulnya floaters (bayangan benda kecil
seperti titik atau garis yang dapat dilihat “mengambang” dan “melayang-layang” pada lapang
area pandang di mata) secara tiba-tiba, penglihatan kabur, kehilangan penglihatan, skotoma
(kondisi ketika mata tidak mendeteksi objek di sudut tertentu atau blind spot), dan penglihatan
terdistorsi (kabur) disemua jarak. Nyeri dan kemerahan dapat muncul jika segmen anterior
juga menjadi meradang sebagai bagian dari panuveitis (peradangan seluruh lapisan uvea).
Pasien mungkin asimtomatik ketika lesi hadir di pinggiran retina, jauh dari makula. Beberapa
pasien mungkin memiliki gejala sistemik yang terkait. Toksoplasmosis kongenital dikaitkan
dengan prematuritas, pembatasan pertumbuhan intrauterin, penyakit kuning,
hepatosplenomegali, ruam, lesi chorioretinal, hidrosefalus, kalsifikasi intrakranial,
mikrosefali, dan kejang. Anak kecil mungkin datang dengan penurunan ketajaman visual,
nistagmus, strabismus, atau leukocoria. Riwayat kontak dengan hewan peliharaan adalah
riwayat pasien dengan infeksi parasit seperti toksokariasis dan toksoplasmosis. 7

Sebagian besar infeksi memiliki ciri fundus yang khas. Koroiditis dan retinitis dapat
dibedakan pada pemeriksaan fundus. Retinitis muncul sebagai bercak keputihan dengan batas
yang tidak jelas. Ini superfisial, dengan vitritis parah di atasnya. Sebaliknya, lesi koroiditis
muncul sebagai bercak kuning, dengan batas teratur, lebih dalam ke pembuluh retina,
menyebabkan vitritis ringan. Lesi aktif memiliki batas yang tidak jelas, sedangkan lesi yang
sembuh memiliki batas yang berbatas tegas dengan pigmentasi. Namun, dalam kebanyakan
kasus, baik retina dan koroid meradang, mengakibatkan korioretinitis.7

2.7 Penegakan Diagnosis Korioretinitis


Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis yang mengarah dan pemeriksaan fisik
terutama fundus yang khas. Pemeriksaan penunjang hanya untuk mengkonfrimasi
hasil temuan dan membuang diagnosis banding yang ada.

Anamnesis

Pada anamnesis dapat dinyatakan gejala-gejala dan penyebab dari toksoplasmosis itu
sendiri, seperti riwayat kontak dengan kucing, riwayat makan daging yang kurang matang,
atau riwayat makan sayur-sayuran mentah. Dan kebersihan lingkungan serta kebersihan diri
yang tidak terjaga dengan baik. Kemudian dapat di tanyakan apakah di keluarga ada yang
menderita hal yang serupa. Apakah ibu pasien pernah menjalani pemeriksaan TORCH
sebelumnya, riwayat penyakit dahulu juga penting untuk ditanyakan. Terutama pada pasien-

7
pasien dengan penyakit immunodefisiensi seperti AIDS, penggunakan obat-obatan
imunsupresan juga penting untuk ditanyakan. Gejala-gejala yang dapat ditanyakan antara lain
: Pandangan yang kabur, floater, fotofobia, melihat lebih nyaman pada malam hari, mata
merah (komplikasi ke uveitis), dan nyeri pada mata. 9

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik yang wajib di lakukan adalah pemeriksaan visus, terjadi


penurunan penglihatan yang tidak membaik dengan pinhole. Dapat unilateral
maupun bilateral. Pemeriksaan yang berikutnya di lakukan adalah melihat segmen
anterior mata dengan menggunakan senter, apabila terjadi komplikasi ke uveitis
maka dapat di temukan sinekia posterior, kerati prespitat, dan mata yang merah.
Kemudian melakukan pemeriksaan funduscopy dapat menggunakan bantuan
Midriatic agen, untuk mempermudah pemeriksaan akan di temukan gambaran
fundus yang khas yakni terdapat lesi berwarna kehitaman pada retina.11

Gambar 2.5 Gambaran funduskopi (berturut-turut dari kiri ke kanan) oleh


karena sifilis, toxoplasma kongenital dan CMV.11

Pemeriksaan Penujang

Pemeriksaan penunjang seperti fundus fluorescein angiography (FFA), Indocyanine


green angiography (ICG), B scan ultrasonography, Optical coherence tomography (OCT),
fundus autofluorescence dapat membantu dalam diagnosis. Fundus Fluorescein Angiography
(FFA): Ini menyediakan foto fundus untuk diagnosis, dokumentasi serta pemantauan
perkembangan penyakit. Ini dapat mendeteksi apakah suatu lesi aktif atau tidak aktif, lesi aktif
akan menunjukkan hiperfluoresensi lambat pada FFA. Ini juga dapat mendeteksi
neovaskularisasi, vaskulitis, area nonperfusi kapiler, dan edema makula cystoid. Indocyanine
Green Angiography (ICG) lebih membantu dalam kasus sindrom titik putih dan patologi
koroid lainnya, yang tidak dapat dideteksi oleh FFA. Ini dapat memberikan informasi

8
tambahan dalam diagnosis bersama dengan FFA. Cahaya inframerah pada angiografi hijau
indocyanine (ICGA) menembus pigmen di epitel pigmen retina. Jadi lebih baik daripada FFA
dalam menggambarkan choriocapillaris. Optical coherence tomography (OCT) adalah teknik
pencitraan non-invasif menggunakan interferometri cahaya inframerah-dekat yang digunakan
untuk mengevaluasi perubahan makula patologis seperti edema makula cystoid, cairan
subretinal, penebalan koroid, dan membran epiretinal.7

Pemeriksaan laboratorium meliputi evaluasi cairan intraokular untuk reaksi berantai


polimerase atau DNA parasit dan titer antibodi serum. Ini membantu dalam membedakan
etiologi menular dari tidak menular. Antibodi serum dapat mendeteksi apakah infeksi baru
terjadi atau kronis. Antibodi Ig M anti-Toxoplasma muncul pada minggu pertama infeksi dan
kemudian menurun dalam beberapa bulan berikutnya. Toksoplasma IgG muncul dalam 1
hingga 2 minggu setelah infeksi, mencapai puncaknya dalam 1 hingga 2 bulan, dan akan tetap
dapat dideteksi seumur hidup pasien. Nilai prediksi positif dari antibodi IgG Toxoplasma
rendah. Kenaikan titer IgG Toksoplasma selama tiga minggu telah berguna sebagai indikator
infeksi baru-baru ini. Untuk mendeteksi infeksi pada bayi baru lahir, antibodi Ig A atau IgM
digunakan. Antibodi IgG ibu yang ada pada bayi baru lahir mencerminkan infeksi masa lalu
atau baru-baru ini pada ibu. Pada bayi, IgG yang ditularkan melalui ibu akan menghilang
dalam waktu 6 sampai 12 bulan.7

2.8 Diagnosis Banding Korioretinitis


Presentasi klinis dari berbagai entitas klinis yang menyebabkan uveitis posterior dapat
tumpang tindih. Kadang-kadang lesi degenerasi makula terkait usia, retinopati serosa sentral
multipel yang bocor, skleritis posterior, keganasan intraokular dapat dikacaukan dengan lesi
uveitis posterior. Lesi korioretinitis infektif dapat dibedakan dari sindrom titik putih dengan
tampilan fundusnya, dan ICGA dan FFA memberikan bukti yang meyakinkan dalam banyak
kasus. Pada bayi baru lahir dengan infeksi kongenital, singkirkan TORCHeS. Infeksi
kongenital lain yang kurang umum mensimulasikan toksoplasmosis termasuk demam virus
West Nile, koriomeningitis limfositik akut, dan, baru-baru ini, virus Zika, yang terakhir
terutama dalam pengaturan mikrosefali. Tumor seperti retinoblastoma dan anomali kongenital
retina atau koroid seperti retinochoroidal coloboma dan vitreous hiperplastik persisten juga
merupakan pertimbangan dalam diagnosis banding pada anak-anak.7

9
2.9 Tatalakasana Korioretinitis
Tujuan penatalaksanaan korioretinitis adalah mempertahankan fungsi penglihatan
(fungsi visual), terutama pada anak-anak dengan immunocompromise. Pengobatan ditujukan
pada eliminasi infeksi jika ada serta menekan respon inflamasi. Pada kondisi infeksi,
pemberian antimikroba spesifik dikombinasikan dengan agen anti inlamasi, yang dimulai 48
hingga 72 jam setelah inisiasi agen antiinfeksi. Sedangkan pengobatan non infeksius,
tatalaksana yang diberikan dapat berupa kortikosteroid dan gen imunosupresif. Terapi dapat
diberikan melalui injeksi topikal, periokuler, dan intraokular atau sistemik. Penyakit dasar
juga penting diobati.7,12

Tatalaksana korioretinitis meliputi tatalaksana medikamentosa dan tindakan


pembedahan. Tatalaksana medikamentosa yang tersedia untuk mengatasi penyebab
korioretinitis adalah sebagai berikut.: 12

a) Antivirus:
Empat obat telah dilisensikan untuk pengobatan sistemik infeksi cytomegalovirus
(CMV), yaitu : gansiklovir, valgansiklovir (prodrug oral gansiklovir), foscarnet, dan
cidofovir. Fomivirsen dilisensikan untuk pemberian intravitreal untuk mengobati retinitis
CMV pada pasien dengan Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS). Obat-obatan
baru seperti maribavir, dapat digunakan pada galur CMV yang resistan terhadap
gansiklovir, namun hal ini sedang diselidiki secara klinis. Anak-anak dengan infeksi
human immunodeficiency virus (HIV), obat pilihan untuk pengobatan awal retinitis
CMV adalah gansiklovir intravena. Valgansiklovir oral adalah pilihan terutama untuk
anak yang lebih tua yang dapat menerima dosis dewasa dan formulasi tablet
valgansiklovir. Pilihan alternatif untuk mengobati penyakit CMV yang resistan terhadap
gansiklovir pada anak dengan HIV adalah foscarnet. Terapi kombinasi dengan
gansiklovir dan foscarnet menunda perkembangan retinitis pada pasien tertentu yang
gagal monoterapi dan dapat digunakan sebagai terapi awal di antara anak-anak dengan
penyakit yang mengancam penglihatan. Gansiklovir dan foscarnet intravena juga dapat
dipertimbangkan dalam terapi awal penyakit CMV CNS. Namun, terapi kombinasi
dikaitkan dengan tingkat efek samping yang substansial.
b) Antitoxoplasmosis
Pengobatan dengan obat antiparasit efektif untuk infeksi aktif tetapi tidak untuk
bentuk kista. Pengobatan klasik meliputi terapi tiga obat dengan pirimetamin, sulfadiazin,
dan prednison. Pirimetamin, yang merupakan antagonis asam folat, diberikan sebagai

10
dosis 0,5-1 mg/kg/hari, atau sekitar 75 hingga 100 mg selama 1 hingga 2 hari, diikuti oleh
25 hingga 50 mg setiap hari selama empat minggu. Ini dikombinasikan dengan asam
folinat oral 5 mg tiga kali seminggu untuk mencegah defisiensi folat. Selain itu,
pemberian asam folinat bersamaan dapat membantu meminimalisir toksisitas sumtung
tulang yang disebabkan oleh pirimeteamin.7,12

Sulfadiazin diberikan 1 g empat kali sehari selama 3 sampai 4 minggu biasanya dalam
kombinasi dengan pirimetamin. Dosis sulfadiazine 120-150 mg/kg/hari. Dalam kasus
alergi terhadap sulfonamid, klindamisin 300 mg empat kali sehari atau azitromisin 250
hingga 500 mg/hari adalah pilihan terapi. Sulfametoksazol trimetoprim 800 mg/160 mg
adalah kombinasi lain yang diberikan. Atovaquone 750 mg empat kali sehari dapat
diberikan selama 4 sampai 6 minggu. Spiramycin 2 g/hari adalah antiparasit paling aman
pada kehamilan. 7,12

Steroid sistemik biasanya dimulai 72 jam setelah dimulainya terapi antimikroba.


Steroid sistemik berfungsi sebagai terapi utama pada uveitis posterior non-infeksi.
Prednisolon oral adalah steroid yang paling sering diberikan dengan dosis 1-1,5 mg/kg
berat badan. Lesi yang mengancam penglihatan, seperti pada kepala saraf optik atau
keterlibatan makula/foveal, akan memerlukan pemberian metilprednisolon intravena 1 g
setiap hari selama tiga hari berturut-turut harus diberikan, diikuti dengan prednisolon oral
dalam dosis yang diturunkan. Agen imunomodulator hemat steroid berguna dalam kasus
resisten steroid atau kasus komplikasi dari penggunaan steroid jangka panjang.
Siklosporin sistemik, azatioprin, mikofenolat mofetil, metotreksat dapat diberikan.
Imunomodulator seperti tumor necrosis factor-alpha inhibitor seperti adalimumab atau
infliximab juga merupakan pilihan ketika agen lini pertama gagal.7,12

Pada kasus infeksi kongenital, pengobatan dapat berlangsung selama 1 tahun.


Pencegahan infeksi janin setelah serokonversi Toksoplasma ibu selama kehamilan dapat
diberikan spiramisin. Penurunan 60% telah dilaporkan pada tingkat infeksi kongenital
pada pasien yang menerima pengobatan ini; Namun, itu tidak memperbaiki nasib bayi
yang terinfeksi.12

c) Antifungal
Pengobatan chorioretinitis karena infeksi jamur bisa sulit dan berkepanjangan.
Amfoterisin B intravitreus (5-10 mcg) telah digunakan untuk mengobati korioretinitis
jamur yang serius. Pada infeksi Candida, Flukonazol (6-12 mg/kg/hari) dan amfoterisin

11
B (0,75-1 mg/kg/hari) direkomendasikan sebagai antijamur pilihan, terutama untuk
pengobatan endoftalmitis Candida. Triazol generasi baru (misalnya, vorikonazol,
posakonazol, ravukonazol) mengubah pendekatan konvensional terhadap strain Candida
yang resisten terhadap flukonazol, serta pendekatan terhadap endoftalmitis jamur.
Caspofungin adalah echinocandin pertama yang disetujui untuk mengobati
endophthalmitis jamur. Terapi caspofungin sistemik dan vorikonazol secara bersamaan
telah berhasil mengobati endoftalmitis karena Candida albicans. Eksperimen vorikonazol
intraokular (≤ 25 mcg/mL) telah digunakan untuk infeksi Candida yang resisten terhadap
azole dengan beberapa keberhasilan.12
Pada infeksi histolasmosis, Pengobatan terbatas pada fotokoagulasi membran
neovaskular, terutama ketika makula terancam. Terapi antijamur tidak berperan dalam
pengobatan penyakit ini karena tidak ada organisme yang bereplikasi secara aktif.
Amfoterisin B digunakan untuk mengobati penyakit sistemik (0,75-1 mg/kg/hari).12
d) Antituberkulosis
Obat antituberkulosis diberikan pada pasien dengan M tuberculosis (MTB) dan
termasuk isoniazid (10-30 mg/kg/hari), rifampisin (10-20 mg/kg/hari), pirazinamid (30
mg/kg/hari), dan etambutol. (15 mg/kg/hari). Obat lain, seperti aminoglikosida dan
kuinolon, dapat digunakan untuk pengobatan organisme yang resistan terhadap obat.
Durasi terapi tergantung pada luasnya penyakit dan status imun pejamu. 12
e) Antihelmintik
Anthelmintik, termasuk diethylcarbamazine (6 mg/kg/hari), albendazole (400 mg PO
bid), dan mebendazole (100-200 mg PO bid), biasanya diberikan dengan kortikosteroid
pada pasien dengan toxocariasis atau baylisascariasis. 12

Perawatan etiologi mungkin tidak mengubah perjalanan klinis chorioretinitis karena


perubahan patologis mungkin disebabkan oleh respon inflamasi dan/atau imunologi daripada
infeksi. Pengobatan etiologi infeksi lain, seperti sifilis, yersiniosis, neuroborreliosis,
tergantung pada luasnya penyakit tetapi kemungkinan berhasil pada kebanyakan pasien. Pada
keadaan dengan komplikasi, pengobatan yang dapat dilakukan meliputi pemberian agen anti-
VEGF seperti bevacizumab, ranibizumab, kortikosteroid lokal dan sistemik, terapi
fotodinamik. Perawatan bedah seperti pars plana vitrectomy, cryotherapy, laser fotokoagulasi
adalah untuk pengobatan komplikasi.7,12

Tindakan pembedahan seperti vitrektomi biasanya tidak diperlukan dan dicadangkan


untuk kasus parah yang resisten terhadap perawatan medis konservatif. Sitologi okular yang

12
digunakan untuk mendeteksi keberadaan eosinofil, antibodi okular, dan kadar imunoglobulin
E (IgE) harus selalu dilakukan untuk membedakan toxocaral ocular larva migrans dari
retinoblastoma maligna untuk mencegah enukleasi yang tidak perlu. 8

2.10 Komplikasi Korioretinis


Uveitis dapat menyebabkan kehilangan penglihatan dan kebutaan terutama pada anak-
anak immunocompromised. Hal ini dapat disebabkan oleh komplikasi sekunder seperti
katarak, glaukoma sekunder, neovaskularisasi koroid, edema makula cystoid, neuropati optik,
ablasi retina, oklusi vaskular retina, perdarahan, dan phthisis. Edema makula kistoid (CME)
adalah komplikasi paling umum pada uveitis posterior noninfeksi. 7,12

CME sering terjadi pada korioretinitis birdshot, sarkoidosis, dan uveitis lainnya, yang
menyebabkan peradangan vitreous yang luas. Neovaskularisasi koroid (CNV) terlihat lebih
dengan keterlibatan koroid dan gangguan membran Bruch. Penyebab CNV termasuk dugaan
sindrom histoplasmosis okular, koroiditis multifokal dan panuveitis, koroiditis serpiginosa,
dan koroidopati bagian dalam punctate.7

2.11 Prognosis Korioretinitis


Prognosis visual tergantung pada lokasi lesi korioretinal, kekambuhan, dan komplikasi
segmen posterior lainnya. Lesi yang berdekatan dengan makula dan saraf optik menyebabkan
gangguan penglihatan yang parah (20/200 atau lebih buruk). Korioretinitis akibat toksoplasma
memiliki kekambuhan yang tinggi setelah episode aktif. Prognosis baik pada individu
imunokompeten jika makula sentral tidak terlibat. 7

13
BAB III
PENUTUP

Korioretinitis adalah inflamasi yang terjadi di bagian segmen posterior mata, termasuk
diantaranya koroid dan retina. Korioretinitis termasuk ke dalam klasifikasi uveitis bagian
posterior. Korioretinitis disebabkan oleh infeksi dan non infeksi. Korioretinitis yang
disebabkan oleh infeksi seperti virus, bakteri, jamur, dan protozoa. Pada korioretinitis non
infeksi, biasanya disebabkan oleh berbagai penyakit sistemik seperti sarkoidosis dan penyakit
bahcet.
Korioretinitis infeksi dapat terjadi baik secara kongenital maupun didapat. Kejadian
korioretinitis infeksi sering terjadi karena berbagai patogen seperti toksoplasma,
cytomegalovirus, dan tuberculosis. Korioretinitis infeksi berisiko salah satunya pada
seseorang yang mengonsumsi daging mentah. Diagnosis korioretinitis harus dilakukan secara
komprehensif, karena penyakit ini bisa disebabkan oleh berbagai faktor. Diagnosis
korioretinitis dilakukan dengan menggunakan ophthalmoscop direct dan indirect. Selain itu,
dapat juga dilakukan fundus fluorescein angiography (FFA) untuk dapat melihat kondisi
fundus mata. Evaluasi juga dapat dilakukan dengan menggunakan alat optical coherence
tomography (OCT).
Korioretinitis harus dilakukan tatalaksana sedini mungkin. Pada kondisi yang
diakibatkan oleh infeksi, perlu diberikan terapi antimikroba disertai dengan agen anti
inflamasi. Pada korioretinitis non infeksi biasanya diberikan kortikosteroid dan agen
immunosupresif. Tujuan utama dilakukannya tatalaksana ini adalah untuk mempertahankan
fungsi penglihatan dan mencegah kebutaan.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Jen Chen K, Da Cho H, Min Teh W. Early stage multifocal candida chorioretinitis in
an immunocompromised woman. Ophtalmol Retin. 2019;3(10):887.
2. Kijlstra A, Petersen E. Epidemiology, pathophysiology, and the future of ocular
toxoplasmosis. Ocul Immunol Inflamm. 2014;22(2):138-147.
3. Gonzalez MM, Solano MM, Porco TC, et al. Epidemiology of uveitis in a US
population based study. J Ophtalmic Inflamm Infect. 2018;8(1):6.
4. Mukkamala L, Yiu G. Choriovitreal neovascularization following resolution of
infectious chorioretinitis. Retina. 2019;39(6):21-22.
5. Thorne JE, Suhler E, Skup M, et al. Prevalence of noninfectious uveitis in the united
states: A claims based analysis. JAMA Ophthalmol. 2016;134(11):1237-1245.
6. Vaughan D, Asbury T. Vaughan & Asbury’s General Ophthalmology. Lange Medical
Books; 2014.
7. Tripathy K, Geetha R. Chorioretinitis. StatPearls [Internet]; 2021.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK551705/
8. Riordan-Eva P, Whitcher JP. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum. 17th ed.
(Susanto D, ed.). EGC; 2017.
9. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. 3rd ed. Badan Penerbit FKUI; 2005.
10. Hibbert P. Diskusi panel sub spesialis ubeitis. In: ; 2022.
11. Comodaro A, Belfort R, Rizzo R. Ocular toksoplasmosis- an update and review of the
literatur. Mem Inst Oswaldo Cruz Rio Janeiro. 2009;104.
12. Roque MR. Chorioretinitis. Medscape. Published online 2016.

15

Anda mungkin juga menyukai